Oleh :
Ni Putu Della Diarna
H1A 015 051
Pembimbing :
dr. M. Alfian Sulaksana, Sp.THT-KL
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya
dengan berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Obstruksi Saluran Napas Atas e.c. Abses Parafaring dan Abses
Retrofaring”. Laporan kasus ini saya susun dalam rangka memenuhi tugas dalam
proses mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Telinga, Hidung
dan Tenggorokan di Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat, Fakultas
Kedokteran Universitas Mataram. Saya berharap penyusunan laporan kasus ini
dapat berguna dalam meningkatkan pemahaman kita semua.
Saya menyadari bahwa laporan kasus ini masih belum sempurna. Oleh karena
itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan
laporan ini. Semoga Tuhan selalu memberikan petunjuk-Nya kepada kita semua
di dalam melaksanakan tugas dan menerima segala amal ibadah kita.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................... i
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
berakibat ke kematian, maka penting dilakukan diagnosis secara awal dan
penatalaksanaan yang cepat dan tepat.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Saluran napas bagian atas terdiri dari hidung, faring, dan laring. Rongga
mulut juga sering kali diikut sertakan sebagai struktur saluran pernapasan bagian
atas.1
2.1.1 Hidung
3
Gambar 2.2 Kerangka tulang dan tulang rawan hidung luar.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dan dipisahkan oleh
septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri (Gambar
2.3). Kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan bagian belakang disebut
nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares
anterior, disebut vestibulum yang dilapisis oleh kulit dengan banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.3
4
Gambar 2.3 Septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang
terdiri dari lamina prependikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan
krista nasalis os palatine. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina
kuadrangularis) dan kolumela. Bagian superior dan posterior disusun oleh lamona
prependikularis os etmoid dan bagian anterior oleh kartilago septum
(quadrilateral), premaksila, dan kolumna membranousa. Bagian inferior, disusun
oleh vomer, maksila, dan tulang palatine dan bagian posterior oleh lamina
sphenoidalis.3
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior, dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi. Dinding lateral
hidung bagian depan disebut ager nasi dan di belakangnya terdapat 4 buah konka,
yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang
lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi adalah konka superior, sedangkan
yang terkecil disebut konka suprema. Di antara konka-konka dan dinding lateral
hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Terdapat tiga meatus, yaitu
meatus inferior, medius, dan superior (Gambar 2.4). Meatus inferior terletak
diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung.
Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus
medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilnaris dan
infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit
melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid
anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan
5
konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid. Dinding
inferior merupakan dasar rongga hidung yang dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung dibentuk oleh lamina kribiformis yang
memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.3
2.1.2 Faring
6
vertebra servikalis 1 di sebelah posterior. Dinding faring terutama dibentuk oleh
dua lapis otot-otot faring. Lapisan otot sirkular di sebelah luar terdiri dari tiga otot
konstriktor. Lapisan otot interna merupakan otot longitudinal, terdiri dari
muskulus palatopharyngeus, muskulus stylopharingeus, dan muskulus
salphingopharingeus. Otot-otot ini mengangkat faring dan laring sewaktu menelan
dan berbicara.3,4
7
rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatina, fossa tonsil serta
arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual, dan foramen sekum.
Laringofaring (hipofaring) merupakan batas laring dengan faring dengan batas di
sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior adalah laring, batas
inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebre servikalis.3,4
Terdapat dua ruang yang berhubungan dengan faring, yaitu ruang parafaring
dan retrofaring. Ruang parafaring (fosa faringo-maksila) merupakan ruang
berbentuk kerucut atau piramida terbalik yang termasuk bagian dari ruang leher
dalam (Gambar 2.6). Ruang parafaring terletak pada dasar tengkorak dekat
foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid. Batas-batas ruang
parafaring di inferior adalah kornu minortulang hyoid, di superior adalah dasar
tengkorak, sebelah medial dibatasi oleh divisi viseral dari lapisan media
(sepanjang otot konstriktor faring), fasia otot-otot tensor serta levator velipalatini
serta stiloglosus. Batas lateral dipertegas oleh lapisan superfisial yang meliputi
mandibula, pterigoideus medial, dan parotis. Batas posterior dibentuk oleh divisi
prevertebral dari lapisan profunda dan sisi posterior selubung karotis (tepatnya
batas postero-lateral). Batas anterior merupakan fasia interpterigoideus dan rafe
pterigomandibula.3,5
8
Gambar 2.6. Gambaran Ruang Parafaring
9
Gambar 2.7 Kompartemen Parafaring
10
Gambar 2.8 Ilustrasi Letak Ruang Faring
2.1.3 Laring
11
Gambar 2.9. Anatomi Laring
12
ini lebih kuat dari pada membrana kuadrangularis dan bergabung dengan
ligamentum vokalis pada masing-masing sisi.4
Otot-otot yang menyusun laring terdiri dari otot-otot ekstrinsik dan otot-otot
intrinsik. Otot-otot ekstrinsik berfungsi menggerakkan laring, sedangkan otot-otot
intrinsik berfungsi membuka rima glotis sehingga dapat dilalui oleh udara
respirasi serta mencegah bolus makanan masuk ke dalam laring (trakea) pada
waktu menelan. Selain itu, juga mengatur ketegangan (tension) plika vokalis
ketika berbicara. Sebagian besar otot-otot laring bersifat adduktor, satu-satunya
otot abduktor adalah m. krikoaritenoideus posterior. Fungsi adduktor pada laring
adalah untuk mencegah benda-benda asing masuk ke dalam paru-paru melalui
aditus laringis.4
Rongga di dalam laring dibagi menjadi tiga, yaitu vestibulum laring yang
dibatasi oleh aditus laringis dan rima vestibuli, ventrikulus laringis yang dibatasi
oleh rima vestibuli dan rima glotidis, dan kavum laringis yang berada di sebelah
kaudal dari plika vokalis dan melanjutkan diri menjadi kavum trakealis.4
2.2.1 Definisi
Obstruksi saluran napas atas ialah sumbatan pada saluran napas atas yakni
hidung, faring, dan laring yang disebabkan oleh berbagai penyebab misalnya
peradangan, benda asing, trauma, maupun massa abnormal. Sumbatan dapat
bersifat sebagian dan total. Pada sumbatan sebagian yang ringan dapat
menyebabkan sesak, sedangkan sumbatan yang lebih berat dapat menyebabkan
sianosis (berwarna biru pada kulit dan mukosa membran yang disebabkan
kekurangan oksigen dalam darah), gelisah bahkan penurunan kesadaran. Pada
sumbatan total dapat menyebabkan kematian apabila tidak dilakukan penanganan
segera.1
13
2.2.2 Etiologi
14
suara, disfagia, odinofagia, tanda tersedak, stridor, pembengkakan muka, dan
takikardia. Pada pasien dengan penurunan kesadaran, gejala utama dari obstruksi
saluran napas atas adalah adanya ketidakmampuan untuk ventilasi dengan bag
valve mask setelah percobaan membuka jalan napas dengan teknik jaw thrust.2
2.2.4 Diagnosis
15
Stadium II: retraksi pada waktu inspirasi di daerah suprasternal
makin dalam, timbul cekungan di daerah epigastrium. Pasien sudah
mulai gelisah. Stridor terdengar saat inspirasi.
Stadium III: retraksi di daerah suprasternal, epigastrium,
infraklavikula, dan sela-sela iga, pasien sangat gelisah dan dispnea.
Stridor saat inspirasi dan ekspirasi.
Stadium IV: retraksi bertambah jelas, pasien sangat gelisah dan
tampak sangat ketakutan serta sianosis. Jika keadaan ini berlangsung
terus, maka pasien akan kehabisan tenaga, pusat pernafasan paralitik
karena hiperkapnea. Pasien lemah dan tertidur dan akhirnya
meninggal karena asfiksia.
16
Gambar 2.11 Algoritma Manajemen Obstruksi Saluran Napas Atas. Pada
pasien yang dicurigai mengalami obstruksi saluran napas atas setelah
dianamenesis dan dilakukan pemeriksaan fisik dapat diklasifikasikan
manejemennya menjadi 2 kelompok. Jika pasien tergolong memiliki gejala
obstruksi yang ringan dan onsetnya gradual, maka dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang terlebih dahulu, dapat berupa bronkoskopi, CT-scan saluran napas atas,
dan spirometri. Namun apabila pasien mengalami gagal napas, maka pasien
langsung ditatalaksanai dengan intubasi ataupun krikotiroidotomi/trekeostomi.7
Penanggulangan pasien dengan obstruksi saluran napas atas dapat dengan
tindakan konservatif maupun operatif. Tindakan konservatif dapat dilakukan pada
pasien dengan obstruksi stadium I berupa pemberian oksigen, analgetik,
antiiflamasi, antbiotika sesuai dengan etiologi obstruksi yang terjadi. Tindakan
operatif dapat dilakukan pada stadium obstruksi II hingga IV berupa intubasi
endotrakea, krikotiroidotomi, atau trakeostomi.3
17
mulut atau yang berasal dari lambung. Kontraindikasi intubasi
endotrakea adalah trauma jalan napas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukan intubasi seperti pada kasus trauma
servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servikal.
18
Krikotiroidotomi (Gambar 2.13), merupakan tindakan membelah
membran krikotiroid untuk dipasang kanul. Krikotiroidotomi dibagi
menjadi 2 jenis tindakan, yaitu needle cricothyroidotomy yang
menggunakan sebuah semprit dengan jarum untuk melubangi
membran krikoid yang berada sepanjang trakea kemudian kateter
dilepaskan dari jarumnya dan dimasukkan ke tenggorokan dan
dilekatkan pada sebuah kantung berkatup serta jenis surgical
cricothyroidotomy dengan cara membuat insisi melewati membran
krikoid sampai ke trakea dengan tujuan memasukkan pipa untuk
ventilasi pasien. Krikotirodotomi dikontraindikasikan pada anak
dibawah 12 tahun, tumor laring yang sudah meluas ke subglotik dan
terdapat laringitis.3
19
trakea ketiga. Sedangkan menurut waktu dilakukan tindakan
maka trakeostomi dibagi menjadi trakeostomi darurat (dalam waktu
yang segera dan persiapan sarana sangat kurang) dan trakeostomi
berencana (persiapan sarana cukup dan dapat dilakukan secara baik).
Indikasi trakeostomi ialah obstruksi laring yang menghambat jalan
nafas, mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran nafas atas
seperti daerah rongga mulut, sekitar lidah dan faring, mengambil
benda asing dari subglotik, penyakit inflamasi yang menyumbat
jalan nafas (misal angina ludwig), epiglotitis dan lesi vaskuler,
neoplastik atau traumatik yang timbul melalui mekanisme serupa,
cedera parah pada wajah dan leher, setelah pembedahan wajah dan
leher, serta keadaan hilangnya refleks laring dan ketidakmampuan
untuk menelan sehingga mengakibatkan resiko tinggi terjadinya
aspirasi.3
20
Gambar 2.14. Tindakan Trakeostomi. Penderita tidur telentang dengan kaki
lebih rendah 30˚ untuk menurunkan tekanan vena di daerah leher, leher harus
lurus, tidak boleh laterofleksi atau rotasi. Dilakukan desinfektan serta anstesi di
daerah yang akan dilakukan insisi. Selanjutnya dilakukan insisi vertikal dimulai
dari batas bawah krikoid sampai fossa suprasternum, insisi horizontal dilakukan
setinggi pertengahan krikoid dan fossa sternum, membentang antara kedua tepi
depan dan medial m.sternokleidomastoid, panjang irisan 4-5 cm. Irisan mulai dari
kulit, subkutis, platisma sampai fasia colli superfisial secara tumpul. Bila tampak
ismus, maka ismus disisikan ke atas atau ke bawah. Bila sudah tampak trakea
maka difiksasi dengan kain tajam. Kemudian suntikkan anestesi lokal kedalam
trakea sehingga tidak timbul batuk pada waktu memasang kanul. Stoma dibuat
pada cincin trakea 2-3 bagian depan, setelah dipastikan trakea yaitu dengan
21
menusukkan jarum suntik dan letakkan benang kapas tersebut. Kemudian kanul
dimasukkan dengan bantuan dilator. Kanul difksasi dengan pita melingkar leher,
jahitan kulit sebaiknya jahitan longgar agar udara ekspirasi tidak masuk ke
jaringan dibawah kulit.3
2.2.6 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat obstruksi saluran napas atas ialah
sebagai berikut.
Hipoksia
Kolaps kardiovaskular
Kematian1,2
2.2.7 Prognosis
Secara garis besar, obstruksi saluran napas atas memiliki prognosis dubia
yang cenderung ke arah malam dikarenakan komplikasi akibat obstruksi yang
sangat berbahaya. Obstruksi saluran napas yang dapat mengakibatkan kurangnya
aliran oksigen ke seluruh tubuh dapat menyebabkan berbagai kerusakan organ dan
bahkan kematian. Prognosis obstruksi saluran napas atas sangat bergantung
terhadap kecepatan serta ketepatan penatalaksanaan awal.6
2.3.1 Definisi
Abses merupakan istilah berupa kumpulan nanah dalam suatu rongga yang
terjadi akibat adanya suatu proses infeksi bakteri piogenik yang terdapat dibawah
jaringan, organ, atau pada ruang-ruang kosong. Abses leher dalam dapat
diklasifikasikan sebagai berikut.
22
Abses retrofaring, merupakan kumpulan nanah yang terbentuk di ruang
retrofaring dan biasa ditemui pada anak-anak.
Abses parafaring, merupakan kumpulan nanah pada ruang parafaring
yang terjadi setelah infeksi faring, tonsil, adenoid, gigi, parotis atau
kelenjar limfatik.
Abses submandibula, merupakan abses yang terbentuk di daerah
submandibula yang bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar
liur, kelenjar limfe submandibula maupun kelanjutan infeksi ruang leher
dalam yang lain.
Angina Ludovici atau Ludwig’s angina, merupakan infeksi ruang
submandibula berupa peradangan atau selulitis dengan tanda berupa
pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak membentuk abses
sehingga keras pada perabaan.
Abses parotis, merupakan suatu proses lanjutan dari parotitis supuratif
akut dan didefinisikan sebagai pengumpulan pus dalam ruang parotis
karena proses radang sebagai respon terhadap infeksi.8
2.3.2 Epidemiologi
Insiden dari abses leher dalam lebih tinggi pada era pre antibiotika namun
tetap menjadi masalah yang penting di negara dunia ketiga yang menimbulkan
morbiditas dan mortalitas. Pada era pre antibiotika, 70% berasal dari penyebaran
infeksi dari faring dan tonsil sedangkan saat ini lebih banyak disebabkan oleh
infeksi gigi. Karakteristik penderita abses leher dalam berdasarkan lokasi di
RSUD Sanglah Denpasar pada tahun 2014 didapatkan lebih banyak pada laki-laki
dengan persentase 75,86% pasien adalah laki-laki dan 24,14% pasien adalah
perempuan. Usia rata-rata penderita abses leher ialah 50,33 tahun. Jenis abses
leher dalam yang paling banyak ditemui adalah abses peritonsiler sebesar 31,04%,
diikuti oleh abses submandibula yakni sebesar 17,24%, abses parafaring sebesar
6,89%, dan abses parotis sebesar 6,89%. Pada penelitian lainnya didapatkan
50,6% pasien dengan abses peritonsiler, 58% dengan abses submandibula, 23%
dengan abses parotis, 17% pasien dengan abses parafaring, 16% pasien dengan
23
abses retrofaring, 11% pasien dengan abses maseter, 9% pasien dengan abses
pterigomaksilari dan 7% pasien dengan pseudoangina Ludovici.8
2.2.3 Etiologi
24
Abses Parafaring Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan
cara sebagai berikut.
Langsung akibat tusukan jarum yang
terkontaminasi kuman menembus lapisan otot
tipis m. konstriktor faring superior yang
memisahkan ruang parafaring dari fosa
tonsilaris.
Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian
dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus
paranasal, mastoid, dan vertebra servikal.
Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil,
retrofaring, atau submandibula.
Abses submandibula Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut,
faring, kelenjar liur atau kelenjar limfa
submandibula. Kuman penyebab biasanya
campuran aerob dan anaerob.
Angina Ludovici Sumber infeksi sering berasal dari gigi atau dasar
mulut oleh kuman aerob maupun anaerob.
Abses Parotis Proses lanjutan akibat parotitis supuratif akut.
2.2.4 Patogenesis
Abses leher dalam secara garis besar disebabkan oleh infeksi orofaring,
infeksi gigi, sialolit, sialadenitis, benda asing, maupun tuberkulosis. Infeksi gigi
dapat mengenai pulpa dan periodontal kemudian mengalami penyebaran infeksi
yang dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Apeks gigi
molar satu yang berada di atas perlekatan muskulus milohyoideus menyebabkan
penjalaran infeksi akan masuk terlebih dahulu ke daerah sublingual sedangkan
apeks molar kedua dan ketiga berada dibawah perlekatan muskulus milohyoideus
sehingga infeksi akan lebih cepat ke daerah submandibula. Penyebaran abses leher
dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu hematogen, limfogen dan celah antar
25
ruang leher dalam. Beratnya infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya tahan
tubuh dan lokasi anatomi.8
Gejala dan tanda dari abses leher dalam dapat dilihat pada Tabel 2.2.
26
Abses submandibula Terdapat demam dan nyeri leher disertai
pembengkakan di bawah mandibula dan atau di
bawah lidah, mungkin berfluktuasi. Trismus
sering ditemukan.
Angina Ludovici Terdapat nyeri tenggorok dan leher, disertai
pembengkakan di daerah submandibula, yang
tampak hiperemis dan keras pada perabaan. Dasar
mulut membengkak, dapat mendorong lidah ke
atas belakang sehingga menimbulkan sesak napas
karena sumbatan jalan napas
Abses Parotis Gejala klinisnya berupa nyeri dan pembengkakan
di daerah parotis dan dapat disertai trismus. Nyeri
dapat menyebar ke telinga dan daerah temporalis.
Selain itu juga ditemukan pembengkakan dan
hiperemi di daerah parotis.
2.2.6 Diagnosis
27
pasien didapatkan riwayat sakit gigi atau riwayat tertelan benda asing.
Keluhan lain didapatkan sulit menelan selama beberapa hari, trismus
bahkan sampai sesak nafas.9
2) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik abses peritonsil, tampak palatum molle
membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi, arkus faring
tidak simetris. Uvula membengkak dan terdorong ke sisi kontralateral
dan trismus. Tonsil membengkak, hiperemi dan terdorong ke sisi
kontralateral. Pada pemeriksaan abses retrofaring, tampak benjolan
unilateral pada dinding belakang faring, mukosa terlihat bengkak dan
hiperemis.
Pada abses parafaring umumnya tergantung dari lokasi infeksi yang
terjadi, akan tetapi secara umum dapat dijumpai pembengkakan pada
dinding faring lateral terutama dibelakang arkus posterior. Didapatkan
pembengkakan di daerah parafaring, pendorongan dinding lateral
faring ke arah medial, pembengkakan di sekitar angulus mandibula.
Tonsil terdorong ke medial atau kearah anterior. Terjadi gangguan
terutama pada saraf kranial N IX, X dan XII. Selain itu sering didapatkan
karies dentis dan trismus yaitu terbatasnya gerakan membuka mulut
akibat perluasan infeksi yang menimbulkan spasme iritatif pada m.
pterigoideus internus.
Pada abses submandibula ditemukan pembengkakan di daerah
submandibula, fluktuatif, lidah terangkat keatas dan terdorong ke
belakang. Pada angina ludovici terdapat ruang submandibula tampak
membengkak, keras pada perabaan dan hiperemi. Dasar mulut
membengkak serta lidah terdorong keatas dan belakang. Pada abses
parotis didapatkan pembengkakan, indurasi dan hiperemi di daerah
parotis. Terkadang didapatkan fluktuasi di daerah tersebut dan pada
aspirasi didapatkan adanya pus. Sekret purulen dapat ditemukan di
orifisium duktus Stensen.3,8,9
28
3) Pemeriksaan Penunjang
Rontgen servikal lateral, dapat memberikan gambaran adanya
pembengkakan jaringan lunak pada daerah prevertebra, adanya
benda asing, gambaran udara di subkutan, air fluid levels, erosi
dari korpus vertebra. Penebalan jaringan lunak pada prevertebra
setinggi servikal II (C2), lebih 7 mm dan setinggi 14 mm pada
anak, lebih 22 mm pada dewasa dicurigai sebagai suatu abses
retrofaring.
Rontgen panoramiks, dilakukan pada kasus infeksi leher dalam
yang dicurigai berasal dari gigi.
Rontgen toraks, dilakukan untuk evaluasi mediastinum,
empisema subkutis, pneumonia yang dicurigai akibat aspirasi dari
abses.
CT-Scan kepala leher, mengevaluasi lokasi infeksi pada ruang
leher sehingga mempermudah tindakan drainase dan
pembedahan.
Pemeriksaan bakteriologi yang dilakukan menggunakan pus dari
lesi yang dalam. Setelah desinfeksi kulit, pus dapat diambil
dengan aspirasi memakai jarum aspirasi atau dilakukan insisi. Pus
yang diambil sebaiknya tidak terkontaminasi dengan flora normal
yang ada di daerah saluran nafas atas atau rongga mulut.
Pengambilan pus dari abses parafaring yang paling tepat adalah
dengan aspirasi memakai jarum besar yang steril. Spesimen yang
telah diambil dimasukkan ke dalam media transportasi yang steril.
Bahan pemeriksaan tersebut harus segera dikirimkan ke
laboratorium. Bila memungkinkan dapat ditanam terlebih dahulu
pada media transport, baru kemudian dikirimkan ke laboratorium.
Pemeriksaan kultur kuman dan test sensitivitas antibiotika perlu
dilakukan sebelum penderita mendapat antibiotika.
29
Pemeriksaan laboratorium, pada pemeriksaan darah didapatkan
peningkatan jumlah leukosit yang menunjukkan suatu infeksi atau
peradangan.8,9
2.2.7 Tatalaksana
a. Observasi adanya sumbatan jalan nafas. Pada kasus yang sangat sulit,
dimana ditemukan adanya sumbatan jalan nafas akibat pembengkakan
dinding faring, dan mencegah terjadinya aspirasi abses, dapat dilakukan
nasal endotracheal intubation. Pada keadaan sesak yang sangat hebat,
dapat segera dilakukan trakeostomi.8
b. Pemberian antibiotik parenteral dalam dosis tinggi perlu segera
diberikan, sambil menunggu hasil kultur kuman penyebab. Sebelum ada
hasil pemeriksaan kultur dan sensitivitas, antibiotika diberikan secara
empiris yang efektif terhadap kuman aerob maupun anaerob. Pada kasus
dengan sumber infeksi dari oral atau odontogenik dapat diberikan
Klindamisin 600 mg intravena setiap 6-8 jam atau Ampisilin-sulbaktam 3
gram secara intravena setiap 6 jam atau kombinasi Penisilin G 2-4 MU
intravena setiap 4-6 jam dan Metronidazole 500 mg intravena setiap 6-8
jam. Jika sumber infeksi berasal dari rhinogenik atau otogenik dapat
diberikan Ampisilin-sulbaktam 3 gram intravena setiap 6-8 jam atau
kombinasi Seftriakson 1 gram intravena setiap 24 jam dan Metronidazole
500 mg intravena setiap 6-8 jam atau kombinasi Siprofloksasin 400 mg
intravena setiap 12 jam dan Klindamisin 600 mg intravena setiap 6-8
jam. Pada pasien dengan Methicillin-resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) dapat diberikan Vankomisin 1000 mg (15 mg/kgBB) intravena
setiap 12 jam atau Linezolide 600 mg intravena setiap 12 jam. Pada
pasien-pasien dengan immunocompromised ada beberapa pilihan terapi
diantaranya adalah kombinasi Sefepim 2 gram intravena setiap 12 jam
30
dan Metronidazole 500 mg intravena setiap 6-8 jam, Imipenem 500 mg
intravena setiap 6 jam, Meropenem 1 gram intravena setiap 8 jam atau
Piperasilin-tazobaktam 4,5 gram intravena setiap 6 jam. Terapi parenteral
diberikan sampai pasien bebas panas dan terdapat perbaikan klinis dalam
48 jam. Setelah itu dapat dilanjutkan dengan pemberian antibiotika
oral selama 2-3 minggu. Pemberian antibiotika dapat diperpanjang
apabila terdapat komplikasi. Setelah ada hasil uji kepekaan antibiotika
terhadap kuman penyebab maka diberikan antibiotika yang sesuai. Jika
terdapat perbaikan pada pemberian kombinasi antibiotika secara empiris
maka antibiotika dapat diteruskan. Jika tidak, maka antibiotika diganti
sesuai uji sensitivitas.8
c. Tindakan operatif evakuasi abses yang dapat dilakukan untuk abses leher
dalam ialah insisi abses maupun aspirasi dengan jarum besar. Evakuasi
abses ini paling tidak harus dilakukan dalam 24-48 jam. Insisi abses
dapat melalui intraoral maupun ekstraoral. Insisi ekstraoral (Gambar
2.15) dilakukan dengan meletakkan 2 jari di bawah dan sejajar
mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.
sternokleidomastoideus ke arah atas belakang menyusuri bagian medial
mandibula dan m.pterigoid interna mencapai ruang parafaring dengan
terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat dalam selubung karotis,
insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di
depan m. sternokleidomastoideus (cara Mosher). Insisi abses yang kecil,
terbatas, atau uniloculated dapat dibantu dengan menggunakan image.
31
Gambar 2.15. Insisi ekstraoral. Gambar A menunjukkan standar insisi pada saat
eksplorasi di daerah parafaring. Gambar B menunjukkan pendekatan yang
dilakukan di daerah parafaring bagian posterior.
Insisi intraoral dilakukan pada dinding parafaring. Dengan memakai
klem arteri eksplorasi dilakukan menembus m.konstriktor faring superior
ke dalam ruang parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu
dan sebagai terapi tambahan terhadap insisi ekstraoral.
Aspirasi dengan jarum dapat dilakukan pada keadaan ukuran abses yang
kecil dan letak abses parafaring yang mudah untuk dicapai atau bila
keadaan umum pasien tidak mendukung untuk dilakukan anestesi umum.
Dalam melakukan aspirasi dengan jarum besar dapat dipakai CT-scan
ataupun USG sebagai penuntun. Aspirasi dengan jarum juga dipakai
sebagai langkah awal sebelum dilakukan tindakan pembedahan, terutama
untuk pengambilan kultur.8,9
d. Tindakan pasca operatif ialah kegiatan evaluasi tanda-tanda respon
terhadap terapi, kultur dan sensitifitas kuman terhadap antibiotik, ada
tidaknya tanda-tanda sumbatan jalan nafas, dan ada tidaknya komplikasi
dari abses.9
2.2.8 Komplikasi
32
darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur sehingga
terjadi perdarahan hebat dan sepsis.3,9
2.2.9 Prognosis
Pasien yang mendapat penanganan yang cepat dan tepat akan memperoleh
kesembuhan yang lebih cepat dan berhasil baik, sedang pasien yang terlambat
mendapat penanganan dapat mengalami komplikasi yang lebih berat dan waktu
penyembuhan yang lebih lama.9
33
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama: Sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Provinsi NTB pada tanggal 29 Oktober
2019 dengan keluhan utama yaitu sesak napas. Sesak dirasakan sejak 2
hari sebelum datang ke IGD (27 Oktober 2019). Dalam 10 hari terakhir,
pasien sudah mengeluhkan nafas tidak enak atau tidak lega dan
memberat dalam 2 hari terakhir ini. Pasien mengalami sesak nafas
seperti megap-megap yang tidak membaik dengan perubahan posisi dan
istirahat.
Keluhan berawal sejak tanggal 16 Oktober 2019, pasien mengeluhkan
giginya yang berlubang terasa sakit dan bengkak. Gigi yang berlubang
yaitu 2 gigi geraham belakang pasien. Kemudian 3 hari setelahnya,
pasien merasakan lehernya membengkak disertai dengan batuk berdahak
dengan dahak kuning kental dan demam. Demam yang dirasakan
34
dikatakan cukup tinggi dan hanya berlangsung 1 hari saja. Bengkak pada
leher dirasakan pada leher kiri dan kanan, serta tampak kemerahan pada
lehernya. Bengkak pada leher pasien menyebabkan pasien tidak nyaman
saat bernapas dan nyeri ketika menelan. Bengkak tersebut menyebabkan
pasien kesulitan membuka mulut, ditambah dengan nyeri menelan
menyebabkan pasien tidak bisa makan seperti biasa. Pasien hanya dapat
minum jus dan teh.
Pasien sudah sempat datang ke IGD RSUD Provinsi NTB pada tanggal
26 Oktober 2019 dengan keluhan bengkak pada lehernya, namun
menolak dilakukan tindakan dan akhirnya pasien pulang ke rumah. Saat
dirumah, pada leher pasien muncul 1 buah gelembung besar berisi cairan
dengan dinding yang agak kendor di leher sebelah kanan. Diameter
ukuran gelembung kurang lebih 15 cm yang semakin lama semakin
membesar. Gelembung tersebut kemudian pecah tanggal 28 Oktober
2019, dari gelembung keluar nanah yang bau dan cukup banyak.
Riwayat Penyakit Dahulu
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak pernah mengalami hal serupa
sebelumnya. Pasien memiliki riwayat kencing manis yang tidak
terkontrol sejak kurang lebih 10 tahun yang lalu. Riwayat tekanan darah
tinggi, penyakit jantung, asma, atau penyakit berat lainnya disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Riwayat penyakit serupa dengan pasien saat ini pada keluarga disangkal.
Tidak terdapat keluarga yang memiliki riwayat penyakit kencing manis,
asma, tekanan darah tinggi, atau penyakit berat lainnya.
Riwayat Alergi :
Riwayat alergi terhadap makanan maupun obat-obatan disangkal.
Riwayat Pengobatan :
Pasien saat di IGD RSUD Provinsi NTB pertama kali sudah
mendapatkan Ceftriaxone injeksi 1 gr/12 jam, Metronidazole injeksi 500
mg/8 jam, Metilprednisolone injeksi 62,5 mg/12 jam.
35
3.3 PEMERIKSAAN FISIK
Status General
Keadaan Umum : Lemah, tampak kesakitan
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4 V5 M6
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Denyut Nadi : 105x/menit
Pernapasan : 24x/menit, irreguler
Suhu Tubuh : 37,4oC
Saturasi Oksigen : 98% dengan sungkup O2 5 lpm
Status Lokalis
Kepala
Inspeksi Normocephali, massa (-), persebaran rambut merata dan
berwarna hitam, edema (-), hematoma (-)
Palpasi Massa (-), nyeri tekan (-)
Wajah dan Leher
Wajah: Simetris, wajah dismorfik (-)
Mata Inspeksi Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema
palpebra (-/-)
Leher Inspeksi Trakeostomi (+) dengan selang yang nampak kotor
dipenuhi darah dan nanah kecoklatan. Trakeostomi
dikelilingi kassa yang nampak kotor akibat darah dan
nanah. Tidak dapat dievaluasi secara detail karena adanya
trakeostomi. Mediastinal drain (+)
Palpasi Tidak dapat dievaluasi
36
Thoraks
Inspeksi Normochest, pergerakan dinding dada simetris (+/+), Retraksi
(+/+) pada bagian suprasternal
Palpasi Pengembangan dinding dada simetris (+/+), massa (-), nyeri tekan
(+), thrill (-)
Perkusi Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi Cor: S1 S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
Kulit Ikterus (-), pustula (-), ruam (-), ptekie (-), striae (-), nodul (-)
37
Pemeriksaan telinga
No. Pemeriksaan Telinga kanan Telinga kiri
Telinga
1. Tragus Nyeri tekan (-), edema Nyeri tekan (-), edema (-)
(-)
2. Daun telinga Bentuk dan ukuran Bentuk dan ukuran dalam
dalam batas normal, batas normal, hematoma
hematoma (-), nyeri (-), nyeri tarik aurikula
tarik aurikula (-) (-)
3. Liang telinga Serumen (-), hiperemis Serumen (-), hiperemis
(-), furunkel (-), edema (-), furunkel (-), edema
(-), sekret (-) (-), sekret (-)
38
Pemeriksaan hidung
39
Pemeriksaan Tenggorokan
Bibir & Mulut Mukosa bibir & mulut basah, berwarna merah muda
kecoklatan dalam batas normal
Gigi Tidak dapat dievaluasi karena pasien sulit membuka
mulut
Mukosa Bukal Tidak dapat dievaluasi karena pasien sulit membuka
mulut
Lidah Sulit dievaluasi, kesan normal
Uvula Tidak dapat dievaluasi karena pasien sulit membuka
mulut
Palatum mole Tidak dapat dievaluasi karena pasien sulit membuka
mulut
Faring Tidak dapat dievaluasi karena pasien sulit membuka
mulut
Tonsila Tidak dapat dievaluasi karena pasien sulit membuka
palatina mulut
40
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Komponen 29/10/2019 Nilai Rujukan
HB 10,3 (↓) 12.0 – 16.0 (g/dl)
RBC 3,63 3,50-5.00 (106/uL)
HCT 28 (↓) 36.0-48.0 (%)
MCV 75,8 (↑) 80.0-100.0 (fL)
MCH 28,4 26.0-34.0 (pg)
MCHC 37,5 (↑) 32.0-36.0 (g/dL)
WBC 12580 (↑) 4000-10000 (uL)
PLT 282 150-400 (103/uL)
PCT 0,30 0,15-0,40 (%)
Neutrofil 83,9 (↑) 50,0 – 70,0 (%)
Limfosit 9,9 (↓) 20,0 – 40,0 (%)
Eosinofil 0,1 (↓) 1.0-26.0 (%)
Basofil 0,2 0,0-1,0 (%)
Monosit 5,9 2,0-8,0 (%)
PT 14,5 11,5-15,5 (detik)
APTT 28,2 28,0-38,0 (detik)
Ureum 61 (↑) 10 – 50 (mg/dL)
Kreatinin 1,0 0,6 – 1,1 (mg/dL)
SGOT 21 0-40 U/I
SGPT 27 0-41 U/I
Albumin 3,0 (↓) 3,8 – 5,5 (mg/dL)
Gula Darah Sewaktu 185 (↑) <160,00 (mg/dL)
41
Hasil pemeriksaan rontgen thoraks AP Lateral (26/10/2019)
Interpretasi:
- Soft tissue swelling regio colli kanan dan kiri
- Tak tampak deviasi trakea
- Cardiomegaly
42
Hasil pemeriksaan panoramik gigi
43
Hasil CT-scan kepala + kontras (26/10/2019)
Interpretasi:
- Soft tissue mass dengan pneumatisasi di parafaring aspek dekstra sinistra
anterior terutama dekstra mulai setinggi vertebra servikal 1, submandibula,
hingga anterior trakea (intratorakal superior), menyokong gambaran abses
parafaring (sugestif perluasan ke retrotorakal).
- Sinusitis maksilaris sinistra
- Tak tampak pembesaran KGB colli
- Apex pulmo bilateral tak tampak kelainan
44
Hasil pemeriksaan rontgen thoraks (29/10/2019)
Interpretasi:
- Soft tissue swelling regio colli
- Trakea letak di tengah, masih tampak patent
- Cor dan pulmo tak tampak kelainan
45
Hasil pemeriksaan CT-scan Thorax + kontras (30/10/2019)
46
Interpretasi:
- Saat ini didapatkan gambaran abses retrofaringeal berupa suatu rim
enhancing lession pada area retrofaringeal hingga menempel dengan
thoracic inlet. Belum memasuki area mediastinum.
3.5 ASSESTMENT
Obstruksi saluran napas atas e.c. abses parafaring dan abses retrofaring
47
3.6 PLANNING
48
3.7 Catatan Perkembangan
Tabel 2. Catatan Perkembangan
Tanggal
Subjektif Objektif Asessment Planning
Pemeriksaan
2 November Sesak (+) tapi KU: lemah Obstruksi saluran - IVFD RL 20 tpm
2019 sudah membaik Tanda vital: napas atas e.c. abses
- Injeksi ceftriaxone 2
dari sebelum TD: 110/80 mmHg parafaring dan abses
dioperasi, nyeri di HR: 102 x/menit retrofaring gram/hari
bekas operasi RR: 22 x/menit, ireguler
- Injeksi ketorolac 3% 1
terutama saat T: 37,7oC
batuk, perdarahan SpO2: 97% dengan O2 5 lpm ampul(30mg)/8 jam
dan keluar nanah K/L: anemis (-/-), ikterik (-/-) sianosis
- Injeksi gentamisin 1
dari selang bekas (-)
operasi (+), Tho: simetris (+/+), retraksi (+/+) ampul (80mg)/12 jam
demam (+), suprasternal
- Injeksi metronidazole 500
terakhir selang Cor: S1 S2 tunggal reguler, murmur
dibersihkan (-), gallop (-) mg/8 jam
kemarin siang Pulmo: vesikuler (+/+), rhonki (-/-),
wheezing (-/-)
Abd: distensi (-), BU (+)
Eks: akral hangat (+/+), edema (-/-),
CRT <2 detik
49
Gambar trakeostomi pasien saat
2 November 2019
50
4 November Sesak (+) KU: lemah Obstruksi saluran - IVFD RL 20 tpm
2019 memberat dari Tanda vital: napas atas e.c. abses
- Injeksi ceftriaxone 2
sebelumnya, TD: 120/80 mmHg parafaring dan abses
nyeri di bekas HR: 98 x/menit retrofaring gram/hari
operasi terutama RR: 24 x/menit, ireguler
- Injeksi ketorolac 3% 1
saat batuk, T: 37oC
perdarahan dan SpO2: 97% dengan O2 5 lpm ampul(30mg)/8 jam
keluar nanah dari K/L: anemis (-/-), ikterik (-/-) sianosis
- Injeksi gentamisin 1
selang bekas (-)
operasi (+), Tho: simetris (+/+), retraksi (+/+) ampul (80mg)/12 jam
demam (-) suprasternal
- Injeksi metronidazole 500
Cor: S1 S2 tunggal reguler, murmur
(-), gallop (-) mg/8 jam
Pulmo: vesikuler (+/+), rhonki (-/-),
- Nebulizer NaCl 0,9% per
wheezing (-/-)
Abd: distensi (-), BU (+) 8 jam
Eks: akral hangat (+/+), edema (-/-),
- Pemeriksaan laboratorium
CRT <2 detik
51
Pemeriksaan Laboratorium pada 4 November 2019
52
5 November Sesak (+) KU: lemah Obstruksi saluran - IVFD RL 20 tpm
2019 memberat dari Tanda vital: napas atas e.c. abses
- Injeksi ceftriaxone 2
sebelumnya, TD: 110/70 mmHg parafaring dan abses
nyeri bertambah HR:104 x/menit retrofaring gram/hari
di bekas operasi, RR: 28 x/menit, ireguler
- Injeksi ketorolac 3% 1
tidak bisa tidru T: 37oC
semalam (+), SpO2: 96% dengan O2 5 lpm ampul(30mg)/8 jam
perdarahan dan K/L: anemis (-/-), ikterik (-/-) sianosis
- Injeksi gentamisin 1
keluar nanah dari (-)
selang bekas Tho: simetris (+/+), retraksi (+/+) ampul (80mg)/12 jam
operasi (+) suprasternal jelas
- Injeksi metronidazole 500
namun kassa Cor: S1 S2 tunggal reguler, murmur
bersih, sudah (-), gallop (-) mg/8 jam
dilakukan rawat Pulmo: vesikuler (+/+), rhonki (-/-),
- Rencana dilakukan
luka, demam (-) wheezing (-/-)
Abd: distensi (-), BU (+) rontgen thoraks pasca
Eks: akral hangat (+/+), edema (-/-),
operasi
CRT <2 detik
5 November Pasien meninggal dunia
2019 (16.40
WITA)
53
BAB IV
PEMBAHASAN
Abses parafaring adalah infeksi di daerah parafaring yang dapat meluas dan
menyebabkan penimbunan nanah. Abses parafaring dimulai dari infeksi jaringan
lunak pada daerah kepala dan leher. Infeksi ini dapat meluas dari salah satu ruang
potensial leher dalam, yang kemudian mengenai parafaring. Suatu infeksi bakteri
di ruang parafaring dapat terjadi melalui beberapa cara, salah satunya ialah
perluasan dari infeksi lainnya seperti infeksi gigi yang juga terjadi pada pasien
kasus ini. Ny. HL sebelumnya mengeluhkan sakit gigi selama 13 hari sebelum
akhirnya masuk ke IGD.
Dalam mendiagnosis pasien pada kasus ini, diperlukan anamesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pasien dengan abses parafaring
memiliki riwayat demam, sakit gigi, nyeri tenggorokan, dan pembesaran leher.
Hal ini juga serupa dengan pasien kasus ini. Selain itu, pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya perbesaran leher dan didapatkan karies dentis, serta trismus
yaitu terbatasnya gerakan membuka mulut akibat perluasan infeksi yang
menimbulkan spasme iritatif pada m. pterigoideus internus. Pasien pada kasus ini
memiliki gejala dan tanda serupa dengan abses parafaring. Pasien juga
mengeluhkan sesak napas yang menandakan bahwa abses juga terjadi di ruang
retrofaring. Abses retrofaring dapat menimbulkan sumbatan jalan napas terutama
pada daerah hipofaring.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah pemeriksaan
laboratorium, CT-Scan kepala dengan kontras, serta kultur abses. Pasien pada
kasus sudah dilakukan pemeriksaan laboratorium, CT-Scan kepala dengan
kontras, dan X-Ray thoraks. Berdasarkan pemeriksaan-pemeriksaan tersebut
didapatkan hasil yang mengarah ke abses parafaring serta meluas ke daerah
retrofaring. Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan leukositosis yang dapat
menandakan adanya proses infeksi. Kultur abses tidak dilakukan pada pasien ini
dikarenakan pasien sudah mendapatkan pengobatan antibiotik sebelumnya yang
menyebabkan kemungkinan adanya hasil negatif palsu pada hasil kultur.
54
Tatalaksana yang didapatkan pasien pada kasus ini telah sesuai dengan teori
yakni tindakan operatif berupa insisi drainase abses dan tindakan trakeostomi
untuk mengatasi keluhan sumbatan jalan napas yang terjadi. Setelah dilakukan
operasi, pasien diberikan antibiotik empirik karena tidak adanya hasil kultur yang
spesifik. Teori mengatakan bahwa penyebab tersering abses leher dalam ialah
bakteri anaerob, pasien dalam kasus ini telah mendapatkan terapi metronidazole
sebagai antibiotik yang sensitif terhadap bakteri anaerob. Selain itu, pasien juga
diberikan analgesik untuk mengatasi keluhan simptomatik berupa nyeri di bekas
operasi.
Keadaan pasien setelah dilakukan operasi sempat membaik kemudian
memburuk. Selang drainase abses pada pasien terus menerus mengeluarkan
nanah. Nanah juga keluar menyemprot melalui kanul trakeostromi ketika pasien
batuk. Keluarnya nanah juga disertai darah. Titer leukosit pasien saat dilakukan
evaluasi hasil laboratorium menurun yang menandakan bahwa proses infeksi
sudah berkurang. Namun gejala sesak pasien semakin memberat dan
menyebabkan pasien meninggal dunia.
55
BAB V
KESIMPULAN
Dari pemeriksaan fisik didaptkan pasien tampak sesak dan ditemukan retraksi
suprasternal kiri dan kanan. Pasien telah dilakukan tindakan trakeostomi, insisi
drainase abses, dan pemasangan mediastinal drain. Terapi pasca operatif yang
diberikan berupa antibiotik, analgesik, oksigen, dan nebulizer normal salin.
Keadaan pasca operasi pasien terus memburuk, nanah dan darah tetap keluar
melalui kanul trakeostomi pasien. Sesak pada pasien semakin hari bertambah dan
menyebabkan pasien meninggal dunia setelah 5 hari operasi.
56
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams GL., Boeis LR., and Higler PA. Buku Ajar Penyakit THT, edisi ke-
6. Jakarta: EGC. 2016.
2. Foresto B., Tenda ED., and Rumende CM. Obstruksi Saluran Napas pada
Non Small Carcinoma: Sebuah Laporan Kasus. Indonesian Journal of
Chest Critical and Emergency Medicine. 2015, 2(3): 124-129 [pdf]
Available from:
http://www.indonesiajournalchest.com/Jurnal%20Chest%20Vol.%202%2
0No.%203/Obstruksi%20Saluran%20Napas%20pada%20Non%20Small%
20Carcinoma%20Sebuah%20Laporan%20Kasus%20.pdf [Accessed on
November 2019].
3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, edisi ke-7.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2012.
4. Sasaki CT. and Kim YH. Anatomy and physiology of the Larynx.
Otorhinolaryngologi Head and Neck Surgery. Ontario: BC Decker
Incorporation. 2003, pp.1090-1095.
5. Parhiscar A and Har-El G. Deep neck abscess: a review of 210 cases. The
Annals of Otology, Rhinology, and Laryngology. 2011, 110(11):1051-1054
[pdf] Available from:
https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/000348940111001111
[Accessed on November 2019].
6. Arora S., Bhargava AK., and Singh R. Airway management for tracheal
stent insertion in a patient with difficult airway. Indian Journal
Anaesthesia. 2013, 57: 617-619 [pdf] Available from:
http://www.ijaweb.org/article.asp?issn=0019-
5049;year=2013;volume=57;issue=6;spage=617;epage=619;aulast=Arora
[Accessed on November 2019].
7. Raoof S., George L., Saleh A., and Sung A. Manual of Critical Care. New
York: McGraw Hill Medical. 2009, pp.388-397.
57
8. Indrayani LW., Putra IDAE., Saputra KAD., and Suardana W.
Karaksteristik Penderita Abses Leher Dalam di RSUP Sanglah Denpasar
Periode 1 Januari-31 Desember 2014. 2014 [pdf] Available from:
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_dir/ec46a587d74876d78
acc268b2765f7c9.pdf [Accessed on November 2019].
9. Batu ML. and Pawarti DR. Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses
Parafaring. Journal Universitas Airlangga. 2008, pp. 25-31 [pdf]
Available from: http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-
thtkl12c40620e02full.pdf [Accessed on November 2019].
58