Anda di halaman 1dari 63

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2019


UNIVERSITAS PATTIMURA

ABSES PERITONSILER

Disusun oleh:
Ayu Amalia
2015-83-042

Pembimbing:
dr. Rodrigo Limmon, Sp. THT-KL., MARS.

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL Dr. M. HAULUSSY

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
karena atas rahmat-Nya sehingga referat yang berjudul ”Abses Peritonsiler ”dapat
diselesaikan, dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu
Kesehatan THT-KL.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang turut
membantu dalam penyelesaian tugas ini, terutama kepada dokter pembimbing yang
sangat membantu dalam membimbing pembuatan referat ini.
Penulis menyadari akan kekurangan dalam pembuatan referat ini, oleh
karena itu segala kritik dan saran yang membangun penulis perlukan untuk
kesempurnaan referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Ambon, Desember 2019


Penulis

Ayu Amalia

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

I.1 Latar Belakang ...........................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3

II.1 Anatomi .................................................................................................3

II.1.1 Faring ....................................................................................................2

II.1.2 Nasofaring .............................................................................................3

II.1.3 Orofaring ...............................................................................................4

II.1.3.1 Tonsil .................................................................................................5

II.1.4 Laringofaring ......................................................................................11

II.2 Histologi dan Fisiologi Tonsil .............................................................11

II.3 Abses Peritonsiler ................................................................................14

II.3.1 Definisi dan Epidemiologi ..................................................................14

II.3.2 Etiologi ................................................................................................15

II.3.3 Patofisiologi ........................................................................................15

II.3.4 Manifestasi klinis ................................................................................16

II.3.5 Diagnosis ............................................................................................17

II.3.6 Penatalaksanaan ..................................................................................21

II.3.7 Komplikasi ..........................................................................................30

II.3.8 Prognosis .............................................................................................30

3
BAB III PENUTUP .............................................................................................32

III.1 Kesimpulan ....................................................................................................32

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................v

4
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Abses peritonsil adalah salah satu dari abses leher dalam yang paling sering

ditemukan. Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher

dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dan berbagai sumber, seperti gigi,

tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang

terlibat. Gejala dan tanda klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan.1,2

Abses peritonsil dapat terjadi umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi

pada umur 20-40. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun

system imunnya, tapi infeksi ini bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang

signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki

dan perempuan. Bukti menunjukan bahwa tonsillitis kronik atau percobaan multipel

penggunaan antibiotik oral untuk tonsillitis akut merupakan predisposisi pada orang

tua untuk berkembangnya abses peritonsil. Di Amerika insiden tersebut kadang-

kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampir

45.000 kasus setiap tahun. 1,2

Timbulnya abses peritonsil dimulai dari infeksi superfisial dan berkembang

secara progresif menjadi tonsilar selulitis. Komplikasi abses peritonsil yang

mungkin terjadi antara lain perluasan infeksi ke parafaring, mediastinum, dehidrasi,

pneumonia, hingga infeksi ke intrakranial berupa thrombosis sinus kavernosus,

meningitis, abses otak dan obstruksi jalan nafas sehingga merupakan penyakit yang

5
mengancam jiwa dengan morbiditas dan mortalitasnya berkisar antara 1,6 - 40 %,

dengan demikian diperlukan penanganan yang tepat dan segera.1,2

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Anatomi

II.1.1 Faring

Faring terletak di belakang cavum nasi, mulut, dan laring. Bentuknya mirip

corong dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah cranium dan bagian

bawahnya yang sempit dilanjutkan sebagai eosophagus setinggi vertebra cervicalis

enam. Dinding faring terdiri atas tiga lapis yaitu mukosa, fibrosa, dan muscular.3,4

Gambar 2.1 Anatomi Faring3

Berdasarkan letak, faring dibagi atas tiga bagian yaitu : nasofaring, orofaring,

dan laringofaring.3,4

7
Gambar 2.2 Pembagian Struktur Faring3

1. Nasofaring

Nasofaring terletak di belakang rongga hidung, di atas palatum molle.

Nasofaring mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding

lateral. Bagian atap dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan pars basilaris ossis

occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsila pharyngeal, terdapat di

dalam submucosa. Bagian dasar dibentuk oleh permukaan atas palatum molle.

Dinding anterior dibentuk oleh aperture nasalis posterior, dipisahkan oleh pinggir

posterior septum nasi. Dinding posterior membentuk permukaan miring yang

berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior atlantis.

Dinding ateral pada tiap-tipa sisi mempunyai muara tuba auditiva ke faring.

Kumpulan jaringan limfoid di dalam submukosa di belakang muara tuba auditiva

disebut tonsila tubaria.3,4

8
2. Orofaring

Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah palatum mole,

batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan

ke belakang adalah vertebra servikal. Orofaring mempunyai atap, dasar, dinding

anterior, dinding posterior, dan dinding lateral. Bagian atap dibentuk oleh

permukaan bawah palatum molle dan isthmus pharygeus. Kumpulan kecil jaringan

limfoid terdapat di dalam submukosa permukaan bawah palatum molle. Bagian

dasar dibentuk oleh sepertiga posterior lidah dan celah antara lidah dan permukaan

anterior epiglotis.3,4

Membran mukosa yang meliputi sepertiga posterior lidah berbentuk irregular,

yang disebabkan oleh adanya jaringan limfoid di bawahnya, yang disebut tonsil

linguae. Membran mukosa melipat dari lidah menuju ke epiglotis.Pada garis tengah

terdapat elevasi, yang disebut plica glossoepiglotica mediana, dan dua plica glosso

epiglotica lateralis. Lekukan kanan dan kiri plica glosso epiglotica mediana disebut

vallecula. Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus

oropharynx (isthmus faucium). Di bawah isthmus ini terdapat pars pharyngeus

linguae. Dinding posterior disokong oleh corpos vertebra cervicalis kedua dan

bagian atas corpus vertebra cervicalis ketiga. Pada kedua sisi dinding lateral

terdapat arcus palate glossus dengan tonsila palatina diantaranya.3,4

9
Gambar 2.3 Struktur pada Orofaring3

Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior pharynx,

tonsil palatina, fossa tonsila serta arcus pharynx anterior dan posterior, uvula, tonsil

lingual dan foramen sekum.3

a) Tonsil

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh

jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsila

faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsila lingual yang ketiga-tiganya

membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer.3,4

10
Gambar 2.4 Cincin Waldeyer3

Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja, berbentuk dua massa jaringan

limfoid, masing-masing terletak di dalam cekungan di dinding lateral orofaring di

antara arcus palatoglossus (pilar anterior) dan palatofaringeus (pilar posterior),

yang disebut Fossa tonsilaris. Setiap tonsil diliputi oleh membrana mucosa, dan

permukaan medialnya yang bebas menonjol ke dalam faring. Permukaannya

berbintik-bintik yang disebabkan oleh banyak muara keleniar, yang terbuka ke

kripta tonsillaris. Permukaan lateral tonsila palatina diliputi oleh kapsula fibrosa.2,3,4

Kapsula ini dipisahkan dari musculus konstriktor faringis superior oleh jaringan

areolar jarang, vena palatina eksterna berjalan turun dari palatum mo1le di dalam

jaringan ikat jarang untuk bergabung dengan pleksus venosus faringeus. Lateral

terhadap musculus konstriktor faringes superior terdapat musculus styloglossus,

lengkung arteria facialis dan arteria carotis interna.2,3,4

Pilar anterior dan posterior membentuk bagian depan dan belakang ruangan

peritonsil. Bagian atas ruangan ini berhubungan dengan torus tubarius, di bagian

bawah dibatasi oleh sinus piriforis. Ruangan peritonsil diisi oleh jairngan ikat

11
longgar, infeksi yang berat dapat dengan cepat membentuk pus. Inflamasi dan

proses supuratif dapat meluas dan mengenai palatum mole, dinding lateral faring,

dan jarang sekali ke basis lidah.2,3,4

Gambar 2.5 Ruangan Peritonsil2

Tonsila palatina mencapai ukuran maksimum pada masa kanak-kanak dan

ukurannya menjadi sangat berkurang pada saat dewasa.

Tonsil dibatasi oleh :1

- Lateral : muskulus konstriktor faring superior

- Anterior : muskulus palatoglosus

- Posterior : muskulus palatofaringeus

- Superior : palatum mole

- Inferior : tonsil lingua

12
Vaskularisasi Tonsil

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu

:1,3-6

- Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan

arteri palatine asenden.

- Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden

- Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal

- Arteri faringeal asenden.

Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan

bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut

diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal

asenden dan arteri palatina desenden. Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian

luar m.konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole.

Arteri palatina asenden, mengirimkan cabang-cabang melalui m.konstriktor

superior melalui tonsil. Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke

tonsil melalui bagian luar m.konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke

pangkal lidah dan mengirimkan cabangnya ke tonsil, pilar anterior, dan pilar

posterior. Arteri palatina desenden atau arteri palatina minor atau arteri palatina

posterior memperdarahi tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk

anastomosis dengan arteri palatine asenden.1,6

13
Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari

faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan

pleksus faring.1,3,4

Gambar 2.6 Vaskularisasi Tonsil1,6

14
Gambar 2.7 Vaskularisasi Tonsil5

Inervasi Tonsil

Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V (nervus trigeminus)

melalui ganglion sfenopalatina dan bagian bawah mendapat sensasi dari cabang

saraf ke IX (nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine

nerves.1,5,6

Aliran Limfe Tonsil

Limfe mengalir dari tonsil ke nodi lymphoidei cervicales profundi bagian atas,

tepat di bawah dan di belakang angulus mandibulae.1,5

15
Gambar 2.8 Aliran Limfe Tonsil4

3. Laryngofaring

Laryngofaring terletak di belakang aditus larynges dan permukaan posterior

larynx, dan terbentang dari pinggir atas epiglottis sampai dengan pinggir bawah

cartilage cricoidea. Laryngofaring mempunyai dinding anterior, posterior dan

lateral. Dinding anterior dibentuk oleh aditus laryngis dan membran mukosa yang

meliputi permukaan posterior laring. Dinding posterior disokong oleh corpus

vertebra cervicalis ketiga, keempat, kelima, dan keenam. Dinding lateral disokong

oleh cartilage thyroidea dan membrane thyrohyoidea. Sebuah alur kecil tetapi

penting pada membrana, disebut fossa piriformis, terletak di kanan dan kiri aditus

laryngis.3,4

II.2. Histologi dan Fisiologi Tonsil

Secara mikroskopis tonsil memiliki tiga komponen yaitu jaringan ikat,

jaringan interfolikuler, dan jaringan germinativum. Jaringan ikat berupa trabekula

yang berfungsi sebagai penyokong tonsil. Trabekula merupakan perluasan kapsul

16
tonsil ke parenkim tonsil. Jaringan ini mengandung pembuluh darah, saraf, dan

saluran limfatik efferent. Permukaan tonsil ditutupi oleh epitel statified squamous.

Jaringan germinativum terletak di bagian tengah jaringan tonsil, merupakan sel

induk pembentukan sel-sel limfoid. Jaringan interfolikel terdiri dari jaringan

limfoid dalam berbagai tingkat pertumbuhan.4,6

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid yang

mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh pada orang

dewasa. Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel

membran), makrofag,sel dendrit dan antigen presenting cells) yang berperan

dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi APCs (sintesis

immunoglobulin spesifik). Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan

sel pembawa IgG.1,2,3,6

Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk

diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2

fungsi utama yaitu:6

- Menangkap dan mengumpulkan benda asing dengan efektif.

- Tempat produksi antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma yang berasal dari

diferensiasi limfosit B.

Limfosit terbanyak ditemukan dalam tonsil adalah limfosit B. Bersama-

sama dengan adenoid, limfosit B berkisar 50-65% dari seluruh limfosit pada

kedua organ tersebut. Limfosit T berkisar 40% dari seluruh limfosit tonsil dan

adenoid. Tonsil berfungsi mematangkan sel limfosit B dan kemudian menyebarkan

sel limfosit terstimulus menuju mukosa dan kelenjar sekretori di seluruh tubuh.

17
Antigen dari luar ketika kontak dengan permukaan tonsil akan diikat dan dibawa

sel mukosa (sel M), antigen presenting cells (APCs), sel makrofag dan sel dendrit

yang terdapat pada tonsil ke sel Th di sentrum germinativum. Kemudian sel Th ini

akan melepaskan mediator yang akan merangsang sel B. Sel B membentuk

imunoglobulin IgM pentamer diikuti oleh pembentukan IgG dan IgA. Sebagian sel

B menjadi sel memori.1,2,3,6

Imunoglobulin IgG dan IgA secara fasif akan berdifusi ke lumen. Bila

rangsangan rendah, antigen akan dihancurkan oleh makrofag. Bila konsentrasi

antigen tinggi akan menimbulkan respon proliferasi sel B pada sentrum

germinativum sehingga tersensititasi terhadap antigen, mengakibatkan terjadinya

hyperplasia struktur seluler. Regulasi respon imun merupakan fungsi limfosit T

yang akan mengontrol proliferasi sel dan pembentukan imunoglobulin. Aktivitas

tonsil paling maksimal antara umur 4 sampai 10 tahun. Tonsil mulai mengalami

involusi pada saat puberitas, sehingga produksi sel B menurun dan rasio sel T

terhadap sel B relatif meningkat. Pada Tonsilitis yang berulang dan inflamasi epitel

kripta retikuler terjadi perubahan epitel squamous stratified yang mengakibatkan

rusaknya aktifitas sel imun dan menurunkan fungsi transport antigen. Perubahan

ini menurunkan aktifitas lokal sistem sel B, serta menurunkan produksi antibodi.

Kepadatan sel B pada sentrum germinativum juga berkurang.1,2,3,6

18
II.3. Abses Peritonsiler

II.3.1 Definisi dan Epidemiologi

Abses peritonsil atau Quinsy adalah suatu infeksi akut dan berat di daerah

orofaring berupa sekresi purulen yang terakumulasi di dalam ruangan antara kapsul

fibrosa tonsil palatine dan M. konstriktor superior faringeal.1,2

Abses peritonsiler merupakan salah satu infeksi leher dalam yang paling

umum, kira-kira 30% dari abses leher dalam. Tonsilitis, selulitis peritonsiler, dan

abses peritonsiler merupakan spektrum progresifitas penyakit dari bentuk yang

paling ringan ke paling berat. Sekalipun sudah di era antibiotika, abses peritonsiler

masih sering ditemukan dengan jumlah yang menurun menjadi 18% di United

Kingdom dalam sepuluh tahun terahir.1,2

Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering

terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka

yang menurun sistem imunnya dengan prevalensi sekitar 25-30%. Kasus pediatrik

lebih sering terjadi pada anak-anak yang berusia lebih dari 10 tahun Infeksi ini

memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan.1,2

Pada penelitian di seluruh dunia dilaporkan insidensi abses peritonsil

ditemukan pada 10-37 per 100.000 orang. Di Amerika, dilaporkan 30 kasus per 100

orang per tahun, 45.000 kasus baru per tahun. Sedangkan di Eropa, 41 kasus per

100.000 populasi adalah insiden rata-rata tahunan yang diperkirakan. Data yang

akurat secara internasional belum dilaporkan. Letak abses peritonsiler biasanya

unilateral, bilateral jarang ditemukan. Frekuensi aktual abses peritonsilar bilateral

19
tidak diketahui; Namun, angka ini dilaporkan bervariasi dari 1,9% hingga 24% pada

kasus tonsilektomi quinsy.1,2,7

Gambar 2.9. Tonsillitis akut (kiri) dan abses paratonsil (kanan)13

II.3.2 Etiologi

Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsillitis akut, sehingga biasanya

kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, yaitu kuman aerob dan anaerob.

Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsil adalah

Streptococcus pyogene (Grup A,B,C,G beta-hemolitik streptococci), Hemophilus

influenza (tipe b dan non-tipikal), Staphylococcus aureus, Haemophilus

parainfluenzae, Neisseria sp., dan Mycobacteria sp. Sedangkan kuman anaerob

yaitu Fusobacterium Peptostreptococcuse, Streptococcus sp., dan Bacteroides.

Virus penyebab antara lain Eipsten-Barr Adenovirus, Influenza A dan B, Herpes

simplex, Parainfluenza.1,2,8

20
Variabel klinis lain yang terkait dengan pembentukan abses peritonsil

termasuk penyakit periodontal yang signifikan dan merokok.8

II.3.3 Patofisiologi

Abses peritonsil biasanya terjadi sebagai akibat komplikasi tonsillitis akut,

walaupun dapat terjadi tanpa infeksi tonsil sebelumnya. Infeksi memasuki kapsul

tonsil sehingga terjadi peritonsilitis dan kemudian terjadi pembentukan nanah.

Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah daerah pilar anteroposterior,

fosa piriform inferior, dan palatum inferior. Daerah superior dan lateral fosa

tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi ke ruang

potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole

membengkak. 1,2

Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada

stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga

permukaan yang hiperemis. Bila proses tersebut berlanjut, terjadi supurasi sehingga

daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan

peritonsil akan mendorong tonsil ke tengah, depan, bawah, dan uvula yang bengkak

akan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan

jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada M. pterigoid interna, sehingga

timbul trismus.1,2

Kelenjar Weber adalah kelenjar mukus yang terletak di atas kapsul tonsil,

kelenjar ini mengeluarkan air liur ke permukaan kripta tonsil. Kelenjar ini bisa

tertinggal pada saat tonsilektomi, sehingga dapat menjadi sumber infeksi setelah

tonsilektomi. Dilaporkan bahwa penyakit gigi dapat memegang peranan dalam

21
etiologi abses peritonisl karena mengalami peningkatan pada penyakit periodontal

dibandingkan tonsilitis rekuren.1,2,13

II.3.4 Manifestasi Klinis

Nyeri tenggorok yang hebat (Odinofagi) dapat merupakan gejala menonjol,

dan pasien mungkin mendapatkan kesulitan untuk makan bahkan menelan ludah.

Karena tidak dapat mengatasi sekresi ludah, terjadi hipersalivasi dan ludah

seringkali menetes keluar. Keluhan lainnya berupa mulut berbau (foetor ex ore),

muntah (regurgitasi), sampai nyeri alih ke telinga (otalgi) sisi ipsilateral. Trismus

akan muncul bila infeksi meluas mengenai otot-otot pterigoid.1,2,8,13

Pemeriksaan fisik kadang-kadang sukar dilakukan, karena adanya trismus.

Gejala yang klasik adalah trismus, suara bergumam yang disebut hot potato voice,

uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Demam juga ditemukan. Palatum

mole tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Tonsil

bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan,

dan bawah. Palpasi kelenjar limfe servikal dapat dijumpai adanya

limfadenitis.1,2,8,13

22
Gambar 2.10 Abses peritonsillar sisi kanan. Tampak pembengkakan palatum mole dan
defiasi uvula.13

II.3.5 Diagnosis

Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis riwayat penyakit, gejala klinis, dan

pemeriksaan fisik. Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan

diagnosis. Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau punksi

merupakan tindakan diagnosis yang akurat (gold standard) untuk memastikan abses

peritonsil. Untuk mengetahui jenis kuman pada abses peritonsil tidak dapat

dilakukan dengan cara usap tenggorok.1,2,8

Pemeriksaan secara klinis seringkali sukar dilakukan karena adanya trismus.

Palatum molle tampak menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Tonsil bengkak,

hiperemis, mungkin banyak detritus, terdorong kearah tengah, depan, dan bawah.

23
Uvula terdorong ke arah kontralateral. Gejala lain untuk diagnosis sesuai dengan

gejala klinisnya.1,2,8,13

Pemeriksaan penunjang akan sangat membantu selain untuk diagnosis, juga

untuk perencanaan penatalaksanaan.1,2,8 Pemeriksaan penunjang yang dapat

dilakukan sebagai berikut :

1. Pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap menunjukkan leukositosis.

2. Pemeriksaan radiologi

a) Foto polos

Foto polos posisi antero-posterior menunjukkan “distorsi” dari jaringan tetapi

tidak berguna untuk menentuan pasti lokasi abses.2

b) Computed Tomography (CT)

CT-Scan dengan peningkatan media kontras dapat digunakan untuk

menunjukkan keberadaan dan luasnya abses. Pada tonsil dapat terlihat daerah yang

hipodens, yang menandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena, di samping itu

juga dapat dilihat pembesaran yang asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini dapat

membantu untuk rencana operasi. Selain secara akurat mendiagnosis abses

peritonsiler, CT dapat mendeteksi potensi gangguan jalan napas dan menunjukkan

penyebaran infeksi ke ruang leher dalam yang berdekatan.1,2,8

24
Gambar 2.11 Hasil Computed tomography menunjukkan abses peritonsillar sisi kanan7

Gambar 2.12 Klasifikasi berdasarkan bentuk abses. (A) Jenis oval menunjukkan abses bulat
(panah). (B) Jenis Cap menunjukkan abses bulan sabit (panah)8

25
c) Ultrasonografi intraoral

Pemeriksaan ini merupakan teknik sederhana dan non-invasif yang dapat secara

akurat mengidentifikasi dan membedakan selulitis dari abses. Mayoritas kasus yang

diperiksan menampakkan gambaran cincin isoechoic dengan gambaran central

hypoechoic.1,2

A B

Gambar 2.13. (A) USG transcervical menunjukkan contoh phlegmon peritonsillar


kiri dengan abses intratonsillar kecil (*). Panah menunjukkan batas yang tidak jelas
dan peningkatan echogenisitas jaringan lunak di sekitarnya yang menunjukkan
perubahan inflamasi yang signifikan. (B) Ultrasonografi transcervical yang
menunjukkan contoh abses peritonsilar kiri, yang relatif lateral terhadap jaringan
tonsil dan dalam ke kelenjar submandibular (*).10
d) MRI
Jika ada kecurigaan bahwa infeksi telah menyebar di luar ruang peritonsillar atau

jika ada komplikasi yang melibatkan ruang leher lateral, diperlukan Magnetic

Resonance Imaging (MRI). Infeksi leher lateral harus dicurigai jika ada

pembengkakan atau indurasi di bawah sudut mandibula atau tonjolan medial

dinding faring. MRI lebih unggul dari CT untuk identifikasi jaringan lunak dan

karena itu MRI lebih baik dalam mendeteksi komplikasi dari infeksi leher dalam,

26
seperti trombosis vena jugularis internal atau erosi abses ke dalam selubung karotis.

Kerugian MRI yaitu waktu pemindaian lebih lama, biaya lebih tinggi, dan potensi

claustrophobia.8

Gambar 2.14 Pencitraan MRI kranial, potongan sagital dengan kontras, menunjukkan
lesi berbentuk bulat di lobus frontal kiri (panah). Ventrikel lateral kiri juga melebar dan
menonjol.11

II.3.6 Diagnosis Banding

Penonjolan satu atau kedua tonsil, atau setiap pembengkakan pada daerah

peritonsiler harus dipertimbangkan penyakit lain selain abses peritonsil sebagai

diagnosis banding. Penyakit lain seperti infeksi mononukleosis, benda asing, tumor

/ keganasan / limfoma, penyakit Hodgkin leukemia, adenitis servikal, aneurisma

arteri karotis interna, dan infeksi gigi. Tidak ada kriteria spesifik yang dianjurkan

untuk membedakan selulutis dan abses peritonsil. Karena disepakati bahwa apabila

penderita dengan gejala infeksi daerah peritonsil harus menjalani aspirasi/punksi.

Apabila hasil aspirasi positif terdapat pus, maka penatalaksanaan selanjutnya dapat

27
dilakukan. Bila hasil aspirasi negatif tidak terdapat pus, maka pasien mungkin dapat

didiagnosis sebagai selulitis peritonsil.13,14,15

II.3.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan harus segera dilakukan dan adekuat untuk mencegah

obstruksi pernafasan dan mencegah meluasnya abses ke ruang parafaring,

mediastinum dan basis kranii. Drainase, terapi antibiotik, dan terapi suportif untuk

mempertahankan hidrasi dan kontrol nyeri adalah landasan pengobatan untuk abses

peritonsillar. Aspirasi jarum saja dapat digunakan sebagai drainase prosedur

pembedahan awal karena tingkat resolusi dengan teknik ini adalah 94-96%. Pada

54% kasus abses peritonsil, penanganannya menggunakan teknik insisi dan

drainase, 32% digunakan jarum aspirasi, dan 14% dilakukan tonsilektomi. Sebelum

jaman antibiotika dikenal pada akhir 1930-an dan wal 1940-an, bebetapa tipe

pembedahan telah digunakan pada sebagian besar kasus abses peritonsil.13,14

1. Drainase

Tujuan utama tindakan ini adalah mendapatkan drainase abses yang adekuat

dan terlokalisir secara cepat. Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada

pembengkakan di daerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah paling

berfluktuasi. Beberapa jenis prosedur drainase sesuai untuk sebagian besar pasien

yang datang dengan abses peritonsillar. Prosedur utama termasuk aspirasi jarum,

insisi, atau tonsilektomi.8

a) Aspirasi jarum

28
Manajemen bedah akut abses peritonsillar telah berkembang dari tonsilektomi

langsung menjadi insisi dan drainase atau aspirasi jarum. Aspirasi peritonsiler

adalah teknik yang cocok untuk dokter keluarga dengan pelatihan yang tepat.

Drainase atau aspirasi harus dilakukan dengan memperhatikan pengelolaan

komplikasi jalan nafas dan memastikan pasien mendapat asupan cairan oral yang

adekuat beberapa jam setelah tindakan ini.1,2,8

Beberapa keuntungan dari evaluasi penatalaksanaan aspirasi jarum

dibandingkan insisi dan drainase adalah:15

 Mudah untuk dilakukan , sederhana, aman, dan murah.

 Dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis dengan trauma minimal.

 Dapat ditoleransi oleh penderita / tidak menakutkan.

 Tidak / kurang mencederai struktur jaringan sekitar.

 Lebih memudahkan untuk mengumpulkan specimen / pus guna

pemeriksaan mikroskopis dan tes kultur / sensitifitas.

 Memberikan penyembuhan segera, mengurangi kesakitan.

 Mencegah prosedur bedah dan anastesi umum.

 Merupakan prosedur yang dapat dipercaya untuk abses peritonsil.

Kerugian terapi dengan drainase dengan aspirasi jarum adalah :15

 Bila pus terkumpul kembali dapat menyebabkan infeksi berulang.

 Tidak dapat melakukan pemberisihan kantung pus secara maksimal

 Pus yang tersisa tidak maksimal keluar sehingga menyebabkan proses

penyembuhan lama.

29
Dokter harus menyadari hubungan anatomi yang penting ketika melakukan

aspirasi jarum. Jika seorang dokter merasa tidak nyaman dengan aspirasi abses,

antibiotik yang tepat dan cairan intravena harus diberikan sambil menunggu

konsultasi dari otolaringologi. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotik dosis

tinggi (golongan peniciline dan metronidazole), dan obat simtomatik. Juga perlu

kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher. Teknik aspirasi

dengan jarum pada abses peritonsiler antara lain :1,2,8

- Pastikan keamanan jalan napas

- Periksa apakah tersedia pencahayaan dan suction yang memadai.

- Meminta pasien untuk duduk sedikit ke depan dan setinggi mata dokter.

- Lakukan palpasi palatum mole dengan lembut untuk melokalisasi area yang

berfluktuasi.

- Aplikasikan anestesi topikal menggunakan Cetacaine spray.

- Tunggu beberapa menit hingga anestesi topikal mulai bekerja, kemudian

buatkan 6 mL hingga 10 mL lidokain 1% hingga 2% dengan epinefrin. Atau

2 cc Xilocain dengan adrenalin (1/100.000).

- Gunakan jarum 25 ½ inci untuk menyuntikkan anestesi lokal ke dalam

mukosa di atas area yang berfluktuasi.

- Menekan lidah menggunakan spatel lidah.

- Masukkan jarum spinal ukuran 18 yang ditempelkan pada jarum suntik 10

mL ke dalam daerah dengan fluktuasi maksimum dan aspirasi.

- Jangan memasukkan jarum lebih dari 8 mm.

- Jika positif untuk nanah, aspirasi sampai tidak ada nanah yang kembali.

30
- Jika negatif untuk nanah, tarik jarum dan ulangi sedikit lebih rendah;

- Hati-hati terhadap arteri karotid yang terletak 2 cm posterior dan lateral dari

pilar tonsil, dan risiko tusukan meningkat semakin rendah jarum diarahkan.

- Jika aspirasi tidak berhasil, lakukan pemeriksaan radiologi untuk

mengonfirmasi keberadaan abses dan melakukan konsultasi ke spesialis

THT untuk kemungkinan insisi dan drainase yang sesuai.

Gambar 2.15 Teknik aspirasi dengan jarum (Ketika melakukan aspirasi jarum untuk
abses peritonsillar, dokter harus menyadari hubungan anatomi yang penting, terutama
arteri karotis, yang terletak posterior dan lateral tonsil. Untuk menghindari struktur ini,
insersi harus berada di kutub superior tonsil, tidak terlalu lateral, dan pada kedalaman ≤ 8
mm.)8

b) Insisi

Pada penderita yang sadar, tindakan dapat dilakukan dengan posisi duduk

menggunakan anastesi local. Anastesi dapat dilakukan pada cabang tonsillar dari

31
nervus glossofaringeus (N.IX) yang memberikan inervasi sensoris mayoritas pada

daerah ini, dengan menyuntikkan lidokain melalui mukosa ke dalam fosa tonsil.

Pada penderita yang memerlukan anastesi umum, posisi penderita saat tindakan

adalah kepala lebih rendah (trendelenberg) menggunakan ETT. Anastesi topical

dapat berupa xylocaine spray atau menggunakan lidokain 4-5% atau tetrakain 2%

untuk mencegah keterlibatan jaringan tonsil yang lain.16

Setelah dilakukan aspirasi terlebih dahulu untuk memastikan adanya pus,

kemudian pisau tonsil no 12 atau no 11 dengan plester untuk mencegah penetrasi

yang dalam, digunakan untuk membuat insisi melalui mukosa dan submukosa dekat

kutub atas fosa tonsilaris.1,2,8 Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada :

- Dipalpasi pada daerah yang paling fluktuatif dan paling menonjol,

- Pada titik yang terletak dua pertiga dari garis khayal yang dibuat antara dasar

uvula dengan molar terakhir pada sisi yang sakit,

- Pada pertengahan garis horizontal antara pertengahan basis uvula dan molar

3 atas.

32
Gambar 2.16 Lokasi Insisi12

Hemostat tumpul dimasukkan melalui insisi ini dan dengan lembut

direntangkan. Suction tonsil sebaiknya segera disediakan untuk mengumpulkan pus

yang dikeluarkan. Tindakan ini diperlukan untuk mencegah aspirasi yang dapat

mengakibatkan timbulnya pneumonitis. Biasanya bila insisi dibuat tidak cukup

dalam, harus lebih dibuka lagi dan diperbesar. Setelah cukup banyak pus yang

keluar dan lubang insisi cukup besar, penderita kemudian disuruh berkumur dengan

asntiseptik dan diberi terapi antibiotika.14

Umumnya setelah drainase terjadi, rasa nyeri akan segera berkurang. Pus yang

keluar juga sebaliknya diperiksakan untuk tes kultur dans ensitifitas, biasanya

diambil saat aspirasi untuk diagnosis.1,8

33
Gambar 2.17. Teknik Insisi12

Jika terdapat trismus, maka untuk mengatasi rasa nyeri, diberikan analgesik

(lokal), dengan menyuntikkan xylocain atau novocain 1% di ganglion

sfenopalatinum. Ganglion ini terletak di bagian belakang atas lateral dari konka

media. Ganglion sfenopalatinum mempunyai cabang n. palatina anterior, media dan

posterior yang mengirimkan cabang aferennya ke tonsil dan palatum molle di atas

tonsil. Daerah yang paling tepat untuk insisi mendapat inervasi dari cabang palatine

m. trigeminus yang melewati ganglion sfenopalatinum.1,8

c) Tonsilektomi

Meskipun tidak lagi dilakukan secara rutin, tonsilektomi langsung harus

dipertimbangkan pada pasien dengan indikasi absolut, yaitu orang yang menderita

abses peritonsiler berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.

Tingkat kekambuhan pada mereka yang memiliki riwayat tonsilitis berulang

34
(terutama anak-anak) mencapai 40% dibandingkan dengan 10% hingga 15% pada

rata-rata pasien tanpa riwayat tonsilitis berulang.1,8

Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada

abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6-8 minggu

kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan

sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera. Bila tonsilektomi dilakukan

bersama-sama dengan tindakan drainase abses maka disebut tonsilektomi “a

chaud”, bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses disebut

tonsilektomi “a tiede” dan bila tonsilektomi dilakukan 4-6 minggu sesudah drainase

abses disebut tonsilektomi “a froid”. Biasanya tonsilektomi dilakukan sesudah

infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.1,8

Pada umummnya insisi dan drainase diikuti dengan tonsilektomi 6-12 minggu

kemudian adalah prosedur terapi abses peritonsil. KY Wen merekomendasikan

bahwa pasien harus dilakukan operasi 2-3 hari setelah infeksi terkontrol jika ukuran

luka pada abses yang pecah spontan kurang dari 2,5 cm. namun, bila ukuran luka

pada abses yang pecah spontan lebih dari 2.5 cm maka tindakan operasi harus

dilakukan segera dengan tetap memperhatikan kondisi umum dan komplikasi

sistemik pada pasien.13

Indikasi tonsilektomi segera, yaitu:15

 Abses peritonsil yang tidak dapat diinsisi dan drainase karena trismus

atau abses yang berlokasi di kutub bawah.

 Abses peritonsil yag meluas dari hipofaring ke daerah parafaring

dengan resiko meluas ke daerah leher dalam.

35
 Penderita dengan Diabetes Melitus yang memerlukan toleransi teradap

terrapin berbagai antibiotika

 Penderita di atas 5 tahun dengan tonsil-tonsil yang melekat, karena

abses akan sangat mudah meluas ke daerah dalam.

2. Terapi Antibiotik

Abses peritonsiler adalah infeksi polimikroba dari bakteri aerob dan anaerob.

Grup A streptococcus dan Streptococcus (sub-grup viridans Streptococci) adalah

aerob yang paling umum diisolasi dan ditemukan dari kultur, sedangkan

Fusobacterium necrophorum adalah anaerob yang dominan. Terapi antibiotik

empiris awal harus mencakup antimikroba yang efektif melawan streptokokus dan

anaerob oral. Hampir ada sensitifitas universal spesies streptococcus terhadap

penisilin, dan beberapa penelitian menunjukkan efektivitas klinis penisilin

intravena setelah drainase abses yang adekuat. Namun, ada kekhawatiran yang

berkembang tentang sifat polimikroba abses peritonsiler. Laporan kultur

menunjukkan tingkat resistensi penisilin lebih dari 50% di antara patogen selain

streptococcus yang ditemukan pada abses peritonsiler, yang menyebabkan

penggunaan rutin antibiotik spektrum luas sebagai terapi lini pertama. Makrolida

harus dihindari karena resistensi Fusobacterium.1,8 Berikut pilihan terapi antibiotik

untuk abses peritonsiler :8

a) Terapi Intravena13

- Penisilin G, 10 juta unit setiap 6 jam, ditambah metronidazole (Flagyl), 500 mg

setiap 6 jam.

- Ampisilin / sulbaktam (Unasyn), 3 g setiap 6 jam.

36
- Sefalosporin generasi ketiga (mis., Ceftriaxone, 1 g setiap 12 jam) ditambah

metronidazol, 500 mg setiap 6 jam.

- Piperacillin / tazobactam (Zosyn), 3,375 g setiap 6 jam (dosis harian maksimum

18 g).

- Jika alergi penisilin, maka klindamisin, 900 mg setiap 8 jam.

- Jika terdapat MRSA (Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus), maka

vankomisin, 1 g setiap 12 jam, ditambah metronidazole, 500 mg setiap 6 jam.

b) Terapi Oral

- Penisilin VK, 500 mg setiap 6 jam, ditambah metronidazol, 500 mg setiap 6 jam.

- Amoksisilin / klavulanat (Augmentin), 875 mg setiap 12 jam.

- Sefalosporin generasi ketiga (mis., Cefdinir [Omnicef], 300 mg setiap 12 jam)

ditambah metronidazol, 500 mg setiap 6 jam.

- Clindamycin, 300 hingga 450 mg setiap 8 jam.

- Jika terdapat MRSA (Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus), maka

linezolid (Zyvox), 600 mg setiap 12 jam, ditambah metronidazol, 500 mg setiap

6 jam.

Terapi harus dilanjutkan selama 10 hingga 14 hari.

3. Tatalaksana pasien rawat inap dan rawat jalan

Pasien dengan abses peritonsillar dapat dirawat sebagai pasien rawat jalan, tetapi

sebagian kecil mungkin memerlukan rawat inap. Indikasi paling umum untuk rawat

inap adalah adanya dehidrasi, ketidakmampuan untuk mengelola asupan cairan

oral, masalah jalan napas (kissing tonsils), dan kegagalan manajemen rawat jalan.

Kondisi komorbid lain yang memerlukan penatalaksanaan rawat inap termasuk

37
diabetes mellitus, penyakit imunosupresif, penggunaan obat imunosupresif kronis

(termasuk penggunaan kortikosteroid yang lama), atau tanda-tanda sepsis.8

Tingkat komplikasi lebih tinggi pada pasien 40 tahun atau lebih tua

dibandingkan dengan pasien yang lebih muda. Lama rawat di rumah sakit rata-rata

dua hingga empat hari untuk semua pasien. Jika diputuskan untuk tatalaksana rawat

jalan, maka pasien harus diamati selama beberapa jam setelah drainase abses untuk

memastikan kemampuan mentolerir cairan oral, antibiotik, dan obat pereda nyeri.

Pasien harus terus dipantau secara ketat dalam waktu 24 hingga 36 jam.8

4. Terapi Kortikosteroid

Gejala akut abses peritonsillar terjadi akibat peradangan dan edema palatum

mole. Meskipun kortikosteroid telah digunakan untuk mengobati edema dan

peradangan pada penyakit otolaringologis lainnya, penggunaannya sebagai bagian

dari rejimen pengobatan untuk abses peritonsiler belum diteliti secara luas.8

Dua penelitian kecil menyelidiki apakah penambahan dosis kortikosteroid

tunggal diberikan secara intramuskuler atau intravena (metilprednisolon, 2 hingga

3 mg per kg hingga 250 mg, atau deksametason, 10 mg) akan mempercepat

pemulihan. Hasilnya, pasien yang menerima kortikosteroid melaporkan penurunan

rasa sakit dan peningkatan asupan cairan oral dalam waktu 12 hingga 24 jam

dibandingkan dengan pasien yang tidak menerima kortikosteroid. Kelainan ini

tampaknya menghilang setelah 48 jam.8

Penggunaan kortikosteroid secara empiris untuk pengobatan abses peritonsillar

tampaknya mempercepat pemulihan seperti waktu rawat inap yang lebih singkat

dan resolusi nyeri yang lebih cepat. Namun, penelitian tambahan diperlukan

38
sebelum penggunaan rutin kortikosteroid terutama mengenai protokol

pengobatan.8,12

Berikut adalah rekomendasi tatalaksana abses peritonsiler berdasarkan bukti

klinis:

Tabel 2.1 Rekomendasi tatalaksana abses peritonsiler berdasarkan bukti klinis8


Rekomendasi klinis Bukti

Beberapa jenis prosedur drainase adalah perawatan yang tepat C

untuk sebagian besar pasien yang datang dengan abses

peritonsiler.

Antibiotik spektrum luas yang efektif terhadap streptokokus grup C

A dan anaerob oral harus dipertimbangkan sebagai lini pertama

setelah drainase abses, walaupun beberapa bukti menunjukkan

bahwa penisilin saja mungkin sudah cukup.

Kortikosteroid mungkin berguna dalam mengurangi gejala dan B

mempercepat pemulihan pada pasien dengan abses peritonsiler.

Keterangan : A = konsisten, bukti berorientasi pasien berkualitas baik; B = bukti berorientasi pasien
yang tidak konsisten atau terbatas kualitasnya; C = konsensus, bukti berorientasi penyakit, praktik
biasa, pendapat ahli, atau seri kasus.

II.3.7 Komplikasi

Mengenali infeksi dengan segera dan memulai terapi penting untuk

menghindari kemungkinan komplikasi serius. Jika dokter tidak berpengalaman

dalam mengobati abses peritonsiler, atau komplikasi muncul selama perawatan,

maka perlu dikonsultasikan kepada ahli THT.1,2,4,8

39
Komplikasi segera yang dapat terjadi berupa dehidrasi karena masukan makanan

yang kurang. Abses pecah spontan, mengakibatkan terjadi perdarahan (akibat erosi

atau nekrosis septik pada selubung karotis), aspirasi paru atau pyemia, penjalaran

infeksi abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses parafaring, penjalaran ke

daerah intrakranial dapat mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis dan

abses otak. Pada keadaan ini, bila tidak ditangani dengan baik maka akan

menghasilkan gejala sisa neurologis yang fatal.1,2,4,8

Komplikasi lain yang mungkin timbul akibat penyebaran abses adalah

endokarditis, glomerulonefritis, dan peritonitis juga pernah ditemukan.

Pembengkakan yang timbul di daerah supraglotis dapat menyebabkan obstruksi

jalan nafas yang memerlukan tindakan trakeostomi. Keterlibatan ruang-ruang

faringomaksilaris dalam komplikasi abses peritonsil mungkin memerlukan drainase

dari luar melalui segitiga submandibular.1,2,4,8

II.3.8 Prognosis

Pemberian antibiotik yang adekuat dan drainase abses merupakan

penanganan yang kebanyakan hasilnya baik, dalam beberapa hari terjadi

penyembuhan. Bila pasien tetap mengeluh sakit tenggorok setelah insisi abses,

maka tonsilektomi menjadi indikasi. Kekambuhan abses peritonsil pada usia di

bawah 30 tahun lebih seringg terjadi, demikian juga bila sebelumnya menderita

tonsilitis sampai 5 episode.2,13

40
BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Abses peritonsiler adalah sekresi purulen yang terakumulasi di dalam ruangan

antara kapsul fibrosa tonsil palatine dan M. konstriktor superior faringeal. Abses

peritonsiler merupakan salah satu infeksi leher dalam yang paling umum, kira-kira

30% dari abses leher dalam. Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsillitis akut,

sehingga biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, yaitu kuman

aerob dan anaerob.

Abses peritonsil biasanya terjadi sebagai akibat komplikasi tonsillitis akut,

walaupun dapat terjadi tanpa infeksi tonsil sebelumnya. Nyeri tenggorok yang hebat

(Odinofagi) dapat merupakan gejala menonjol, selain itu juga ditandai dengan

hipersalivasi, mulut berbau (foetor ex ore), muntah (regurgitasi), nyeri alih ke

telinga (otalgi) sisi ipsilateral, rismus (bila infeksi meluas mengenai otot-otot

pterigoid), suara bergumam yang disebut hot potato voice, uvula bengkak dan

terdorong ke sisi kontralateral.

Diagnosis dibuat berdasarkan riwayat penyakit, gejala klinis, dan pemeriksaan

fisik. Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau punksi

merupakan tindakan diagnosis yang akurat (gold standard) untuk memastikan abses

peritonsil. Pemeriksaan penunjang yang akurat adalah CT-Scan. Selain secara

akurat mendiagnosis abses peritonsiler, CT dapat mendeteksi potensi gangguan

jalan napas dan menunjukkan penyebaran infeksi ke ruang leher dalam yang

berdekatan.

41
Penatalaksanaan harus segera dilakukan dan adekuat untuk mencegah

obstruksi pernafasan dan mencegah meluasnya abses ke ruang parafaring,

mediastinum dan basis kranii. Drainase, terapi antibiotik, dan terapi suportif untuk

mempertahankan hidrasi dan kontrol nyeri adalah landasan pengobatan untuk abses

peritonsillar. Tonsilektomi diindikasikan pada orang yang menderita abses

peritonsiler berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.

Komplikasi segera yang dapat terjadi berupa dehidrasi karena masukan

makanan yang kurang. Abses pecah spontan, mengakibatkan terjadi perdarahan.

Komplikasi lain yang mungkin timbul akibat penyebaran abses adalah endokarditis,

glomerulonefritis, dan peritonitis. Prognosis baik jika pemberian antibiotik yang

adekuat dan drainase abses. Bila pasien tetap mengeluh sakit tenggorok setelah

insisi abses, maka tonsilektomi menjadi indikasi. Kekambuhan abses peritonsil

pada usia di bawah 30 tahun lebih seringg terjadi, demikian juga bila sebelumnya

menderita tonsilitis sampai 5 episode.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Novialdi, Prijadi J. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Abses Peritonsil.

Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas

Kedokteran Universitas Andalas/RSUP Dr. M. Djamil Padang. 2012;

Available from:

http://repository.unand.ac.Id/18155/2/DIAGNOSIS%20DAN%20PENAT

ALAKSANAAN%20ABSES%20PERITONSIL.pdf.

2. Marbun EM. Diagnosis, Tata Laksana dan Komplikasi Abses Peritonsil.

Bagian THT Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana.

Jakarta. 2016; J. Kedokt Meditek Volume 22, No. 60.

3. Snell RS. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta : EGC, 2011.

4. Rusmarjono, Hermani B. Odinofagia. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N,

Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,

Tenggorok, Kepala & Leher. Ed.7. Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta; 2012.

5. Sundariyati GAH. Tonsilitis Kronis Eksaserbasi Akut. Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana. Bali: 2017; Available from:

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/ce84a52f23a3735f

4ce7b202a8877d93.pdf.

6. Novialdi N, Pulungan MR. Mikrobiologi Tonsilitis Kronis. Bagian Telinga

Hidung Tenggorok-Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas

Andalas/RSUP Dr. M.Djamil. Padang; 2012.

43
7. Boon C, Mohamad W, Mohamad I. Bilateral peritonsillar abscess: A rare

emergency. Malaysian Family Physician. 2018; 13(1);41–44. Available

from : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5962234/.

8. Galioto NJ. Peritonsillar Abscess. Broadlawns Medical Center, Des Moines,

Lowa. American Family Physician. 2017; 95 (8); 501-506. Available from

: https://www.aafp.org/afp/2017/0415/p501.html.

9. Kawabata M, Umakoshi M, Makise T, Miyashita K, Harada M, Nagano H,

et al. Clinical Classification Of Peritonsillar Abscess Based On CT And

Indications For Immediate Abscess Tonsillectomy. Auris Nasus Larynx.

2015. Available from : http://dx.doi.org/10.1016/j.anl.2015.09.014.

10. Huang Z, Vintzileos W, Gordish-Dressman H, Bandarkar A, Reilly BK.

Pediatric Peritonsillar Abscess: Outcomes and Cost Savings From Using

Transcervical Ultrasound. Laryngoscope. 2017 Aug; 127(8) : 1924-

1929.2017.

11. Sankararaman S, Maria RS. Romero R, Gonzalez-Toledo R. Brain Abscess

From a Peritonsillar Abscess in an Immunocompetent Child: A Case Report

and Review of the Literature. Pediatric Neurology. 2012; Vol.47, Issue 06,

451-454. Available from : https://www.sciencedirect.com/journal/pediatric-

neurology/vol/47/issue/6.

12. Hur K, Zhou S, Kysh L Adjunct Steroids in the Treatment of Peritonsillar

Abscess: A Systematic Review. The Laryngoscope. 2017.

13. Novialdi, Prijadi J. Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses Peritonsil. Bagian

THT-KL Falkultas Kedokteran Universitas Andalas.2012

44
14. Ming CF. Effycacy of Three Theraupetic Methods fot Peritonsilar Abscess.

Journal of Chainise Clinical Medicine. 2006

15. Braude DA, Shalit M. A novel Approach to Enhace Visualization During

Drainage of Peritonsilar Abscess. The Journal of Emergency Medicine.

2007.

16. Marom T, Cinamon U. Changing Trends of Peritonsilar Abscess. Am J of

Otol HNS.2010

45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63

Anda mungkin juga menyukai