Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PRAKTIKUM

BIOFISIKA
PERAMBATAN BUNYI MELALUI TULANG TENGKORAK

Oleh:

Kelompok 3

Fitri Nur Aini 16312241036

Gandi Sudewa 16312241044

Lutfiatis Sariroh 16312244019

Hestiana 16312244020

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNVIVERSITAS NEGERI YOGYAKRATA

2019
A. JUDUL
Perambatan Bunyi Melalui Tulang Tengkorak
B. TUJUAN
1. Menerangkan mekanisme perambatan bunyi melalui tulang tengkorak dengan
menggunakan garpu tala.
2. Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perambatan bunyi melalui tulang
tengkorak dengan menggunakan garpu tala.
C. KAJIAN PUSTAKA
1. Struktur Telinga
Telinga manusia merupakan organ pendengaran yang menangkap dan
mengubah bunyi berupa energi mekanis menjadi energi elektris secara efisien dan
diteruskan ke otak untuk disadari serta dimengerti, sebagai sistem organ pendengaran
(Nugroho, 2009). Menurut Reece et al. (2014) menyatakan bahwa telinga dibagi dalam
3 bagian yaitu, telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.

Gambar 1. Struktur Telinga


Sumber: Reece et al (2014:1111)

a. The outer ear consists of the external pinna and the auditory canal, which collect
sound waves and channel them to the tympanic membrane (eardrum), a thin tissue
that separates the outer ear from the middle ear;

b. In the middle ear, three small bones—the malleus (hammer), incus (anvil), and stapes
(stirrup)—transmit vibrations to the oval window, which is a membrane beneath the
stapes. Themiddle ear also opens into the Eustachian tube, a passage that connects
to the pharynx and equalizes pressure between the middle ear and the atmosphere;

c. The inner ear consists of fluid-filled chambers, including the semicircular canals,
which function in equilibrium, and the coiled cochlea (from the Latin meaning
“snail”), a bony chamber that is involved in hearing.

(Reece et al, 2014:1111).

Selanjutnya menurut Gabriel (1996:83), telinga manusia (daun telinga/telinga


bagian luar) hanya bisa menangkap suara sebesar 6-8 dB, sedangkan telinga gajah hanya
berfungsi sebagai pelepas panas. Pada kanalis telinga tersebut terdapat malam (wax)
yang berfungsi sebagai peningkatan kepekaan terhadap frekuensi suara 3000-4000 Hz,
panjang kanalis 2,5 cm (λ/4 = 2,5 cm), λ = 10 cm.. Suara yang masuk ke dalam telinga
99,9% mengalami refleksi dan hanya 0,1% saja yang ditransmisikan/diteruskan. Pada
frekuensi kurang dari 400 Hz membran timpani bersifat “per” sedangkan pada frekuensi
4000 Hz membran timpani akan menegang. Telinga bagian tengah ini memegang
peranan proteksi. Hal ini dimungkinkan oleh karena adanya tuba eustachii yang
mengatur tekanan di dalam telinga bagian tengah, di mana tuba eustachii mempunyai
hubungan langsung dengan mulut. Pada beberapa penyebab sehingga terjadi perbedaan
tekanan antara telinga bagian tengah dan dunia luar akan mengakibatkan penurunan
sensitivitas tekanan (misalnya pada penderita influensa). Membran timpani tebalnya 0,1
mm, luasnya 65 mm2, mengalami vibrasi dan diteruskan ke telinga bagian tengah yaitu
tulang telinga. Sarjana Van Bekesey melakukan studi tentang vibrasi membran timpani
pada telinga kadaver yang mati. Kemudian melalui teknik fisika yang modern (mors
bauer effect) diperoleh secara nyata getaran dari membran timpani yaitu nilai ambang
pendengaran pada 3000 Hz ≈ 10-9 cm. Nilai ambang pendengaran terendah yang dapat
didengar adalah ̴ 20 Hz serta pada 160 dB membran timpani mengalami ruptur/pecah.

2. Proses Mendengar
Gambar 2. Skema Pendengaran
Sumber: Nugroho, 2009

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea (Liston,
1997). Proses mendengar melalui tiga tahapan yaitu tahap pemindahan energi fisik
berupa stimulus bunyi ke organ pendengaran, tahap konversi atau transduksi yaitu
pengubahan energi fisik stimulasi tersebut ke organ penerima tahap pengantaran impuls
saraf ke kortek pendengaran. (Ballenger, 1997).

Sumber bunyi yang ditangkap aurikula dan akan dilanjutkan ke saluran meatus
akustikus eksternus kemudian terjadi getaran pada membran timpani, membran timpani
ini yang memiliki hubungan dengan tulang pendengaran akan menggerakkan rangkaian
tulang pendengaran yang terdiri dari maleus, inkus dan stapes yang menempel pada
foramen ovale. Gerakan stapes pada foramen ovale akan menggerakkan cairan yang ada
dalam organ koklea, akibatnya terjadi potensial listrik mengakibatkan terjadinya
perubahan energi mekanik menjadi energi listrik yang diteruskan oleh saraf auditori ke
batang otak (di sinilah batas sistem organ pendengaran perifer dan sentral) kemudian
energi listrik dilanjutkan ke kortek terletak pada bagian girus temporalis superior
(Nugroho, 2009).

3. Gangguan Pendengaran
Ada 3 macam gangguan pendengaran yaitu gangguan pendengaran karena
konduksi (tuli konduksi), gangguan pendengaran sensor neural, gangguan pendengaran
campuran.
a. Gangguan pendengaran konduksi,
Pada tuli konduksi, vibrasi suara tidak dapat mencapai telinga bagian tengah.
Tuli semacam ini sifatnya hanya sementara oleh karena adanya
malam/wax/serumen atau adanya cairan di dalam telinga tengah. Apabila tuli
konduksi tidak pulih kembali dapat menggunakan Hearing aid (alat pembantu
pendengaran). Pada gangguan pendengaran jenis ini, transmisi gelombang suara
tidak dapat mencapai telinga dalam secara efektif. Ini disebabkan karena beberapa
gangguan atau lesi pada kanal telinga luar, rantai tulang pendengaran, ruang telinga
tengah, fenestra ovalis, fenestra rotunda, dan tuba auditiva. Pada bentuk yang
murni (tanpa komplikasi) biasanya tidak ada kerusakan pada telinga dalam,
maupun jalur persyarafan pendengaran nervus vestibulokoklearis (N.VIII)
(Lalwani, 2008). Gejala yang ditemui pada gangguan pendengaran jenis ini adalah
seperti berikut:
1) Ada riwayat keluarnya carian dari telinga atau riwayat infeksi telinga
sebelumnya.
2) Perasaan seperti ada cairan dalam telinga dan seolah-olah bergerak dengan
perubahan posisi kepala.
3) Dapat disertai tinitus (biasanya suara nada rendah atau mendengung).
4) Bila kedua telinga terkena, biasanya penderita berbicara dengan suara lembut
(soft voice) khususnya pada penderita otosklerosis.
5) Kadang-kadang penderita mendengar lebih jelas pada suasana ramai.

Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi, dijumpai ada sekret dalam kanal telinga
luar, perforasi gendang telinga, ataupun keluarnya cairan dari telinga tengah. Kanal
telinga luar atau selaput gendang telinga tampak normal pada otosklerosis. Pada
otosklerosis terdapat gangguan pada rantai tulang pendengaran (Lalwani, 2008).

b. Gangguan Pendengaran Jenis Sensorineural


Gangguan pendengaran jenis ini umumnya irreversibel. Gejala yang ditemui
pada gangguan pendengaran jenis ini adalah seperti berikut:
1) Bila gangguan pendengaran bilateral dan sudah diderita lama, suara
percakapan penderita biasanya lebih keras dan memberi kesan seperti suasana
yang tegang dibanding orang normal. Perbedaan ini lebih jelas bila
dibandingkan dengan suara yang lembut dari penderita gangguan
pendengaran jenis hantaran, khususnya otosklerosis.
2) Penderita lebih sukar mengartikan atau mendengar suara atau percakapan
dalam suasana gaduh dibanding suasana sunyi.
3) Terdapat riwayat trauma kepala, trauma akustik, riwayat pemakaian obat-obat
ototoksik, ataupun penyakit sistemik sebelumnya (Soetirto, 2001).

Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi, kanal telinga luar maupun selaput gendang
telinga tampak normal. Pada tes fungsi pendengaran, yaitu tes bisik, dijumpai
penderita tidak dapat mendengar percakapan bisik pada jarak lima meter dan sukar
mendengar kata-kata yang mengundang nada tinggi (huruf konsonan) (Soetirto,
2001). Pada tes garputala Rinne positif, hantaran udara lebih baik dari pada
hantaran tulang. Tes Weber ada lateralisasi ke arah telinga sehat. Tes Schwabach
ada pemendekan hantaran tulang (Soetirto, 2001).
c. Gangguan Pendengaran Jenis Campuran
Gangguan jenis ini merupakan kombinasi dari gangguan pendengaran jenis
konduktif dan gangguan pendengaran jenis sensorineural. Mula-mula gangguan
pendengaran jenis ini adalah jenis hantaran (misalnya otosklerosis), kemudian
berkembang lebih lanjut menjadi gangguan sensorineural. Dapat pula sebaliknya,
mula-mula gangguan pendengaran jenis sensorineural, lalu kemudian disertai
dengan gangguan hantaran (misalnya presbikusis), kemudian terkena infeksi otitis
media. Kedua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama. Misalnya trauma
kepala yang berat sekaligus mengenai telinga tengah dan telinga dalam (Liston,
1997).
Gejala yang timbul juga merupakan kombinasi dari kedua komponen gejala
gangguan pendengaran jenis hantaran dan sensorineural. Pada pemeriksaan fisik
atau otoskopi tanda-tanda yang dijumpai sama seperti pada gangguan pendengaran
jenis sensorineural. Pada tes bisik dijumpai penderita tidak dapat mendengar suara
bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata baik yang mengandung
nada rendah maupun nada tinggi. Tes garpu tala Rinne negatif. Weber lateralisasi
ke arah yang sehat Schwabach memendek (Bhargava, 2002).
4. Tes Pendengaran
Menurut Gabriel (1996:85-87), untuk mengetahui tuli konduksi atau tuli syaraf dapat
dilakukan tes pendengaran dengan mempergunakan:
a. Tes suara berbisik,
Telinga normal dapat mendengar suara berbisik dengan tone/nada rendah.
Misalnya suara konsonan, dan paralel: b, p, t, m, n pada jarak 5-10 m. Suara
berbisik dengan nada tinggi misalnya suara desis/sibiland s, z, ch, sh, shel pada
jarak 20 m.
b. Tes garpu tala,
Untuk mengetahui secara pasti apakah penderita tuli konduksi atau persepsi,
dapat mempergunakan garpu tala. Frekuensi garpu tala yang dipakai C128, C1024,
C2048. Ada tiga macam tes yang mempergunakan garpu tala yakni: tes Weber, tes
Rinne, dan tes Schwabach.
1) Tes Webber
Garputala C128, digetarkan kemudian diletakkan pada vertex dahi/puncak
dahi verteks. Pada penderita tuli
konduktif (disebabkan wax atau otitis
media) akan terdengar terang/baik pada
telinga yang sakit. Misalnya telinga
kanan yang terdengar baik/terang
disebut Weber lateralisasi ke kanan.
Pada penderita tuli persepsi atau saraf,
getaran garpu tala terdengar terang pada
telinga normal. Gambar 3. Ilustrasi
Tes Weber
Sumber: Gabriel, 1996
2) Tes Rinne
Tes ini membandingkan antara konduksi melalui tulang tengkorak dan
udara. Garpu tala digetarkan (C128) kemudian diletakkan pada prosesus
mastoideus (di belakang telinga), setelah tidak mendengar getaran lagi garpu
tala dipindahkan di depan liang telinga; tanyakan apakah masih
mendengarnya.
Normal : Konduksi melalui udara 85-90 detik. Konduksi melalui tulang 45
detik.
Tes Rinne positif (Rinne +) : Pendengaran penderita baik juga pada penderita
tuli persepsi (saraf).
Tes Rinne negatif (Rinne -): Pada penderita tuli konduksi dimana jarak waktu
konduksi tulang mungkin sama atau bahkan lebih panjang

Gambar 4. Ilustrasi Tes Rinne


Sumber: Gabriel, 1996

3) Tes Schwabach
Tes ini membandingkan jangka waktu konduksi tulang melalui verteks
atau prosesus mastuideus penderita dengan konduksi tulang si pemeriksa.
Pada tuli konduksi, konduksi tulang penderita lebih panjang daripada
sipemeriksa. Pada tuli saraf/persepsi konduksi tulang sangat pendek.
Kemudian menurut Liston (1997), cara melakukan tes Schwabach adalah
garpu tala digetarkan, tangkai garpu tala diletakkan pada prosesus mastoideus
sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai garpu tala segera
dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga pemeriksa yang
pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut
Schwabach memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar, pemeriksaan
diulang dengan cara sebaliknya, yaitu garpu tala diletakkan pada prosesus
mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila penderita masih dapat mendengar
bunyi disebut Schwabach memanjang dan bila pasien dan pemeriksa kira-kira
sama-sama mendengarnya disebut Schwabach sama dengan pemeriksa.

D. METODE PRAKTIKUM
a. Tempat dan Waktu Praktikum
Laboratorium IPA II, FMIPA, UNY/ Hari Rabu, 6 Maret 2019
b. Alat dan Bahan
1. Garpu tala
2. Meteran
3. Stopwatch
4. Handphone
c. Prosedur
Percobaan 1
1. Menutup telinga kanan menggunakan tangan dan kedua mata ditutup
2. Memasang stopwatch di dekat telinga kiri, kemudian menjauhkan secara
perlahan hingga bunyi tidak didengar oleh naracoba
3. Mengukur dan mencatat jarak antara stopwatch dengan telinga kiri tersebut
4. Mendekatkan kembali arloji secara perlahan hingga naracoba mendengar
suara lagi, kemudian mengukur jarak antara stopwatch dengan telinga kiri
tersebut
5. Mengulangi percobaan untuk telinga kanan
6. Membandingkan hasil antara kiri dan kanan
7. Mengulangi percobaan ini untuk naracoba 2, naracoba 3 dan naracoba 4.
Percobaan 2
1. Menggetarkan garpu tala 512Hz di atas naracoba sehingga naracoba akan
mendengar suara garpu tala tersebut keras, lemah, lemdian tidak terdengar
lagi.
2. Mencatat waktu dari mulai mendengar hingga tidak mendengar suara lagi.
3. Saat suara garpu tala tidak terdengar lagi, penguji memindahkan garpu tala ke
dekat telinga kanan sehingga naracoba akan mendengar suara lagi.
4. Mencatat waktu dari mulai mendengar hingga tidak mendengar suara lagi.
5. Mengulangi percobaan ini sebanyak 3 kali kemudian mencatat hasil
percobaan pada kertas.
6. Melakukan percobaan yang sama untuk telinga kiri.
7. Mengulangi percobaan ini untuk naracoba 2, naracoba 3 dan naracoba 4.
Percobaan 3
1. Menggetarkan garpu tala dan meletakkan di puncak kepala
2. Menutup telinga kanan dan mendengar telinga mana yang terdengar lebih
nyaring
3. Melakukan prosedur percobaan yang sama untuk telinga kiri
4. Membandingkan hasil yang diperoleh untuk kedua telinga dan menyimpulkan
hasil percobaan apakah naracoba tuli atau tidak.
5. Mengulangi percobaan ini untuk naracoba 2, naracoba 3 dan naracoba 4.

E. DATA HASIL
Percobaan 1
Naracoba Telinga Kiri Telinga Kanan (cm)
Saat hilang (cm) Saat datang (cm) Saat hilang (cm) Saat datang (cm)
Gandi 29 43 32 41
31 36 42 41
35 41 37 50
Hesti 29 27 29 23
25 25 33 25
30 28 27 24
Lutfi 36 41 30 48
46 52 40 48
42 50 30 44
Fitri 42 45 28 32
42 43 26 36
45 44 26 31

Percobaan 2
Naracoba Telinga Kanan Telinga Kiri (detik)
Di atas (s) Di samping (s) Di atas (s) Di samping (s)
Hesti 5,3 20,1 5,2 22,7
4,5 22,5 4,7 19,5
4,1 25,9 4 21,7
Lutfi 5,1 20,9 5,7 27,5
5,9 17,9 5,3 27,3
6,8 22,8 5,6 26,1
Gandi 4,2 28,3 3,4 31,3
4,0 30,6 4,6 26,7
3,7 34,2 3,4 16,8
Fitri 2,4 13,7 3 17,3
3,8 16,7 3,6 24,5
3,2 26 3 19,5

Percobaan 3

Naracoba Telinga kanan ditutup Telinga kiri ditutup


Kanan Kiri Kanan Kiri
Hesti + - - +
+ - - +
+ - - +
Gandi + - - +
+ - - +
+ - - +
Fitri + - - +
+ - - +
+ - - +
Lutfi + - - +
+ - - +
+ - - +

Keterangan :
+ = terdengar nyaring
- = tidak terdengar nyaring

Tipe garpu tala = F 341,3 Hz

F. PEMBAHASAN

Percobaan yang berjudul Perambatan Bunyi Melalui Tulang Tengkorak bertujuan


untuk menerangkan mekanisme perambatan bunyi melalui tulang tengkorak dengan
menggunakan garpu tala dan menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perambatan
bunyi melalui tulang tengkorak dengan menggunakan garpu tala.

Pada percobaan pertama, pengujian dilakukan dengan mencatat jarak ketika


stopwatch tidak terdengar saat dijauhkan perlahan dari telinga, dan jarak ketika suara
stopwatch terdengar kembali ketika didekatkan ke telinga. Pengujian tersebut dilakukan
bergantian pada telinga kanan maupun kiri. Semakin jauh jarak yang tercatat menunjukkan
tingkat kepekaan telinga. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa tingkat kepekaan
yang paling tinggi dan paling rendah pada telinga kanan berturut-turut adalah probandus
naracoba lutfi dan naracoba hesti. Sedangkan tingkat kepekaan yang paling tinggi pada
telinga kiri adalah naracoba gandi dan tingkat kepekaan paling rendah pada telinga kiri
pada naracoba hesti.

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil tingkat kepekaan telinga tersebut antara lain
adalah kesalahan pada praktikan, keadaan lingkungan yang kurang hening sehingga suara
stopwatch bercampur baur dan tidak jelas, maupun terdapat gangguan pendengaran dari
praktikan itu sendiri. Ada dua macam gangguan hilang pendengaran yaitu karena tuli
konduksi atau karena tuli syaraf/sensoriurneal. Untuk mengetahui tuli konduksi atau tuli
syaraf dilakukan tes pendengaran Rinne dan Weber.

Percobaan kedua yaitu percobaan tes Rinne. Menurut Gabriel (1996:87) dalam Diktat
Praktikum Biofisika (2018), mengatakan bahwa dalam keadaan normal konduksi
bunyi/suara melalui udara 85-90 detik dan konduksi melalui tulang 45 detik. Tes Rinne
dikatakan positif, apabila konduksi melalui udara dua kali lebih besar dari konduksi melalui
tulang tengkorak. Apabila tes Rinne positif maka telinga dapat dikatakan dalam kondisi
normal.

Uji ini menunjukkan apakah ketulian bersifat konduktif atau perseptif. Kaki garpu
tala diletakkan di depan telinga dan tangkainya kemudian diletakkan pada prosesus mastoid.
Penderita diminta untuk membandingkan intensitas bunyi yang terdengar pada kedua
posisi itu. Penderita dengan tuli konduktif mendengar bunyi lebih baik bila garpu tala
diletakkan di atas prosesus mastoid daripada di depan telinga. Pada tuli perseptif sebaliknya.

Jarak waktu yang diperlukan penderita untuk mendengar getaran terhitung dari garpu
tala diletakkan pada prosesus mastoid dibandingkan dengan waktu yang didengar oleh
pemeriksa. Pada tuli konduktif jarak waktu penderita mendengar garpu tala memanjang,
sedangkan pada tuli persepsi memendek.

Apabila hasil percobaan Rinne positif berarti pendengaran penderita baik, pada
penderita tuli konduksi maupun tuli syaraf. Sedangkan apabila percobaan Rinne negatif
berarti pada penderita tuli konduksi selang waktu konduksi tulang mungkin sama atau lebih
lama.

Berdasarkan hasil percobaan dapat dilihat bahwa semua dari naracoba yang
menunjukkan hasil positif pada Tes Rinne, dimana hasilnya menunjukkan bahwa nilai
konduksi melalui udaranya lebih dari besar konduksi tengkoraknya.

Percobaan ketiga yaitu tes Weber, merupakan tes penala digetarkan dan tangkai
garpu tala diletakkan di garis tengah kepala (di vertex, dahi, pangkal hidung, dan di dagu).
Apabila bunyi garpu tala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut Weber
lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke arah telinga mana bunyi
terdengar lebih keras disebut Weber tidak ada lateralisasi (Liston, 1997).
Bila mendengar pada satu telinga disebut lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Bila
kedua telinga tak mendengar atau sama-sama mendengar berarti tak ada lateralisasi.

Interpretasi :

Normal : tidak ada lateralisasi


Tuli konduksi : mendengar lebih keras di telinga yang sakit.
Tuli sensori neural : mendengar lebih keras pada telinga yang sehat.

Karena menilai kedua telinga sekaligus maka kemungkinannya dapat lebih dari satu.

Contoh : lateralisasi ke kanan, dapat di interpretasikan :

a. Tuli konduksi kanan, telinga kiri normal


b. Tuli konduksi kanan dan kiri, tetapi kanan lebih berat.
c. Tuli sensori neural kiri, telinga kanan normal.
d. Tuli sensori neural kanan dan kiri, tetapi kiri lebih berat
e. Tuli konduksi kanan dan sensori neural kiri.

Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa semua naracoba mengalami


lateralisasi yang ditandai dengan suara garpu tala terdengar lebih keras pada telinga yang
di tutup daripada telinga yang terbuka berdasarkan tes Weber.

Untuk percobaan Rinne, semua naracoba memiliki waktu mendengar bunyi garpu
tala lewat konduksi udara lebih lama dibandingkan dengan konduksi lewat tulang. Serta
untuk percobaan Weber semua naracoba menyatakan bahwa untuk telinga yang ditutup
suara yang didengar jauh lebih keras dibandingkan dengan telinga yang terbuka. Hal ini
dikarenakan tidak semua gelombang suara yang masuk ke dalam telinga akan
ditransmisikan, sebagian di pantulkan kembali, sehingga ketika telinga ditutup maka suara
yang dipantulkan akan kembali masuk ke dalam telinga mengakibatkan suara yang
didengar lebih keras.

Tangkai garpu tala diletakkan pada pertengahan dahi. Gelombang bunyi akan melalui
tengkorak menuju ke kedua telinga dan akan terdengar sama keras bila pendengaran normal.
Tuli konduktif pada satu telinga akan menyebabkan getaran yang terdengar lebih kuat pada
sisi yang sakit. Pada tuli perseptif yang unilateral, bunyi akan terdengar lebih baik pada sisi
yang sehat. Penghantaran bunyi pemeriksaan ini adalah konduksi melalui tulang terdiri dari
dua komponen:
Langsung, bunyi menuju ke koklea

Tak langsung, bunyi menuju ke telinga tengah

Komponen tak langsung, sebagian langsung ke koklea, tapi sebagian besar menyebar
ke telinga luar. Pada penyakit telinga dalam, bagian koklea komponen tak langsung terlalu
lemah untuk merangsang koklea sehingga bunyi menjadi lebih keras pada telinga yang baik.
Pada penyakit telinga tengah, bagian tengah komponen tak langsung tidak dapat menyebar
ke dalam telinga luar sehingga akan bertambah ke bagian koklea. hal ini menyebabkan
bunyi terdengar lebih keras dalam telinga yang sakit.

G. SIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
1.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil perambatan bunyi melalui tulang tengkorak
tersebut antara lain adalah kondisi gendang telinga pendengar, kondisi tulang
tengkorak pendengar, dan

H. DAFTAR PUSTAKA
Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Alih bahasa:
Staf pengajar FKUI-RSCM. 13rd ed. Jakarta: Binarupa Aksara, 1997:105-9.
Bhargava, K.B., Bhargava, S.K., dan Shah, T.M. 2002. Deafeness dan Examination of
The Ear. Dalam: A Short Textbook of E.N.T. Diseases. 5th ed. Mumbai:Usha
Publication:119-125 & 21-40.
Gabriel. (1996). Fisika Kedokteran. Jakarta: EGC.
Lalwani, A.K., 2008. Disoreders of Smell, Taste and Hearing. Dalam: Harrison’s
Principle of Internal Medicine. 17th ed. US: Mc Graw Hill: 199-204.
Liston SL, Duvall AJ. 1997. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Telinga. Dalam: Boeis
eds. Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Alih bahasa: Caroline W. 6th ed.
Jakarta:EGC.
Nugroho, Puguh S., Wiyadi, WMS. 2009. Anatomi dan Fisiologi Pendengaran Perifer.
Jurnal THT-KL. 2(2):76 - 85.
Reece, Jane B., Urry, Lisa., Cain, Michael L., Wasserman, Steven A., Minorsky, Petr
V., Jackson, Robert B. 2014. Campbell Biology 8th. USA: Pearson Education.
Soetirto I, Bashiruddin J. 2001. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Penyakit THT
Akibat Hubungan Kerja dan Cacat Akibat Kecelakaan Kerja. Jakarta: Elex
Media Komputindo.

I. JAWABAN PERTANYAAN
1. Percobaan Rinne dikatakan positif apabila suatu sumber bunyi dekat didengar
dengan telinga dan hal tersebut akan menyebabkan suara terdengar jelas dan dapat
didengar dalam waktu yang lama. Sebaliknya dikatakan negatif apabila sumber
suaranya jauh dan hanya sebentar saja dapat didengar oleh telinga.
2.

Anda mungkin juga menyukai