RINOSINUSITIS
Oleh :
Carolin 21710177
Pembimbing :
dr. Lenny Buana W. Sp. THT-KL
REFERAT
RINOSINUSITIS
Oleh:
Carolin 21710117
Hari :
Tanggal :
Pembimbing,
SMF
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME karena atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya, penulis mampu menyelesaikan referat ini dengan judul
“Rinosinusitis”.
Referat ini dikerjakan demi memenuhi salah satu syarat guna mengikuti
ujian utama SMF Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok Bedah Kepala
Leher RSUD Nganjuk . Penulis menyadari bahwa referat ini bukanlah tujuan
akhir dari belajar karena belajar adalah sesuatu yang tidak terbatas.
Terselesaikannya referat ini tentunya tak lepas dari dorongan dan uluran
tangan berbagai pihak. Oleh karena itu, tak salah kiranya bila penulis
mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan kepada:
1. Prof. Dr. Suhartati, dr., MS., Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya
Kusuma Surabaya yang telah memberi kesempatan kepada penulis menuntut
ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
2. dr. Lenny Buana Wuriningtyas, Sp.THT-KL selaku Staff bagian Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin serta sebagai pembimbing Referat di RSU
dr.Wahidin Sudirohusodo yang telah memberikan banyak ilmunya kepada
penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas ini dengan maksimal.
Akhir kata penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun sebagai masukan yang berharga bagi penulis. Semoga nantinya
referat ini bisa memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas dan
masyarakat.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
COVER................................................................................................. i
DAFTAR ISI……………………………………………………........iv
BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………….....1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA……………………………………….……..2
2.1 Anatomi...........................................................................................2
2.2 Vaskularisasi...................................................................................5
2.3 Persarafan........................................................................................6
BAB III
BAB IV
BAB V
RINGKASAN ………………………………………………..............25
DAFTAR PUSTAKA….......................................................................26
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
ANATOMI HIDUNG
2.1. Anatomi
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah: 1
1. pangkal hidung (bridge),
2. dorsum nasi,
3. puncak hidung,
4. ala nasi,
5. kolumela dan
6. lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi
untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang
terdiri dari (Gambar 1) 1
1. tulang hidung (os nasalis),
2. prosesus frontalis os maksila dan
3. prosesus nasalis os frontal
2
3
2.2. Vaskularisasi
Bagian atas rongga hidung mendapat vaskularisasi dari arteri etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika,
sedangkan arteri oftalmika berasal dari arteri karotis interna.1
Bagian bawah rongga hidung mendapat vaskularisasi dari cabang
a.maksilaris interna, yaitu ujung arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus
sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior
konka media. 1
Bagian depan hidung mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang arteri
fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-
cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior
dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus
Kiesselbach letak superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak. 1
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar
hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
6
2.3. Persarafan
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris
dari nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus
nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus. Rongga hidung sebagian
besar mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion
sfenopalatina. 1
Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan
sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk
mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari
n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan
serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.Ganglion sfenopalatina
terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. 1
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui
lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian
berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah
sepertiga atas hidung. 1
a) Fungsi Respirasi
Udara inpirasi masuk ke hidung menuju system respirasi melalui nares
anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke
bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan
atau arkus. 1
Udara yang dihirup akan mengalami humidikasi oleh palut lender.
Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi
sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lender, sedangkan pada
musim dingin akan terjadi berlawan daripada musim panas. 1
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37º Celcius.
Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyak pembuluh darah di
bawah epitel dan pada permukaan konka dan septum yang luas. 1
Debu dan bakteri akan melekat pada palu lender dan partikel-partikel
yang besar akan dikeluarkan dengan reflex bersin. Partikel debu, virus,
bakteri, jamur yang terhirup bersama udara akan disaring dihidung oleh: 1
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lender
b) Fungsi Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap maka
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan
cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. 1
8
9
c) Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara
dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang
atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung
membantu proses pembentukan konsonan nasal (m,n,ng), rongga mulut
tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole turun untuk aliran udara. 1
d) Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu
akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.1
BAB IV
RINOSINUSITIS
4.1. Definisi
Rinosinusitis merupakan suatu proses inflamasi pada mukosa hidung dan
sinus paranasal. Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan
dalam praktek dokter sehari-hari dan juga dianggap sebagai salah satu
penyebab kesehatan tersering di seluruh dunia. Rhinosinusitis menyebabkan
beban ekonomi yang tinggi dan penurunan kualitas hidup yang cukup besar,
produktivitas menurun dan juga konsentrasi dalam bekerja.1
Rinosinusitis kronik merupakan penyakit yang ditandai dengan
peradangan pada mukosa hidung dan sinus paranasal dengan durasi minimal
12 minggu.1 Diagnosis rinosinusitis kronik dapat ditegakkan dari adanya
dua atau lebih keluhan pada pasien dimana salah satu keluhannya berupa
hidung tersumbat atau nasal discharge baik di anterior maupun posterior
yang disertai rasa nyeri atau tertekan pada wajah dan penurunan kemampuan
penciuman. Rinosinusitis dapat dikelompokkan berdasarkan anatomi sinus
paranasal, yaitu rinosinusitis maksila, rinosinusitis etmoid, rinosinusitis
frontal dan rinosinusitis sfenoid dan yang paling sering dijumpai ialah
rinosinusitis maksila dan rinosinusitis etmoid.4
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan rinosinusitis kronik meliputi
faktor penjamu (host) baik sistemik maupun lokal dan faktor lingkungan.
Yang termasuk dalam faktor penjamu sistemik ialah alergi, imunodefisiensi,
kelainan kongenital dan disfungsi mukosiliar dan yang termasuk dalam
faktor penjamu lokal ialah kelainan anatomi. Sedangkan yang termasuk
dalam faktor lingkungan ialah infeksi virus dan bakteri, paparan bahan iritan
dan sebagainya. Rinosinusitis dapat menjadi berbahaya karena dapat
menyebabkan komplikasi kelainan orbita dan intrakranial, osteomielitis dan
kelainan paru. Rinosinusitis memiliki dampak yang signifikan pada kualitas
hidup, kesehatan, ekonomi dan produktivitas.4
10
11
4.3. Prevalensi
Rhinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari semua penyakit
atopi, diperkirakan mencapai prevalensi 5-22%.4 Rhinitis alergi telah
menjadi problem kesehatan global, mempengaruhi 10% sampai lebih dari
40% seluruh penduduk dunia. Rhinitis alergi juga telah menjadi 1 dari 10
alasan utama pasien datang berobat ke dokter. Namun, prevalensi ini bisa
menjadi lebih tinggi, hal ini dikarenakan pasien banyak yang mengobati diri
sendiri tanpa berkonsultasi ke dokter, maupun penderita yang tidak terhitung
pada survey resmi.3
4.4. Patofisilogi
12
Mukosa hidung adalah pendingin udara utama saluran pernapasan dan garis
pertahanan pertama melawan agen infeksi di udara. Untuk peran ini, menjaga dan
memulihkan integritas epitel dan kemampuan untuk memulai respon imun sangat
penting. Dengan kondisi tertentu atau faktor yang merusak integritas mukosa,
13
epitel melepaskan alarmin dan pola molekuler terkait kerusakan yang memulai
mekanisme perbaikan tetapi juga dapat menginduksi inflamasi protektif. Pada
rhinitis alergi, mekanisme yang sama mungkin aktif dalam menginduksi
penyakit. Kerusakan mukosa hidung yang terjadi pada individu dengan rhinitis
alergi mengawali respon imun alergi yang terjadi pada rhinitis alergi. (gambar 4).
9
4.6. Klasifikasi
Penyakit ini dapat dibagi menjadi Ringan, Sedang dan Berat berdasarkan
skor total Visual Analogue Scale (VAS) (0-10 cm):
- Ringan = VAS 0-3
- Sedang = VAS > 3-7
- Berat = VAS > 7-10
Untuk evaluasi nilai total, pasien diminta untuk menilai pada suatu VAS
jawaban dari pertanyaan:
1 cm
Tidak mengganggu Gangguan terburuk yang masuk akal
0
Lamanya Penyakit
Akut Kronik
< 12 minggu > 12 minggu
resolusi komplit gejala tanpa resolusi gejala komplit •
termasuk kronik eksaserbasi akut
16
GPA
EGPA
hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadi lebih dari lima
kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-
kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskan histamin.1
Rhinitis didefinisikan secara klinis sebagai memiliki dua atau lebih
gejala berikut selama lebih dari 1 jam per hari: hidung berair, tersumbat,
gatal atau bersin kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar.
Rhinitis alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering kali
gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang
keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau gejala yang
diutarakan oleh pasien.1 Gejala klinis lain yang dapat berupa ‘popping of
the ears’, berdeham, dan batuk-batuk lebih jarang dikeluhkan.4
2. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat
atau livid disertai terdapat sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten,
mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat
dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah
bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner.1
4.9. Tatalaksana
Secara nonfarmakologi terapi yang paling ideal adalah dengan
menghindari kontak dengan alergen faktor penyebab (avoidance) dan
eliminasi.1
Pengobatan rhinitis alergi secara farmakologi, sebagai berikut :
a. Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1,
yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel
target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering
dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian
dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara peroral. 1,4
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan
antihistamin generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non-sedatif).
Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik, sehingga dapat
21
d. Antikolinergik
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide,
bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi
reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. 1
e. Leukotrien Receptor Antagonist (LTRA)
Leukotrien receptor antagonist atau LTRA memblokir aktivitas
cysteinyl leukotrienes (CysLTs) yang merupakan mediator inflamasi kuat
yang terkait dengan gejala hidung tersumbat, produksi lendir, dan
inflamasi yang bertanggung jawab untuk gejala rhinitis alergi.
24
Rhinitis Alergi (RA) adalah inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus
yang disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: debu, asap, serbuk/tepung
sari yang ada di udara. Gejala utama pada hidung yaitu hidung gatal, tersumbat,
bersin-bersin, keluar ingus cair seperti air bening. Seringkali gejala meliputi mata,
yaitu : berair, kemerahan dan gatal. Rhinitis alergi merupakan penyakit umum dan
sering dijumpai.
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai terdapat sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapat allergic
shiner, allergic salute dan allergic crease.
Pemeriksaan alergi dengan tes kulit (tes cukit) terhadap berbagai alergen
mungkin dapat menunjang penegakan diagnosis rhinitis alergi. Bila hasil belum
dapat mengetahui mungkin diperlukan tes alergi intra dermal. Pemeriksaan kadar
lgE di darah meningkat (tidak spesifik). Pemeriksaan terhadap lgE spesifik
terhadap alergen tertentu. Pengobatan rhinitis alergi bergantung pada tingkat
keparahan penyakit. Namun yang terpenting adalah dengan menghindari alergen
pemicu.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Harahap, Nahda Ismi Karunia. 2018. Profil Kuman Pada Sekret Hidung
Penderita Rinosinusitis Kronis di Rumah Sakit Haji Medan. Ibnu Sina
Biomedika. Volume 2. No. 1.
2. Samara, Anggita Putri. 2020. Gambaran Derajat Keparahan Gejala Pasien
Rinosinusitis Kronik di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Jurnal Ilmiah Ilmu
Kesehatan. Volume 8. No. 2. Hal 235-245.
3. Dewi, Putu Krisna Yama. 2018. Karakteristik Penderita Rinosinusitis
Kronik yang Rawat Jalan di Poli THT-KL RSUP Sanglah Denpasar tahun
2016. E-Jurnal Medika. Volume 7. No. 12.
4. Amelia, Nurul Lintang. 2017. Prevalensi Rinosinusitis Kronik di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang. Majalah Kedokteran Sriwijaya. No. 42.
5. Meltzer, EO. Evaluation of The Oral Antihistamine for Patients with
Allergic Rhinitis. 2005
6. Oates JA, Wood AJJ. The New England Journal of Medicine: Drug
therapy. 1991.
7. Cummings CW, Fredricksom JM, Harker LA. Otolaryngolohy Head and
Neck Surgery: Third Edition. 1998. St Louis: Mosby
8. Sheikh J, Najub U. Rhinitis Allergic. 2010
http://emedicine.medscape.com/article/134825-diagnosis. Diunduh pada 8
November 2021.
9. Bergström SE. Primary Ciliary Dyskinesia. 2010.
http://www.uptodate.com/patients/content/topic.do?
topicKey=~CDUFGoQw81hSwmU. Diunduh pada 8 November 2021.
10. Bousquet, Jean. M. Anto, Josep. Bachert, Claus. Baiardini, Ilaria. Bosnic-
Anticevich, Sinthia. Canonica, G. Walter. Melén, Erik.
Palomares,Oscar. Scadding, Glenis K. Togias, Alkis. and Salmi,
Sanna Toppila. 2020. Allergic Rhintis. Nature Reviews Disease Primer
(2020) 6:95 hal. 1-17.
26
27
11. Bernstein DI, Murphy KR, Nolte H, Kaur A, Maloney J. 2014. Efficacy of
short ragweed sublingual immunotherapy tablet (SLIT-T) in mono-
sensitized and poly-sensitized subjects. J Allergy Clin Immunol .
12. Głobińska, A., Boonpiyathad, T., Satitsuksanoa, P., Kleuskens, M., van de
Veen, W., Sokolowska, M., & Akdis, M. 2018. Mechanisms of
allergenspecific immunotherapy: Diverse mechanisms of immune
tolerance to allergens. Annals of Allergy, Asthma & Immunology, 121(3),
306-312.