Pembimbing :
Disusun oleh :
Anggi Arini
406172074
2.1 Definisi
Patogenesis dari drug-induced hepatitis dapat terjadi melalui 3 fase. Pada fase
pertama, komponen obat atau metabolit reaktifnya akan menimbulkan kerusakan awal
melalui 3 cara:
1. Toksisitas dari metabolit obat akan memicu stress pada sel dan mengaktifkan
protein pro-apoptosis yang akan merusak permeabilitas membran mitokondria.
3. Metabolit obat berikatan dengan protein karier dan membentuk hapten yang
immunogenik atau berikatan langsung dengan reseptor imun sel T dan menimbulkan
reaksi imun yang dimediasi sel T. Reaksi imun ini juga akan mengaktifkan death-
inducing signalling complex, kompleks protein yang akan menginisiasi terjadinya
apoptosis, dengan cara meningkatkan sensitivitas dari TNF-alfa sebagai pemicunya.
Fase ketiga yaitu kematian sel hepatosit akibat apoptosis atau nekrosis.
Apoptosis terjadi apabila masih ada produksi ATP di mitokondria. Sitokrom C yang
keluar dari mitokondria akan menggunakan sisa ATP untuk menginisiasi kaskade
apoptosis. Bila tidak ada lagi sisa ATP di mitokondria, sel akan mengalami nekrosis
melalui proses autolisis.
Gambar 1. Mekanisme Drug-induced hepatitis
2.4 Klasifikasi Berdasarkan Pola Jejas Hati
Pada tahun 2001, American Association for the Study of Liver Diseases
(AASLD) menetapkan bahwa peningkatan kadar alanin aminotransferase (ALT) lebih
dari tiga kali batas atas normal (BAN) dan peningkatan bilirubin total lebih dari dua kali
BAN dapat digunakan sebagai kriteria untuk meenentukan ada tidaknya kelainan signifi
kan pada parameter laboratorik hati. Peningkatan kadar enzim hati alanin transaminase
(ALT), aspartat aminotransferase (AST), dan fosfatase alkali (ALP) dianggap sebagai
indikator jejas hati, sedangkan peningkatan bilirubin total dan terkonjugasi merupakan
parameter untuk menilai fungsi hati secara keseluruhan.
Penilaian pola jejas hati sangat penting karena obat-obat tertentu cenderung
menyebabkan jejas dengan pola khas pula. Jejas hati hepatoselular (atau sitolitik)
menyebabkan peningkatan kadar ALT dan AST serum yang bermakna, biasanya
mendahului peningkatan bilirubin total, disertai sedikit peningkatan ALP. Contohnya
adalah jejas hati imbas isoniazid.
Sebaliknya, jejas kolestatik ditandai dengan peningkatan ALP yang mendahului
atau relatif lebih menonjol dibanding peningkatan ALT maupun AST. Selain ketiga
macam jejas hati di atas, terdapat jejas mitokondria yang dapat dinilai melalui biopsi
hati. Jejas mitokondria ini menyebabkan steatosis mikrovaskular yang terlihat pada
biopsi hati, asidosis laktat, serta sedikit peningkatan enzim aminotransferase, seperti
yang terjadi pada jejas hati imbas asam valproat maupun tetrasiklin parenteral dosis
tinggi.
2.4 Pola Jejas Hati dan Obat-Obat Penyebab
Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang jejas tipe hepatoselular
mengikuti “hukum Hy”. Hukum ini dipopulerkan oleh Hyman Zimmerman, seorang
hepatolog yang tertarik pada DILI. Hukum Hy menyebutkan bahwa 10% pasien DILI
mengalami ikterus dan, dari jumlah tersebut, 10% akan meninggal karena DILI. Angka
fatalitas kasus (case fatality rates) pasien gagal hati fulminan imbas obat terlapor sangat
tinggi (sekitar 75%) untuk obat-obat selain asetaminofen. Sebaliknya, angka fatalitas
kasus gagal hati fulminan yang disebabkan asetaminofen jauh lebih rendah, kurang lebih
25%.
Intrinsik
Idiosinkratik
Hepatotoksisitas idiosinkratik merupakan hepatotoksisitas yang disebabkan oleh
obatobat konvensional dan produk herbal yang menyebabkan hepatotoksisitas hanya
pada sejumlah kecil resipien.
2.6 Diagnosis
Diagnosis dari drug-induced hepatitis ditegakkan dengan mengeksklusi
kemungkinan gangguan hati lainnya melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
detil, pemeriksaan lab, pencitraan hepatobilier, biopsi hati (bila diindikasikan), dan
penilaian kausal.
3. Biopsi Hati
Biopsi hati bukan merupakan pemeriksaan yang mandatorik dilakukan pada
kasus drug-induced hepatitis, namun dapat dipertimbangkan untuk dilakukan pada
kejadian seperti :
Bila hepatitis autoimun menjadi satu-satunya diagnosis banding yang tersisa dan
pasien dipertimbangkan mendapat terapi imunosupresif.
Bila enzim hati terus naik atau tanda kerusakan hati yang makin memburuk meskipun
agen yang diduga sebagai penyebab sudah dihentikan.
Bila nilai ALT tidak menurun >50% setelah 30-60 hari atau AP tidak menurun >50%
setelah 180 hari meskipun agen yang diduga sebagai penyebab sudah dihentikan.
Pada kasus drug-induced hepatitis dimana penggunaan obat penyebab perlu
diteruskan.
Bila abnormalitas nilai enzim hati terus tampak hingga 180 hari untuk mengevaluasi
adanya penyakit hati kronis.
4. Penilaian Kausalitas
RUCAM (Roussel Uclaf Causality Assessment Method) adalah alat penilaian
standard untuk menilai probabilitas suatu obat sebagai penyebab dari drug-induced
hepatitis. Sistem ini tidak bisa dipakai sebagai alat diagnosis satu-satunya, namun
sebagai bimbingan untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan drug-induced hepatitis.
Sistem skoring ini dibagi menjadi tipe hepatoselular dan tipe kolestatik dengan
campuran. Poin-poin lalu ditambah atau dikurangi berdasarkan onset gejala, waktu
hingga nilai enzim hati kembali normal, faktor risiko, obat penyerta, diagnosis
banding, dan hasil re-challenge. Skor akhirnya kemudian dibagi menjadi 5 hasil yaitu
"disingkirkan" (skor <=0), "kurang mungkin" (1-2), "mungkin" (3-5), "berpotensi" (5-
8), "pasti" (>8).
Gambar 2. Algoritme Diagnosis Drug Induced hepatitis
2.7 Prognosis
Sebagian besar pasien drug-induced hepatitis akut yang simptomatik dapat
sembuh dengan terapi suportif setelah obat penyebabnya dihentikan. Prognosis dari
tiap pasien tergantung dari tingkat kerusakan hati saat datang pertama kali. Sebagai
contoh, pasien dengan drug-induced hepatitis dan koagulopati (INR>1,5) dan
encefalopati memiliki prognosis yang buruk tanpa mendapat transplantasi hati. Selain
itu, lama pemakaian obat penyebab sebelum dihentikan serta kerusakan hati tipe
kolestatik juga berpengaruh pada risiko perkembangan penyakit menjadi kronis
DAFTAR PUSTAKA