Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA


DRUG INDUCED HEPATITIS

Pembimbing :

dr. Hadi Sulistyanto, Sp.PD, MH.Kes, FINASIM

Disusun oleh :

Anggi Arini

406172074

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
PERIODE 28 Juni 2018 – 12 Agustus 2018
BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan dunia kedokteran, yang antara lain diwarnai dengan makin


banyaknya jenis obat, meningkatkan harapan kesembuhan dari berbagai penyakit. Akan
tetapi, perkembangan ini juga membawa dampak tersendiri, seperti makin meningkatnya
risiko dan angka kejadian efek samping obat. Meskipun efek samping obat dapat terjadi
pada semua sistem organ tubuh, hati merupakan organ yang paling rentan karena
sebagian besar obat menjalani metabolisme parsial maupun komplet serta eliminasi
melalui hati.
Salah satu fungsi hati yang penting ialah melindungi tubuh terhadap terjadinya
penumpukan zat berbahaya yang masuk dari luar, misalnya obat. Banyak diantara obat
yang bersifat larut dalam lemak dan tidak mudah diekskresikan oleh ginjal. Untuk itu
maka sistem enzim pada mikrosom hati akan melakukan biotransformasi sedemikian
rupa sehingga terbentuk metabolit yang lebih mudah larut dalam air dan dapat
dikeluarkan melalui urin atau empedu. Dengan faal sedemikian ini, tidak mengherankan
bila hati mempunyai kemungkinan yang cukup besar pula untuk dirusak oleh obat.
Kerusakan hati akibat obat ( Drugs Induced Liver Injury ) pada umumnya tidak
menimbulkan kerusakan permanen, tetapi kadang-kadang dapat berlangsung lama dan
fatal.
Di Amerika Serikat, kira-kira dari 2000 kasus terjadinya gagal hati akut (Acute
Liver Failure), lebih dari 50%-nya diakibatkan oleh obat (39% karena asetaminofen,
13% karena reaksi idiosinkrasi dari pengobatan lain). Sekitar 75% reaksi idiosinkrasi
mengakibatkan transplantasi atau kematian. Di amerika serikat dan Eropa 11% Drug
induced liver injury jenis idiosinkrasi menyebabkan acute liver failure (ALF).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Drug-induced hepatitis (DIH) / Drug-induced liver injury (DILI) dapat diartikan


sebagai kerusakan hepatik yang diinduksi oleh obat kimiawi atau herbal yang menyebabkan,
disfungsi hati atau abnormalitas pada tes fungsi hati (peningkatan ALT/AST >3x batas
normal dan/atau kenaikan bilirubin >2x batas normal) dengan ekslusi dari penyebabpenyebab
lainnya (hepatitis viral, alkohol, tumor, dll). Drug-induced hepatitis dapat dibagi menjadi tipe
intrinsik dan idiosinkratik. Tipe intrinsik biasanya tergantung dosis dan dapat diprediksi (mis.
keracunan paracetamol), sementara tipe idiosinkratik tidak tergantung langsung ke dosis
obatnya dan lebih sulit diprediksi.

2.2 Faktor Risiko

Tabel 2.2 Faktor Resiko Terjadinya Asma


2.3 Patogenesis

Metabolisme Obat di Hati

Metabolisme obat merupakan proses dimana molekul obat diubah secara


kimiawi, biasanya menjadi metabolit polar dengan tingkat solubilitas air yang
meningkat untuk memudahkan eliminasi di urin atau empedu. Metabolisme obat di
hati dibagi menjadi 2 fase : fase 1 dan fase 2.

Pada fase 1, molekul obat akan mengalami perubahan struktur. Enzim


sitokrom P450 merupakan katalis yang paling dominan pada fase ini. Enzim ini akan
mengonversi molekul obat menjadi metabolit yang lebih polar (hidrofilik) melalui
proses oksidasi, reduksi, atau hidrolisis. Di hepatosit, enzim ini berada di retikulum
endoplasma halus. Metabolit yang dihasilkan pada fase ini bisa cukup larut air untuk
langsung dieliminasi atau membentuk substrat untuk enzim fase 2.

Fase 2 meliputi konjugasi dari grup ion (seperti glutathion, glucoronosil,


asetil, dll) yang disebut transferase dengan molekul obat. Hasil dari konjugasi yaitu
metabolit yang inaktif secara farmakologik dan hidrofilik sehingga bisa dieksresi
sekaligus mengurangi efek toksik dari metabolit reaktif yang dihasilkan di fase 1.

Mekanisme Drug-Induced Hepatitis di Hati

Patogenesis dari drug-induced hepatitis dapat terjadi melalui 3 fase. Pada fase
pertama, komponen obat atau metabolit reaktifnya akan menimbulkan kerusakan awal
melalui 3 cara:

1. Toksisitas dari metabolit obat akan memicu stress pada sel dan mengaktifkan
protein pro-apoptosis yang akan merusak permeabilitas membran mitokondria.

2. Metabolit obat akan merusak mitokondria melalui penginhibisian proses beta


oksidasi, yaitu proses katabolik dimana asam lemak diubah menjadi asetil KoA,
NADH, dan FADH2. Hal ini akan menimbulkan penumpukan lipid dalam sel yang
menghambat fungsi respirasi sel dan menurunkan produksi ATP.

3. Metabolit obat berikatan dengan protein karier dan membentuk hapten yang
immunogenik atau berikatan langsung dengan reseptor imun sel T dan menimbulkan
reaksi imun yang dimediasi sel T. Reaksi imun ini juga akan mengaktifkan death-
inducing signalling complex, kompleks protein yang akan menginisiasi terjadinya
apoptosis, dengan cara meningkatkan sensitivitas dari TNF-alfa sebagai pemicunya.

Pada fase kedua, kerusakan dari mitokondria akan meningkatkan


permeabilitas membran mitokondria yang menyebabkan molekul-molekul kecil
masuk ke mitokondria, mengubah osmolaritas, dan membuat mitokondria
membengkak. Pembengkakan ini menyebabkan ruptur pada membran dan keluarnya
protein sitokrom C dari mitokondria.

Fase ketiga yaitu kematian sel hepatosit akibat apoptosis atau nekrosis.
Apoptosis terjadi apabila masih ada produksi ATP di mitokondria. Sitokrom C yang
keluar dari mitokondria akan menggunakan sisa ATP untuk menginisiasi kaskade
apoptosis. Bila tidak ada lagi sisa ATP di mitokondria, sel akan mengalami nekrosis
melalui proses autolisis.
Gambar 1. Mekanisme Drug-induced hepatitis
2.4 Klasifikasi Berdasarkan Pola Jejas Hati

Pada tahun 2001, American Association for the Study of Liver Diseases
(AASLD) menetapkan bahwa peningkatan kadar alanin aminotransferase (ALT) lebih
dari tiga kali batas atas normal (BAN) dan peningkatan bilirubin total lebih dari dua kali
BAN dapat digunakan sebagai kriteria untuk meenentukan ada tidaknya kelainan signifi
kan pada parameter laboratorik hati. Peningkatan kadar enzim hati alanin transaminase
(ALT), aspartat aminotransferase (AST), dan fosfatase alkali (ALP) dianggap sebagai
indikator jejas hati, sedangkan peningkatan bilirubin total dan terkonjugasi merupakan
parameter untuk menilai fungsi hati secara keseluruhan.
Penilaian pola jejas hati sangat penting karena obat-obat tertentu cenderung
menyebabkan jejas dengan pola khas pula. Jejas hati hepatoselular (atau sitolitik)
menyebabkan peningkatan kadar ALT dan AST serum yang bermakna, biasanya
mendahului peningkatan bilirubin total, disertai sedikit peningkatan ALP. Contohnya
adalah jejas hati imbas isoniazid.
Sebaliknya, jejas kolestatik ditandai dengan peningkatan ALP yang mendahului
atau relatif lebih menonjol dibanding peningkatan ALT maupun AST. Selain ketiga
macam jejas hati di atas, terdapat jejas mitokondria yang dapat dinilai melalui biopsi
hati. Jejas mitokondria ini menyebabkan steatosis mikrovaskular yang terlihat pada
biopsi hati, asidosis laktat, serta sedikit peningkatan enzim aminotransferase, seperti
yang terjadi pada jejas hati imbas asam valproat maupun tetrasiklin parenteral dosis
tinggi.
2.4 Pola Jejas Hati dan Obat-Obat Penyebab
Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang jejas tipe hepatoselular
mengikuti “hukum Hy”. Hukum ini dipopulerkan oleh Hyman Zimmerman, seorang
hepatolog yang tertarik pada DILI. Hukum Hy menyebutkan bahwa 10% pasien DILI
mengalami ikterus dan, dari jumlah tersebut, 10% akan meninggal karena DILI. Angka
fatalitas kasus (case fatality rates) pasien gagal hati fulminan imbas obat terlapor sangat
tinggi (sekitar 75%) untuk obat-obat selain asetaminofen. Sebaliknya, angka fatalitas
kasus gagal hati fulminan yang disebabkan asetaminofen jauh lebih rendah, kurang lebih
25%.

Tabel 2. 4 Klasifikasi Hepatotosisitas

Intrinsik

Hepatotoksisitas intrinsik adalah hepatotoksisitas akibat pajanan terhadap zat


kimia industri maupun lingkungan atau toksin, seperti karbon tetraklorida, fosfor, atau
beberapa jenis jamur yang menyebabkan jejas hati.

Idiosinkratik
Hepatotoksisitas idiosinkratik merupakan hepatotoksisitas yang disebabkan oleh
obatobat konvensional dan produk herbal yang menyebabkan hepatotoksisitas hanya
pada sejumlah kecil resipien.

2.5 Tanda dan gejala Drug Induced hepatitis


Gejala setiap orang dapat bervariasi. Gejala mungkin termasuk :
 Sakit perut
 Kelelahan dan kelemahan
 Demam
 Mual
 Muntah
 Kurang nafsu makan
 Urin gelap
 Kotoran berwarna pucat atau tanah liat
 Menguningnya kulit dan mata (jaundice)

2.6 Diagnosis
Diagnosis dari drug-induced hepatitis ditegakkan dengan mengeksklusi
kemungkinan gangguan hati lainnya melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
detil, pemeriksaan lab, pencitraan hepatobilier, biopsi hati (bila diindikasikan), dan
penilaian kausal.

1. Anamnesis & Pemeriksaan Fisik


Pada anamnesis, perlu dicari riwayat paparan obat-obatan yang akurat serta
onset awal dan perjalanan dari kelainan yang tampak. Biasanya, onset dari drug-
induced hepatitis terjadi dalam 6 bulan pertama setelah memulai obat baru, kecuali
pada obat-obatan tertentu yang memerlukan paparan yang lebih lama sebelum
menampakkan gejala (mis. nitrofurantoin, minosiklin, statin). Selain itu, perlu dicari
juga riwayat reaksi obat sebelumnya, riwayat gangguan hati sebelumnya, serta
riwayat konsumsi alkohol.
Pemeriksaan fisik biasanya menampakkan gambaran mirip gangguan hati lain
(ikterik, demam, hepatomegali, nyeri tekan hati, atau gambaran penyakit hati kronis).

2. Pemeriksaan Laboratorium dan Pencitraan


Pemeriksaan fungsi hati diperlukan untuk melihat perjalanan abnormalitas
enzim hati, terutama bila obat yang diduga sebagai penyebab telah dihentikan, dan
untuk menentukan nilai R sehingga dapat diketahui pola kerusakan hatinya. Untuk
kerusakan tipe hepatoselular, Hepatitis marker dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan hepatitis akut, sedangkan autoantibodi serum dan IgG dapat diperiksa
bila ada gejala hipersensitivitas (demam, ruam kulit, urtikaria, dan eosinofilia) atau
tanda-tanda autoimunitas lain (anemia hemolitik, glomerulonefritis, dll).
Untuk kerusakan tipe kolestatik, diagnosis bandingnya yaitu kelainan
pankreatikobilier yang bisa ekstrahepatik atau intrahepatik. Kelainan ekstrahepatik
seperti choledocolithiasis atau malignansi bisa diekslusikan dengan pemeriksaan
pencitraan abdominal seperti USG, CT-scan, atau MRI. Kelainan intrahepatik yang
menyerupai drug-induced hepatitis perlu diekslusi berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik (sepsis, gagal jantung), tes serologis (anti-mitochondrial antibody
untuk sirosis bilier primer), atau pencitraan (sclerosing cholangitis).

3. Biopsi Hati
Biopsi hati bukan merupakan pemeriksaan yang mandatorik dilakukan pada
kasus drug-induced hepatitis, namun dapat dipertimbangkan untuk dilakukan pada
kejadian seperti :
 Bila hepatitis autoimun menjadi satu-satunya diagnosis banding yang tersisa dan
pasien dipertimbangkan mendapat terapi imunosupresif.
 Bila enzim hati terus naik atau tanda kerusakan hati yang makin memburuk meskipun
agen yang diduga sebagai penyebab sudah dihentikan.
 Bila nilai ALT tidak menurun >50% setelah 30-60 hari atau AP tidak menurun >50%
setelah 180 hari meskipun agen yang diduga sebagai penyebab sudah dihentikan.
 Pada kasus drug-induced hepatitis dimana penggunaan obat penyebab perlu
diteruskan.
 Bila abnormalitas nilai enzim hati terus tampak hingga 180 hari untuk mengevaluasi
adanya penyakit hati kronis.

4. Penilaian Kausalitas
RUCAM (Roussel Uclaf Causality Assessment Method) adalah alat penilaian
standard untuk menilai probabilitas suatu obat sebagai penyebab dari drug-induced
hepatitis. Sistem ini tidak bisa dipakai sebagai alat diagnosis satu-satunya, namun
sebagai bimbingan untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan drug-induced hepatitis.
Sistem skoring ini dibagi menjadi tipe hepatoselular dan tipe kolestatik dengan
campuran. Poin-poin lalu ditambah atau dikurangi berdasarkan onset gejala, waktu
hingga nilai enzim hati kembali normal, faktor risiko, obat penyerta, diagnosis
banding, dan hasil re-challenge. Skor akhirnya kemudian dibagi menjadi 5 hasil yaitu
"disingkirkan" (skor <=0), "kurang mungkin" (1-2), "mungkin" (3-5), "berpotensi" (5-
8), "pasti" (>8).
Gambar 2. Algoritme Diagnosis Drug Induced hepatitis

Terdapat metode untuk menentukan kausalitas pada DILI, yaitu penilaian


menggunakan sistem penskoran. Penilaian kausalitas menggunakan metode RUCAM
(Roussel-Uclaf Causality Assessment Method). Dalam metode ini, terdapat tujuh
parameter yang dinilai, yaitu jangka waktu terjadinya penyakit hati dari pertama kali
mengonsumsi obat, perjalanan penyakit hati yang dialami saat ini, faktor risiko untuk
mengalami jejas hati, eksklusi penyebab jejas hati lain, informasi mengenai
hepatotoksisitas yang ditimbulkan oleh obat tersangka, serta respons terhadap
pemberian ulang obat.18 Instrumen tersebut saat ini digunakan secara luas dalam
berbagai penelitian untuk menilai hepatotoksisitas, tetapi masih sulit diaplikasikan
dalam praktik klinis sehari-hari, sehingga sebagian besar dokter masih menggunakan
penilaian klinis dalam mendiagnosis DILI
Gambar 3. Roussel Uclaf Causality Assessment Method untuk penilaian
drug-induced hepatitis

2.6 Penatalaksanaan Drug Induced hepatitis


Pada pasien dengan dugaan drug-induced hepatitis, terutama dengan kenaikan
nilai enzim hati atau terdapat tanda-tanda disfungsi hati, agen yang diduga sebagai
penyebab harus dihentikan. Terapi lainnya biasanya bersifat suportif dan tergantung
dari gejala yang tampak.
N-Acetylcystein bisa diberikan pada pasien dengan drug-induced hepatitis
akibat acetaminofen. Dari beberapa penelitian, penggunaanya pada drug-induced
hepatitis akibat obat lain memberikan tingkat survival yang lebih tinggi dibanding
dengan pasien yang tidak mendapat NAC. Namun, penelitian mengenai pemberian
NAC pada pasien anak justru memberikan tingkat survival yang lebih rendah dan
tidak direkomendasikan diberikan NAC IV pada pasien anak dengan drug-induced
hepatitis.
Pengunaan steroid pada pasien dengan drug-induced hepatitis biasanya bila
ditemukan gejala hipersensitivitas. Namun, belum ada uji terkontrol untuk
penggunaan steroid pada pasien dengan drug-induced hepatitis.
Terapi khusus lain yang dapat diberikan pada pasien dengan drug-induced
hepatitis yaitu L-carnitine untuk drug-induced hepatitis akibat valproate, dan asam
ursodeoxycholic untuk gejala kolestasis, namun, data mengenai efikasinya masih
terbatas.

2.7 Prognosis
Sebagian besar pasien drug-induced hepatitis akut yang simptomatik dapat
sembuh dengan terapi suportif setelah obat penyebabnya dihentikan. Prognosis dari
tiap pasien tergantung dari tingkat kerusakan hati saat datang pertama kali. Sebagai
contoh, pasien dengan drug-induced hepatitis dan koagulopati (INR>1,5) dan
encefalopati memiliki prognosis yang buruk tanpa mendapat transplantasi hati. Selain
itu, lama pemakaian obat penyebab sebelum dihentikan serta kerusakan hati tipe
kolestatik juga berpengaruh pada risiko perkembangan penyakit menjadi kronis
DAFTAR PUSTAKA

1. Bjornsson E.;Chalasani N.;Ghabril M.; Drug-induced liver injury: a clinical


update. Curr Opin Gastroenterol. 2010 May ; 26(3): 222–226
2. Chalasani NP, Hayashi PH. ACG Clinical Guideline: The Diagnosis and
Management of Idiosyncratic Drug-Induced Liver Injury. 2014. Am J
Gastroenterol: 1-17
3. Gayam V. Khalid M. Shrestha B. Drug-Induced Liver Injury: An Institutional
Case Series and Review of Literature. 2018. Journal of Investigative Medicine
High Impact Case Reports; 6(1): 1-6
4. Kullak-Ublick GA, Andrade RJ, Merz M, et al. Drug-induced liver injury:
recent advances in diagnosis and risk assessment. Gut Published Online First.
2017: 1-11
5. Lehrer, Jenifer. Drug Induced Hepatitis. http://www.urmc.rochester.edu/
encyclopedia/content
6. Lee D. Marks JW. Drug Induced Liver Injury. 2016.
https://www.medicinenet.com/drug_induced_liver_disease/article
7. Maria I, Hasan I. Drug-Induced Liver Injury – Tantangan dalam Diagnosis.
2014. IDI; 41 (3): 167-170
8. Marrone G, Voccara FG, Biolato M. Drug-induced liver injury 2017:the
diagnosis is not easy but always to keep in mind. 2017. European Review for
Medical and Pharmacological Sciences. 21 (1): 122-134
9. Seeff LB, Fontana RJ. Drug-induced liver injury. In: Dooley JS, Lok ASF,
Burroughs AK, Heathcote EJ, editors. Sherlock’s diseases of the liver and
biliary system. 12th ed. USA: Blackwell Publishing Ltd; 2011
10. Verma S, Kaplowitz N. Diagnosis, management and prevention of drug-
induced liver injury Diagnosis, management. 2009. GUT. 1555–1564

Anda mungkin juga menyukai