Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

SINDROM NEFROTIK

Oleh:
Zulfahmi Muslim
NIM 142011101064

Dokter Pembimbing:
dr. Atika Purnamasari, Sp.PD
FAKULTAS

KEDOKTERAN

UNIVERSITAS

JEMBER

2019REFERAT

SINDROM NEFROTIK

disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


SMF Ilmu Penyakit Dalam di RSD dr. Soebandi Jember

Oleh:
Zulfahmi Muslim
NIM 142011101064

Dokter Pembimbing:
dr. Atika Purnamasari, Sp.PD
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2019

DAFTAR ISI

BAB 1. PENDAHULUAN................................................................................................1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................2
2.1.......................................................................................................Anatomi
2
2.2.......................................................................................................Fisiologi
.........................................................................................................................4
2.3...........................................................................Definisi Sindrom Nefrotik
8
2.4........................................................................................................Etiologi
8
2.5..................................................................................................Patogenesis
9
2.6........................................................................................Manifestasi Klinis
11
2.7.....................................................................................................Diagnosis
12
2.8............................................................................................................Terapi
12
2.9...................................................................................................Komplikasi
14
2.10..................................................................................................Prognosis
15
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................17
1

BAB 1. PENDAHULUAN

Sindroma Nefrotik (SN) adalah kumpulan gejala klinis yang terdiri dari proteinuria
> 3,5 g/hari, hipoalbuminemia, edema sampai anasarka, hiperlipidemia, lipiduria
(Irwanadi dan Mardiana, 2015). Pasien dengan SN mengalami gangguan pada membran
basal glomerulus yang mengakibatkan timbulnya kebocoran protein plasma ke urin
(Behrman dkk., 2012). Umumnya fungsi ginjal pada penderita SN adalah normal, tetapi
pada sebagian kasus bisa berkembang menjadi gagal ginjal yang progresif (Lydia dan
Marbun, 2015)
Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang
berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN
sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu, di antaranya penyakit infeksi,
keganasan, obat - obatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit
metabolik, penyakit herediter - familial, toksin, dll.
Kasus SN yang paling banyak ditemukan adalah SN primer (idiopatik) (75%-
80%). Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus / 100.000 anak per tahun sedangkan pada
dewasa 1-2 kasus / 100.000 orang per tahun (Floege dan Amann, 2016). Pada anak-anak
(< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur
rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih
banyak daripada wanita. Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar
(74%) dijumpai pada usia 30-50 tahun. Rasio laki-laki ; perempuan= 2:1 (Gunawan,
2006).
BAB. 2 TINJAUAN PUSTAKA

Sistem kemih terdiri dari dua ginjal yang terletak pada dinding dasar abdomen, dua
ureter yang berjalan ke bawah pada dinding posterior abdomen dan masuk pelvis, satu
vesica urinaria yang terletak di dalam cavitas pelvis, dan satu urethra yang berjalan
melalui perineum.

2.1 Anatomi
Ginjal merupakan sepasang organ berbentuk seperti kacang dan terletak
retroperitoneal. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (± 1 cm) dibanding ginjal kiri
karena terdapat hepar yang mendesak ginjal sebelah kanan (Snell, 2012). Setiap ginjal
terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa, terdapat cortex renalis di
bagian luar, yang berwarna coklat gelap, dan medulla renalis di bagian dalam yang
berwarna coklat lebih terang dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk kerucut
disebut pyramides renalis, dan puncak kerucut yang menghadap kaliks terdiri dari
lubang- lubang kecil disebut papilla renalis (Price, 2006).

Gambar 2.1 Anatomi ginjal

Kedua ginjal mempunyai selubung sebagai berikut.


-Capsula fibrosa
-Capsula adiposa
-Fascia renalis
-Corpus adiposum pararenale

Gambar 2.2 Lapisan selubung ginjal

Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2 juta buah
pada tiap ginjal. Setiap nefron terdiri dari kapsula bowman, kapiler glomerulus, tubulus
kontortus proksimal, lengkung henle dan tubulus kontortus distal. Nefron dimulai dari
kapiler yang bersifat sebagai saringan disebut glomerulus. Darah melewati glomerulus
dan disaring sehingga terbentuk filtrat (urin encer) berjumlah kira-kira 170 liter per hari,
kemudian dialirkan melalui saluran yang disebut tubulus. Urin ini dialirkan keluar ke
saluran ureter, kandung kemih, kemudian ke luar melalui uretra (Price, 2006).

Gambar 2.3 Bagian-bagian nefron ginjal


Sinus renalis merupakan ruangan di dalam hilus renalis yang berisi pelebaran ke
atas dari ureter, disebut pelvis renalis. Struktur yang melalui hilus adalah arteri dan vena
renalis, pembuluh saraf dan pembuluh limfe. Arteri renalis dicabangkan dari aorta
abdominalis kira-kira setinggi vertebra lumbalis II. Arteri renalis masuk kedalam hilus
dan bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid selanjutnya
membentuk arteri arkuata kemudian membentuk arteriola interlobularis yang tersusun
paralel dalam korteks. Arteri interlobularis ini kemudian membentuk arteriola aferen
pada glomerulus (Price, 2006).

Gambar 2.4 Vaskularisasi ginjal

Glomeruli bersatu membentuk sistem portal kapiler yang mengelilingi tubulus dan
disebut kapiler peritubular. Darah yang mengalir melalui sistem portal ini akan dialirkan
ke vena selanjutnya menuju vena interlobularis, vena arkuarta, vena interlobaris, dan
vena renalis untuk akhirnya mencapai vena cava inferior (Price, 2006).

2.2 Fisiologi
Fungsi utama ginjal adalah menjaga keseimbangan internal (melieu interieur)
dengan jalan menjaga komposisi cairan ekstraseluler. Untuk melaksanakan hal itu,
sejumlah besar cairan difiltrasi di glomerulus dan kemudian direabsorpsi dan disekresi
di sepanjang nefron sehingga zat-zat yang berguna diserap kembali dan sisa-sisa
metabolisme dikeluarkan sebagai urin. Sedangkan air ditahan sesuaidengan kebutuhan
tubuh kita.

Fungsi ginjal secara keseluruhan dibagi dalam 2 golongan yaitu:


a. Fungsi ekskresi
- Ekskresi sisa metabolisme protein, sisa metabolisme protein yaitu ureum,
kalium, fosfat, sulfat anorganik dan asam urat dikeluarkan melalui ginjal.
- Bila tubuh kelebihan cairan maka terdapat rangsangan melalui arteri
karotis interna ke osmoreseptor di hipotalamus anterior kemudian diteruskan
ke kelenjar hipofisis posterior sehingga produksi hormon anti-diuretik
(ADH) dikurangi dan akibatnya produksi urin menjadi banyak, demikian
juga sebaliknya
- Menjaga keseimbangan asam basa, agar sel dapat berfungsi normal, perlu
dipertahankan pH plasma 7,35 untuk darah vena dan pH 7,45 untuk darah
arteri. Keseimbangan asam dan basa diatur oleh paru dan ginjal
b. Fungsi endokrin
- Partisipasi dalam eritopioesis. Ginjal menghasilkan enzim yang disebut
faktor eritropoietin yang mengakt ifkan eritropoietin. Eritropoietin berfungsi
menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah.
- Pengaturan tekanan darah. Modifikasi tonus vaskular oleh ginjal dapat
mengatur tekanan darah. Hal ini dilakuka n oleh sistem renin angiotensin
aldosteron yang dikeluarkan dari nefron.
- Keseimbangan kalsium dan fosfor.Ginjal memiliki peran untuk mengatur
proses metabolisme vitamin D menjadi metabolit yang aktif yaitu 1,25-
dihidrovitamin D3. Vitamin D aktif bersama hormon paratiroid dapat
meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfor dalam usus

Proses dasar di ginjal dalam pembentukan urin terdiri dari 3 proses yaitu filtrasi
glomerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus menurut Sherwood (2014).
- Filtrasi glomerulus
Proses ini merupakan langkah pertama dalam pembentukan urin. Ketika
darah mengalir ke glomerulus, plasma bebas protein tersaring melalui kapiler
glomerulus ke kapsul bowmann. Kapsul bowmann merupakan komponen
tubular nefron yang berfungsi untuk menyaring cairan dari kapiler glomerulus.
Rata-rata terdapat 125 ml fitrat atau setara dengan 180 liter filtrat glomerulus (
hasil filtrasi
) yang terbentuk secara kolektif dari setiap glomerulus tiap menit. H2O, nutrien,
elektrolit, zat sisa, dan sebagainya secara nonselektif masuk ke lumen tubulus
dalam jumlah yang besar selama filtrasi. (Sherwood, 2014)

Gambar 2.5 Proses-proses dasar di ginjal

- Reabsorpsi tubulus
Reabsorpsi tubulus adalah proses perpindahan selektif bahan-bahan dari
bagian dalam tubulus ke dalam darah.
Tabel 2.1 Bahan yang tersaring oleh ginjal
Bahan Bahan reabsorpsi Bahan eksresi
yang yang
terfiltrasi terfiltrasi
Air 99 1
Natrium 99,5 0,5
Glukosa 100 0
Urea 50 50
Fenol 0 100

Hasil filtrasi dari glomerulus disaring di tubulus dan bahan-bahan yang


bermanfaat dan diperlukan bagi tubuh dikembalikan melalui plasma kapiler
peritubulus kemudian ke jantung untuk diresirkulasi sekitar 178,5 liter. Bahan-
bahan yang tidak bermanfaat mengalir ke pelvis ginjal dan dikeluarkan sebagai
urin.
a. Reabsorpsi natrium (Na+)
Na+ direabsorpsi hampir di sepanjang tubulus, tetapi dengan derajat
berbeda-beda di bagian yang berbeda. Sejumlah 99,5% Na+ secara normal
direabsorpsi, sekitar 67% direabsorpsi di tubulus proksimal, 25% di ansa
Henle, dan 8% di tubulus distal dan kolingentes. Na+ memiliki peran penting
berbeda-beda di tiap masing-masing segmen, yaitu:
1. Reabsorpsi aktif Na+ di tubulus proksimal berperan penting dalam
reabsorpsi glukosa, asam amino, H2O, Cl-, dan urea,
2. Reabsorpsi Na+ di pars ascendens ansa Henle, bersama dengan
reabsorpsi Cl-, berperan sangat penting dalam kemampuan ginjal
menghasilkan urin dengan konsentrasi dan volume bervariasi
bergantung pada kebutuhan tubuh untuk menghemat atau
mengeluarkan H2O,
3. Reabsorpsi Na+ di tubulus distal dan kolingentes bervariasi dan
berada di bawah kontrol hormon. Jika Na+ terlalu banyak maka hanya
sedikit dari Na+ yang direabsorpsi dan keluar melalui urin. Namun,
jika terjadi kekurangan Na+ maka sebagian besar atau seluruh Na+
direabsorpsi dan menghemat Na+ tubuh yang seharusnya keluar
melalui urin
b.Reabsorpsi glukosa
Glukosa merupakan molekul organik yang penting bagi nutrisi tubuh.
Glukosa secara normal direabsorpsi kembali ke darah oleh mekanisme yang
bergantung energi dan Na+ di tubulus proksimal sehingga glukosa tidak akan
diekskresikan di urin.
c. Reabsorpsi klorida (Cl-)
Ion klorida di reabsorpsi secara pasif dan umumnya mengalir di antara
sel tubulus. Jumlah Cl- yang direabsorpsi ditentukan oleh laju reabsorpsi
aktif Na+ dan tidak dikontrol langsung oleh ginjal.
d.Reabsorpsi H2O
Air (H2O) direabsorpsi secara pasif di seluruh tubulus karena H 2O secara
osmotis mengikuti Na+ yang direabsorpsi secara aktif. Dari H2O yang
difiltrasi, 65% (117 liter sehari) direabsorpsi secara pasif berapapun
jumlahnya pada akhir tubulus proksimal, 15% di ansa Henle, dan sisanya
20% direabsorpsi dalam jumlah bervariasi di tubulus distal.
e. Reabsorpsi urea.
Urea adalah produk sisa dari pemecahan protein. Reaborpsi urea terjadi
secara pasif seperti Cl- dan H2O. Konsentrasi urea sewaktu difiltrasi di
glomerulus identik dengan konsentrasinya di plasma yang masuk ke kapiler
peritubulus. Di akhir tubulus proksimal, 65% dari filtrat semula telah
direabsorpsi sehingga terjadi pemekatan urea yang ada di dalam filtrat. Hal
tersebut menyebabkan gradien konsentrasi yang mendorong reabsorpsi pasif
urea sebanyak 50% dari filtrat.
- Sekresi tubulus
Sekresi tubulus adalah pemindahan selektif bahan-bahan dari kapiler
peritubulus ke dalam lumen tubulus. Hanya sekitar 20% dari plasma yang
mengalir melalui kapiler glomerulus difiltrasi ke dalam kapsul Bowmann; sisa
80% mengalir melalui arteriol eferen ke dalam kapiler peritubulus. Bahan-bahan
penting yang disekresikan, yaitu
a. Ion hidrogen (H+)
Sekresi H+ ginjal sangat penting dalam mengatur keseimbangan asam-
basa di tubuh. Ion H+ yang disekresikan ke dalam cairan tubulus bergantung
pada keasaman cairan tubuh. Ketika cairan tubuh terlalu asam maka sekresi
H+ meningkat, namun bila sekresi H+ berkurang jika konsentrasi H+ di cairan
tubuh terlalu rendah.
b.Ion Kalium (K+)
Ion K+ secara aktif direabsorpsi di tubulus proksimal secara konstan dan
tanpa dikendalikan, sedangkan di tubulus distal disekresikan secara
bervariasi dan berada di bawah kontrol. Sekresi ion K+ bersamaan dengan
reabsorpsi Na+ oleh pompa Na+-K+ basolateral dependen energi.
Hormon aldosteron merupakan salah satu faktor yang dapat mengubah
laju sekresi K+ dengan merangsang sekresi K+ di sel tubulus yang sekaligus
meningkatkan reabsorpsi Na+. Jika konsentrasi K+ plasma meningkat maka
akan secara langsung mendorong sekresi dan eksreksi berlebih K+ di urin.
Sebaliknya, jika konsentrasi K+ plasma menurun maka sekresi aldosteron
dan sekresi K+ ginjal menurun.

2.3 Definisi Sindrom Nefrotik


Sindroma Nefrotik (SN) adalah kumpulan gejala klinis yang terdiri dari proteinuria
> 3,5 g/hari, hipoalbuminemia, edema sampai anasarka, hiperlipidemia, lipiduria
(Irwanadi dan Mardiana, 2015). Tidak semua pasien dengan proteinuria diatas 3,5 g/hari
akan muncul gejala yang lengkap, namun beberapa diantaranya memiliki kadar albumin
yang normal dan tanpa edema. Umumnya fungsi ginjal pada penderita SN adalah
normal, tetapi pada sebagian kasus dapet berkembang menjadi gagal ginjal progresif.

2.4 Etiologi
Sindrom nefrotik disebabkan oleh glomerulonephritis primer dan sekunder akibat
infeksi, keganasan, penyakit jaringan ikat (connective tissue disease), obat atau toksin,
dan akibat penyakit sistemik. Berikut etiologi sindrom nefrotik menurut Irwanadi dan
Mardiana (2015).
Tabel 2.2 Etiologi Sindrom Nefrotik
1 Penyakit glomerular primer a. Minimal Change Disease (pada anak 70%, orang
dewasa hanya 20%)
b. Membranous nephropathy
c. Focal and Segmental Glomerulosclerosis
2 SN sekunder a. Penyakit sistemik:
- SLE
- Amyloidosis
- DM
- Henoch Schonlein Purpura
- Sindrom TAFRO
b. Obat dan toksin
- Garam emas
- Phenytoin
- Penicillamine
- Lithium
- Kaptopril
- Heroin
- GAINS
- Serum sickness
- Interferon
- Sengatan serangga
c. Keganasan
- Karsinoma
- Limfoma
- Leukemia
d. Infeksi
- Malaria
- Sifilis
- Poststreptococcal
- Skistosomiasis
- Hepatitis B
- AIDS
e. Preeklamsia dan Eklamsia
- Vaskuler
- Hipertensi maligna
- Stenosis arteri renalis
- Genetik: Sindroma Alport

2.5 Patogenesis
- Proteinuria
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan
ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila
protein yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan non-
selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti
immunoglobulin. Pada SN, ditemukan proteinuria selektif. Ada tiga jenis
proteinuria lain yaitu glomerular, tubular dan overflow. Kehilangan protein pada
SN termasuk ke dalam proteinuria glomerular. Proteinuria glomerular
disebabkan oleh meningkatnya filtrasi makromolekul pada dinding kapiler
glomerulus. Hal tersebut sering diakibatkan oleh kelainan pada podosit
glomerular (retraksi dari
foot process dan/atau reorganisasi dari slit diaphragm . Podosit merupakan
lapisan barrier terluar dari sistem filtrasi glomerulus. Pada kondisi patologis,
podosit mengalami berbagai perubahan bentuk struktural salah satunya seperti
foot process effacement yang sering dijumpai pada SN dan penyakit glomerular
lainnya yang disertai proteinuria. Pada SN, mekanisme penghalang untuk
mencegah kebocoran protein juga terganggu (Lydia dan Marbun, 2014).
- Hipoalbuminuria
Pada SN, hipoalbuminuria disebabkan oleh proteinuria masif dengan
akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan
onkotik plasma, hati berusaha meningkatkan sintesis albumin namun
peningkatan ini tidak berhasil mengkompensasi hipoalbuminuria.
Hipoalbuminuria dapat juga terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan
katabolisme albumin oleh tubulus proksimal (Lydia dan Marbun, 2014).
- Edema
Edema pada SN dapat dikaitkan dengan teori edema underfill dan
overfill. Teori underfill merupakan faktor terjadinya edema pada SN.
Hipoalbuminuria menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga
cairan bergeser dari intravascular ke jaringan interstisium sehingga akhirnya
terjadi edema dan hipovolemia. Ginjal melakukan kompensasi dengan
merangsang sistem Renin- angiotensin (RAA) sehingga terjadi retensi natrium
dan air di tubulus distal. Teori overfill menjelaskan bahwa retensi matrium
adalah defek utama renal. Terjadi defek primer pada kemampuan nefron distal
untuk mengekskresikan natrium yang sehingga terjadi peningkatan volume
plasma meningkat, penekanan RAA dan vasopressin, dan kecenderungan untuk
terjadinya hipertensi (Lydia dan Marbun, 2014).
Gambar 2.5 Mekanisme edema pada Sindrom Nefrotik

- Hiperlipidemia dan Lipiduria


Hiperlipidemia terjadi oleh karena beberapa mekanisme yang belum
jelas, tetapi diduga karena peningkatan produksi lipoprotein oleh hati pemegang
peran utama. Sel-sel hati Hati meningkatkan sintesis LDL, VLDL, dan
lipoprotein karena adanya hipoalbuminuria. Lipiduria dimanifestasikan oleh
adanya akumulasi refraktil lipid dalam debris seluler dan cast (oval fat bodies
dan fatty cast) (Irwanadi dan Mardiana, 2015).
- Hiperkoagulabilitas
Hiperkoagulabilitas disebabkan oleh multifaktorial, seperti peningkatan
faktor pembekuan (terutama faktor VIII), peningkatan sintesis fibrinogen oleh
hepar, rendahnya antitrombin III karena hilang melalui urin, perubahan kadar
dan aktifitas protein S dan C, gangguan fibrinolisis, serta peningkatan agregasi
platelet (Irwanadi dan Mardiana, 2015).

2.6 Manifestasi Kinis


Tanda dari SN adalah edema yang muncul di daerah periorbita, konjungtiva,
dinding perut, sendi lutut, efusi pleura, ascites. Selain itu juga hilangnya massa otot
rangka, kuku terdapat tanda pita-pita putih melintang (Muerchke’s Band) akibat
hipoalbumin, dan hipertensi. Gejala dari SN adalah urin berbuih (proteinuria), kaki
berat, bengkak, dingin dan tidak berasa, penderita merasa lemah dan mudah lelah,
anoreksia dan diare (Irwanadi dan Mardiana, 2015).

2.7 Diagnosis
a. Anamnesis : bengkak pada kaki dan periorbital, badan lemah dan mudah
lelah, anoreksia
b. Pemeriksaan fisik : edema (sampai anasarka)
c. Laboratorium : proteinuria ++++ (dengan
dipstick) atau > 3,5 gr/hr, hipoalbuminemia,
hiperlipidemia, lipiduria, hiperkoagulabilitas
d. Pemeriksaan penunjang : urinalisis, pemeriksaan faal hati, biopsi ginjal
Pada pemeriksaan darah, hasil BUN dan kreatinin mungkin tidak naik. Jika BUN
dan kreatinin naik maka pasien mempunyai penyakit gagal ginjal dan prognosisnya
buruk (Mansjoer A., dkk., 2001). Diagnosis penyebab SN bisa dimulai dengan mencari
kemungkinan penyebab SN sekunder (DM, SLE, dll) dan biopsi ginjal pada penderita
SN dewasa (Irwanadi dan Mardiana, 2015).

2.8 Terapi
Terapi pada SN terdiri dari terapi umum dan terapi spesifik (Irwanadi dan
Mardiana, 2015).
- Terapi umum
1. Pengobatan untuk edema
a. Diberikan diuretik loop (Furosemide) oral, bila belum ada
respons dosis ditingkatkan sampai terjadi diuresis;
b. Kombinasi dengan hidroklorotiasid oral;
c. Furosemid IV bila perlu disertai dengan infus albumin;
d. Ultrafiltrasi mekanik
e. Pembatasan diet garam 1-2 g/hr dan pembatasan cairan.
f. Tirah baring
g. Pengukuran berat badan (BB) setiap hari untuk evaluasi
edema dan keseimbangan cairan.
2. Pengobatan untuk proteinuria
a. ACE inhibitor; cara kerjanya menghambat terjadinya vaskontriksi
pada arteriol eferen.
b. Angiotensin II Receptor Antagonis (ARB); mempunyai efektivitas
yang sama dengan Ace-Inh namun tidak memiliki efek samping
batuk.
3. Koreksi hipoproteinemia
Pada penderita SN diberikan diet tingi kalori/karbohidrat dan cukup
protein (0,8-1 mg/kgBB/hari).
4. Terapi hiperlipidemia
Dapat digunakan golongan HMG-Co A reductase inhibitor (Statin).
5. Hiperkoagulabilitas
Pada penderita SN bila sudah terjadi trombosis atau emboli paru, maka
perlu dipertimbangkan penggunaan antikoagulan jangka panjang seperti
warfarin.
6. Pemberian antibiotik untuk pengobatan infeksi.
7. Pengobatan hipertensi
Bila didapatkan hipertensi, bisa diberikan ACE inhibitor, ARB, Non-
dihydropyridinca Channel Blocker (CCB). Pemberian diuretika dan
pembatasan diet garam pun ikut berperan dalam pengelolaan hipertensi.
- Terapi spesifik
Patogenesis sebagian besar penyakit glomerular dikaitkan dengan
gangguan imun, dengan demikian terapi spesifiknya adalah pemberian
imunosupresif. Untuk penderita SN dewasa dianjurkan untuk melakukan biopsi
ginjal sebelum memulai terapi spesifik. Penggunaan, kombinasi obat, dosis, dan
lama pemberian imunosupresif bervariasi, tergantung pada diagnosis
histologinya. Obat-obat yang lebih baru adalah FK 506 atau Takrolimus, dan
Mycophenolate Mofetil (MMF).
1. Steroid
Prednisolon 1 mg/kgBB/hr atau 60 mg/hr dapat diberikan antara 4-12
minggu, selanjutnya diturunkan secara bertahap dalam 2-3 bulan. Steroid
memberi respons yang baik untuk minimal change, walaupun pada orang
dewasa responsnya lebih lambat dibandingkan pada anak.
2. Cyclophospamide
Untuk penderita yang mengalami relaps setelah steroid dihentikan atau
mengalami relaps > 3 kali dalam setahun bisa diberikan
cyclophosphamide 2mg/kgBU/hr selama 8-12 minggu. Pada penggunaan
obat ini perlu diwaspadai efek samping berupa infertilitas, cystitis,
alopecia, infeksi malignansi.
3. Chlorambucil
Dosis 0,1-0,2/kgUB/hr selama 8-12 minggu dengan indikasi yang sama
dengan penggunaan obat cyclophosphamide.
4. Cyclosponne A (CyA)
Diberikan pada penderita yang mengalami relaps setelah pemberian
cyclophosphamide dengan dosis awal 4-5 mg/kgBD/hr dan dosis
selanjutnya disesuaikan dengan kadar CyA dalam darah sampai 1 tahun
kemudian dosisnya diturunkan perlahan. Obat CyA memiliki efek
nefrotoksik sehingga perlu memonitor faal ginjal.
5. Azathioprine
Dosis 2-2,5 gr/kgBB/hr .

2.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul pada umumnya (Lydia dan Marbun, 2014):
- Keseimbangan nitrogen negatif
Proteinuria masif akan menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi
negatif, secara klinis diukur dengan menggunakan kadar albumin plasma.
Turnover albumin meningkat bukan hanya sebagai respon terhadap kehilangan
protein dalam urin namun juga akibat katabolisme protein terfiltrasi di tubulus.
Selain itu, diet rendah protein akan menurunkan kecepatan sintesis albumin, dan
dalam jangka panjang akan meningkatkan risiko memburuknya keseimbangan
nitrogen negatif.
- Hiperkoagulasi
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan
koagulasi intravaskular. Kadar berbagai protein dalam kaskade koagulasi
terganggu pada SN dan agregrasi platelet juga meningkat. Selain itu terjadi
peningkatan fibrinogen dan penurunan fibrinolysis. Gangguan koagulasi tersebut
disebabkan oleh peningkatan sintesis protein oleh hati dan kehilangan protein
melalui urin. Sebesar 10-40% penderita SN mengalami thrombosis arteri dan
vena dalam karena disebabkan oleh perubahan tingkat dan aktivitas faktor
koagulasi intrinsik dan ekstrinsik.
- Hiperlipidemia dan lipiduria
Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN.
Hiperlipidemia disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik plasma yang
secara langsung menstimulasi transkripsi gen apoprotein B di hepar. Kondisi
tersebut bersifat reversibel seiring dengan resolusi SN yang terjadi baik secara
spontan maupun diinduksi obat. Banyak pasien yang menderita SN selama lebih
dari 5-10 tahun akan memiliki risiko cardiovascular lain termasuk hipertensi dan
uremia.
Hiperlipidemia dapat ditemukan pada penderita SN dengan kadar
albumin yang mendekati normal dan sebaliknya pada pasien dengan
hipoalbumin kadar kolesterolnya dapat normal.
- Metabolisme kalsium dan tulang
Vitamin D adalah unsur penting dalam metabolisme kalsium dan tulang.
Vitamin D yang terikat protein (cholecalciferol binding protein) akan
diekskresikan melalui urin sehingga menyebabkan penurunan kadar plasma.
Hipokalsemia sering ditemukan pada SN karena berkurangnya kalsium yang
terikat albumin akibat hipoalbuminemia.
2.10 Prognosis
Terdapat prognosis yang baik apabila pasien menerima perawatan yang tepat.
Hasil bergantung pada karakteristik pasien, usia, penyakit yang mendasari, dan respons
terhadap pengobatan. Anak dengan SN memiliki respon yang baik terhadap obat steroid
sehingga prognosisnya baik dan jarang menyebabkan gagal ginjal kronis. Bila SN ini
tidak diobati, prognosisnya tidak baik dan biasanya menyebabkan gagal ginjal akut
(Smith, 2016).
DAFTAR PUSTAKA

Behrman,dkk. 2012. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Jakarta:EGC.

Floege, J dan Amann, K. 2016. Primary Glomerulonephritis. The Lancet. 387 (10032):
2036-2048.

Gunawan, C A. 2006. Patogenesisi Dan Penatalaksanaan Sindrom Nefrotik.


http://repository.ui.ac.id. [Diakses pada tanggal 3 Juni 2018].

Irwanadi C dan Mardiana N. Sindroma Glomerular. Dalam: Askandar Tjokropawiro dkk


editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK Unair Edisi II. Surabaya: Airlangga
University Press; 2015. Hal 475-478.

Lydia A dan Marbun M B. Sindrom Nefrotik. Dalam: Sudoyo Aru, Alwi Idrus dkk
editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi VI. Jakarta: Internal
Publishing; 2014. Hal 2080-2087.

Mansjoer A., dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.

Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.

Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem edisi 8. Jakarta: EGC; 2014.

Snell, R. S. 2012. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Dialih bahasakan oleh Sugarto L..
Jakarta:EGC.

Smith, Y. 2016. Nephrotic Syndrome Epidemiology. https://www.news-


medical.net/health/Nephrotic-Syndrome-Epidemiology.aspx. [Diakses tanggal 3
Juni 2018].

Anda mungkin juga menyukai