Anda di halaman 1dari 18

PAPER

TUMOR SINUS PARANASALIS


Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu
Radiologi Di RSU Bina Kasih Kota Medan

Pembimbing :

dr.

Disusun Oleh :

DESI YUNISTIA 08310059

FEBTI ELYA NOVIKA 16360041

MIA AUDINA 16360079

MUHAMMAD YUSUF 12310311

NURULIA KHAIRUNNISA 16360228

KKS SMF ILMU RADIOLOGI RSU BINA KASIH KOTA MEDAN


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS MALAHAYATI
TAHUN 2017
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas


ridho dan rahmat-nya serta sholawat dan salam senantiasa tercurahkan
kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian
penyusun dapat menyelesaikan paper yang berjudul Tumor Sinus
Paranasalis.

Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan banyak terima kasih


kepada dosen pembimbing Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Radiologi yaitu
dr. . Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan paper ini masih banyak
kekurangan baik dalam cara penulisan maupun penyajian materi. Oleh
karena itu, penyusun membutuhkan kritik dan saran untuk
menyempurnakannnya. Semoga paper ini berguna dan bermanfaat.
Terimakasih.

Medan, Maret 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL LUAR ................................................................................................. i


KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 2
2.1 Anatomi .......................................................................................... 2
2.2 Definisi .......................................................................................... 11
2.3 Epidemiologi dan Etiologi .............................................................. 11
2.4 Gejala Klinis .................................................................................. 11
2.5 Diagnosis ........................................................................................ 2
2.6 Pemeriksaan Penunjang .................................................................. 2
2.7 Penatalaksanaan .............................................................................. 2
2.8 Prognosis ........................................................................................ 2
BAB III PENUTUP ......................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

Tumor hidung dan sinus paranasal (sinonasal) merupakan tumor yang

jarang ditemukan dan sampai saat ini diagnosis secara dini dan pengobatan

masih merupakan tantangan. Gejala dan tandanya hampir sama dengan

proses inflamasi daerah hidung dan sinus, sehingga pasien biasanya datang

sudah dalam stadium lanjut. Keganasan ini juga merupakan tumor yang sulit

untuk diobati sehingga prognosisnya sering buruk. Keadaan ini disebabkan

lokasi anatomi hidung dan sinus paranasal yang berdekatan dengan struktur-

struktur vital seperti dasar tengkorak, otak, mata dan arteri karotis.1,2,3,4,5

Kegansan hidung dan sinus paranasal hanya merupakan 1% dari

seluruh tumor ganas di tubuh, dan 3 % dari keganasan di kepala dan leher,

sinus maksila merukan tempat tersering (60-80%) diikuti kavum nasi 20-

30% dan sinus etmoid 15%, sedangkan sinus frontal dan sfenoid sangat

jarang dijumpai (kurang dari 1%),1,2 dengan perbandingan laki-laki dan

perempuan 2:1.2 Beberapa penelitian epidemiologi menunjukkan adanya

hubungan antara tingginya insiden keganasan ini dengan terpapar bahan-

bahan kimia karsinogen dan serbuk kayu.1,2,6


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 ANATOMI

HIDUNG LUAR

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian seperti puncak hidung,


dorsum nasi, pangkal hidung (bridge), kolumela, ala nasi dan lubang hidung
(nares anterior). (6,7)

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari
tulang hidung (os nasalis) dan prosesus frontalis maksila, sedangkan kerangka
tulang rawan terdiri dari beberapa buah tulang rawan yang terletak di bagian
bawah hidung. (6,7)

RONGGA HIDUNG (KAVUM NASI)

Rongga hidung mempunyai bentuk sebagai sebuah terowongan dari depan ke


belakang dan di tengah-tengah dipisahkan oleh septum nasi. Lubang bagian
depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior
(koana) yang menghubungkannya dengan nasofaring. (6,7)

Bagian dari rongga hidung yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
dibelakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh
kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang
(vibrissae). (6)
Tiap rongga hidung mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, dinding
lateral, dinding inferior dan dinding superior. (6,7)

Dinding medial

Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah (1) lamina perpendikularis tulang etmoid,
(2) vomer, (3) krista nasalis maksila dan (4) krista nasalis os palatum. Bagian
tulang rawan adalah (1) kartilago septum (lamina kuadran-gularis) dan (2)
kolumela. (6,7)

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum
pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.(6)

Dinding lateral

Bagian depan dari dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan
dibelakangnya terdapat konka yang merupakan bagian terbesar dari dinding
lateral hidung. (6)

Terdapat 4 buah konka didalam hidung. Yang terbesar ialah konka inferior,
kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka
superior, sedangkan yang paling kecill disebut konka suprema. Konka
suprema ini biasanya rudimenter. (6,7)

Konka inferior merupakan tulang tersendiri dan melekat pada maksila dan
labirin etmoid. (6)

Konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. (6)

Ruang yang terletak diantara konka inferior dan dinding lateral rongga hidung
disebut meatus inferior. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. (6)
Meatus media ialah ruang yang terletak diantara konka media dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus
unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Di sekitar hiatus
semilunaris yang merupakan celah terdapat muara sinus frontal, sinus maksila
dan sinus etmoid anterior. (6)

Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan
dinding lateral rongga hidung terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sfenoid. (6)

Dinding inferior

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila
dan os palatum. (6)

Dinding superior

Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. (6)

PENDARAHAN

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmikus, sedangkan a. oftalmikus
berasal dari a. karotis interna. (6,7)

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksila


interna. (6,7)

Yang penting ialah a. sfenopalatina dan ujung a. palatina mayor.

Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. (6)

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.


sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor,
yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis. (6)

PERSARAFAN

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
etmoid anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari
n. oftalmikus (n. V-1). (6,7)

Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.


maksila melalui ganglion sfenopalatinum. (6,7)

Ganglion sfenopalatinum, disamping memberikan persarafan sensoris, juga


memberikan persarafan vasomotor atau autonom pada mukosa hidung.
Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n. maksila (n. V-2),
serabut parasimpatis dari n. petrosis profundus. Ganglion sfenopalatinum
terletak di belakang dan sedikit diatas dari ujung posterior konka media. (6,7)

SINUS PARANASAL

Ada empat pasang sinus paranasal, yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid dan sinus sfenoid kiri dan kanan. Sinus paranasal berbentuk rongga
didalam tulang yang sesuai dengan namanya dan semuanya mempunyai muara
(ostium) didalam rongga hidung. (6)

Perkembangan dimulai pada fetus yang berusia 3-4 bulan (kecuali sinus
frontal dan sinus sfenoid), berupa invaginasi dari mukosa rongga hidung.
Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada pada waktu anak lahir, dan hanya
sinus ini yang dapat terkena infeksi pada anak. Sinus frontal mulai
berkembang dari sinus etmoid anterior pada usia kurang lebih 8 tahun.
Pseumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari
bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai
besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun. (6)
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit

dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada

empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus

etmoid, dan sinus sfenoid. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi

tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.7(gambar

1)

Gambar 1. Anatomi rongga hidung dan sinus paranasal.8

2.2 DEFINISI

Tumor hidung atau tumor sinus paranasal adalah pertumbuhan tumor

ke arah ganas yang mengenai hidung dan lesi yang menyerupai tumor pada

rongga hidung, termasuk kulit dari hidung luar dan vestibulum nasi.9

2.3 EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI


Keganasan hidung dan sinus paranasal hanya merupakan 1% dari

seluruh tumor ganas di tubuh, dan 3 % dari keganasan di kepala dan leher,

sinus maksila merukan tempat tersering (60-80%) diikuti kavum nasi 20-

30% dan sinus etmoid 15%, sedangkan sinus frontal dan sfenoid sangat

jarang dijumpai (kurang dari 1%),1,2 dengan perbandingan laki-laki dan

perempuan 2:1. Keganasan ini sering terdiagnosis pada usia 50 sampai 70

tahun.2,5 Keganasan ini dengan angka yang tinggi ditemukan di Jepang,

China dan India.10

Etiologi tumor sinus belum diketahui, namun kontak dengan debu

kayu diketahui merupakan faktor risiko utama yang berhubungan dengan

keganasan ini. Munculnya keganasan biasanya sekitar 40 tahun setelah

kontak pertama. Peningkatan risiko keganasan ini juga didapatkan pada

pekerja pemurnian nikel dan pabrik pigmen kromat. Disamping itu,

dilaporkan bahwa merokok juga meningkatkan risiko timbulnya keganasan

ini.10

2.4 GEJALA KLINIS

Gejala tergantung asal tumor primer dan arah perluasannya, tumor

dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor

telah mendestruksi tulang dan meluas ke kavum nasi, rongga mulut, pipi

atau orbita.2

Berdasarkan perluasan tumor gejala dapat dikategorikan sebagai :2


1. Gejala nasal, berupa obstruksi hidung unilateral dan rinore, kadang

disertai darah atau epistaksis. Desakan pada hidung menyebabkan

deformitas.

2. Gejala orbital, perluasan ke arah orbita dapat menimbulkan gejala

diplopia, proptosis, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora. Sabharwal

KK dkk11 yang mengevaluasi CT scan pasien dengan proptosis,

mendapatkan sebagian besar proptosis akibat keganasan. Keganasan pada

sinus maksila merupakan penyebab terbanyak di luar tumor mata.

3. Gejala oral, menimbulkan penonjolan atau ulkus di palatum atau di

prosesus alveolaris, sering nyeri gigi sebagai gejala awal yang membawa

pasien ke dokter

4. Gejala fasial, perluasan tumor ke anterior menimbulkan penonjolan pada

pipi, disertai nyeri, anestesia atau parastesia.

5. Gejala intrakranial, perluasan ke intrakranial menyebabkan sakit kepala

yang hebat, oftalmoplegi, gangguan visus, kadang dapat timbul liquore serta

mengenai saraf-saraf kranial.

Dibawah ini adalah klasifikasi TNM untuk karsinoma sinus maksila:

Kategori T untuk karsinoma sinus maksila (2)

T1 : Tumor terbatas pada mukosa antrum tanpa erosi atau destruksi tulang.

T2 : Tumor dengan erosi atau destruksi pada infrastruktur, termasuk palatum


durum dan/atau meatus medius.
T3 : Tumor meluas sampai ke kulit pipi, dinding belakang sinus maksila, dasar
orbita atau sinus etmoid anterior.

T4 : Tumor mengenai isi orbita dan/atau invasi ke suprastruktur, salah satu


dari: lamina kribriformis, sinus etmoid posterior atau sfenoid, nasofaring, palatum
mole, fosa pterigomaksila atau temporal, dasar tengkorak.

Kategori N untuk karsinoma sinus maksila (2)

N0 : Tidak ada metastasis ke kelenjar limfe regional.

N1 : Metastasis tunggal pada kelenjar limfe ipsilateral dengan diameter


terbesar 3 cm atau kurang.

N2a : Metastasis tunggal pada kelenjar ipsilateral dengan diameter terbesar lebih
dari 3 cm tetapi tidak lebih dari 6 cm.

N2b : Metastasis ganda kelenjar ipsilateral, semua dengan diameter terbesar


tidak lebih dari 6 cm.

N2c : Metastasis kelenjar limfe bilateral atau kontralateral, semua dengan


diameter terbesar tidak lebih dari 6 cm.

N3 : Metastasis ke kelenjar limfe yang diameternya lebih dari 6 cm.

Kategori M untuk karsinoma sinus maksila (2)

Mx : Adanya metastasis jauh tidak dapat dinilai.

M0 : Tidak ada metastasis jauh.

M1 : Ada metastasis jauh.

Penentuan stadium karsinoma sinus maksila (2)

Stadium I : T1, N0, M0


Stadium II : T2, N0, M0

Stadium III : T3, N0, M0 atau

: T1, T2 atau T3, N1, M0

Stadium IV : T4, N0 atau N1, M0 atau

: semua T, N2 atau N3, M0 atau

: semua T, semua N, M1

2.5 DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

penunjang. Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi dapat menemukan

tumor dalam stadium dini. CT Scan merupakan sarana terbaik dalam melihat

perluasan tumor dan destruksi tulang. Foto polos paru diperlukan untuk

melihat metastasis tumor ke paru. 2

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan radiologi merupakan bagian yang sangat penting pada

diagnosis, staging dan follow up keganasan sinonasal. Pemeriksaan CT scan

memberikan gambaran yang baik mengenai lokasi dan perluasan tumor, CT

scan dapat menentukan adanya erosi atau destruksi tulang. CT scan dengan

kontras akan memberikan gambaran perluasan tumor ke organ sekitarnya.5

Di sisi lain MRI, memberikan gambaran yang lebih jelas batas tumor

dengan jaringan lunak di sekitarnya. MRI sangat membantu dalam


menentukan perluasan tumor ke orbita, dura, otak, arteri karotis dan sinus

kavernosus.5

Gambar 2. CT Scan potongan koronal

Pada pemeriksaan CT scan orbita didapatkan hasil dengan kesan

tumor (ganas) sinus maksilaris dektra dengan perluasan dan infiltrasi ke

intrakranial. (gambar 2)

2.7 PENATALAKSANAAN

Operasi pengangkatan tumor dan radioterapi masih merupakan

modalitas utama. Namun demikian beberapa penulis melaporkan

penggunaan kemoterapi dan radiasi memberi manfaat pada keganasan yang

lebih lanjut. Terapi paliatif merupakan tujuan utama pada kasus yang sudah

mengalami perluasan, unresectable, metastasis jauh dan keadaan fisik yang

buruk. Untuk tujuan ini radioterapi atau kemoterapi merupakan modalitas

yang sering digunakan untuk mengurangi morbiditas lokal.5,12,13


Berbagai teknik pembedahan dilakukan untuk pengangkatan tumor

sinonasal. Jenis operasi yang dilakukan tergantung pada lokasi dan

perluasan tumor. Tumor yang berasal dari sinus maksila diangkat dengan

maksilektomi.5

2.8 PROGNOSIS

Prognosis keganasan sinus paranasal pada umumnya kurang baik,

karena sebagian besar pasien datang pada stadium lanjut. Sampai beberapa

dekade terakhir belum tampak peningkatan yang bermakna terhadap angka

bertahan hidup pada seluruh keganasan sinus paranasal. Angka bertahan

hidup 5 tahun rata-rata untuk seluruh keganasan sinus maksila antara 20-

50%, hal yang sama juga berlaku untuk sinus paranasal yang lain.2,5

BAB III

KESIMPULAN

Tumor sinus paranasal adalah pertumbuhan tumor ke arah ganas yang

mengenai hidung dan lesi yang menyerupai tumor pada rongga hidung,

termasuk kulit dari hidung luar dan vestibulum nasi. Keganasan hidung dan

sinus paranasal hanya merupakan 1% dari seluruh tumor ganas di tubuh, dan
3 % dari keganasan di kepala dan leher, sinus maksila merukan tempat

tersering (60-80%).

Etiologi tumor sinus belum diketahui, namun kontak dengan debu

kayu diketahui merupakan faktor risiko utama yang berhubungan dengan

keganasan ini. Pada tumor sinus paranasal, gejalanya tergantung asal tumor

primer dan arah perluasannya, tumor dalam sinus maksila biasanya tanpa

gejala. Gejala timbul setelah tumor telah mendestruksi tulang dan meluas ke

kavum nasi, rongga mulut, pipi atau orbita.

CT scan dengan kontras akan memberikan gambaran perluasan tumor

ke organ sekitarnya. MRI sangat membantu dalam menentukan perluasan

tumor ke orbita, dura, otak, arteri karotis dan sinus kavernosus. Operasi

pengangkatan tumor dan radioterapi masih merupakan modalitas utama.

Prognosis keganasan sinus paranasal pada umumnya kurang baik, karena

sebagian besar pasien datang pada stadium lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Carrau RL, Myers EN. Neoplasms of the Nose and Paranasal Sinuses. In :

Bayley BJ, Calhoun KH, eds. Head and Neck Surgery-Otolaryngology,

3thed, Vol.2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001.p.1247-

65
2. Averdi R, Armiyanto. Tumor Hidung dan Sinus Paranasal. Dalam :Efiaty

AS, Nurbaiti I. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Kepala Leher. Jakarta:

Balai Penerbitan FKUI; 2012

3. Domanowski G. Malignant tumors of the Sinuses. Diakses dari :

http://www.emedicine.com/ent/topic254.htm, last updated May 30, 2006

4. Fadil M. Diagnosis Dini Tumor Hidung dan Sinus Paranasal. Dalam : FK

UKI. Penatalaksanaan Penyakit Hidung Masa Kini. Jakarta: FK UKI,

2004: 1-5

5. Wong RJ, Kraus DH. Cancer of the nasal cavity and paranasal sinuses. In:

Shah JP, Patel SG, eds. Cancer of the Head and Neck. London: BC Decker

Inc;2001.p.204-22

6. Shao W. Malignant tumors of the Nasal Cavity. Diakses dari :

http://www.emedicine.com/ent/topic252.htm, last updated June 5, 2006

7. Damayanti S, Endang M. Sinus Paranasal. Dalam :Efiaty AS, Nurbaiti I.

Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Kepala Leher. Jakarta: Balai Penerbitan

FKUI; 2012

8. Chaboki H, Wanna GB, Westreich R, Kao J, Packer SH. Carcinoma of the

Nasal Cavity and Paranasal sinus. In: Genden EM, varvares MA. Head and

neck Cancer. New York: Thieme;2008.p.118-36

9. Cody, DeSanto et al. Neoplasma of the Nasal Cavity in Cummings

Otolaryngology - Head Neck Surgery 3rd ed. New York : Maple Vail Book

Manufacturing Group Mosby-Year Book;2000


10. Barnes L, Tse LLY, Hunt JL, Gensler MB, Curtin HD, Boffeta P.

Tumours of the Nasal cavity and paranasal sinuses: Introduction. In:

Barnes L, Eveson JW, Reichart P, Sidransky D. Patology and Genetics of

Head and Neck Tumours. Lyon: IARC Press;2005.p.12-7

11. Sabharwal KK, Chouhan AL, Jain S. CT Evaluation Of roptosis. Ind J

Radiol Imag 2006 16:4:683-8

12. Giri SPG, Reddy EK, Gerner LS, Krishnan L, Smailey SR, Evans RG.

Management of advanced Squamous Cell Carcinomas of the Maxillary

Sinus. Cancer 1992; 69:657-61

13. Popovi D, Milisavljevi D. Malignant tumors of the maxillary sinus. A

ten-year experience. Med and Biol 2004;11: 31-4

Anda mungkin juga menyukai