mentransportasikan
ion
secara
mengandung
normal
banyak
Saat
I-,
ini
mensintesis
juga
tiroglobulin
di
RER,
dimodifikasi di kompleks
golgi,
dan
menjadi
dikemas
vesikel
sekretorik. Vesikel-vesikel
kemudianmengalami
eksositosis,
melepaskan
yang
TGB
ke
lumen folikel.
3. Oksidasi iodide. Beberapa asam amino di TGB merupakan tirosin yang
akan teriodinasi. Namun, muatan negatif ion iodida tidak dapat mengikat
tirosin hingga mengalami oksidasi menjadi iodin: 2I - I2. Karena ion
iodide teroksidasi, ion tersebut melewati membrane ke lumen folikel.
4. Iodinasi tirosin. Bentuk molekul iodin (I2) bereaksi dengan tirosin yang
merupakan bagian dari TGB. Pengikatan satu atom iodin meghasilkan
monoiodotyrosine (T1), dan iodinasi kedua menghasilkan diiodotyrosin
(T2). TGB yang tertempel atom iodin, material yang lengket yang
terakumulasi dan disimpan di lumen folikel tiroid, disebut koloid.
5. Coupling T1 dan T2. Selama tahap akhir sintesis hormone tiroid, dua
molekul T2 bergabung menjadi T4, atau satu T1 dan satu T2 bergabung
menjadi T3.
Sistem kardiovaskuler
Meningkatkan aliran darah dan curah jantung dengan meningkatkan
aktivitas metabolisme jaringan sehingga mempercepat pemakaian O 2 dan
memperbanyak pelepasan jumlah produk akhir metabolisme jaringan. Efek
ini menyebabkan vasodilatasi disebabkan sebagian besar jaringan tubuh,
sehingga peningkatan aliran darah. Kecepatan aliran meningkat terutama
karena peningkatan kebutuhan pembuangan panas oleh tubuh akibat
mmHg.1
c. Transpor Hormon
Setelah dikeluarkan ke dalam darah, molekul-molekul hormon tiroid yang
sangat lipofilik berikatan dengan beberapa protein plasma. Sebagian besar T 3dan
T4 diangkut oleh TBG (thyroxin binding globulin), suatu protein plasma yang
secara selektif hanya berikatan dengan hormon tiroid. Kurang dari 0,1 % T4 dan
1% T3 berada dalam keadaan bebas. Ikatan T3 dengan protein tersebut kurang
kuat dibandingkan dengan T4, tetapi efek hormonnya lebih kuat dan turnovernya lebih cepat, maka T3 ini sangat penting. Ikatan hormon terhadap protein
berikut makin lemah berturut-turut TBG, TBPA (thyroxin binding prealbumin,
disebut juga transtiretin), serum albumin. Dalam keadaan normal, kadar
iodotironin total menggambarkan keadaan hormon bebas, namun dalam keadaan
tertentu jumlah protein binding dapat berubah. Meninggi pada neonates,
penggunaan esterogen termasuk kontrasepsi oral, penyakit hati kronik dan akut,
naiknya sintesis di hati karena pemakaian kortikosteroid dan kehamilan, dan
menurun pada penyakit ginjal dan hati kronik, penggunaan androgen dan steroid
anabolik, sindrom nefrotik, dan dalam keadaan sakit berat. Penggunaan obat
tertentu misalnya seperti salisilat, hidantoin, dan obat anti-inflamasi seperti
fenklofenak menyebabkan kadar hormon total menurun karena obat tersebut
mengikat protein secara kompetitif, akibatnya kadar hormon bebas meningkat.
Arti klinis kadar hormon perlu diinterpretasikan dengan memperhatikan faktor
tersebut.1,2
1. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Ed. 9. Jakarta : EGC. 2007.
2. Sheerwood L. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem: Kelenjar Endokrin Perifer.
Jakarta: EGC; 2011. h. 757-63.
Klasifikasi Hipertiroidisme
Hipertiroidisme dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi 2 :
a. Primer : Terjadinya hipertiroid karena berasal dari kelenjar tiroid itu sendiri.
Contohnya Penyakit Graves, Goiter Multinodular Hiperfungsional.
b. Sekunder : Jika penyebab hipertiroid berasal dari luar kelenjar tiroid. Contohnya
Adenoma Hipofisis.
Sudoyo A. Setiyohadi B, Alwi I, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009; hal. 2254.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
Laboratorium : TSHs, T4 atau fT4, T3 atau fT3, TSH Rab, kadar leukosit (bila timbul
infeksi pada awal pemakaian obat antitiroid)
Sidik Tiroid/thyroid scan : terutama membedakan penyakit Plummer dari penyakit
Graves dengan komponen nodosa
EKG
Foto torak
Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada skema
dibawah ini :
dapat terjadi setelah terapi atau pembedahan tiroid sebelumnya, terapi radioiodine, atau
obat-obatan seperti sitokin amiodaron, dan litium.
Sedangkan Istilah hipertiroidisme sering disamakan dengan tirotoksikosis, meskipun
secara prinsip berbeda. Dengan hipertiroidisme dimaksudkan hiperfungsi kelenjar tiroid dan
sekresi berlebihan dari hormone tiroid dalam sirkulasi. Pada tirotoksikosis dapat disebabkan
oleh etiologi yang amat berbeda, bukan hanya yang berasal dari kelenjar tiroid. Adapun
hipertiroidisme subklinis, secara definisi diartikan kasus dengan kadar hormone normal tetapi
TSH rendah. Di kawasan Asia dikatakan prevalensi lebih tinggi disbanding yang non Asia
(12% versus 2.5%).
Edukasi Pencegahan
a. Pencegahan Primer1
Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk
menghindari diri dari berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat
dilakukan untuk mencegah terjadinya struma adalah :
Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam hal merubah
pola perilaku makan dan memasyarakatkan pemakaian garam
yodium
Mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber yodium
pada
daerah
endemis
berat
dan
endemis
sedang.
Dosis
0,2-0,8 cc.
b. Pencegahan sekunder2
Pencegahan sekunder adalah upaya mendeteksi secara dini suatu
penyakit, mengupa yakan orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat
progresifitas penyakit.
c. Pencegahan tersier3
Pencegahan tersier bertujuan untuk mengembalikan fungsi mental,
fisik dan sosial penderita setelah proses penyakitnya dihentikan. Upaya yang
dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
Setelah pengobatan diperlukan kontrol teratur/berkala untuk
memastikan
dan
mendeteksi
adanya
kekambuhan
atau
penyebaran.
Menekan munculnya komplikasi dan kecacatan
Melakukan rehabilitasi dengan membuat penderita lebih percaya
diri, fisik segar dan bugar serta keluarga dan masyarakat dapat
menerima kehadirannya melalui melakukan fisioterapi yaitu
dengan rehabilitasi fisik, psikoterapi yaitu dengan rehabilitasi
kejiwaan, social terapi yaitu dengan rehabilitasi sosial dan
rehabilitasi
aesthesis
yaitu
yang
berhubungan
dengan
kecantikan.
1. Rani, A. Panduan Pelayanan Medik. Pusat Penerbit Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta. 2009.
2. Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer
A. Paduan Pelayanan Medik dalam PAPDI. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FKUI; 2006.
3. Gandhour A, Reust C. Hyperthyroidism: A Stepwise Approach to
Management. Journal of Family Practice. 2011; 60(7):388-95.