Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

RINOSINUSITIS

Oleh :

Carolin 21710177

Pembimbing :
dr. Lenny Buana W. Sp. THT-KL

SMF ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG


TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA
KUSUMA SURABAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH NGANJUK
2022
HALAMAN PENGESAHAN

REFERAT

RINOSINUSITIS

Oleh:

Carolin 21710117

Telah disetujui dan disahkan pada :

Hari :

Tanggal :

Dan dinyatakan lulus oleh :

Pembimbing,

dr. Lenny Buana Wuriningtyas, Sp.THT-KL

SMF

SMF Ilmu Kesehatan THT

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME karena atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya, penulis mampu menyelesaikan referat ini dengan judul
“Rinosinusitis”.

Referat ini dikerjakan demi memenuhi salah satu syarat guna mengikuti
ujian utama SMF Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok Bedah Kepala
Leher RSUD Nganjuk . Penulis menyadari bahwa referat ini bukanlah tujuan
akhir dari belajar karena belajar adalah sesuatu yang tidak terbatas.

Terselesaikannya referat ini tentunya tak lepas dari dorongan dan uluran
tangan berbagai pihak. Oleh karena itu, tak salah kiranya bila penulis
mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Prof. Dr. Suhartati, dr., MS., Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya
Kusuma Surabaya yang telah memberi kesempatan kepada penulis menuntut
ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
2. dr. Lenny Buana Wuriningtyas, Sp.THT-KL selaku Staff bagian Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin serta sebagai pembimbing Referat di RSU
dr.Wahidin Sudirohusodo yang telah memberikan banyak ilmunya kepada
penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas ini dengan maksimal.
Akhir kata penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun sebagai masukan yang berharga bagi penulis. Semoga nantinya
referat ini bisa memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas dan
masyarakat.

Nganjuk , 14 Febuari 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

COVER................................................................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................ii

KATA PENGANTAR …………………………………………........iii

DAFTAR ISI……………………………………………………........iv

BAB I

PENDAHULUAN………………………………………………….....1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA……………………………………….……..2

2.1 Anatomi...........................................................................................2

2.2 Vaskularisasi...................................................................................5

2.3 Persarafan........................................................................................6

2.4 Mukosa Hidung...............................................................................6

BAB III

FISIOLOGI HIDUNG …………………………….………................8

BAB IV

RHINITIS ALERGI …………………………….…………..............10

BAB V

RINGKASAN ………………………………………………..............25

DAFTAR PUSTAKA….......................................................................26

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Rinosinusitis merupakan suatu proses inflamasi pada mukosa hidung dan


sinus paranasal. Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam
praktek dokter sehari-hari dan juga dianggap sebagai salah satu penyebab
kesehatan tersering di seluruh dunia. Rhinosinusitis menyebabkan beban ekonomi
yang tinggi dan penurunan kualitas hidup yang cukup besar, produktivitas
menurun dan juga konsentrasi dalam bekerja.1
Rinosinusitis kronik (RSK) menurut European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2012 adalah inflamasi hidung dan sinus
paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, diantaranya adalah obstruksi
hidung atau nasal discharge, dapat disertai nyeri pada wajah dan gangguan
sensitivitas pembau selama 12 minggu.2
Berdasarkan data Center for Disease Control and Prevention (CDC) untuk
kejadian rinosinusitis pada orang dewasa di Amerika Serikat tahun 2014 mencapai
29,4 juta orang atau 12,3%, serta jumlah kunjungan ke dokter dengan diagnosis
utama rinosinusitis kronis sebesar 11,7 juta orang pada tahun 2009. Pada
rinosinusitis kronis, data terbaru menunjukkan bahwa penyakit ini mempengaruhi
sekitar 5-15% dari populasi umum baik di Eropa dan di Amerika Serikat.3
Penanganan RSK sangatlah bergantung pada diagnosis dari anamnesis
pasien. Di Amerika Serikat, prevalensi RSK pada dewasa mencapai 13-16 % dari
populasi penduduk (Fokkens, 2012). Sedangkan di Indonesia, prevalensi RSK
pada tahun 2004 dilaporkan sekitar 30 juta penduduk (US Census Bureau, 2004).
Berdasarkan data DEPKES RI tahun 2003 menyatakan bahwa penyakit hidung
dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama.2

1
BAB II
ANATOMI HIDUNG
2.1. Anatomi
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah: 1
1. pangkal hidung (bridge),
2. dorsum nasi,
3. puncak hidung,
4. ala nasi,
5. kolumela dan
6. lubang hidung (nares anterior).

Gambar 1. Anatomi Hidung Bagian Luar 1

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi
untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang
terdiri dari (Gambar 1) 1
1. tulang hidung (os nasalis),
2. prosesus frontalis os maksila dan
3. prosesus nasalis os frontal

2
3

Gambar 2. Anatomi Kerangka Hidung 1

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang


rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu: (gambar 2) 1

1. sepasang kartilago nasalis lateralis superior,


2. sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor),
3. beberapa pasang kartilago alar minor dan
4. tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengah menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan
disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)
yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. 1
Bagian dari kavum nasi yang terletak sesuai dengan ala nasi, tepat
dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi
oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut
panjang yang disebut vibrise.1
4

Gambar 3. Anatomi Hidung Bagian Dalam 1

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial,


lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi.
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah
lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan
krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan kolumela.(gambar 3). 1
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periostium pada bagian tulang, sedangkan pada daerah luar dilapisi pula
oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang
disebut ager nasi dan dibelakang terdapat konka-konka yang mengisi
sebagian besar dinding lateral hidung. 1
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan terletak
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah
konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang
terkecil disebut konka suprema. Konka suprema disebut juga rudimenter. 1
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os
maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid. Di antara konka-konka dan dinding
lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung
dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar
hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat
5

muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara


konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius
terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan
infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit
melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus
etmoid anterior.1
Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior
dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os
maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit
dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga
tengkorak dari rongga hidung. 1

2.2. Vaskularisasi
Bagian atas rongga hidung mendapat vaskularisasi dari arteri etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika,
sedangkan arteri oftalmika berasal dari arteri karotis interna.1
Bagian bawah rongga hidung mendapat vaskularisasi dari cabang
a.maksilaris interna, yaitu ujung arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus
sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior
konka media. 1
Bagian depan hidung mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang arteri
fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-
cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior
dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus
Kiesselbach letak superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak. 1
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar
hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
6

merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai


ke intrakranial. 1

2.3. Persarafan
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris
dari nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus
nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus. Rongga hidung sebagian
besar mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion
sfenopalatina. 1
Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan
sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk
mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari
n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan
serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.Ganglion sfenopalatina
terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. 1
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui
lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian
berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah
sepertiga atas hidung. 1

2.4. Mukosa Hidung


Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan
fungsional dibagi atas mukosa pernafasan (mucosa respiratori) dan
mukosa penghidu (mucosa olfaktorius). Mukosa pernafasan terdapat pada
sebagian besar rongga hidung dan permukaan dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu (pseudostratified columnar epithalium) yang mempunyai
silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. 1
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara pada mukosa lebih tebal
dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam
keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena
diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaan. Palut lendir
ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet. 1
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang
penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum
7

nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa


mempunyai daya untuk membersihkan daerah mukosa dan juga untuk
mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. 1
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret
terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat.Gangguan gerakan
silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang,
sekret kental dan obat-obatan. Di bawah epitel terdapat tunika propria
yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan
limfoid. 1
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas.
Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan
tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan
pendarahan pada anyaman kapiler perigalnduler dan subepitel. Pembuluh
eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang
besar yang setiap dinding dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos.
Pada bagian ujung sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjut pada
sinusoid akan mengalirkan darah ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke
venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai suatu
jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengembang dan mengerut.
Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf
otonom.1
BAB III
FISIOLOGI HIDUNG

Berdasarkan teori structural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi


fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: fungsi respirasi, fungsi penghidu,
fungsi fonetik, fungsi statik dan mekanik, serta reflex nasal.

a) Fungsi Respirasi
Udara inpirasi masuk ke hidung menuju system respirasi melalui nares
anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke
bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan
atau arkus. 1
Udara yang dihirup akan mengalami humidikasi oleh palut lender.
Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi
sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lender, sedangkan pada
musim dingin akan terjadi berlawan daripada musim panas. 1
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37º Celcius.
Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyak pembuluh darah di
bawah epitel dan pada permukaan konka dan septum yang luas. 1
Debu dan bakteri akan melekat pada palu lender dan partikel-partikel
yang besar akan dikeluarkan dengan reflex bersin. Partikel debu, virus,
bakteri, jamur yang terhirup bersama udara akan disaring dihidung oleh: 1
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lender

b) Fungsi Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap maka
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan
cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. 1

8
9

Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk


membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti
perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk
mebedakan rasa ayam yang berasal dari cuka dan asam jawa. 1

c) Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara
dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang
atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung
membantu proses pembentukan konsonan nasal (m,n,ng), rongga mulut
tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole turun untuk aliran udara. 1

d) Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu
akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.1
BAB IV
RINOSINUSITIS

4.1. Definisi
Rinosinusitis merupakan suatu proses inflamasi pada mukosa hidung dan
sinus paranasal. Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan
dalam praktek dokter sehari-hari dan juga dianggap sebagai salah satu
penyebab kesehatan tersering di seluruh dunia. Rhinosinusitis menyebabkan
beban ekonomi yang tinggi dan penurunan kualitas hidup yang cukup besar,
produktivitas menurun dan juga konsentrasi dalam bekerja.1
Rinosinusitis kronik merupakan penyakit yang ditandai dengan
peradangan pada mukosa hidung dan sinus paranasal dengan durasi minimal
12 minggu.1 Diagnosis rinosinusitis kronik dapat ditegakkan dari adanya
dua atau lebih keluhan pada pasien dimana salah satu keluhannya berupa
hidung tersumbat atau nasal discharge baik di anterior maupun posterior
yang disertai rasa nyeri atau tertekan pada wajah dan penurunan kemampuan
penciuman. Rinosinusitis dapat dikelompokkan berdasarkan anatomi sinus
paranasal, yaitu rinosinusitis maksila, rinosinusitis etmoid, rinosinusitis
frontal dan rinosinusitis sfenoid dan yang paling sering dijumpai ialah
rinosinusitis maksila dan rinosinusitis etmoid.4
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan rinosinusitis kronik meliputi
faktor penjamu (host) baik sistemik maupun lokal dan faktor lingkungan.
Yang termasuk dalam faktor penjamu sistemik ialah alergi, imunodefisiensi,
kelainan kongenital dan disfungsi mukosiliar dan yang termasuk dalam
faktor penjamu lokal ialah kelainan anatomi. Sedangkan yang termasuk
dalam faktor lingkungan ialah infeksi virus dan bakteri, paparan bahan iritan
dan sebagainya. Rinosinusitis dapat menjadi berbahaya karena dapat
menyebabkan komplikasi kelainan orbita dan intrakranial, osteomielitis dan
kelainan paru. Rinosinusitis memiliki dampak yang signifikan pada kualitas
hidup, kesehatan, ekonomi dan produktivitas.4

10
11

4.2. Faktor Risiko


Rhinitis alergi dapat disebabkan oleh alergen seperti serbuk sari (pohon,
rumput dan gulma, termasuk ragweed), jamur dan alergen dalam ruangan
(tungau debu rumah dan alergen hewan) dan memiliki variabilitas geografis
yang besar di dalam dan antar negara. 9
Rhinitis alergi dapat berhubungan oleh pekerjaan mencakup mekanisme
IgE (protein nabati dan hewani serta bahan kimia tertentu) dan non-IgE
(isosianat, garam persulfat, dan kayu). Faktor risiko rhinitis alergi termasuk
penggunaan antibiotik, polusi udara, paparan hewan ternak (hanya di
LMICs), paparan kucing dan / atau anjing, individu yang merokok dan
aktivitas fisik yang berlebihan pada remaja. 9
Banyak dari faktor risiko ini sama dengan asma dan dermatitis atopik.
Kegemukan dan obesitas tidak terkait dengan rhinitis alergi.Paparan dan
faktor risiko gaya hidup ini belum ditetapkan sebagai faktor risiko utama
untuk rhinitis alergi seperti contoh pada polusi udara dan perokok pasif
tampak tidak memiliki efek besar pada perkembangan rhinitis alergi tetapi
polusi dapat dikaitkan dengan peningkatan keparahan rhinitis alergi. 9
Proporsi rhinitis secara umum yang disebabkan oleh atopi adalah kurang
lebih 50% pada keseluruhan populasi. Rhinitis alergi, asma, dan dermatitis
atopik sering muncul bersamaan pada individu yang sama, sebagian karena
asal genetik yang sama. 9

4.3. Prevalensi
Rhinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari semua penyakit
atopi, diperkirakan mencapai prevalensi 5-22%.4 Rhinitis alergi telah
menjadi problem kesehatan global, mempengaruhi 10% sampai lebih dari
40% seluruh penduduk dunia. Rhinitis alergi juga telah menjadi 1 dari 10
alasan utama pasien datang berobat ke dokter. Namun, prevalensi ini bisa
menjadi lebih tinggi, hal ini dikarenakan pasien banyak yang mengobati diri
sendiri tanpa berkonsultasi ke dokter, maupun penderita yang tidak terhitung
pada survey resmi.3

4.4. Patofisilogi
12

Karakteristik utama dari sistem kekebalan tubuh adalah pengenalan dari


"non-self" yang berpasangan dengan ”memory”. Fungsi dari sistem
kekebalan tubuh melibatkan limfosit T dan limfosit B serta zat terlarut yang
disebut sitokin yang bertindak di dalam dan di luar sistem kekebalan tubuh
untuk mempengaruhi sistem tersebut dan juga beraneka ragam mediator.
Rhinitis alergi melibatkan terutama jenis reaksi hipersensitif tipe I hal ini
dikarenakan berbagai terapi modalitas bekerja di berbagai titik dalam reaksi
ini, penting bagi dokter untuk memiliki pemahaman umum tentang hal
tersebut.5
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2
fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelah terpapar dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase
Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam. 1

Gambar 4. Patofisiologi Rhinitis Alergi 9

Mukosa hidung adalah pendingin udara utama saluran pernapasan dan garis
pertahanan pertama melawan agen infeksi di udara. Untuk peran ini, menjaga dan
memulihkan integritas epitel dan kemampuan untuk memulai respon imun sangat
penting. Dengan kondisi tertentu atau faktor yang merusak integritas mukosa,
13

epitel melepaskan alarmin dan pola molekuler terkait kerusakan yang memulai
mekanisme perbaikan tetapi juga dapat menginduksi inflamasi protektif. Pada
rhinitis alergi, mekanisme yang sama mungkin aktif dalam menginduksi
penyakit. Kerusakan mukosa hidung yang terjadi pada individu dengan rhinitis
alergi mengawali respon imun alergi yang terjadi pada rhinitis alergi. (gambar 4).
9

Respon imun alergi dimulai dengan fase sensitisasi ketika pasien


pertama kali terpapar alergen tanpa mengalami gejala klinis (gambar 4).
Selama fase sensitisasi, alergen diambil oleh sel dendritik di mukosa
hidung dan menginduksi serangkaian peristiwa yang mengarah ke generasi
sel plasma yang menghasilkan imunoglobulin E (IgE) spesifik alergen
yang mengikat sel mast dan basofil dan ke pool. sel T helper tipe 2
spesifik berfungsi sebagai Memory Allergen (sel TH2) dan IgE + sel B.
Pada individu yang peka terhadap alergen, paparan alergen kemudian hari
akan mengaktifkan basofil dan sel mast di mukosa hidung, memicu
pelepasan mediator alergi (termasuk histamin dan leukotrien
sulfidopeptida), yang menyebabkan gejala akut rhinitis alergi. Produksi
sitokin oleh sel TH2 yang berfungsi sebagai alergen memori spesifik yang
menginduksi infiltrat inflamasi (perekrutan eosinofil) dalam beberapa jam,
menyebabkan lebih banyak gejala dan perubahan aspek fungsional mukosa
hidung yang menyerupai rhinitis kronis. Innate Lymphoid Cell Group 2
(ILC2) ; leukotriene D4 (LTD4), leukotriene E4 (LTE4), Major
Histocompatibility Complex Class II (MHC II); prostaglandin D2 (PGD2);
T cell receptor (TCR), thymic stromal lymphopoietin. (TSLP). Hal ini
diinduksi oleh Sel TH2 alergen memori dan sel B. Meskipun ini
merupakan langkah pertama dalam perkembangan alergi, ini juga merupakan
proses yang berkelanjutan karena mukosa menjadi terpapar berbagai alergen
secara kronis, musiman atau episodik.9
14

4.5. Macam cara masuk allergen

Gambar 5. Alergen pada rhinitis alergi

Berdasarkan cara masuk alergen dibagi atas: (gambar 5) 1


1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan,
seperti contoh: tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit
binatang, rerumputan serta jamur.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan.
seperti contoh: susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting
dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan
seperti contoh : penisilin dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa sepeti contoh: bahan kosmetik, perhiasan.
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran,
sehingga memberi gejala campuran, misal tungau debu rumah yang
member gejala asma bronchial dan rhinitis alergi. 1
15

4.6. Klasifikasi
Penyakit ini dapat dibagi menjadi Ringan, Sedang dan Berat berdasarkan
skor total Visual Analogue Scale (VAS) (0-10 cm):
- Ringan = VAS 0-3
- Sedang = VAS > 3-7
- Berat = VAS > 7-10
Untuk evaluasi nilai total, pasien diminta untuk menilai pada suatu VAS
jawaban dari pertanyaan:

BERAPA BESAR GANGGUAN DARI GEJALA RINOSINUSITIS


SAUDARA?

1 cm
Tidak mengganggu Gangguan terburuk yang masuk akal
0

Nilai VAS > 5 mempengaruhi kualitas hidup pasien

Lamanya Penyakit

Akut Kronik
< 12 minggu > 12 minggu
resolusi komplit gejala tanpa resolusi gejala komplit •
termasuk kronik eksaserbasi akut
16

Gambar ... Klasifikasi Rinosinusitis Kronik

GPA
EGPA

Gambar .... Rinosinusitis Kronik


4.7. Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis klinis harus mencatat gejala, terutama yang menyebabkan
terjadi rhinitis alergi sepeti, di mana dan kapan gejala itu terjadi, dan
faktor-faktor yang memperburuk dan menghilangkan. Gejala lain yang
terjadi pada dada, telinga, tenggorokan, usus atau kulit, selain apakah ada
riwayat pasien atau riwayat keluarga penyakit alergi dan/atau masalah
imunitas pada individu, serta pengobatan yang telah diberikan untuk
mengetahui manfaat kemanjuran obat tersebut, semua harus dicatat. 9
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja. Gejala rhinitis alergi yang khas adalah terdapat serangan
bersin berulang. Bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi
17

hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadi lebih dari lima
kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-
kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskan histamin.1
Rhinitis didefinisikan secara klinis sebagai memiliki dua atau lebih
gejala berikut selama lebih dari 1 jam per hari: hidung berair, tersumbat,
gatal atau bersin kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar.
Rhinitis alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering kali
gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang
keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau gejala yang
diutarakan oleh pasien.1 Gejala klinis lain yang dapat berupa ‘popping of
the ears’, berdeham, dan batuk-batuk lebih jarang dikeluhkan.4
2. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat
atau livid disertai terdapat sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten,
mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat
dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah
bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner.1

Gambar 6. Allergic Shiner pada pasien Rhinitis Alergi1


18

Gambar 7. (Kiri ke Kanan) Allergic Crease dan Allergic Sallute1

Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung,


karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai
allergic salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbul garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga
bawah, yang disebut sebagai allergic crease.1
Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies
adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah
tampak seperti gambaran peta (geographic tongue). 1

Gambar 8. Facies Adenoid (Kiri) Geographic Tongue (kanan) 1


2. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio
imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali
bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, selain
rhinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria.
19

Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada


bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang
tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno
Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno SorbentAssay
Test). 1
Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukan eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN
(polimononuklear) menunjukkan ada infeksi bakteri.1
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes
cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri
SET (Skin End-point Titration). SET dilakukan untuk alergen
inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi
yang bertingkat pada kepekatan Keuntungan SET, selain alergen
penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi
dapat diketahui. 1
Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang
dapat diandalkan. Diagnosis ditegakkan dengan diet eliminasi dan
provokasi (Challenge Test´).1
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu
lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai
diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, dengan
mengamati reaksi setelah itu. Pada diet eliminasi, jenis makanan
setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika
gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan. 1

4.8. Diagnosis Banding


Diagnosa banding dari rhinitis alergi adalah sebagai berikut:1,6
1. Rhinitis Non-alergik
20

Rhinitis non-alergik adalah suatu keadaan inflamasi hidung yang


disebabkan oleh selain alergi. Keadaan ini tidak dapat diidentifikasi
dengan pemeriksaan alergi yang sesuai (anamnesis, tes cukit kulit, kadar
antibodi IgE spesifik serum). Kelainan ini dapat bermacam-macam
bergantung dari penyebab, antara lain:
a. rhinitis vasomotor
b. rhinitis gustator
c. rhinitis medikamentosa
d. rhinitis hormonal

2. Immotile cilia syndrome (ciliary dyskinesis)


PCD (Primer Cillia Diskinesia) juga disebut immotile-silia
syndrome ditandai oleh penurunan nilai bawaan dari clearance
mukosiliar. Manifestasi klinis termasuk batuk kronis, rhinitis kronis, dan
sinusitis kronis. Otitis dan otosalpingitis yang umum di masa kanak-
kanak, seperti juga poliposis hidung dan agenesis sinus frontalis.7

4.9. Tatalaksana
Secara nonfarmakologi terapi yang paling ideal adalah dengan
menghindari kontak dengan alergen faktor penyebab (avoidance) dan
eliminasi.1
Pengobatan rhinitis alergi secara farmakologi, sebagai berikut :
a. Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1,
yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel
target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering
dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian
dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara peroral. 1,4
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan
antihistamin generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non-sedatif).
Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik, sehingga dapat
21

menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan


plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk
kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin,
prometasin, siproheptadin, sedangkan yang dapat diberikan secara
topical adalah azelastin. Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik,
sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif
mengikat resptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek
antikolinergik, antiadrenergik dan pada efek pada SSP minimal
(non-sedatif). (tabel 1) 1,4

Tabel 1. Efek samping sedasi dari antihistamin4


b. Kortikosteroid atau Intranasal Coricosteroid (INCS)
Pedoman ARIA (The Allergic Rhinitis and Its Impact on
Asthma) merekomendasikan penggunaan kortikosteroid intranasal
sebagai salah satu pilihan terapi untuk rhinitis ringan dan sedang
hingga berat pada anak-anak dan dewasa. 9
Kortikosteroid intranasal menghambat alergi fase awal dan
akhir pada rhinitis alergi dengan mencegah mediasi sel imun, dan
pelepasan mediator inflamasi dari sel yang terlibat dalam
patofisiologi rhinitis alergi. Semua kortikosteroid intranasal yang
tersedia saat ini efisien dalam mengendalikan gejala rhinitis alergi,
seperti hidung tersumbat, gatal, rinore, dan bersin. Penggunaan
kortikosteroid intranasal tidak dikaitkan dengan efek samping
22

sistemik seperti penggunaan kortikosteroid oral tetapi hanya efek


samping lokal ringan termasuk epistaksis, hidung kering, rasa
panas dan terbakar, serta sensasi menyengat. Penggunaan
kortikosteroid intranasal ini berdasarkan beberapa penelitian yang
telah dilakukan memiliki efek lebih baik dibandingkan penggunaan
antihistamin namun dengan efek samping terapi yang lebih berat
sehingga sampai saat ini penggunaan antihistamin oral masih
menjadi pilihan utama. 9

Tabel 2. Perbandingan penggunaan INCS dalam


mengendalikan gejala rhinitis alergi 9

Penggunaan INCS yang sering digunakan seperti


beclomethasone, budesonide, ciclesonide, fluticasone propionate,
fluticasone furoate, mometasone furoate dan triamcinolone
acetonide adalah pilihan terapi lini pertama untuk pasien dengan
gejala persisten atau sedang hingga berat. INCS secara efektif
mengendalikan empat gejala utama rhinitis alergi (tabel 2), dan
beberapa INCS (seperti fluticasone furoate yang diberikan secara
intranasal) dapat mengurangi gejala okular. INCS lebih efektif
daripada H1-antihistamin dan antagonis reseptor leukotrien,
terutama untuk hidung tersumbat, meskipun memerlukan beberapa
jam atau hari (tabel 2). 9
Mekanisme kerja INCS terkait dengan efek antiinflamasi lokal
pada sel mukosa hidung. Seperti formulasi intranasal obat lain,
23

semua pasien harus dididik tentang cara yang benar untuk


mengelola produk intranasal. INCS tidak diserap secara sistemik;
oleh karena itu, tidak ada efek samping sistemik. Efek samping
INCS yang paling umum adalah lokal, termasuk iritasi hidung,
menyengat dan epistaksis, dan dapat dicegah dengan mengarahkan
semprotan sedikit menjauh dari septum hidung. Penggunaan INCS
jangka panjang tidak merusak mukosa hidung atau menyebabkan
glaukoma, dan efek pertumbuhan pada anak-anak minimal.
Beberapa INCS, seperti budesonide, dapat digunakan dengan aman
selama kehamilan dengan dosis terapeutik yang direkomendasikan
setelah evaluasi medis menyeluruh.9
c. Dekongestan
Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun
sistemik. Onset obat topikal jauh lebih cepat daripada preparat
sistemik., namun dapat menyebabkan rhinitis medikamentosa bila
digunakan dalam jangka waktu lama.4
Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah
pseudoephedrine HCl dan Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Dosis obat ini 15
mg untuk anak 2-5 tahun, 30 mg untuk anak 6-12 tahun, dan 60 mg
untuk dewasa, diberikan setiap 6 jam. Efek samping dari obat-
obatan ini yang paling sering adalah insomnia dan iritabilitas. 4

d. Antikolinergik
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide,
bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi
reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. 1
e. Leukotrien Receptor Antagonist (LTRA)
Leukotrien receptor antagonist atau LTRA memblokir aktivitas
cysteinyl leukotrienes (CysLTs) yang merupakan mediator inflamasi kuat
yang terkait dengan gejala hidung tersumbat, produksi lendir, dan
inflamasi yang bertanggung jawab untuk gejala rhinitis alergi.
24

Pedoman ARIA saat ini merekomendasikan penggunaan leukotrien


untuk digunakan pada pasien rhinitis alergi yang berat. Penelitian yang
lebih baru menunjukkan efek samping neuropsikiatri dengan penggunaan
LRTA ini. Badan Pengawas Obat dan Makanan A.S. telah melarang
penggunaan sebagai terapi lini pertama untuk rhinitis alergi ringan dan
hanya digunakan untuk kasus berat.
f. Allergen Specific Immunotherapy (AIT)
Allergen Specific Immunotherapy (AIT) adalah modalitas terapi yang
memberikan penyembuhan jangka panjang dari gejala rhinitis alergi. Ada
dua metode administrasi yang dapat digunakan yaitu secara subkutan
maupun sublingual. Terapi yang berpotensi untuk memodifikasi
penyakit, terapi ini sering kali menjadi pilihan pengobatan terakhir untuk
pasien yang gejala tidak tertangani dengan baik oleh terapi farmakologis.
10

Terapi ini adalah pilihan bagi pasien yang belum menanggapi


farmakoterapi standar atau mereka yang ingin menghindari penggunaan
farmakoterapi dalam jangka panjang. Faktor-faktor seperti kepatuhan dan
kondisi komorbiditas harus dipertimbangkan pada pasien muda serta
pada orang tua. 10
Kontraindikasi untuk allergic specific immunotherapy dalam
pengobatan rhinitis alergi termasuk pasien dengan asma yang parah dan
tidak terkontrol, kondisi komorbid seperti tekanan darah tinggi dan
penyakit jantung yang memerlukan penggunaan beta-blocker, dan harus
berhati-hati pada pasien dengan terapi ACE-inhibitor. Memulai AIT
selama kehamilan merupakan kontraindikasi karena meningkatkan risiko
anafilaksis. 10
Efek perlindungan dari gejala rhinitis alergi dapat dipertahankan
hingga 2-3 tahun setelah AIT. Allergic specific immunotherapy (AIT)
menstimulasi toleransi terhadap alergen dan merupakan pengobatan yang
memodifikasi penyakit. Pembentukan tolerasi jangka panjang melibatkan
fungsi sel mast, basophil, sel T dan sel B untuk meregulasi spesifik
allergen dan produksi antibody spesifik. Pengurangan gejala dan
perbaikan klinis dicapai dengan menjauhkan respon imun dari inflamasi
alergi.11
4.10. Komplikasi
25

Komplikasi rhinitis alergi yang paling sering adalah: 1


1. Polip hidung.
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan
salah satu faktor penyebab terbentuk polip hidung dan kekambuhan
polip hidung.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal.
BAB V
RINGKASAN

Rhinitis Alergi (RA) adalah inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus
yang disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: debu, asap, serbuk/tepung
sari yang ada di udara. Gejala utama pada hidung yaitu hidung gatal, tersumbat,
bersin-bersin, keluar ingus cair seperti air bening. Seringkali gejala meliputi mata,
yaitu : berair, kemerahan dan gatal. Rhinitis alergi merupakan penyakit umum dan
sering dijumpai.
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai terdapat sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapat allergic
shiner, allergic salute dan allergic crease.
Pemeriksaan alergi dengan tes kulit (tes cukit) terhadap berbagai alergen
mungkin dapat menunjang penegakan diagnosis rhinitis alergi. Bila hasil belum
dapat mengetahui mungkin diperlukan tes alergi intra dermal. Pemeriksaan kadar
lgE di darah meningkat (tidak spesifik). Pemeriksaan terhadap lgE spesifik
terhadap alergen tertentu. Pengobatan rhinitis alergi bergantung pada tingkat
keparahan penyakit. Namun yang terpenting adalah dengan menghindari alergen
pemicu.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Harahap, Nahda Ismi Karunia. 2018. Profil Kuman Pada Sekret Hidung
Penderita Rinosinusitis Kronis di Rumah Sakit Haji Medan. Ibnu Sina
Biomedika. Volume 2. No. 1.
2. Samara, Anggita Putri. 2020. Gambaran Derajat Keparahan Gejala Pasien
Rinosinusitis Kronik di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Jurnal Ilmiah Ilmu
Kesehatan. Volume 8. No. 2. Hal 235-245.
3. Dewi, Putu Krisna Yama. 2018. Karakteristik Penderita Rinosinusitis
Kronik yang Rawat Jalan di Poli THT-KL RSUP Sanglah Denpasar tahun
2016. E-Jurnal Medika. Volume 7. No. 12.
4. Amelia, Nurul Lintang. 2017. Prevalensi Rinosinusitis Kronik di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang. Majalah Kedokteran Sriwijaya. No. 42.
5. Meltzer, EO. Evaluation of The Oral Antihistamine for Patients with
Allergic Rhinitis. 2005
6. Oates JA, Wood AJJ. The New England Journal of Medicine: Drug
therapy. 1991.
7. Cummings CW, Fredricksom JM, Harker LA. Otolaryngolohy Head and
Neck Surgery: Third Edition. 1998. St Louis: Mosby
8. Sheikh J, Najub U. Rhinitis Allergic. 2010
http://emedicine.medscape.com/article/134825-diagnosis. Diunduh pada 8
November 2021.
9. Bergström SE. Primary Ciliary Dyskinesia. 2010.
http://www.uptodate.com/patients/content/topic.do?
topicKey=~CDUFGoQw81hSwmU. Diunduh pada 8 November 2021.
10. Bousquet, Jean. M. Anto, Josep. Bachert, Claus. Baiardini, Ilaria. Bosnic-
Anticevich, Sinthia. Canonica, G. Walter. Melén, Erik.
Palomares,Oscar. Scadding, Glenis K. Togias, Alkis. and Salmi,
Sanna Toppila. 2020. Allergic Rhintis. Nature Reviews Disease Primer
(2020) 6:95 hal. 1-17.

26
27

11. Bernstein DI, Murphy KR, Nolte H, Kaur A, Maloney J. 2014. Efficacy of
short ragweed sublingual immunotherapy tablet (SLIT-T) in mono-
sensitized and poly-sensitized subjects. J Allergy Clin Immunol .
12. Głobińska, A., Boonpiyathad, T., Satitsuksanoa, P., Kleuskens, M., van de
Veen, W., Sokolowska, M., & Akdis, M. 2018. Mechanisms of
allergenspecific immunotherapy: Diverse mechanisms of immune
tolerance to allergens. Annals of Allergy, Asthma & Immunology, 121(3),
306-312.

Anda mungkin juga menyukai