RINOSINUSITIS
Oleh :
Carolin 21710117
Pembimbing :
dr. Lenny Buana W. Sp. THT-KL
2022
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME karena atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, penulis mampu menyelesaikan referat ini dengan judul “Rinosinusitis”.
Referat ini dikerjakan demi memenuhi salah satu tugas perbaikan SMF Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok Bedah Kepala Leher RSUD Nganjuk . Penulis menyadari bahwa
referat ini bukanlah tujuan akhir dari belajar karena belajar adalah sesuatu yang tidak terbatas.
Terselesaikannya referat ini tentunya tak lepas dari dorongan dan uluran tangan
berbagai pihak. Oleh karena itu, tak salah kiranya bila penulis mengungkapkan rasa terima
kasih dan penghargaan kepada:
1. Prof. Dr. Suhartati, dr., MS., Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya yang telah memberi kesempatan kepada penulis menuntut ilmu di Fakultas
Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
2. dr. Lenny Buana Wuriningtyas, Sp.THT-KL selaku Staff bagian Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok Nedah Kepala Leher serta sebagai pembimbing Referat di RSUD
Nganjuk yang telah memberikan banyak ilmunya kepada penulis sehingga penulis mampu
menyelesaikan tugas ini dengan maksimal.
Akhir kata penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai
masukan yang berharga bagi penulis. Semoga nantinya referat ini bisa memberikan sumbangan
pikiran yang berguna bagi fakultas dan masyarakat.
Penulis
ii
Daftar Isi
Cover .................................................................................................. i
Kata Pengantar.................................................................................... ii
Daftar Isi ............................................................................................. iii
Bab I. Pendahuluan............................................................................. 1
Bab II. Tinjauan Pustaka.................................................................. 3
2.1. Definisi..................................................................................... 3
2.2. Anatomi ..................................................................................... 3
2.3. Fisiologi ..................................................................................... 8
2.4. Etiologi ................................................................................. 10
2.5. Patofisiologi..…… ..................................................................... 11
2.6. Klasifikasi.................................................................................. 13
2.7. Gejala Klinik……...................................................................... 14
2.8. Diagnosis ..................................................................................... 15
2.9. Diagnosis Banding........... ....................................................... 18
2.10. Terapi......................................................................................... 18
2.11. Komplikasi............................................................................. 23
Bab III. Penutup………..................................................................... 25
Daftar Pustaka .................................................................................... 26
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Pendahuluan
Proses terjadinya rinosinusitis biasanya dipicu oleh infeksi saluran napas atas, rinitis alergi,
polip hidung, dan kelainan lain yang menimbulkan sumbatan hidung. Penyebab utamanya
ialah common cold yaitu reaksi inflamasi pada saluran pernapasan yang disebabkan oleh
peningkatan frekuensi rinitis alergi dan berakibat dalam masalah keuangan yang besar untuk
yang dilakukan pada tahun 2011 mencapai 6-10% dari keseluruhan populasi. Prevalensi dari
rinosinusitis kronis juga dilaporkan terjadi pada 16% orang dewasa di Amerika Serikat.
Prevalensi meningkat seiring dengan peningkatan usia dimana pada kelompok usia 20-29
tahun dan 50 -59 tahun mencapai 2.7% dan 6.6%. Rinosinusitis kronis lebih sering dijumpai
pada wanita dibandingkan dengan pria. Di Indonesia prevalensi rinosinusitis kronis pada
tahun 2004 dilaporkan sebesar 12,6% dengan perkiraan sebanyak 30 juta penduduk
Menurut Hakim (2006), komplikasi yang ditemukan dari 8 pasien yang menderita
rinosinusitis dengan usia rata – rata 12 tahun adalah 4 orang dengan komplikasi abses
epidural, 3 osteomilitis tulang frontal, 1 cerebral infark dan 1 abses cerebral.5 Sedangkan
pada tahun 2008 menurut data analisis dari National Health Interview Survey, rinosinusitis
1
2
berkunjung kerumah sakit dibagian darurat dengan keluhan sinusitis, mencapai 800.000 kali
setiap tahunnya, bahkan tindakan pembedahan sinus salah satu tindakan yang paling sering
saluran pernafasan atas akut yang akhirnya dapat menyebabkan rinosinusitis virus akut
(yang menyebabkan 80% dari infeksi bakteri sinus) dan inflamasi karena alergi (yang
menyebabkan 20% dari infeksi bakteri sinus). Anak-anak menderita infeksi saluran
pernafasan atas (ISPA) rata-rata 6 sampai 8 kali pertahunnya, dan diperkirakan 5% sampai
13% diantaranya mengalami komplikasi menjadi infeksi sinus paranasal sekunder. Penyakit
yang berhubungan dengan rinosinusitis akut dan kronis sangat bervariasi dan sulit untuk
dibedakan. Anak-anak memiliki sistem imun yang belum sempurna karena itu anak yang
sering diberikan ke tempat penitipan anak memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk
mempengaruhi kualitas hidup secara signifikan, karena itu klinisi harus berhati-hati dalam
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya
ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat
diikuti oleh infeksi bakteri. Yang paling sering terkena ialah sinus etmoid dan maksila,
sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi.4
Rinosinusitis adalah suatu peradangan yang mengenai sinus paranasal dan hidung
yang disertai dengan dua gejala atau lebih, yang salah satu gejalanya adalah hidung
tersumbat atau keluarnya cairan dari hidung. Rinosinusitis merupakan suatu proses
peradangan yang mengenai mukosa hidung dan sinus dan apabila mengenai lebih dari
satu sinus disebut multisinusitis sedangkan bila mengenai semua sinus pada saat yang
2.2. Anatomi
2.2.1. Hidung
tulanghidung pada bagian superior lateral dan kartilago pada bagian inferior lateral.
udara di dalam kavum nasi. Dinding lateral kavum nasi tersusun atas konka
3
4
inferior, media, superior dan meatus. Meatus merupakan ruang diantara konka.
Meatus media terletak diantara konka media dan inferior yang mempunyai peran
penting dalam patofisiologi rinosinusitis karena melalui meatus ini kelompok sinus
Septum nasi merupakan struktur tengah hidung yang tersusun atas lamina
dan menekan konka media yang menyebabkan obstruksi kompleks ostiomeatal dan
hambatan aliran sinus. Meatus inferior berada diantara konka inferior dan rongga
nasolakrimalis.6
dari a. oftalmika dan a. sfenopalatina. Bagian anterior dan superior septum dan
5
dinding lateral hidung mendapatkan aliran darah dari a. etmoid anterior, sedangkan
cabang a. etmoid posterior yang lebih kecil hanya mensuplai area olfaktorius.
hidung tidak memiliki katup dan hal ini menjadi predisposisi penyebaran infeksi
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat
pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal,
sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
6
Sinus paranasal terdiri atas empat pasang yaitu sinus maksila, sinus etmoid,
sinus sfenoid dan sinus frontal. Mukosa sinus dilapisi oleh epitel respiratorius
pseudostratified yang terdiri atas empat jenis sel yaitu sel kolumnar bersilia, sel
kolumnar tidak bersilia, sel mukus tipe goblet dan sel basal. Membran mukosa
bersilia bertugas menghalau mukus menuju ostium sinus dan bergabung dengan
sekret dari hidung. Jumlah silia makin bertambah saat mendekati ostium. Ostium
a. Sinus Maksila
etmoid. Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila
adalah 1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas,
yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi
taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar akar gigi tersebut dapat menonjol
ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan
sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drenase hanya
tergantung dari gerak silia, lagipula drenase juga harus melalui infundibulum
yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan
7
pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi
b. Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel sel infundibulum etmoid.
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada
lain-nya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Sinus frontal
menunjukkan adanya infeksi. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif
tipis dari orbita dan fosa serebri anterior. sehingga infeksi dari sinus frontal
mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrenase melalui ostiume nya
etmoid. 4
c. Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan
sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian
lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial
dibagi menjadi sinus etmoid antenor yang bernuara di meatus medius dan
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit. disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang
d. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Saat
akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai
sinus anterior yang terdiri dari meatus media, prosesus unsinatus, hiatur
semilunaris, infundibulum etmoid, bula etmoid, ostium sinus maksila dan resesus
frontal. KOM bukan merupakan struktur anatomi tetapi merupakan suatu jalur
yang jika mengalami obstruksi karena mukosa yang inflamasi atau massa yang
akan menyebabkan obstruksi ostium sinus, stasis silia dan terjadi infeksi sinus.6
2.3. Fisiologi
Hidung mempunyai empat fungsi utama; yaitu (1) sebagai lokasi epitel olfaktorius,
(2) saluran udara yang kokoh menuju traktus respiratorius bagian bawah, (3) organ yang
mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru, dan (4) sebagai
9
organ yang mampu membersihkan dirinya sendiri. Berarti hidung merupakan alat
pelindung tubuh terhadap zat-zat yang berbahaya yang masuk bersamaudara pernafasan.
Hidung juga berperan sebagai resonator dalam fonasi, hal ini nyata pada seseorang yang
terserang selesma.3
Mukosa olfaktorius mengandung 3 jenis sel : sel basal, sel penyokong dan sel
melapisi saluran hidung. Sel basal adalah prekursor untuk regenerasi sel reseptor
olfaktorius setiap 2 bulan dan sel reseptor olfaktorius yang berfungsi mendeteksi bau.
Suatu fungsi utama bagian konduksi secara keseluruhan adalah mengondisikan udara
masuk ke paru-paru.5
Fungsi sinus paranasal sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Ada pendapat
yang mengatakan bahwa karena sinus terbentuk akibat pertumbuhan tulang sehingga
sinus paranasal dianggap tidak memiliki fungsi. Ada juga sebuah teori yang
mengemukakan fungsi dari sinus paranasal : Pengatur kondisi udara (air conditioning),
Sesuai dengan letaknya, sinus paranasal dapat dianggap sebagai pelindung pengaruh
panas udara rongga hidung terhadap organ-organ disekitar sinus (thermal insulators) seperti
mata dan otak. Akan tetapi kenyataannya sinus maksila sebagai sinus yang besar tidak
terletak diantara hidung dan organ yang dilindunginya. Fungsi membantu keseimbangan
kepala, dimungkinkan karena terbentuknya sinus akan mengurangi berat tulang muka.
Sebagai pembantu alat penghirup, dilakukan oleh sinus paranasal dengan cara membagi rata
10
udara inspirasi ke regio olfaktorius. Fungsi lain sebagai pengatur keseimbangan tekanan
udara, peredam kejut (shock absorber), protektor suara antara organ vokal dengan telinga,
sebagai tambahan ruang rugi (dead space) dan penyesuaian proporsi pertumbuhan kranium
dan wajah.3
2.4. Etiologi
Umumnya penyebab sinusitis adalah rinogenik yang merupakan perluasan infeksi dari
hidung dan dentogenik yang berasal dari infeksi pada gigi. Infeksi pada sinus paranasal
dapat disebabkan oleh interaksi dari beberapa etiologi seperti faktor mikrobial,
lingkungan, dan faktor host yang terdiri dari gangguan anatomi, genetik fisiologi dan
imunitas.6
Penyebab rinosinusitis akut yang paling banyak adalah dimulai dari infeksi virus
yang kemudian diikuti invasi bakteri. Menurut Penelitian Ellen tahun 2011 proporsi
Kuman penyebab terjadinya rinosinusitis kronis adalah kuman aerob dan anaerob.
dan Staphylococcus aureus. Jamur juga memiliki peran terhadap penyebab terjadinya
rinosinusitis kronis yang lebih sering disebut rinosinusitis jamur seperti Aspergillus
11
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung,
kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-
meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti
pada sindroma Kartagener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik.4
leher posisi lateral. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan yang berpolusi,
udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan
2.5. Patofisiologi
ostiomeatal (KOM) yang berperan penting juga sebagai transport mukus dan debris
Disamping itu mukus juga mengandung substansi mikrobial dan zat-zat yang
Bila terdapat gangguan didaerah KOM seperti peradangan, edema atau polip maka
hal itu akan menyebabkan gangguan drainase sehingga terjadi sinusitis. Bila ada
kelainan anatomi seperti deviasi atau spina septum, konka bulosa atau hipertrofi
konka media, maka celah yang sempit itu akan bertambah sempit sehingga
frontal yang termasuk bagian dari KOM, berperan penting pada patofisiologi
sinusitis. Permukaan mukosa ditempat ini berdekatan satu sama lain dan transportasi
lendir pada celah yang sempit ini dapat lebih efektif karena silia bekerja dari dua sisi
atau lebih6
edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak bergerak
dan ostium tersumbat. Biasanya edema mukosa itu disebabkan oleh trauma, rinitis
dan biasa disebabkan oleh peradangan yang diakibatkan gangguan sistemik atau
sistem imun. Apabila terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus dapat
menyebabkan transudasi, mula – mula serous dan biasanya kondisi ini dianggap
sebagai rinosinusitis bakterial yang dapat sembuh sendiri dalam beberapa hari tanpa
deviasi septum, turbinates tengah paradoks, dan sel Haller, membuat daerah ini lebih
Gangguan fungsi silia berkurang dapat diakibatkan hilangnya sel epitel bersilia,
aliran udara yang tinggi, virus, bakteri, mediator kimia, kontak antara kedua mukosa,
13
luka, sindrom kartagener, pH rendah, asap rokok dan obat – obatan (antihistamin dan
antikolinergik). 2
Apabila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga
silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan, maka akan terjadi
gangguan drainase dan ventilasi sinus maksila dan frontal. Gangguan ventilasi akan
menyebabkan penurunan pH dalam sinus, silia menjadi kurang aktif dan lendir yang
diproduksi menjadi lebih kental sehingga merupakan media yang baik untuk tumbuh
kuman patogen.6
immunoglobulin dan sel – sel inflamasi. Lapisan ini terdiri dari lapisan serosa di
dalam dan lapisan viscous 19 19 diluar. Jika komposisi lendir berubah berubah
menjadi lebih kental menyebabkan tranportasi menuju ostia menjadi terhambat dan
Faktor predisposisi lokal antara lain: septum deviasi, edema atau hipertrofi
konka, rinitis alergi, rinitis vasomotor, barotrauma, korpus alienum, rinolit dan
saluran nafas atas oleh karena virus, keadaan umum yang lemah, malnutrisi, DM
2.6. Klasifikasi
14
batasan sampai 8 minggu dan kronik jika lebih dari 8 minggu. Konsensus tahun 2004
membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu sampai
3 bulan dan kronik jika lebih dari 3 bulan. Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik
umumnya merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada
sinusitis kronik adanya faktor disposisi harus dicari dan diobati secara tuntas. 4
rinosinusitis dibagi menjadi rinosinusitis dentogen yaitu berasal dari infeksi gigi dan
Pada rinosinusitis akut gejala yang dapat timbul ialah sekret yang purulen, hidung
tersumbat, dan nyeri tekan pada wajah. Nyeri pipi menandakan rinosinusitis maksila.
Nyeri dibelakang atau diantara bola mata menandakan rinosinusitis etmoid. Nyeri di dahi
atau seluruh kepala menandakan rinosinusitis frontalis, dan jika nyeri di vertex, oksipital,
belakang bola mata atau dekat mastoid menandakan rinosinusitis sphenoid. Gejala lain
yang dapat timbul ialah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip yang
hanya 1 atau 2 dari gejala dibawah ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk
15
kronik, gangguan tenggorokan, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba
penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus
2.8. Diagnosis
penunjang. Diagnosis dari rhinosinusitis akut tergantung oleh anamnesis; seringnya tidak
terlalu terdapat perbedaan pemeriksaan fisik yang mencolok antara penyakit ini dan
ISPA biasa. Rhinosinusitis akut merupakan gejala saluran nafas atas berat yang bertahan
lebih dari 10 hari atau dengan gejala yang semakin parah pada waktu 7 sampai 10 hari.3
Menurut Task Force on Rhinosinusitis, diagnosis dari sinusitis akut dapat ditegakkan
jika terdapat paling tidak 2 kriteria mayor ataupun 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria
minor. 3
postnasal Batuk
Demam
16
Menurut kriteria Task Force yang dibentuk oleh the American Academy of
rinosinusitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan adanya dua atau lebih gejala mayor,
Sakit Kepala
Hiposmia/anosmia
endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah
adanya pus dimeatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau
dimeatus superior (pada sinusitis sphenoid dan sinusitis etmoid posterior). Pada
rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi waters, PA dan
lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila
dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau
penebalan mukosa. CT Scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena
mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus
secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai
penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-
Pemeriksaan transluminasi dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya cairan pada
rongga sinus maksila dan frontal. Teknik ini dilakukan pada ruangan gelap dan diarahkan
transiluminator (cahaya dengan intensitas tinggi) ke mulut ataupun pipi (untuk melihat
sinus maksila) atau kebawah dari batas supraorbital bagian medial (untuk sinus frontal)
untuk melihat transmisi dari cahaya melalui rongga sinus. Transluminasi tidak dapat
terlalu dipastikan hasilnya pada anak dengan umur dibawah 10 tahun. Pada orang yang
lebih dewasa dapat dilakukan pemeriksaan dengan transluminsi, pada keadaan cahaya
dari transluminasi normal, maka diduga tidak terjadi sinusitis, sebaliknya, jika tidak
terdapat cahaya transluminasi maka diduga terdapat cairan pada rongga sinus. Peneliti
tingkat diagnostik yang terbatas dan bergantung pada skill dari pemeriksa. Dengan hanya
dari meatus medius atau superior, untuk mendapat antibiotic yang tepat guna. Lebih baik
lagi bila diambil secret yang keluar dari pungsi sinus maksila. Sinuskopi dilakukan
18
dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan
alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat
Rinosinusitis pada anak harus dibedakan dengan rinitis alergi, yang mana biasanya
dikarakteristikan dengan hidung tersumbat yang berkelanjutan, bersin, mata terasa gatal,
dan riwayat atopi dari keluarga. Hipertropi adenoid atau septum deviasi yang berat juga
2.10. Terapi
membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara
alami. 4
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi septum,
kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak, polip, kista, jamur,
1. Rhinosinusitis Akut
sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti
generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala
terapi lain yang dapat diberikan seperti analgetik, mukolitik, steroid, pencucian
2. Rhinosinusitis Kronik
adalah untuk menghilangkan obstruksi pada KOM sehingga drainase dan ventilasi
beragai efek samping yang juga patut diperhitungkan. Jika rinosinusitis kronik
berdasarkan skor total visual analogue scale (VAS) (0-10 cm): - RINGAN = VAS 0-
21
3 - SEDANG = VAS > 3-7 - BERAT = VAS > 7-10 Untuk evaluasi nilai total,
pasien diminta untuk menilai pada suatu VAS jawaban dari pertanyaan (Wytske
Fokkens, 2007):
Perlu diketahui bahwa tidak ada satupun medikasi yang telah diindikasikan oleh
Food and Drugs Association (FDA) sebagai terapi rinosinusitis kronik. Kendati
demikian, beberapa pilihan medikasi telah terbukti efektif dalam meredakan dan
saline untuk mengurangi gejala cukup efektif dengan efek samping minimum. 7
22
drainase dengan cara mengurangi inflamasi mukosa, edema, dan produksi mukus.
oral dapat mengurangi gejala secara signifikan, efeknya mungkin tidak bertahan
lama, dan efek sampingnya juga harus diperhitungkan. Pasien dengan riwayat alergi
juga harus diterapi, tetapi perlu diingat bahwa pemberian antihistamin dapat
fungsional (BSEF) telah menjadi pilihan utama dalam intervensi bedah rinosinusitis
kronik. BSEF memiliki keunggulan karena tidak meninggalkan luka luar, dan yang
paling penting dapat langsung mengakses area yang terpenting pada sinus, yaitu
kompleks ostiomeatal. Prosedur ini biasanya dilakukan dengan anestesi umum, tetapi
juga bisa dilakukan dengan anestesi lokal. Angka kesuksesan tindakan ini mencapai
lebih dari 90%. Meskipun begitu, beberapa pasien dapat mengalami relaps, terutama
pada paien dengan polip hidung (CRSwNP). Bedah revisi biasanya dianjurkan dalam
2.11. Komplikasi
Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan
1. Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata
(orbita). Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan
Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal,
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan sinusitis kronik antara lain:
1. Osteomielitis dan abses subperiostal. Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan
biasa nya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul
2. Kelainan paru, seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus
paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sino bronkitis. Selain itu dapat
sinusitisnya disembuhkan.4
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Rinosinusitis merupakan suatu proses peradangan yang mengenai mukosa hidung dan
sinus dan apabila mengenai lebih dari satu sinus disebut multisinusitis sedangkan bila
mengenai semua sinus pada saat yang sama disebut pansinusitis. Penyebab rinosinusitis akut
yang paling banyak adalah dimulai dari infeksi virus yang kemudian diikuti invasi bakteri.
Patofisiologi rinosinusitis di pengaruhi oleh 3 faktor yakni obstruksi jalur drainase sinus,
Pada rinosinusitis akut gejala yang dapat timbul ialah sekret yang purulen, hidung
tersumbat, dan nyeri tekan pada wajah. Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit
didiagnosis. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan naso-
endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Prinsip pengobatan
ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara
alami.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Yunitasari Alissa. 2013. Hubungan Rinosinusitis Kronik Dengan Tingkat Kontrol Asma.
Pirngadi Medan Pada Tahun 2012. Fakultas Kedokteran. Universitas Hkbp Nommensen.
Medan.
3. Adriztina Indri. 2013. Rinosinusitis Pada Anak. Fakultas Kedokteran Usu. Medan.
4. Efiaty Arsyad Et Al. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
5. Harahap Nahda. 2018. Profil Kuman Pada Sekret Hidung Penderita Rinosinusitis Kronis
6. Putu Dan Sari. 2015. Gambaran Sino-Nasal Outcome Test 20 (Snot-20) Pada Penderita
Rinosinusitis Di Desa Yeh Embang Negara, Desa Tamblang Singaraja Dan Desa
26