Anda di halaman 1dari 22

PAPER

RHINITIS ATROFI

Dibimbing Oleh :

dr. Dewi Puspitasari, Sp. THT-KL

Disusun Oleh :

Riedha Nurfajriach 20360257

Indriyati Januar.T 20360250

Ipan Ferrel heady 20360251

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KEDOKTERAN THT RUMAH

SAKIT UMUM HAJI MEDAN PROVINSI SUMATERA UTARA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MALAHAYATI

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan karunia-Nya, sehingga Paper ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya
dengan judul “Rhinitis Atrofi”.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa laporan kasus
ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisannya, penggunaan tata
bahasa, dan dalam penyajiannya sehingga penulis menerima saran dan kritik
konstruktif dari semua pihak. Namun terlepas dari semua kekurangan yang ada,
semoga dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada dr. Dewi Puspitasari,
Sp.THT-KL yang telah membimbing dan mengarahkan kami dalam
menyelesaikan makalah ini. Penulis juga berterima kasih kepada rekan-rekan yang
telah bekerja sama membantu menyusun laporan kasus ini.
Akhirnya semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu
pengetahuan, khususnya di bidang kedokteran. Semoga Tuhan Yang Maha Esa
selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, Aamiin

Medan, 6 Juni 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1. Latar Belakang...................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................2
2.1 Anatomi Hidung.................................................................................................2
2.2 Definisi Rhinitis Atrofi......................................................................................6
2.3 Epidemiologi......................................................................................................6
2.4 Etiologi...............................................................................................................7
2.5 Patogenesis.........................................................................................................8
2.6 Gejala Klinis.......................................................................................................9
2.7 Klasifikasi..........................................................................................................9
2.8 Penegakan Diagnosa........................................................................................10
2.9 Diagnosa Banding............................................................................................12
2.10 Penatalaksanaan...............................................................................................13
2.11 Komplikasi.......................................................................................................15
2.12 Prognosis..........................................................................................................15
BAB III KESIMPULAN ..........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik yang ditandai adanya atrofi
progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Secaraklinis,
mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering,sehingga
terbentuk krusta yang berbau busuk (Soepardi EA et al., 2012).
Rhinitis atrofi primer disebut juga ozaena (bahasa Yunani yang berarti bau
busuk). Etiologi ozaena belum diketahui pasti, beberapa ahli mengatakan akibat
infeksi bakteri Klebsiella ozaenae dan Bacillus foetidus. Kuman lain sebagai
penyebab adalah Proteus mirabilis, Escherichia coli dan Staphylococcus
aureus.Sementara untuk rhinitis atrofi sekunder biasa disebabkan oleh berbagai
kondisi seperti trauma maksilofasial dan hidung, pembedahan hidung, infeksi kronis
atau akut berulang, penyakit granulomatosa kronik dan paparan radiasi (Yucel A.,
2008).
Insiden ozaena di negara negara Barat menurun dengan meningkatnya pemakaian
antibiotika tetapi dilaporkan di negara-negara berkembang tropis dan subtropis masih
sering dijumpai. Prevalensi ozaena 0,3 – 1%, predominan pada wanita usia muda dan
prepubertas, dengan perbandingan antara wanita dan laki-laki 5,6:1. Kejadian ozaena
berhubungan dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan lingkungan serta
sanitasi yang buruk (Thiagarajan., 2012).

Secara histopatologik tampak mukosa hidung menjadi tipis, silia menghilang,


metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis, kelenjar-
kelenjar berdegenerasi dan atrofi serta jumlahnya berkurang dan bentuknya jadi kecil.
Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk
menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak
menolong dilakukan operasi (Irwan.,2010).

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:

Gambar 1. Anatomi Hidung Bagian Luar

Pangkal hidung (bridge), Dorsum nasi, Apeks nasi, Ala nasi, Collumela ,
Nares anterior, Philtrum. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi
melebarkan dan menyempitkan lubang hidung (Moore KL., 2015).
Kerangka tulang terdiri dari :
1. Sepasang os nasalis (tulang hidung)
2. Prosesus frontalis os maksila
3. Prosesus nasalis os frontalis
Kerangka tulang rawan terdiri dari :
1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala mayor)
3. Beberapa pasang kartilago ala minor
4. Tepi anterior kartilago septum nasi

2
3

Gambar 2. Anatomi Tulang Hidung


Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi dua rongga kiri
dan kanan. Septum nasi terdiri dari dua bagian, yaitu tulang posterior dan tulang
rawan bagian anterior. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding
medial, lateral , inferior dan superior dinding medial hidung ialah septum nasi yang
dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, bagian tulang terdiri dari Lamina
perpendikularis, Os etmoid, Vomer, Krista Nasalis Os maksila, dan Krista nasalis Os
palatina sementara bagian tulang rawan nya terdiri dari kartilago septum dan
kolumela (Keith L., 2006).

Gambar 3. Anatomi Hidung Bagian Dalam

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum
pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung. Pada dinding
lateral terdapat 4 buah konka yang terbesar dan letaknya yang dibawah adalah konka
4

inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi adalah
konka superior, dan yang terkecil adalah konka suprema (rudimenter). Diantara
konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga yang disebut meatus.
Terdapat 3 buah meatus yaitu meatus superior, medius, dan inferior. Meatus inferior
terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga
hidung dan terdapat muara duktus nasolakrimalis, meatus medius terletak diantara
konka media dan dinding lateral rongga hidung dan terdapat muara sinus frontal,
maksila dan etmoid anterior. Meatus superior terletak di antara konka superior dan
media dan terdapat muara dari sinus etmoid posterior dan sfenoid (Moore KL.,
2015).

A. Perdarahan Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoidalis anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmikus, sedangkan a.oftalmikus
berasal dari a.karotis interna.Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan
dari cabang a.maksila interna.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari a.fasialis. Pada bagian
depanseptum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina,
a.etmoidalisanterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut
pleksus Kiesselbach.Pleksus Kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera
oleh trauma, sehinggasering menjadi sumber epistaksis (Irawan., 2010).

Gambar 3. Skema vaskularisasi hidung


5

Gambar 4. Pendarahan Hidung

B. Fisiologi Hidung
Hidung memiliki beberapa fungsi, antara lain :

1. Sebagai jalan nafas, untuk mengatur keluar masuknya udara.


2. Pengatur kondisi udara (Air Conditioning), perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk kedalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan
dengan caramengatur kelembaban udara dan mengatur suhu.
3. Sebagai penyaring dan pelindung, ini berguna untuk membersihkan udara
yang masuk dari debu dan bakteri.
4. Indera pencium dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga
hidung, konka superior dan sepertiga atas septum.
5. Fungsi fonasi, sebagai resonansi suara, membantu proses bicara, dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.
6. Fungsi statik dan mekanik, untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas.
7. Refleks nasal, semisal terdapat iritasi mukosa hidung menyebabkan reflek
bersin dan batuk, saat ada rangsangan dari bau tertentu menyebabkan
sekresi dari kelenjar liur, lambung, dan pancreas (Irwan., 2010).

C. Inervasi Hidung
Mukosa hidung mendapatkan persarafan sensorik dari cabang-cabang n.
Trigeminus (V) yaitu n. oftalmikus (V1) dan n. maksilaris (V2). N. oftalmikus
mencabangkan n. nasosiliaris yang akan bercabang lagi menjadi n. etmoidalis
6

anterior yang mempersarafi bagian anterior dan superior kavum nasi. N.


maksilaris menginervasi hidung melalui ganglion sfenopalatina.Ganglion
sfenopalatina merupakan ganglion yang menerima serabut sarafsensoris dari n.
Maksilaris, serabut parasimpatis n. petrosus superfisialis mayor,dan serabut
simpatis dari n. petrosus profundus. Karena susunan tersebut, ganglion ini
memberikan inervasi sensorik dan vasomotor atau otonom pada hidung.
Ganglion yang terletak di posterosuperior dari konka nasalis media ini
mempersarafi sebagian besar kavum nasi. N. olfaktorius memegang peranan
dalam fungsi menghidu. Serabut sarafnya berasal dari bulbus olfaktorius di otak
dan turun ke kavum nasi melalui lamina kribosa. Saraf ini mempersarafi sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius yang terletak di sepertiga atas hidung

Gambar 5. Inervasi Hidung


2.2 Definisi Rhinitis Atrofi

Rhinitis kronik atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik yang ditandai
adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan kelainan mukosa yang
menyebabkan terbentuknya krusta, kavum nasal yang luas, anosmia, dan bau busuk
akibat pembentukan krusta. Rhinitis atrofi dibagi 2 tipe yaitu rintis atrofi primer dan
rinitis atrofi sekunder. Rhinitis atrofi primer disebut juga ozaena (bahasa Yunani
yang berarti bau busuk). Rhinitis atrofi sekunder biasa disebabkan oleh berbagai
kondisi seperti trauma maksilofasial dan hidung, pembedahan hidung, infeksi kronis
atau akut berulang, penyakit granulomatosa kronik dan paparan radiasi (Soepardi EA
et al., 2012).

2.3 Epidemiologi

Insidensi terjadinya Rhinitis kronik atrofi sudah berkurang pada abad


terakhir, dicurigai akibat meningkatnya penggunaan antibiotik pada kasus infeksi
7

kronis nasal. Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering
mengenai wanita, terutama pada usia pubertas.
Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria, dan Jiang dkk mendapatkan 15
wanita dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4 penderita wanita dan 3 pria. Menurut
Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1.
Prevalensi terjadinya Rinitis atrofi primer tinggi pada daerah yang kering,
jarang hujan seperti pada gurun-gurun di Arab Saudi. Studi melaporkan bahwa
Rinitis atrofi banyak ditemui di pada orang asia, Hispanics dan afrika-amerika. Pada
satu studi dilaporkan bahwa 69.6% penderita berasal dari rural area dan 43.5%
merupakan pekerja pabrik. Rinitis atrofi banyak menyerang orang dengan sosial
ekonomi rendah, dan higienis yang buruk. Angka kejadian enam kali lebih sering
pada wanita dibandingkan dengan laki-laki (Thiagarajan., 2012).

2.4 Etiologi

Penyebab dari rhinitis kronis atrofi primer masih belum jelas diketahui, tetapi infeksi
bakteri kronik pada hidung dan nasal sering dikatakan sebagai penyebab terjadinya
Rinitis atrofi primer. Dari hasil pemeriksaan sediaan apus nasal, ditemukan Klebsiella
Ozaenae (paling banyak), Coccobacillus of Perez, Coccobacillus of Loewenberg,
Pseudomonas Aeruginosa, dll. Defisiensi fe, defisiensi vitamin A, kelainan hormonal,
penyakit kolagen dan kelainan autoimun juga sering dikaitkan dengan terjadinya
kasus Rhinitis kronik atrofi. Rhinitis kronik atrofi sekunder merupakan rhinitis atrofi
yang terjadi setelah ada kondisi fisik yang terjadi sebelumnya, seperti trauma, infeksi,
post operation, dalam terapi radiasi dan lainnya. Dapat di jabarkan sebagai berikut
(Dutt SN,. 2019).
1) Infeksi kuman spesifik, yang tersering ditemukan adalah spesies
Klebsiela,terutama Klebsiela ozaena. Kuman lainnya antara lain
Staphylokokus, Streptokokus dan Pseudomonas aeruginosa
2) Beberapa faktor yang mungkin menimbulkan penyakit ini adalah trauma yang
luas pada mukosa, sifilis.
3) Oleh karena penyakit ini mulai timbul pada usia remaja (pubertas) dan lebih
banyak ditemukan pada wanita, maka diduga ketidakseimbangan endokrin
juga berperan sebagai penyebab penyakit ini.
4) Gizi buruk, biasanya karena defisiensi vitamin A, vitamin C dan zat besi.
8

5) Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun.


6) Herediter.
7) Berhubungan dengan trauma atau terapi radiasi. Trauma dapat terjadi karena
kecelakaan ataupun iatrogenik, yaitu efek lanjut pembedahan, sedangkan
terapi radiasi pada hidung segera merusak pembuluh darah dan kelenjar
penghasil mukus (Yucel A., 2008).

2.5 Patogenesis

Rhinitis kronik atrofi mempunyai gejala yang khas yaitu dengan adanya
perubahan atrofi pada seluruh bagian hidung. Trias Rhinitis atrofi meliputi, bau,
krusta, dan atrofi nasal. Histopatologi Rhinitis atrofi ditandai dengan adanya
perubahan epitel respirasi normal menjadi epitel kubus atau epitel gepeng skuamosa
berlapis (metaplasia), dengan atau tanpa keratinisasi. Atrofi pada silia, mukosa dan
kelenjar submukosa, dimana mukosa menjadi pucat, tampak lengket, terdapat secret
yang mengering membentuk krusta berwarna hijau kekuningan dan scabs. Bau yang
tercium merupakan akibat dari terjadinya infeksi sekunder. Keluhan anosmia terjadi
karena proses atrofi juga mengenai epitel olfaktorius, sel saraf bipolar dan serat saraf,
ditambah dengan insufisiensinya udara untuk mencapai area olfaktorius karena
adanya krusta yang menghalangi (Mehrotra R,. 2017).
Rhinitis atrofi dibagi menjadi dua jenis. Rinitis Atrofi tipe satu, merupakan
tipe yang sering terjadi, dimana ditemukannya endarteritis obliterans, periarteritis,
dan fibrosis periarteria terminal arteriol akibat dari infeksi kronik dengan infiltrate
sel plasma.
Rhinitis atrofi tipe satu ini berespon baik terhadap efek vasodilator terapi
estrogen. Rhinitis atrofi tipe dua, lebih jarang ditemui. Pada tipe ini, Sel endotel pada
kapiler yang berdilatasi memiliki sitoplasma yang berlebih, dan menunjukkan adanya
resorpsi tulang melalui ditemukannya alkaline fosfatase.
Rhinitis atrofi tipe dua tidak berespon baik terhadap terapi estrogen
(Mehrotra R,. 2017).
Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis kronik atrofi, yaitu :
• Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis.
• Silia hidung. Silia akan menghilang.
• Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel kolumnar
bertingkat bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng skuamosa
9

berlapis.
• Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil),
atau jumlahnya berkurang (Endang, M,. 2012).

2.6 Gejala Klinis

Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih
besar, namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara berlahan
memperbesar rongga hidung ke segala jurusan dengan semakin tipisnya epitel.
Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang sementara fibrosis jaringan subepitel
berlahan-lahan menyeluruh. Jaringan disekitar mukosa juga ikut terlibat termasuk
kartilago, otot dan kerangka tulang hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan
krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring dan laring (Dutt
SN,. 2019).
Keadaan ini dapat mempengaruhi potensi tuba eustachius,berakibat efusi
telinga kronik, dan dapat menimbulkan perubahan yang tidak diharapkan pada
apparatus lakrimalis, termasuk keratitis sikka (Yucel A., 2008).
Pada perubahan lanjut rhinitis atrofi, dikenal sebagai ozaena atau krusta yang
banyak dapat disertai bau busuk mamualkan. Sementara orang disekeliling penderita
tidak tahan terhadap bau busuk tersebut, pasien sendiri tidak merasakannya karena
anosmia.
Pasien mengeluh kehilangan indera pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak
ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan menjadi semakin lebar, pasien
merasakan sumbatan yang makin progresif saat bernafas lewat hidung, terutama
karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan hidung, dan menghantarkan
impuls sensoris dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat telah bergerak semakin
jauh. Keluhan yang lain pada rhinitis atrofi adalah nyeri kepala dan epistaksis (Dutt
SN,. 2019).

2.7 Klasifikasi

Klasifikasi berdasarkan penyebabnya rhinitis atrofi dibedakan menjadi :


Rhinitis atrofi primer dan sekunder. Rhinitis atrofi primer merupakan bentuk klasik
rhinitis atrofi. Terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya. Penyebabnya adalah
10

mikroorganisme Klebsiella Ozaena. Sedangkan rhinitis atrofi sekunder merupakan


komplikasi dari suatu tindakan atau penyakit. Penyebabnya bisa karena bedah sinus,
radiasi, trauma, serta penyebaran infeksi lokal setempat (Soepardi EA,. 2012).
Sutomo dan Samsudin membagi rhinitis atrofi secara klinik dalam tiga
tingkat :

a. Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir,


krusta sedikit.

b. Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna
makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.

c. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai
garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring,
terdapat anosmia yang jelas (Soepardi EA,. 2012).

2.8 Penegakan Diagnosa

A. Anamnesa
Keluhan yang paling sering di keluhkan pasien adalah adanya perasaan hidung
yang tersumbat dikarenakan adanya blunting effect, dan krusta yang besar yang
mengahalangi aliran udara. Keluhan lain yang juga sering dikeluhkan pasien
adalah bau busuk yang dikeluhkan orang sekitar, yang membuat pasien jadi
memiliki masalah sosial, pasien sendiri tidak dapat mencium bau busuk tersebut,
karena pasien mengalami anosmia. Pusing, sekret purulent, krusta kehijauan
berbau busuk yang terlepas dan menyebabkan pendarahan hidung (Bist SS,.
2012).

B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan
rongga hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika
krusta diangkat, terlihat rongga hidung sangat lapang, atrofi konka (konka nasi
media dan konka nasi inferior mengalami hipotrofi atau atrofi), sekret purulen
dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering. Bisa juga ditemui ulat/ telur
larva (karena bau busuk yang timbul) (Bist SS,. 2012).\
Sutomo dan Samsudin3 membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat :
11

1. Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan


berlendir, krusta sedikit.
2. Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin
kering, warna makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum
jelas.
3. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka
tampak sebagai garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat
ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.
C. Pemeriksaan Penunjang
• Radiologi
Pada foto rontgen ditemukan (1) penebalan mukoperiostal pada SPN, (2)
hipoplasia sinus maksilaris, (3) pembesaran kavum nasi dengan erosi dan
bowing pada dinding lateralnya, (4) resorpsi tulang dan atrofi mukosa konka
inferior dan konka media. Posisi foto yang dapat digunakan posisi Waters,
AP, Caldwell dan Lateral (Bist SS,. 2012).

• Mikrobiologi
Ditemuinya kuman Klebsiella Ozaena, Pseudomonas Aeroginosa dan
lainnya seperti yang tertera di etiologi pada hasil kultur bakteri (Bist SS,.
2012).
• Biopsi
12

Tabel 1. perbandingan biopsy mukosa normal dan rhinitis atrofi

2.9 Diagnosa Banding

a. Rhinitis Tuberkulosis
Tuberkulosis pada hidung berbentuk noduler atau ulkus, terutama
mengenai tulang rawan septum dan dapat mengakibatkan perforasi.Pada
pemeriksaan klinis terdapat sekret mukopurulen dan krusta sehingga
menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Diagnosis ditegakkan dengan
ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada sekret hidung (Soepardi EA,. 2012).
b. Rhinitis Sifilis
Penyebab rinitis sifilis ialah kuman Treponema pallidum. Pada rinitis
sifilis yang primer dan sekunder gejalanya hanya adanya bercak pada mukosa.
Pada rinitis sifilis tersier dapat ditemukan guma atau ulkus yang terutama
mengenai septum nasi dan dapat mengakibatkan perforasi septum. Pada
pemeriksaan klinis didapati sekret mukopurulen yang berbau dan krusta.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan mikrobiologik dan biopsi
(Soepardi EA,. 2012).
c. Rhinitis Lepra
Penyebab rinitis lepra adalah Mikobakterium leprae. Lesi pada hidung
sering terlihat pada penyakit ini. Pasien mengeluhkan hidung tersumbat oleh
karena pembentukan krusta serta adanya bercak darah. Mukosa hidung terlihat
13

pucat. Apabila infeksi berlanjut dapat menyebabkan perforasi septum. (Soepardi


EA,. 2012).

2.10 Penatalaksanaan

Dikarenakan etiologi dari rhinitis atrofi yang multifaktorial, maka


pengobatan rhinitis atrofi belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk
mengatasi etiologi dan gejala klinis. Pengobatan dapat dilakukan secara
konservatif atau pembedahan (Chhabra,. 2018).
a. Konservatif
Pengobatan konservatif rhinitis atrofi meliputi pemberian antibiotik, obat cuci
hidung, dan simptomatik (Chhabra,. 2018).
1) Antibiotik spektrum luas seperti Quinolone dan tetracycline sebelum
dilakukan uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai tanda-tanda
infeksi hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada
pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu.
2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan
sekret dan menghilangkan bau. Antara lain :
a. Betadine
b. Campuran :
• NaCl
• NH4Cl
• NaHCO3
• Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air
hangat
c. Larutan NaCl
d. Campuran :
• Na bikarbonat 28,4 g
• Na diborat 28,4 g
• NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat
Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan
dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang
masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua
14

kali sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi


(Ozaena) biasanya dengan pemberian preparat Fe.
3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa
25% dalam gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak
Arachis 10.000 U / ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1
g + NaCl 30 ml. diberikan tiga kali sehari masing-masing tiga tetes.
4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu
5) Preparat Fe
6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha Sardana dan
Rjvanski melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik
memberikan 80% perbaikan dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta
submukosa intranasal memberikan 93,3% perbaikan pada periode waktu
yang sama. Ini membantu regenerasi epitel dan jaringan kelenjar. Samiadi
dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet sehari selama 2
minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl fisiologis 3 x
sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek
samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci
hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang
memuaskan pada 6 dari 7 penderita (Dutt SN,. 2019).
b. Terapi Operatif
Tujuan operasi/ pembedahan pada rinitis atrofi (ozaena) antara lain
untuk menyempitkan rongga hidung yang lapang, mengurangi pengeringan
dan pembentukan krusta, serta mengistirahatkan mukosa sehingga
memungkinkan terjadinya regenerasi. Operasi dilakukan jika dengan
pengobatan konservatif tidak ada perbaikan. Teknik operasi/ bedah untuk
rinitis atrofi dibedakan menjadi dua kategori utama :
1) Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal
2) Operasi, seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang
hidung ke arah dalam.
Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain :
1) Young's operation
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha
melaporkan hasil yang baik dengan penutupan lubang hidung
15

sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung


bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.
2) Modified Young's operation
Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang
terbuka.Lautenschlager operation.
3) Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari
etmoid, kemudian dipindahkan ke lubang hidung.
4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang,dermofit,
bahan sintetis seperti Teflon, campuran Triosite dan Fibrin Glue.
5) Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's
operation) dengan tujuan membasahi mukosa hidung.
Mewengkang N melaporkan operasi penutupan koana
menggunakan flap faring pada penderita ozaena anak berhasil
dengan memuaskan.

Bila pengobatan konservatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan


perbaikan, pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung.
Prinsipnya mengistirahatkan mukosa hidung pada nares anterior atau koana
sehingga menjadi normal kembali selama 2 tahun. Atau dapat dilakukan
implantasi untuk menyempitkan rongga hidung (Jaswal A,. 2018).

2.11 Komplikasi

Komplikasi rhinitis atrofi dapat berupa :


1) Perforasi septum,
2) Faringitis,
3) Sinusitis,
4) Hidung pelana (Munir,. 2016).

2.12 Prognosis

Prognosis rhinitis atrofi tergantung dari etiologi dan progresifitas


penyakitnya, jika cepat ditangani umumnya akan berakhir baik. Jika penyakit di
diagnosa pada tahap awal dan penyebabnya dapat dipastikan bakteri, maka terapi
antimikrobial yang adekuat serta cuci hidung yang rutin diharapkan dapat
16

mengembalikan fungsi hidung kembali. Jika penyakit didapati dengan gejala


klinis yang parah, tetap dicoba dengan terapi medika mentosa, dan jika tidak
berhasil perlu dipikirkan untuk melakukan tindakan bedah (Yuka SA,. 2010).
BAB III

KESIMPULAN

Rhinitis kronik atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik dengan tanda
adanya atrofi progresif tulang dan mukosa konka. Etiologi penyakit ini belum
jelas. Beberapa hal dianggap sebagai penyebab seperti infeksi oleh kuman
spesifik, yaitu klebsiela, yang sering Klebsiela Ozaena, kemudian Staphylokokus,
dan Pseudomonas aeruginosa, selain itu bisa juga disebabkan karena defisiensi
Fe, defisiensi vitamin A, kelainan hormonal dan penyakit kolagen. Mungkin
berhubungan dengan trauma atau terapi radiasi. Gejala klinis adalah berupa
keluhan subyektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya hidung terasa
tersumbat, nafas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia), sekret
kental warna kehijauan, krusta, gangguan penciuman, sakit kepala. Pada
pemeriksaan THT ditemukan rongga hidung sangat lapang, konka inferior dan
media hipotrofi atau atrofi, sekret purulen hijau, dan krusta berwarna hijau. Terapi
untuk saat ini belum ada yang baku, terapi ditujukan untuk menghilangkan
etiologi dan gejala yang dapat dilakukan secara konservatif maupun operatif.

17
DAFTAR PUSTAKA

Bist SS, Bisht M, Purohit JP (2012) Primary atrophic rhinitis: a clinical profile,
microbiological and radiological study. ISRN Otolaryngol 2012

Chhabra N, Houser SM (2018) The diagnosis and management of empty nose


syndrome. Otolaryngol Clin North Am 42: 311-330.

Dutt SN, KameswaranM. The etiology and management of atrophic rhinitis. Journal
of Laryngology and Otology 2019; 119:843–52.

Endang, M. & Nusjirwan, R. Rinorea, Infeksi Hidung dan Sinus dalam BukuAjar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-
7.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012. Jakarta. Hal. 117-119

Irawan, Engki. Rinitis Atrofi. FK- RSU Dr. Pirngadi dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorokan, Edisi III FKUI. 2010. Medan

Jaswal A, Jana AK, Sikder B, Nandi TK, Sadhukhan SK, et al. (2018) Novel
treatment of atrophic rhinitis: early results. Eur Arch Otorhinolaryngol 265:
1211-1217.

Keith L. Moore dan Arthur F. Dalley. Clinically Oriented Anatomy, 5th Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2006. pp 1012-1019

Marisa A. Earley, et all. Study of Histopathological Changes in Primary Atrophic


Rhinitis. ISRN Otolaryngol. 2011: 269479.

Mehrotra R, Singhal J, KawatraM, Gupta SC, SinghM. Pre and post-treatment


histopathological changes in atrophic rhinitis. Indian Journal of Pathology
and Microbiology 2017; 48:310–3.

Moore KL. Clinically Oriented Anatomy. 7th ed. USA : Lippincott Williams &
Wilkins. 2015

Munir, Delfitri. Penatalaksanaan Rinitis Atrofi (Ozaena) Secara Konservatif.


Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Majalah Kedokteran
Nusantara. 2006: 39: 2.

Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. 7th ed. Jakarta :Badan
Penerbit Fakutas Kedokteran Universitas Indonsia ; 2012.

Thiagarajan, Balasubramanian. Atrophic Rhinitis. A Literature Review.


WebmedCentral: ENT Scholar Review articles 2012;3(4):WMC003261

Yuka Sevil Ari et all. A forgotten difficult entity:Ozena Report of two cases. Eastern
Journal of Medicine 15. 2010: 114-117
Yucel A, Aktepe O, et al. Atrophic Rinitis: a case report. Turk J Med sd. 2003 July
2008; 33:405

Anda mungkin juga menyukai