Anda di halaman 1dari 18

BAB 1.

PENDAHULUAN

Krisis tiroid (Thyroid Storm) adalah komplikasi serius dari tirotoksikosis


dengan angka kematian 20-30%. Meskipun krisis tiroid merupakan kasus yang
jarang ditemui, namun krisis tiroid merupakan kegawatan di bidang endokrin
yang paling sering dijumpai.
Terminologi tirotoksikosis merujuk pada suatu sindroma klinis dari
hipermetabolisme dan hiperaktivitas yang terjadi ketika konsentrasi dari Free
Thyroxine (FT4), Free Triidothyronine (FT3) meningkat, ataupun keduanya
meningkat. Sedangkan terminologi hipertiroid merujuk pada peningkatan
biosintesis dan sekresi hormon tiroid oleh kelenjar tiroid. Banyak penderita yang
mengalami tiroksikosis sebagai akibat dari hipertiroid (contoh: Graves’ disease),
namun ada pula kondisi tiroksikosis yang bukan disebabkan karena hipertiroid
seperti pada penyakit thyroiditis. Oleh karena itu perlu digaris bawahi bahwa
terminologi tiroksikosis dan hipertiroid memiliki pemahaman yang berbeda.
Tiroksikosis menyerang sekitar 1% wanita dan hanya 0,1% pada pria.
Krisis tiroid memerlukan diagnosis dan terapi yang segera dan adekuat
untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian oleh kelainan ini. Pada awalnya
krisis tiroid seringkali terjadi akibat operasi pembedahan tiroid, namun saat ini
krisis tiroid lebih banyak terjadi pada kasus medik dibandingkan pembedahan.
Secara klinis terlihat adanya kemunduran fungsi mental, hyperpyrexia dan aktivasi
adrenergik. Prinsip pengobatan krisis tiroid adalah sama dengan hipertiroid namun
dalam jumlah dosis yang lebih besar.

BAB 2. TINJUAN PUSTAKA

2.1 Kelenjar Tiroid

1
Kelenjar tiroid berkembang dari endoderm yang berasal dari sulcus
pharyngeus pertama dan kedua. Tempat pembentukan kelenjar tiroid ini menjadi
foramen sekum di pangkal lidah. Jaringan endodermal ini turun ke leher sampai
setinggi cincin trakea kedua dan ketiga yang kemudian membentuk dua lobus.
Penurunan ini terjadi pada garis tengah janin. Saluran pada struktur endodermal
ini tetap ada dan menjadi duktus tiroglossus atau mengalami obliterasi menjadi
lobus piramidalis kelenjar tiroid. Kelenjar tiroid janin secara fungsional mulai
mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin.6
Kelenjar tiroid terletak di leher, yaitu antara fasia koli media dan fascia
prevertebralis. Di dalam ruang yang sama terdapat trakea, esofagus, pembuluh
darah besar dan saraf. Kelenjar tiroid melekat pada trakea dan fascia pretrachealis,
dan melingkari trakea dua pertiga bahkan sampai tiga perempat lingkaran.
Keempat kelenjar paratiroid umumnya terletak pada permukaan belakang kelenjar
tiroid, tetapi letak dan jumlah kelenjar ini dapat bervariasi. Arteri karotis komunis,
vena jugularis interna dan nervus vagus terletak bersama dalam suatu sarung
tertutup di laterodorsal tiroid. Nervus rekurens terletak di dorsal tiroid sebelum
masuk laring. Nervus frenikus dan trunkus simpatikus tidak masuk ke dalam
ruang antara fasia media dan prevertebralis.6
Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari empat sumber; arteri karotis
superior kanan dan kiri, cabang arteri karotis eksterna kanan dan kiri dan kedua
arteri tiroidea inferior kanan dan kiri, cabang arteri brakhialis. Kadang kala
dijumpai arteri tiroidea ima, cabang dari trunkus brakiosefalika. Sistem vena
terdiri atas vena tiroidea superior yang berjalan bersama arteri, vena tiroidea
media di sebelah lateral, dan vena tiroidea inferior. Terdapat dua macam saraf
yang mensarafi laring dengan pita suara (plica vocalis) yaitu nervus rekurens dan
cabang dari nervus laringeus superior.6

2
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin (T4) yang
kemudian berubah menjadi bentuk aktifnya yaitu triyodotironin (T3). Iodium
nonorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tiroid.
Zat ini dipekatkan kadarnya menjadi 30-40 kali sehingga mempunyai afinitas
yang sangat tinggi di dalam jaringan tiroid. T3 dan T4 yang dihasilkan ini
kemudian akan disimpan dalam bentuk koloid di dalam tiroid. Sebagian besar T4
kemudian akan dilepaskan ke sirkulasi sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar
yang kemudian mengalami daur ulang. Di sirkulasi, hormon tiroid akan terikat
oleh protein yaitu globulin pengikat tiroid (Thyroid Binding Globulin, TBG) atau
prealbumin pengikat albumin (Thyroxine Binding Prealbumine, TBPA). Hormon
stimulator tiroid (Thyroid Stimulating Hormone, TSH) memegang peranan
terpenting untuk mengatur sekresi dari kelenjar tiroid. TSH dihasilkan oleh lobus
anterior kelenjar hipofisis. Proses yang dikenal sebagai negative feedback sangat
penting dalam proses pengeluaran hormon tiroid ke sirkulasi. Pada pemeriksaan
akan terlihat adanya sel parafolikuler yang menghasilkan kalsitonin yang
berfungsi untuk mengatur metabolisme kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium
serum terhadap tulang.6

2.2 Fisiologi Tiroid


Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid3 :
a. TRH (Thyrotrophin Releasing Hormone)
Hormon ini disintesa dan dibuat di hipotalamus. TRH ini dikeluarkan
lewat sistem hipotalamohipofiseal ke sel tirotrop hipofisis.

b. TSH (Thyroid Stimulating Hormone)

3
Suatu glikoprotein yang terbentuk oleh sub unit (α dan β). Sub unit α sama
seperti hormon glikoprotein (TSH, LH, FSH, dan human chronic
gonadotropin/hCG) dan penting untuk kerja hormon secara aktif. Tetapi sub unit β
adalah khusus untuk setiap hormon. TSH yang masuk dalam sirkulasi akan
mengikat reseptor dipermukaan sel tiroid TSH-reseptor (TSH-r) dan terjadilah
efek hormonal sebagai kenaikan trapping, peningkatan yodinasi, coupling,
proteolisis sehingga hasilnya adalah produksi hormon meningkat.

c. Umpan balik sekresi hormon


Kedua ini merupakan efek umpan balik ditingkat hipofisis. Khususnya
hormon bebaslah yang berperan dan bukannya hormon yang terikat. T3 disamping
berefek pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan
mengurangi kepekaan hipofisis terhadap rangsangan TRH.

d. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri


Gangguan yodinasi tirosin dengan pemberian yodium banyak disebut
fenomena Wolf-Chaikoff escape, yang terjadi karena mengurangnya afinitas trap
yodium sehingga kadar intratiroid akan mengurang. Escape ini terganggu pada
penyakit tiroid autoimun.

2.1 Efek Metabolik Hormon Tiroid


Efek metabolik hormon tiroid adalah sebagai berikut:
a. Kalorigenik.
b. Termoregulasi.
c. Metabolisme protein: Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik.
d. Metabolisme karbohidrat: Bersifat diabetogenik, karena resorpsi intestinal
meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot
menipis pada dosis farmakologis tinggi, dan degradasi insulin meningkat.
e. Metabolisme lipid: T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi
kolesterol dan eksresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga
pada hiperfungsi tiroid, kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada
hipotiroidisme, kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.

4
f. Vitamin A: Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan
hormon tiroid.
g. Hormon ini penting untuk pertumbuhan saraf otak dan perifer, khususnya 3
tahun pertama kehidupan.
h. Lain-lain: Pengaruh hormon tiroid yang meninggi menyebabkan tonus traktus
gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik, sehingga sering terjadi diare.
2.2 Efek Fisiologik Hormon Tiroid
a. Efek Pada Perkembangan Janin
Sistem TSH dan hipofisis anterior mulai berfungsi pada janin manusia di
dalam 11 minggu. Sebagian T3 dan T4 maternal diinaktivasi pada plasenta.
Dan sangat sedikit hormon bebas mencapai sirkulasi janin. Dengan
demikian, janin sebagian besar tergantung pada sekresi tiroidnya sendiri.3
b. Efek Pada Konsumsi Oksigen dan Produksi Panas
T3 meningkatkan konsumsi O2 dan produksi panas sebagian melalui
stimulasi Na+ K+ ATPase dalam semua jaringan kecuali otak, lien dan
testis. Hal ini berperan pada peningkatan percepatan metabolisme basal dan
peningkatan kepekaan terhadap panas pada hipertiroidisme.3
c. Efek Kardiovaskuler
T3 merangsang transkripsi dari rantai alpha miosin dan menghambat rantai
beta miosin, sehingga memperbaiki kontraktilitas otot jantung. T3 juga
meningkatkan transkripsi Ca2+ ATPase dalam retikulum sarkoplasmik,
meningkatkan kontraksi di diastolik jantung dan meningkatkan reseptor
adrenergik β. Dengan demikian, hormon tiroid mempunyai efek inotropik
dan kronotropik yang nyata terhadap otot jantung.3
d. Efek Simpatik

5
Hormon tiroid meningkatkan jumlah reseptor adrenergik-β dalam otot
jantung, otot skeletal dan jaringan adiposa. Mereka juga menurunkan
reseptor adrenergik-α miokardial. Disamping itu, mereka juga dapat
memperbesar aksi katekolamin pada tempat paskareseptor. Dengan
demikian, kepekaan terhadap ketokolamin meningkat dengan nyata pada
hipertiroidisme, dan terapi dengan obat-obatan penyekat adrenergik-β dapat
sangat membantu dalam mengendalikan takikardi dan aritmia.3
e. Efek Pulmonar
Hormon tiroid mempertahankan dorongan hipoksia dan hiperkapnia pada
pusat pernafasan, sehingga terjadi frekuensi nafas meningkat.3

f. Efek Hematopoetik
Peningkatan kebutuhan selular akan O2 pada hipertiroidisme menyebabkan
peningkatan produksi eritropoietin dan peningkatan eritropoiesis. Namun
volume darah biasanya tidak meningkat karena hemodilusi. Hormon tiroid
meningkatkan kandungan 2,3 difosfogliserat eritrosit, memungkinkan
peningkatan disosiasi O2 hemoglobin dan meningkatkan penyediaan O2
kepada jaringan.3
g. Efek Gastrointestinal
Hormon tiroid merangsang motillitas usus, yang dapat menimbulkan
peningkatan motilitas terjadi diare pada hipertiroidisme. Hal ini juga
menyumbang pada timbulnya penurunan berat badan yang sedang pada
hipertiroidisme.3
h. Efek Skeletal
Hormon tiroid merangsang peningkatan penggantian tulang, meningkatkan
resorbsi tulang dan hingga tingkat yang lebih kecil, pembentukan tulang.
Dengan demikian, hipertiroidisme dapat menimbulkan osteopenia yang
bermakna.3
i. Efek Neuromuskular

6
Walaupun hormon tiroid merangsang peningkatan sintesis dari banyak
protein struktural, pada hipertiroidisme terdapat peningkatan penggantian
protein dan kehilangan jaringan otot atau miopati. Terdapat juga suatu
peningkatan kecepatan kontraksi dan relaksasi otot, secara klinik diamati
adanya hiperfleksia pada hipertiroidisme. Hormon tiroid penting untuk
perkembangan dan fungsi normal susunan syaraf pusat dan hiperaktivitas
pada hipertiroidisme serta di dalam kehamilan.3
j. Efek pada Lipid dan Metabolisme Karbohidrat
Hipertiroidisme meningkatkan glukoneogenesis dan glikogenolisis hati
demikian pula absorbsi glukosa usus. Dengan demikian, hipertiroidisme
akan mengeksaserbasi diabetes melitus primer. Sintesis dan degradasi
kolesterol keduanya meningkat oleh hormon tiroid. Efek yang terakhir ini
sebagian besar disebabkan oleh suatu peningkatan dari reseptor low density
lipoprotein (LDL) hati, sehingga kadar kolesterol menurun dengan aktivitas
tiroid yang berlebihan. Lipolisis juga meningkat, melepaskan asam lemak
dan gliserol.3
k. Efek Endokrin
Hormon tiroid meningkatkan pergantian metabolik dari banyak hormon dan
obat-obatan farmakologi. Kecepatan produksi kortisol akan meningkat pada
pasien hipertiroid dengan fungsi adrenal normal sehingga mempertahankan
suatu kadar hormon sirkulasi yang normal.3

2.3 Krisis Tiroid


Krisis tiroid (Thyroid Storm) merupakan kegawatan di bidang endokrin yang
paling sering dijujmpai. Insiden krisis tiroid tercatat kurang dari 10% pada pasien
rawat inap, namun angka kematiannya dapat mencapai 20-30%. Krisis tiroid
merupakan kondisi dekompensata tiroksikosis. Tiroksikosis menyerang sekitar 1%
wanita dan hanya 0,1% pada pria.

Krisis tiroid harus dikenali dan ditangani berdasarkan manifestasi klinis


karena konfirmasi laboratoris dalam rentang waktu yang cukup cepat. Pasien

7
biasanya memperlihatkan keadaan hipermetabolik yang ditandai oleh demam
tinggi, takikardi, mual, muntah, agitasi, dan psikosis. Pada fase lanjut, pasien
dapat jatuh dalam keadaan stupor atau komatose yang disertai dengan hipotensi. 10
Awalnya, timbul hipertiroidisme yang merupakan kumpulan gejala akibat
peningkatan kadar hormon tiroid yang beredar dengan atau tanpa kelainan fungsi
kelenjar tiroid. Ketika jumlahnya menjadi sangat berlebihan, terjadi kumpulan
gejala yang lebih berat, yaitu tirotoksikosis. Krisis tiroid merupakan keadaan
dimana terjadi dekompensasi tubuh terhadap tirotoksikosis tersebut. Tipikalnya
terjadi pada pasien dengan tirotoksikosis yang tidak terobati atau tidak tuntas
terobati yang dicetuskan oleh tindakan operatif, infeksi, atau trauma.

2.3.1 Epidemiologi
Insiden tirotoksikosis meningkat sejalan dengan pertambahan usia.
Tirotoksikosis mempengaruhi sebanyak 1-2% pada wanita yang lebih tua.
Penyakit graves merupakan penyebab umum terjadinya tirotoksikosis pada anak-
anak. Dan dilaporkan mempengaruhi 0,2-0,4% populasi anak dan remaja. Sekitar
1-2% neonatus yang lahir dari ibu dengan penyakit graves menderita
tirotoksikosis.
Krisis tiroid bersifat akut, merupakan kegawatdaruratan dan mengancam
jiwa. Angka mortalitas pada dewasa sangat tinggi (90%) jika diagnosa dini tidak
ditegakkan atau pada pasien yang telambat terdiagnosa. Dengan kontrol
tirotoksikosis yang baik, dan pengelolaan krisis tiroid yang tepat, tingkat
mortalitas pada dewasa berkurang hingga 20%. Berikut ini penjelasan
epidemiologi berdasarkan jenis kelamin dan usia.
a. Jenis kelamin
Tirotoksikosis 3-5 kali lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki,
khususnya pada dewasa muda. Krisis tiroid berpengaruh terhadap sebagian
kecil persentase pasien tirotoksikosis. Insiden ini lebih tinggi pada wanita.
Namun tidak ada data spesifik mengenai insiden jenis kelamin tersebut.
b. Usia

8
Tirotoksikosis pada neonatal terjadi 1-2% dari neonatus yang lahir dari ibu
yang menderita graves disease. Bayi usia kurang dari 1 tahun hanya 1%
yang menderita tirotoksikosis. Lebih dari dua per tiga dari semua kasus
tirotoksikosis terjadi pada anak-anak berusia 10-15 tahun. Secara
keseluruhan tirotoksikosis umumnya terjadi pada dekade ke tiga dan ke
empat kehidupan. Karena pada kanak-kanak, tirotoksikosis lebih mungkin
terjadi pada remaja. Krisis tiroid lebih umum terjadi pada kelompok usia ini.
Meskipun krisis tiroid dapat terjadi di segala usia.

2.3.2 Patogenesis Krisis Tiroid


Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing hormone
(TRH) yang merangsang kelenjar pituitari anterior untuk menyekresikan thyroid-
stimulating hormone (TSH) dan hormon inilah yang memicu kelenjar tiroid
melepaskan hormon tiroid. Tepatnya, kelenjar ini menghasilkan prohormone
thyroxine (T4) yang mengalami deiodinasi terutama oleh hati dan ginjal menjadi
bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine (T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk:
1) bentuk yang bebas tidak terikat dan aktif secara biologik; dan 2) bentuk yang
terikat pada thyroid-binding globulin (TBG). Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak
terikat sangat berkorelasi dengan gambaran klinis pasien. Bentuk bebas ini
mengatur kadar hormon tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi darah yang
menyuplai kelenjar pituitari anterior.10
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon
hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan
banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari tirotoksikosis.
Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang semakin menguat
seiring meningkatnya pelepasan hormon tiroid (dengan/tanpa peningkatan
sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada
derajat tertentu, respon sel terhadap hormon ini sudah terlalu tinggi untuk
bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan kematian.12

9
Berikut ini adalah hipotesis atau teori patogenesis krisis tiroid yang pernah
dikemukakan berdasarkan Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga diantaranya sbb:
1. Perubahan mendadak kadar protein binding, misalnya setelah operasi dapat
menyebabkan kenaikan mendadak kadar hormon bebas. Peningkatan
dengan cepat kadar hormon tiroid juga dapat terjadi ketika kelenjar di
manipulasi selama operasi atau palsasi yang terlalu keras saat pemeriksaan
fisik.
2. Aktivasi reseptor adrenergik. Pada teori ini, saraf simpatis menginervasi
kelenjar tiroid dan ketekolamin menstimulasi sintesis hormon tiroid.
Peningkatan hormon tiroid kemudian meningkatkan densitas reseptor beta-
adrenergik, kemudian meningkatkan efek ketekolamin. Hipotesis ini
didukung oleh respon dramatis krisi tiroid terhadap beta blocker dan
terjadinya krisis tiroid setelah konsumsi obat-obatan seperti psuedoefedrin.
3. Adanya cathecolamine like substance yang unik pada tiroksikosis, efek
simpatomimetik langsung hormon tiroid sebagai kesamaan struktur antara
hormon tiroid dengan katekolamin.
4. Nayak et al. (2006) mendeskripsikan mekanisme hormon tiroid pada tingkat
nuklir. T4 dan T3 sirkulasi atau bebas masuk ke dalam sitoplasma sel. T4
dikonversi menjadi T3 oleh enzim 50-deiodinase. Konversi T4 menjadi T3
diselesaikan dengan deiodinisasi cincin terluar oleh molekul T4. Terdapat 3
protein deiodinase yaitu D1, D2, dan D3. Deiodinase tipe I (D1) dan
deiodinase tipe II (D2) menfasilitasi T4 menjadi T3. D1 sensitif terhadap
inhibiasi propylthiouracil (PTU), sedangkan D2 tidak sensitif. Aktivitas D1
dapat dijumpai pada liver, ginjal, tiroid, dan pituitary. D2 mRNA
diekspresikan pada otot polos vaskular, tiroid, jantung, otak, spinal cord.
Otot rangka, dan plasenta. Sedangkan D3 didapatkan pada sistem saraf
pusat, kulit, dan plasenta. Setelah melewati berbagai proses, T3 akan
melewati nukleus dan terikat dengan reseptor hormon tiroid atau elemen
yang responsif terhadap hormon tiroid untuk menginduksi gen dan
transkripsi.

2.3.3 Gambaran Klinis dan Kriteria Diagnosis

10
Gambaran klinis pada krisis tiroid dapat dikategorikan menjadi 4 disfungsi
sistem yang utama, yaitu:
1. Sistem termoregulator (suhu lebih dari 38,5oC, terkadang lebih dari 400C)
2. Sistem saraf pusat (agitasi, delirium, kejang,koma)
3. Sistem gastrointestinal-hepatik (diare, muntah, nyeri abdomen, ikterus)
4. Sistem kardiovaskular (takikardi, gagal jantung, aritmia, atrial fibrilasi,
henti jantung)
Kriteri diagnosis dapat dimulai dari anamnesis. Pada anamnesis biasanya
penderita akan mengeluh adanya kehilangan berat badan sebesar 15% dari berat
badan sebelumnya, nyeri dada, menstruasi yang tidak teratur pada wanita, sesak
nafas, mudah lelah,banyak berkeringat, gelisah dan emosi yang tidak stabil.10
Dapat juga menimbulkan keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah, nyeri
perut.12
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan demam dengan temperatur konsisten
melebihi 38,5°C. Pasien bahkan dapat mengalami hiperpireksia hingga melebihi
41°C dan keringat berlebih. Tanda-tanda kardiovaskular yang ditemukan antara
lain hipertensi dengan tekanan nadi yang melebar atau hipotensi pada fase
berikutnya dan disertai syok. Takikardi terjadi tidak bersesuaian dengan demam.
Tanda-tanda gagal jantung antara lain aritmia (paling banyak supraventrikular,
seperti fibrilasi atrium, tetapi takikardi ventrikular juga dapat terjadi). Sedangkan
tanda-tanda neurologik mencakup agitasi dan kebingungan, hiperrefleksia dan
tanda piramidal transien, tremor, kejang, dan koma. Tanda-tanda tirotoksikosis
mencakup tanda orbital dan goiter.12 Karena tingkat mortalitas krisis tiroid amat
tinggi, maka kecurigaan krisis saja cukup menjadi dasar mengadakan tindakan
agresif. Kecurigaan akan terjadi krisis apabila terdapat triad: 9
 Menghebatnya tanda tirotoksikosis
 Kesadaran menurun
 Hipertermia
Berdasarkan Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga krisis tiroid dibagi menjadi klasik dan non klasik. Krisis

11
tiroid non klasik dapat didiagnosis dengan menggunakan skor BW atau skor
Burch Wartofsky Point Score (BWPS) seperti dibawah ini:

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Krisis Tiroid

2.3.4 Gambaran Laboratorium


Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada
gambaran laboratoris. Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid, terapi
tidak boleh ditunda karena menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan laboratorium
atas tirotoksikosis. Pada pemeriksaan status tiroid, biasanya akan ditemukan
konsisten dengan keadaan hipertiroidisme dan bermanfaat hanya jika pasien

Sedangkan krisis tiroid klasik dapat didiagnosis jika dijumpai adanya goiter
(G) dan atau tanda orbita (O), faktor presipitan (P), ditambah suhu tubuh lebih
dari ≥39.50C dan denyut jantung takikardi ≥120x/menit. Seluruh komponen
tersebut dapat disingkat dengan formula G/O.P.39,5.120. Formula ini memberikan
hasil ≥50 dimana perhitungannya adalah sebaga berikut:
 Goiter dan atau tanda orbital (+) skornya 0
 P (presipitan) jika (+) memiliki skor 10
 S (suhu tubuh) jika ≥39.50C memiliki skor 25
 N (nadi/denyut jantung takikardi ≥120x/menit) memiliki skor 15

2.3.4 Laboraturium dan Pemeriksaan Penunjang


Temuan laboraturium pada krisis tiroid biasanya mencakup:
 T3 dan FT4 meningkat, T4 bebas. T3 resin uptake
 TSH rendah
 Peningkatan iodine uptake 24 jam
 Pemeriksaan darah lengkap cenderung menunjukkan leukositosis ringan
dengan pergeseran ke kiri
 Funsgi liver menunjukkan abnormalitas yang non-spesifik seperti peningkatan
SGOT, SGPT, LDH, kreatinin kinase, alkasi fosfatase, dan bilirubin serum.

12
 Pemeriksaan radiologis tidak diperlukan untuk membuat diagnosis krisis tiroid
namun diperlukan jika diduga terdapat sumber infeksi paru-paru sebagi faktor
pencetusnya.
 Pada pemeriksaan EKG sebagian besar menunjukkan hasil sinus takikardi atau
atrial fibrilasi.

2.3.5 Diagnosis Banding


 Hiperpireksia malignan
 Sepsis
 Infeksi sistem saraf pusat
 Obat-oabatan adrenergik
2.3.6 Penatalaksanaan
Pengobatan harus segera diberikan,jangan tunda pengobatan jika dicurigai
terjadinya krisis tiroid. Kalau mungkin dirawat di Intensive Care Unit untuk
mempermudah pemantauan tanda vital, untuk pemasangan monitoring invasive,
pemberian obat-obat inotropik jika diperlukan.12
Penatalaksanaan krisis tiroid9,13:
 Perawatan suportif
a Pemasangan selang nasogastrik sebagai jalan pemberian obat oral
b Koreksi gangguan cairan dan elektrolit
c Oksigen
d Status kardiorespirasi
e Kompres dingin
f Pemberian asetominofen atau parasetamol (hindari penggunaan aspirin,
karena aspirin akan menggeser T4 dari TBG sehingga meningkatkan kadar
FT4 serum. Klorpromasin (50-100mg i.m) selain dapat digunakan untuk
mengatasi agitasi juga karena efek inhibitor termoregulasi sentral
digunakan untuk terapi hiperpireksia)
g Fenorbarbital sebagai sedatif untuk merangsang metabolisme T4 melalui
sistem enzim mikrosomal hepatik.
h Multivitamin

13
 Terapi spesifik krisis tiroid dan terapi pada kasus presipitasi
a. Memblok sintesis hormone baru: PTU dosis besar (loading dose 400mg)
diikuti dosis pemeliharaan 100-200mg PTU tiap 4 jam. Alternatif lain
dengan methimazole 40mg sebagai dosis loading dengan dosis
pemeliharaan 10mg tiap 4 jam
b. PTU harus diberikan minimal 1 jam sebelum memberikan iodin untuk
memblok sintesa hormon melalui efek Wolft Chaikoff
c. Memblok keluarnya cikal bakal hormone dengan solusio lugol (6 tetes tiap
6-8 jam) atau SSKI ( Larutan Iodida jenuh, 5 tetes setiap 6 jam), diberikan
2 jam setelah pemberian PTU. Apabila ada, berikan endoyodin (NaI) IV,
kalau tidak solusio lugol/SSKI tidak memadai.
d. Pemberian propanolol 10-40 mg tiap 6 jam untuk menurunkan denyut
jantung, kontraksi miokard, tekanan darah, kebutuhan oksigen miokard
dan harus dievaluasi setelah 6 hari pemberian.
e. Pemberian hidrokortison dosis stress (100-200mg tiap 8 jam atau
deksametason 2mg tiap 6 jam atau metilprednisolon 25mg tiap 8 jam)
yang berguna untuk memblok konversi T4 menjadi T3.
 Mengobati factor pencetus (misalnya infeksi) dengan pemberian antibiotic bila
diperlukan.
 Respon pasien (klinis dan membaiknya kesadaran) umumnya terlihat dalam
24 jam, meskipun ada yang berlanjut hingga seminggu.
Tujuan dari terapi medis yang diberikan adalah untuk memblokade efek perifer,
inhibisis sintesis hormone, blokade pelepasan hormone, dan pencegahan konversi
T4 menjadi T3. Pemulihan keadaan klinis menjadi eutiroid dapat berlangsung
hingga 8 minggu. Beta bloker mengurangi hiperaktivitas simpatetik dan
mengurangi konversi perifer T4 menjadi T3. Guanetidin dan Reserpin juga dapat
digunakan untuk memblokade simpatetik jika adanya kontraindikasi atau toleransi
terhadap beta bloker. Iodide dan lithium bekerja memblokade pelepasan hormone
tiroid. Thionamid mencegah sintesis baru hormone tiroid.10

2.3.7 Komplikasi

14
Komplikasi dapat ditimbulkan dari tindakan bedah, yaitu antara lain
hipoparatiroidisme, kerusakan nervus laringeus rekurens, hipotiroidisme pada
tiroidektomi subtotal atau terapi RAI, gangguan visual atau diplopia akibat
oftalmopati berat, miksedema pretibial yang terlokalisir, gagal jantung dengan
curah jantung yang tinggi, pengurangan massa otot dan kelemahan otot
proksimal.10

2.3.8 Prognosis

Krisis tiroid dapat berakibat fatal jika tidak ditangani. Angka kematian
keseluruhan akibat krisis tiroid diperkirakan berkisar antara 10-20% tetapi
terdapat laporan penelitian yang menyebutkan hingga 75%, tergantung faktor
pencetus atau penyakit yang mendasari terjadinya krisis tiroid. Dengan diagnosis
yang dini dan penanganan yang adekuat, prognosis biasanya akan baik.10

2.3.9 Pencegahan

Pencegahan dilakukan dengan melakukan terapi tirotoksikosis yang ketat setelah


diagnosis ditegakkan. Operasi dilakukan pada pasien tirotoksik hanya setelah
dilakukan blokade hormon tiroid dan/atau beta-adrenergik. Krisis tiroid setelah
terapi RAI untuk hipertiroidisme terjadi akibat: 1) penghentian obat anti-tiroid
(biasanya dihentikan 5-7 hari sebelum pemberian RAI dan ditahan hingga 5-7 hari
setelahnya); 2) pelepasan sejumlah besar hormon tiroid dari folikel yang rusak;
dan 3) efek dari RAI itu sendiri. Karena kadar hormon tiroid seringkali lebih
tinggi sebelum terapi RAI daripada setelahnya, banyak para ahli endokrinologi
meyakini bahwa penghentian obat anti-tiroid merupakan penyebab utama krisis
tiroid. Satu pilihannya adalah menghentikan obat anti-tiroid (termasuk metimazol)
hanya 3 hari sebelum dilakukan terapi RAI dan memulai kembali obat dalam 3
hari setelahnya. Pemberian kembali obat anti-tiroid yang lebih dini setelah terapi
RAI dapat menurunkan efikasi terapi sehingga memerlukan dosis kedua. Perlu
pula dipertimbangkan pemeriksaan fungsi tiroid sebelum prosedur operatif
dilakukan pada pasien yang berisiko mengalami hipertiroidisme (contohnya,
pasien dengan sindroma McCune-Albright).12

15
BAB 3. KESIMPULAN

Krisis tiroid merupakan suatu keadaan tirotoksikosis yang secara


mendadak menjadi hebat dan disertai antara lain adanya panas badan, delirium,
takikardi, dehidrasi berat dan dapat dicetuskan oleh antara lain: infeksi dan
tindakan pembedahan. Diagnosis krisis tiroid ditegakkan berdasarkan adanya triad
yaitu menghebatnya tanda tirotoksikosis, kesadaran menurun, hipertermia.
Apabila terdapat triad, maka kita dapat meneruskan dengan menggunakan skor
indeks klinis krisis tiroid dari Burch-Wartosky. Skor menekankan 3 gejala pokok,
yaitu: hipertermia, takikardi, dan disfungsi susunan saraf.9
Prinsip pengelolaan krisis tiroid yakni mengendalikan tirotoksikosis dan
mengatasi komplikasi yang terjadi. Untuk demam dapat diberikan asetaminofen,
untuk tirotoksikosis dapat digunakan terapi kombinasi dengan dosis tinggi
misalnya propanolol 2-4mg/4jam secara IV atau 60-80mg/4jam secara oral/NGT,
diteruskan dengan pemberian PTU atau methimazole secara IV atau rectal,
pemberian laruton logul’s 10 tetes/8jam secara langsung IV, oral atau rectal,
pemberian glucocorticoid 100mg/8jam. Sedangkan untuk mengatasi
komplikasinya tergantung kondisi penderita dan gejala yang ada. Tindakan harus
secepatnya karena angka kematian pada penderita ini cukup besar.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Margaret G, Rosman NP, Hadddow JE. Thyroid strom in an 11-years-old boy


managed by propanolol. Pediatrics 1874;53:920-922.

2. Roizen M, Becker CE. Thyroid strom. The Western Journal of Medicine


1971;115:5-9.

3. Sudoyo AW. Buku ajar penyakit dalam jilid II edisi IV. Jakarta Pusat 2007.

4. Chew SC, Leslie D. Clinical endocrinology and diabetes. Churchill


Livingstone Elseiver 2006:8.

5. Zainurrashid Z, Abd Al Rahman HS. Hyperthyroidism in pregnancy. The


family physician 2005;13(3):2-4.

6. Sjamsuhidayat R, De jong W. Sistem endokrin. Jakarta EGC 2005:2:683-695.

7. Shahab A. Penyakit Graves (struma diffusa toksik) diagnosis dan


penatalaksanaannya. Bullletin PIKI4 : seri endokrinologi-metabolisme.
2002:9-18.

8. Harrison. Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam edisi 13. Jakarta EGC


2000;5:2144-2151.

9. Djokomoeljanto. R. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme


dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Edisi IV. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 2006.

17
10. Schraga ED. Hyperthyroidism , thyroid storm , and Graves disease. Available
at: http://emedicine.medscape.com/article/324556-print. (tanggal akses 16
Desember 2011).

11. Ferry. R. Thyroid Storm. Available at:


http://www.emedicinehealth.com/thyroid_storm/article_em.htm (tanggal akses
17 Desember 2011).

12. Misra M, Singhal A, Campbell D. Thyroid storm. Available at:


http://emedicine.medscape.com/article/394932-print. (tanggal akses 17
Desember 2011).

13. Subekti I, Suyono S. Krisis Tiroid. Panduan Tata Laksana Kegawatdaruratan


Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Edisi I. Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo bekerjasama dengan PAPDI.
Jakarta: November 2009.

14. Subekti I, Suyono S. Krisis Tiroid. Panduan Tata Laksana Kegawatdaruratan


Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Edisi I. Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo bekerjasama dengan PAPDI.
Jakarta: November 2009.

18

Anda mungkin juga menyukai