Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH 

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


INTUBASI

DISUSUN OLEH :

1. MELA NORA CAHYANI


2. NADYA LUSIANA
3. NORA HELISKA
4. OLGA ERLANGGA
5. OME ASDINI NOPITASARI
6. RENI RAHAYU

TINGKAT : 3.B

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


PRODI DIII KEPERAWATAN LAHAT
TAHUN AKADEMIK TAHUN 2019-2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang maha kuasa, yang telah
memberikan  nikmat dan limpahan rahmat-NYA, sehingga kami dapat menyelesaiakan makalah
ini tepat pada waktunya. Pembuatan makalah ini bertujuan agar kita dapat mengetahui teori
intubasi yang mana ini akan menjadi dasar untuk Mata Kuliah Kegawatdaruratan serta kita dapat
mengetahuinya.

Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada dosen pembimbing. Besar harapan kami supaya
makalah ini dapat berguna dan bermanfaat untuk kita semua, khususnya kepada kita sebagai
mahasiswa keperawatan.

Akhirnya tak ada gading yang tak retak begitupun dengan makalah ini. Kami menyadari
dalam pembuatan makalah ini masih belum sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan.
Oleh karenanya, saran yang membangun sangat kami harapkan agar kedepannya bisa lebih baik
lagi.

Lahat, 18 September 2020


Penyusun

(Kelompok 3)

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................3
BAB I
PENDAHULUAN......................................................................................................................................4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................................................5
2.1 INTUBASI...............................................................................................................................5
2.1.1 Anatomi Saluran Pernapasan Atas............................................................................................5
2.1.2 Anatomi Saluran Pernapasan Bawah........................................................................................7
2.1.3 Definisi Intubasi........................................................................................................................8
2.1.4 Indikasi Intubasi........................................................................................................................9
2.1.5 Kontraindikasi Intubasi.............................................................................................................9
2.1.6 Persiapan intubasi...................................................................................................................10
2.1.7 Cara Intubasi...........................................................................................................................16
2.1.8 Ekstubasi Perioperatif.............................................................................................................19
2.1.9 Kesulitan Intubasi...................................................................................................................20
2.1.10 Komplikasi..............................................................................................................................22
2.2 KANULASI INTRAVENA....................................................................................................25
2.2.1 Definisi...................................................................................................................................25
2.2.2 Alat dan Bahan........................................................................................................................25
2.2.3 Ukuran Kateter Intravena.......................................................................................................26
2.2.4 Pemilihan Vena.......................................................................................................................27
2.2.5 Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Sisi Penusukan Vena...............................................28
2.2.6 Pemasangan infus...................................................................................................................29
2.2.7 Komplikasi terapi intravena....................................................................................................30
BAB III
PENUTUP................................................................................................................................................31
1.1 Kesimpulan.............................................................................................................................31
1.2 Saran.......................................................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................32

3
BAB I

PENDAHULUAN

Intubasi endotrakeal merupakan usaha penanganan jalan nafas. Prosedur ini dapat
dilakukan pada sejumlah kasus pasien yang mengalami penyumbatan jalan nafas, kehilangan
reflek proteksi, menjaga paru-paru dari sekret agar tidak terjadi aspirasi dan pada segala jenis
gagal nafas. Intubasi endotrakeal dapat dilakukan melalui hidung ataupun mulut. Masing-
masing cara memberikan keuntungan tersendiri sebagai contoh bahwa melalui nasal lebih baik
dilakukan pada pasien yang masih sadar dan kooperatif, sedangkan melalui oral dilakukan pada
pasien yang mengalami koma, tidak kooperatif dan ketika kegawatan intubasi dibutuhkan pada
pasien yang mengalami cardiac arrest.
Selain penangan jalan napas, sibutuhkan juga tindakan terapi intravena sebagai tindakan
life saving. Terapi intravena adalah tindakan yang dilakukan dengan cara memasukkan cairan,
elektrolit, obat intravena dan nutrisi parenteral ke dalam tubuh melalui intravena. Tindakan ini
sering merupakan tindakan life saving seperti pada kehilangan cairan yang banyak, dehidrasi dan
syok, karena itu keberhasilan terapi dan cara pemberian yang aman diperlukan  pengetahuan
dasar tentang keseimbangan cairan dan elektrolit serta asam basa. Tindakan ini merupakan
metode efektif dan efisien dalam memberikan suplai cairan ke dalam kompartemen
intravaskuler. Terapi intravena dilakukan berdasarkan order dokter dan perawat bertanggung
jawab dalam pemeliharaan terapi yang dilakukan. Pemilihan pemasangan terapi intravena
didasarkan  pada beberapa faktor, yaitu tujuan dan lamanya terapi, diagnosa pasien, usia, riwayat
kesehatan dan kondisi vena pasien. Apabila pemberian terapi intravena dibutuhkan dan
diprogramkan oleh dokter, maka perawat harus mengidentifikasi larutan yang benar, peralatan
dan prosedur yang dibutuhkan  serta mengatur dan mempertahankan sistem.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 INTUBASI

2.1.1 Anatomi Saluran Pernapasan Atas

Gambar 1. Anatomi Saluran Pernapasan


 Cavum Nasalis
Hidung dibentuk oleh tulang sejati (os) dan tulang rawan (kartilago). Hidung
dibentuk oleh sebagian kecil tulang sejati, sisanya terdiri atas kartilago dan jaringan ikat
(connective tissue). Bagian dalam hidung merupakan suatu lubang yang
dipisahkan menjadi lubang kiri dan kanan oleh sekat (septum). Rongga
hidung mengandung rambut (fimbriae ) yang berfungsi sebagai penyaring (filter)
kasar terhadap benda asing yang masuk. Pada permukaan (mukosa) hidung terdapat epitel
bersilia yang mengandung sel goblet. Sel tersebut mengeluarkan lendir sehingga
dapat menangkap benda asing yang masuk ke dalam saluran pernapasan. Kita dapat

5
mencium aroma karena di dalam lubang hidung terdapat reseptor. Reseptor bau
terletak pada cribriform plate, di dalamnya terdapat ujung dari saraf kranial I
(Nervous Olfactorius). Hidung berfungsi sebagai jalan napas, pengatur udara,
pengatur kelembaban udara (humidifikasi), pengatur suhu, pelindung dan
penyaring udara, indra pencium, dan resonator suara. 2

 Faring
Faring merupakan pipa berotot berbentuk cerobong yang letaknya bermula dari
dasar tengkorak sampai persambungannya dengan esofagus pada ketinggian tulang rawan
(kartilago) krikoid. Faring digunakan pada saat ‘digestion ’ (menelan) seperti pada
saat bernapas. Berdasarkan letaknya faring dibagi menjadi tiga yaitu di
belakang hidung (naso-faring), belakang mulut (oro-faring ), dan belakang laring
(laringo- faring ).
Naso-faring terdapat pada superior di area yang terdapat epitel bersilia (pseudo
stratified ) dan tonsil (adenoid), serta merupakan muara tube eustachius. Tenggorokan
dikelilingi oleh tonsil, adenoid, dan jaringan limfoid lainnya. Struktur tersebut
penting sebagai mata rantai nodus limfatikus untuk menjaga tubuh dari invasi
organisme yang masuk ke dalam hidung dan tenggorokan. Oro-faring berfungsi untuk
menampung udara dari naso-faring dan makanan dari mulut. Pada bagian ini terdapat
tonsil palatina (posterior) dan tonsili lingualis (dasar lidah).

 Laring
Laring sering disebut dengan ‘voice box’ dibentuk oleh struktur epiteliumlined
yang berhubungan dengan faring (di atas) dan trakhea (di bawah). Laring terletak
di anterior tulang belakang (vertebrae) ke-4 dan ke-6. Bagian atas dari esofagus berada
di posterior laring. Fungsi utama laring adalah untuk pembentukan suara, sebagai
proteksi napas bawah dari benda asing dan untuk memfasilitasi proses terjadinya batuk.
Laring terdiri atas:
 Epiglotis; katup kartilago yang menutup dan membuka selama menelan.
 Glotis; lubang antara pita suara dan laring.
 Kartilago tiroid; kartilago yang terbesar pada trakhea, terdapat bagian yang membentuk
jakun.

6
 Kartilago krikoid; cincin kartilago yang utuh di laring (terletak di bawah kartilago
tiroid).
 Kartilago aritenoid; digunakan pada pergerakan pita suara bersama dengan kartilago
tiroid.
 Pita suara; sebuah ligamen yang dikontrol oleh pergerakan otot yang
menghasilkan suara dan menempel pada lumen laring.2

Gambar 2. Anatomi Laring

2.1.2 Anatomi Saluran Pernapasan Bawah


 Trakhea
Trakhea merupakan perpanjangan laring pada ketinggian tulang vertebre torakal
ke-7 yang bercabang menjadi dua bronkhus. Ujung cabang trakhea disebut carina.
Trakhea bersifat sangat fleksibel, berotot, dan memiliki panjang 12 cm dengan cincin
kartilago berbentuk huruf C.

7
 Bronkus dan Bronkiolus
Cabang bronkhus kanan lebih pendek, lebih lebar, dan cenderung lebih vertikal
daripada cabang yang kiri. Hal tersebut menyebabkan benda asing lebih mudah
masuk ke dalam cabang sebelah kanan daripada bronkhus sebelah kiri. Segmen dan
subsegmen bronkhus bercabang lagi dan berbentuk seperti ranting masuk ke paru-
paru. Bronkhus disusun oleh jaringan kartilago sedangkan bronkhiolus, yang berakhir di
alveoli, tidak mengandung kartilago. Tidak adanya kartilago menyebabkan
bronkhiolus mampu menangkap udara, namun juga dapat mengalami kolaps.
Agar tidak kolaps alveoli dilengkapi dengan poros/lubang kecil yang terletak antar
alveoli yang berfungsi untu mencegah kolaps alveoli.
Saluran pernapasan mulai dari trakhea sampai bronkhus terminalis tidak
mengalami pertukaran gas dan merupakan area yang dinamakan Anatomical Dead
Space. Awal dari proses pertukaran gas terjadi di bronkhiolus respiratorius. Parenkim
paru-paru merupakan area yang aktif  bekerja dari jaringan paru-paru. Parenkim tersebut
mengandung berjuta-juta unit alveolus. Alveoli merupakan kantong udara yang
berukuran sangat kecil, dan merupakan akhir dari bronkhiolus respiratorus sehingga
memungkinkan pertukaran O2 dan CO2 . Seluruh dari unit alveoli (zona respirasi)
terdiri atas bronkhiolus respiratorius, duktus alveolus, dan alveolar saccus
(kantong alveolus). Fungsi utama dari unit alveolus adalah pertukaran O2 dan
CO2 diantara kapiler pulmoner dan alveoli.2

2.1.3 Definisi Intubasi


Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau
hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan intubasi
nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam
trakea melalui rima glottidis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya
berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Intubasi
nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal melalui nasal dan nasopharing ke
dalam oropharing.1,3

8
2.1.4 Indikasi Intubasi
Intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui
hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trachea. Indikasi dilakukannya
intubasi yaitu sebagai berikut :
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun (kelainan anatomi, bedah khusus,
bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan napas, dll.)
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi (Misalnya, saat resusitasi,
memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang)
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi (pada keadaan tidak sadar, lambung
penuh dan tidak ada reflex batuk).
4. Pada kondisi dimana terdapat kemungkinan kegagalan pernapasan, seperti (Trauma
pada dada dan saluran napas, gangguan neurologis akibat penggunaan obat miastenia
gravis, racun, dll)
5. Untuk membebaskan obstruksi jalan napas
6. Menjaga darah dan sekresi keluar dari trakea selama operasi saluran napas
7. Melindungi jalan napas (pada pasien kejang)

2.1.5 Kontraindikasi Intubasi


Kontraindikasi intubasi endotrakeal adalah : trauma servikal yang memerlukan
keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan
intubasi.
Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan menjalani
operasi maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa orotrakeal, diameter
maksimal dari pipa yang digunakan pada intubasi nasotrakeal biasanya lebih kecil oleh
karenanya tahanan jalan napas menjadi cenderung meningkat. Intubasi nasotrakeal pada
saat ini sudah jarang dilakukan untuk intubasi jangka panjang karena peningkatan
tahanan jalan napas serta risiko terjadinya sinusitis. Teknik ini bermanfaat apabila urgensi
pengelolaan airway tidak memungkinkan foto servikal. Intubasi nasotrakeal secara
membuta (blind nasotrakeal intubation) memerlukan penderita yang masih bernafas
spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk penderita yang apnea. Makin
dalam penderita bernafas, makin mudah mengikuti aliran udara sampai ke dalam laring.

9
Kontraindikasi lain dari pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii,
khususnya pada tulang ethmoid, epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan trombolisis.

2.1.6 Persiapan intubasi


Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alat‐alat dan memposisikan
pasien. ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian cuff ETT sebaiknya di tes terlebih
dahulu dengan spuit 10 milliliter. Jika menggunakan stylet sebaiknya dimasukkan ke
ETT. Berhasilnya intubasi sangat tergantung dari posisi pasien, kepala pasien harus
sejajar dengan pinggang anestesiologis atau lebih tinggi untuk mencegah ketegangan
pinggang selama laringoskopi. Persiapan untuk induksi dan intubasi juga melibatkan
preoksigenasi rutin.3,4,5

Persiapan alat untuk intubasi antara lain :


STATICS
 Scope
Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop untuk
mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk melihat laring secara langsung
sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan baik dan benar. Secara garis besar, dikenal dua
macam laringoskop:
a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.
b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.
Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah lampu pada
laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat.

10
Gambar 3. Laringoskop

 Tube
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa trakea
mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar
polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam ukuran milimeter. Bentuk penampang
pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah
usia lima tahun, bentuk penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa
seperti huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun tidak menggunakan
kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan kaf supaya tidak bocor. Alasan
lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea
dan postintubation croup.
Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung
(nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan bila penggunaan orotracheal
tube tidak memungkinkan, mislanya karena terbatasnya pembukaan mulut atau dapat
menghalangi akses bedah. Namun penggunaan nasotracheal tube dikontraindikasikan pada
pasien dengan farktur basis kranii.

Usia Diameter (mm) Skala French Jarak Sampai

11
Bibir
Prematur 2,0-2,5 10 10 cm
Neonatus 2,5-3,5 12 11cm
1-6 bulan 3,0-4,0 14 11 cm
½-1 tahun 3,0-3,5 16 12 cm
1-4 tahun 4,0-4,5 18 13 cm
4-6 tahun 4,5-,50 20 14 cm
6-8 tahun 5,0-5,5* 22 15-16 cm
8-10 tahun 5,5-6,0* 24 16-17 cm
10-12 tahun 6,0-6,5* 26 17-18 cm
12-14 tahun 6,5-7,0 28-30 18-22 cm
Dewasa wanita 6,5-8,5 28-30 20-24 cm
Dewasa pria 7,5-10 32-34 20-24 cm
Tabel 1. Ukuran pipa trakea

            Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas, mempertahankan
patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi, oksigenasi dan pengisapan. Pipa
endotrakea terbuat dari material silicon PVC (Polyvinyl Chloride) yang bebas lateks, dilengkapi
dengan 15mm konektor standar. Termosensitif untuk melindungi jaringan mukosa dan
memungkinkan pertukaran gas, serta struktur radioopak yang memungkinkan perkiraan lokasi
pipa secara tepat. Pada tabung didapatkan ukuran dengan jarak setiap 1cm untuk memastikan
kedalaman pipa.
Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa trakea disesuaikan
dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung pada umur. Pipa endotrakea yang baik untuk
seorang pasien adalah yang terbesar yang masih dapat melalui rima glotis tanpa trauma. Pada
anak dibawah umur 8 tahun trakea berbentuk corong, karena ada penyempitan di daerah
subglotis (makin kecil makin sempit). Oleh karena itu pipa endaotrakeal yang dipakai pada anak,
terutama adalah pipa tanpa balon (cuff). Bila dipakai pipa tanpa balon hendaknya dipasang kasa
yang ditempatkan di faring di sekeliling pipa tersebut untuk mencegah aspirasi untuk fiksasi dan
agar tidak terjadi kebocoran udara inspirasi. Bila intubasi secara langsung (memakai laringoskop
dan melihat rima glotis) tidak berhasil, intubasi dilakukan secara tidak langsung (tanpa melihat
trakea) yang juga disebut intubasi tanpa lihat (blind). Cara lain adalah dengan menggunakan
laringoskop serat optic.
Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai pipa dengan
balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan bayi pipa tanpa balon lebih baik.

12
Balon sempit volume kecil tekanan tinggi hendaknya tidak dipakai karena dapat menyebabkan
nekrosis mukosa trakea. Pengembangan balon yang terlalu besar dapat dihindari dengan
memonitor tekanan dalam balon (yang pada balon lunak besar sama dengan tekanan dinding
trakea dan jalan nafas) atau dengan memakai balon tekanan terbatas. Pipa hendaknya dibuat dari
plastik yang tidak iritasif. 
Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya dipertimbangkan
trakeostomi, bahkan pada beberapa kasus lebih dini. Pada hari ke-4 timbul kolonisasi bakteri
yang dapat menyebabkan kondritis bahkan stenosis subglotis.
Kerusakan pada laringotrakea telah jauh berkurang dengan adanya perbaikan balon dan
pipa. Jadi trakeostomi pada pasien koma dapat ditunda jika ekstubasi diperkirakan dapat
dilakukan dalam waktu 1-2 minggu. Akan tetapi pasien sadar tertentu memerlukan ventilasi
intratrakea jangka panjang mungkin merasa lebih nyaman dan diberi kemungkinan untuk mampu
berbicara jika trakeotomi dilakukan lebih dini.

Gambar 4. Endotrakeal Tube

13
Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan napas yaitu pipa mulut-
faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini
berfungsi untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.

Gambar 5. orotracheal airway dan naso-tracheal airway


Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.

Gambar 6. Plester
Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang dibungkus
plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.

14
Gambar 7. Stylet
Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve mask
ataupun peralatan anesthesia.

Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan cairan lainnya.

Gambar 8. Suction

2.1.7 Cara Intubasi

15
Gambar 8. Intubasi Endotrakel

Kesuksesan intubasi tergantung pada posisi pasien yang benar. Kepala pasien harus
sejajar atau lebih tinggi dari pinggul dengan anstesiologi untuk mencegah regangan pada
punggung ataupun pinggang selama proses laringoskopi. Laringoskop ditempatkan di faring agar
dapat memperlihatkan pandangan langsung dari mulut ke glottis. Elevasi kepala sedang (5–10
cm diatas meja bedah) dan ekstensi sendi atlantooksipital menempatkan pasien pada posisi
sniffing. Sebelum dilakukan intubasi terlebih dahulu dilakukan oksigenasi dengan menggunakan
orotracheal tube atau nasotracheal tube dan bag valve kurang lebih selama 30 detik.

Langkah-langkah intubasi:

1. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang dengan tangan
kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan dan lapangan pandang akan terbuka.

2. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat ke atas dengan lengan
kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis.

3. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak
aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.

4. Tracheal tube diambil dengan tangan kanan dan ujungnya dimasukkan melewati pita suara
sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten

16
diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan
jelas. Bila mengganggu, stylet dapat dicabut.

5. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri
memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa
difiksasi dengan plester.

Gambar 9. Penampakan Glotis Saat Laringoskopi

Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan


auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan
terasa ada aliran udara di pipa endotrakeal. Bila terjadi intubasi endotrakeal yang terlalu dalam
akan terdapat tanda‐tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang‐
kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat.
Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama.
Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrium atau gaster akan
mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang‐kadang keluar cairan
lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa
dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.6

17
Gambar 10. Tempat Auskultasi Setelah Pemasangan Tube

Intubasi yang gagal tidak harus dilakukan berulang-ulang dengan cara yang sama.
Perubahan harus dilakukan untuk meningkatkan kemungkinan keberhasilan, seperti reposisi
pasien, mengurangi ukuran tabung, menambahkan stylet, memilih pisau yang berbeda, mencoba
jalur lewat hidung, atau meminta bantuan dari ahli anestesi lain. Jika pasien juga sulit untuk
ventilasi dengan masker, bentuk alternatif manajemen saluran napas lain (misalnya, LMA,
Combitube, cricothyrotomy dengan jet ventilasi, trakeostomi) harus segera dilakukan.5,6
Intubasi Nasotrakeal

Gambar 11. Intubasi Nasotrakeal

Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT masuk lewat hidung
dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang hidung yang
dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih gampang. Tetes
hidung phenylephrine (0,5 – 0,25%) menyebabkan pembuluh vasokonstriksi dan

18
menyusutkan membran mukosa. Jika pasien sadar, lokal anestesi secara tetes dan blok
saraf dapat digunakan.
NTT yang telah dilubrikasi dengan jelly yang larut dalam air, dimasukkan ke
dasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel NTT berada disisi lateral jauh dari turbin.
Untuk memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung proksimal dari NTT harus
ditarik ke arah kepala. Pipa secara berangsur-angsur dimasukan hingga ujungnya terlihat
di orofaring. Umumnya ujung distal dari NTT dapat dimasukan pada trachea tanpa
kesulitan. Jika ditemukan kesulitan dapat diguankan forcep Magil. Penggunaannya harus
dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusakkan balon. Memasukkan NTT melalaui
hidung berbahaya pada pasien dengan trauma wajah yang berat disebabkan adanya resiko
masuk ke intrakranial.7

2.1.8 Ekstubasi Perioperatif


Setelah operasi berakhir, pasien memasuki prosedur pemulihan yaitu
pengembalian fungsi respirasi pasien dari nafas kendali menjadi nafas spontan. Sesaat
setelah obat bius dihentikan segeralah berikan oksigen 100% disertai penilaian apakan
pemulihan nafas spontan telah terjadi dan apakah ada hambatan nafas yang mungkin
menjadi komplikasi. Bila dijumpai hambatan nafas, tentukaan apakah hambatan pada
central atau perifer. Teknik ekstubasi pasien dengan membuat pasien sadar betul atau
pilihan lainnya pasien tidak sadar (tidur dalam), jangan lakukan dalam keadaan setengah
sadar ditakutkan adanya vagal refleks. Bila ekstubasi pasien sadar, segera hentikan obat-
obat anastesi hipnotik maka pasien berangsu-angsur akan sadar. Evaluasi tanda-tanda
kesadaran pasien mulai dari gerakan motorik otot-otot tangan, gerak dinding dada,
bahkan sampai kemampuan membuka mata spontan. Yakinkan pasien sudah bernafas
spontan dengan jalan nafas yang lapang dan saat inspirasi maksimal. Pada ekstubasi
pasien tidak sadar diperlukan dosis pelumpuh otot dalam jumlah yang cukup banyak, dan
setelahnya pasien menggunakan alat untuk memastikan jalan nafas tetap lapang berupa
pipa orofaring atau nasofaring dan disertai pula dengan triple airway manuver standar.8,9
Syarat-syarat ekstubasi :
1. Vital capacity 6 – 8 ml/kg BB.
2. Tekanan inspirasi diatas 20 cm H2O.

19
3. PaO2 diatas 80 mm Hg.
4. Kardiovaskuler dan metabolic stabil.
5. Tidak ada efek sisa dari obat pelemas otot.
6. Reflek jalan napas sudah kembali dan penderita sudah sadar penuh.

2.1.9 Kesulitan Intubasi


Sehubungan dengan manajemen saluran nafas, riwayat sebelum intubasi seperti
riwayat anestesi, alergi obat, dan penyakit lain yang dapat menghalangi akses jalan napas.
Pemeriksaan jalan napas melibatkan pemeriksaan keadaan gigi; gigi terutama ompong,
gigi seri atas dan juga gigi seri menonjol. Visualisasi dari orofaring yang paling sering
diklasifikasikan oleh sistem klasifikasi Mallampati Modifikasi. Sistem ini didasarkan
pada visualisasi orofaring. Pasien duduk membuka mulutnya dan menjulurkan lidah.4,10,11

Klasifikasi Mallampati :
Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar tonsil
Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula
Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula
Mallampati 4 : Palatum durum saja
Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya diperkirakan mudah intubasi,
sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit.

Gambar 12. Klasifikasi Mallampati

20
Tumor Trauma
  Kista higroma   Fraktur Larng
  Hemangioma   Fraktur Mandibula atau maxilla
  Hematoma1   Luka bakar pada saluran pernapasan
nfeksi   Cedera Cervical
  Abses Submandibular Obesitas
  Abses Peritonsillar Extensi leher Inadequate
  Epiglottitis   Rheumatoid arthritis2
Anomali Kongenital   Spondilitis Ankilosa
  Pierre Robin syndrome   Traksi Halo
  Treacher Collins syndrome Variasi Anatomi
  Atresia Laringeal   Mikrognathia
  Goldenhar syndrome   Prognatisme
  Craniofacial dysostosis   Lidah besar
Benda Asing   Palatum melengkung
  Leher pendek
  Gigi seri atas yang menonjol
1 Dapat terjadi postoperative pada pasien yang menjalankan pembedahan pada leher.
2 menyebabkan arittenoid tidak mobile.
Tabel 2. Kondisi Yang Menyulitkan Intubasi

2.1.10 Komplikasi
Tatalaksana jalan napas merupakan aspek yang fundamental pada praktik
anestesi dan perawatan emergensi. Intubasi endotrakeal termasuk tatalaksana yang cepat,
sederhana, aman dan teknik nonbedah yang dapat mencapai semua tujuan dari tatalaksana
jalan napas yang diinginkan, misalnya menjaga jalan napas tetap paten, menjaga paru-
paru dari aspirasi, membuat ventilasi yang cukup selama dilakukan ventilasi mekanik,
dan sebagainya.

21
Faktor-faktor predisposisi terjadinya komplikasi pada intubasi endotrakeal dapat
dibagi menjadi :

Faktor pasien
1. Komplikasi sering terjadi pada bayi, anak dan wanita dewasa karena memiliki laring dan
trakea yang kecil serta cenderung terjadinya edema pada jalan napas.
2. Pasien yang memiliki jalan napas yang sulit cenderung mengalami trauma.
3. Pasien dengan variasi kongenital seperti penyakit kronik yang didapat menimbulkan
kesulitan saat dilakukan intubasi atau cenderung mendapatkan trauma fisik atau fisiologis
selama intubasi.
4. Komplikasi sering terjadi saat situasi emergensi.

Faktor yang berhubungan dengan anestesia


1. Ilmu pengetahuan, teknik keterampilan dan kemampuan menangani situasi krisis yang
dimiliki anestesiologis memiliki peranan penting terjadinya komplikasi selama
tatalaksana jalan napas.
2. Intubasi yang terburu-buru tanpa evaluasi jalan napas atau persiapan pasien dan peralatan
yang adekuat dapat menimbulkan kegagalan dalam intubasi.9,10

Faktor yang berhubungan dengan peralatan


1. Bentuk standar dari endotracheal tube (ETT) akan memberikan tekanan yang maksimal
pada bagian posterior laring. Oleh sebab itu, kerusakan yang terjadi pada bagian tersebut
tergantung dari ukuran tube dan durasi pemakaian tube tersebut.
2. Pemakaian stilet dan bougie merupakan faktor predisposisi terjadinya trauma.
3. Bahan tambahan berupa plastik dapat menimbulkan iritasi jaringan.
4. Sterilisasi tube plastik dengan etilen oksida dapat menghasilkan bahan toksik berupa
etilen glikol jika waktu pengeringan inadekuat.
5. Tekanan yang tinggi pada kaf dapat menimbulkan cedera atau kaf dengan tekanan yang
rendah dapat pula menimbulkan cedera jika ditempatkan di bagian yang tidak tepat.

22
Kesulitan menjaga jalan napas dan kegagalan intubasi mencakup kesulitan ventilasi
dengan sungkup, kesulitan saat menggunakan laringoskopi, kesulitan melakukan intubasi dan
kegagalan intubasi. Situasi yang paling ditakuti adalah tidak dapat dilakukannya ventilasi
maupun intubasi pada pasien apnoe karena proses anestesi. Kegagalan dalam oksigenasi dapat
menyebabkan kematian atau hipoksia otak. Krikotirotomi (bukan trakeostomi) merupakan
metode yang dipilih ketika dalam keadaan emergensi seperti pada kasus cannot-ventilation-
cannot-intubation (CVCI). 10,11

Saat Intubasi Saat Intubasi Digunakan


1. Kegagalan intubasi 1. Malposisi
2. Cedera korda spinalis dan kolumna  Ekstubasi anintentsional
vertebralis
3. Oklusi arteri sentral pada retina dan  Intubasi bronchial
kebutaan
4. Abrasi kornea  Posisi cuff yang salah pada
laring
5. Trauma pada bibir, gigi, lidah dan 1. Trauma Jalan Napas
hidung
2. Refleks autonom yang berbahaya  Inflamasi dan ulserasi mukosa
3. Hipertensi, takikardia, bradikardia dan  Eksoriasi pada hidung
aritmia
4. Peningkatan tekanan intrakranial dan 1. Malfungsi tube
intraocular
5. Laringospasme  Eksplusif
6. Bronkospasme  Obstruksi
7. Trauma laring Setelah Ekstubasi
8. Avulsi, fraktur dan dislokasi 1. Trauma jalan napas
arytenoids
9. Perforasi jalan napas 2. Edema and stenosis (glotis,

23
subglotis, atau trakea)
10. Trauma nasal, retrofaringeal, 3. Suara serak(granuloma vocal
cord atau paralisis)
faringeal, uvula, laringeal, trakea,
esofageal dan bronkus
11. Intubasi esophageal 4. Malfungsi laring dan aspirasi
12. Intubasi bronchial 5. Laringospasme
Tabel 3. Komplikasi Intubasi

2.2 KANULASI INTRAVENA

2.2.1 Definisi
Pemasangan kateter intravena adalah menempatkan cairan steril melalui
jarum langsung ke vena pasien. Biasanya cairan steril mengandung elektrolit (natrium,
kalsium, kalium), nutrien (biasanya glukosa), vitamin atau obat. Pemasangan kateter
intravena digunakan untuk memberikan cairan ketika pasien tidak dapat menelan,
tidak sadar, dehidrasi atau syok, untuk memberikan garam yang diperlukan untuk
mempertahankan keseimbangan elektrolit, atau glukosa yang diperlukan untuk
metabolisme, atau untuk memberikan medikasi.12

2.2.2 Alat dan Bahan


Dalam melakukan pemasangan infus dibutuhkan alat dan bahan yang
sebelumnya harus dipersiapkan terlebih dahulu.13
1. Sarung tangan nonsteril.
2. Kateter plastik yang menyelubungi jarum (jarum infus).
3. Larutan IV untuk cairan.
4. Papan lengan (pilihan).
5. Slang infus.

24
6. Tiang IV (yang diletakkan di tempat tidur atau berdiri sendiri dengan roda) atau
pompa IV.
7. Paket atau perlengkapan pemasangan IV, termasuk torniket (atau manset tekanan
darah); plester-dengan lebar 2,5 cm (atau lebar plester 5 cm), potong); kapas
alkohol (atau antiseptik yang telah direkomendasikan oleh institusi, seperti
povidone); balutan kasa berukuran 5x5 cm; plester perekat ; label perekat.
8. Gunting dan sabun (opsional).
9. Handuk atau penglindung linen

Gambar 13. Alat dan Bahan Kanulasi Vena

2.2.3 Ukuran Kateter Intravena


Untuk pemilihan kateter, pilihlah alat dengan panjang terpendek, diameter
terkecil yang memungkinkan administrasi cairan dengan benar.12

Warna,Ukuran Kateter dan Kecepatan Alirannya


Gauge Catheter Catheter Flow rate Flow rate Flow rate
size length(mm) colour ml/min(H2O) l/hr(H2O) ml/min(blood)
22 25 Blue 42 2.5 24
20 32 Pink 67 4.0 41
18 32 Green 103 6.2 75
25
18 45 Green 103 6.2 63
16 45 Grey 236 14.2 167
Tabel 2.1 Warna,Ukuran Kateter dan Kecepatan Alirannya

2.2.4 Pemilihan Vena


Vena perifer atau superfisial terletak di dalam fasia subkutan dan
merupakan akses paling mudah untuk terapi intravena.14
1. Metakarpal : Titik mulai yang baik untuk kanulasi intravena.
2. Sefalika : Berasal dari bagian radial lengan. Sefalika aksesorius dimulai pada
pleksus belakang lengan depan atau jaringan vena dorsalis.
3. Basilika : Dimulai dari bagian ulnar jaringan vena dorsalis, meluas ke permukaan
anterior lengan tepat di bawah siku di mana bertemu vena mediana kubiti.
4. Sefalika mediana : Timbul dari fossa antekubiti.
5. Basilika mediana : Timbul dari fossa antekubiti, lebih besar dan kurang berliku-liku
daripada sefalika.
6. Anterbrakial mediana : Timbul dari pleksus vena pada telapak tangan, meluas ke
arah atas sepanjang sisi ulnar dari lengan depan.

26
Gambar 14. Lokasi Insersi pada Vena Ekstremitas Atas

Adapun pemilihan vena untuk tempat insersi dilakukan sebelum


melakukan pemasangan infus berbeda-beda
1. Pada orang dewasa pemasangan kanula lebih baik pada tungkai atas dan pada
tungkai bawah
2. Vena tangan paling sering digunakan untuk terapi IV yang rutin.
3. Vena depan, periksa dengan teliti kedua lengan sebelum keputusan dibuat.
4. Vena lengan atas, juga digunakan untuk terapi IV.
5. Vena ekstremitas bawah, digunakan hanya menurut kebijaksanaan
institusi.
6. Vena kepala, digunakan sesual kebijaksanaan institusi, sering dipilih pada bayi
dan anak.

2.2.5 Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Sisi Penusukan Vena

27
Pemilihan tempat insersi untuk penusukan vena juga harus teliti karena ada
beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan tempat insersi yang bisa
menyebabkan terjadinya komplikasi.14
a. Umur pasien; misalnya pada anak kecil, pemilihan sisi adalah sangat penting
dan mempengaruhi berapa lama IV perifer berakhir.
b. Prosedur yang diantisipasi; misalnya jika pasien harus menerima jenis terapi
tertentu atau mengalami beberapa prosedur seperti pembedahan, pilih sisi yang
tidak terpengaruhi apapun.
c. Aktivitas pasien; misalnya gelisah, bergerak, tak bergerak dan perubahan tingkat
kesadaran.
d. Jenis IV: jenis larutan dan obat-obatan yang akan diberikan sering
memaksa tempat-tempat yang optimus (mis: hiperalimentasi adalah sangat
mengiritasi vena-vena perifer).
e. Terapi IV sebelumnya; flebitis sebelumnya membuat vena tidak baik untuk
digunakan: Kemoterapi membuat vena menjadi buruk (mudah pecah ata
sklerosis).
f. Sakit sebelumnya; misalnya jangan digunakan ekstrimitas yang sakit pada
pasien stroke.
g. Kesukaan pasien; jika mungkin pertimbangkan kesukaan alami pasien untuk
sebelah kiri atau kanan.
h. Torniquet; gunakan 4 sampal 6 inci diatas sisi pungsi yang diinginkan.
i. Membentuk genggaman; minta pasien membuka dan menutup genggaman
berulang-ulang.
j. Posisi tergantung; gantung lengan pada posisi menggantung (misalnya
dibawah batas jantung).

2.2.6 Pemasangan infus


Pelaksanaan dalam pemasangan infus harus dilaksanakan sebaik-baiknya
guna menghindari terjadinya komplikasi yang tidak diinginkan. Berikut cara
umum dalam pemasangan infus:12,13

28
1. Persiapkan alat dan bahan seperti tiga buah potongan plester sepanjang 2,5 cm.
Belah dua salah satu plester sampai ke bagian tengah, jarum atau kateter, kapas
alkohol atau antiseptik.
2. Sambungkan cairan infus dengan infus set terlebih dahulu dan periksa tidak
ada udara pada infus set.
3. Pasang torniket pada daerah proksimal vena yang akan dikaterisasi 60-80 mmHg.
4. Cuci tangan dan gunakan sarung tangan.
5. Pilih vena yang akan dilakukan pemasangan, untuk anak-anak lakukan teknik
transiluminasi untuk mendapatkan vena.
6. Dengan kapas alkohol atau antiseptik yang tepat, bersihkan tempat insersi dan
biarkan hingga mengering.
7. Dorong pasien untuk tarik nafas dalam agar pasien relaksasi dan nyaman.
8. Masukkan kateter ke vena sejajar dengan bagian terlurus vena, tusuk kulit dengan
sudut 30-45 derajat, setelah keluar darah pada ujung kateter, tarik sedikit jarum
pada kateter, dorong kateter sampai ujung, dan ditekan ujung kateter dengan 1
jari.
9. Lepaskan torniket.
10. Sambungkan kateter dengan cairan infus.
11. Lakukan fiksasi dengan plester atau ikat pita.
12. Lakukan monitoring kelancaran infus (tetesan, bengkak atau tidaknya tempat
insersi.
13. Mencatat waktu, tanggal dan pemasangan ukuran kateter

2.2.7 Komplikasi terapi intravena


Teknik pemasangan terapi intravena harus dilakukan sebaik-baiknya, adapun
faktor-faktor yang bisa menyebabkan terjadinya komplikasi harus dapat dicegah
semaksimal mungkin. Ada beberapa komplikasi yang bisa terjadi pada
pemasangan infuse:14
1. Flebitis disebabkan oleh alat intravena, obat-obatan, dan/atau infeksi.

29
2. Infiltrasi disebabkan oleh alat intravena keluar dari vena, dengan kebocoran
cairan kedalam jaringan sekitarnya.
3. Emboli udara disebabkan karena masuknya udara kedalam sistem vascular
4. Emboli dan kerusakan kateter disebabkan karena kateter rusak pada hubungan
dan kehilangan potongan kateter ke dalam sirkulasi.
5. Kelebihan dan bebn sirkulasi disebabkan karena infus cairan terlalu cepat.
6. Reaksi pirogenik disebabkan karena kontaminasi peralatan interavena dan larutan
yang digunakan degan bakteri.

BAB III

PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Airway merupakan komponen terpenting dalam menjaga keadaan vital pasien,
sehingga dalam keadaaan gawat darurat komponen inilah yang pertama kali dipertahankan.
Salah satu cara menjaga patensi saluran napas (airway) tersebut adalah dengan intubasi.
Sehingga teknik intubasi harus dikuasai dengan benar dari mulai indikasi sampai dengan
komplikasi-komplikasinya.

30
Intubasi adalah memasukkan suatu pipa melalui mulut atau melalui hidung,
dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trachea. Tujuannya adalah pembebasan jalan
nafas, pemberian nafas buatan dengan bag and mask, pemberian nafas buatan secara
mekanik (respirator) memungkinkan pengisapan secret secara adekuat, mencegah aspirasi
asam lambung dan pemberian oksigen dosis tinggi.
Terapi intravena dengan menggunakan kanulasi vena yang baik dan benar dapat
memberikan efek terapi yang baik dan dapat mencegah komplikasi pada terapi intravena
menggunakan kanulasi vena.

1.2 Saran
Dibutuhkan pelatihan dan penerapan dari teori intubasi dan kanulasi vena
sehingga dapat diaplikasikan dalam perawatan medis sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

1. Desai,Arjun M.2010. Anesthesiology . Stanford University School of Medicine. Diakses


dari: http://emedicine.medcape.com. Accessed on Juni 4th 2015
2. Adams L George, boies L, dkk. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6 . Penerbit
BukuKedokteran EGC. Jakarta 1997
3. Latief, Said A, Kartini A. Suryadi dan M. Ruswan Dachlan. 2001. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI: Jakarta. Universitas
Indonesia. 2007; 2.p:3-45.
4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Airway Management. In : Morgan GE, Mikhail M
S, Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology 4th ed. USA, McGraw‐Hill Companies, In
c.2006, p. 98‐06.

31
5. Gisele de Azevedo Prazeres,MD., (2002), Orotracheal Intubation, available at
http://www.medstudents.com/orotrachealintubation/medicalprocedures.html. accessed on
Juni, 4th 2015.
6. Greenberg MS, Glick M. Burket’s oral medicine diagnosis and treatment. 10th ed. Ontario: BC
Decker Inc, 2003: 94,126, 612
7. Kociszewski C, Thomas SH, Harrison T, et al. Etomidate versus succinylcholine for
intubation in the air medical setting. Am J Emerg Med. 2000;18:757-763
8. Schmitt H, Buchfelder M, Radespiel-Troger M, et al. Difficult intubation in acromegalic
patients: incidence and probability. Anesthesiology. 2000;93:110-114
9. Friedland DR, et all. Bacterial Colonization of Endotracheal Tubes in Intubated Neonatal
in Arch Otolaringol Head and Neck Surg 2001;127:525-528. Available at:
http://www.archoto.com. Accessed on Juni 4th 2015.
10. Gregory GA, Riazi J. Classification and assessment of the difficult pediatric airway.
Anesth Clin North Am. 1998;16:729-741.
11. Gamawati, Dian Natalia dan Sri Herawati. 2002. Trauma Laring Akibat Intubasi
Endotrakeal. Available at  http://ojs.lib.unair.ac.id. Accessed on Juni 4th 2015.
12. Weinstein, S. 2010. Buku Saku: Terapi Intravena. Edisi 2. Jakarta: EGC
13. Potter & Perry. 2005. Buku Saku: Ketrampilan & Prosedur Dasar. Edisi 5. Jakarta: EGC
14. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2001. Penatalaksanaan Pasien Di
Intensif Care Unit. Jakarta: Sagung Seto

32

Anda mungkin juga menyukai