Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

RINOSINUSITIS

Oleh :

Carolin 21710117

Pembimbing :
dr. Lenny Buana W. Sp. THT-KL

SMF ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK


BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA
SURABAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH NGANJUK

2022
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME karena atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, penulis mampu menyelesaikan referat ini dengan judul “Rinosinusitis”.

Referat ini dikerjakan demi memenuhi salah satu tugas perbaikan SMF Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok Bedah Kepala Leher RSUD Nganjuk . Penulis menyadari bahwa
referat ini bukanlah tujuan akhir dari belajar karena belajar adalah sesuatu yang tidak terbatas.

Terselesaikannya referat ini tentunya tak lepas dari dorongan dan uluran tangan
berbagai pihak. Oleh karena itu, tak salah kiranya bila penulis mengungkapkan rasa terima
kasih dan penghargaan kepada:

1. Prof. Dr. Suhartati, dr., MS., Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya yang telah memberi kesempatan kepada penulis menuntut ilmu di Fakultas
Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
2. dr. Lenny Buana Wuriningtyas, Sp.THT-KL selaku Staff bagian Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok Nedah Kepala Leher serta sebagai pembimbing Referat di RSUD
Nganjuk yang telah memberikan banyak ilmunya kepada penulis sehingga penulis mampu
menyelesaikan tugas ini dengan maksimal.
Akhir kata penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai
masukan yang berharga bagi penulis. Semoga nantinya referat ini bisa memberikan sumbangan
pikiran yang berguna bagi fakultas dan masyarakat.

Nganjuk , 14 Febuari 2022

Penulis

ii
Daftar Isi

Cover .................................................................................................. i
Kata Pengantar.................................................................................... ii
Daftar Isi ............................................................................................. iii
Bab I. Pendahuluan............................................................................. 1
Bab II. Tinjauan Pustaka.................................................................. 3
2.1. Definisi..................................................................................... 3
2.2. Anatomi ..................................................................................... 3
2.3. Fisiologi ..................................................................................... 8
2.4. Etiologi ................................................................................. 10
2.5. Patofisiologi..…… ..................................................................... 11
2.6. Klasifikasi.................................................................................. 13
2.7. Gejala Klinik……...................................................................... 14
2.8. Diagnosis ..................................................................................... 15
2.9. Diagnosis Banding........... ....................................................... 18
2.10. Terapi......................................................................................... 18
2.11. Komplikasi............................................................................. 23
Bab III. Penutup………..................................................................... 25
Daftar Pustaka .................................................................................... 26

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Pendahuluan

Rinosinusitis merupakan proses inflamasi mukosa sinus paranasal yang sangat

mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan mempengaruhi produktivitas kerja.

Proses terjadinya rinosinusitis biasanya dipicu oleh infeksi saluran napas atas, rinitis alergi,

polip hidung, dan kelainan lain yang menimbulkan sumbatan hidung. Penyebab utamanya

ialah common cold yaitu reaksi inflamasi pada saluran pernapasan yang disebabkan oleh

infeksi virus, selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.1

Rinosinusitis merupakan masalah kesehatan yang signifikan sebagai cermin dari

peningkatan frekuensi rinitis alergi dan berakibat dalam masalah keuangan yang besar untuk

masyarakat. Insiden dari rinosinusitis akut berdasarkan Multi-nasional Questionnaire survey

yang dilakukan pada tahun 2011 mencapai 6-10% dari keseluruhan populasi. Prevalensi dari

rinosinusitis kronis juga dilaporkan terjadi pada 16% orang dewasa di Amerika Serikat.

Prevalensi meningkat seiring dengan peningkatan usia dimana pada kelompok usia 20-29

tahun dan 50 -59 tahun mencapai 2.7% dan 6.6%. Rinosinusitis kronis lebih sering dijumpai

pada wanita dibandingkan dengan pria. Di Indonesia prevalensi rinosinusitis kronis pada

tahun 2004 dilaporkan sebesar 12,6% dengan perkiraan sebanyak 30 juta penduduk

menderita rinosinusitis kronis.2

Menurut Hakim (2006), komplikasi yang ditemukan dari 8 pasien yang menderita

rinosinusitis dengan usia rata – rata 12 tahun adalah 4 orang dengan komplikasi abses

epidural, 3 osteomilitis tulang frontal, 1 cerebral infark dan 1 abses cerebral.5 Sedangkan

pada tahun 2008 menurut data analisis dari National Health Interview Survey, rinosinusitis

1
2

mempengaruhi sekitar 1 diantara 7 orang dewasa.4 Di Amerika Serikat, prevalensi yang

berkunjung kerumah sakit dibagian darurat dengan keluhan sinusitis, mencapai 800.000 kali

setiap tahunnya, bahkan tindakan pembedahan sinus salah satu tindakan yang paling sering

dilakukan di Amerika yang mencapai 460.000 kasus setiap tahunnya. 2

Faktor predisposisi tersering yang menyebabkan rinosinusitis adalah infeksi virus

saluran pernafasan atas akut yang akhirnya dapat menyebabkan rinosinusitis virus akut

(yang menyebabkan 80% dari infeksi bakteri sinus) dan inflamasi karena alergi (yang

menyebabkan 20% dari infeksi bakteri sinus). Anak-anak menderita infeksi saluran

pernafasan atas (ISPA) rata-rata 6 sampai 8 kali pertahunnya, dan diperkirakan 5% sampai

13% diantaranya mengalami komplikasi menjadi infeksi sinus paranasal sekunder. Penyakit

yang berhubungan dengan rinosinusitis akut dan kronis sangat bervariasi dan sulit untuk

dibedakan. Anak-anak memiliki sistem imun yang belum sempurna karena itu anak yang

sering diberikan ke tempat penitipan anak memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk

menderita infeksi saluran pernafasan dan rinosinusitis berulang. Rinosinusitis dapat

mempengaruhi kualitas hidup secara signifikan, karena itu klinisi harus berhati-hati dalam

menegakkan diagnosa dan menentukan pentalaksanaan yang tepat.3


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya

disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya

ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat

diikuti oleh infeksi bakteri. Yang paling sering terkena ialah sinus etmoid dan maksila,

sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi.4

Rinosinusitis adalah suatu peradangan yang mengenai sinus paranasal dan hidung

yang disertai dengan dua gejala atau lebih, yang salah satu gejalanya adalah hidung

tersumbat atau keluarnya cairan dari hidung. Rinosinusitis merupakan suatu proses

peradangan yang mengenai mukosa hidung dan sinus dan apabila mengenai lebih dari

satu sinus disebut multisinusitis sedangkan bila mengenai semua sinus pada saat yang

sama disebut pansinusitis.2

2.2. Anatomi

2.2.1. Hidung

Struktur hidung luar berbentuk piramida tersusun oleh sepasang

tulanghidung pada bagian superior lateral dan kartilago pada bagian inferior lateral.

Struktur tersebut membentuk piramid sehingga memungkinkan terjadinya aliran

udara di dalam kavum nasi. Dinding lateral kavum nasi tersusun atas konka

3
4

inferior, media, superior dan meatus. Meatus merupakan ruang diantara konka.

Meatus media terletak diantara konka media dan inferior yang mempunyai peran

penting dalam patofisiologi rinosinusitis karena melalui meatus ini kelompok sinus

anterior berhubungan dengan hidung.6

Gambar 2.1. Anatomi hidung

Septum nasi merupakan struktur tengah hidung yang tersusun atas lamina

perpendikularis os etmoid, kartilago septum, premaksila dan kolumela

membranosa. Deviasi septum yang signifikan dapat menyebabkan obstruksi hidung

dan menekan konka media yang menyebabkan obstruksi kompleks ostiomeatal dan

hambatan aliran sinus. Meatus inferior berada diantara konka inferior dan rongga

hidung. Pada permukaan lateral meatus lateral terdapat muara duktus

nasolakrimalis.6

Perdarahan hidung berasal dari a. etmoid anterior, a. etmoid posterior cabang

dari a. oftalmika dan a. sfenopalatina. Bagian anterior dan superior septum dan
5

dinding lateral hidung mendapatkan aliran darah dari a. etmoid anterior, sedangkan

cabang a. etmoid posterior yang lebih kecil hanya mensuplai area olfaktorius.

Terdapat anastomosis diantara arteri-arteri hidung di lateral dan arteri etmoid di

daerah antero-inferior septum yang disebut pleksus Kiesselbach. Sistem vena di

hidung tidak memiliki katup dan hal ini menjadi predisposisi penyebaran infeksi

menuju sinus kavernosus. Persarafan hidung terutama berasal dari cabang

oftalmikus dan cabang maksina nervus trigeminus.6

2.2.2. Sinus Paranasal

Gambar 2.2. Sinus paranasal

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit

dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat

pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal,

sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
6

pneumatisasi tulang-tulang kepala, se hingga terbentuk rongga di dalam tulang.

Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.4

Sinus paranasal terdiri atas empat pasang yaitu sinus maksila, sinus etmoid,

sinus sfenoid dan sinus frontal. Mukosa sinus dilapisi oleh epitel respiratorius

pseudostratified yang terdiri atas empat jenis sel yaitu sel kolumnar bersilia, sel

kolumnar tidak bersilia, sel mukus tipe goblet dan sel basal. Membran mukosa

bersilia bertugas menghalau mukus menuju ostium sinus dan bergabung dengan

sekret dari hidung. Jumlah silia makin bertambah saat mendekati ostium. Ostium

adalah celah alamiah tempat sinus mengalirkan drainasenya ke hidung. 6

a. Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar Sinus maksila

berbentuk pyramid. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding

medial sinus dan ber muara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum

etmoid. Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila

adalah 1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas,

yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi

taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar akar gigi tersebut dapat menonjol

ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan

sinusitis, 2) Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita, 3) Ostium

sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drenase hanya

tergantung dari gerak silia, lagipula drenase juga harus melalui infundibulum

yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan
7

pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi

drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis. 4

b. Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat

fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel sel infundibulum etmoid.

Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada

lain-nya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Sinus frontal

biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran

septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen

menunjukkan adanya infeksi. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif

tipis dari orbita dan fosa serebri anterior. sehingga infeksi dari sinus frontal

mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrenase melalui ostiume nya

yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum

etmoid. 4

c. Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan

akhir-akhir ini di anggap paling penting, karena dapat me rupakan fokus

infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari

sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian

lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial

orbita Sel-sel ini jumlahnya bervarasi. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid

dibagi menjadi sinus etmoid antenor yang bernuara di meatus medius dan

sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. 4


8

Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit. disebut

resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang

terbesar disebut Bula et moid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu

penyempitan yang disebut infundibulum, tempat berruaranya ostium sinus

maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat

menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat

menyebabkan sinusitis maksila. 4

d. Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.

Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Saat

sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid

akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai

indentasi pada dinding sinus sphenoid. 4

Kompleks ostiomeatal atau KOM adalah jalur pertemuan drainase kelompok

sinus anterior yang terdiri dari meatus media, prosesus unsinatus, hiatur

semilunaris, infundibulum etmoid, bula etmoid, ostium sinus maksila dan resesus

frontal. KOM bukan merupakan struktur anatomi tetapi merupakan suatu jalur

yang jika mengalami obstruksi karena mukosa yang inflamasi atau massa yang

akan menyebabkan obstruksi ostium sinus, stasis silia dan terjadi infeksi sinus.6

2.3. Fisiologi

Hidung mempunyai empat fungsi utama; yaitu (1) sebagai lokasi epitel olfaktorius,

(2) saluran udara yang kokoh menuju traktus respiratorius bagian bawah, (3) organ yang

mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru, dan (4) sebagai
9

organ yang mampu membersihkan dirinya sendiri. Berarti hidung merupakan alat

pelindung tubuh terhadap zat-zat yang berbahaya yang masuk bersamaudara pernafasan.

Hidung juga berperan sebagai resonator dalam fonasi, hal ini nyata pada seseorang yang

terserang selesma.3

Mukosa olfaktorius mengandung 3 jenis sel : sel basal, sel penyokong dan sel

reseptor olfaktorius. Sel penyokong/penunjang mengeluarkan mukus yang berfungsi

melapisi saluran hidung. Sel basal adalah prekursor untuk regenerasi sel reseptor

olfaktorius setiap 2 bulan dan sel reseptor olfaktorius yang berfungsi mendeteksi bau.

Suatu fungsi utama bagian konduksi secara keseluruhan adalah mengondisikan udara

inspirasi dengan cara membersihkan, melembapkan dan menghangatkannya sebelum

masuk ke paru-paru.5

Fungsi sinus paranasal sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Ada pendapat

yang mengatakan bahwa karena sinus terbentuk akibat pertumbuhan tulang sehingga

sinus paranasal dianggap tidak memiliki fungsi. Ada juga sebuah teori yang

mengemukakan fungsi dari sinus paranasal : Pengatur kondisi udara (air conditioning),

penahan suhu, keseimbangan kepala, membantu resonansi suara, peredam perubahan

tekanan udara, dan membantu produksi mukus sebagai pembersih hidung. 5

Sesuai dengan letaknya, sinus paranasal dapat dianggap sebagai pelindung pengaruh

panas udara rongga hidung terhadap organ-organ disekitar sinus (thermal insulators) seperti

mata dan otak. Akan tetapi kenyataannya sinus maksila sebagai sinus yang besar tidak

terletak diantara hidung dan organ yang dilindunginya. Fungsi membantu keseimbangan

kepala, dimungkinkan karena terbentuknya sinus akan mengurangi berat tulang muka.

Sebagai pembantu alat penghirup, dilakukan oleh sinus paranasal dengan cara membagi rata
10

udara inspirasi ke regio olfaktorius. Fungsi lain sebagai pengatur keseimbangan tekanan

udara, peredam kejut (shock absorber), protektor suara antara organ vokal dengan telinga,

sebagai tambahan ruang rugi (dead space) dan penyesuaian proporsi pertumbuhan kranium

dan wajah.3

2.4. Etiologi

Umumnya penyebab sinusitis adalah rinogenik yang merupakan perluasan infeksi dari

hidung dan dentogenik yang berasal dari infeksi pada gigi. Infeksi pada sinus paranasal

dapat disebabkan oleh interaksi dari beberapa etiologi seperti faktor mikrobial,

lingkungan, dan faktor host yang terdiri dari gangguan anatomi, genetik fisiologi dan

imunitas.6

Penyebab rinosinusitis akut yang paling banyak adalah dimulai dari infeksi virus

yang kemudian diikuti invasi bakteri. Menurut Penelitian Ellen tahun 2011 proporsi

bakteri yang terbanyak adalah Streptococcus pneumonia 30 % kasus, Haemophilus

influenza, dan Moraxella catarrhalis 20 % kasus, Streptococcus pyogenes,

Staphylococcus aureus dan Klebsiella pneumonia. Organisme anaerobik dan infeksi

campuran terlihat pada sinusitis yang berasal dari gigi.5

Kuman penyebab terjadinya rinosinusitis kronis adalah kuman aerob dan anaerob.

Beberapa kuman aerob yang ditemukan adalah Haemophilus influenzae, Streptococcus

pneumoniae, Moraxella catarrhalis, Pseudomonas aeruginosa, α-hemolytic streptococci,

dan Staphylococcus aureus. Jamur juga memiliki peran terhadap penyebab terjadinya

rinosinusitis kronis yang lebih sering disebut rinosinusitis jamur seperti Aspergillus
11

fumigatus, Aspergillus niger, Aspergillus flavus, Penicillium, Candida albicans,

Fusareum, dan Alternaria.5

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam

rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung,

kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-

meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti

pada sindroma Kartagener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik.4

Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis

sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan

menyembuhkan rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos

leher posisi lateral. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan yang berpolusi,

udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan

perubahan mukosa dan merusak silia. 4

2.5. Patofisiologi

Patofisiologi rinosinusitis di pengaruhi oleh 3 faktor :

a. Obstruksi jalur drainase sinus

Kesehatan dari sinus dipengaruhi oleh kelancaran drainase pada kompleks

ostiomeatal (KOM) yang berperan penting juga sebagai transport mukus dan debris

dan menjaga keseimbangan tekanan oksigen yang cukup untuk mencegah

pertumbuhan dari bakteri.5

Disamping itu mukus juga mengandung substansi mikrobial dan zat-zat yang

berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk ke saluran pernafasan.


12

Bila terdapat gangguan didaerah KOM seperti peradangan, edema atau polip maka

hal itu akan menyebabkan gangguan drainase sehingga terjadi sinusitis. Bila ada

kelainan anatomi seperti deviasi atau spina septum, konka bulosa atau hipertrofi

konka media, maka celah yang sempit itu akan bertambah sempit sehingga

memperberat gangguan yang ditimbulkannya. Infundibulum etmoid dan resesus

frontal yang termasuk bagian dari KOM, berperan penting pada patofisiologi

sinusitis. Permukaan mukosa ditempat ini berdekatan satu sama lain dan transportasi

lendir pada celah yang sempit ini dapat lebih efektif karena silia bekerja dari dua sisi

atau lebih6

Organ – organ yang membentuk KOM terletak berdekatan apabila terjadi

edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak bergerak

dan ostium tersumbat. Biasanya edema mukosa itu disebabkan oleh trauma, rinitis

dan biasa disebabkan oleh peradangan yang diakibatkan gangguan sistemik atau

sistem imun. Apabila terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus dapat

menyebabkan transudasi, mula – mula serous dan biasanya kondisi ini dianggap

sebagai rinosinusitis bakterial yang dapat sembuh sendiri dalam beberapa hari tanpa

pengobatan. Kelainan anatomi yang mempersempit kompleks ostiomeatal, termasuk

deviasi septum, turbinates tengah paradoks, dan sel Haller, membuat daerah ini lebih

sensitif terhadap gangguan dari peradangan mukosa.2

b. Gangguan fungsi silia

Gangguan fungsi silia berkurang dapat diakibatkan hilangnya sel epitel bersilia,

aliran udara yang tinggi, virus, bakteri, mediator kimia, kontak antara kedua mukosa,
13

luka, sindrom kartagener, pH rendah, asap rokok dan obat – obatan (antihistamin dan

antikolinergik). 2

Apabila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga

silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan, maka akan terjadi

gangguan drainase dan ventilasi sinus maksila dan frontal. Gangguan ventilasi akan

menyebabkan penurunan pH dalam sinus, silia menjadi kurang aktif dan lendir yang

diproduksi menjadi lebih kental sehingga merupakan media yang baik untuk tumbuh

kuman patogen.6

c. Perubahan kuantitas dan kualitas lendir

Yang berperan penting dalam patofisiologi rinosinusitis adalah sekresi sinonasal.

Sinus paranasal di lapisi oleh selimut mukosa yang mengandung mucoglycoprotein,

immunoglobulin dan sel – sel inflamasi. Lapisan ini terdiri dari lapisan serosa di

dalam dan lapisan viscous 19 19 diluar. Jika komposisi lendir berubah berubah

menjadi lebih kental menyebabkan tranportasi menuju ostia menjadi terhambat dan

kelebihan mukus dapat memenuhi sistem pembersihan mukosilia, mengakibatkan

sekret tertahan di dalam sinus.2

Faktor predisposisi lokal antara lain: septum deviasi, edema atau hipertrofi

konka, rinitis alergi, rinitis vasomotor, barotrauma, korpus alienum, rinolit dan

sebagainya. Faktor predisposisi sistemik yang mempengaruhi antara lain infeksi

saluran nafas atas oleh karena virus, keadaan umum yang lemah, malnutrisi, DM

yang tidak terkontrol dan iritasi udara sekitar.6

2.6. Klasifikasi
14

Konsensus International tahun 1995 membagi rhinosinusitis hanya akut dengan

batasan sampai 8 minggu dan kronik jika lebih dari 8 minggu. Konsensus tahun 2004

membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu sampai

3 bulan dan kronik jika lebih dari 3 bulan. Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik

umumnya merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada

sinusitis kronik adanya faktor disposisi harus dicari dan diobati secara tuntas. 4

Rinosinusitis kronis memiliki subklasifikasi menjadi rinosinustis hipertropi dan

rinosinusitis berhubungan dengan Polip Nasi. Berdasarkan lokasi rinosinusitis terbagi

menjadi empat bagian yaitu rinosinusitis frontalis, maxillaris, ethmoidalis dan

sphenoidalis, yang memiliki gejala klinis yang berbeda. Berdasarkan penyebabnya

rinosinusitis dibagi menjadi rinosinusitis dentogen yaitu berasal dari infeksi gigi dan

rinosinusitis non-dentogen seperti rinosinusitis jamur.5

2.7. Gejala Klinis

Pada rinosinusitis akut gejala yang dapat timbul ialah sekret yang purulen, hidung

tersumbat, dan nyeri tekan pada wajah. Nyeri pipi menandakan rinosinusitis maksila.

Nyeri dibelakang atau diantara bola mata menandakan rinosinusitis etmoid. Nyeri di dahi

atau seluruh kepala menandakan rinosinusitis frontalis, dan jika nyeri di vertex, oksipital,

belakang bola mata atau dekat mastoid menandakan rinosinusitis sphenoid. Gejala lain

yang dapat timbul ialah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip yang

dapat menyebabkan batuk dan sesak.5

Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang

hanya 1 atau 2 dari gejala dibawah ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk
15

kronik, gangguan tenggorokan, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba

eustasius, gangguan ke paru seperti bronchitis (sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang

penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus

yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.4

2.8. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang. Diagnosis dari rhinosinusitis akut tergantung oleh anamnesis; seringnya tidak

terlalu terdapat perbedaan pemeriksaan fisik yang mencolok antara penyakit ini dan

ISPA biasa. Rhinosinusitis akut merupakan gejala saluran nafas atas berat yang bertahan

lebih dari 10 hari atau dengan gejala yang semakin parah pada waktu 7 sampai 10 hari.3

Menurut Task Force on Rhinosinusitis, diagnosis dari sinusitis akut dapat ditegakkan

jika terdapat paling tidak 2 kriteria mayor ataupun 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria

minor. 3

Kriteria Mayor Kriteria Minor

Sakit dan nyeri tekan di

wajah Sakit kepala

Pembengkakan di wajah Fatique

Obstruksi hidung Halitosis

Sekret dari hidung dan Sakit gigi

postnasal Batuk

Hiposmia/anosmia Sakit/nyeri tekan/pembengkakan

Demam
16

Tabel 1. Kriteria Mayor dan Minor pada Rinosinusitis

Menurut kriteria Task Force yang dibentuk oleh the American Academy of

Otolaryngic Allergy (AAOA) dan American Rhinologic Sosiety (ARS) bahwa

rinosinusitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan adanya dua atau lebih gejala mayor,

atau satu gejala mayor ditambah dua gejala minor.5

Kriteria Mayor Kriteria Minor

Sakit Kepala

Hidung tersumbat Demam

Ingus purulen/post-nasal drip Halitosis dan Batuk

Sekret purulen pada hidung saat pemeriksaan Telinga sakit/terasa penuh

Nyeri tekan pada muka Sakit gigi

Hiposmia/anosmia

Tabel 2. Kriteria Mayor dan Minor pada Rinosinusitis

Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan naso-

endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah

adanya pus dimeatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau

dimeatus superior (pada sinusitis sphenoid dan sinusitis etmoid posterior). Pada

rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan

dan kemerahan didaerah kantus medius.4


17

Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi waters, PA dan

lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila

dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau

penebalan mukosa. CT Scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena

mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus

secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai

penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-

operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus. 4

Pemeriksaan transluminasi dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya cairan pada

rongga sinus maksila dan frontal. Teknik ini dilakukan pada ruangan gelap dan diarahkan

transiluminator (cahaya dengan intensitas tinggi) ke mulut ataupun pipi (untuk melihat

sinus maksila) atau kebawah dari batas supraorbital bagian medial (untuk sinus frontal)

untuk melihat transmisi dari cahaya melalui rongga sinus. Transluminasi tidak dapat

terlalu dipastikan hasilnya pada anak dengan umur dibawah 10 tahun. Pada orang yang

lebih dewasa dapat dilakukan pemeriksaan dengan transluminsi, pada keadaan cahaya

dari transluminasi normal, maka diduga tidak terjadi sinusitis, sebaliknya, jika tidak

terdapat cahaya transluminasi maka diduga terdapat cairan pada rongga sinus. Peneliti

menyimpulkan bahwa pemeriksaan dengan menggunakan transiluminasi memiliki

tingkat diagnostik yang terbatas dan bergantung pada skill dari pemeriksa. Dengan hanya

pemeriksaan transluminasi tidak dapat menegakkan rinosinusitis. 3

Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil secret

dari meatus medius atau superior, untuk mendapat antibiotic yang tepat guna. Lebih baik

lagi bila diambil secret yang keluar dari pungsi sinus maksila. Sinuskopi dilakukan
18

dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan

alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat

dilakukan irigasi sinus untuk terapi.4

2.9. Diagnosis Banding

Rinosinusitis pada anak harus dibedakan dengan rinitis alergi, yang mana biasanya

dikarakteristikan dengan hidung tersumbat yang berkelanjutan, bersin, mata terasa gatal,

dan riwayat atopi dari keluarga. Hipertropi adenoid atau septum deviasi yang berat juga

dapat menimbulkan gejala-gejala yang menyerupai rinosinusitis. Adanya benda asing,

asma ataupun keganasan juga harus disingkirkan.3

2.10. Terapi

Tujuan terapi sinusitis ialah 1) mempercepat penyembuhan; 2) mencegah

komplikasi; dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah

membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara

alami. 4

Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi septum,

kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak, polip, kista, jamur,

karies atau ganggren gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan

penatalaksanaan yang sesui dengan kelainan yang ditemukan.6


19

1. Rhinosinusitis Akut

Gambar 2.3. Tatalaksana Rhinosinusitis Akut (Sumber: European Position

Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007)

Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut

bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka

sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti

amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-

laktamase, maka dapat Ke diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin

generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala

klinik sudah hilang.4


20

Namun karena meningkatnya resistensi amkosisilin maka Guideline of the

Infectious Disease Society of America (IDSA) tahun 2012 merekomendasikan

amoksisilin-klavulanat sebagai pilihan pertama terapi awal pada sinusitis akut

bakterial. Pedoman tersebut juga merekomendasikan antibiotik lain seperti

azitromisin, klaritromisin dan trimetropim/silfametoxazole. Selain dekongestan

terapi lain yang dapat diberikan seperti analgetik, mukolitik, steroid, pencucian

rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi).5

2. Rhinosinusitis Kronik

Tatalaksana rinosinusitis kronik dapat berupa terapi medikamentosa maupun

pembedahan. Adapun tujuan dari tatalaksana rinosinusitis kronik adalah untuk

mempercepat penyembuhan dan mencegah komplikasi. Prinsip pengobatannya

adalah untuk menghilangkan obstruksi pada KOM sehingga drainase dan ventilasi

sinus dapat berfungsi normal kembali.7

Tatalaksana rinosinusitis kronik memerlukan terapi yang lebih agresif, dengan

beragai efek samping yang juga patut diperhitungkan. Jika rinosinusitis kronik

dicurigai, sebaiknya CT-scan sinus paranasal dilakukan terlebih dahulu untuk

memastikan diagnosis sebelum dilakukan terapi lebih lanjut. Selain untuk

mengkonfirmasi diagnosis dan keparahan infeksi, CT-scan juga dapat

mengidentifikasi abnormalitas yang nantinya dapat menyebabkan kurangnya respon

terhadap pemberian obat-obatan maupun terapi lainnya. Beberapa contohnya adalah

deviasi septum, polip, dan beberapa kelainan lainnya. 7

Penyakit ini dapat dibagi menjadi RINGAN, SEDANG dan BERAT

berdasarkan skor total visual analogue scale (VAS) (0-10 cm): - RINGAN = VAS 0-
21

3 - SEDANG = VAS > 3-7 - BERAT = VAS > 7-10 Untuk evaluasi nilai total,

pasien diminta untuk menilai pada suatu VAS jawaban dari pertanyaan (Wytske

Fokkens, 2007):

Keterangan = Nilai VAS > 5 mempengaruhi kualitas hidup pasien

Perlu diketahui bahwa tidak ada satupun medikasi yang telah diindikasikan oleh

Food and Drugs Association (FDA) sebagai terapi rinosinusitis kronik. Kendati

demikian, beberapa pilihan medikasi telah terbukti efektif dalam meredakan dan

mengurangi gejala rinosinusitis kronik. Cuci hidung dengan menggunakan larutan

saline untuk mengurangi gejala cukup efektif dengan efek samping minimum. 7
22

Gambar 2.4. Tatalaksana Rhinosinusitis Kronik (Sumber: European Position

Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007)

Kortikosteroid topikal maupun sistemik dapat digunakan untuk memperbaiki

drainase dengan cara mengurangi inflamasi mukosa, edema, dan produksi mukus.

Hampir semua kortikosteroid topikal/intranasal harus digunakan setiap hari untuk

beberapa minggu untuk memberi efek yang signifikan. Kendatipun kortikosteroid

oral dapat mengurangi gejala secara signifikan, efeknya mungkin tidak bertahan

lama, dan efek sampingnya juga harus diperhitungkan. Pasien dengan riwayat alergi

juga harus diterapi, tetapi perlu diingat bahwa pemberian antihistamin dapat

menyebabkan kekeringan mukosa dan mukostasis. Antibiotik lebih banyak

digunakan pada pasien dewasa. 7


23

Pada kasus kegagalan terapi dengan pemberian obat-obatan atau intoleransi

obat, maka tindakan operasi perlu diperhitungkan. Bedah sinus endoskopik

fungsional (BSEF) telah menjadi pilihan utama dalam intervensi bedah rinosinusitis

kronik. BSEF memiliki keunggulan karena tidak meninggalkan luka luar, dan yang

paling penting dapat langsung mengakses area yang terpenting pada sinus, yaitu

kompleks ostiomeatal. Prosedur ini biasanya dilakukan dengan anestesi umum, tetapi

juga bisa dilakukan dengan anestesi lokal. Angka kesuksesan tindakan ini mencapai

lebih dari 90%. Meskipun begitu, beberapa pasien dapat mengalami relaps, terutama

pada paien dengan polip hidung (CRSwNP). Bedah revisi biasanya dianjurkan dalam

kasus ini dan memiliki angka keberhasilan yang cukup tinggi. 7

2.11. Komplikasi

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik.

Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan

eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.

1. Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata

(orbita). Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan

maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.

Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal,

abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus.

2. Kelainan intracranial. Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural,

abses otak dan thrombosis sinus kavernosus.


24

Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan sinusitis kronik antara lain:

1. Osteomielitis dan abses subperiostal. Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan

biasa nya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul

fistula oroantral atau fistula pada pipi.

2. Kelainan paru, seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus

paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sino bronkitis. Selain itu dapat

juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar di hilangkan sebelum

sinusitisnya disembuhkan.4
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Rinosinusitis merupakan suatu proses peradangan yang mengenai mukosa hidung dan

sinus dan apabila mengenai lebih dari satu sinus disebut multisinusitis sedangkan bila

mengenai semua sinus pada saat yang sama disebut pansinusitis. Penyebab rinosinusitis akut

yang paling banyak adalah dimulai dari infeksi virus yang kemudian diikuti invasi bakteri.

Patofisiologi rinosinusitis di pengaruhi oleh 3 faktor yakni obstruksi jalur drainase sinus,

gangguan fungsi silia, dan perubahan kuantitas dan kualitas lender.

Pada rinosinusitis akut gejala yang dapat timbul ialah sekret yang purulen, hidung

tersumbat, dan nyeri tekan pada wajah. Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit

didiagnosis. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan naso-

endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Prinsip pengobatan

ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara

alami.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Yunitasari Alissa. 2013. Hubungan Rinosinusitis Kronik Dengan Tingkat Kontrol Asma.

Jurnal Media Medika Muda. Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro

2. Gultom Julikrianto. 2014. Gambaran Karakteristik Penderita Rinosinusitis Di Rsud. Dr.

Pirngadi Medan Pada Tahun 2012. Fakultas Kedokteran. Universitas Hkbp Nommensen.

Medan.

3. Adriztina Indri. 2013. Rinosinusitis Pada Anak. Fakultas Kedokteran Usu. Medan.

4. Efiaty Arsyad Et Al. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala

Dan Leher. Edisi Ketujuh. Universitas Indonesia.

5. Harahap Nahda. 2018. Profil Kuman Pada Sekret Hidung Penderita Rinosinusitis Kronis

Di Rumah Sakit Haji Medan. Skripsi. Fakultas Kedokteran. Universitas Muhammadiyah

Sumatera Utara. Medan

6. Putu Dan Sari. 2015. Gambaran Sino-Nasal Outcome Test 20 (Snot-20) Pada Penderita

Rinosinusitis Di Desa Yeh Embang Negara, Desa Tamblang Singaraja Dan Desa

Tihingan Klungkung. Laporan Penelitian. Universitas Udayana. Denpasar.

7. Ramandah Doni, 2021. Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara Angkatan 2017-2019 Terhadap Rinosinusitis Kronik. Skripsi.

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan

8. European Position Paper On Rhinosinusitis And Nasal Polyposis. Rhinology,Supplement

20, 2007(Online: Www.Rhinologyjournal.Com; Www.Eaaci.Net.)

26

Anda mungkin juga menyukai