ABSES PERITONSILER
Disusun oleh:
Ayu Amalia
2015-83-042
Pembimbing:
dr. Rodrigo Limmon, Sp. THT-KL., MARS.
AMBON
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
karena atas rahmat-Nya sehingga referat yang berjudul ”Abses Peritonsiler ”dapat
diselesaikan, dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu
Kesehatan THT-KL.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang turut
membantu dalam penyelesaian tugas ini, terutama kepada dokter pembimbing yang
sangat membantu dalam membimbing pembuatan referat ini.
Penulis menyadari akan kekurangan dalam pembuatan referat ini, oleh
karena itu segala kritik dan saran yang membangun penulis perlukan untuk
kesempurnaan referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Ayu Amalia
2
DAFTAR ISI
3
BAB III PENUTUP .............................................................................................32
4
BAB I
PENDAHULUAN
Abses peritonsil adalah salah satu dari abses leher dalam yang paling sering
ditemukan. Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher
dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dan berbagai sumber, seperti gigi,
tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang
terlibat. Gejala dan tanda klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan.1,2
Abses peritonsil dapat terjadi umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi
pada umur 20-40. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun
system imunnya, tapi infeksi ini bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang
signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki
dan perempuan. Bukti menunjukan bahwa tonsillitis kronik atau percobaan multipel
penggunaan antibiotik oral untuk tonsillitis akut merupakan predisposisi pada orang
kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampir
meningitis, abses otak dan obstruksi jalan nafas sehingga merupakan penyakit yang
5
mengancam jiwa dengan morbiditas dan mortalitasnya berkisar antara 1,6 - 40 %,
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Anatomi
II.1.1 Faring
Faring terletak di belakang cavum nasi, mulut, dan laring. Bentuknya mirip
corong dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah cranium dan bagian
enam. Dinding faring terdiri atas tiga lapis yaitu mukosa, fibrosa, dan muscular.3,4
Berdasarkan letak, faring dibagi atas tiga bagian yaitu : nasofaring, orofaring,
dan laringofaring.3,4
7
Gambar 2.2 Pembagian Struktur Faring3
1. Nasofaring
Nasofaring mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding
lateral. Bagian atap dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan pars basilaris ossis
dalam submucosa. Bagian dasar dibentuk oleh permukaan atas palatum molle.
Dinding anterior dibentuk oleh aperture nasalis posterior, dipisahkan oleh pinggir
berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior atlantis.
Dinding ateral pada tiap-tipa sisi mempunyai muara tuba auditiva ke faring.
8
2. Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah palatum mole,
batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan
anterior, dinding posterior, dan dinding lateral. Bagian atap dibentuk oleh
permukaan bawah palatum molle dan isthmus pharygeus. Kumpulan kecil jaringan
dasar dibentuk oleh sepertiga posterior lidah dan celah antara lidah dan permukaan
anterior epiglotis.3,4
yang disebabkan oleh adanya jaringan limfoid di bawahnya, yang disebut tonsil
linguae. Membran mukosa melipat dari lidah menuju ke epiglotis.Pada garis tengah
terdapat elevasi, yang disebut plica glossoepiglotica mediana, dan dua plica glosso
epiglotica lateralis. Lekukan kanan dan kiri plica glosso epiglotica mediana disebut
linguae. Dinding posterior disokong oleh corpos vertebra cervicalis kedua dan
bagian atas corpus vertebra cervicalis ketiga. Pada kedua sisi dinding lateral
9
Gambar 2.3 Struktur pada Orofaring3
tonsil palatina, fossa tonsila serta arcus pharynx anterior dan posterior, uvula, tonsil
a) Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsila
10
Gambar 2.4 Cincin Waldeyer3
Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja, berbentuk dua massa jaringan
yang disebut Fossa tonsilaris. Setiap tonsil diliputi oleh membrana mucosa, dan
kripta tonsillaris. Permukaan lateral tonsila palatina diliputi oleh kapsula fibrosa.2,3,4
Kapsula ini dipisahkan dari musculus konstriktor faringis superior oleh jaringan
areolar jarang, vena palatina eksterna berjalan turun dari palatum mo1le di dalam
jaringan ikat jarang untuk bergabung dengan pleksus venosus faringeus. Lateral
Pilar anterior dan posterior membentuk bagian depan dan belakang ruangan
peritonsil. Bagian atas ruangan ini berhubungan dengan torus tubarius, di bagian
bawah dibatasi oleh sinus piriforis. Ruangan peritonsil diisi oleh jairngan ikat
11
longgar, infeksi yang berat dapat dengan cepat membentuk pus. Inflamasi dan
proses supuratif dapat meluas dan mengenai palatum mole, dinding lateral faring,
12
Vaskularisasi Tonsil
:1,3-6
- Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan
bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut
diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal
asenden dan arteri palatina desenden. Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian
luar m.konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole.
tonsil melalui bagian luar m.konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke
pangkal lidah dan mengirimkan cabangnya ke tonsil, pilar anterior, dan pilar
posterior. Arteri palatina desenden atau arteri palatina minor atau arteri palatina
posterior memperdarahi tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk
13
Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari
faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan
pleksus faring.1,3,4
14
Gambar 2.7 Vaskularisasi Tonsil5
Inervasi Tonsil
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V (nervus trigeminus)
melalui ganglion sfenopalatina dan bagian bawah mendapat sensasi dari cabang
saraf ke IX (nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine
nerves.1,5,6
Limfe mengalir dari tonsil ke nodi lymphoidei cervicales profundi bagian atas,
15
Gambar 2.8 Aliran Limfe Tonsil4
3. Laryngofaring
larynx, dan terbentang dari pinggir atas epiglottis sampai dengan pinggir bawah
lateral. Dinding anterior dibentuk oleh aditus laryngis dan membran mukosa yang
vertebra cervicalis ketiga, keempat, kelima, dan keenam. Dinding lateral disokong
oleh cartilage thyroidea dan membrane thyrohyoidea. Sebuah alur kecil tetapi
penting pada membrana, disebut fossa piriformis, terletak di kanan dan kiri aditus
laryngis.3,4
16
tonsil ke parenkim tonsil. Jaringan ini mengandung pembuluh darah, saraf, dan
saluran limfatik efferent. Permukaan tonsil ditutupi oleh epitel statified squamous.
mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh pada orang
dewasa. Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel
dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi APCs (sintesis
immunoglobulin spesifik). Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan
- Tempat produksi antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma yang berasal dari
diferensiasi limfosit B.
sama dengan adenoid, limfosit B berkisar 50-65% dari seluruh limfosit pada
kedua organ tersebut. Limfosit T berkisar 40% dari seluruh limfosit tonsil dan
sel limfosit terstimulus menuju mukosa dan kelenjar sekretori di seluruh tubuh.
17
Antigen dari luar ketika kontak dengan permukaan tonsil akan diikat dan dibawa
sel mukosa (sel M), antigen presenting cells (APCs), sel makrofag dan sel dendrit
yang terdapat pada tonsil ke sel Th di sentrum germinativum. Kemudian sel Th ini
imunoglobulin IgM pentamer diikuti oleh pembentukan IgG dan IgA. Sebagian sel
Imunoglobulin IgG dan IgA secara fasif akan berdifusi ke lumen. Bila
tonsil paling maksimal antara umur 4 sampai 10 tahun. Tonsil mulai mengalami
involusi pada saat puberitas, sehingga produksi sel B menurun dan rasio sel T
terhadap sel B relatif meningkat. Pada Tonsilitis yang berulang dan inflamasi epitel
rusaknya aktifitas sel imun dan menurunkan fungsi transport antigen. Perubahan
ini menurunkan aktifitas lokal sistem sel B, serta menurunkan produksi antibodi.
18
II.3. Abses Peritonsiler
Abses peritonsil atau Quinsy adalah suatu infeksi akut dan berat di daerah
orofaring berupa sekresi purulen yang terakumulasi di dalam ruangan antara kapsul
Abses peritonsiler merupakan salah satu infeksi leher dalam yang paling
umum, kira-kira 30% dari abses leher dalam. Tonsilitis, selulitis peritonsiler, dan
paling ringan ke paling berat. Sekalipun sudah di era antibiotika, abses peritonsiler
masih sering ditemukan dengan jumlah yang menurun menjadi 18% di United
Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering
terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka
yang menurun sistem imunnya dengan prevalensi sekitar 25-30%. Kasus pediatrik
lebih sering terjadi pada anak-anak yang berusia lebih dari 10 tahun Infeksi ini
ditemukan pada 10-37 per 100.000 orang. Di Amerika, dilaporkan 30 kasus per 100
orang per tahun, 45.000 kasus baru per tahun. Sedangkan di Eropa, 41 kasus per
100.000 populasi adalah insiden rata-rata tahunan yang diperkirakan. Data yang
19
tidak diketahui; Namun, angka ini dilaporkan bervariasi dari 1,9% hingga 24% pada
II.3.2 Etiologi
kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, yaitu kuman aerob dan anaerob.
simplex, Parainfluenza.1,2,8
20
Variabel klinis lain yang terkait dengan pembentukan abses peritonsil
II.3.3 Patofisiologi
walaupun dapat terjadi tanpa infeksi tonsil sebelumnya. Infeksi memasuki kapsul
Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah daerah pilar anteroposterior,
fosa piriform inferior, dan palatum inferior. Daerah superior dan lateral fosa
tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi ke ruang
potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole
membengkak. 1,2
Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada
permukaan yang hiperemis. Bila proses tersebut berlanjut, terjadi supurasi sehingga
peritonsil akan mendorong tonsil ke tengah, depan, bawah, dan uvula yang bengkak
akan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan
timbul trismus.1,2
Kelenjar Weber adalah kelenjar mukus yang terletak di atas kapsul tonsil,
kelenjar ini mengeluarkan air liur ke permukaan kripta tonsil. Kelenjar ini bisa
tertinggal pada saat tonsilektomi, sehingga dapat menjadi sumber infeksi setelah
21
etiologi abses peritonisl karena mengalami peningkatan pada penyakit periodontal
dan pasien mungkin mendapatkan kesulitan untuk makan bahkan menelan ludah.
Karena tidak dapat mengatasi sekresi ludah, terjadi hipersalivasi dan ludah
seringkali menetes keluar. Keluhan lainnya berupa mulut berbau (foetor ex ore),
muntah (regurgitasi), sampai nyeri alih ke telinga (otalgi) sisi ipsilateral. Trismus
Gejala yang klasik adalah trismus, suara bergumam yang disebut hot potato voice,
uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Demam juga ditemukan. Palatum
mole tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Tonsil
bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan,
limfadenitis.1,2,8,13
22
Gambar 2.10 Abses peritonsillar sisi kanan. Tampak pembengkakan palatum mole dan
defiasi uvula.13
II.3.5 Diagnosis
diagnosis. Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau punksi
merupakan tindakan diagnosis yang akurat (gold standard) untuk memastikan abses
peritonsil. Untuk mengetahui jenis kuman pada abses peritonsil tidak dapat
Palatum molle tampak menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Tonsil bengkak,
hiperemis, mungkin banyak detritus, terdorong kearah tengah, depan, dan bawah.
23
Uvula terdorong ke arah kontralateral. Gejala lain untuk diagnosis sesuai dengan
gejala klinisnya.1,2,8,13
2. Pemeriksaan radiologi
a) Foto polos
menunjukkan keberadaan dan luasnya abses. Pada tonsil dapat terlihat daerah yang
hipodens, yang menandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena, di samping itu
juga dapat dilihat pembesaran yang asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini dapat
24
Gambar 2.11 Hasil Computed tomography menunjukkan abses peritonsillar sisi kanan7
Gambar 2.12 Klasifikasi berdasarkan bentuk abses. (A) Jenis oval menunjukkan abses bulat
(panah). (B) Jenis Cap menunjukkan abses bulan sabit (panah)8
25
c) Ultrasonografi intraoral
Pemeriksaan ini merupakan teknik sederhana dan non-invasif yang dapat secara
akurat mengidentifikasi dan membedakan selulitis dari abses. Mayoritas kasus yang
hypoechoic.1,2
A B
jika ada komplikasi yang melibatkan ruang leher lateral, diperlukan Magnetic
Resonance Imaging (MRI). Infeksi leher lateral harus dicurigai jika ada
dinding faring. MRI lebih unggul dari CT untuk identifikasi jaringan lunak dan
karena itu MRI lebih baik dalam mendeteksi komplikasi dari infeksi leher dalam,
26
seperti trombosis vena jugularis internal atau erosi abses ke dalam selubung karotis.
Kerugian MRI yaitu waktu pemindaian lebih lama, biaya lebih tinggi, dan potensi
claustrophobia.8
Gambar 2.14 Pencitraan MRI kranial, potongan sagital dengan kontras, menunjukkan
lesi berbentuk bulat di lobus frontal kiri (panah). Ventrikel lateral kiri juga melebar dan
menonjol.11
Penonjolan satu atau kedua tonsil, atau setiap pembengkakan pada daerah
diagnosis banding. Penyakit lain seperti infeksi mononukleosis, benda asing, tumor
arteri karotis interna, dan infeksi gigi. Tidak ada kriteria spesifik yang dianjurkan
untuk membedakan selulutis dan abses peritonsil. Karena disepakati bahwa apabila
Apabila hasil aspirasi positif terdapat pus, maka penatalaksanaan selanjutnya dapat
27
dilakukan. Bila hasil aspirasi negatif tidak terdapat pus, maka pasien mungkin dapat
II.3.7 Penatalaksanaan
mediastinum dan basis kranii. Drainase, terapi antibiotik, dan terapi suportif untuk
mempertahankan hidrasi dan kontrol nyeri adalah landasan pengobatan untuk abses
pembedahan awal karena tingkat resolusi dengan teknik ini adalah 94-96%. Pada
drainase, 32% digunakan jarum aspirasi, dan 14% dilakukan tonsilektomi. Sebelum
jaman antibiotika dikenal pada akhir 1930-an dan wal 1940-an, bebetapa tipe
1. Drainase
Tujuan utama tindakan ini adalah mendapatkan drainase abses yang adekuat
dan terlokalisir secara cepat. Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada
berfluktuasi. Beberapa jenis prosedur drainase sesuai untuk sebagian besar pasien
yang datang dengan abses peritonsillar. Prosedur utama termasuk aspirasi jarum,
a) Aspirasi jarum
28
Manajemen bedah akut abses peritonsillar telah berkembang dari tonsilektomi
langsung menjadi insisi dan drainase atau aspirasi jarum. Aspirasi peritonsiler
adalah teknik yang cocok untuk dokter keluarga dengan pelatihan yang tepat.
komplikasi jalan nafas dan memastikan pasien mendapat asupan cairan oral yang
penyembuhan lama.
29
Dokter harus menyadari hubungan anatomi yang penting ketika melakukan
aspirasi jarum. Jika seorang dokter merasa tidak nyaman dengan aspirasi abses,
antibiotik yang tepat dan cairan intravena harus diberikan sambil menunggu
tinggi (golongan peniciline dan metronidazole), dan obat simtomatik. Juga perlu
kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher. Teknik aspirasi
- Meminta pasien untuk duduk sedikit ke depan dan setinggi mata dokter.
- Lakukan palpasi palatum mole dengan lembut untuk melokalisasi area yang
berfluktuasi.
- Jika positif untuk nanah, aspirasi sampai tidak ada nanah yang kembali.
30
- Jika negatif untuk nanah, tarik jarum dan ulangi sedikit lebih rendah;
- Hati-hati terhadap arteri karotid yang terletak 2 cm posterior dan lateral dari
pilar tonsil, dan risiko tusukan meningkat semakin rendah jarum diarahkan.
Gambar 2.15 Teknik aspirasi dengan jarum (Ketika melakukan aspirasi jarum untuk
abses peritonsillar, dokter harus menyadari hubungan anatomi yang penting, terutama
arteri karotis, yang terletak posterior dan lateral tonsil. Untuk menghindari struktur ini,
insersi harus berada di kutub superior tonsil, tidak terlalu lateral, dan pada kedalaman ≤ 8
mm.)8
b) Insisi
Pada penderita yang sadar, tindakan dapat dilakukan dengan posisi duduk
menggunakan anastesi local. Anastesi dapat dilakukan pada cabang tonsillar dari
31
nervus glossofaringeus (N.IX) yang memberikan inervasi sensoris mayoritas pada
daerah ini, dengan menyuntikkan lidokain melalui mukosa ke dalam fosa tonsil.
Pada penderita yang memerlukan anastesi umum, posisi penderita saat tindakan
dapat berupa xylocaine spray atau menggunakan lidokain 4-5% atau tetrakain 2%
yang dalam, digunakan untuk membuat insisi melalui mukosa dan submukosa dekat
kutub atas fosa tonsilaris.1,2,8 Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada :
- Pada titik yang terletak dua pertiga dari garis khayal yang dibuat antara dasar
- Pada pertengahan garis horizontal antara pertengahan basis uvula dan molar
3 atas.
32
Gambar 2.16 Lokasi Insisi12
yang dikeluarkan. Tindakan ini diperlukan untuk mencegah aspirasi yang dapat
dalam, harus lebih dibuka lagi dan diperbesar. Setelah cukup banyak pus yang
keluar dan lubang insisi cukup besar, penderita kemudian disuruh berkumur dengan
Umumnya setelah drainase terjadi, rasa nyeri akan segera berkurang. Pus yang
keluar juga sebaliknya diperiksakan untuk tes kultur dans ensitifitas, biasanya
33
Gambar 2.17. Teknik Insisi12
Jika terdapat trismus, maka untuk mengatasi rasa nyeri, diberikan analgesik
sfenopalatinum. Ganglion ini terletak di bagian belakang atas lateral dari konka
posterior yang mengirimkan cabang aferennya ke tonsil dan palatum molle di atas
tonsil. Daerah yang paling tepat untuk insisi mendapat inervasi dari cabang palatine
c) Tonsilektomi
dipertimbangkan pada pasien dengan indikasi absolut, yaitu orang yang menderita
abses peritonsiler berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.
34
(terutama anak-anak) mencapai 40% dibandingkan dengan 10% hingga 15% pada
Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada
chaud”, bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses disebut
tonsilektomi “a tiede” dan bila tonsilektomi dilakukan 4-6 minggu sesudah drainase
Pada umummnya insisi dan drainase diikuti dengan tonsilektomi 6-12 minggu
bahwa pasien harus dilakukan operasi 2-3 hari setelah infeksi terkontrol jika ukuran
luka pada abses yang pecah spontan kurang dari 2,5 cm. namun, bila ukuran luka
pada abses yang pecah spontan lebih dari 2.5 cm maka tindakan operasi harus
Abses peritonsil yang tidak dapat diinsisi dan drainase karena trismus
35
Penderita dengan Diabetes Melitus yang memerlukan toleransi teradap
2. Terapi Antibiotik
Abses peritonsiler adalah infeksi polimikroba dari bakteri aerob dan anaerob.
aerob yang paling umum diisolasi dan ditemukan dari kultur, sedangkan
empiris awal harus mencakup antimikroba yang efektif melawan streptokokus dan
intravena setelah drainase abses yang adekuat. Namun, ada kekhawatiran yang
menunjukkan tingkat resistensi penisilin lebih dari 50% di antara patogen selain
penggunaan rutin antibiotik spektrum luas sebagai terapi lini pertama. Makrolida
a) Terapi Intravena13
setiap 6 jam.
36
- Sefalosporin generasi ketiga (mis., Ceftriaxone, 1 g setiap 12 jam) ditambah
18 g).
b) Terapi Oral
- Penisilin VK, 500 mg setiap 6 jam, ditambah metronidazol, 500 mg setiap 6 jam.
6 jam.
Pasien dengan abses peritonsillar dapat dirawat sebagai pasien rawat jalan, tetapi
sebagian kecil mungkin memerlukan rawat inap. Indikasi paling umum untuk rawat
oral, masalah jalan napas (kissing tonsils), dan kegagalan manajemen rawat jalan.
37
diabetes mellitus, penyakit imunosupresif, penggunaan obat imunosupresif kronis
Tingkat komplikasi lebih tinggi pada pasien 40 tahun atau lebih tua
dibandingkan dengan pasien yang lebih muda. Lama rawat di rumah sakit rata-rata
dua hingga empat hari untuk semua pasien. Jika diputuskan untuk tatalaksana rawat
jalan, maka pasien harus diamati selama beberapa jam setelah drainase abses untuk
memastikan kemampuan mentolerir cairan oral, antibiotik, dan obat pereda nyeri.
Pasien harus terus dipantau secara ketat dalam waktu 24 hingga 36 jam.8
4. Terapi Kortikosteroid
Gejala akut abses peritonsillar terjadi akibat peradangan dan edema palatum
dari rejimen pengobatan untuk abses peritonsiler belum diteliti secara luas.8
rasa sakit dan peningkatan asupan cairan oral dalam waktu 12 hingga 24 jam
tampaknya mempercepat pemulihan seperti waktu rawat inap yang lebih singkat
dan resolusi nyeri yang lebih cepat. Namun, penelitian tambahan diperlukan
38
sebelum penggunaan rutin kortikosteroid terutama mengenai protokol
pengobatan.8,12
klinis:
peritonsiler.
Keterangan : A = konsisten, bukti berorientasi pasien berkualitas baik; B = bukti berorientasi pasien
yang tidak konsisten atau terbatas kualitasnya; C = konsensus, bukti berorientasi penyakit, praktik
biasa, pendapat ahli, atau seri kasus.
II.3.7 Komplikasi
39
Komplikasi segera yang dapat terjadi berupa dehidrasi karena masukan makanan
yang kurang. Abses pecah spontan, mengakibatkan terjadi perdarahan (akibat erosi
atau nekrosis septik pada selubung karotis), aspirasi paru atau pyemia, penjalaran
abses otak. Pada keadaan ini, bila tidak ditangani dengan baik maka akan
II.3.8 Prognosis
penyembuhan. Bila pasien tetap mengeluh sakit tenggorok setelah insisi abses,
bawah 30 tahun lebih seringg terjadi, demikian juga bila sebelumnya menderita
40
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
antara kapsul fibrosa tonsil palatine dan M. konstriktor superior faringeal. Abses
peritonsiler merupakan salah satu infeksi leher dalam yang paling umum, kira-kira
30% dari abses leher dalam. Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsillitis akut,
sehingga biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, yaitu kuman
walaupun dapat terjadi tanpa infeksi tonsil sebelumnya. Nyeri tenggorok yang hebat
(Odinofagi) dapat merupakan gejala menonjol, selain itu juga ditandai dengan
telinga (otalgi) sisi ipsilateral, rismus (bila infeksi meluas mengenai otot-otot
pterigoid), suara bergumam yang disebut hot potato voice, uvula bengkak dan
fisik. Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau punksi
merupakan tindakan diagnosis yang akurat (gold standard) untuk memastikan abses
jalan napas dan menunjukkan penyebaran infeksi ke ruang leher dalam yang
berdekatan.
41
Penatalaksanaan harus segera dilakukan dan adekuat untuk mencegah
mediastinum dan basis kranii. Drainase, terapi antibiotik, dan terapi suportif untuk
mempertahankan hidrasi dan kontrol nyeri adalah landasan pengobatan untuk abses
peritonsiler berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.
Komplikasi lain yang mungkin timbul akibat penyebaran abses adalah endokarditis,
adekuat dan drainase abses. Bila pasien tetap mengeluh sakit tenggorok setelah
pada usia di bawah 30 tahun lebih seringg terjadi, demikian juga bila sebelumnya
42
DAFTAR PUSTAKA
Available from:
http://repository.unand.ac.Id/18155/2/DIAGNOSIS%20DAN%20PENAT
ALAKSANAAN%20ABSES%20PERITONSIL.pdf.
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/ce84a52f23a3735f
4ce7b202a8877d93.pdf.
43
7. Boon C, Mohamad W, Mohamad I. Bilateral peritonsillar abscess: A rare
from : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5962234/.
: https://www.aafp.org/afp/2017/0415/p501.html.
1929.2017.
and Review of the Literature. Pediatric Neurology. 2012; Vol.47, Issue 06,
neurology/vol/47/issue/6.
44
14. Ming CF. Effycacy of Three Theraupetic Methods fot Peritonsilar Abscess.
2007.
Otol HNS.2010
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63