Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM BIOFISIKA

PERAMBATAN BUNYI MELALUI TULANG TENGKORAK

Disusun oleh:

1. Kidung Tyas Sumekar (16312244003)


2. Hafizha Kurnia Indah Sari (16312244018)
3. Findya Eprita Rimanada (16312244031)
4. Restu Pranantyo (16312244046)
5. Nurul Khoirunisa (16312244052)

KELOMPOK 6
IPA C 2016

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2019
A. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana mekanisme perambatan bunyi melalui tulang tengkorak dengan
menggunakan garpu tala?
2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi perambatan bunyi melalui tulang
tengkorak dengan menggunakan garpu tala?
B. TUJUAN
1. Mahasiswa dapat menerangkan mekanisme perambatan bunyi melalui tulang
tengkorak dengan menggunakan garpu tala
2. Mahasiswa dapat menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perambatan
bunyi melalui tulang tengkorak dengan menggunakan garpu tala
C. DASAR TEORI

Telinga manusia berfungsi untuk mengubah gelombang suara menjadi impuls


yang kemudian dijalarkan ke pusat pendengaran di otak. Walaupun mekanisme
mendnegar tidak dapat mencakup seluruh gelombang bunyi, namun keterbatasan ini
bukan merupakan hambatan bagi seseorang untuk dapat menanggapi berbagai mavam
bunyi yang berasal dari lingkungannya.

Mendengar adalah aktivitas menangkap gelombang bunyi dari suatu sumber


menggunakan sebuah organ yang disebut telinga. Telinga manusia dapat dibagi
menjadi tiga bagian.

1. Telinga bagian luar


Terdiri atas daun telinga dan saluran auditoris, yang mengumpulkan gelombang
suara dan menyalurkan ke membrane timpanik/ gendang teling yang memisahkan
telinga luar dan telinga bagian tengah.
2. Telinga bagian tengah (timpani)
Pada ruang timpani terdapat selaput pendengaran/membrane timpani, tulang-
tulang pendengaran (tulang martil, tulang landasan, buluh eustachius),
memungkinkan keseimbangan tekanan udara rongga telinga.
3. Telinga bagian dalam (labirin)
Di dalam telinga bagian dalam getaran dihantarkan melalui tiga osikel (tulang
kecil) -maleus, inkus, dan sanggurdi- ke telingan dalam lewat jendela oval, suatu
membrane di bawah sanggurdi. Telinga bagian dalam membuka ke dalam saluran
eustachius, yang berhubungan dengan faring. Telinga bagian ini terdiri dari suatu
labirin saluran di dalam tulang tengkorak (tulang temporal). Saluran ini dilapisi
oleh membran dan mengandung cairan yang bergerak sebagai respon terhadap
suara atau pergerakan kepala. Bagian telinga bagian dalam yang terlibat dalam
pendengaran merupakan sebuah organ berpilin yang rumit yang dikenal sebagai
koklea. Di dalamnya terdapat organ Corti yang mengandung sel reseptor telinga
yang sesungguhnya, yaitu selsel rambut. Neuron sensoris bersinapsis dengan sel-
sel rambut. Neuron berfungsi membawa sensasi ke otak melalui saraf auditoris
(Campbell dkk., 2004: 245-246).
Telingan mentransduksi (mengubah dasar genetik energi) energi gelombang
suara ke bentuk impuls saraf yang diantarkan ke sistem pusat pendengaran di amna
suara diterjemahkan. Suara dihasilkan oleh benda yang bergetar dalam medium fisik
(udara, air, dan benda padat) dan tidak dapat melalui ruang hampa. Telinga manusia
dapat mendengar frekuensi 20-20.000 Hz (Syaifuddin, 2009: 234).
Oleh karena telinga dalam yaitu koklea tertanam pada kavitas (cekungan
tulang) dalam os temporalis yang disebut labirin tulang, getaran seluruh tulang
tengkorak dapat menyebabkan getaran cairan pada koklea itu sendiri. Pada kondisi
yang memungkinkan garpu tala jika diletakkan pada Setiap protuberonsia tulang
tengkorak dan prosessus mastoideus dapat menyebabkan telinga mendengar getaran
suara (Syaifuddin, 2009: 233).
Proses mendengar diawali dari getaran suatu objek yang akan menggetarkan
molekul udara. Bila gelombang suara sampai ke telinga, maka akan masuk melallui
telinga luar dan melewati saluran pendengaran yang akhirnya sampai di membrane
timpani. Hal ini menggetrakan tulang martil, landasan, dan sanggurdi. Di sanggurdi
getaran dilanjutkan ke tingkap bundar. Getaran ini akan menggetrakan cairan di
rumah siput. Bila cairan pada rumah siput bergetar akan menstimulus ujung syaraf.
Impuls dari ujung syaraf ini diteruskan ke pusat saraf pendengaran di otak. Otak besar
akan memproses menerjemahkan sehingga timbullah persepsi suara. Karena telinga
dalam klokea tertanam pada kavitas bertulang dalam os temporalis yang disebut
labirin tulang, maka getaran pada tulang tengkorak dapat menyebabkan getaran cairan
pada koklea (Campbell, 2004: 828).
Pada kondisi yang memungkinkan, garpu tala atau alat penggetar elektronik
yang diletakkan pada setiap protubensia tulang tengkorak, tapi terutama pada prosesus
mastoideus, akan menyebabkan orang tersebut mendengarkan suara. Dalam system
pendengaran, organ yang menerjemahkan satu suara adalah otak. Pada otak terdapat
cerebellum. Fungsi primernya adalah mengkoordinasikan pergerakan. Sebelum
menerima informasi, sensoris mengenai posisi persendian dan panjang otot, juga
informasi dari system pendengaran (Guyton dan Hall, 1996: 221)
Telinga dapat mengalami kehilangan kemampuannya untuk mendengar
getaran suara. Hilang pendegaran atau tuli dapat dibedakan atas dua macam yaitu
hilang pendengaran karena konduksi (tuli konduksi) dan hilang pendengaran karena
syaraf (tuli syaraf atau persepsi).
1. Tuli konduksi terjadi karena vibrasi/getaran suara tidak mencapai telinga bagian
tengah. Tuli semacam ini sifatnya hanya sementara oleh karena adanya malam
(wax/serumen) ataupun cairan di dalam telinga tengah. Apabila tuli konduksi
tidak dapat pulih kembali, maka penderita diatasi dengan menggunakan alat bantu
pendengaran (hearing aid). Tuli konduktif disebabkan kelainan di telinga luar atau
telinga tengah. Kelainan telinga luar yang menyebabkan tuli konduktif adalah
otalgia, atresia liang telinga, sumbatan oleh serumen, otitis eksterna sirkum
skripta, otitis eksterna maligna, dan osteoma liang telinga. Kelainan telinga tengah
yang menyebabkan tuli konduktif ialah sumbatan tuba eustachius, otitis media,
otosklerosis, timpanisklerosia, hemotimpanum, dan dislokasi tulang pendengaran.
2. Tuli sensorineural terbagi atas tuli sensorineural koklea dan retrokoklea. Tuli
sensorineural koklea disebabkan aplasia, labirintitis, intoksikasi obat ototaksik
atau alkohol. Dapat juga disebabkan tuli mendadak, trauma kapitis, trauma akustik
dan pemaparan bising.tuli sensorineural retrokoklea disebabkan neoroma akustik,
tumor sudut pons serebellum, mieloma multipel, cedera otak, perdarahan otak, dan
kelainan otak lainnya. Tuli syaraf terjadi karena hanya sebagian kecil frekuensi
bunyi atau seluruh frekuensi bunyi yang tidak didengar. Tuli syaraf ini sampai
sekarang belum bisa diobati sehingga dikategorikan sebagai tuli permanen
(Gabriel, 1996: 85).

Untuk mengetahui tuli konduksi atau tuli syaraf, dapat dilakukan tes
pendengaran dengan : tes berbisik, tes garpu tala, dan audiometer.

1. Tes suara berbisik


Telinga normal dapat mendengar suara berbisik dengan ton/nada rendag
misalnya suara konsonan dan palatal: b, p, t, m, n, pada jarak 5 sampai 10 meter.
Suara berbisik dengan nada tinggi misalnya suara desis/sibiland s, z, ch, shel pada
jarak 20 meter.
2. Tes garpu tala
Untuk mengethaui secara pasti apakah seorang penderita tuli konduksi atau
tuli syaraf, dapat dites dengan menggunakan garpu tala dengan frekuensi C128,
C1024, C2048. Ada tiga jenis tes yang menggunakan garpu tala yaitu:
a. Tes Rinne.
Tes Rinne ini dilakukan untuk membandingkan konduksi bunyi melalui tulang
dengan konveksi bunyi melalui udara. Caranya, yaitu salah satu garpu tala
seperti yang disebutkan di atas (misalnya C128) digetarkan kemudian
diletakkan pada prosesus mastoideus (di belakang telinga), setelah tidak
terdengar getaran lagi, garpu tala dipindahakan ke depan lubang telinga.
Tanyakan pada penderita apakah masih terdengar getaran tersebut? Menurut
Gabriel (1996: 87) mengatakan bahwa dalam keadaan normal konduksi
bunyi/suara melalui udara 85-90 detik dan konduksi melalui udara 45 detik.
Tes Rinne positif, (Rinne +) berarti pendengaran penderita baik, pada
penderita tuli konduksi maupun tuli syaraf. Sedangkan tes Rinne negatif
(Rinne - ) berarti pada penderita tuli konduksi selang waktu konduksi tulang
mungkin sama atau lebih lama. Ada 3 interpretasi dari hasil tes Rinne yang
kita lakukan, yaitu :
1) Normal. Jika tes Rinne positif.
2) Tuli konduktif. Jika tes Rinne negatif.
3) Tuli sensorineural. Jika tes Rinne positif. Interpretasi tes Rinne dapat false
Rinne baik pseudo positif dan pseudo negatif. Hal ini dapat terjadi
manakala telinga pasien yang tidak kita tes menangkap bunyi garpu tala
karena telinga tersebut pendengarannya jauh lebih baik daripada telinga
pasien yang kita periksa.
b. Tes Webber.
Tes ini dilakukan dengan menggetarkan garpu tala, kemudian diletakan pada
vertex dahi/puncak kepala. Pada penderita tuli konduksi (penyebab wax atau
otitis media) akan terdengar bunyi nyaring/terang pada telinga yang sakit.
Misalnya pada telinga kiri terdengar bunyi nyaring (makin keras) maka
disebut Weber laterisasi ke kiri. Begitupun jika telinga kanan sakit maka
weber laterisasi ke kanan (Anonim, 2012). Ada 3 interpretasi dari hasil tes
Weber yang kita lakukan, yaitu :
1) Normal. Jika tidak ada lateralisasi.
2) Tuli konduktif. Jika pasien mendengar lebih keras pada telinga yang sakit.
3) Tuli sensorineural. Jika pasien mendengar lebih keras pada telinga yang
sehat.
c. Tes schwabach
Tes ini dilakukan untuk membandingkan jangka waktu konduksi tulang melalui
vertex penderita dengan kondisi tulang si pemeriksa. Pada tuli konduksi,
jangka/selang waktu konduksi penderita lebih lama/panjang daripada si pemeriksa.
Sedangkan pada tuli syaraf, jangka waktu konduksi tulang penderita sangat pendek
dari si pemeriksa. Garpu tala dengan kode C2048 lebih biasa dipakai untuk
memeriksa ketajaman pendengaran manusia terhadap nada tinggi. Pada usia tua dan
tuli syaraf akan kehilangan pendengaran pada nada tinggi (Gabriel, 1996: 87)
D. METODOLOGI

Tempat ; Lab. Ipa Dasar lantai 3


Tanggal ; 11 April 2019
1. Alat dan bahan
a. Kapas
b. Garpu tala 512 Hz
c. Arloji atau jam yang bersuara
d. Mistar
e. Stopwatch
2. Langkah kerja
a. Percobaan 1
Menutup telinga kanan naracoba dengan kapas dan memejamkan kedua mata.

Memasang arloji didekat telinga kiri naracoba kemudian dijauhkan sampai


naracoba tidak mendengar.

Mengukur dan mencatat antara arloji dengan telingan kiri tersebut.

Dekatkan kembali arloji secara perlahan sampai naracoba mendengar suara lagi
kemudian mengukur dan mencatat jarak antara arloji dengan telinga kiri.

Mengulangi prosedur yang sama dengan telinga kiri yang ditutup kapas.

Lalu bandingkan hasil percobaan antara telinga kiri dengan telinga kanan.
b. Percobaan Rinne
Menggetarkan garpu tala dan meletakkan dipuncak kepala naracoba sehingga
naracoba akan mendengarkan suara garpu tala tersebut keras, lemah, kemudian
tidak terdengar lagi.

Mencatat waktu dari mendengar sampai tidak mendengar suara lagi.

Suara garpu tala tidak terdengar lagi, naracoba memindahkan garpu tala ke dekat
telinga kanan sehingga naracoba akan mendengar suara lagi.

Mencatat waktu dari saat naracoba mendengar sampai tidak mendengarkan lagi.

Mengulangi percobaan sebanyak lima kali dan mencatat hasil pada tabel data
hasil.

Mengulangi prosedur percobaan diatas untuk telinga kiri dan mencatat hasilnya
di tabel data hasil.

Membandingkan hasil percobaa pada telinga kanan dan telinga kiri.

c. Percobaan Weber

Menggetarkan garpu tala dan meletakkan nya dipuncak kepala naracoba

Naracoba menutup lubang telinga kanan naracoba dan menanyakan pada telinga
yang mana suara garpu tala terdengar lebih keras.

Melakukan prosedur percobaan yang sama untuk teelinga kiri.

Membandingkan hasil yang diperoleh untuk kedua telinga dan menyimpulkan


apakah naracoba tuli atau tidak.

E. DATA HASIL
1. Percobaan 1

Telinga Kanan Telinga Kiri

No Nama Tidak Tidak


Terdengar Terdengar
terdengar terdengar
(cm) (cm)
(cm) (cm)
1. Restu 30 20 24 23
33 26 28 22
33 28 29 30
2. Kidung 23 24 30 25
25 25 34 24
28 26 33 25
3. Hafizha 22 20 30 27
19 19 32 35
25 20 40 37
4. Nurul 13 14 10 11
10 13 12 13
10 13 10 15
5. Findya 33 25 15 20
35 23 22 21
38 30 16 20

2. Percobaan 2 Rinne

Kanan Kiri
No Nama
Kepala (s) Telinga (s) Kepala (s) Telinga (s)
1. Restu 5.72 19.78 3.15 16.97
5.81 19.83 3.20 16.72
5.77 19.80 3.11 16.85
2. Kidung 7.40 17.23 6.47 13.94
7.44 17.37 6.23 13.72
7.53 17.42 6.31 13.83
3. Hafizha 2.11 16.64 2.17 17.15
2.03 16.52 2.25 17.24
2.15 16.59 2.34 17.32
4. Nurul 7.35 17.18 6.82 13.98
7.11 17.03 6.73 13.83
7.26 17.23 6.84 13.99
5. Findya 3.06 18.50 6.22 20.43
3.21 18.43 6.15 20.40
3.15 18.52 6.27 20.47

3. Percobaan 3

Telinga Yang Telinga Yang terdengar


terdengar lbih keras lbih keras ketika telinga
No. Nama
ketika telinga kanan kiri ditutup
ditutup
1. Restu Kanan Kiri
Kanan Kiri
Kanan Kiri
2. Kidung Kanan Kiri
Kanan Kiri
Kanan Kiri
3. Hafizha Kanan Kiri
Kanan Kiri
Kanan Kiri
4. Nurul Kanan Kiri
Kanan Kiri
Kanan Kiri
5. Findya Kanan Kiri
Kanan Kiri
Kanan Kiri

F. ANALISIS DATA
1. Percobaan 1
Restu
Telinga Kanan Telinga Kiri
Terdengar (cm) Tidak Terdengar Terdengar (cm) Tidak Terdengar
(cm) (cm)
30 20 24 23
33 26 28 22
33 28 29 30
Rata-rata : 31 Rata-rata : 24.7 Rata-rata : 27 Rata-rata : 25
Kidung
Telinga Kanan Telinga Kiri
Terdengar (cm) Tidak Terdengar Terdengar (cm) Tidak Terdengar
(cm) (cm)
23 24 30 25
25 25 34 24
28 26 33 25
Rata-rata : 25.3 Rata-rata : 25 Rata-rata : 32.3 Rata-rata : 24.7

Hafizha
Telinga Kanan Telinga Kiri
Terdengar (cm) Tidak Terdengar Terdengar (cm) Tidak Terdengar
(cm) (cm)
22 20 30 27
19 19 32 35
25 20 40 37
Rata-rata : 22 Rata-rata : 19.7 Rata-rata : 34 Rata-rata : 33

Nurul
Telinga Kanan Telinga Kiri
Terdengar (cm) Tidak Terdengar Terdengar (cm) Tidak Terdengar
(cm) (cm)
13 14 10 11
10 13 12 13
10 13 10 15
Rata-rata : 11 Rata-rata : 13.3 Rata-rata : 10.7 Rata-rata : 13

Findya
Telinga Kanan Telinga Kiri
Terdengar (cm) Tidak Terdengar Terdengar (cm) Tidak Terdengar
(cm) (cm)
33 25 15 20
35 23 22 21
38 30 16 20
Rata-rata : 35.3 Rata-rata : 26 Rata-rata : 17.7 Rata-rata : 20.3

2. Percobaan 2 Rinne

Restu
Garpu Tala (C512 Hz)
Kepala (s) Telinga kanan Kepala (s) Telinga kiri (s)
(s)
5.72 19.78 3.15 16.97
5.81 19.83 3.20 16.72
5.77 19.80 3.11 16.85
Rata-rata : 5.77 Rata-rata : 19.80 Rata-rata : 3.15 Rata-rata : 16.85

Kidung
Garpu Tala (C512 Hz)
Kepala (s) Telinga kanan Kepala (s) Telinga kiri (s)
(s)
7.40 17.23 6.47 13.94
7.44 17.37 6.23 13.72
7.53 17.42 6.31 13.83
Rata-rata : 7.46 Rata-rata : 17.34 Rata-rata : 6.34 Rata-rata : 13.83

Hafizha
Garpu Tala (C512 Hz)
Kepala (s) Telinga kanan Kepala (s) Telinga kiri (s)
(s)
2.11 16.64 2.17 17.15
2.03 16.52 2.25 17.24
2.15 16.59 2.34 17.32
Rata-rata : 2.10 Rata-rata : 16.58 Rata-rata : 2.25 Rata-rata : 17.25

Nurul
Garpu Tala (C512 Hz)
Kepala (s) Telinga kanan Kepala (s) Telinga kiri (s)
(s)
7.35 17.18 6.82 13.98
7.11 17.03 6.73 13.83
7.26 17.23 6.84 13.99
Rata-rata : 7.24 Rata-rata : 17.15 Rata-rata : 6.80 Rata-rata : 13.93

Findya
Garpu Tala (C512 Hz)
Kepala (s) Telinga kanan Kepala (s) Telinga kiri (s)
(s)
3.06 18.50 6.22 20.43
3.21 18.43 6.15 20.40
3.15 18.52 6.27 20.47
Rata-rata : 3.14 Rata-rata : 18.48 Rata-rata : 6.21 Rata-rata : 20.43

G. PEMBAHASAN
Praktikum yang berjudul “Perambatan Bunyi Melalui Tulang Tengkorak”
dilakukan pada hari Kamis tanggal 11 April 2019 pukul 11.10 sampai 12.50 WIB di
laboratorium IPA 2. Praktikum ini mempunyai dua tujuan, yaitu mahasiswa dapat
menerangkan mekanisme perambatan bunyi melalui tulang tengkorak dengan
menggunakan garpu tala dan mahasiswa dapat menerangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi perambatan bunyi melalui tulang tengkorak dengan menggunakan
garpu tala.
Adapun alat dan bahan yang digunakan yaitu garpu tala 512 Hz, stopwatch,
meteran, dan kapas. Garpu tala digunakan sebagai sumber bunyi, stopwatch
digunakan sebagai alat untuk mengukur waktu, meteran untuk menunjukkan panjang
rambatan bunyi yang terdengar dari telinga pada garpu tala, dan kapas untuk menutup
salah satu telinga. Praktikum ini terdapat 3 macam tes, yaitu tes pendengaran
menggunakan arloji, tes Rinne, dan tes Webber.
Untuk pengujiannya menggunakan garpu tala dilakukan 2 tes, yaitu tes rinne
dan tes weber. Namun sebelum tes tersebut dilakukan, para praktikan diuji
kepekaannya dengan diberikan tes bisik menggunakan suara detak arloji.
1. Uji Tes Bisik
Uji tes bisik dilakukan dengan mencatat jarak ketika arloji tidak terdengar
saat dijauhkan perlahan dari telinga, dan jarak ketika suara arloji terdengar
kembali ketika didekatkan ke telinga. Pengujian tersebut dilakukan bergantian
pada telinga kanan maupun kiri. Semakin jauh jarak yang tercatat menunjukkan
tingkat kepekaan telinga.
Telinga normal dapat mendengar suara berbisik dengan ton/nada rendag
misalnya suara konsonan dan palatal: b, p, t, m, n, pada jarak 5 sampai 10 meter.
Suara berbisik dengan nada tinggi misalnya suara desis/sibiland s, z, ch, shel pada
jarak 20 meter. (Soewolo, 1999).
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan, praktikan melakukan 3
kali pengulangan pada tiap uji, diketahui bahwa tingkat kepekaan yang paling
tinggi ke yang paling rendah pada telinga kanan dengan data yang telah dirata-rata
berturut-turut adalah Findya pada jarak 35,3 cm, Restu pada jarak 31 cm, Kidung
pada jarak 25,3 cm, Hafizha pada jarak 22 cm, dan Nurul pada jarak 11 cm.
Sedangkan tingkat kepekaan yang paling tinggi ke yang paling rendah pada
telinga kiri dengan data yang telah dirata-rata secara berturut-turut adalah Hafizha
pada jarak 34 cm, Kidung pada jarak 32,3 cm, Restu pada jarak 27 cm, Findya
pada jarak 17,7 cm dan yang terakhir adalah Nurul pada jarak 10,7.
Dari hasil percobaan yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa jarak
terdengarnya arloji yang kembali itu lebih pendek dari pada jarak tidak
terdengarnya arloji yang menjauh. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil tingkat
kepekaan telinga tersebut antara lain adalah human error dari praktikan, kondisi
lingkungan yang kurang hening sehingga meng-intervensi suara arloji yang
didengar, atau juga dimungkinkan karena memang adanya gangguan pendengaran.
Ada dua macam gangguan hilang pendengaran yaitu karena tuli konduksi atau
karena tuli syaraf/sensoriurneal. Untuk mengetahui tuli konduksi atau tuli syaraf
dilakukan tes pendengaran Rinne dan Weber.
2. Tes Rinne
Cara melakukan tes Rinne adalah penala digetarkan, tangkainya diletakkan
di prosesus mastoideus. Setelah tidak terdengar penala dipegang di depan telinga
kira-kira 2,5 cm. Bila masih terdengar disebut Rinne positif. Bila tidak terdengar
disebut Rinne negative. (Gabriel, 1996 : 86).
Menurut Gabriel (1996: 87), bahwa dalam keadaan normal konduksi
bunyi/suara melalui udara 85-90 detik dan konduksi melalui udara 45 detik. Tes
Rinne positif, (Rinne +) berarti pendengaran penderita baik, pada penderita tuli
konduksi maupun tuli syaraf. Sedangkan tes Rinne negatif (Rinne -) berarti pada
penderita tuli konduksi selang waktu konduksi tulang mungkin sama atau lebih
lama.
Tes Rinne dilakukan dengan cara menggetarkan garpu tala dan kemudian
tangkainya diletakkan di prosesus mastoideus. Ketika sudah tidak terdengar, maka
garpu tala dipindah ke dekat lubang telinga. Tes Rinne positif jika konduksi tulang
sama atau lebih panjang jika dibandingkan dengan konduksi udara.
Berdasarkan table 2 Tes Rinne diketahui bahwa dari 5 probandus yang
memiliki Rinne (+) pada telinga bagian kanan ialah Restu, Kidung, Hafizha,
Nurul, dan Findya sedangkan yang memiliki Rinne (+)pada telinga bagian kiri
adalah Restu, Kidung, Hafizha, Nurul, dan Findya. Pada penderita Rinne (-)
ditandai dengan adanya tuli konduksi dimana jarak waktu konduksi tulang
mungkin sama atau lebih panjang. Sedangkan penderita Rinne (+) pendengaran
penderita baik juga pada penderita tuli persepsi (syaraf). Kelima naracoba
semuanya memiliki Rinne positif.
3. Tes Weber
Sedangkan cara melakukan tes Weber adalah penala digetarkan dan tangkai
garputala diletakkan di garis tengah kepala (di vertex, dahi, pangkal hidung, dan
di dagu). Apabila bunyi garputala terdengar lebih keras pada salah satu telinga
disebut Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke arah
teling mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber tidak ada lateralisasi
(Liston, 1997).
Ada 3 interpretasi dari hasil tes Weber yang kita lakukan, yaitu :
4) Normal = Jika tidak ada lateralisasi.
5) Tuli konduktif = Jika pasien mendengar lebih keras pada telinga yang
sakit.
6) Tuli sensorineural = Jika pasien mendengar lebih keras pada telinga yang
sehat.
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa dari 5 naracoba, semua
individu mengalami lateralisasi yang ditandai dengan suara garputala terdengar
lebih keras pada telinga yang di tutup daripada telinga yang terbuka berdasarkan
tes Weber.
Serta untuk percobaan Weber semua mahasiswa menyatakan bahwa untuk
telinga yang ditutup suara yang didengar jauh lebih keras dibandingkan dengan
telinga yang terbuka. Hal ini dikarenakan tidak semua gelombang suara yang
masuk ke dalam telinga akan ditransmisikan, sebagian di pantulkan kembali,
sehingga ketika telinga ditutup maka suara yang dipantulkan akan kembali masuk
ke dalam telinga mengakibatkan suara yang didengar lebih keras.
Berdasarkan hasil praktikum, diketahui bahwa kemampuan mendengar setiap
individu berbeda. Faktor-faktor yang mempengaruhi perambatan bunyi melalui tulang
tengkorak dengan garpu tala adalah suasana di sekitar praktikan harus diminimalisir
kebisingannya agar tetap tenang, kefokusan praktikan dalam mendengar rambatan
bunyi garpu tala, kesalahan(human error) baik dari pihak praktikan maupun penguji
perambatan bunyi yang menggetarkan garpu tala dan adanya wax(lilin) di dalam
telinga bagian tengah.

H. SIMPULAN
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Mekanisme perambatan bunyi melalui tengkorak dengan menggunakan garpu tala
dapat terjadi karena perambatan bunyi tidak hanya melaui syaraf saja, tetapi bisa
melalui tulang. Ini disebabkan yaitu karena tertanamnya kokhlea dalam labirin
tulang pada kavitas tulang belakang.
2. Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi perambatan bunyi melalui tulang
tengkorak dengan menggunakan garpu tala adalah suasana di sekitar praktikan
harus diminimalisir kebisingannya agar tetap tenang, kefokusan praktikan dalam
mendengar rambatan bunyi garpu tala, kesalahan(human error) baik dari pihak
praktikan maupun penguji perambatan bunyi yang menggetarkan garpu tala dan
adanya wax(lilin) di dalam telinga bagian tengah.
I. TUGAS

J. DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Kegiatan 5, perambatan bunyi melalui tulang tengkorak. Diambil


pada tanggal 14 April 2019 dari
http://dc404.4shared.com/doc/_FtJEczM/preview.html

Campbell, Neil A., Reece, J.B., & Mitchell, L.G. 2000. Biologi, Edisi Kelima Jilid 3.
(Terjemahan Wasmen Manalu). Jakarta: Erlangga. (Buku asli diterbitkan tahun
1999).
Djukri & Heru Nurcahyo. 2009. Petunjuk Praktikum Biologi. Yogyakarta: Prodi PSn
PPs UNY. Soewolo, dkk. 1999. Fisiologi Manusia. Malang: Universitas Negeri
Malang.

Syaifuddin. 2009. Fisiologi tubuh manusia untuk mahasiswa keperawatan. Jakarta:


Salemba Medika.

Gabriel, J. F. 1996. Fisika Kedokteran. Jakarta : EGC.

Guyton A. C., Hall J. E. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta :
EGC.

Syaifuddin. 2009. Anatomi Tubuh Manusia Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai