Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit pernafasan

yang bersifat kronis progresif. PPOK merupakan permasalahan global


yang terjadi di masyarakat hingga sekarang yang disebabkan oleh karena
angka kejadian serta angka kematian yang terus meningkat dari tahun ke tahun

di seluruh dunia.1 PPOK saat ini berada di urutan ke empat penyebab


kematian terbanyak di dunia setelah penyakit jantung, kanker, serta penyakit
serebrovaskular, dan memiliki potensi untuk naik ke urutan ke tiga terbanyak

pada tahun 2020 pada pria maupun wanita.2


Angka kematian karena PPOK di seluruh dunia diperkirakan mencapai 3
juta kematian pada tahun 2015. Ini berarti sekitar 5% dari seluruh kematian di
dunia. Lebih dari 95% kematian karena PPOK terjadi pada Negara
berpenghasilan rendah dan sedang. PPOK merupakan penyebab kematian
ketiga di amerika serikat dengan angka kematian mencapai 120000 orang per
tahun.3
Di indonesia, Berdasarkan hasil survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) Departemen Kesehatan Republik Indonesia (DEPKES) tahun 1992
menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema
menduduki peringkat keenam dari 10 penyebab tersering kematian di
Indonesia.5 Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013
menunjukkan bahwa prevalensi PPOK di Indonesia sebanyak 3,7%. Pada tahun
2015 saja, dapat dilihat bahwa penduduk berusia 15 tahun keatas yang
mengkonsumsi rokok sebesar 22,57% di perkotaan dan 25,05% di pedesaan.
Rata-rata jumlah batang rokok yang dihabiskan selama seminggu mencapai 76
batang di perkotaan dan 80 batang di pedesaan. Hal ini menunjukkan tingginya
angka perokok di Indonesia yang merupakan faktor risiko utama PPOK.1,3

1
PPOK yang merupakan penyakit kronis gangguan aliran udara
merupakan penyakit yang tidak sepenuhnya dapat disembuhkan. Gangguan
aliran udara ini umumnya bersifat progresif dan persisten serta berkaitan
dengan respon radang yang tidak normal dari paru akibat gas atau partikel
yang bersifat merusak. Namun serangan akut PPOK dapat dicegah

dengan menghindari faktor-faktor pemicu serangan akut tersebut.1

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai dengan adanya keterbatasan aliran udara yang persisten
dan umumnya bersifat progresif, berhubungan dengan respons inflamasi kronik
berlebihan pada saluran napas dan parenkim paru akibat gas atau partikel
beracun/berbahaya. Eksaserbasi dan komorbid berkontribusi pada beratnya penyakit.4
Pada PPOK, bronkitis kronik dan emfisema sering ditemukan bersama,
meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut PDPI 2016,
bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis
kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis
patologi.4
Bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk
kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun
berturut-turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan emfisema merupakan
suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara
distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.4
PPOK eksaserbasi akut merupakan suatu kondisi perburukan dari gejala
penyakit PPOK yang bersifat akut dan menetap dengan gejala yang lebih berat
dibandingkan dengan varian gejala harian normal sehingga memerlukan perubahan
dari obat-obatan yang biasa digunakan.4

2.2 Faktor Risiko


PPOK mempunyai progresivitas yang lambat, diselingi dengan fase
eksaserbasi akut yang timbul secara periodik. Pada fase eksaserbasi akut terjadi
perburukan yang mendadak dari perjalanan penyakitnya yang disebabkan oleh
suatu faktor pencetus dan ditandai dengan suatu manifestasi klinis yang memberat.
Secara umum resiko terjadinya PPOK terkait dengan jumlah partikel gas yang
dihirup oleh seorang individu itu sendiri.

3
1. Asap Rokok
Dari berbagai partikel gas yang noxius atau berbahaya, asap rokok merupakan
salah satu penyebab utama, kebiasaan merokok merupakan faktor resiko utama

dalam terjadinya PPOK.3 Asap rokok yang dihirup serta merokok saat kehamilan
juga berpengaruh pada kejadian PPOK karena mempengaruhi tumbuh kembang
paru janin dalam uterus. Sejak lama telah disimpulkan bahwa asap rokok
merupakan faktor risiko utama dari bronkitis kronis dan emfisema. Serangkaian
penelitian telah menunjukkan terjadinya percepatan penurunan volume udara yang
dihembuskan dalam detik pertama dari manuver ekspirasi paksa (FEV1) dalam
hubungan reaksi dan dosis terhadap intensitas merokok, yang ditunjukkan secara
spesifik dalam bungkus-tahun (rata-rata jumlah bungkus rokok yang dihisap per

hari dikalikan dengan jumlah total tahun merokok).6


Meskipun hubungan sebab akibat antara merokok dan perkembangan PPOK
telah benar-benar terbukti, namun reaksi dari merokok ini masih sangat bervariasi.
Merokok merupakan prediktor signifikan yang paling besar pada FEV1, hanya
15% dari variasi FEV1 yang dapat dijelaskan dalam hubungan bungkus-tahun.
Temuan ini mendukung bahwa terdapat faktor tambahan dan atau faktor genetik
sebagai kontributor terhadap dampak merokok pada perkembangan obstruksi jalan

nafas.3,6
2. Paparan Pekerjaan
Meningkatnya gejala-gejala respirasi dan obstruksi aliran udara dapat
diakibatkan oleh paparan debu di tempat kerja. Beberapa paparan pekerjaan yang
khas termasuk penambangan batu bara, panambangan emas, dan debu kapas tekstil

telah diketahui sebagai faktor risiko obstruksi aliran udara kronis.1,6

4
3. Infeksi Berulang Saluran Respirasi
Infeksi saluran respirasi telah diteliti sebagai faktor risiko potensial dalam
perkembangan dan progresivitas PPOK pada orang dewasa, terutama infeksi saluran
nafas bawah berulang. Infeksi saluran respirasi pada masa anak-anak juga telah

dinyatakan sebagai faktor predisposisi potensial pada perkembangan akhir PPOK.3,6


4. Kepekaan Jalan Nafas dan PPOK
Kecenderungan meningkatnya bronkontriksi sebagai reaksi terhadap berbagai
stimulus eksogen, termasuk methakolin dan histamin, adalah salah satu ciri- ciri dari
asma. Bagaimanapun juga, banyak pasien PPOK juga memiliki ciri- ciri jalan nafas
yang hiperesponsif. Pertimbangan akan tumpang tindihnya seseorang dengan asma
dan PPOK dalam kepekaan jalan nafas, obstruksi aliran udara, dan gejala pulmonal
mengarahkan kepada perumusan hipotesis Dutch yang menegaskan bahwa asma,
bronkitis kronis, dan emfisema merupakan variasi dari dasar penyakit yang sama, yang
dimodulasi oleh faktor lingkungan dan genetik untuk menghasilkan gambaran

patologis yang nyata.1,6


5. Defisiensi α1 Antitrypsin (α1AT)
Defisiensi α1AT yang berat merupakan faktor risiko genetik terjadinya PPOK.
Walaupun hanya 1-2% dari pasien-pasien PPOK yang mewarisi defisiensi α1AT,
pasien-pasien ini menunjukkan bahwa faktor genetik memiliki pengaruh
terhadap kecenderungan untuk berkembangnya PPOK.

2.3 Patologi, Patogenesis, Patofisiologi


1. Patologi
Inhalasi partikel berbahaya menyebabkan inflamasi di saluran nafas dan parenkim
paru, respon inflamasi abnormal ini akan menyebabkan kerusakan pada saluran,
parenkim dan vaskuler paru. Perubahan patologis menyebabkan udara terperngkap dan
keterbatasan aliran udara progresif. Perubahan patologis akibat inflamasi kronis terjadi
karena peningkatan sel inflamasi kronis diberbagai bagian paru yang menimbulkan
kerusakan dan perubahan struktural akibat cedera dan perbaikan berulang.4

5
Pada saluran nafas proksimal (trakea, bronkus diameter > 2mm) didapatkan
perubahan struktural : peningkatan sel goblet, pembesaran kelenjar submukosa (keduanya
menyebabkan hipersekresi lendir), metaplasia sel skuamosa. 4
Pada saluran nafas perifer (bronkiolus < 2mm) dan parenkim paru (bronchioles
pernafasan dan alveoli) didapatkan perubahan struktural berupa : kerusakan dinding
alveolus, apoptosis sel epitel dan endotel, emfisema sentrilobular (dilatasi dan krusakan
bronkiolus respiratori, paling sering terlihat pada perokok, emfisema panasinar
(perusakan alveoli dan bronkiolus, paling sering pada kekurangan α1-antitripsin. 4 Pada
pembuluh darah didapatkan perubahan struktural : penebalan intima, disfungsi sel
endotel, penebalan otot polos, hipertensi pulmonal.1

Gambar 1. Patologi PPOK

2. Patogenesis dan patofisiologi


Belakangan ini banyak bukti terhadap inflamasi sistemik pada PPOK peningkatan
kadar sitokin pro inflamasi dan protein fase akut tampak pada PPOK yang stabil, dimana
sebelumnya memang sudah diketahui luas bahwa kedua faktor inflamasi itu terkait
dengan eksaserbasi pada PPOK. Inflamasi ini kemudian akan mempengaruhi banyak
sistem sehingga menelurkan pendapat bahwa PPOK sebagai penyakit multi komponen.4

6
Hambatan aliran udara pada saluran nafas, terkait dengan perubahan-perubahan
seluler dan struktural pada PPOK ketika proses inflamasi tersebut meluas keparenkim dan
arteri pulmonalis. Asap rokok diamati memang memancing reaksi inflamasi yang
ditandai dengan infiltrasi limfosit T, neutropil dan makrofag pada dinding saluran nafas.
Disamping itu terjadi juga pergeseran akan keseimbangan limfosit T CD4+/CD8+,
dimana limfosit T sitotoksik (CD8+) akan menginfiltrasi saluran nafas sentral dan
perifer. Neutrofil yang juga meningkat pada kelenjar bronkus pasien dengan PPOK
memberikan peranan yang penting juga terhadap hipersekresi mukus, dimana hal ini
kemudian memacu ekspresi gen IL-4 yang mengekspresikan sejumlah besar sel-sel
inflamasi pada subepitel bronkus dan kelenjar submukosa penghasil sekret.4
TNF α yang merupakan sitokin proinflamasi yang potensial akan berkoordinasi
dan menyebabkan peningkatan sitokin-sitokin lainnya seperti IL-1 dan IL-6 yang
kemudian akan menginduksi angiogenesis. Peningkatan sitokin-sitoin diatas selain berada
didalam saluran nafas, juga beredar di sirkulasi sistemik. Peningkatan sitokin-sitokin
proinflamasi pada saluran nafas sebagai petanda inflamasi lokal, juga akan memberikan
gambaran pada peningkatan sel-sel inflamasi secara sistemik, termasuk didalamnya
neutrofil dan limfosit pada gambaran darah tepi. Asal inflamasi sistemik pada PPOK
sebenarnya tidaklah terlalu jelas dimengerti, tetapi terdapat beberapa jalur yang
diperhitungkan dapat menjelaskan proses tersebut. Mekanisme pertama yang telah
diketahui luas adalah salah satu faktor risiko yaitu asap rokok.4

7
Gambar 2. Mekanisme Inflamasi pada PPOK
Selain menyebabkan inflamasi pada saluran nafas, asap rokok sendiri secara
independen menyebabkan efek ekstra pulmoner seperti kejadian kardiovaskular dan
inflamasi sistemik melalui stres oksidatif sistemik dan disfungsi endotel vaskular perifer
dan menariknya kejadian ini juga akan dialami oleh perokok pasif meski hanya terpapar
beberapa tahun. Mekanisme kedua yang bertolak belakang dari mekanisme pertama
menyatakan bahwa respon inflamasi lokal ber diri sendiri, begitu juga inflamasi sistemik.
Hal ini dibuktikan dari penelitian akan kadar TNFαR dan IL8 pada sputum yang ternyata
meskipun tinggi pada sputum, ternyata tidak menunjukkan adanya inflamasi sistemik
yang berat.4
Begitu juga pada orang sehat yang dipaparkan akan produk bakterial yang pro
inflamasi, lipopolisakarida memang menunjukkan adanya proses inflamasi lokal berupa
kenaikan temperatur tubuh, reaktifitas saluran nafas dan penurunan FEV1, hanya saja
terjadi perbedaan dimana memang inflamasi sistemik tampak pada subjek yang
mengalami demam, tetapi tidak pada subjek yang hanya mengalami gangguan saluran
nafas tanpa demam. Mekanisme ketiga yang diduga adalah hipoksia, dan ini merupakan
masalah berulang pada PPOK, dimana hipoksia yang terjadi akibat penyempitan saluran
nafas, akan mengaktivasi sistem TNF dan makrofag yang menyebabkan peningkatan
sitokin proinflamasi pada sirkulasi perifer.1,4

8
4. Perbandingan saluran nafas PPOK dan Normal
Saluran napas normal akan melebar karena perlekatan alveolar selama ekspirasi
diikuti oleh proses pengosongan alveolar dan pengempisan paru. Perlekatan alveolar pada
PPOK rusak karena emfisema menyebabkan penutupan jalan napas ketika ekspirasi dan
menyebabkan air trapping pada alveoli dan hiperinflasi. Saluran napas perifer mengalami
obstruksi dan destruksi karena proses inflamasi dan fibrosis, lumen saluran napas tertutup
oleh sekresi mukus yang terjebak akibat bersihan mukosilier kurang sempurna.1 Proses
pernapasan normal dibandingkan PPOK terlihat pada gambar wdibawah ini.1

Gamba
r 3. Gambaran Epitel saluran nafas pada PPOK dan orang sehat

2.4 Manifestasi Klinis


Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan
hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan
kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK dipertimbangkan bila timbul
tanda dan gejala seperti berikut ini : 4
1. Sesak
Sesak yang bersifat progresif dimana semakin bertambah berat seiring berjalannya
waktu (kronik), bertambah berat atau dipicu dengan aktivitas, persisten dan menetap
sepanjang hari, keluhan bernafas berat, sukar bernafas dan terengah-engah saat
bernafas.
2. Batuk kronik
Hilang timbul dan mungkin tidak berdahak.
3. Batuk kronik berdahak

9
Setiap batuk kronik berdahak dapat mengindifikasikan PPOK, namun batuk
kronik hilang timbul tanpa adanya dahak juga dapat mengindikasikan terjadinya
PPOK.
4. Riwayat terpajan faktor risiko
Riwayat pajanan terhadap faktor resiko seperti asap rokok, debu, bahan kimia
ditempat kerja dan termasuk juga asap dapur.

5. Riwayat keluarga menderita PPOK


Jika salah satu indikator pada gejala diatas ditemukan pada pasien yang berusia
lebih dari 40 tahun maka pertimbangkan diagnosis PPOK dan lakukan uji spirometri
untuk memastikan diagnosis PPOK.
2.5 Penilaian Risiko Eksaserbasi
Prediktor terhadap risiko eksaserbasi terbaik dilakukan dengan mengetahui
riwayat penyakit sebelumnya. Disamping itu, adanya perburukan keterbatasan aliran
udara yang terjadi berhubungan dengan meningkatnya eksaserbasi dan risiko kematian.
Rawat inap pada kejadian eksaserbasi PPOK berhubungan dengan prognosis yang buruk.4

2.6 Penilaian Komorbiditas


Pada PPOK terdapat manifestasi ekstra paru yang bermakna meliputi penurunan
berat badan, abnormalitas status nutrisi dan disfungsi otot skeletal, yang diakibatkan
berbagai faktor dan dapat berkontribusi terhadap toleransi latihan dan rendahnya status
kesehatan pada pasien PPOK. Beberapa komorbid yang sering didapat pada pasien PPOK
adalah penyakit kardiovaskuler, sindrom metabolik, osteoporosis depresi dan kanker
paru. Hal ini dihubungkan dengan faktor risiko utama (merokok), keterlibatan genetik
atau faktor karsinogen yang belum jelas.4

2.7 Kriteria Diagnostik


Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda
inflasi paru. Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan:4
1. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan.
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja.

10
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara,
batuk berulang dengan atau tanpa dahak, sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.
- Riwayat keluarga yang menderita PPOK
- Riwayat perawatan sebelumnya karena penyakit paru
- Penyakit komorbid seperti penyakit jantung, osteoporosis, muskuloskeletal dan
keganasan.
- Keterbatasan aktivitas, kondisi depresi dan ansietas serta gangguan aktivitas
seksual.

Tabel 2.1 Skala Sesak menurut Modified Medical Research


Council (MMRC Dyspnea Scale)

Grade Keluhan sesak berdasarkan aktivitas


0 Sesak napas baru timbul jika melakukan kegiatan berat
1 Sesak napas timbul bila berjalan cepat pada lantai yang datar

2 Jika berjalan bersama teman seusia dijalan yang datar, selalu

lebih lambat; atau jika berjalan sendirian dijalan yang datar


3 seringuntuk
Perlu istirahat beristirahat
menarikuntuk mengambil
napas napas 100 meter
setiap berjalan

4 Timbul sesak napas ketika mandi atau berpakaian

Berdasarkan gejala klinis yang dapat diukur berdasarkan skor mMRC

(Modified Medical Research Council) atau CAT (COPD Assessment Test)


yang disajikan pada lampiran dan berdasarkan riwayat eksaserbasi, PPOK

dikelompokkan menjadi 4 kelompok disajikan pada Tabel 2.2.4


Tabel 2.2 Penilaian Kelompok Pasien PPOK

11
Populasi C: Populasi D:
Risiko tinggi, gejala sedikit Risiko tinggi, gejala banyak,
Kelompok PPOK stadium III dan IV Kelompok PPOK stadium III dan IV
Ekseserbasi pertahunnya > 2 kali Ekseserbasi pertahunnya > 2 kali
(atau 1 kali A:
Populasi MRS) (atau 1 kali B:
Populasi MRS)
Risiko rendah, gejala sedikit Risiko rendah, gejala banyak
Kelompok PPOK stadium I dan II Kelompok PPOK stadium I dan II,
Ekseserbasi pertahunnya 0-1 kali Ekseserbasi pertahunnya 0-1 kali
Skor mMRC 0-1 / skor CAT < 10 Skor mMRC ≥ 2 dan skor CAT ≥ 10

2. Pemeriksaan fisik
Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan
edema tungkai
Palpasi, Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi, Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah
Auskultasi :
- Suara napas vesikuler normal, atau melemah
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh
Purshed-lips breathing

12
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi
CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.

3. Pemeriksaan Penunjang
Uji Faal Paru dengan Spirometri dan Bronkodilator (post-bronchodilator)
Uji faal paru berguna untuk menegakkan diagnosis, melihat
perkembangan penyakit, dan menentukan prognosa. Pemeriksaan ini penting untuk
memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi saluran nafas dalam berbagai
tingkat. Spirometri digunakan untuk mengukur volume maksimal udara yang
dikeluarkan setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital capacity (FVC).
Spirometri juga mengukur volume udara yang dikeluarkan pada satu detik pertama
pada saat melakukan manuver tersebut, atau disebut dengan Forced Expiratory
Volume in 1 second (FEV1).3
Rasio dari kedua pengukuran inilah (FEV1/FVC) yang sering digunakan
untuk menilai fungsi paru. Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan
penurunan dari FEV1 dan FVC serta nilai FEV1/FVC < 70%. Pemeriksaan post-
bronchodilator dilakukan dengan memberikan bonkodilator inhalasi sebanyak 8
hisapan, dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai FEV1. Bila perubahan
nilai FEV1 <20%, maka ini menunjukkan pembatasan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel. Uji ini dilakukan saat PPOK dalam keadaan stabil (di luar
eksaserbasi akut). Dari hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator
dapat digunakan untuk menentukan klasifikasi penyakit PPOK berdasarkan derajat
obstruksinya. Klasifikasi berdasarkan GOLD kriteria adalah :3
1. Stage I : Ringan
Pemeriksaan spirometri post-bronchodilator menunjukan hasil rasio FEV1/FVC
< 70% dan nilai FEV1 ≥ 80% dari nilai prediksi.
2. Stage II : Sedang
Rasio FEV1/FVC < 70% dengan perkiraan nilai FEV1 diantara 50-80% dari nilai
prediksi.
3. Stage III : Berat

13
Rasio FEV1/FVC < 70%, dan nilai menunjukkan FEV1 diantara 30-50% dari nilai
prediksi.
4. Stage IV : Sangat Berat
Rasio FEV1/FVC < 70%, nilai FEV1 diperkirakan kurang dari 30% ataupun
kurang dari 50% dengan kegagalan respirasi kronik.
Foto Torak PA dan Lateral
Foto torak PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan kemungkinan
penyakit paru lain. Pada penderita emfisema dominan didapatkan gambaran
hiperinflasi, yaitu diafragma rendah dan rata, hiperlusensi, ruang retrosternal
melebar, diafragma mendatar, dan jantung yang menggantung/penduler (memanjang
tipis vertikal). Sedangkan pada penderita bronkitis kronis dominan hasil foto
thoraks dapat menunjukkan hasil yang normal ataupun dapat terlihat corakan
bronkovaskuler yang meningkat disertai sebagian bagian yang hiperlusen.7

Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan bakteriologi Gram pada sputum diperlukan untuk mengetahui
pola kuman dan memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.7
Analisa Gas Darah (AGD)
Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas darah sangat penting
dilakukan dan wajib dilakukan apabila nilai FEV1 pada penderita
menunjukkan nilai < 40% dari nilai prediksi dan secara klinis tampak tanda- tanda
kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan seperti sianosis sentral, pembengkakan
ekstrimitas, dan peningkatan jugular venous pressure. Analisa gas darah arteri
menunjukkan gambaran yang berbeda pada pasien dengan emfisema dominan
dibandingkan dengan bronkitis kronis dominan.7
Pada bronkitis kronis analisis gas darah menunjukkan hipoksemi yang
sedang sampai berat pada pemberian oksigen 100%. Dapat juga menunjukkan
hiperkapnia yang sesuai dengan adanya hipoventilasi alveolar, serta asidosis
respiratorik kronik yang terkompensasi. Gambaran seperti ini disebabkan karena
pada bronkitis kronis terjadi gangguan rasio ventilasi/perfusi (V/Q ratio) yang
nyata. Sedangkan pada emfisema, rasio V/Q tidak begitu terganggu oleh karena

14
baik ventilasi maupun perfusi, keduanya menurun disebabkan berkurangnya jumlah
unit ventilasi dan capillary bed. Oleh karena itu pada emfisema gambaran analisa gas
darah arteri akan memperlihatkan normoksia atau hipoksia ringan, dan normokapnia.
Analisa gas darah berguna untuk menilai cukup tidaknya ventilasi dan oksigenasi,
dan untuk memantau keseimbangan asam basa.7
Pemeriksaan Darah rutin
Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui adanya faktor pencetus
seperti leukositosis akibat infeksi pada eksaserbasi akut, polisitemia pada
hipoksemia kronik.7
Pemeriksaan penunjang lainnya
Pemeriksaan Electrocardiogram (EKG) digunakan untuk mengetahui
komplikasi pada jantung yang ditandai oleh kor pulmonale atau hipertensi
pulmonal. Pemeriksaan lain yang dapat namun jarang dilakukan antara lain uji latih
kardiopulmoner, uji provokasi bronkus, CT-scan resolusi tinggi, ekokardiografi, dan
pemeriksaan kadar alpha-1 antitryipsin.7

2.8 Diagnosis Banding


Asma dan SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis) merupakan
penyakit paru obstruktif yang sering dijumpai selain PPOK. Selain itu penyakit gagal
jantung, bronkiektasis, dan TB aktif juga perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding PPOK. Ringkasan gambaran klinis diagnosis banding PPOK disajikan pada
Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Diagnosis Banding PPOK7

Diagnosis Gambaran klinis


Onset usia pertengahan
Gejala progresif lambat
PPOK
Riwayat merokok
Sesak saat aktivitas
Hambatan aliran udara umumnya
Asma Onset usia dini
Gejala bervariasi dari hari ke hari
Gejala pada waktu malam/dini hari lebih
Dapat ditemukan alergi, rinitis dan/atau
menonjol
eksim
15
Riwayat asma dalam keluarga
Hambatan aliran udara umumnya
reversible
Gagal jantung Riwayat hipertensi
Ronki basah halus di basal paru
Kongestif
Gambaran foto toraks
pembesaran jantung dan edema
paru
Pemeriksaan faal paru restriksi, bukan
obstruksi
Bronkiektasis Sputum purulen dalam jumlah banyak
Sering berhubungan dengan infeksi
Ronkibakteri
basah kasar
Gambaran foto toraks tampak
Penebalan dinding bronkus
honeycombappearence
Tuberkulosis Onset semua usia
Gambaran Infiltrat pada foto thoraks
Konfrmasi mikrobiologi (Basil Tahan
Sindrom Obstruksi Riwayat pengobatan anti tuberkulosis
Gambaran foto toraks bekas TB
Pasca TB (SOPT)
: fibrotik dan kalsifikasi
minimal
Pemeriksaan faal paru menunjukkan
obstruksi yang
irreversible

2.9 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah mengurangi gejala dan risiko
eksaserbasi akut. Indikator penurunan gejala adalah gejala membaik,
memperbaiki toleransi terhadap aktivitas, dan memperbaiki status kesehatan.
Sedangkan indikator penurunan risiko adalah mencegah perburukan penyakit,
mencegah dan mengobati eksaserbasi, menurunkan mortalitas.4

1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena

16
PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi
adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan
fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari
pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan
dari asma.4
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup

2. Farmakologi
Secara umum, pengobatan PPOK menggunakan beberapa golongan obat, seperti:6
1. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan pengobatan yang dapat meningkatkan FEV1
dan atau mengubah variabel spirometri. Obat ini bekerja dengan mengubah
tonus otot polos pada saluran pernafasan dan meningkatkan refleks
bronkodilatasi pada aliran ekspirasi dibandingkan dengan mengubah elastisitas
paru. Bronkodilator bekerja dengan menurunkan hiperventilasi dinamis saat
istirahat dan beraktivitas, serta memperbaiki toleransi terhadap akivitas. Pada
kasus PPOK ketegori berat atau sangat sangat berat sulit untuk memprediksi
perbaikan FEV1 yang diukur saat istirahat.

Bronchodilator dose-respone (perubahan FEV1) kurang memberikan


respon relatif pada setiap kelas bronkodilator. Peningkatan dosis beta2-agonist
atau antikolinergik, khususnya yang diberikan dengan nebulizer, menunjukkan
efek positif pada episode akut, namun tidak terlalu membantu pada kondisi
stabil. Bronkodilator pada PPOK diberikan sebagai dasar untuk mencegah atau
menurunkan gejala. Tidak direkomendasikan penggunaan bronkodilator dengan
kerja pendek.
2. Beta2-agonist

17
Prinsip kerja obat ini adalah relaksasi otot polos pada saluran pernafasan
dengan menstimulasi reseptor beta2-adrenergik, dimana akan meningkatkan
siklus AMP dan memproduksi efek fungsional yang berlawanan dengan
bronkokonstriksi. Terdapat beta2-agonist dengan kerja pendek (SABA) dan
kerja panjang (LABA), dimana efek SABA biasanya muncul dalam 4-6 jam.
Penggunaan SABA secara regular dapat meningkatkan FEV1 dan memperbaiki
gejala. Untuk dosis tunggal, khususnya pada kasus PPOK, tidak terdapat
keuntungan apabila digunakan secara rutin, contohnya levalbuterol
dibandingkan konvensional bronkodilator. LABA menunjukkan durasi kerja
12 jam atau lebih dan tidak dimasukkan sebagai efek tambahan pada terapi
SABA.
Folmetrol dan salmeterol merupakan LABA yang diberikan 2 kali
dalam sehari, dimana secara signifikan memperbaiki FEV1 dan volume paru,
sesak, laju eksaserbasi serta jumlah kejadian masuk rumah sakit, namun tidak
terdapat efek pada perbaikan mortalitas atau fungsi paru. Indacaterol atau LABA
yang dikonsumsi 1 kali sehari dapat memperbaiki sesak, status kesehatan, dan laju
eksaserbasi. Beberapa pasien dengan riwayat batuk akan diikuti dengan
pemberian indacaterol inhalasi. Oladaterol dan vilanterol merupakan tambahan
LABA yang dapat dikonsumsi 1 kali sehari dan dapat memperbaiki gejala dan
fungsi paru.

Stimulasi reseptor beta2-adrenergik dapat memproduksi sinus takikardia


dan memiliki potensi untuk menjadi gangguan ritme jantung. Tremor dapat
dirasakan pada pasien tua dengan dosis tinggi. Apabila terapi dikombinasi
dengan diuretik thiazide, dapat menimbulkan hipokalemia dan peningkatan
konsumsi oksigen pada pasien gagal ginjal kronis, dimana terjadi efek penurunan
metabolik.
3. Antimuskarinik
Prinsip kerjanya dengan mem-blok efek bronkokonstriksi asetikolin
pada reseptor muskarinik M3 pada otot polos saluran pernafasan. Short-acting
antimuscarinic (SAMAS) seperti ipratropium dan oxitroprium juga mem-blok
reseptor neuronal M2, yang secara potensial dapat memicu bronkokonstriksi.

18
Long acting muscarinic antagonist (LAMAS) seperti tiotropium, aclidinium,
glycopyrronium bromide dan umeclidinium, mempunyai ikatan dengan reseptor
muskarinik M3 dengan disosiasi yang lebih cepat dibandingkan reseptor
muskarinik M2 yang memperpanjang durasi efek bronkodilator.
Ipratropiun sebagai muskarinik antagonis kerja pendek memiliki efek yang kecil
dibandingkan beta2-agonist kerja pendek dalam hal perbaikan fungsi paru, status
kesehatan dan kebutuhan terhadap oral steroid. Beberapa jenis LAMAs seperti
titropiun dan umeclidinium dikonsumsi 1 kali sehari, aclidinium untuk 2 kali
sehari, dan glycopyrronium, dimana beberapa negara memberikan 1 kali sehari
dan negara lain memberikan 2 kali sehari. Pengobatan dengan tiotripium dapat
memperbaiki gejala dan status kesehatan, memperbaiki efektivitas rehabilitasi
paru dan mengurangi eksaserbasi terkait hospitalisasi. Beberapa penelitian
menunjukkan efek eksaserbasi yang lebih besar pada golongan obat LAMAs
(tiotropium) dibandingkan LABA. Efek samping yang dapat muncul berupa
mulut kering, gangguan buang air kecil, dan pada penggunaan
ipratropium menunjukkan gejala mulut terasa pahit dan gangguan pengecapan
serta sebagian kecil peningkatan kejadian kardiovaskuler.

4. Methylxanthines
Theophylline merupakan jenis methylxantine yang paling sering
digunakan, dimana dimetabolisme oleh cytochrome P450 dengan fungsi
oksidase. Efek yang ditimbulkan berupa peningkatan fungsi otot skeletal
respirasi. Penambahan theophylline dengan salmeterol memberikan efek
perbaikan pada FEV1 dan gejala sesak dibandingan hanya pemberian
salmeterol saja.
Toksisitas methylxanthine tergantung pada dosis yang diberikan, dimana
efek yang ditimbulkan berupa palpitasi akibat atrium dan ventrikel aritmia. Efek
lain termasuk sakit kepala, insomnia, mual, terasa panas di dada. Pengobatan ini
juga memiliki interaksi yang signifikan dengan beberapa obat seperti
digitalis dan coumadin.
5. Kombinasi terapi bronkodilator
Kombinasi bronkodilator SABAs dan SAMAs memberikan efek
perbaikan FEV1 dan gejala dibandingkan diberikan secara tunggal. Pengobatan

19
dengan formoterol dan tiotropium inhaler memberikan efek yang lebih besar
terhadap FEV1, memperbaiki fungsi paru dan status kesehatan pada pasien
PPOK. Beberapa penelitian menunjukkan pemberian kombinasi LABA/LAMA,
memeberikan efek terhadap laju eksaserbasi. Kombinasi ini juga dikatakan lebih
baik dibandingkan kombinasi antara LABA dan ICS (inhaled corticosteroid).
6. Anti-inflamasi
- Inhaled corticosteroid (ICS)
Pada pasien PPOK, pengobatan dengan ICS menunjukkan respon yang
terbatas. Beberapa obat termasuk beta2-agonist, theophylline atau macrolide
dapat mempengaruhi sensitivitas kortikosteroid pada PPOK. Pengobatan dengan
ICS saja, tidak dapat memodifikasi penurunan FEV1. Pada pasien dengan
PPOK kategori sedang-berat, kombinasi ICS dengan LABA lebih efektif dalam
memperbaiki fungsi paru, status kesehatan dan menurunkan eksaserbasi.
Selain itu, pengobatan dengan LABA/ICS fixed dose combination (FDC)
memberikan efek yang signifikan dibandingkan dengan LABA saja, pada pasien
dengan eksaserbasi maksimal 1 kali dalam setahun. Efek samping yang
ditimbulkan yaitu, candidiasis mulut, suara parau, kulit memar, dan pneumonia.
Peningkatan risiko tersebut telah dikonfirmasi pada ICS dengan menggunakan
fluticasone furoate, walaupun pada dosis rendah. Pasien yang memiliki risiko
tinggi pneumonia apabila memeiliki riwayat merokok, umur ≥ 55 tahun,

memiliki riwayat eksaserbasi pneumonia, BMI < 25 kg/m 2, dan sesak berat.
Pada penggunaan ICS independent, peningkatan <2% eosinofil darah, dapat
meningkatkan risiko pneumonia. Pasien dengan PPOK sedang, terapi ICS
tunggal ataupun kombinasi dengan LABA, tidak meningkatkan risiko
pneumonia. Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan risiko fraktur dan
penurunan densitas tulang pada terapi ICS. Selain itu, terapi ICS dapat
berhubungan dengan peningkatan risiko diabetes, katarak, dan infeksi
mikobakteri termasuk TB. Efek withdrawl ICS, tergantung pada fungsi paru,
gejala dan eksaserbasi. Peningkatan eksaserbasi dan/atau gejala diikuti dengan
efek withdrawal ICS. Penurunan FEV1 (40 ml) dengan efek withdrawal ICS
berhubungan dengan peningkatan batas eosinophil.
- Terapi inhaler triple

20
Terapi inhaler triple berupa penambahan LABA, LAMA, dan ICS,
dimana efek yang diberikan berupa perbaikan fungsi paru, pada risiko
eksaserbasi.
- Oral glukokortikoid
Efek yang diberikan berupa steroid miopati yang berhubungan dengan
kelemahan otot, penurunan fungsional, dan kegagalan pernapasan pada pasien
dengan PPOK berat. Sistemik glukokortikoid pada akut eksaserbasi
menunjukkan laju kegagalan terapi, laju kekambuhan, serta memperbaiki fungsi
paru dan sesak. Oral glukokortikoid memberikan efek terapi pada akut
eksaserbasi, namun tidak berperan pada kondisi kronis karena memiliki
komplikasi sistemik yang tinggi.
- Phosphodiesterase-4 (PDE-4) inhibitors
Prinsip kerjanya adalah dengan menurunkan inflamasi dengan
menghambat pemecahan siklus intraseluler AMP. Roflumilast merupakan obat
oral yang dikonsumsi 1 kali sehari tanpa aktivitas bronkodilator. Efeknya adalah
menurunkan eksaserbasi sedang dan berat yang telah diobati dengan
kortikosteroid sistemik pada pasien bronchitis kronis, PPOK berat sampai
sangat berat, dan riwayat eksaserbasi. Efek pada fungsi paru dapat juga dilihat
ketika roflumilast ditambahkan pada bronkodilator kerja panjang dan pada
pasien yang tidak terkontrol pada kombinasi fixed-dose LABA/ICS. Efek
samping yang dapat ditimbulkan lebih banyak jika dibandingkan dengan
pengobatan inhaler untuk PPOK. Efek tersering yaitu diare, mual, penurunan
nafsu makan, penurunan berat badan (2 kg), nyeri perut, gangguan tidur, dan
sakit kepala. Pemberian roflumilast perlu diperhatikan khususnya pada pasien
underweight dan depresi.
7. Antibiotik
Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan antibiotik secara
regular dapat menurunkan laju eksaserbasi. Azithromycin (250 mg/hari atau 500
mg 3 kali per minggu) atau eritromycin (500 mg 2 kali per hari) dalam satu
tahun dapat menurunkan risiko eksaserbasi. Azithromycin berhubungan dengan
peningkatan insiden resistensi bakteri dan gangguan pendengaran.
8. Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan agen antioksidan

21
Pada pasien PPOK yang tidak mendapatkan kortikosteroid inhaler, terapi
regular dengan mukolitik seperti carbocystein dan N-acetylcystein dapat
menurunkan eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan.

 Bronkodilator
a. Agonis ß-2 : salbutamol 2,5-5 mg/ml; terbutalin 5-10 mg/ml. Bentuk
inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan
dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
b. Antikolinergik : Ipratropium brom0,25-0,5 mg/ml, tiotropium digunakan
pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir.
c. Kombinasi antikolinergik dan agonis ß-2 : Kombinasi kedua golongan
obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena kedunya
mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mudah digunakan.
d. Metilxantin : teofilin lepas lambat, bila kombinasi ß-2 dan steroid belum
memuaskan. Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan
jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat.

 Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon/prednison.
 Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksasebasi, terutama pada bronchitis kronik dengan
sputum yang kental (misalnya ambroxol, erdostein).
 Antitusif
Kodein hanya diberikan bila batuk kering dan sangat mengganggu.

Tabel 2.4 Antitusif

22
23
 Antibiotik
Hanya diberikan bila terdapat eksasebasi. Diberikan jika gejala sesak
nafas dan batuk disertai dengan peningkatan volum dan purulensi sputum.
Antibiotik yang diberikan hendaknya berspektrum luas yang bisa membunuh
H.influenza, S.pneumoniae, dan M.catarrhalis sambil menunggu hasil kultur
sensitive kuman.

Tabel 2.5 Antibiotik yang umumnya digunakan pada PPOK eksaserbasi akut.
Pengobatan oral Alternative Pengobatan
pengobatan oral parenteral
Kelompok A Pasien dengan satu B-lactam, B-
gejala cardinal lactam inhibitor
sebaiknya tidak (co-amyxoclav)
mendapatkan Makrolid
antibiotic (azitromicin
Bila ad indikasi dapat calritromisin)
diberikan : Sefalosporin

24
B-lactam(penisilin, generasi 2 dan 3
ampisilin, Ketolid
amoksisilin), (telitromisin)
Tetrasiklin
Trimetropin
Sulfameloksasol
Kelompok B B-lactam, B-lactam Flurokuinolon B-lactam, B-lactam
inhibitor (co- (levofloksasin, inhibitor (co-
amyxoclav) moxifloksacin) amyxoclav,
ampisilin/sulbaktam)
Sefalosporin
generasi 2 dan 3
Fluorokuinolon
(ciprofloxsacin,
levofloxsacin dosis
tinggi)
Kelompok C Pasien dengan risiko Fluorokuinolon
infeksi pseudomonas : (ciprofokxacin,
fluorokuinolon levofloxsacin dosis
(ciprofokxacin, tinggi)
levofloxsacin dosis B-lactam dengan
tinggi) aktivitas P.
aureginosa

3. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK Penderita yang dimasukkan ke dalam
program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal
yang disertai :
- Simptom pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
- Kualiti hidup yang menurun

25
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim
multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog.
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan
latihan pernapasan.
1. Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi oksigen.
 Latihan fisis yang baik akan menghasilkan :
- Peningkatan VO2 max
- Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik
- Peningkatan cardiac output dan stroke volume
- Peningkatan efisiensi distribusi darah
- Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery
 Latihan untuk meningkatkan kemapuan otot pernapasan
a. Latihan untuk meningkatkan otot pernapasan
b. Endurance exercise
Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan Latihan ini
diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan pada otot
pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan insipirasi yang cukup
untuk melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan. Latihan khusus pada otot
pernapasan akan mengakibatkan bertambahnya kemampuan ventilasi maksimum,
memperbaiki kualiti hidup dan mengurangi sesak napas. Pada penderita yang
tidak mampu melakukan latihan endurance, latihan otot pernapasan ini akan besar
manfaatnya. Apabila ke dua bentuk latihan tersebut bisa dilaksanakan oleh
penderita, hasilnya akan lebih baik. Oleh karena itu bentuk latihan pada penderita
PPOK bersifat individual. Apabila ditemukan kelelahan pada otot pernapasan,
maka porsi latihan otot pernapasan diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2
darah tinggi dan peningkatan ventilasi pada waktu latihan maka latihan endurance
yang diutamakan. Endurance exercise Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya
dapat terjadi pada penderita PPOK. Bertambahnya cardiac output maksimal dan
transportasi oksigen tidak sebesar pada orang sehat.
Latihan jasmani pada penderita PPOK akan berakibat meningkatnya
toleransi latihan karena meningkatnya toleransi karena meningkatnya kapasiti
kerja maksimal dengan rendahnya konsumsi oksigen. Perbaikan toleransi latihan

26
merupakan resultante dari efisiensinya pemakaian oksigen di jaringan dari
toleransi terhadap asam laktat. Sesak napas bukan satu-satunya keluhan yang
menyebabkan penderita PPOMJ menghenikan latihannya, faktor lain yang
mempengaruhi ialah kelelahan otot kaki. Pada penderita PPOK berat, kelelahan
kaki mungkin merupakan faktor yang dominan untuk menghentikan latihannya.
Berkurangnya aktiviti kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penurunan fungsi
otot skeletal. Imobilitasasi selama 4 - 6 minggu akan menyebabkan penurunan
kekuatan otot, diameter serat otot, penyimpangan energi dan activiti enzim
metabolik. Berbaring ditempat tidur dalam jangka waktu yang lama menyebabkan
menurunnya oxygen uptake dan kontrol kardiovaskuler.
Latihan fisis bagi penderita PPOK dapat dilakukan di dua tempat :
1. Di rumah
- Latihan dinamik
- Menggunakan otot secara ritmis, misal : jalan, joging, sepeda
2. Rumah sakit
- Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu. Tipe
latihan diubah setiap hari. Pemeriksaan denyut nadi, lama latihan dan keluhan
subyektif dicatat. Pernyataan keberhasilan latihan oleh penderita lebih penting
daripada hasil pemeriksaan subyektif atau obyektif. Pemeriksaan ulang setelah 6-
8 minggu di laboratorium dapat memberikan informasi yang obyektif tentang
beban latihan yang sudah dilaksanakan.
- Dua bentuk latihan dinamik yang tampaknya cocok untuk penderita di rumah
adalah ergometri dan walking-jogging. Ergometri lebih baik daripada
walkingjogging. Begitu jenis latihan sudah ditentukan, latihan dimulai selama 2-3
menit, yang cukup untuk menaikkan denyut nadi sebesar 40% maksimal. Setelah
itu dapat ditingkatkan sampai mencapai denyut jantung 60%-70% maksimal
selama 10 menit. Selanjutnya diikuti dengan 2-4 menit istirahat.
- Apabila petunjuk umum sudah dilaksanakan, risiko untuk penderita dapat
diperkecil. walaupun demikan latihan jasmani secara potensial akan dapat
berakibat kelainan fatal, dalam bentuk aritmia atau iskemi jantung.
Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum latihan :
- Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan

27
- Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latihan
- Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental, gangguan koordinasi
atau pusing latihan segera dihentikan
- Pakaian longgar dan ringan
2. Psikososial
Status psikososial penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila diperlukan
dapat diberikan obat
3. Latihan Pernapasan
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas. Teknik
latihan meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips guna memperbaiki
ventilasi dan menyinkronkan kerja otot abdomen dan toraks. Serta berguna juga
untuk melatih ekspektorasi dan memperkuat otot ekstrimiti.

4. Terapi oksigen dan ventilasi


Pemberian terapi oksigen dibutuhkan untuk meningkatkan saturasi oksigen
mencapai > 90%. Pemberian oksigen melalui sungkup aliran tinggi (ventury
mask) lebih menguntungkan daripada penggunaan kanul nasal, tetapi kanul nasal
lebih dapat ditoleransi. Ventilasi mekanik dapat digunakan apabila pemberian
oksigen tidak adekuat. Pemberian ventilasi mekanik di usahakan dengan
noninvasive positive pressure ventilation (NIPVV). Bila tidak berhasil ventilasi
mekanik yang digunakan dengan invasive yaitu melalui intubasi. Nilai pH yang
kurang dari 7,36 dan PaCO2 lebih dari 45 mmHg mengindikasikan untuk
memberkan ventilasi mekanik
 Manfaat oksigen
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup

28
 Indikasi
- Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
- Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,
perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda
- tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain
 Macam terapi oksigen :
- Pemberian oksigen jangka panjang
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi
oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan
gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK
eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang rawat ataupun ICU.
Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :
- Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT )
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil
terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari,
pemberian oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu
tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur.
Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas
darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di
atas 90%. Alat bantu pemberian oksigen
- Nasal kanul
- Sungkup venturi
- Sungkup rebreathing
- Sungkup nonrebreathing

29
Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi
analisis gas darah pada waktu tersebut.

5. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal
napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK
derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah
sakit di ruang ICU atau di rumah.
 Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
- ventilasi mekanik dengan intubasi
- ventilasi mekanik tanpa intubasi
I. Ventilasi mekanik tanpa intubasi
Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan
gagal napas kronik dan dapat digunakan selama di rumah. Bentuk ventilasi
mekanik tanpa intubasi adalah Nonivasive Intermitten Positif Pressure
(NIPPV) atau Negative Pessure Ventilation (NPV).
NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi :
- Volume control
- Pressure control
- Bilevel positive airway pressure (BiPAP)
- Continous positive airway pressure (CPAP)
NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus
menerus (LTOT / Long Tern Oxygen Theraphy) akan memberikan
perbaikan yang signifikan pada :
- Analisis gas darah
- Kualiti dan kuantiti tidur
- Kualiti hidup
- Analisis gas darah

 Indikasi penggunaan NIPPV


- Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi
dan abdominal paradoksal

30
- Asidosis sedang sampai berat pH < 7,30 - 7, 35
- Frekuensi napas > 25 kali per menit NPV tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan obstruksi saluran napas atas, disamping harus menggunakan
perlengkapan yang tidak sederhana.

II. Ventilasi mekanik dengan intubasi


Pasien PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi
mekanik di rumah sakit bila ditemukan keadaan sebagai berikut :
- Gagal napas yang pertama kali
- Perburukan yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan
dapat diperbaiki, misalnya pneumonia
- Aktiviti sebelumnya tidak terbatas

 Indikasi penggunaan ventilasi mekanik invasif :


- Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi tambahan
dan pergerakan abdominal paradoksal
- Frekuensi napas > 35 permenit
- Hipoksemia yang mengancam jiwa (Pao2 < 40 mmHg)
- Asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (Pao2 < 60 mmHg)
- Henti napas
- Samnolen, gangguan kesadaran
- Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)
- Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia, emboli
paru, barotrauma, efusi pleura masif)
- Telah gagal dalam penggunaan NIPPV

 Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK


dengan kondisi sebagai berikut:
- PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal
sebelumnya
- Terdapat ko-morbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan

31
- Aktiviti sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal

 Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik


- VAP (ventilator acquired pneumonia)
- Barotrauma
-Kesukaran weaning

 Kesukaran dalam proses weaning dapat diatasi dengan


- Keseimbangan antara kebutuhan respirasi dan kapasiti muskulus
respirasi
- Bronkodilator dan obat-obatan lain adekuat
- Nutrisi seimbang
- Dibantu dengan NIPPV

6. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan
derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah Malnutrisi dapat
dievaluasi dengan :
- Penurunan berat badan
- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan
mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat
mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan
keseimbangan antara kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu
nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa

32
nasogaster. Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah
karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat
meningkatkan ventilasi semenit oxigen comsumption dan respons ventilasi
terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas
kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan. Gangguan
keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi
muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi. Gangguan
elektrolit yang terjadi adalah :
- Hipofosfatemi
- Hiperkalemi
- Hipokalsemi
- Hipomagnesemi
Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi
dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang
lebih sering.

Penatalaksanaan pada keadaan stabil


Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil adalah untuk menurunkan
gejala, menurunkan frekuensi dan beratnya eksaserbasi, dan meningkatkan
toleransi terhadap aktivitas dan status kesehatan. Pemelihan pengobatan dari
masing-masing kelas, tergantung aviabilitas, harga, dan perbandingan antara
respon klinis dan efek samping. Setiap pengobatan harus disesuaikan dengan
kebutuhan masing-masing individu berdasarkan beratnya gejala, keterbatasan
aliran udara, dan beratnya eksaserbasi.
Terapi farmakologi pada PPOK keadaan stabil berdasarkan kelompok
atau populasi yang sudah ditentukan.
1. Populasi A, menggunakan bronkodilator dengan pilihan pertama
SAMA atau SABA (jika diperlukan). Pilihan kedua digunakan LAMA atau
LABA atau SAMA dan SABA. Sedangkan untuk pilihan alternative digunakan
theophylline.

33
2. Populasi B menggunakan pilihan pertama LAMA atau LABA, pilihan kedua
digunakan LAMA dan LABA, serta pilihan alternative digunakan SABA
dan/atau SAMA dan theophylline.
3. Populasi C dengan pilihan pertama yaitu ICS+LABA atau LAMA,
pilihan kedua menggunakan LAMA dan LABA, sedangkan pilihan alternative
dapat menggunakan PDE4-inhibitor, SABA dan/atau SAMA, serta theophylline.
4. Populasi D dengan pilihan pertama yaitu ICS+LABA atau LAMA.
Pilihan kedua menggunakan beberapa pilihan obat yaitu ICS dan LAMA
atau ICS+LABA dan LAMA atau ICS+LABA dan PDE4- inhibitor atau
LAMA dan LABA atau LAMA dan PDE4-inhibitor. Sedangkan untuk pilihan
alternative dapat menggunakan corbocysteine, SABA dan/atau SAMA, serta
theophylline.

Penatalaksanaan Pada Eksaserbasi Akut


Eksaserbasi akut pada PPOK berarti kejadian kompleks dengan
peningkatan inflamasi saluran pernafasan, peningkatan produksi mukus dan
terperangkapnya udara dalam saluran pernafasan. Hal tersebut menimbukan
gejala sesak sebagai gejala khas eksaserbasi. Gejala lain berupa peningkatan
produksi dan konsistensi sputum, bersamaan dengan peningkatan batuk dan
wheezing. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi
udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi. Eksaserbasi akut dibagi menjadi
tiga:
1. Tipe I ( eksaserbasi berat), memilki 3 gejala di atas. Harus segera
hospitalisasi dan berhubungan dengan gagal nafas akut.
2. Tipe II (eksaserbasi sedang) memiliki 2 gejala di atas. Terapi dengan SABDs
dan antibiotik dan/atau oral kortikosteroid
3. Tipe III (eksaserbasi ringan) memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi
saluran pernapasan atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan
batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20%
baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline. Terapi dengan bronkodilator kerja

pendek.3,4

34
Penyebab eksaserbasi akut dapat berupa primer karena infeksi
trakeobronkial (biasanya karena virus); sekunder: pneumonia, gagal jantung
kanan, atau kiri, atau aritmia, emboli paru, pneumotoraks spontan, penggunaan
oksigen yang tidak tepat, penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik)
yang tidak tepat, penyakit metabolic (DM, gangguan elektrolit), nutrisi
buruk, lingkungan memburuk/polusi udara, aspirasi berulang, stadium akhir
penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi). Penanganan eksaserbasi akut ringan
dapat dilakukan di rumah oleh pasien yang telah diedukasi dengan cara
menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk
bronkodilator yang digunakan dari bentuk inhaler, oral menjadi bentuk
nebulizer; menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur;
menambahkan mukolitik; dan menambahkan ekspektoran.

Algoritma Penanganan PPOK :3

35
36
Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
- Antibiotik untuk kemoterapi preventif, ampisilin 4 x 0,25-0,5 g dapat
menurunkan eksaserbasi akut.
- Bronkodilator, tergantung tingkat reversibelitas obstruksi saluran napas
tiap pasien, maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan
objektif dari fungsi faal paru.
- Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
- Mukolitik dan ekspektoran.

37
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :3
a. Gagal napas
 Gagal napas kronik
Hasil analisis gas darah PO2 < 60 mmHg, PCO2 > 60 mmHg, dan pH
normal, penatalaksanaan :
 Jaga keseimbangan PO2 dan PCO2.
 Bronkodilator adekuat.
 Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur.
 Antioksidan
 Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
 Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :
 Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
 Sputum bertambah dan purulen
 Demam
 Kesadaran menurun
b. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan
terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada
kondisi kronik ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya
kadar limfosit darah.
c. Hipertensi pulmonale
Hipertensi pulmonal disebabkan penyakit yang mengenai struktur dan atau
pembuluh darah paru, hipertensi pulmonal menghasilkan pembesaran ventrikel
kanan (hipertrofi dan atau dilatasi) dan berlanjut dengan berjalannya waktu
menjadi gagal jantung kanan.
d. Kor pulmonal
Kor pulmonal adalah hipertrofi/dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi
pulmonal yang disebabkan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh darah paru
yang tidak berhubungan dengan kelainan jantung kiri. Penyakit paru obstruktif
konis (PPOK) merupakan penyebab utama insufisiensi respirasi kronik dan kor
pulmonal, diperkirakan 80˘ 90% kasus.1

38
2.11 Prognosis
Tergantung pada :
- Beratnya obstruksi
- Adanya kor pulmonal
- Kegagalan jantung kongestif
- Derajat gangguan analisa gas
Prognosis penyakit ini bervariasi. Bila pasien tidak berhenti
merokok, penurunan fungsi paru akan lebih cepat. Prognosis jangka
pendek dan jangka panjang tergantung pada usia dan gejala klinis.
Penderita dengan penyakit emfisema paru akan lebih baik dari pada
penderita bronchitis kronik.

39
BAB III
LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN

I. Identitas pasien
Nama Pasien : Tn. MN
Umur : 71 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Bintan
Pekerjaan : Pasien sudah tidak bekerja

II. Anamnesis : Autoanamnesis dilakukan tanggal 15 Mei 2019 pukul 08.00 WIB
I. Keluhan utama
• Pasien mengeluhkan sesak nafas
II. Riwayat penyakit sekarang
• Pasien mengeluhkan sesak nafas sejak ± 2 bulan yang lalu, sesak
dirasakan hilang timbul, makin berat jika beraktifitas fisik, kembali
ringan saat istirahat.
• Batuk berdahak juga dirasakan ikut menyertai, dahak bewarna putih
atau jernih dan berbusa, tidak ada batuk berdarah, batuk hilang timbul
dan dahak sulit untuk dikeluarkan.
• Tidak ada demam.
• Pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati sejak ± 3 bulan yang lalu yang
dirasakan hilang timbul dan nyeri tidak menjalar , mual, muntah dan
nafsu makan menurun juga sudah sejak ± 3 bulan yang lalu.
• Buang air kecil normal, buang air besar tidak lancar sejak 1 minggu
yang lalu.
III. Riwayat penyakit dahulu
• Sebelumnya pasien pernah dirawat karena keluhan yang sama pada
bulan maret.
• Pasien tidak ada riwayat sakit TBC dan tidak pernah konsumsi OAT
• Riwayat HT (-)

40
• Riwayat DM (-)
• Riwayat Asma (-)
• Riwayat Alergi (-)
IV. Riwayat penyakit keluarga
• Keluhan yang sama (-)
• Riwayat DM (-)
• Riwayat Asma (-)
• Riwayat Alergi (-)
V. Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi dan kebiasaan
• Pasien tidak bekerja, sebelumnya bekerja sebagai buruh pabrik kelapa
sawit
• Riwayat minum alcohol tidak ada
• Riwayat merokok (+), pasien sudah merokok selama 30 tahun dan
berhenti merokok sejak 3 tahun yang lalu, saat masih merokok pasien
mengaku menghabiskan 3 bungkus per hari
• Sosial ekonomi : Menengah-bawah
• Pola makan : Kurang
VI. Pemeriksaan tanda vital
Vital Sign :
• Tekanan darah: 110/70 mmHg
• Nadi : 100 kali/menit
• Suhu : 370 C
• Pernafasan : 24 kali/menit

IV. Pemeriksaan Fisik Diagnostik


1. Status generalisata
• Keadaan umum : Tampak sakit sedang
• Kesadaran : Composmentis cooperative
• GCS : E4V5M6
• Tinggi badan : 170 Cm
• Berat badan : 40 Kg
• Status gizi : Gizi kurang (13,8)

41
2. Pemeriksaan Kepala
• Mata : Konjungtiva sub-anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor
• Hidung : Tidak ada deviasi septum nasi, tidak ada sekret
• Mulut : Mulut tidak sianosis, bibir kering, lidah kotor (quated tongue)
• Telinga : Tidak ada nyeri tekan
3. Pemeriksaan Leher
• Inspeksi : Tidak ada benjolan, tidak ada asimetrisitas otot-otot, tidak ada
deviasi trakea
• Palpasi: Tidak ada nyeri tekan , tidak teraba massa dan pembesaran
kelenjar getah bening.
• Pemeriksaan trakea : Tidak deviasi
• Pemeriksaan kelenjar tiroid : Tidak membesar
• Pemeriksaan tekanan vena sentral : 5+3 cm H20
2. Thorak anterior
• Inspeksi : Didapatkan pengembangan dinding dada simetris kanan dan kiri
baik saat statis maupun dinamis, serta tidak ada ketertinggalan gerakan
dinding dada.
• Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, tidak teraba massa atau pembengkakan,
vokal fremitus kanan = kiri.
• Perkusi : Didapatkan suara hipersonor pada ketukan dinding dada pasien,
batas paru hepar ics 5.
• Auskultasi : Ronki -/-, wheezing -/-, pola nafas ekspirasi memanjang.
3. Thorak posterior
• Inspeksi : Tidak terlihat adanya kelainan kulit, tidak kifosis, lordosis dan
tidak ada gibbus. Simetris kanan dan kiri.
• Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, tidak teraba massa dan pembengkakan,
vokal fremitus kanan = kiri
• Perkusi : Batas peranjakan paru kanan thorakal 10, dan batas peranjakan
paru kiri thorakal 11.
• Auskultasi : Ronki -/-, wheezing -/-, pola nafas ekspirasi memanjang
6. Abdomen
• Inspeksi : Supel, simetris kanan dan kiri, distensi (-).

42
• Auskultasi : Bising usus normal (18x/menit).
• Perkusi : Timpani pada seluruh abdomen.
• Palpasi : Nyeri epigastrium.
• Pemeriksaan ginjal : Ginjal tidak teraba
• Pemeriksaan nyeri ketok ginjal : Tidak ada
• Pemeriksaan hepar : Tidak teraba
• Pemeriksaan lien : Tidak teraba
• Pemeriksaan asites : Shifting dullness (-)
7. Ekstremitas
Superior : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-), kelemahan (-/-)
Inferior : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-), kelemahan (+/+)
V. Resume pemeriksaan fisik :
Pada pemeriksaan fisik diagnostik didapatkan status gizi pasien adalah gizi
kurang (13,8), pada pemeriksaan thorak anterior didapatkan perkusi hipersonor
dan auskultasi terdapat pola nafas ekspirasi memanjang, pada pemeriksaan
abdomen saat palpasi terdapat adanya nyeri tekan epigastrium.
VI. Daftar masalah pasien :
1. Masalah aktif : Sesak nafas, batuk berdahak, nyeri ulu hati
2. Masalah pasif : Mual muntah, Bab tidak lancar.
VII. Diagnosis dan diagnosis banding :
• PPOK eksaserbasi akut + CPC + Dispepsia
• DD : Asma dan CHF
VIII. Rencana :
1. Tindakan terapi :
 IVFD D5 + 1 amp aminophilin (20 ttm)
 Salbutamol 3x2 mg
 Azitromicin tab 1x2 tab
 Paracetamol 500 mg (3x1)
 Nebu bricasma/8 jam
 Nebu combivent 1 respule
 GG tab 3x1
 Ranitidin/12 jam

43
2. Pemeriksaan penunjang :
 Pemeriksaan Laboratorium
 Darah Lengkap
o Hemoglobin : 9,9 gr/dl (14-17)
o Eritrosit : 3.140.000 mm3 (4.200.000-6.100.000)
o Leukosit : 9.300 mm3 (4.000-11.000)
o Trombosit : 279.000 mm3 (150.000-450.000)
o Hematokrit : 28 % (36-52)
o MCV : 89 fl (80-100)
o MCH : 31 pg (27-32)
o MCHC : 35 % (32-36)
 Hitung jenis leukosit
o Eosinophil : 1 % (0-5)
o Basophil : 0 % (0-2)
o Neutrophil Batang : 0 % (2-6)
o Neutrophil Segmen : 87 % (50-70)
o Limfosit : 9 % (20-40)
o Monosit : 3% (2-8)
 Pemeriksaan glukosa darah
o Glukosa darah adrandum : 168 mg/dl (<140)

44
 Foto thorak

 Tampak hiperlusen, dan terdapat pelebaran sela iga.


 Paru : Tampak gambaran corakan bronkovaskular meningkat.
 Jantung : Tampak bayangan jantung yang tipis panjang dan seperti
menggantung (jantung pendulum). Cardiomegali (CTR : 56 cm).

45
 Diafragma : Letak rendah. Sudut costofrenicus paru kiri dan kanan lancip.

 Foto EKG

 Terdapat pola P pulmonal di sadapan II,III, dan Avf


 Hipertrofi ventrikel kanan

Follow up pasien :
Tanggal 16 Mei 2019
Keluhan :
- Sesak nafas hilang timbul
- Nyeri menelan
- Pusing
- Nyeri ulu hati
- BAB tidak lancar
- Nafsu makan menurun
- Batuk berdahak (putih berbusa)
Tanda Vital :

46
- TD : 100/70 mmhg
- RR : 37 x/menit
- Nadi : 90 x/menit
- Suhu : 370 C
Pemeriksaan fisik :
- Pada saat auskultasi thorak terdapat pola nafas ekspirasi memanjang
- Pada palpasi terdapat nyeri tekan epigastrium
Tatalaksana yang diberikan :
- Salbutamol 3x2 mg oral
- Azitromicin 1x1 mg oral
- PCT 3x1 500 mg oral
- GG 3x1 oral
- Bricasma/8jam respul nasal
- Furosemide/24 jam
- Ranitidine/12jam

Tanggal 17 Mei 2019


Keluhan :
- Sesak nafas hilang timbul
- Nyeri menelan
- Nyeri ulu hati
- BAB tidak lancar
- Nafsu makan menurun
- Menggigil malam hari
- Batuk berdahak (putih berbusa)
Tanda Vital :
- TD : 90/60 mmhg
- RR : 22 x/menit
- Nadi : 90 x/menit
- Suhu : 370 C
Pemeriksaan fisik :
- Pada saat auskultasi thorak terdapat pola nafas ekspirasi memanjang

47
- Pada palpasi terdapat nyeri tekan epigastrium
Tatalaksana yang diberikan :
- Salbutamol 3x2 mg oral
- Azitromicin 1x1 mg oral
- PCT 3x1 500 mg oral
- GG 3x1 oral
- Bricasma/8jam respul nasal
- Furosemide/24 jam
- Ranitidine/12jam

Tanggal 18 Mei 2019


Keluhan :
- Sesak nafas hilang timbul
- Nyeri menelan
- Nyeri ulu hati
- BAB tidak lancar
- Nafsu makan menurun (hanya 2 sendok)
- Menggigil malam hari
- Batuk berdahak (putih berbusa)
- Muntah lebih dari 5x
- Badan terasa lemas
Tanda Vital :
- TD : 80/60 mmhg
- RR : 36 x/menit
- Nadi : 85 x/menit
- Suhu : 370 C

Pemeriksaan fisik :
- Pada saat auskultasi thorak terdapat pola nafas ekspirasi memanjang
- Pada palpasi terdapat nyeri tekan epigastrium
Tatalaksana yang diberikan :
- Salbutamol 3x2 mg oral

48
- Azitromicin 1x1 mg oral
- PCT 3x1 500 mg oral
- GG 3x1 oral
- Bricasma/8jam respul nasal
- Furosemide/24 jam
- Ranitidine/12jam
- Dulcolax

Tanggal 20 Mei 2019


Keluhan :
- Sesak nafas hilang timbul
- Nyeri menelan
- Nyeri ulu hati
- BAB sudah ada sedikit
- Nafsu makan menurun (hanya 2 sendok)
- Batuk berdahak (putih berbusa)
- Mual, muntah setiap setelah makan
- Badan terasa lemas
- Batuk berdarah sekitar 1 sendok teh (5cc) tadi malam
Tanda Vital :
- TD : 90/60 mmhg
- RR : 27 x/menit
- Nadi : 85 x/menit
- Suhu : 36,50 C
Pemeriksaan fisik :
- Pada saat auskultasi thorak terdapat pola nafas ekspirasi memanjang
- Pada palpasi terdapat nyeri tekan epigastrium
Tatalaksana yang diberikan :
- GG 3x1 tab oral
- Bricasma/8jam respul nasal
- B6 2x1 tab oral
- Ondansentron/12 jam amp iv

49
- Omz/24 jam vial iv
- Sucralfat syr 3x1 oral

Tanggal 21 Mei 2019


Keluhan :
- Sesak nafas terus menerus
- Penurunan kesadaran
Tanda Vital :
- TD : 90/60 mmhg
- O2 : 15%
- SPO2 : 50
Pasien meninggal dunia pukul 08.00 WIB (dokter jaga : dr. Dayat)

50
BAB IV
PEMBAHASAN

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit paru


kronik berupa obstruksi saluran pernapasan yang bersifat progresif dan tidak
sepenuhnya reversible yang diasosiasikan dengan respon inflamsi abnormal paru
terhadap gas berbahaya ataupun partikel asing.
Faktor resiko yang berkaitan dengan PPOK adalah faktor herediter yaitu
defisiensi alpha – 1 antitripsin, kebiasaan merokok, riwayat terpapar polusi udara
di lingkungan dan tempat kerja, hipereaktivitas bronkus, riwayat infeksi saluran
napas bawah berulang. Dari anamnesis pasien faktor risiko yang berkaitan
dengan PPOK adalah pasien sudah merokok selama 30 tahun dan berhenti
merokok sejak 3 tahun yang lalu, saat masih merokok pasien mengaku
menghabiskan 3 bungkus per hari.
Riwayat merokok ini digunakan untuk mengeliminasi kemungkinan diagnosis
asma pada pasien karena penderita asma biasanya tidak akan merokok dan jika
merokok biasanya hanya sedikit saja mengingat pada asma terjadi airway
hyperresponsiveness.
Penegakkan diagnosis PPOK pada pasien dilakukan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Hasil anamnesis pasien yang
mengarahkan ke penegakkan diagnosis PPOK yaitu pasien mengeluhkan sesak
nafas sejak ± 2 bulan yang lalu, sesak dirasakan hilang timbul, makin berat jika
beraktifitas fisik. Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak juga dirasakan ikut
menyertai, dahak bewarna putih atau jernih dan berbusa, tidak ada batuk berdarah,
batuk hilang timbul dan dahak sulit untuk dikeluarkan. Hasil pemeriksaan fisik
pada pasien ketika perkusi thorak yaitu ditemukan ketukan hipersonor dan ketika
auskultasi ditemukan suara nafas ekspirasi memanjang. Pada pemeriksaan
penunjang foto rontgen pasien ditemukan gambaran yang hiperlusen, sela iga
melebar, jantung pendulum, dan corakan bronkovaskularnya meningkat. Pada
pemeriksaan EKG ditemukan gelombang P pulmonal yang merupakan salah satu
komplikasi dari PPOK.

51
Tujuan penatalaksaan PPOK adalah untuk mengurangi gejala, mencegah
eksaserbasi berulang memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru dan
meningkatkan kualitas hidup penderita. Pada penatalaksanaan pasien diberikan
ivfd D5% + 1 amp aminophilin, salbutamol, nebu bricasma dan nebu combivent,
azitromicin. Pemberiaan obat pada pasien sesuai dengan penatalaksanaan pada
PPOK.

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing;
2009
2. Lozano R, Naghavi M, Foreman K, dkk. Global and regional mortality
from 235 causes of death for 20 age groups in 1990 and 2010: a
systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2010. Lancet
2012; 380(9859): 2095-128.
3. GOLD. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and
Prevention: A Guide for Healthcare Professionals. 2017 ed. Sydney:
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease Inc.; 2017.
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit paru obstruksi kronik
(PPOK) pedoman diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta; UI-Press. 2016
5. Harun S, Wijaya I. Kor Pulmonal Kronik. Dalam : Sudoyo S, et al. Buku
Ajar Ilmu Penyakit. Dalam. Jilid ketiga, Edisi keempat. Jakarta : FK UI.
2006; 1680- 81
6. Sharma F, Fachri M. Karakteristik Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik
Stabil Dikaitkan dengan Kebiasaan Merokok Berdasarkan Nilai Indeks
Brinkman di Rumah Sakit Islam Jakarta (RSIJ) Sukapura. J Indon Med
Assoc. 2014; Vol: 64
7. Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk teknis penerapan pendekatan
praktis kesehatan paru di Indonesia. Jakarta: Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2015.

53

Anda mungkin juga menyukai