Anda di halaman 1dari 27

Referat

KARSINOMA NASOFARING

Disusun oleh:
Nadia Annisa Ratu, S.Ked
1911901045

Pembimbing:
dr. Sri Marhaeni, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK THT-KL


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA DUMAI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABDURRAB
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Karsinoma Nasofaring”. Referat ini disusun sebagai salah satu syarat
Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen THT-KL RSUD Kota Dumai Fakultas
Kedokteran Universitas Abdurrab.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Sri
Marhaeni, Sp. THT-KL, selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di
masa yang akan datang. Mudah-mudahan referat ini dapat memberi manfaat dan
pelajaran bagi kita semua.

Dumai, Juli 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 2
ANATOMI NASOFARING........................................................................ 2
KARSINOMA NASOFARING................................................................... 4
DEFINISI................................................................................................ 4
EPIDEMIOLOGI.................................................................................... 5
ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO..................................................... 6
PATOGENESIS...................................................................................... 8
HISTOPATOLOGI................................................................................. 11
GEJALA KLINIS.................................................................................... 13
PENEGAKKAN DIAGNOSIS............................................................... 14
KLASIFIKASI STADIUM..................................................................... 17
PENATALAKSANAAN........................................................................ 19
PROGNOSIS........................................................................................... 21
FOLLOW-UP.......................................................................................... 21
BAB III SIMPULAN........................................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah kanker yang berasal dari mukosa


nasofaring, dengan titik tengah tumor paling sering berada di fossa Rosenmuller,
dari mana tumor menginvasi ruang atau organ anatomi sekitar.1,2,3 Meskipun
berasal dari galur sel atau jaringan yang sama, karsinoma nasofaring merupakan
keganasan kepala leher dengan karakteristik epidemiologi, presentasi klinis,
marker biologi, faktor risiko, dan faktor prognostik yang unik.1,3,4
Pada tahun 2012 diperkirakan terdapat 86.700 kasus baru KNF dan 51.000
kematian akibat KNF, keduanya mewakilkan sekitar 0,6% dari semua kasus
keganasan, sehingga karsinoma ini dapat dikatakan relatif langka.5 Distribusi KNF
berbeda signifikan menurut kondisi geografis dan sumber daya, dengan 92%
kasus baru terjadi di negara berkembang, dan insidensi tertinggi di populasi Asia
Tenggara, yaitu mencapai setidaknya dua kali insidensi area lain. Tiga negara
dengan insidensi nasional tertinggi ada di Malaysia, Indonesia, dan Singapura,
dengan angka tertinggi pada populasi Tionghoa dan Melayu.6
Disparitas antarkelompok dengan faktor risiko tertentu telah dicatat bahkan
sejak tahun konferensi IARC tahun 1978, dimana diduga terdapat suatu agen yang
memengaruhi populasi Tionghoa di Singapura, tetapi tidak mampu memberikan
dampak pada populasi India dan Pakistan.22 Literatur terbaru telah menemukan
berbagai faktor risiko termasuk genetik, diet, higienitas, pekerjaan, medikasi, dan
infeksi virus Epstein-Barr.7,8,9
Penelitian di RSUPN Cipto Mangunkusumo mencatat terdapat 167 kasus
KNF pada tahun 2010 dengan keluhan utama pada saat datang yaitu massa di
leher dan hidung tersumbat.16 Semua penelitian menemukan KNF lebih banyak
terjadi pada laki-laki.4,16
Insidensi KNF yang tinggi di Indonesia, etiopatogenesis dan faktor risiko
yang khas pada populasi tertentu, serta gejala awal yang tidak khas membuat
diperlukannya pemahaman yang mendalam mengenai keganasan kepala leher
terbanyak ini.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan ruang atau rongga berbentuk kubus yang
terletak di belakang rongga hidung atau koana, tepat di bawah dasar
tengkorak yang berhubungan dengan orofaring. Nasofaring di bagian
anterior berbatasan dengan rongga hidung melalui koana, bagian superior
berbatasan dengan dasar tengkorak, bagian posterior berbatasan dengan
fasia prevertebralis dari atlas dan axis, sedangkan bagian inferior berbatasan
dengan palatum mole dan orofaring setinggi ismus faring. Pada kedua
dinding lateral nasofaring terdapat ostium tuba Eustachius dengan tonjolan
tulang rawan di bagian superoposterior yang disebut torus tubarius. Di
bagian posterior torus tubarius ini terdapat lekukan kecil yang agak datar
disebut resesus faringeal lateralis atau fosa Rosenmuller, merupakan tempat
tersering awal mula kanker nasofaring. Tepi atas dari torus tubarius adalah
tempat melekatnya muskulus levator veli palatini. Perluasan tumor pada
KNF akan mengganggu fungsi dari muskulus ini untuk membuka ostium
tuba.17
Dinding nasofaring diliputi oleh mukosa dengan banyak lipatan atau
kripta. Secara histologis mukosa nasofaring dibentuk oleh epitel berlapis
silindris bersilia atau pseudostritified ciliated columnar epithelium yang
kearah orofaring akan berubah menjadi epitel gepeng berlapis atau stratified
squamous epithelium. Diantara pertemuan atap nasofaring dan dinding
lateral di daerah fosa Rosenmuller terdapat epitel peralihan atau transitional
epithelium yang menjadi tempat asal dari tumbuhnya tumor nasofaring.17
Dinding nasofaring diliputi oleh mukosa dengan banyak lipatan atau
kripta. Secara histologis mukosa nasofaring dibentuk oleh epitel berlapis
silindris bersilia atau pseudostritified ciliated columnar epithelium yang
kearah orofaring akan berubah menjadi epitel gepeng berlapis atau stratified
squamous epithelium. Diantara pertemuan atap nasofaring dan dinding

2
lateral di daerah fosa Rosenmuller terdapat epitel peralihan atau transitional
epithelium yang menjadi tempat asal dari tumbuhnya tumor nasofaring.17
Nasofaring mempunyai pleksus submukosa limfatik yang luas.
Kelompok pertama adalah kelompok nodul pada daerah retrofaringeal yang
terdapat pada ruang retrofaring antara dinding posterior nasofaring, fasia
faringobasilar dan fasia prevertebra. Pada dinding lateral di daerah tuba
Eustachius paling kaya akan pembuluh limfe. Aliran limfe berjalan kearah
anterosuperior dan bermuara di kelenjar retrofaringeal atau kelenjar yang
paling proksimal dari masing-masing sisi rantai kelenjar spinal dan jugularis
interna, rantai kelenjar ini terletak di bawah otot sternokleidomastoideus.
Pembuluh limfe di daerah nasofaring sangat kompleks dan membentuk
pleksus yang saling menyilang melewati garis tengah. Aliran getah bening
menuju arah posterior, selanjutnya ke kelenjar getah bening Rouviere di
ruang retrofaring bagian lateral dan retro parotis kemudian menuju ke
rangkaian kelenjar getah bening di sekitar vena jugularis interna bagian
superior, terutama kelompok jugulo digastrik.17

Gambar 1. Anatomi nasofaring.18

3
Gambar 2. Nasofaring sisi sinistra dilihat dengan scope.19

2. Karsinoma Nasofaring
2.1. Definisi
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah keganasan yang berasal dari
epitel nasofaring. Titik tengah tumor di dalam wilayah nasofaring paling
sering dijumpai di fossa Rosenmuller, dari mana tumor dapat menginvasi
ruang atau organ anatomi yang berdekatan.3
WHO mendefinisikan KNF sebagai karsinoma yang berasal di
mukosa nasofaring yang menunjukkan bukti diferensiasi skuamosa dari
ultrastruktur atau pemeriksaan mikroskopi cahaya. Definisi ini tidak
mengikutsertakan adenokarsinoma dan karsinoma tipe kelenjar saliva.20
Komite Penaggulangan Kanker Nasional dalam Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Kanker Nasofaring juga mendefinisikan karsinoma
nasofaring sebagai keganasan yang muncul pada daerah nasofaring (area di
atas tenggorok dan di belakang hidung). Tipe KNF terbanyak adalah
keganasan sel skuamosa.1

4
2.2. Epidemiologi
Pada tahun 2012 diperkirakan terdapat 86.700 kasus baru KNF dan
50.800 kematian akibat KNF, keduanya mewakilkan sekitar 0,6% dari
semua kasus keganasan, sehingga karsinoma ini dapat dikatakan relatif
langka. Jumlah penderita KNF laki-laki lebih banyaak dibanding perempuan
(rasio 2,3:1).5 Distribusi KNF berbeda signifikan menurut kondisi geografis
dan sumber daya, dengan 92% kasus baru terjadi di negara berkembang, dan
insidensi tertinggi di populasi Asia Tenggara, yaitu mencapai setidaknya
dua kali insidensi area lain. Tiga negara dengan insidensi nasional tertinggi
ada di Malaysia, Indonesia, dan Singapura, dengan angka tertinggi pada
populasi Tionghoa dan Melayu.6
Insidensi tinggi juga dilaporkan di Cina Tenggara, termasuk Hong
Kong dan Guangdong, Filipina, India, Thailand, Mikronesia, Asia Timur,
dan Afrika Utara. Populasi lain dengan insidensi relatif tinggi adalah etnis
Inuit di Alaska, Greenland, dan Kanada Utara, serta etnis Tionghoa dan
Filipina di Amerika Serikat. Indisendi keganasan ini lebih rendah pada
sebagian besar populasi yang tinggal di tempat lain di Amerika dan Eropa.6
Angka mortalitas KNF tertinggi pada tahun 2012 ditemukan di Hong
Kong, yaitu 4,51 per 100.000 laki-laki dan 1,15 per 100.000 perempuan.
Penurunan angka mortalitas dari tahun 2002 diamati di beberapa negara dan
diduga karena perubahan pola makan ikan asin dan makanan yang
diawetkan, serta perbaikan penatalaksanaan penyakit. Perbedaan antarjenis
kelamin diduga disebabkan oleh perbedaan prevalensi merokok dan
konsumsi alkohol.21
Karsinoma nasofaring merupakan keganasan terbanyak (28,35%) dari
seluruh kasus keganasan kepala leher di Indonesia, dengan 1.121 kasus
dilaporkan selama periode 1995-2005.4 Penelitian di RSUPN Cipto
Mangunkusumo mencatat terdapat 167 kasus KNF pada tahun 2010 dengan
keluhan utama pada saat datang yaitu massa di leher dan hidung tersumbat. 16
Semua penelitian menemukan KNF lebih banyak terjadi pada laki-laki.4,16

5
2.3. Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi karsinoma nasofaring dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
saling berinteraksi. Disparitas antarkelompok dengan faktor risiko tertentu
telah dicatat bahkan sejak konferensi IARC tahun 1978, dimana diduga
terdapat suatu agen yang memengaruhi populasi Tionghoa di Singapura,
tetapi tidak mampu memberikan dampak pada populasi India dan Pakistan.22
Literatur terbaru telah menemukan berbagai faktor risiko termasuk genetik,
diet, higienitas, pekerjaan, medikasi, dan infeksi virus Epstein-Barr.7,8,9

2.3.1. Infeksi virus Epstein-Barr dan HPV


Infeksi virus Epstein-Barr (EBV) mungkin adalah faktor etiologi
karsinoma nasofaring yang paling banyak dipelajari. Berdasarkan teknik
hibridisasi in-situ terhadap RNA terkode EBV, virus tersebut terdeteksi
hanya dalam sel tumor, tetapi tidak dalam epitel nasofaring normal. 3
Meskipun berbagai penelitian menemukan hubungan kuat antara infeksi
EBV dan KNF, peran infeksi EBV dalam patogenesis KNF masih belum
jelas.7
Secara histopatologi, infeksi EBV memiliki hubungan dengan
karsinoma nonkeratinisasi subtipe terdiferensiasi dan tak terdiferensiasi,
tetapi hubungan dengan karsinoma keratinisasi hanya ditemukan pada
daerah berisiko tinggi. Pada KNF, virus berada pada fase laten, hanya
terdapat pada sel tumor, dan tidak ditemukan di jaringan limfoid sekitar.15
Selama fase laten, EBV mengekspresikan beberapa gennya untuk
menghindari deteksi sistem imun. Ekspresi gen laten pada sel terinfeksi
EBV berada di bawah regulasi epigenetik. Beberapa tipe profil ekspresi gen
laten di sel terinfeksi EBV telah diidentifikasi. Latensi tipe 0 dikenali pada
sel B memori, dimana ekspresi gen EBV terbatas pada EBV-encoded small
RNAs (EBER) tanpa adanya ekspresi protein EBV; EBV nuclear antigen 1
(EBNA1) hanya diekspresikan di sel B memori yang mengalami divisi.
Pada KNF ditemukan virus dalam latensi tipe II.14
Ekspresi gen pada infeksi EBV laten tipe II mencakup EBER,
EBNA1, LMP1, LMP2, BARF1, BARTs, dan BART-miRNAs. Secara

6
umum ekspresi gen tersebut memengaruhi proliferasi sel, invasi virus,
keberlangsungan hidup virus, perbaikan DNA, modulasi imunitas bawaan,
resistensi terhadap apoptosis, checkpoint siklus sel, potensi invasi dan
metastasis sel karsinoma, dan transformasi sel nonmaligna.14
Etiologi viral lainnya yang dihubungkan dengan karsinoma nasofaring
adalah human papillomavirus (HPV). Koinfeksi HPV dan EBV dapat
memberikan dampak terhadap perubahan sel menjadi malignan. Infeksi
HPV onkogenik yang didapat secara vertikal dari ibu ditemukan berperan
penting sebagai agen etiologi KNF.3,23

2.3.2. Genetik
Peran kerentanan genetik individu terhadap patogenesis KNF
diindikasikan oleh insidensi KNF yang tinggi pada etnis tertentu. Hal ini
lebih mencolok karena generasi kedua dan ketiga dari penduduk daerah
berisiko tinggi yang telah emigrasi dan berasimilasi dengan budaya yang
berbeda masih memiliki risiko KNF lebih tinggi dibanding penduduk
sekitar.3,7
Kerentanan genetik terhadap KNF pada populasi berisiko tinggi telah
dilaporkan, terutama berhubungan dengan gen HLA kelas I di lokus MHC
kromosom 6p21. Gen HLA kelas I mengode protein yang dapat
mengidentifikasi dan mempresentasikan antigen asing (termasuk peptida
hasil kode EBV) kepada sel T sitotoksik untuk memicu respon imun
terhadap sel yang terinfeksi virus.7
Beberapa penelitian kasus-kontrol telah menemukan hubungan antara
polimorfisme genetik dan risiko KNF, dengan memengaruhi kerentanan
genetik terhadap infeksi EBV dan/atau transformasi sel terinduksi
karsinogen kimiawi. Peningkatan risiko KNF ditemukan berhubungan
dengan polimorfisme genetik yang terlibat dalam metabolisme nitrosamin
(CYP2E1, CYP2A6), detoksifikasi elektrofil karsinogenik (GSTM1),
perbaikan DNA (XRCC1, hOGG1, NBS1, RAD51L1), jalur masuk EBV ke
epitel nasofaring (PIGR), regulasi checkpoint siklus sel (MDM2, TP53),

7
adhesi dan migrasi sel (MMP2), interleukin (IL1A, IL1B, IL2, IL8, dan
IL10), toll-like receptors (TLR3, TLR4, TLR10).3,7

2.3.3. Lingkungan
Studi epidemiologi skala besar mengusulkan adanya hubungan
beberapa kebiasaan diet dan sosial dengan peningkatan risiko karsinoma
nasofaring.3 Salah satu faktor yang paling sering disebut adalah riwayat
konsumsi ikan asin.3,7 Karsinogen yang berperan adalah senyawa volatil N-
nitrosamin yang dapat menginduksi kerusakan DNA dan inflamasi kronik
mukosa nasofaring.3,7 Konsumsi nitrosamin selama periode anak-anak dapat
menyebabkan akumulasi lesi genetik aberan dan perkembangan jaringan
rentan karsinoma di nasofaring, yang pada gilirannya meningkatkan
kerentanan infeksi EBV dan meningkatkan risiko KNF.7
Konsumsi makanan lain yang ditemukan berhubungan dengan
kejadian KNF adalah asinan sayur, makanan yang diawetkan, teh herbal,
sup slow-cooked, alkohol, produk hewani, karbohidrat, dan asam lemak tak
jenuh.3,9,10 Selain diet, faktor lingkungan lain yang dianggap berpengaruh
adalah higienitas oral, inhalasi debu kayu, asap, formaldehida, dan bahan
kimia.7,11 Beberapa literatur berbeda pendapat mengenai inhalasi debu kayu
sebagai faktor risiko karsinoma nasofaring.7 Inhalasi debu kayu dianggap
berhubungan dengan adenokarsinoma hidung, tetapi tidak dengan
karsinoma nasofaring.12 Penelitian lain menemukan bahwa aspirin memiliki
efek protektif terhadap karsinoma nasofaring.13

2.4. Patogenesis
Keganasan pada umumnya dapat terjadi melalui dua mekanisme:
pemendekan waktu siklus sel sehingga menghasilkan lebih banyak sel yang
diproduksi dalam satuan waktu; dan penurunan jumlah kematian sel akibat
gangguan pada proses apoptosis. Gangguan pada berbagai protoonkogen
dan gen penekan tumor (tumor suppresor genes) yang menghambat
penghentian proses siklus sel.24

8
Pada keadaan fisiologis proses pertumbuhan, pembelahan, dan
diferensiasi sel diatur oleh gen yang disebut protoonkogen yang dapat
berubah menjadi onkogen bila mengalami mutasi. Onkogen dapat
menyebabkan kanker karena memicu pertumbuhan dan pembelahan sel
secara patologis.24
Perkembangan lesi dimulai dari adanya lesi prakanker (field
cancerization). Pada KNF, lesi prakanker ini dapat terbentuk di usia muda
akibat konsumsi karsinogen nitrosamin. Lesi prakanker ini sendiri
merupakan faktor predisposisi infeksi EBV yang akan lebih lanjut
menyebabkan inflamasi dan alterasi genetik. Infeksi laten EBV
menyebabkan displasia yang semakin parah. Berbagai faktor ekspresi gen
EBV menyebabkan perkembangan lesi menjadi karsinoma in-situ dan
akhirnya kanker invasif.14

9
Gambar 3. Model tumorigenesis patogenesis karsinoma nasofaring terkait
EBV.7

10
Gambar 4. Peran EBV dalam patogenesis KNF.14

2.5. Histopatologi
Nasofaring adalah ruang berbentuk tabung yang terletak di basis
kranium. Ruang tersebut mewakilkan area peralihan antara kavum nasi dan
orofaring, membentuk sebagian jaringan limfoid cincin Waldeyer. Mukosa
nasofaring memiliki banyak lipatan dan kripta, dan terdiri atas epitel pipih
berlapis khusus yang biasa disebut epitel intermedia atau transisional. Epitel
pipih berlapis campuran dan epitel bersilia dapat ditemukan di dinding
lateral dan posterior nasofaring dalam berbagai jumlah. Pada stroma epitel
nasofaring ditemukan kelenjar seromukosa dan infiltrasi limfosit.7
Karsinoma nasofaring umumnya mulai berkembang dari dinding
lateral nasofaring, terutama pada fosa Rosenmuller dan dinding posterior
superior.7 Klasifikasi WHO tahun 1978 mengenal tiga subtipe histologi
KNF, yaitu karsinoma sel skuamosa (WHO tipe 1), karsinoma
nonkeratinisasi (WHO tipe 2), dan karsinoma tak terdiferensiasi (WHO tipe
3). Pada tahun 1991 klasifikasi tersebut dimodifikasi oleh WHO.20
Klasifikasi WHO tahun 1991 membagi KNF menjadi karsinoma sel
skuamosa terkeratinisasi, karsinoma nonkeratinisasi, dan karsinoma sel

11
skuamosa basaloid. Karsinoma nonkeratinisasi dibagi lagi menjadi
terdiferensiasi dan tak terdiferensiasi. Karsinoma seperti limfoepitelioma
dianggap sebagai variasi morfologi karsinoma tak terdiferensiasi.20
Variasi angka pelaporan subtipe mengindikasikan batasan
antarkelompok tidak selalu jelas. Kesalahan pengambilan sampel
merupakan masalah signifikan akibat ukuran biopsi kecil dan
reprodusibilitas klasifikasi belum optimal. Beberapa peneliti menganggap
bahwa karsinoma sel skuamosa terkeratinisasi dan karsinoma
nonkeratinisasi hanya variasi dari kelompok tumor homogen.20

Gambar 5. Karsinoma nasofaring terkeratinisasi, terdiferensiasi baik; A)


tumor menginvasi stroma; B) pulau ireguler karsinoma menginfiltrasi
stroma desmoplastik dengan diferensiasi dan keratinisasi terlihat jelas20

Gambar 6. Karsinoma nasofaring nonkeratinisasi; A) contoh subtipe


terdiferensiasi dicirikan dengan berlapis tumor dipisahkan oleh infiltrat
limfosit dan sel plasma pekat; B) pulau tumor dalam stroma kaya limfosit;
C) pola tumbuh trabekular yang jarang ditemukan.20

Gambar 7. Karsinoma nasofaring nonkeratinisasi subtipe tak terdiferensiasi;


A) Sel memiliki nukleus vesikular, nukleoli prominen, dan sitoplasma

12
amphofilik; B) sel tampak sinsitial dan memiliki nukleus vesikular, nukleoli
jelas, dan sitoplasma sedikit eosinofilik; C) terdapat sel dengan batas
antarsel yang jelas dan sitoplasma eosinofilik berjumlah sedang.20

Gambar 8. Karsinoma sel skuamosa nasofaring subtipe basaloid; sel tumor


basaloid menunjukkan pola pertumbuhan menjuntai dan berselang dengan
sel tumor dengan diferensiasi skuamosa.20

Gambar 9. Karsinoma nasofaring nonkeratinisasi, subtipe tak terdiferensiasi;


A) hibridisasi in-situ Epstein-Barr encoded-RNA (EBER) menunjukkan
semua nukleus sel tumor memperlihatkan pelabelan; B) Immunostaining
untuk pansitokeratin menonjolkan epitel permukaan dan kumpulan dan
lapisan sel positif di stroma; C) Immunostaining untuk sitokeratin biasanya
menunjukkan pola pewarnaan jejaring.20

2.6. Gejala Klinis


Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu
gejala nasofaring, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis atau
gejala di leher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau
sumbatan hidung, untuk itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat, kalau
perlu dengan nasofaringoskop, karena sering terjadi pada beberapa kasus

13
yakni gejala belum ditemukan sementara tumor sudah tumbuh atau tidak
tampak karena masih terdapat di bawah mukosa (creeping tumor).25
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena
tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller).
Gangguan pada telinga dapat berupa tinnitus, rasa penuh pada telinga
sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Tidak jarang pada beberapa pasien
dengan gangguan pendengaran baru kemudian diketahui bahwa
penyebabnya adalah karsinoma nasofaring.25
Gangguan beberapa saraf otak juga dapat terjadi sebagai gejala lanjut
dari karsinoma ini, karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga
tengkorak melalu beberapa lubang. Penjalaran melalui foramen laserum
akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan juga ke V, sehingga tidak jarang
gejala diplopa (penglihatan ganda) lah yang membawa pasien terlebih
dahulu berobat ke dokter mata. Selain diplopia, neuralgia terminal juga
merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat
keluhan lain yang berarti. Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf
otak ke IX, X, XI, dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare.
Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. 25
Penelitian di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo menemukan bahwa
keluhan utama pasien saat pertama kali datang berobat adalah benjolan yang
teraba di leher (58,1%), diikuti dengan hidung tersumbat (49,1%), dan
gangguan pendengaran unilateral (39,5%). Temuan tersebut menunjukkan
bahwa mayoritas pasien datang saat telah terjadi penyebaran ke arah leher,
bukan pada saat terjadi gejala awal yang nonspesifik, sehingga prognosis
pasien juga lebih buruk.16

2.7. Penegakkan Diagnosis


Penegakkan diagnosis karsinoma nasofaring memerlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang lainnya. Deteksi dini di
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama melalui anamnesis yang
cermat sangat diperlukan untuk meningkatkan kemungkinan prognosis
pasien yang baik.26

14
1. Anamnesis
Manifestasi klinis karsinoma nasofaring bergantung pada luas lesi
primer atau nodus.3 Gejala awal karsinoma nasofaring tidak spesifik.
Massa di nasofaring dapat menyebabkan gejala obstruksi nasal,
awalnya unilateral kemudian bisa bilateral jika massa membesar.
Gejala lain yang harus diwaspadai adalah hidung beringus, epistaksis,
post-nasal drip. Gejala awal yang penting lain adalah gejala disfungsi
tuba Eustachius akibat obstruksi mekanis ataupun ekstensi
posterolateral. Obstruksi tersebut dapat menyebabkan tuli konduktif
unilateral, otalgia, dan tinnitus.26

2. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan status generalis dan status lokalis
2) Pemeriksaan nasofaring:
a) Rhinoskopi anterior dan posterior
b) Nasofaringoskopi (fiber/rigid)

3. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (Narrow Band
Imaging) memainkan peran kunci dalam deteksi awal lesi KNF
untuk melihat mukosa dengan kecurigaan kanker nasofaring,
sebagai panduan lokasi biopsi, dan follow up terapi pada kasus-
kasus dengan dugaan residu dan residif.1,26

2) Pemeriksaan radiologik
a) CT Scan
Pemeriksaan radiologik berupa CT Scan nasofaring mulai
setinggi sinus frontalis sampai dengan klavikula, potongan
koronal, aksial, dan sagital, tanpa dan dengan kontras.
b) USG abdomen
USG abdomen dilakukan untuk menilai metastasis organ-
organ intra abdomen.

15
c) Foto Thoraks
Pemeriksaan foto thoraks dilakukan untuk melihat adanya
nodul di paru atau apabila dicurigai adanya kelainan maka
dilanjutkan dengan CT Scan Toraks dengan kontras.
d) Bone Scan
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat metastasis pada
tulang.1

3) Pemeriksaan patologi anatomi


Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan patologi
anatomi dengan spesimen dari biopsi nasofaring. Penegakkan
diagnosis dengan patologi anatomi bukan dengan spesimen dari
biopsi aspirasi jarum halus (fine needle aspiration
biopsy/FNAB). Biopsi nasofaring dilakukan dengan tang biopsi
lewat hidung atau mulut dengan tuntunan rhinoskopi posterior
atau nasofaringoskopi rigid/fiber.

4) Pemeriksaan laboratorium
Hematologi (darah perifer lengkap, LED, hitung jenis), alkali
fosfatase, LDH, SGOT-SGPT

5) Pemeriksaan serologi
Beberapa penelitian berusaha menemukan pemeriksaan yang
efektif sebagai alat deteksi dini KNF. Salah satu penelitian
menemukan bahwa analisis DNA EBV di sampel plasma
(pEBV) dapat digunakan sebagai alat skrining KNF
asimtomatik.27 Penanda pEBV juga memiliki nilai prognosis
dimana pEBV digunakan dalam menyeleksi pasien KNF risiko
tinggi untuk diberikan terapi ajuvan.8 Penelitian lain
menemukan bahwa uji cepat menggunakan NPC test strip tidak
direkomendasikan karena sensitivitas dan spesifisitas yang
rendah.28 Meskipun beberapa penelitian merekomendasikan

16
penanda serologis sebagai alat skrining KNF, telaah Cochrane
tidak dapat menilai efektivitas skrining karena belum ada
penelitian randomized controlled trial yang membandingkan
kelompok skrining dan tanpa skrining.29

Gambar 10. Algoritma diagnosis dan tatalaksana KNF1

2.8. Klasifikasi Stadium


Penentuan stadium karsinoma nasofaring digunakan sistem TNM menurut
AJCC 2010:1
Tumor Primer (T)
Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 : Tidak tampak tumor
T1s : Karsinoma in situ

17
T1 : Tumor terbatas di nasofaring
T2 : Tumor meluas ke jaringan lunak
T2a : Perluasan tumor ke orofaring dan / atau rongga hidung tanpa
perluasan ke parafaring
T2b : Disertai perluasan ke parafaring
T3 : Tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinus paranasal
T4 : Tumor dengan perluasan intrakranial dan / atau terdapat
keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang
mastikator

Kelenjar Getah Bening (KGB) Regional (N)


Nx : Pembesaran KGB regional tidak dapat dinilai
N0 : Tidak ada pembesaran
N1 : Metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran
terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N2 : Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar
kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N3 : Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih
besar dari 6 cm, atau terletak di dalam fossa supraklavikula
N3a : ukuran lebih dari 6 cm
N3b : di dalam fossa supraklavikula

Metastasis Jauh (M)


Mx : Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 : Tidak ada metastasis jauh
M1 : Terdapat metastasis jauh

Tabel 1. Stadium KNF1


Stadium T N M
Stadium 0 T1s N0 M0
Stadium I T1s N0 M0
Stadium IIA T2a N0 M0
Stadium IIB T1 N1 M0
T2a N1 M0
T2b N0, N1 M0

18
Stadium III T1 N2 M0
T2a, T2b N2 M0
T3 N2 M0
Stadium IVa T4 N0, N1, N2 M0
Stadium IVb semua T N3 M0
Stadium IVc semua T semua N M1

2.9. Penatalaksanaan
Terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya, dan
didukung dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala.25

Tabel 2. Modalitas Terapi KNF Menurut Stadium1


Stadium Modalitas Terapi
Stadium I Radioterapi
Stadium II Kemoradiasi
Stadium III Kemoradiasi
Stadium IV dengan N <6 cm Kemoradiasi
Stadium IV dengan N >6 cm Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan
kemoradiasi

Radioterapi
Radiasi diberikan dengan sasaran radiasi tumor primer dan KGB leher dan
supraklavikula kepada seluruh stadium (I, II, III, IV lokal). Radiasi dapat
diberikan dalam bentuk: radiasi eksterna yang mencakup gross tumor
(nasofaring) beserta kelenjar getah bening leher, dengan dosis 66 Gy pada
T1-2 atau 70 Gy pada T3-4; disertai penyinaran kelenjar supraklavikula
dengan dosis 50 Gy; radiasi intrakaviter sebagai radiasi booster pada
tumor primer tanpa keterlibatan kelenjar getah bening, diberikan
dengan dosis (4x3 Gy), sehari dua kali; bila diperlukan booster pada
kelenjar getah bening diberikan penyinaran dengan elektron. Penggunaan
teknik Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT) telah menunjukkan
penurunan dari toksisitas kronis pada kasus karsinoma orofaring, sinus
paranasal, dan nasofaring dengan adanya penurunan dosis pada kelenjar-
kelenjar ludah, lobus temporal, struktur pendengaran (termasuk koklea),
dan struktur optik.1

19
Obat-obatan Simptomatik
a) Reaksi akut pada mukosa mulut, berupa nyeri untuk mengunyah dan
menelan : obat kumur yang mengandung antiseptik dan astringent,
diberikan 3 – 4 kali sehari)
b) Tanda-tanda moniliasis : antimikotik
c) Nyeri menelan : anestesi lokal
d) Nausea, anoreksia : terapi simptomatik

Kemoterapi
Kombinasi kemoradiasi sebagai radiosensitizer terutama diberikan pada
pasien dengan T2-T4 dan N1-N3. Kemoterapi sebagai radiosensitizer
diberikan preparat platinum based 30-40 mg/m 2 sebanyak 6 kali, setiap
minggu sekali 2,5 sampai 3 jam sebelum dilakukan radiasi. Kemoterapi
kombinasi/dosis penuh dapat diberikan pada N3 > 6 cm sebagai neoadjuvan
dan adjuvan setiap 3 minggu sekali, dan dapat juga diberikan pada kasus
rekuren/metastatik.1
Terapi sistemik pada karsinoma nasofaring adalah dengan kemoradiasi
dilanjutkan dengan kemoterapi adjuvan, yaitu Cisplatin + RT diikuti dengan
Cisplatin/5-FU atau Carboplatin/5-FU. Dosis preparat platinum based 30-40
mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap seminggu sekali.1

Edukasi
Ada beberapa hal yang perlu diedukasikan kepada pasien yakni seperti yang
tercantum pada tabel berikut.

Tabel 3. Edukasi pasien KNF1


Kondisi Informasi dan Anjuran saat Edukasi
1. Radioterapi Efek samping radiasi akut yang dapat muncul
(xerostomia, gangguan menelan, nyeri saat
menelan), maupun lanjut (fibrosis, mulut kering)
Anjuran untuk selalu menjaga kebersihan mulut
dan perawatan kulit (area radiasi) selama terapi
2. Kemoterapi Efek samping kemoterapi yang mungkin muncul
(mual, muntah, dsb)
3. Nutrisi Edukasi jumlah nutrisi, jenis dan cara pemberian

20
nutrisi sesuai dengan kebutuhan
4. Metastasis pada Kemungkinan fraktur patologis sehingga pada
tulang pasien yang berisiko diedukasi untuk berhati-hati
saat aktivitas atau mobilisasi
Mobilisasi menggunakan alat fiksasi eksternal
dan/atau dengan alat bantu jalan dengan
pembebanan bertahap
5. Lainnya Anjuran untuk kontrol rutin pasca pengobatan
- anjuran untuk menjaga pola hidup yang sehat

2.10. Prognosis
Prognosis pada pasien keganasan paling sering dinyatakan sebagai
kesintasan 5 tahun. Kesintasan relatif 5 tahun pada pasien dengan KNF
stadium I hingga IV secara berurutan sebesar 76,9%, 56%, 38,4%, dan
16,4%.25

2.11. Follow-up
Kontrol rutin dilakukan meliputi konsultasi dan pemeriksaan fisik. Pada
tahun pertama tiap 1-3 bulan; tahun kedua tiap 2-6 bulan; tahun ketiga
sampai kelima tiap 4-8 bulan; setelah tahun kelima tiap 12 bulan.1
Follow-up imaging terapi kuartif dilakukan minimal tiga bulan paska terapi,
yaitu MRI dengan kontras sekuens T1, T2, Fatsat, DWI + ADC; dan Bone
scan untuk menilai respons terapi terhadap lesi metastasis tulang. Follow-up
imaging terapi paliatif dengan terapi kemoterapi, yaitu CT Scan pada siklus
pertengahan terapi untuk melihat respon kemoterapi terhadap tumor; atau
Bone scan untuk melihat metastasis tulang.1

21
BAB III
SIMPULAN

Karsinoma nasofaring merupakan keganasan di bidang kepala leher


terbanyak di Indonesia. Prevalensi KNF tinggi pada populasi dengan faktor risiko
genetik dan lingkungan tertentu, seperti etnisitas tertentu dan konsumsi ikan asin.
Diagnosis dini KNF tidak mudah karena gejala awal nonspesifik, mencakup
gangguan tuba Eustachius, hidung tersumbat, dan sekret. Sebagian besar pasien
datang ketika sudah teraba massa di leher, yang berarti telah terjadi penyebaran
lesi keganasan ke leher. Kegagalan diagnosis pada stadium awal memperburuk
prognosis pasien.
Patogenesis KNF yang melibatkan berbagai faktor risiko, serta perlunya
deteksi dini untuk prognosis pasien yang lebih baik, merupakan bagian dari
tanggungjawab dokter yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama. Dokter harus mampu mengidentifikasi faktor risiko dari anamnesis
pasien dan mengeliminasi faktor risiko tersebut, serta cermat mendeteksi gejala-
gejala awal keganasan pada KNF sehingga mampu merujuk.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Adham M, Gondhowiardjo S, Soediro R, Jack Z, Lisnawati, Witjaksono F,


Manikam NRM, et al. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker
Nasofaring. Jakarta: Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2015
2. Simo R, Robinson M, Lei M, Sibtain A, Hickey S. Nasopharyngeal
carcinoma: United Kingdom National Multidisciplinary Guidelines. J
Laryngol Otol, 2016; 130 (Suppl. S2): S97-103
3. Chua MLK, Wee JTS, Hui EP, Chan ATC. Nasopharyngeal Carcinoma.
Lancet, 2015: doi: 10.1016/S0140-6736(15)00055-0
4. Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B,
Gondhowiardjo S, Tan IB, et al. Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia:
epidemiology, incidence, signs, and symptoms at presentation. Chin J Cancer,
2012; 31(4): 185-96
5. Ferlay J, Soerjomataram I, Dikshit R, Eser S, Mathers C, Rebelo M, Parkin
DM, et al. Cancer incidence and mortality worldwide: sources, methods and
major patterns in GLOBOCAN 2012. Int J Cancer ‘Accepted Article’: doi:
10.1002/ijc.29210
6. Torre LA, Bray F, Siegel RL, Ferlay J, Lortet-Tieulent J, Jemal A. Global
Cancer Statistics, 2012. CA Cancer J Clin, 2015; 000:000-000
7. Tsao SW, Yip YL, Tsang CM, Pang PS, Lau VMY, Zhang G, Lo KW.
Etiological factors of nasopharyngeal carcinoma. Oral Oncol, 2014; 50: 330-
8
8. Hui EP, Ma BBY, Allen Chan KC, Chan CML, Wong CSC, To KF, Chan
AWH. Clinical Utility of Plasma Epstein-Barr Virus DNA and ERCC1 Single
Nucleotide Polymorphism in Nasopharyngeal Carcinoma. Cancer, 2015: doi:
10.1002/cncr.29413
9. Edefonti V, Nicolussi F, Polesel J, Bravi F, Bosetti C, Garavello W, La
Vecchia C, et al. Nutrient-based dietary patterns and nasopharyngeal
cancer: evidence from an exploratory analysis. Br J Cancer, 2015; 112: 446-
54
10. Yong SK, Ha TC, Yeo MCR, Gaborieau V, McKay JD, Wee J. Associations
of lifestyle and diet with the risk of nasopharyngeal carcinoma in Singapore:
a case-control study. Chin J Cancer, 2017; 36: 3
11. Liu Z, Chang ET, Liu Q, Cai Y, Zhang Z, Chen G, Xie SH, et al. Oral
Hygiene and Risk of Nasopharyngeal Carcinoma – A Population-Based
Case-Control Study in China. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev, 2016;
25(8): doi: 10.1158/1055-9965.EPI-16-0149
12. Siew SS, Martinsen JI, Kjaerheim K, Sparen P, Tryggvadottir L, Weiderpass
E, Pukkala E. Int J Cancer ‘Accepted Article’: doi : 10.1002/ijc.31015
13. Di Maso M, Bosetti C, Vecchia CL, Garavello W, Montella M, Libra M,
Serraino D, et al. Regular aspirin use and nasopharyngeal cancer risk: A
case-control study in Italy. Cancer Epidemiol, 2015:
http://dx.doi.org/10.1016/j.canep.2015.04.012
14. Tsang CM, Tsao SW. The role of Epstein-Barr virus infection in the
pathogenesis of nasopharyngeal carcinoma. Virologica Sinica, 2015; 30(2):
107-21

23
15. Young LS, Dawson CW. Epstein-Barr virus and nasopharyngeal carcinoma.
Chin J Cancer, 2014; 33(12): 581-90
16. Jayalie VF, Paramitha MS, Jessica, Liu CA, Ramadianto AS, Trimartani,
Adham M. Profile of Nasopharyngeal Carcinoma in Dr. Cipto
Mangunkusumo National Hospital, 2010. eJKI, 2016; 4(3): 156-62
17. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, ed. 6. Jakarta: EGC,
2012
18. Head&Neck Cancer Guide. Nasopharyngeal Cancer. http://headandneck
cancerguide.org. diunduh tanggal 13 September 2017
19. University of Iowa Health Care. Iowa Head and Neck Protocols.
https://medicine.uiowa.edu. diunduh tanggal 13 September 2017
20. Chan JKC, Bray F, McCarron P, Foo W, Lee AWM, Yip T, Kuo TT.
Nasopharyngeal Carcinoma. WHO, 2012
21. Carioli G, Negri E, Kawakita D, Garavello W, La Vecchia C, Malvezzi M.
Global trends in nasopharyngeal cancer mortality since 1970 and predictions
for 2020: focus on low-risk areas. Int J Cancer ‘Accepted Article’: doi:
10.1002/ijc.30660
22. de The G, Ito Y, Davis W (Eds.). Nasopharyngeal carcinoma: etiology and
control. Lyon: International Agency for Research on Cancer, 1978
23. Chan YH, Lo CM, Lau HY, Lam TH. Vertically transmitted nasopharyngeal
infection of the human papillomavirus: Does it play an aetiological role in
nasopharyngeal cancer? Oral Oncol, 2014: doi:
10.1016/j.oraloncology.2013.12.025
24. Zeng MS, Zeng YX. Pathogenesis and Etiology of Nasopharyngeal
Carcinoma. dalam: Lu JJ, Cooper JS, Lee AWM (Eds.). Nasopharyngeal
Cancer Multidisciplinary Management. Springer, 2010: 9-25
25. Roezin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring. dalam: Soepardi EA, Iskandar
N, Bashiruddin J, Restuti RD (Eds.). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher, ed. 7. Jakarta: FKUI, 2012
26. Wijaya FO, Soeseno B. Deteksi Dini dan Diagnosis Karsinoma Nasofaring.
CDK-254, 2017; 44(7): 478-81
27. Allen Chan KC, Woo JKS, King A, Zee BCY, Jacky Lam WK, Chan SL, et
al. Analysis of Plasma Epstein-Barr Virus DNA to Screen for Nasopharygeal
Cancer. N Engl J Med, 2017; 377(6): 513-22
28. Nazaruddin H, Savitri E, Akil MA, Carolina J. Validitas pemeriksaan rapid
test immunochromatography berbasis EBV pada penderita karsinoma
nasofaring di Makassar. ORLI, 2012; 42(1): 40-7
29. Yang S, Wu S, Zhou J, Chen XY. Screening for nasopharyngeal cancer.
Cochrane Database of Systematic Reviews, 2015; 11: CD008423

24

Anda mungkin juga menyukai