Anda di halaman 1dari 53

BAGIAN ILMU THT-KL REFARAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN OKTOBER 2018

SUMBATAN SALURAN NAPAS ATAS

Disusun Oleh :
Andi Firjatullah El Firman C11113368
Muhammad Rahmatullah Saleh C11113358
Habibie El Ramadhany C11113505

Pembimbing :
dr. Dini Anggreini

DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama & NIM :

1. Andi Firjatullah El Firman C111 13 368


2. Muhammad Rahmatullah Saleh C111 13 358
3. Habibie El Ramadhany C111 13 505

Judul Refarat : Sumbatan Saluran Napas Atas

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada


Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Oktober 2018

Mengetahui :

Pembimbing,

dr. Dini Anggreini

2
DAFTAR ISI

SAMPUL…………………...……………………………………………………...1
LEMBAR PENGESAHA….……………………………………………………...2
DAFTAR ISI…………...………………………………………………………….3
BAB I. PENDAHULUAN……….……………………………………………….4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……………………..………………………......5
2.1 ANATOMI SALURAN NAPAS ATAS……………………….………5
2.1.1 HIDUNG……………..…………………………………………..5
2.1.2 FARING…………………..…………………………………….10
2.1.3 LARING……………………..………………………………….11
2.2 DEFINISI SUMBATAN SALURAN NAPAS ATAS……..……...…14
2.3 ETIOLOGI DAN GEJALA KLINIS…………………………..……...14
2.3.1 KELAINAN KONGENITAL………………..…………………16
2.3.2 TRAUMA………………………………………...……………..20
2.3.3 PARALISIS LARING……………………………..…………...22
2.3.4 RADANG……………………………………………………….23
2.3.5 TUMOR…………………………………………………………31
2.3.6 LAIN LAIN………………………………..……………………33
2.4 DIAGNOSIS SUMBATAN SALURAN NAPAS ATAS….……..…...37
2.5 TATALAKSANA SUMBATAN SALURAN NAPAS ATAS…...…...39
2.5.1 INTUBASI ENDOTRAKEA…………………..……………….39
2.5.2 KRIKOTIROIDEKTOMI……………..………………………..41
2.5.3 TRAKHEOSTOMI…………………………...…………………44
BAB III. PENUTUP…………………………………...…………………………51
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………..………………..52

3
BAB I
PENDAHULUAN

Saluran pernapasan adalah bagian tubuh manusia yang berfungsi sebagai


tempat lintasan dan tempat pertukaran gas yang diperlukan untuk proses
pernapasan. Saluran pernapasan dibagi menjadi saluran pernapasan atas dan
saluran pernapasan bawah yang dibatasi oleh laring. Saluran napas bagian atas
terdiri dari hidung, faring dan laring. Dari sudut klinik, rongga mulut sering kali
juga diikut sertakan dalam struktur saluran pernapasan bagian atas.1
Sumbatan pada sistem pernapasan atas dapat disebabkan oleh banyak
penyebab, diantara lain disebabkan oleh trauma, sumbatan dari benda asing,
tumor, infeksi dan gangguan persarafan pada daerah kepala dan leher.2
Sumbatan dapat bersifat sebagian, dapat juga bersifat total. Pada sumbatan
ringan dapat menyebabkan sesak, sedangkan sumbatan yang lebih berat namun
masih ada sedikit celah dapat menyebabkan sianosis, gelisah bahkan penurunan
kesadaran. Pada sumbatan total bila tidak ditolong dengan segera dapat
menyebabkan kematian.3
Sumbatan saluran napas atas adalah salah satu keadaan darurat yang harus
segera diatasi untuk mencegah kematian. Diperlukan penanganan yang sesuai
dengan indikasi dan penyebab sumbatan saluran nafas atas, diantaranya dengan
menggunakan perasat Heimlich, intubasi endotrakea, laringoskopi, trakeostomi,
atau krikotiroidostomi.2,3
Oleh karena bahaya obstruksi pada saluran nafas atas, yang dapat
menyebabkan kematian, penting dilakukan diagnosis awal dan penatalaksanaan
yang tepat. Refarat ini membahas tentang anatomi saluran napas atas, etiologi
sumbatan saluran napas atas, diagnosis serta penatalaksaan dengan tujuan untuk
meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang sumbatan saluran napas atas.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Saluran Napas Atas


Sistem pernapasan adalah sistem organ yang digunakan untuk
pertukaran gas. Sistem pernapasan umumnya termasuk saluran yang
digunakan untuk membawa udara ke dalam paru-paru di mana terjadi
pertukaran gas. Diafragma menarik udara masuk dan juga mengeluarkannya.
Paru merupakan salah satu organ vital yang memiliki fungsi utama sebagai
alat respirasi dalam tubuh manusia, paru secara spesifik memiliki peran untuk

terjadinya pertukaran oksigen (O2) dengan karbon dioksida (CO2). Sistem


pernafasan terdiri atas paru, saluran napas dan sistem saraf yang mengatur
otot pernafasan dan dinding dada.7
Saluran napas bagian atas terdiri dari hidung, faring dan laring. Dari
sudut klinik, rongga mulut sering kali juga diikut sertakan dalam struktur
saluran pernapasan bagian atas. Sedangkan saluran napas bagian bawah yang
terletak di leher dan batang badan (trakea, bronkus, dan paru-paru).1

2.1.1 Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah: 1) Pangkal hidung (bridge), 2) Batang hidung (dorsum nasi), 3)
Puncak hidung (hip), 4) Ala nasi, 5) kolumela dan 6) Lubang hidung (nares
anterior). Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasal), 2) prosesus
frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal; sedangkan kerangka
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2)
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago ala mayor dan 4) tepi anterior kartilago septum.2

5
Gambar 1. Anatomi Hidung Luar2

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke


belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan
disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)
yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum
nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior,
disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunuyai
banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media,
lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.4

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga


sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus
yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara
konka inferior dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di
antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius
terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada

6
meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.3,4

Gambar 2.
Rongga Hidung4

Rongga hidung
dipisahkan
menjadi
rongga hidung kanan dan kiri oleh pembagi vertikal yang sempit, yang
disebut septum. Masing-masing rongga hidung dibagi menjadi 3 saluran oleh
penonjolan turbinasi atau konka dari dinding lateral. Rongga hidung dilapisi
dengan membran mukosa yang sangat banyak mengandung vaskular yang
disebut mukosa hidung. Lendir di sekresi secara terus-menerus oleh sel-sel
goblet yang melapisi permukaan mukosa hidung dan bergerak ke belakang ke
nasofaring oleh gerakan silia. Rongga hidung dimulai dari Vestibulum, yakni
pada bagian anterior ke bagian posterior yang berbatasan dengan nasofaring.
Rongga hidung terbagi atas 2 bagian, yakni secara longitudinal oleh septum
hidung dan secara transversal oleh konka superior, medialis, dan inferior.4

Vaskularisasi dan Persarafan Hidung


Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris
interna, di antaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang
keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.1,4 Bagian depan
hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian
depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a.

7
etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor, yang disebut
pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial
dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis
(perdarahan hidung), terutama pada anak.4,7

Gambar 3. Vaskularisasi Hidung2

Vena-vena hidung mempunyai nama sama dan berjalan berdampingan


dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.
oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung
tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.2,4
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n. etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang
berasal dari n. Oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion
sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut saraf sensoris dari n. maksila (N. V-2), serabut parasimpatis
dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari n. petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas
ujung posterior konka media. Fungsi penghidu berasal dari n. ofaktorius.
Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus

8
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada
mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.2,4,7

Gambar 4. Persyarafan Hidung4

Fungsi Rongga Hidung


Hidung berfungsi sebagai saluran untuk mengalirkan udara dari dan
menuju paru-paru. Jalan napas ini berfungsi sebagai penyaring kotoran dan
melembabkan serta menghangatkan udara yang dihirupkan ke dalam paru-
paru. Penghangatan dilakukan oleh jaringan pembuluh darah yang sangat
kaya pada ephitel nasal dan menutupi area yang sangat luas dari rongga
hidung. Dan pelembaban dilakukan oleh concha, yaitu suatu area penonjolan
tulang yang dilapisi oleh mukosa. Selain itu, hidung bertanggung jawab
terhadap olfaktori atau penghidu karena terdapat Epitelium olfactori yang
memiliki fungsi dalam penerimaan sensasi bau. Rongga hidung juga
berhubungan dengan pembentukkan suara-suara fenotik dimana ia berfungsi
sebagai ruang resonansi. 7

2.1.2 Faring
Faring merupakan saluran yang memiliki panjang kurang lebih 13 cm
yang menghubungkan nasal dan rongga mulut kepada laring. Faring meluas
dari dasar cranium sampai tepi bawah cartilago cricoidea di sebelah anterior
dan sampai tepi bawah vertebra cervicalis VI di sebelah posterior. Dinding
faring terutama dibentuk oleh dua lapis otot-otot faring. Lapisan otot sirkular

9
di sebelah luar terdiri dari tiga otot konstriktor. Lapisan otot internal yang
terutama teratur longitudinal, terdiri dari muskulus palatopharyngeus,
musculus stylopharingeus, dan musculus salphingopharingeus. Otot-otot ini
mengangkat faring dan laring sewaktu menelan dan berbicara. Faring adalah
tempat dari tonsil dan adenoid. Dimana terdapat jaringan limfe yang melawan
infeksi dengan melepas sel darah putih ( limfosit T dan B). Berdasarkan
letaknya faring dibagi menjadi nasofaring, orofaring dan laringofaring.5
Nasofaring disebut juga Epifaring, Rinofaring. merupakan yang terletak
dibelakang rongga hidung, diatas Palatum Molle dan di bawah dasar
tengkorak. Dinding samping ini berhubungan dengan ruang telinga tengah
melalui tuba Eustachius. Bagian tulang rawan dari tuba Eustachius menonjol
diatas ostium tuba yang disebut Torus Tubarius. Tepat di belakang Ostium
Tuba. Terdapat cekungan kecil disebut Resesus Faringeus atau lebih di kenal
dengan fosa Rosenmuller; yang merupakan banyak penulis merupakan
lokalisasi permulaan tumbuhnya tumor ganas nasofaring. Orofaring disebut
juga mesofaring, dengan batas atasnya palatum mole, batas bawah adalah tepi
atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah
vertebra servikalis. struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding
posterior faring, tonsil palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan
posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum. Laringofaring batas di
sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior adalah laring, batas
inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra servikal.4

10
Gambar 5. Anatomi Faring1

Beberapa sumber vaskularisasi pada faring yang utama berasal dari


cabang A. karotis eksterna ( cabang faring asendens dan cabang fausial ) serta
dari cabang A. maksila interna yakni cabang palatina superior. Persarafan
motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang ekstensif.
pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari N. vagus, cabang dari N.
glosofaring dan serabut simpatis. cabang faring dari N. vagus berisi serabut
motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang cabang untuk
otot otot faring kecuali M. stilofaring yang dipersarafi langsung oleh cabang
N. glosofaring ( N.IX ).5

2.1.3 Laring
Laring merupakan struktur kompleks yang telah berevolusi yang
menyatukan trakea dan bronkus dengan faring sebagai jalur aerodigestif
umum. Laring memiliki kegunaan penting yaitu (1) ventilasi paru, (2)
melindungi paru selama deglutisi melalui mekanisme sfingteriknya, (3)
pembersihan sekresi melalui batuk yang kuat, dan (4) produksi suara. Secara
umum, laring dibagi menjadi tiga: supraglotis, glotis dan subglotis.
Supraglotis terdiri dari epiglotis, plika ariepiglotis, kartilago aritenoid, plika
vestibular (pita suara palsu) dan ventrikel laringeal. Glotis terdiri dari pita
suara atau plika vokalis. Daerah subglotik memanjang dari permukaan bawah
pita suara hingga kartilago krikoid.6

11
Gambar 6. Anatomi Laring8

Laring dibentuk oleh kartilago, ligamentum, otot dan membrana


mukosa. Terletak di sebelah ventral faring, berhadapan dengan vertebra
cervicalis 3-6. Berada di sebelah kaudal dari os hyoideum dan lingua,
berhubungan langsung dengan trakea. Di bagian ventral ditutupi oleh kulit
dan fasia, di kiri kanan linea mediana terdapat otot-otot infra hyoideus. Posisi
laring dipengaruhi oleh gerakan kepala, deglutisi, dan fonasi.8
Kartilago laring dibentuk oleh 3 buah kartilago yang tunggal, yaitu
kartilago tireoidea, krikoidea, dan epiglotika, serta 3 buah kartilago yang
berpasangan, yaitu kartilago aritenoidea, kartilago kornikulata, dan
kuneiform. Selain itu, laring juga didukung oleh jaringan elastik. Di sebelah
superior pada kedua sisi laring terdapat membrana kuadrangularis. Membrana
ini membagi dinding antara laring dan sinus piriformis dan dinding
superiornya disebut plika ariepiglotika. Pasangan jaringan elastik lainnya
adalah konus elastikus (membrana krikovokalis). Jaringan ini lebih kuat dari
pada membrana kuadrangularis dan bergabung dengan ligamentum vokalis
pada masing-masing sisi. Otot-otot yang menyusun laring terdiri dari otot-otot
ekstrinsik dan otot-otot intrinsik. Otot-otot ekstrinsik berfungsi
menggerakkan laring, sedangkan otot-otot intrinsik berfungsi membuka rima
glotidis sehingga dapat dilalui oleh udara respirasi. Juga menutup rima
glotidis dan vestibulum laringis, mencegah bolus makanan masuk ke dalam
laring (trakea) pada waktu menelan. Selain itu, juga mengatur ketegangan
(tension) plika vokalis ketika berbicara. Kedua fungsi yang pertama diatur
oleh medula oblongata secara otomatis, sedangkan yang terakhir oleh korteks
serebri secara volunter.6,8

12
Rongga di dalam laring dibagi menjadi tiga yaitu, vestibulum laring,
dibatasi oleh aditus laringis dan rima vestibuli. Lalu ventrikulus laringis, yang
dibatasi oleh rima vestibuli dan rima glotidis. Di dalamnya berisi kelenjar
mukosa yang membasahi plika vokalis. Yang ketiga adalah kavum laringis
yang berada di sebelah ckudal dari plika vokalis dan melanjutkan diri menjadi
kavum trakealis. Laring berfungsi dalam kegiatan Sfingter, fonasi, respirasi
dan aktifitas refleks. Sebagian besar otot-otot laring adalah adduktor, satu-
satunya otot abduktor adalah m. krikoaritenoideus posterior. Fungsi adduktor
pada laring adalah untuk mencegah benda-benda asing masuk ke dalam paru-
paru melalui aditus laringis. Plika vestibularis berfungsi sebagai katup untuk
mencegah udara keluar dari paru-paru, sehingga dapat meningkatkan tekanan
intra thorakal yang dibutuhkan untuk batuk dan bersin. Plika vokalis berperan
dalam menghasilkan suara, dengan mengeluarkan suara secara tiba-tiba dari
pulmo, dapat menggetarkan (vibrasi) plika vokalis yang menghasilkan suara.
Volume suara ditentukan oleh jumlah udara yang menggetarkan plika vokalis,
sedangkan kualitas suara ditentukan oleh cavitas oris, lingua, palatum, otot-
otot facial, dan kavitas nasi serta sinus paranasalis.7,8

2.2. Definisi Obstruksi Saluran Napas Atas


Obstruksi saluran napas atas merupakan salah satu keadaan
kegawatdaruratan. Obstruksi saluran napas atas adalah sumbatan pada saluran
napas atas yakni hidung, faring dan laring yang disebabkan oleh adanya
radang, benda asing, trauma, tumor dan kelumpuhan nervus rekuren bilateral
sehingga ventilasi pada saluran pernapasan terganggu.2
Sumbatan saluran napas atas adalah salah satu keadaan suatu keadaan
darurat yang harus segera diatasi untuk mencegah kematian. Sumbatan dapat
bersifat sebagian, dapat juga sumbatan total. Pada sumbatan ringan dapat
menyebabkan sesak, sedangkan sumbatan yang lebih berat namun masih ada
sedikit celah dapat menyebabkan sianosis (berwarna biru pada kulit dan
mukosa membran yang disebabkan kekurangan oksigen dalam darah), gelisah

13
bahkan penurunan kesadaran. Pada sumbatan total bila tidak ditolong dengan
segera dapat menyebabkan kematian.1,3

2.3 Penyebab dan Gejala Klinis Obstruksi Saluran Napas Atas


Obstruksi saluran napas bagian atas disebabkan oleh kelainan kongenital,
trauma, tumor, infeksi, maupun karena benda asing. Obstruksi saluran napas
bagian atas dibagi menjadi obstruksi total dan parsial. Masing masing memiliki
gejala dan tanda yang berbeda.9

Tabel 1. Gejala dan Tanda Obstruksi Saluran Napas Atas 9

Obstruksi Total Obstruksi Parsial


 Kejadiannya berlangsung sangat cepat  Tanda dan gejala mungkin ringan
pasien tidak dapat bernafas, biasanya ditandai dengan batuk,
berbicara, atau batuk stridor inspirasi, pernapasan yang
 Cemas dan gelisah. Upaya kuat untuk bising, dysphonia, aphonia, tersedak,
respirasi dengan retraksi interkostal meneteskan air liur dan tersedak
dan supraklavicular.  Dyspnea, batuk lemah, gangguan
 Denyut jantung dan tekanan darah pernapasan dan tanda-tanda
meningkat. hipoksemia dan hiperkarbia seperti
 Pasien menjadi cepat sianosis kecemasan, kebingungan, kelesuan
 Hilang kesadaran, bradikardi dan dan sianosis dapat terjadi saat
hipotensi obstruksi memburuk.
 Kematian tidak dapat dihindari jika  Upaya inspirasi yang kuat terhadap
obstruksi tidak ditangani dalam 2-5 obstruksi dapat menghasilkan
menit sejak kejadian ekimosis kulit dan emfisema
subkutan.
 Obstruksi jalan nafas parsial yang
memburuk harus dikelola secara baik
dan lakukan persiapan segera untuk
penanganan obstruksi total.

Tabel 2. Etiologi sumbatan saluran napas atas 10

Jenis Kelainan
Kongenital Atresia koane

14
Stenosis supraglotis, glottis dan subglotis
Laringomalasia
Sindroma Pierre Robins
Radang Tonsilitis
Sindroma Croup
Epiglotitis Akut
Abses Leher Dalam
Traumatik Trauma Maksilofasial
Trauma Laring
Menelan bahan kaustik
Paralysis n. laringeus rekurens bilateral
Tumor Papiloma laring
Tumor ganas laring
Lain-lain Obstructive Sleep Apnea Syndrome
Benda asing

2.3.1 Kelainan Kongenital


A. Laringomalasia

Laringomalasia adalah penyebab paling banyak dari stridor pada


neonatus dan bayi. Stridor dari laringomalasia umumnya ringan tetapi
menjadi lebih keras ketika bayi menangis atau bersemangat. Itu juga bisa
didengar saat menyusui. Stridor karena laryngomalacia biasanya lebih
terlihat ketika bayi berbaring atau tidur terlentang, dan mungkin hilang
dengan mengubah posisi. Penyebab dari laringomalasia sendiri tidak
diketahui secara pasti, namun beberapa penelitian menyebutkan adanya
immature dan lemahnya otot saluran napas atas.11
Gejala dan tanda yang muncul pada neonates atau bayi yang menderita
laringomalasia adalah stridor pada saat bayi bernapas, adanya retraksi ringan
pada leher dan dinding dada, refluxnya makanan dari lambung ke mulut
atau tenggorokan bayi, dan pada kondisi yang berat biasanya timbul sianosis
dan penurunan berat badan. Diagnosis dari laringomalasia sendiri adalah

15
dengan laringoskopi serat optic fleksibel, fluoroskopi saluran napas,
laringoskopi direk, dan bronkoskopi. Untuk penanganannya pada kondisi
yang ringan dapat di tatalaksana sesuai gejala dan tanda yang muncul.
Sedangkan pada kondisi berat dibutuhkan tindakan bedah yaitu
12
supraglottoplasty.

Gambar 7 : Laringomalasia 13

B. Atresia Koana
Atresia koana adalah suatu gangguan kongenital dimana tertutupnya
satu atau kedua posterior cavum nasi oleh membrane abnormal. Hal ini
menyebabkan terjadinya gangguan saluran napas. Atresia koana relatif
jarang dan terjadi pada sekitar 1 dari 7000 hingga 8000 kelahiran hidup,
dengan rasio perempuan dan laki-laki 2 : 1.14
Gejala dari atresia koana muncul sejak bayi baru pertama kali
dilahirkan. Dimana terdapat sianosis pada saat bayi menangis. Kondisi ini
merupakan keadaan gawat darurat dan perlu pertolongan yang cepat pada
jalan napas atas untuk menyelamatkan hidupnya. Obstruksi koana
unilateral kadang-kadang tidak menimbulkan gejala pada saat lahir tapi
kemudian akan menyebabkan gangguan drainase nasal kronis unilateral
pada masa anak-anak sedangkan atresia koana bilateral menyebabkan

16
keadaan darurat pada saat kelahiran dan muncul pada bulan pertama
kehidupan.15
Tatalaksana dari atresia koana pada saat keadaan darurat dapat
dilakukan pemasangan intubasi endotrakeal atau trakeostomi sebagai
tindakan untuk membebaskan jalan napas. Dapat juga dilakukan tindakan
pembedahan pada pasien atresia koana.16

Gambar 8 : Atresia Koana 17

C. Stenosis Subglotik
Stenosis subglotik adalah penyempitan saluran udara di bawah pita
suara dan di atas trakea. Stenosis subglotik adalah penyebab utama ketiga
kelainan saluran napas kongenital (setelah laringomalasia dan kelumpuhan
pita suara). Frekuensi stenosis subglotik adalah tidak diketahui. Stenosis
subglotis kongenital adalah kelainan kongenital yang sangat umum dijumpai
pada laring, termasuk 15% dari semua kasus. Prevalensi laki-laki dua kali
lebih sering daripada perempuan.18
Gejala stenosis subglotik ialah stridor, dispneu, retraksi di
suprasternal, epigastrium, interkostal serta subklavikula. Pada stadium yang
lebih berat akan ditemukan sianosis dan apnea sebagai akibat sumbatan
jalan, sehingga mungkin juga terjadi gagal pernafasan (respiratory distress).
Terapi tergantung kelainan yang menyebabkannya.19

17
Stenosis subglotik18

Pada umumnya terapi stenosis subglotik yang disebabkan oleh


kelainan submukosa ialah dilatasi atau dengan laser CO 2. Stenosis subglotik
yang disebabkan oleh kelainan bentuk tulang rawan krikoid dilakukan terapi
pembedahan dengan melakukan rekontruksi.18

D. Pierre Robin Syndrome


Pierre Robin sequence (PRS) secara klasik digambarkan sebagai triad
micrognathia, glossoptosis, dan obstruksi saluran napas. Kondisi pada saat
baya lahir didapatkan dengan rahang hypoplastic dan pernapasan yang sulit.
Struktur mandibula yang lebih kecil menggeser lidah ke posterior,
menghasilkan obstruksi jalan napas. PRS bukanlah suatu sindrom itu
sendiri, melainkan suatu rangkaian gangguan yang saling berkaitan. Namun,
hal ini terkait dengan beberapa kelainan kraniofasial lainnya dan mungkin
muncul bersamaan dengan diagnosis sindromik, seperti sindrom
velocardiofacial dan Stickler.20

Gambar 10. (A). Gambaran Pasien PRS, (B) Trias Gejala Pierre Robin Syndrome 20

18
Tatalaksana bayi dengan Pierre Robin Syndrome tetap kontroversial dan
menimbulkan banyak pendapat di antara kalangan ilmuwan. Penanganan
bayi dengan PRS dimulai dengan upaya pada posisi tengkurap untuk
menghilangkan efek gravitasi pada pangkal lidah. Oksimeter nadi dilakukan
secara kontinu pada semua pasien. Tatalaksana utama lainnya berfokus pada
pemberian makanan dan dukungan nutrisi.21
Semua pasien dievaluasi secara baik dalam tahap ini.
Tindakan bedah juga bias dilakukan pada pasien Pierre Robin Syndrome.
Sebelum dilakukan intervensi bedah, perlu dilihat terlebih dahulu ada
tidaknya obstruksi di bawah tingkat dasar lidah dengan laringoskopi direk
dan bronkoskopi.21

2.3.2 Trauma
a. Trauma Maksilofasial
Trauma maksilofasial merupakan keadaan yang sering dijumpai di
instalasi gawat darurat darurat. Mulai dari fraktur nasal yang sederhana
sampai yang sulit pun bias dijumpai, penatalaksanaan cedera seperti itu
perlu penanganan yang cepat dan tepat. Cedera pada zona vaskuler ini
dipersulit oleh adanya saluran udara bagian atas dan dekat dengan struktur
tengkorak yang mungkin terlibat secara bersamaan.22
Luka yang parah di daerah maksilofasial dapat mempersulit penanganan
awal pasien trauma karena kedekatannya dengan otak, tulang belakang
leher, dan saluran napas. Teknik pembebasan jalan napas dan sirkulasi
(ABC) biasanya dimodifikasi atau ditambah dengan metode lain dalam
kasus cedera maksilofasial. Modifikasi semacam itu memiliki tantangan dan
jebakan tersendiri dalam situasi yang sudah sulit.23
b. Trauma Laring
Trauma laring adalah cedera traumatik yang langka dan berpotensi
fatal, dengan perkiraan kejadian 1 dari 30.000 pasien yang dirawat di Unit
Gawat Darurat. Faktor-faktor seperti mobilitas dan elastisitas laring dan
perlindungannya oleh mandibula dan sternum membuatnya mampu
menahan trauma berat. Kelangkaan jenis cedera ini sering menyebabkan

19
keterlambatan diagnosis yang mungkin berkontribusi terhadap masalah
patensi saluran napas, produksi vokal dan menelan. Oleh karena itu penting
bagi dokter yang mengobatinya untuk memiliki pemahaman yang
komprehensif tentang diagnosis dan pengobatannya untuk meningkatkan
hasil pasien.24

Trauma laring dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam,


tembak, trauma inhalasi, aspirasi benda asing maupun iatrogenik. Insiden
trauma laring akibat trauma tumpul semakin menurun karena perkembangan
yang maju pada sistem pengaman kendaraan (automobile safety). Sementara
itu angka kejahatan/kekerasan semakin meningkat sehingga persentase
kejadian trauma tajam/tembus semakin meningkat. Pada trauma tumpul dan
tembak kerusakan jaringan yang terjadi lebih berat dibanding trauma
tajam.25

Gambar 9 : Trauma Laring24


c. Menelan bahan kaustik
Larutan asam kuat seperti asam sulfat, nitrat dan hidroklorid atau basa
kuat seperti soda kaustik, potassium kaustik dan amonium bila tertelan dapat
mengakibatkan terbakarnya mukosa saluran cerna. Pada penderita yang
tidak sengaja minum bahan tersebut, kemungkinan besar luka bakar hanya
pada mulut dan faring, karena bahan tersebut tidak ditelan dan hanya sedikit
saja masuk ke dalam lambung.26

20
Pada mereka yang mencoba bunuh diri akan terjadi luka bakar yang
luas pada esofagus bagian tengah dan distal karena larutan tersebut berada
agak lama sebelum memasuki kardiak lambung. Diagnostik berdasarkan
riwayat menelan zat kaustik dan adanya luka bakar di sekitar dan dalam
mulut. Tenaga medis harus sadar akan perlunya mengambil langkah-langkah
untuk mencegah kontaminasi silang selama awal evaluasi, tergantung pada
sifat racun (misalnya organofosfat, sianida) . Pendekatan ABC harus diikuti
dengan tujuan memastikan saluran udara yang terlindungi, ventilasi yang
memadai dan stabilitas hemodinamik. Pasien yang teracuni harus terus
diobservasi dengan sering melakukan evaluasi ulang tanda-tanda vital dan
tingkat kesadaran.27

2.3.3 Paralisis Laring


a. Paralisis n. laringeus superior
Cabang ekstern n. laringeus superior mensarafi m. krikotiroid yang
menegangkan pita suara. Paralisis n. laringeus superior di proksimal
percabangannya menjadi cabang ekstern dan intern menyebabkan penderita
tersedak bila makan dan minum. Terjadi juga perubahan nada dan resonansi
suara bila penderita bicara keras atau menyanyi terlalu lama karena
tegangan pita suara terganggu. Gerakan abduksi dan adduksi pita suara tidak
terganggu.28

b. Paralisis n. laringeus rekurens


N.laringeus rekurens atau n. laringeus inferior mempersarafi
m.abduktor dan m.adduktor pita suara. Paralisis n. laringeus inferior
mengakibatkan suara mendesau. Gejala ini dapat menghilang dalam
beberapa minggu bila terjadi kompensasi oleh otot aduktor kontralateral
sehingga pita suara yang sehat bergerak melewati garis tengah sehingga
bertemu dengan pita suara yang lumpuh. Paresis pita suara atau kelumpuhan
karena cedera iatrogenik dari N.laringeus rekurens adalah salah satu
masalah utama dalam pembedahan tiroid. Meskipun banyak prosedur telah

21
diperkenalkan untuk mencegah cedera saraf, masih kejadian kelumpuhan
N.laringeus rekurens bervariasi antara 1,5-14%.29
Paralisis bilateral n. laringeus rekurens menyebabkan sesak nafas
karena celah suara sempit karena kedua pita suara tidak dapat abduksi pada
inspirasi, sehingga menetap pada posisi paramedian. Oleh karena itu,
penderita terpaksa istirahat dan menghindari keadaan yang memerlukan
lebih banyak suara seperti menyanyi dan berteriak.28

2.3.4 Radang
a. Tonsilitis
Tonsil atau yang lebih sering dikenal dengan amandel adalah massa yang
terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus
didalamnya, bagian organ tubuh yang berbentuk bulat lonjong melekat pada
kanan dan kiri tenggorok. Tonsilitis sendiri disebabkan oleh bakteri atau virus.
Insidens dari tonsilitis lebih banyak pada anak-anak. Kondisi itu bisa terjadi
kadang-kadang atau sering berulang. Tonsilitis akut ditandai dengan garis putih
yang terlihat dari nanah pada amandel dan permukaan amandel bisa menjadi
warna merah cerah. Tonsilitis bakteri kebanyakan disebabkan oleh β haemolitik
Streptococcus, Staphylococcus aureus dan bakteri lainnya. Gejala yang lebih
umum dari tonsilitis adalah sakit tenggorokan, amandel merah bengkak, nyeri
saat menelan, demam, batuk, sakit kepala, kelelahan, menggigil, kelenjar getah
bening yang membengkak di leher dan sakit di telinga atau leher dan gejala
yang kurang umum termasuk mual, sakit perut, muntah, bau mulut, perubahan
suara dan kesulitan membuka mulut. Dalam beberapa kasus ditemukan 3
macam tonsillitis, yaitu tonsillitis akut, tonsillitis membranosa, dan tonsillitis
kronis.38

22
Gambar 10. Tonsilitis 39

a) Tonsilitis Akut
Tonsilitis akut dapat didefinisikan sebagai radang amandel,
terutama karena infeksi. Insidens dari tonsilitis akut dapat
menyerang baik pria maupun wanita dan semua kelompok
umur, tetapi lebih sering terjadi pada orang yang lebih muda,
terutama di musim gugur dan musim dingin. Dalam 50-80%
kasus, patogen penyebab adalah virus, misalnya virus
Epstein-Barr (EBV), herpes simpleks, influenza dan rhinovirus.
Bakteri, yang paling umum adalah Grup A beta-haemolytic
streptococci (GAS). Bakteri lain yang dapat menginfeksi
amandel dan faring termasuk Haemophilus influenzae,
Streptococcus pneumoniae dan Neisseria gonorrhoeae. Jamur
seperti spesies Candida dapat menyebabkan sakit
tenggorokan pada pasien immunocompromised. Tidak ada
bukti yang menunjukkan bahwa tonsilitis bakteri lebih parah
daripada infeksi virus.40
Tonsilitis akut didiagnosis secara klinis. Ini didasarkan pada riwayat
demam, sakit tenggorokan disertai nyeri pada saat menelan, dan ditemukan
faring hiperemis dengan atau tanpa eksudat tonsil dan adenopati serviks.
Namun, temuan ini tidak membedakan antara etiologi bakteri atau virus, hal
ini yang sering menyebabkan salah diagnosis dan penanganan.41

23
Gambar 11 : Tonsilitis Akut4

b) Tonsilitis Kronis
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari
semua penyakit tenggorok yang berulang. Dimana keadaan dari tonsillitis akut
yang menetap, menyebabkan bakteri patogen akan bersarang di dalam tonsil dan
terjadi peradangan yang kronis. Tonsilitis kronis umumnya terjadi akibat
komplikasi tonsilitis akut, terutama yang tidak mendapat terapi adekuat. Selain
pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat, faktor predisposisi timbulnya
tonsilitis kronis lain adalah higien mulut yang buruk, kelelahan fisik dan
beberapa jenis makanan.42
Gejala-gejala yang menunjukkan tonsilitis kronik adalah demam, sakit
tenggorokan, nyeri pada saat menelan, eritema tonsil dan eksudat serta adanya
pembesaran tonsil dan kelenjar limfadenopati. Pada anak anak kebanyakan
kesulitan dalam makan, bunyi pernapasan yang bising, dengkuran yang keras,
tidur yang gelisah, perubahan perilaku, dan kinerja sekolah yang buruk.
Tonsilitis kronik mungkin memerlukan tonsilektomi.43

Gambar 12 : Tonsilitis Kronik43

24
b. Sindroma Croup
Croup atau laringotrakeobronkitis akut (LTBA) merupakan penyakit
peradangan akut di daerah subglotis larings, trakea, dan bronkus. Penyakit ini
merupakan penyebab tersering obstruksi saluran nafas atas pada anak-anak dan
biasanya ditandai dengan suara serak, batuk kering seperti menggonggong, dan
stridor inspirasi. Biasanya menyerang pada bayi dan anak-anak. penyebabnya
dapat bermacam-macam. Penyebab paling sering sering adalah virus. Penyebab
lain adalah bakteri, reaksi alergi, bahan yang mengiritasi seperti cairan lambung.44
Gejala klinis awali dengan suara serak, batuk menggonggong dan stridor
inspiratoir. Bila terjadi obstruksi stridor akan makin berat tetapi dalam kondisi
yang sudah payah stridor melemah. Dalam waktu 12-48 jam sudah terjadi gejala
obstruksi saluran napas atas. Pada beberapa kasus hanya didapati suara serak dan
batuk menggonggong, tanpa obstruksi napas. Keadaan ini akan membaik dalam
waktu 3 sampai 7 hari. Pada kasus lain terjadi obstruksi napas yang makin berat,
ditandai dengan takipneu, takikardia, sianosis dan pernapasan cuping hidung.
Pada pemeriksaan toraks dapat ditemukan adanya retraksi supraklavikular,
suprasternal, interkostal, epigastrial. Bila anak mengalami hipoksia, anak akan
tampak gelisah, tetapi jika hipoksia bertambah berat anak tampak diam, lemas,
kesadaran menurun. Pada kondisi yang berat dapat menjadi gagal napas. Pada
kasus yang berat proses penyembuhan terjadi setelah 7-14 hari. Terapi sindroma
Croup antara lain dengan pemberian oksigen, analgesik/antipiretik, antitusif dan
dekongestan, antibiotik serta glucocorticoid.45

c. Epiglotitis Akut
Epiglotitis akut dapat terjadi pada usia berapapun. Penyebab paling sering
adalah Hemophilus influenzae tipe B, tetapi infeksi dengan Streptokokus b-
hemolitik grup akhir-akhir ini sering dijumpai. Ada perbedaan yang sering
dijumpai, dimana kejadian dan manajemen epiglotitis akut antara anak-anak
dan orang dewasa. Ada juga lebih banyak keragaman penyebab epiglotis pada
orang dewasa. Insiden epiglotitis akut pada orang dewasa berkisar dari 0,97
hingga 3,1 per 100.000, dengan mortalitas sekitar 7,1%. Pada orang dewasa,

25
etiologi mikrobiologi yang lebih beragam ditemukan dengan sering kultur
sputum negatif dan kultur darah negatif untuk Hib. Beberapa kasus epiglotis
telah dikaitkan dengan Candida spp. Penyebab epiglotitis yang tidak menular
mungkin termasuk trauma oleh benda asing, inhalasi dan luka bakar kimia,
atau berhubungan dengan penyakit sistemik atau reaksi terhadap kemoterapi.46
Kebanyakan pasien dewasa yang datang dengan epiglotitis
akut mengeluh sakit tenggorokan dan odinofagia. Pembesaran
kelenjar getah bening dan pembengkakan tenggorokan yang
menyebar tidak spesifik untuk epiglottitis akut tetapi apabila
dijumpai kombinasi gejala tachypnoea dan stridor inspirasi
diagnosis epiglotitis akut harus dipertimbangkan. Tatalaksana
epiglottitis akut sendiri adalah antibiotik intravena harus
segera dimulai. Antibiotic yang direkomendasikan adalah asam
amoksisilin / klavulanat atau generasi ketiga cephalosporin).
Secara simtomatis NSAID bisa bermanfaat. Kortikosteroid
sering direkomendasikan untuk epiglotis.47

Gambar 13 : Epiglotitis Akut47


d. Abses Leher Dalam
o Abses Peritonsil
Abses peritonsil merupakan akumulasi pus terlokalisir di jaringan
peritonsil yang terbentuk akibat dari tonsilitis supuratif. Penjelasan lain

26
adalah abses peritonsil merupakan abses yang terbentuk di kelompok
kelenjar air liur di fosa supratonsil, yang disebut sebagai kelenjar Weber.
Nidus akumulasi pus terletak antara kapsul tonsil palatina dan muskulus
konstiktor faringeus. Pilar anterior dan posterior, torus tubarius (superior),
dan sinus piriformis (inferior) membentuk batas ruang peritonsil potensial.
Karena terbentuk dari jaringan ikat longgar, infeksi parah area ini bisa
secara cepat membentuk material purulen. Inflamasi dan supurasi progresif
bisa menyebar langsung melibatkan palatum mole, dinding lateral faring,
dan kadang-kadang dasar dari lidah.3
o Abses Retrofaring

Penyakit ini biasanya ditemukan pada anak berusia dibawah lima tahun.
Hal ini terjadi karena usia tersebut ruang retrofiring masih berisi kelenjar
limfa dari hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba eustachius dan
telinga tengah. Pada usia diatas enam tahun kelenjar limfa akan mengalami
atrofi. Keadaan yangbisa menyebabkan terjadinya abses retrofaring ialah
infeksi saluran nafas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring,
trauma dinding belakang faring oleh benda asing dan tuberculosis vertebra
servikalis bagian atas. 3
Gejala utama abses retrofiring adalah rasa nyeri dan sukar menelan.
Pada anak kecil rasa nyeri akan menyebabkan anak menangis terus dan
tidak mau makan atau minum, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak
nafas karena timbul sumbatan terutama di hipofaring. Bila proses
peradangan berlanjut sampai mengenai laring dapat timbul stridor.
Sumbatan oleh abses juga dapat menganggu resonansi suara sehingga terjadi
perubahan suara. Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasnaya
unilateral. Mukasa terlihat bengkak dan hiperemis.1
Diagnosa ditegakan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran nafas
bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klink serta pemeriksaan penunjang
foto rontgen jaringan lunak leher lateral. Pada foto rontgen akan tampak
pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan dewasa. Terapi
abses retrofiring adalah dengan medika mentosa dan pembedahan. Sebagai

27
terapi medikamentosa diberikan antibiotic dosis tinggi untuk kuman aerob
dan anaerob diberika secara parenteral. Selain itu dilakukan pungsi dan
insisi abses melalui laringoskopi langsung dalam posisi pasien baring
Trendelnburg. Pus yang keluar segera diisap agar tidak terjadi inspirasi.
Tindakan dapat dilakukan dengan anestesi lokal atau umum.3

o Abses Parafaring

Abses parafaring yaitu peradangan yang disertai pembentukan pus


pada ruang parafaring. Ruang parafaring dapat mengalami infeksi secara
langsung akibat tusukan saat tonsilektomi, limfogen dan hematogen.
Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di
sekitar angulus submandibula, demam tinggi dan pembengkakan diniding
lateral faring, sehingga menonjol ke arah medial. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik. Bila meragukan,
dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto Rontgen jaringan
lunak AP atau CT scan.3

o Abses Submandibula

Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai


pembentukan pus pada daerah submandibula. Keadaan ini merupakan
salah satu infeksi pada leher bagian dalam (deep neck infection). Pada
umumnya sumber infeksi pada ruang submandibula berasal dari proses
infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibula.
Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain.1
Akhir-akhir ini abses leher bagian dalam termasuk abses
submandibula sudah semakin jarang dijumpai. Hal ini disebabkan
penggunaan antibiotik yang luas dan kesehatan mulut yang meningkat.
Walaupun demikian, angka morbiditas dari komplikasi yang timbul akibat

28
abses submandibula masih cukup tinggi sehingga diagnosis dan
penanganan yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan.3

o Angina Ludwig

Angina Ludwig ialah selulitis di dasar mulut dan leher akut yang
invasif, menyebabkan udem hebat di leher bagian atas yang dapat
menyumbat jalan napas. Kuman penyebab biasanya streptokokus atau
stafilokokus. Infeksi biasanya berasal dari lesi di mulut seperti abses
alveolar gigi atau infeksi sekunder pada karsinoma dasar mulut. Kelainan
ini cepat meluas melalui ruang fasia tertutup dan dapat menyebabkan
udem glotis yang dapat mengancam jiwa karena obstruksi jalan napas.
Karena radang dasar mulut ini lidah terdorong ke palatum dan ke dorsal,
ke arah dinding dorsal faring sehingga menutup jalan napas.1
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis dan dibantu dengan
pemeriksaan biakan dan uji kepekaan kuman dari nanah. Bila dapat dibuat
diagnosis dini maka pemberian antibiotik kadang-kadang memberikan
hasil yang memuaskan. Bila pembengkakan leher dan dasar mulut tidak
segera berkurang maka dilakukan dekompresi terhadap ruang fasia yang
tertutup di dasar mulut dan leher, selanjutnya dipasang pipa penyalir.3

e. 2.3.5 Tumor
a. Papiloma laring
Tumor ini digolongkan dalam 2 jenis :
1. Papiloma laring juvenile, ditemukan pada anak, biasanya berbentuk
multiple dan mengalami regresi saat dewasa
2. Pada orang dewasa biasanya berbentuk tunggal, tidak akan
mengalami resolusi dan merupakan prekanker.3
Gejala utama adalah suara serak dan pada anak biasanya menangis.
Kadang-kadang terdapat pula batuk. Apabila papiloma telah menutup rima
glottis maka timbul sesak nafas dengan stridor. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan laring langsung, biopsy
serta pemeriksaan patologi-anatomik.35

29
Gambar 14. Papiloma laring

Terapi papiloma laring antara lain:


- Ekstirpasi papiloma dengan bedah mikro atau juga dengan sinar laser.
Karena sering tumbuh lagi, tindakan ini diulang berkali-kali. Kadang
dalam seminggu tampak papiloma tumbuh lagi.
- Dewasa ini diketahui penyababnya ialah virus, untuk terapinya diberikan
vaksin dari massa tumor, obat anti virus, hormone, kalsium atau ID
methionin.
Tidak dianjurkan memberikan radioterapi karena papiloma dapat
berubah menjadi ganas.3

30
Saat ini, terapi yang paling mutakhir adalah pengangkatan bedah
dengan cepat, seringkali menggunakan mikroskop dan laser CO2. Pada
beberapa kasus, trakeostomi perlu dipertahankan hingga beberap tahun. 35

b. Tumor ganas laring


Penyebabnya belum diketahui pasti. dikatakan para ahli bahwa perokok
dan peminum alkohol merupakan kelompok orang-orang dengan resiko
tinggi terhadap karsinoma laring. Serak adalah gejala utama karsinoma
laring, merupakan gejala paling dini tumor pita suara. Hal ini disebabkan
karena gangguan fungsi fonasi laring. Pada tumor ganas laring, pita suara
gagal berfungsi secara baik disebabkan oleh ketidakteraturan pita suara,
oklusi atau penyempitan celah glotik, terserangnya otot-otot vokalis, sendi
dan ligamen krikoaritenoid dan kadang-kadang menyerang saraf. Kadang-
kadang bisa afoni karena nyeri, sumbatan jalan nafas atau paralisis komplit.
Gejala lain berupa nyeri alih ke telinga ipsilateral, halitosis, batuk,
hemoptisis dan penurunan berat badan. Nyeri tekan laring adalah gejala
lanjut yang disebabkan oleh komplikasi supurasi tumor yang menyerang
kartilago tiroid dan perikondrium.3

Gambar 15.
3
Tumor ganas laring

31
2.3.6 Lain Lain
a. Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS)
Sleep apnea syndrome adalah suatu sindrom dengan ditemukannya
episode apnea atau hipopnea pada saat tidur. Apnea dapat disebabkan
kelainan sentral, obstruktif jalan nafas, atau campuran. Obstruktif apnea
adalah berhentinya aliran udara pada hidung dan mulut walaupun dengan
usaha nafas, sedangkan central apnea adalah penghentian pernafasan yang
tidak disertai dengan usaha bernafas akibat tidak adanya rangsangan nafas.
Obstruktif hipoventilasi disebabkan oleh obstruksi parsial aliran udara yang
menyebabkan hipoventilasi dan hipoksia. Istilah obstruktif hipoventilasi
digunakan untuk menunjukkan adanya hipopnea, yang berarti adanya
pengurangan aliran udara.36
Istilah OSAS dipakai pada sindrom obstruksi total atau parsial jalan
nafas yang menyebabkan gangguan fisiologis yang bermakna dengan
dampak klinis yang bervariasi. Istilah primary snoring (mendengkur primer)
digunakan untuk menggambarkan anak dengan kebiasaan mendengkur yang
tidak berkaitan dengan obstruktif apnea, hipoksia atau hipoventilasi.
Guilleminault dkk mendefinisikan sleep apnea sebagai episode apnea
sebanyak 30 kali atau lebih dalam 8 jam, lamanya paling sedikit 10 detik
dan terjadi baik selama fase tidur rapid eye movement (REM) dan non rapid
eye movement (NREM). Terdapat istilah apnea index (AI) dan hypopnea
index (HI) yaitu frekuensi apnea atau hipopnea per jam. Apnea atau
hypopnea index dapat digunakan sebagai indikator berat ringannya OAS.1
Manifestasi klinis yang terbanyak adalah kesulitan bernafas pada saat
tidur yang biasanya berlangsung perlahan-lahan. Sebelum gejala kesulitan
bernafas terjadi, mendengkur merupakan gejala yang mulamula timbul.
Dengkuran pada anak dapat terjadi secara terus menerus (setiap tidur)
ataupun hanya pada posisi tertentu saja. Pada OSAS, pada umumnya anak
mendengkur setiap tidur dengan dengkuran yang keras terdengar dari luar
kamar dan terlihat episode apnea yang mungkin diakhiri dengan gerakan
badan atau terbangun Sebagian kecil anak tidak memperlihatkan dengkur

32
yang klasik, tetapi berupa dengusan atau hembusan nafas, noisy breathing
(nafas berbunyi). Usaha bernafas dapat terlihat dengan adanya retraksi.
Posisi pada saat tidur biasanya tengkurap, setengah duduk, atau
hiperekstensi leher untuk mempertahankan patensi jalan nafas. 37
Pada pemeriksaan fisis dapat terlihat pernafasan melalui mulut,
adenoidal facies, midfacial hypoplasia, retro/mikrognasi atau kelainan
kraniofasial lainnya, obesitas, gagal tumbuh, stigmata alergi misalnya
alergic shiners atau lipatan horizontal hidung. Patensi pasase hidung harus
dinilai, perhatikan adanya septum deviasi atau polip hidung, ukuran lidah,
integritas palatum, daerah orofarings, redudant mukosa palatum, ukuran
tonsil, dan ukuran uvula, mungkin ditemukan pectus excavatum. Paru-paru
biasanya normal pada pemeriksaan auskultasi. Pemeriksaan jantung dapat
memperlihatkan tanda-tanda hipertensi pulmonal misalnya peningkatan
komponen pulmonal bunyi jantung II, pulsasi ventrikel kanan. Pemeriksaan
neorologis harus dilakukan untuk mengevaluasi tonus otot dan status
perkembangan.36

b. Benda asing di hidung

Benda asing sebagai penyebab sumbatan pada hidung hampir selalu


ditemukn pada anak-anak. Benda asing yang lazim ditemukan adalah
Manik-Manik, Kancing, karet penghapus, kelereng, kacang polong,kacang
buncis, batu, dan kacang tanah. Gejala yang lazim muncul adalah obstruksi
unilateral dan sekret yang berbau. Benda asing pada umunya ditemukan
pada bagian anterior vestibulum atau pada meatus inferior sepanjang dasar
hidung. 35
Cara mengeluarkan benda asing dari dalam hidung ialah dengan
memakai pengait (haak) yang dimasukkan ke dalam hidung bagian atas,
menyusuri atap kavum nasi sampai menyentuh nasofaring. Setelah itu
pengeit diturunkan sedikit dan ditarik ke depan, dengan cara ini menda
asing ikut terbawa keluar. Dapat pula menggunakan cunam Nortman atau

33
“wire loop”. Pemberian antibiotic sistemik selama 5 – 7 hari hanya jika
kasus benda asing hidung yang telah menimbulkan infeksi.3

c. Benda asing di orofaring dan hipofaring

Benda asing di orofaring dan hipofaring dapat tersangkut antara lain di


tonsil, dasar lidah, valekula dan sinus piriformis yang akan menimbulkan
rasa nyeri menelan (odinofagia), baik saat makan maupun meludah,
terutama benda asing tajam seperti tulang ikan dan tulang ayam.
Pemeriksaan di dasar lidah, valekula dan sinus piriformis diperlukan kaca
tenggorokan yang besar (no 8 – 10). Benda asing di sinus piriformis
menunjukkan tanda Jakcson (Jackson’s Sign) yaitu terdapat akumulasi ludah
di sinus piriformis tempat benda asing tersangkut.35
Bila benda asing menyumbat intoitus esophagus, maka tampak ludah
tergenang di kedua sinus piriformis. Benda asing di tonsil dapat diambil
dengan memakai pinset atau cunam. Biasanya yang tersangkut di tonsil
ialah benda tajam, seperti tulang ikan, jarum, atau kail. Benda asing di dasar
lidah, dapat dilihat dengan kaca tenggorokan yang besar.3
Pasien diminta menarik lidah sendiri dan pemeriksaan memegang
kaca tenggorokan dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan memegang
cunam untuk mengambil benda tersebut. Bila pasien sangat perasa sehingga
menyulitkan tindakan, maka sebelumnya dapat disemprotkan obat pelali
(anestetikum), seperti xylocain atau pantocain. Tindakan pada benda asing
di valekula dan sinus piriformis kadang – kadang untuk mengeluarkannya
dilakukan dengan cara laringoskopi langsung.3,35

d. Benda asing di laring

Benda asing pada laring bisa bersifat total atau subtotal. Jika benda
asing dilaring menutupi secara total merupakan kegawatan dan akan
menimbulkan gejala berupa disfonia sampai afonia, apne dan sianosis.
Pertolongan pertama harus segera dilakukan karena asfiksia dapat terjadi
dalam waktu hanya beberapa menit.3 Setiap benda asing di dalam laring

34
merupakan keadaan darurat yang perlu segera ditangani. Kejadiannya sering
berupa seseorang yang menjepit objek di dalam mulut di antara giginya dan
kemudian tidak sengaja terinhalasi.35
Tehnik yang dapat dilakukan berupa Heimlich (Heimlich manueuver).
Menurut teori Heimlich , benda asing masuk ke dalam laring ialah pada
waktu inspirasi, dengan demikian paru penuh oleh udara, diibaratkan
sebagai botol plastik yang tertutup, dengan menekan botol itu maka
sumbatan akan terlempar keluar.3
Pada kasus sumbatan subtotal diamana pasien tidak mengalami
distress pernafasan, tidak menggunakan perasat Heimlich, pasien masih
dapat dibawa ke rumah sakit terdekat untuk di beri pertolongan dengan
menggunakan laringoskop atau bronkoskop, atau jika alat – alat tersebut
tidak tersedia maka dapat di lakukan trakeostomi, dengan pasien tidur
dengan posisi Trendelenburg, kepala lebih rendah dari badan, supaya benda
asing tidak turun ke trakea.3,35

2.4. Diagnosis Obstruksi Saluran Napas Atas


Diagnosis Obstruksi saluran napas atas ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan hasil pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang.3,30
1. Anamnesis
Gejala yang didaptkan dari anamnesis adalah :
a. Gejala Utama :
 Sesak napas (dispnea)
 Bunyi saat bernapas seperti mengorok
b. Gejala Tambahan :
 Gelisah karena pasien haus udara (air hunger)
 Batuk
 Serak
 Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.
 Sulit komunikasi
 Sulit menenlan makanan

35
 Gangguan kesadaran
c. Gejala, faktor resiko, jika ada :
 Anak lebih muda terjadi obstruksi karena edema laring
 Alkohol
 Rokok
 Infeksi gigi
2. Pemeriksaan Fisik30
Adapun tanda yang didaptkan dari hasil pemeriksaan fisik berupa :
a. Frekuensi napas meningkat
b. Stridor
c. Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal,
epigastrium, supraklavikula dan interkostal. Cekungan itu terjadi
sebagai upaya dari otot-otot pernapasan untuk mendapatkan oksigen
yang adekuat.
d. Nafas cuping hidung (pada anak)
Gejala-gejala yang mengindikasikan adanya obstruksi pada jalan nafas,
dibagi 4 stadium menurut Jackson: 3
Stadium I : Retraksi tampak pada waktu inspirasi di suprasternal, stridor
pada waktu inspirasi dan pasien masih tenang.
Stadium II : Retraksi pada waktu inspirasi di daerah suprasternal makin
dalan, ditambah lagi dengan timbulnya cekungan di daerah epigastrium.
Pasien sudah mulai gelisah. Stridor terdengar saat inspirasi.
Stadium III : Retraksi selain di daerah suprasternal, epigastrium juga
terdapat di Infrakalvikula dan sela-sela iga, pasien sangat gelisah dan
dispnea. Stridor saat inspirasi dan ekspirasi
Stadium IV : Retraksi bertambah jelas, pasien sangat gelisah dan
tampak sangat ketakutan serta sianosis. Jika keadaan ini berlangsung
terus, maka pasien akan kehabisan tenaga, pusat pernafasan paralitik
karena hiperkapnea. Pasien lemah dan tertidur dan akhirnya meninggal
karena asfiksia.
3. Pemeriksaan Penunjang

36
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
mengetahui letak dan penyebab sumbatan, diantaranya adalah :3,30
a. Laringoskop. Dilakukan bila terdapat sumbatan pada laring.
Laringoskop dapat dilakukan secara direk dan indirek.
b. Nasoendoskopi
c. Pemeriksaan analisa gas darah
d. X-ray. Dilakukan pada foto torak yang mencakup saluran nafas
bagian atas. Apabila sumbatan berupa benda logam maka akan tampak
gambaran radiolusen. Pada epiglotitis didapatkan gambaran thumb like.
e. Foto polos sinus paranasal
f. CT-Scan kepala dan leher
g. Biopsi

2.5 Tindakan pada Obstruksi Saluran Napas Atas


Pada prinsipnya penanggulangan pada obstruksi atau obstruksi saluran
napas atas diusahakan supaya jalan napas lancar kembali.
Tindakan konservatif : Pemberian antiinflamasi, antialergi, antibiotika
serta pemberian oksigen intermiten, yang
dilakukan pada obstruksi laring stadium I yang
disebabkan oleh peradangan.
Tindakan operatif/resusitasi : Memasukkan pipa endotrakeal melalui mulut
(intubasi orotrakea) atau melalui hidung (intubasi
nasotrakea), membuat trakeostoma yang
dilakukan pada obstruksi laring stadium II dan III,
atau melakukan krikotirotomi yang dilakukan
pada obstruksi laring stadium IV.3,31

Untuk mengatasi gangguan pernapasan bagian atas ada tiga cara, yaitu3,30,31 :

2.5.1 Intubasi Endotrakea


Intubasi endotrakeal adalah memasukan suatu lubang atau pipa melalui
mulut atau melalui hidung ke dalam trakea.3,30

37
a) Indikasi dan kontraindikasi
Indikasi intubasi endotrakea:
1. Untuk mengatasi sumbatan saluran napas atas
2. Membantu ventilasi
3. Memudahkan mengisap sekret dari traktus trakeobronkial
4. Mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut atau yang berasal dari
lambung
Kontraindikasi intubasi endotrakea adalah trauma jalan napas atau obstruksi
yang tidak memungkinkan untuk dilakukan intubasi seperti pada kasus
trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servikal.3
b) Alat untuk intubasi
1. Laringoskopi
2. Pipa endotrakea
3. Pipa orofaring atau nasofaring
4. Plester
5. Forsep intubasi
6. Suction3,31

c) Teknik intubasi endotrakeal

Intubasi endotrakeal merupakan tindakan penyelamat (life saving


procedure) yang dapat dilakukan tanpa atau dengan analgetika topikal
dengan xylocain 10%. Posisi pasien tidur terlentang, leher sedikit fleksi dan
kepala ekstensi. Laringoskop dengan spatel bengkok dipegang dengan
tangan kiri, dimasukan melalui mulut sebelah kanan, sehingga lidah
terdorong kekiri. Spatel diarahkan menelusuri pangkal lidah ke valekula,
lalu laringoskop diangkat keatas, sehingga pita suara dapat terlihat, dengan
tangan kanan pipa endotrakea dimasukan melalui mulut terus melalui celah
antara kedua pita suara kedalam trakea. 31
Pipa endotrakea dapat juga dimasukan melalui salah satu lubang hidung
sampai rongga mulut dan dengan cunan magili ujung pipa endotrakea
dimasukan kedalam celah antara kedua pita suara sampai ke trakea.
Kemudian balon diisi udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan baik.
Apabila menggunakan spatel laringoskop yang lurus maka pasien yang tidur

38
terlentang itu, pundaknya harus diganjang dengan bantal pasir sehingga
kepala mudah diekstensikan maksimal.3
Laringoskop dengan spatel yang lurus dipegang dengan tangan kiri dan
dimasukan mengikuti dinding faring posterior dan epiglotis diangkat
horizontal ke atas bersama-sama sehingga laring jelas terlihat. Pipa
endotrakea dipegang dengan tangan kanan dan dimasukan melalui celah pita
suara sampai ditrakea. Kemudian balon diisi udara dan pipa endotrakea di
fiksasi dengan plester. Memasukan pipa endotrakea harus hati-hati karena
dapat menyebabkan trauma pita suara, laserasi pita suara timbul granuloma
dan stenosis laring atau trakea.31

Gambar 16. Teknik Pelaksanaan Intubasi Endotrakea31

2.5.2. Krikotiroidotomi/ Krikotirotomi


Krikotiroidotomi merupakan tindakan penyelamat pada pasien dalam
keadaan gawat napas. Dengan cara membelah membran krikotiroid untuk
dipasang kanul. Membran ini terletak dekat kulit, tidak terlalu kaya darah
sehingga lebih mudah dicapai. Tindakan ini harus dikerjakan cepat
walaupun persiapannya darurat. 32

39
Krikotirotomi merupakan tindakan membuat jalan nafas pintas melalui
membran krikotiroid. Teknik ini dapat dilakukan dengan menggunakan
jarum (Needle chrycothyrotomi) atau melalui teknik pembedahan (surgical
cricothyrotomy).33
a) Klasifikasi

Krikotiroidotomi dibagi menjadi 2 macam yaitu needle cricothyroidotomy


dan surgical cricothyroidotomy.32,33

1. Needle cricothyroidotomy
Pada needle cricothyroidotomy, sebuah semprit dengan jarum digunakan
untuk melubangi melewati membran krikoid yang berada sepanjang trakea.
Setelah jarum menjangkau trakea, kateter dilepaskan dari jarumnya dan
dimasukkan ke tenggorokan dan dilekatkan pada sebuah kantung berkatup.

2. Surgical cricothyroidotomy
Pada surgical cricothyroidotomy, dokter dan tim medis lainnya membuat
insisi melewati membran krikoid sampai ke trakea dengan tujuan
memasukkan pipa untuk ventilasi pasien.
b) Teknik Krikotirodotomi
Teknik krikotirotomi dengan jarum ; pasien dalam posisi supine dengan
ekstensi pada leher, identifikasi membran krikotyroid dengan jari telunjuk
dan stabilkan posisi kartilago tyroid, dengan menggunakan jarum suntik
yang telah dihubungkan dengan iv cateter no 12 atau 14, yang berisis salin
dengan sudut 450 kearah kaudal untuk mencegah trauma pada dinding
posterior trakea, cabut jarum dan stylet kemudian dorong kateter lebih jauh.
Aspirasi udara untuk memastikan posisi dalam trakea, berikan ventilasi
inspirasi dan ekspirasi dengan rasio 1:4 detik, fiksasi kanul kateter. Teknik
ini mungkin lebih berguna pada anak-anak dengan menggunakan Kateter
yang lebih besar untuk memberikan waktu yang cukup untuk melakukan
trakeostomi dengan persiapan yang lebih baik. Hal ini karena pada anak
sedapat mungkin dihindari trakeostomi emergensi dan krikotirotomi. 33,34

40
Teknik krikotirotomi melalui pembedahan : pasien tidur posisi supine
dengan posisi leher netral, identifikasi membran krikotiroid, stabilkan
kartilago tiroid dengan tangan kiri, buat insisi kulit transversal sampai
membran krioktiroid, kemudian putar pemegang pisau bedah 900 untuk
melebarkan jalan nafas, tarik kartilago krikoid dengan hook krikoid,
masukkan kanul trakeostomi yang sesuai, kembangkan cuff dan berikan
ventilasi, observasi pengembangan paru dengan auskultasi untuk menilai
ventilasi yang adekuat, fiksasi kanul pada leher pasien.33

Gambar 17 . Krikotirotomi yang Dilakukan pada Obstruksi Laring Stadium IV3

Krikotirodotomi merupakan kontraindikasi pada anak dibawah 12


tahun, demikian juga pada tumor laring yang sudah meluas ke subglotik dan
terdapat laryngitis. Stenosis subglotik akan timbul bila kanul dibiarkan
terlalu lama karena kanul yang letaknya tinggi akan mengiritasi jaringan-
jaringan disekitar subglotis, sehingga terbentuk jaringan granulasi dan
sebaiknya segera diganti dengan trakeostomi dalam waktu 48 jam.3
Krikotirotomi pada beberapa keadaan lebih disukai dibanding
trakeostomi emergensi. Keuntungan utamanya adalah bahwa membran

41
krikotiroid dekat dengan permukaan kulit. Prosedur ini mudah distandarisasi
dan mudah diajarkan kepada residen dan pada petugas gawat darurat.
Kerugian utamanya adalah kerusakan subglotis, tetapi hal ini biasanya
karena pemakaian pipa krikotirotomi terlalu lama. Kontraindikasi relatif
tindakan ini adalah anak-anak berusia kurang dari 12 tahun, infeksi laring,
resiko terpotongnya tumor dan kasus trauma laring.33
2.5.3 Trakeostomi
Tracheotomy berasal dari bahasa Yunanai, dari kata trachea dan tome
(memotong). Istilah trakeotomi (tracheotomy) lebih mengacu kepada
tindakan pembedahan pada trakea untuk fungsi ventilasi. Tracheostomy juga
berasal dari bahasa Yunani, stome (membuka atau mulut) jadi istilah
trakeostomi (tracheostomy) menunjukkan lobang atau stoma permanen yang
dibuat pada trakea dan kulit tersebut.33
Trakeostomi adalah suatu tindakan dengan membuka dinding
depan/anterior trakea untuk mempertahankan jalan nafas agar udara dapat
masuk ke paru-paru dan memintas jalan nafas bagian atas. Menurut letak
stoma, trakeostomi dibedakan letak yang tinggi dan letak yang rendah dan
batas letak ini adalah cincin trakea ketiga. Sedangkan menurut waktu
dilakukan tindakan maka trakeostomi dibagi dalam 1) trakeostomi darurat
(dalam waktu yang segera dan persiapan sarana sangat kurang) 2)
trakeostomi berencana (persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukan secara
baik.3
a. Indikasi trakeostomi
Indikasi trakeostomi termasuk sumbatan mekanis pada jalan nafas dan
gangguan non obstruksi yang mengubah ventilasi dan pasien dengan crtical
ill yang memerlukan intubasi cukup lama (7-21 hari). Gangguan yang
mengindikasikan perlunya trakeostomi; 1,4,35
- Untuk mengatasi obstruksi laring yang menghambat jalan nafas.
- Mengurangi ruang rugi (dead air space) disaluran nafas atas seperti daerah
rongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya stoma maka seluruh
oksigen yang masuk kedalam paru, tidak ada yang tertinggal diruang rugi

42
itu. Hal ini berguna pada pasien dengan kerusakan paru, yang kapasitas
vitalnya berkurang.
- Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus pada pasien yang tidak
dapat mengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pada pasien dalam
keadaan koma.
- Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai
fasilitas untuk bronkoskopi.
- Penyakit inflamasi yang menyumbat jalan nafas ( misal angina ludwig),
epiglotitis dan lesi vaskuler, neoplastik atau traumatik yang timbul melalui
mekanisme serupa.
- Cedera parah pada wajah dan leher
- Setelah pembedahan wajah dan leher
- Hilangnya refleks laring dan ketidakmampuan untuk menelan
sehinggamengakibatkan resiko tinggi terjadinya aspirasi

Tindakan trakeostomi dilakukan pada pasien dengan sumbatan laring


stadium 2 dan 3. Tindakan ini akan menurunkan jumlah udara residu
anatomis paru hingga 50 % nya. Sebagai hasilnya, pasien hanya
memerlukan sedikit tenaga yang dibutuhkan untuk bernafas dan
meningkatkan ventilasi alveolar. Tetapi hal ini juga sangat tergantung pada
ukuran dan jenis pipa trakeostomi.3
b. Syarat dan Kontra Indikasi
Perkutaneus trakeostomi (PT) memerlukan penahan rasa sakit, sedasi
dan penghambat neuro muscular pada pasien yang dipasang intubasi dan
ventilator mekanik. Perkutaneus Trakeostomi (PT) tidak dapat dilakukan
pada pasien kegawat daruratan jalan nafas terutama pada trauma supraglotis
atau orofasial. Staf medik yang ada dirumah sakit harus terlatih dan
berpengalaman dalam menajemen jalan nafas, PT, bronkoskopi dan surgical
tracheostomy jika PT gagal atau terjadi komplikasi.Pasien umur dibawah 16
tahun terutama umur 12 tahun tidak dapat dilakukan PT.1,3,35

43
C .Teknik Trakeostomi
Pasien tidur terlentang, bahu diganjal dengan bantalan kecil sehingga
memudahkan kepala untuk diekstensikan pada persendian atalantooksipital.
Dengan posisi seperti ini leher akan lurus dan trakea akan terletak di garis
median dekat permukaan leher. Kulit leher dibersihkan sesuai dengan
prinsip aseptik dan antiseptik dan ditutup dengan kain steril. Obat
anestetikum dengan 10%-15% Lidokain dengan 1;200.000 disuntikkan
dikartilago tarakeal 1 dan 2 atau 2 dan 3 secara infiltrasi. Dimulai pada
insisi transversal 2-3 mm pada midline subkrikoid dibuat pada kulit yang
ditandai. Pasang curved mosquito forceps dapat digunakan untuk diseksi
tumpul secara vertikal dan tranversal pada fasia pretrakea. Dengan ujung
jari, trakea bagian depan yang telah dipotong dibebaskan dari semua
jaringan sampai terasa area interkartilago. Jika terdapat isthmus, isthmus
dipisahkan dari area interkartilago yang akan ditusuk.1,3,35
Jarum pertama bersama kateter dimasukkan melalui semprit yang berisi
larutan saline untuk suction continous diarahkan pada midline trakea,
posterior dan kaudal. Jarum insersi paramedian akan terpasang benar
dengan percobaan berulang dituntun dengan bronkoskopik. Tanda telah
masuknya jarum pada jalan udara di trakea dibuktikan dengan adanya
gelembung udara pada aspirasi semprit. Pengatur jalan nafas dipastikan
dengan jarum yang dimasukkan dari pipa translaringeal dengan melihat
pergerakan jarum yang pelan dari pipa. Selanjutnya jarum ditarik perlahan
ketika memasukkan kateter beberapa milimeter ke dalam trakea, dan
diperiksa pengaturan jalan nafas dengan bronkoskopi.3,35
Saat jarum dan semprit sepenuhnya telah dilepaskan, kawat penuntun
telah terpasang beberapa sentimeter ke dalam trakea. Kateter kemudian
sepenuhnya dicabut jika kawat penuntun telah masuk ke lumen
trakea.Untuk menjaga kawat penuntun tetap pada kulit yang telah ditandai,
kawat tadi dimasukkan pada dilator yang telah dilubrikasi untuk melebarkan
jalan masuk ke trakea dengan gerakan memutar pelan. Dilator ini dilepaskan
jika kawat penuntun ini telah tepat pada posisi yang telah ditandai. Selama

44
menjaga posisi kawat penuntun pada kateter dan dilator yang digunakan
akan mencegah trauma pada dinding posterior.3,33
Menurut arah dari tuntunan kateter dan menjaga ujungnya dengan
safety ridge mengarah pada pasien agar kawat penuntun tetap pada kulit
yang telah ditandai. Kateter dengan kawat penuntun dimasukkan sebagai
satu unit ke dalam trakea sampai safety ridge pada kateter tepat pada kulit
yang ditandai. Ujung proximal dari kateter dan kawat dijaga agar tetap
lurus, ini dapat dipastikan ujung distal dari kateter telah diposisiskan dengan
baik dibelakang kawat untuk mencegah trauma dinding posterior trakea
selam tindakan berikutnya.3
Dilator serial yang telah dilubrikasi seluruhnya dan pelebaran dimulai
pada jalan masuk ke trakea. Tindakan ini dimulai dengan terlebih dahulu
memasukkan kateter dan kawat penuntun pada dilator curved biru secara
serentak. Untuk meletakkan alat tadi secara tepat, ujung proximal dari
dilator ditempatkan pada tanda posisi tunggal di kateter penuntun.
Penempatan ujung distal dilator tepat pada safety ridge dalam kateter
penuntun. Perhatikan posisi amam, dimana tiga uniut tersebut dimasukkan
dengan gerakan memutar. Ketiga alat tadi dimasukkan dan ditarik sewaktu-
waktu,saat memutar, untuk melakukan dilatasi yang efektif pada tempat
masuk trakea. Kemudian dilator tadi dilepaskan dan kawat serta kateter
tetap pada tempatnya.33
Pelebaran pada trakeostomi ini dilanjutkan dengan menggunakan
dilator yang lebih besar. Jalan masuk trakea tadi telah dilebarkan sedikit
sampai ukuran yang muat untuk pipa trakeostomi yang dipilih. Pelebaran ini
memudahkan untuk memasukkan bagian balon dari pipa ke dalam trakea.
Tabel 1 memuat ukuran dilator yang digunakan untuk melebarkan stoma
sesuai dengan pipa trakeostomi yang dimasukkan.3,33,35
Pipa trakeostomi yang akan dimasukkan sebelumnya diisi pada dilator
biru yang telah dilubrikasi dengan ukuran yang sesuai. Pipa dengan balon
yang kempis dimasukkan ke dalam dilator, sehingga ujungnya kira-kira 2
cm dari dilator. Sistim ini dimasukkan mengikuti kateter penuntun sampai
ke safety ridge dan selanjutnya dimasukkan sebagai satu unit ke dalam

45
trakea. Segera setelah balon memasuki trakea, dilator biru, kateter dan
kawat penuntun dikeluarkan. Untuk memasukkan pipa trakeostomi dual
kanul, kanul yang lebih dalam dikeluarkan lebih dulu untuk insersi dan
kemudian prosedur selanjutnya dapat dijalankan. Pipa trakeostomi
kemudian dimasukkan pada cincinnya. Jika menggunakan pipa dengan dual
kanul, kanul yang lebih dalam dimasukkan pada titik ini. Sekarang pipa
telah terhubung dengan ventilator, balon dikembangkan dan pipa
translaringeal dikeluarkan setelah dipastikan ventilasi telah dapat melewati
pipa baru yang dimasukkan. AM melihat trakea melalui pipa trakeostomi
dengan menggunakan bronkoskopi, untuk mencari daerah yang terluka pada
dinding trakea posterior dan menghisap darah jika ada.33,35
Pipa trakeostomi difiksasi dengan sutura dan dibalut dengan sebaik-
baiknya. Pasien dihindari dari ektensi leher dan alas kepala dinaikkan 30-40
derajat selama satu jam.Pemeriksaan rontgen dada segera setelah tindakan
diperlukan untuk menilai pemasangan yang benar dari pipa trakeostomi dan
untuk mencegah terjadinya pneumotorak. Pemberian analgetik jika
diperlukan.3

Gambar 18. Trakeostomi yang dilakukan pada obstruksi laring stadium II dan III3

d . Perawatan Pasca Trakeostomi segera setelah trakeostomi dilakukan:

46
 Humidifikasi
Humidifikasi udara inspirasi penting untuk transport mukosilier
sekret dan mencegah obstruksi jalan nafas karena sekret yang kental. Ada
berbagai tipe alat untuk humidifikasi: Cold water humidifiers, hot water
humidifier, heat and moisture exchangers (HME), stoma protector/
tracheal BIB dan nebulisasi.33
 Penghisapan secret (Suction)
Penghisapan sekret dibutuhkan ketika pasien tidak mampu untuk
mengeluarkan sekret secara efektif. Pemilihan ukuran suction kateter yang
benar penting supaya lebih aman dan efektif.3
 Penggantian kanul
Jika menggunakan kanul ganda, biasanya tidak perlu untuk
mengganti kanul luar. Indikasi penggantian kanul luar yaitu jika cuff telah
rusak atau bila ditemukan ukuran kanul yang lebih cocok untuk pasien.
Penggantian kanul luar bukan tanpa resiko dan dapat menimbulkan
kecemasan bagi pasien. Indikasi penggantian kanul luar adalah obstruksi
kanul, perubahan posisi kanul, kerusakan cuff atau ditemukannya ukuran
kanul yang lebih cocok untuk pasien. Penggantian kanul luar biasanya
dilakukan pada hari ke 5-7 post operatif ketika traktus yang sempurna
sudah terbentuk. Anak kanul dalam biasanya dibersihkan dua kali sehari
atau lebih sering sesuai dengan kebutuhan untuk mencegah obstruksi.33
 Antibiotik profilaksis
Pengguanaan antibiotik hanya diindikasikan pada infeksi paru dan
infeksi spesifik lain dan setela dilakukan kultur dan sensitivity test.3,33
Perawatan pasca trakeostomi sangat penting karena sekret dapat
menyumbat dan menimbulkan asfiksia. Oleh karena itu, sekret di trakea
dan kanul harus sering diisap ke luar dan kanul dalam dicuci sekurang-
kurangnya dua kali sehari lalu segera dimasukkan lagi ke dalam kanul luar.
Bila kanul harus dipasang dalam jangka waktu lama, maka kanul harus
dibersihkan dua minggu sekali. Kain basah di bawah kanul harus diganti

47
untuk menghindari timbulnya dermatitis. Gunakan kompres hangat untuk
mengurangi rasa nyeri pada daerah insisi.3

48
BAB III
PENUTUP

Sumbatan atau obstruksi saluran napas atas merupakan kegawatdaruratan


yang harus segera diatasi untuk mencegah kematian. Obstruksi saluran napas atas
dapat disebabkan oleh radang akut dan radang kronis, benda asing, trauma
akibat kecelakaan, perkelahian, percobaan bunuh diri dengan senjata tajam dan
trauma akibat tindakan medik yang dilakukan dengan gerakan tangan kasar,
tumor pada laring berupa tumor jinak maupun tumor ganas, serta kelumpuhan
nervus rekuren bilateral.
Penanggulangan pada obstruksi saluran napas atas bertujuan agar jalan
napas lancar kembali. Tindakan konservatif berupa pemberian antiinflamasi, anti
alergi, antibiotika serta pemberian oksigen intermiten, yang dilakukan pada
sumbatan laring stadium I yang disebabkan oleh peradangan. Tindakan operatif
atau resusitasi dengan memasukan pipa endotrakeal melalui mulut (intubasi
orotrakea) atau melalui hidung (intubasi nasotrakea) membuat trakeostoma yang
dilakukan pada sumbatan laring stadium II dan III atau melakukan krikotirotomi
yang dilakukan pada sumbatan laring stadium IV.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Boeis LR, Calcacetra TC, Palparella M M. Boies fundamental of


otolaryngology. Edisi V. Saunders, Philadelphia, 2010.
2. Foresto B, Tenda ED, Rumende CM., 2015. Obstruksi Saluran Napas
pada Non Small Carcinoma. Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM.
Jakarta.
3. Soepardi EA, Iskandar N. Editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-
Hidung-Tenggorok. Edisi 7. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2012.
4. Mete A, Akbudak IH., 2018. Fuctional and Anatomy Of Airway. Journal
Of Pamukkale University, Denisly. Turkey

5. Joshi, A.S., 2011. Pharynx Anatomy, George Washington University


School of Medicine and Health Sciences.
6. Sasaki CT, Kim YH. Anatomy and physiologi of the larynx. In: Ballenger
JJ, Snow JB, editors. Otorhinolaryngologi head and neck surgery. Ontario:
BC Decker Inc; 2003. p.1090-95

th
7. Sherwood, L., 2007. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. 6 edition.
Jakarta: EGC. p. 497-510
8. Sofyan, F., 2011. Embriologi, Anatomi, dan Fisiologi Laring. Medical
Faculty of Sumatera Utara University. Medan.
9. Joynt G. Upper Airway Obstruction. 2018. The Dept of Anaesthesia &
Intensive Care, CUHK.
10. Yataco JC, Mehta AC. Upper airway obstruction. In: Raoof S, George L,
Saleh A, Sung A, editors. Manual of critical care. New York: McGraw
Hill Medical; 2009:388-397.
11. Seattle Children’s Hospital. Laryngomalacia. Patient and Family
Education. 2018. Seattle, Washington
12. Carrion A, Brown JL, Laurent M. American Thoracic Society. 2018.
United States

50
13. Stephanie Lovinsky-Desir. Laryngomalacia. Medscape Reference. April
2017, http://emedicine.medscape.com/article/1002527-overview.
14. Gupta M, Kour C. Congenital Bilateral Choanal Atresia: A Rare Case.
2017. Department of ENT, Maharishi Markandeshwar Institute of
Medical Sciences and Research, Ambala, India.
15. Kwong MK. Current Updates on Choanal Atresia. 2015. Front Pediatric
16. Assanasen P, Metheetrairut C. Choanal Atresia. 2015. Department
Otorhinolaryngology, Faculty of Medicine Siriraj Hospital, Mahidol
University, Bangkok, Thailand.
17. Rosenthal L. Choanal Atresia. American Rhinologic Society. 2015
18. Elumalai G, Jain S. Subglottic Stenosis Embryological Basis and
Its Clinical Importance. 2016. Department of Embryology, College
of Medicine, Texila American University, South America.
19. Andrili A, Venuta F, Rendina E. Subglottic Tracheal Stenosis. 2016.
Journal of Thoracic Disease
20. Gangopadhyay N, Mendonca D, Woo A. Pierre Robin sequence. 2012.
Plastic and Reconstructive Surgery, Washington University School of
Medicine, Saint Louis, Missouri.

21. Cohen S, Greathouse ST, Rabbani C et al. Robin sequence: what the
multidisciplinary approach can do. 2017. Journal of Multidisciplinary
Healthcare.

22. Jose A, Nagori SA, Agarwal B et al. Management of Maxillofacial


Trauma Emergency: An Update of Challenges and Controversies. 2016.
Department of Oral and Maxillofacial Surgery, All India Institute of
Medical Sciences, New Delhi, India.
23. American College of Surgeons Committee on Trauma. 1997. Initial
Management of Maxillofacial Injuries.
24. Costa NR, Sousa PC, Pereira DA et al. Laryngeal Fracture After Blunt
Cervical Trauma in Motorcycle Accident and Its Management. 2017.
Hospital Pedro Hispano, Rua Dr. Eduardo Torres, Senhora da Hora,
Matosinhos, Portugal.

51
25. Moonsamy P, Sachdeva U, Morse C. Management of Laryngotracheal
Trauma. 2018. Division of Thoracic Surgery, Massachusetts General
Hospital, Boston, MA, USA.
26. Hoving DJ, Veale DJH, Muller GF. Clinical Review : Emergency
Management of acute Poisoning. 2011. Division of Emergency Medicine,
Stellenbosch University, South Africa.
27. Raut A, Pawar A, Shaj K, Dave P. Treatment Approaches for Management
of Poisonings in India. 2017. Department of Medicine, Bharati Vidyapeeth
Deemed University, India.
28. Soepardi EA, Iskandar N. Editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-
Hidung-Tenggorok. Edisi 7. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2012.
29. Zakaria H, Al Awad N, Kreedes A et al. Reccurent Laryngeal Nerve Injury
in Thyroid Surgery. 2011. Department of surgery, College Of Medicine,
Dammam University, Dammam, Kingdom of Saudi Arabia.
30. Trimartani, Rasad SA, Rosalina D, dkk. Panduan Praktik Klinis di Bidang
Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher. Volume 2. Pegurus Pusat
PERHATI-KL. Jakarta. 2016
31. Mc Person K, Stephen CM. Managing Airway Obstruction. British
Journal of Hospital Medicine, October 2012, Vol 73, No 10.
32. Fagan J. Open Access Atlas Of Otolaryngology, Head & Neck Operative
Surgery. Cricothyroidotomy & Needle Cricothyrotomy. University of
Cape Town. South Africa. 2010: 1-10
33. Azani S, Novialdi. Trakeostomi dan Krikotirotomi. Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas. Padang. 2016
34. Buku Panduan Instruktur Skills Leraning. Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin. Makassar. 2016
35. Adams GL, Boeis LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi
V. Penerbit Buku EGC. Jakarta. 2010.
36. Supriyatno B, Deviani R., 2015.Obstuctive Sleep Apnea Syndrome pada
Anak. Sari Pediatri Vol. 7.

52
37. Spicuzza L, Cruso D, Dimaria G., 2015. Obstructive Sleep Apnea
Syndrome and its Management. Respiratory Unit AOU, University Of
Catania. Italy.

38. Vijayashree M.S, Viswanatha B, Sambamurthy B.N. Clinical and


Bacteriological Study of Acute Tonsilitis. 2014. Department of ENT,
Bangalore Medical College and Research Institute Bangalore, India.
39. Omar R, Alasmari NS, Ahmed Alshuwaykan RM et al. Causes and
Treatment of Tonsilitis. 2017. The Egyptian Journal of Hospital Medicine,
Egypt.
40. Barlett M, Bola MS, Williams S. Acute Tonsilitis and Its Complications :
An overview. 2015. J Royal Naval Medical.
41. Bird JH, Biggs TC, King EV. Controversies in The Management of Acute
Tonsilitis : An Evidence-Based Review. 2014. Department of ENT
Surgery, University Hospital Southampton NHS Foundation Trust,
Southampton, England.
42. Fakh IM, Novialdi, Elmatris. Karakterisitik Pasien Tonsilitis Kronis pada
Anak di Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2013. 2016.
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padang.
43. Lemyze M, Raphael F. Enlarged Tonsils and Fatigue. 2010. Calmette
Hospital, Lille, France.
44. Shabbir M. Croup (Laryngotracheobronchitis) in Children. 2016. Al
Mustafa International Hospital, Pakistan.
45. Mustafa M, Patawari P, Muniandy RK et al. Acute Laryngitis and Croup :
Diagnosis and Treatment. 2015. Faculty of Medicine and Health Sciences,
University Malasya Sabah, Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia.
46. Abdallah C. Acute Epiglotitis: Trends, Diagnosis and Management.
Division of Anesthesiology, Children's National Medical Center,
Washington D.C.
47. Wick F, Ballmer P, Haller A. Acute Epiglotitis in Adults. 2002.
Medizinische Klinik, Kantonnspital Winterthur, Swiss.

53

Anda mungkin juga menyukai