Anda di halaman 1dari 32

REFERAT SMF ANAK

ASMA BRONKIALE

Oleh :

Ni Luh Putu Dea Ariska Maharani 20710042

Yuyun Listiyaningsih 20710086

Jerike Ismed Nuary 20710084

PEMBIMBING :

dr. Yustina Rosanti, Sp.A

KSM ILMU KEDOKTERAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA

KUSUMA SURABAYA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN SIDOARJO

2021
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan karunia-Nya, para penulis dapat menyelesaikan referat dengan
judul “Asma Bronkiale”. Penyusunan referat ini bertujuan untuk memenuhi tugas
kepaniteraan klinik di KSM Ilmu Penyakit Anak di RSUD Sidoarjo.
Penulis berharap referat ini kedepannya berguna bagi kita semua,
khususnya bagi kami dokter muda yang sedang menjalani kepaniteraan klinik
untuk memperlancar studinya. Pada kesempatan ini penulis sampaikan terima
kasih kepada dr. Yustina Rosanti, Sp.A yang telah membimbing kami dalam
menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu penulis mengharapkan segala masukan, kritik, dan saran demi
sempurnanya tulisan ini.
Akhir kata penulis berharap semoga referat ini bermanfaat bagi semua
pihak yang terkait.

Sidoarjo, Mei 2021

Penulis

ii
iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG......................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI.........................................................................................3

2.2 EPIDEMIOLOGI.............................................................................3

2.3 ETIOLOGI.......................................................................................

2.4 KLASIFIKASI.................................................................................

2.5 PATOFISIOLOGI............................................................................

2.6 MANIFESTASI KLINIS..................................................................

2.7 DIAGNOSIS.....................................................................................

2.8 PENATALAKSANAAN.................................................................

2.9 PENCCEGAHAN............................................................................

2.10 PROGNOSIS....................................................................................

2.11 KOMPLIKASI

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Asma adalah masalah kesehatan global yang serius yang mempengaruhi
semua kelompok usia. Tingkat penyebarannya meningkat di banyak negeri,
khususnya di kalangan anak-anak. Meskipun beberapa negeri telah mengalami
kemerosotan dalam perawatan kesehatan dan kematian akibat asma, asma
masih membebani sistem perawatan kesehatan, dan masyarakat akibat
hilangnya produktivitas di tempat kerja dan, khususnya bagi asma anak,
gangguan pada keluarga. Perubahan paling mendasar dalam manajemen asma
selama 30 tahun terakhir penelitian kontemporer melibatkan kombinasi dari
eksposur lingkungan dan biologis dan genetik yang melekat kerentanan,
eksposur pernapasan dalam hal ini lingkungan kausal termasuk alergen
inhalasi, virus pernapasan infeksi, dan bahan kimia dan polutan udara biologis
seperti lingkungan asap rokok. (GINA, 2020)
Asma adalah penyakit heterogen, dengan berbagai proses penyakit
bawaan. Ciri-ciri utama orang, klinis, atau patofisikologis, sering kali disebut
'fenotip asma' ,35 pasien dengan asma yang lebih parah, tersedia beberapa
pengobatan dengan tabung berbintik fenodiketik. Namun, sampai saat ini,
tidak ada hubungan yang kuat. (GINA,2020)
Asma didefinisikan sebagai penyakit saluran napas bronkus yang ditandai
oleh hiper-responsivitas terhadap alergen inhalan. Pemberian pelemas otot
polos memulihkan respons bronkogenik yang terjadi. Asma, suatu penyakit
heterogen memiliki beragam gambaran klinis dan mekanisme patogenik Asma
terjadi pada sekitar 4% sampai 9% populasi, tetapi d daerah perkotaan
memiliki angka laporan kasus yang jauh lebih tinggi, diperkirakan hingga
20% di beberapa tempat Insidens paling tinggi selama 3 sampai 4 tahun
pertama kehidupan, dengan lebih dari 80% kasus dimulai sebelum usia 4
tahun. Selama tahun-tahun awal ini, sistem imun dan sistem pernapasan

1
2

mengalami pertumbuhan dan pematangan, yan kemudian menentukan pola


respons sistem-sistem ini terhadap pajanan lingkungan. Asma merupakan
suatu penyakit perkembangan dengan komponen genetik yang kuat. Kelainan
dasarnya mencakup perkembangan pola respons imun dan pernapasan yang
berubah terhadap rangsang eksternal; ke lainan ini mungkin menetap seumur
hidup. (Bernstein dan Steven, 2016)
Pria lebih mungkin terkena asma daripada wanita, dan penyakit ini
berkumpul di daerah-daerah tertentu di Amerika Serikat seperti di selatan dan
barat. Namun, kelompok yang paling mencolok adalah di daerah perkotaan,
tempat polutan udara mungkin berperan. Insidens juga lebih tinggi pada
populasi Amerika Afrika. (Kliegman dkk. 2011)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Asma didefinisikan sebagai penyakit saluran napas bronkus yang ditandai
oleh hiper-responsivitas terhadap allergen inhalan. (Bernstein dan Steven,
2016) Selain itu asma dapat didefinisikan sebagai kondisi inflamasi kronis
pada paru-paru yang dapat menyebabkan adanya obstruksi saluran napas.
(Kliegman dkk. 2011)
Batasan asma menurut GINA atau Global Initiative of Asthma (2020)
adalah penyakit heterogen berupa inflamasi kronik saluran napas. Gejala
penyakit ini berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk yang
bervariasi serta keterbatasan aliran udara yang bervariasi. (GINA, 2020)
Sedangkan definisi untuk asma bayi meruapakan mengi berulang dan/atau
batuk persisten, yang asma merupakan penyebab paling mungkin, sedangkan
penyebab lain yang lebih jarang telah disingkirkan. Dengan meningkatnya
usia anak, terutama di atas 6 tahun. (Rahajoe dkk. 2011)

2.2. EPIDEMIOLOGI
Asma merupakan penyakit kronis yang umumdan menyebabkan penyakit
yang cukup banyak morbiditas. Pada tahun 2007, sebanyak 9,6 juta anak
(13,1%) telah didiagnosis menderita asma. Dari kelompok ini , sebanyak 70%
pernah mengalami asma. dan 3,8 juta anak (5,2%), hampir 60% dari mereka
menderita asma dan setidaknya dialamai satu serangan ditahun sebelumnya.
Dengan prevalensi laki-laki 14%, perempuan 10% dan anak anak keluarga
menengah 10% dan dikeluarga miskin cenderung memiliki asma dengan
prevalensi 16%.
Di Amerika Serikat masa anak-anak menjadi penyebab masa
kegawadaruratan anak, pada tahun 2004 sebanyak 12,8 juta anak melewatkan
sekolah karena serangan asma, 750.000 unit gawat darurat, dan 198.000 rawat
inap, dan 186 mengalami kematian pada masa anak-anak. Sebuah perbedaan

3
4

hasil asma menghubungkan tingginya tingkat asma rumah sakit talisasi dan
kematian dengan kemiskinan, etnis minoritas, dan perkotaan hidup. Dalam 2
dekade terakhir, anak-anak Afrika-Amerika memiliki 2 hingga 4 kali lebih
banyak kunjungan gawat darurat, rawat inap, dan kematian karena asma
dibandingkan anak kulit putih. Untuk etnis minoritas pasien asma yang tinggal
di komunitas berpenghasilan rendah dalam kota AS. ikatan, kombinasi
biologis, lingkungan, ekonomi, dan faktor risiko psikososial diyakini dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya eksaserbasi asma yang parah.
Meskipun asma saat ini lence lebih tinggi pada orang kulit hitam daripada
anak non-kulit hitam A.S. (12,8%, pada tahun 2003-2005, 7,9% untuk kulit
putih dan 7,8% untuk anak-anak Latino), perbedaan prevalensi tidak dapat
sepenuhnya menjelaskan perbedaan ini pada hasil asma.
Di seluruh dunia, asma pada masa kanak-kanak tampaknya meningkat
prevalensi, meskipun ada peningkatan yang cukup besar dalam manajemen
kami ment dan farmakope untuk mengobati asma. Banyak studi kontra
disalurkan di berbagai negara telah melaporkan peningkatan asma prevalensi
sekitar 50% per dekade. Secara global, asma masa kanak-kanak prevalensi
sangat bervariasi di berbagai tempat. Internasional besar studi survei tentang
prevalensi asma anak di 97 negara (Studi Internasional tentang Asma dan
Alergi pada Masa Kecil) menemukan kisaran yang luas dalam prevalensi
mengi saat ini, 0,8 37,6%. Prevalensi asma berkorelasi baik dengan alergi
yang dilaporkan prevalensi rinokonjungtivitis dan eksim atopik. Masa kecil
asma tampaknya lebih umum di daerah metropolitan modern dan negara yang
lebih makmur, dan itu sangat terkait dengan alergi lainnya kondisi.
Sebaliknya, anak-anak yang tinggal di daerah pedesaan berkembang negara
dan komunitas petani cenderung tidak mengalami ence asma dan alergi,
meskipun asma di masa kanak-kanak lebih sedikit negara makmur. (Kliegman
dkk. 2011)
5

2.3. ETIOLOGI

Gambar 2.1: Etiologi Asma (Kliegman dkk. 2011).


Walaupun penyebab asma pada anak belum dapat diketahui, pada
penelitian menghubungkan kombinasi antara pajanan lingkungan, faktor
biologis yang diturunkan dan kerentanan genetik. Adapun hal-hal pada
lingkungan yang dapat memicu asma meliputi alergen yang terhirup, infeksi
virus pada pernafasan, polusi udara, kimia dan biologis seperti asap rokok.
Pajanan yang disebutkan diatas dapat menstimulus inflamasi yang memanjang
dan patogenik serta dapat menyebabkan gangguan perbaikan pada jaringan
pernafasan yang rusak. Disfungsi paru seperti Airways hyperresponsiveness
(AHR) dan penurunan aliran udara. Ketika pajanan datang untuk
memperburuk kondisi maka terjadi peningkatan resiko eksaserbasi yang
persisten. (Kliegman dkk., 2011)
6

2.4. KLASIFIKASI
Menurut GINA 2006 Asma di klasifikasikanberdasarkan etologi, derajat
penyakit asma dan pola obstruksi aliran udara disaluran napas. Derajat
penyakit asma ditentukan berdasarkan gabungan penilaian gambaran kinis.
jumlah penggunaan agonis-B2 untuk mengatasi gejala, dan pemeriksaan
fungsi paru pada evaluasi awal pasien. Pembagian derajat penyakit asma
menurut GINA adalah sebagai berikut: (Rahajoe, 2018)
a. Intermiten
Gejala kurang dari 1 kali/minggu Serangan singkat Gejala nokturnal tidak
lebih dari 2 kali/bulan (<2 kali)
- FEVI > 80% predicted atau PEF > 80% nilai terbaik individu
- Variabilitas PEF atau FEV1 <20%
b. Persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari Serangan dapat
mengganggu aktivitas dan tidur. Gejala nokturnal >2 kali/bulan
- FEV1 > 80% predicted atau PEF > 80% nilai terbaik individu
- Variabilitas PEF atau FEVI 20-30%
c. Persisten sedang
Gejala terjadi setiap hari Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala nokturnal >1 kali dalam seminggu Menggunakan agonis-β2 kerja
pendek setiap hari
- FEV1 60-80% predicted atau PEF 60-80% nilai terbaik individu
- Variabilitas PEF atau FEVI >30%
d. Persisten berat
Gejala terjadi setiap hari Serangan sering terjadi, gejala asma nokturnal
sering terjadi
- FEV-1 < 60% predicted atau PEF < 60% nilai terbaik individu
- Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%
7

Pembagian lain derajat penyakit asma dibuat oleh Phelan dkk. (dikutip dari
Konsensus Pediatri Internasional III tahun 1998). Klasifikasi ini membagi
derajat asma menjadi 3 (tiga), yaitu sebagai berikut (Rahajoe dkk. 2018):
1. Asma episodik jarang
Merupakan 75% populasi asma pada anak. Ditandai oleh adanya episode
<1x tiap 4 6 minggu, mengi setelah aktivitas berat, tidak terdapat gejala di
antara episode serangan, fungsi paru normal di antara serangan, terapi
profilaksis tidak dibutuhkan pada kelompok ini.
2. Asma episodik sering
Merupakan 20% populasi asma. Ditandai oleh frekuensi serangan yang
lebih sering dan timbulnya mengi pada aktivitas sedang, tetapi dapat
dicegah dengan pemberian agonis-β2. Gejala terjadi kurang dari
1x/minggu dan fungsi paru di antara serangan normal atau hampir normal.
Biasanya dibutuhkan terapi profilaksis.
3. Asma persisten
Terjadi pada sekitar 5% anak asma, ditandai oleh seringnya episode akut,
mengi pada aktivitas ringan, dan di antara interval gejala dibutuhkan
agonis-β2 lebih dari 3kali/minggu karena anak terbangun dimalam hari
atau dada terasa berat dipagi hari. Terapi profilaksis sangat dibutuhkan.
Tabel. 2.1 Pembagian derajat penyakit asma pada anak menurut PNAA 2004
Parameter klinis, Asma episodik Asma episodik Asma persisten
kebutuhan obat dan jarang (asma sering (asma (asma berat)
faal paru ringan) sedang)
1. Frekuensi <1x/bulan >1x/bulan Sering
serangan
2. Lama serangan <1 minggu >1 minggu Hampir sepanjang
tahun, tidak ada
remis

3. Diantara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang


malam
4. Tidur dan Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
aktivitas

5. Pemeriksaan fisik Normal tidak ada Mungkin Tak pernah normal


diluar serangan kelainan terganggu (ada
kelainan)
8

6. Obat pengendali Tidak perlu Nonsteroid/steroid Streroid


(anti inflamasi) hiruan dosis hirupan/oral
rendah
7. Uji faal paru PEF/FEV1> 80% PEF/FEV1 60%- PEF/FEV1< 60%
80% Variabilitas 20-
30%
8. Variabilitas faal Variabilitas > Variabilitas >
paru (bila ada 15% 30% Variabilitas 50%
serangan)
Sumber :Rahajoe dkk. 2018

2.5. PATOFISIOLOGI
2.5.1 Obstruksi Saluran Respiratori
Obstruksi saluran pernafasan dapat mengakibatkan keterbatasan
aliran udara yang bersifat reversibel. Perubahan fungsional ini
dihubungkan dengan gejala khas pada asma (seperti batuk, sesak nafas,
dan mengi) dan respon saluran nafas yang berlebihan terhadap
rangsangan bronkokonstriksi . batuk kemungkinan besar terjadi akibat
rangsangan pada saraf sensorik saluran nafas oleh mediator inflamasi.
Batuk berulang merupakan gejala asma yang sering ditemukan pada
anak. mediator inflamasi juga mempengaruhi persepsi sesak nafas
melalui pengaruh terhadap saraf aferen pada keadaan hiperkapnea dan
hipoksemia yang merangsang timbulnya hiperventilasi alveolar dan
kerusakan lainnya akibat asma akut (Rahajoe dkk 2018).
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat
disebabkan oleh faktor seperti kontraksi otot polos bronkial yang
diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan sel inflamasi (mediator
histamin, triptase, prostaglandin D2, dan leukotrin C4 yang dikeluaran
oleh sel mast) akibat yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos yang
juga diperberat oleh penebalan oleh saluran nafas yang berhubungan
dengan edema akut, infiltrasi sel dan remodelling) adalah hiperplasi
kronik otot polos, pembuluh darah. Namun, keterbatasan aliran udara
pernafasan dapat juga timbul pada keadaan dimana saluran nafas
9

dipenuhi oleh sekret yang banyak, tebal dan lengket yang diproduksi
oleh sel goblet dan kelenjar submukosa (Rahajoe dkk 2018).
Secara garis besar semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan
oleh penyempitan saluran respiratori, salah satu mekanisme adaptasi
terhadap penyempitan saluran nafas adalah kecenderungan untuk
bernafas dengan hiperventilasi untuk mendapatkan volume yang lebih
besar, yang kemudian dapat menimbulkan hiperinflasi thorax.
Perubahan ini meningkatkan kerja pernafasan agar tetap dapat
mengalirkan udara pernafasan melalui jalur yang sempit. Inflasi thorax
yang berlebihan mengakibatkan otot diafragma dan interkostal, secara
mekanik, mengalami kesulitan sehingga kerjanya menjadi tidak
optimal. Peningkatan usaha pernafasan dan penurunan kerja otot
menyebabkan timbul kelelahan dan gagal nafas (Rahajoe dkk 2018).
2.5.2 Hipereaktivitas Saluran Respiratori
Penyempitan saluran pernafasan yang berlebihan merupakan
patofisiologis yang secara klinis paling relevan pada penyakit asma.
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap reaktivitas yang
berlebihan sampai saat ini tidak diketahui. Namun dapat berhubungan
dengan perubahan otot polos saluran nafas yang terjadi serta
berpengaruh terhadap kontratilitas. Inflamasi pada dinding saluran
pernafasan terutama daerah peribronkial cenderung memperparah
penyempitan saluran nafas yang terjadi akibat kontraksi otot polos
(Rahajoe dkk 2018).
2.5.3 Otot Polos Saluran Respiratori
Pengukuran yang diakukan terhadap kontraksi isotonik otot polos
saluran nafas pasien asma menunjukkan adanya pemendekan dari
panjang otot. Kelainan fungsi kontraksi ini diakibatkan oleh elastisitas
jaringan otot polos atau pada matriks ekstraselulernya. Peningkatan
kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan
kecepatan pemendekan otot akibat inflamasi saluran nafas. Otot polos
saluran nafas mengalami kekakuan bila dalam waktu yang lama tidak
10

diregangkan hingga sampai pada tahap akhir merupakan fase terlambat


dan menyebabkan peyempitan saluran nafas yang menetap dan
persisten.
Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast seperti triptase
dan protein kationik eosinofil (ECP). Dikatakan dapat meningkatkan
respon otot polos untuk berkontraksi, sama sepert mediator inflamasi
yang lain seperti histamin (Rahajoe dkk 2018).
2.5.4 Eksaserbasi
Eksaserbasi atau serangan asma dapat terjadi selama beberapa hari.
Sebagian besar berhubungan dengan infeksi saluran nafas yang paling
sering adalah akibat rinovirus. Rinovirus dapat menginduksi respon
inflamasi intrapulmonari. Pada pasien asma peradangan terjadi dengan
derajat obstruksi yang bervariasi serta dapat memperberat
hiperaktivitas bronkial. Respon inflamasi dapat melibatkan aktivasi
dan masuknya eosinofil dan atau neutrofil. Yang dimediasi oleh
pelepasan sitokin atau kemokin sel T ataupun sel epitel bronkial
(Rahajoe dkk 2018).
2.5.5 Abnormalitas Gas Darah
Asma hanya mempengaruhi pertukaran gas pada saat serangan
berat. Adanya ketidakcocokan antara ventilasi dan perfusi
menyebabkan perbedaan oksigen antara arteri dan alveolus melebar
dan tekanan oksigen 60-90 mmHg dapat ditemukan pada pengukuran
saat serangan asma berat berlangsung. Hipokapnea dapat ditemukan
pada serangan asma ringan sampai sedang. Dapat diihat dari usaha
nafas yang berlebih. Peningkatan PCO2 arteri mengindikasikan bahwa
obstruksi yang terjadi sangatlah berat hingga otot pernafasan tidak
dapat lagi mempertahankan laju ventilasi melalui respirasi paksa.
Adanya peningatan PCO2 arteri dapat menghambat pergerakan otot
pernafasan dan usaha bernafas sehingga pada akhirnya dapat timbul
kegagalan nafas dan dapt berujung kematian (Rahajoe dkk 2018).
11
12

2.6. GEJALA KLINIS


Meurut Kliegman dkk. (2011) gejala klinis asma yaitu :
- Batuk kering yang kambuh-kambuhan dan mengi (wheezing) pada
pernafasan merupakan gejala kronis yang paling sering pada asma.
- Anak yang lebih besar dan dewasa dilaporkan dengan gejala sesak, dada
terasa tertekan. Anak yang lebih muda dilaporkan nyeri dada yang
intermiten dan nonfocal (tidak dapat ditunjuk sakitnya di sebelah mana).
- Gejala dapat lebih parah pada malam hari, terutama pada eksaserbasi
memanjang yang dipicu oleh infeksi saluran nafas atau alergen yang
terhirup.
- Gejala pada siang hari berhubungan dengan aktivitas fisik yang dilaporkan
paling sering.

2.7. DIAGNOSIS
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang merupakan
dasar dari diagnosis asma. Diagnosis asma sering ditegakkan berdasarkan
gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk, dan dada terasa sakit atau sempit.
pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus
udara dan reversibilitas. Faktor-faktor pencetus serangan asma perlu diketahui
untuk mencegah terjadinya serangan asma. Pengukuran respon dapat
membantu menegakkan diagnosis pada penderita dengan gejala konsisten
tetapi fungsi paru normal. Asma diklasifikasikan menurut derajat berat, akan
tetapi hal tersebut dapat berubah dengan waktu. Dianjurkan klasifikasi asma
menurut ambang kontrol untuk membantu penanganan klinis (Rahadjoe,
2018).
a. Anamnesis
Pada anamnesis akan ditemukan keluhan batuk pada malam hari, sulit
bernafas, mengi, atau rasa berat di dada yang bersifat episodik. Namun
terkadang pasien hanya mengeluh batuk-batuk saja yang pada umumnya
timbul di malam hari atau saat melakukan kegiatan jasmani. Adanya
riwayat penyakit alergi lain seperti rinitis alergi, dermatitis atopik dapat
13

membantu diagnosis asma. Gejala asma sering muncul pada malam hari
atau pada musim tertentu, tetapi dapat juga muncul sewaktu-waktu.
Pada asma serangan dapat hilang dengan atau tanpa obat, hal tersebut
yang membedakan asma dengan penyakit paru lain. Akan tetapi
membiarkan pasien asma dalam serangan tanpa obat merupakan hal yang
membahayakan nyawa pasien. Gejala asma pada masing-masing individu
dapat bervariasi, misalnya gejala pada malam hari lebih sering muncul
dibandingkan pada siang hari. Pencetus yang yang spesifik dapat berupa
aktivitas, emosi (menangis/tertawa), debu, pajanan terhadap bulu binatang,
perubahan suhu lingkungan atau cuaca, aerosol/aroma yang tajam, dan
asap rokok.
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien asma umumnya tidak ditemukan
kelainan saat pasien mengalami serangan. tanda yang ditemukan
tergantung dari derajat obstruksi saluran napas. Tanda yang dapat dijumpai
pada pasien asma adalah ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada,
pernapasan cepat, dan sianosis. Untuk menegakkan diagnosis diperlukan
pemeriksaan penunjang karena sering dijumpai pasien bukan asma yang
mempunyai mengi.
c. Pemeriksaan penunjang
1. Spirometri
Pemeriksaan spirometri digunakan untuk mengukur fungsi paru,
menilai beratnya obstruksi, dan efek pengobatan. Pada asma kegunaan
spirometri disamakan dengan tensimeter pada penatalaksanaan
hipertensi atau glukometer pada diabetes melitus. Pemeriksaan
spirometri penting dalam menegakkan diagnosis karena banyak pasien
asma tanpa keluhan, tetapi pemeriksaan spirometri menunjukkan
obstruksi. Hal tersebut mengakibatkan pasien mudah mengalami
serangan asma dan bila berlangsung lama dapat berlanjut menjadi
penyakit paru obstruksi kronik.
14

Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian


bronkodilator hirup (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik beta.
Diagnosis asma ditunjukkan dengan adanya peningkatan VEP1
sebanyak ≥ 12% atau ≥ 200 mL. Tetapi respon yang kurang dari 12%
atau kurang dari 200 mL tidak berarti bukan asma. Hal tersebut dapat
terjadi pada pasien yang sudah normal atau mendekati normal. Respon
terhadap bronkodilator juga tidak dijumpai pada obstruksi saluran
napas yang berat, karena obat tunggal bronkodilator tidak cukup kuat
memberikan efek yang diharapkan. Kemungkinan diperlukan
kombinasi obat golongan adrenergik beta, teofilin, dan kortikosteroid
dalam jangka waktu pengobatan 2-3 minggu untuk melihat
reversibilitas pada hal yang disebutkan di atas. Reversibilitas dapat
terjadi tanpa pengobatan dan dapat dilihat dari hasil pemeriksaan
spirometri yang dilakukan pada saat yang berbeda, misalnya beberapa
hari atau beberapa bulan kemudian.
2. Uji provokasi bronkus
Apabila pemeriksaan spirometri normal, dapat dilakukan uji provokasi
bronkus untuk menunjukkan adanya hipereaktivitas bronkus. Beberapa
cara untuk melakukan uji provokasi bronkus meliputi uji provokasi
dengan histamin,metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan
garam hipertonik, dan dengan aqua destilata. Penurunan VEP1 ≥ 20%
dianggap bermakna. Uji dengan kegiatan jasmani dilakukan dengan
menyuruh pasien berlari cepat selama 6 menit sehingga mencapai
denyut jantung 80% - 90% dari maksimum. Dianggap bermakna
apabila penurunan APE (Arus Puncak Ekspirasi) ≥ 10%.
Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitivitas tinggi
tetapi spesifitas rendah, yang berarti hasil negatif dapat menyingkirkan
diagnosis asma persisten, namun hasil positif tidak selalu berarti pasien
menderita asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti
rinitis alergi dan gangguan dengan penyempitan saluran napas seperti
PPOK, bronkiektasis, dan fibrosis kistik.
15

3. Pemeriksaan sputum
Sputum eosinofil sangat dominan pada asma, sedangkan pada
bronkitis kronis sputum yang dominan adalah neutrofil.
4. Pemeriksaan eosinofil total dan uji tuberculin
Pada pasien asma jumlah eosinofil total dalam darah sering
meningkat. Hal tersebut dapat membantu untuk membedakan asma
dengan bronkitis kronis. Pemeriksaan eosinofil total juga dapat
digunakan sebagai dasar untuk menentukan dosis kortikosteroid yang
dibutuhkan oleh pasien asma.
Uji tuberkulin penting bukan saja kerena di indonesia masih
banyak tuberkulosis, tetapi juga kalau ada tuberkulosis dan tidak
diobati, asmanya pun mungkin sukar dikontrol.
5. Pemeriksaan status alergi
Penilaian status alergi dengan uji kulit (prick test) atau
pemeriksaan IgE spesifik dalam serum. Tidak dapat membantu
diagnosis asma hanya membantu menentukan risiko atau pencetus
asma. Pemeriksaan IgE total hanya berguna untuk menyokong adanya
atopi. Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna dilakukan apabila uji
kulit tidak dapat dilakukan atau hasilnya kurang meyakinkan.
6. Foto thoraks
Tujuan dari foto thoraks adalah untuk menyingkirkan penyebab
lain obstruksi saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses
patologis di paru.
7. Analisis gas darah
Analisis gas darah hanya dilakukan pada asma berat. Pada fase
awal serangan terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35
mmHg), lalu pada stadium yang lebih berat PaCO2 mendekati normal
hingga normo-kapnia. Kemudian pada asma yang sangat berat terjadi
hiperkapnia (PaCO2 ≥ 45 mmHg), hipoksemia, dan asidosis
respiratorik.
16

Gambar 2.2 Alur Diagnosa Asma

2.8. PENATALAKSANAAN
GINA membagi tatalaksana serangan asma menjadi dua, yaitu tatalaksana
di rumah dan di Rumah Sakit. Tatalaksana di rumah dilakukan oleh pasien
(atau orangtuanya) sendiri di rumah. Hal ini dapat dilakukan oleh pasien yang
sebelumnya telah menjalani terapi dengan teratur dan mempunyai pendidikan
yang cukup. Pada panduan pengobatan di rumah, disebutkan bahwa terapi
awal adalah inhalasi ß-agonis kerja cepat sebanyak 2 kali dengan selang waktu
20 menit. Bila belum ada perbaikan, segera mencari pertolongan ke dokter
atau sarana kesehatan (Rahajoe dkk, 2018).
a. Tata laksana di klinik atau Unit Gawat Darurat
17

Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan ke Unit Gawat Darurat
(UGD) langsung dinilai derajat serangannya menurut klasifikasi di atas
sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Tata laksana awal terhadap pasien
adalah pemberian ß2-agonis kerja cepat dengan penambahan garam
fisiologis secara nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dua kali
dengan selang 20 menit. Pada pemberian ketiga, dapat ditambahkan obat
antikolinergik. Tata laksana awal ini sekaligus dapat berfungsi sebagai
penapis, yaitu untuk penentuan derajat serangan, karena penilaian derajat
secara klinis tidak selalu dapat dilakukan dengan cepat dan jelas. (Rahajoe
dkk, 2018)
- Serangan asma ringan
Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik
(complete response), berarti derajat serangannya ringan. Pasien
diobservasi selama 1-2 jam, jika respons tersebut bertahan, pasien
dapat dipulangkan. Pasien dibekali obat ß-agonis (hirupan atau oral)
yang diberikan tiap 4-6 jam. Jika pencetus serangannya adalah infeksi
virus, dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Pasien
kemudian dianjurkan kontrol ke klinik rawat jalan dalam waktu 24-48
jam untuk re-evaluasi tata laksana. Selain itu, jika sebelum serangan
pasien sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan
hingga reevaluasi dilakukan di klinik rawat jalan. Namun, jika setelah
observasi 2 jam gejala timbul kembali, pasien diperlakukan sebagai
serangan asma sedang.
- Serangan asma sedang
Jika dengan pemberian nebulisasi dua kali pasien hanya menunjukkan
respons parsial (incomplete response), kemungkinan derajat
serangannya sedang. Untuk itu, derajat serangan harus dinilai ulang
sesuai pedoman. Jika serangannya memang termasuk serangan sedang,
inhalasi langsung dengan B2-agonis dan ipratropium bromide
(antikolinergik), pasien perlu diobservasi dan ditangani di ruang rawat
sehari (RRS). Pada serangan asma sedang, diberikan kortikosteroid
18

sistemik (oral) metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari


selama 3-5 hari. Walaupun belum tentu diperlukan, untuk persiapan
keadaan darurat, pasien yang akan diobservasi di RRS langsung
dipasangi jalur parenteral sejak di UGD.
- Serangan asma berat
Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan
respons (poor response), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada
(penilaian ulang sesuai pedoman), pasien harus dirawat di ruang rawat
inap. Bila pasien diduga/diperkirakan serangan berat, maka langsung
diberikan nebulisasi dengan ß2-agonis dan antikolinergik. Oksigen 2-
4L/menit diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi. Kemudian
dipasang jalur parenteral dan dilakukan foto thorax.
Sedangkan bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti
napas, pasien harus langsung dirawat di ruang rawat intensif. Pada
pasien dengan serangan berat dan ancaman henti napas, foto thorax
harus langsung dibuat untuk mendeteksi komplikasi.
b. Tata laksana di Ruang Rawat Sehari
Pemberian oksigen sejak dari UGD dilanjutkan. Setelah di UGD menjalani
nebulisasi 2 kali dalam 1 jam dengan respons parsial, di RRS diteruskan
pemberian nebulisasi ß-agonis + antikolinergik bila perlu setiap 2 jam.
Kemudian, diberikan steroid sistemik oral.
Selama perawatan baik di rumah atau rumah sakit, pasien asma diberikan
terapi secara medikamentosa dan terapi suportif (Rahajoe dkk, 2018).
a. Terapi Medikamentosa
1. Bronkodilator
a) Beta Adrenergik Short Acting
Beta adrenergik agonis merupakan terapi fundamental dan obat
pilihan pada serangan asma. Stimulasi terhadap reseptor-reseptor
beta adrenergik menyebabkan perubahan ATP menjadi cyclic-
AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang
menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain juga dapat
19

terjadi, seperti peningkatan klirens mukosilier, penurunan


permeabilitas vaskular, dan berkurangnya pelepasan mediator dari
sel mast. Reseptor ß1 terutama terdapat di jantung sedangkan
reseptor ß2 berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus,
sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, serta hepar
dan pankreas. Golongan obat ini terdiri dari epinefrin/adrenalin dan
ß2 agonis selektif.
- Epinefrin/Adrenalin
Salah satu beta adrenergik kerja pendek adalah
epinefrin/adrenalin. Pada umumnya, epinefrin tidak
direkomendasikan lagi untuk mengobati serangan asma,
kecuali jika tidak ada obat ß2-agonis selektif. Epinefrin
terutama diberikan jika ada reaksi anafilaksis atau angioedema.
Obat ini dapat diberikan secara subkutan atau inhalasi aerosol.
Pemberian subkutan adalah sebagai berikut: larutan epinefrin
1:1000 (1 mg/ml), dengan dosis 0,01 ml/kgBB (maksimum 0,3
ml), dapat diberikan sebanyak 3 kali, dengan selang waktu 20
menit. Epinefrin akan menimbulkan stimulasi pada reseptor ß1,
ß2, dan α, sehingga akan menimbulkan efek samping berupa
sakit kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor, dan
hipertensi. Pemberian epinefrine aerosol kurang
menguntungkan karena durasi efek bronkodilatasinya hanya 1-
1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama pada jantung
dan CNS.
- ß2-agonis selektif
Obat yang sering digunakan adalah salbutamol, terbutaline, dan
feneterol yang diberikan setiap 6 jam. Dosis salbutamol oral
0,1-0,15 mg/kgBB/kali; terbutaline oral 0,05-0,1
mg/kgBB/kali; feneterol 0,1 mg/kgBB/kali. Pemberian secara
oral akan memberikan efek bronkodilatasi setelah 30 menit,
efek puncak mencapai 2-4 jam dan lama kerjanya 5 jam. Selain
20

pemberian oral dapat diberikan secara inhalasi


(inhaler/nebulizer) dengan onset kerja lebih cepat (1 menit)
efek puncak dicapai dalam 10 menit, dan lama kerja 4-6 jam.
Untuk serangan ringan dapat diberikan metered dose inhaler
(MDI) 2-4 semprotan (puff) tiap 3-4 jam, serangan sedang 6-10
semprotan tiap 1-2 jam, sedangkan serangan berat memerlukan
10 semprotan. Pemberian MDI lebih dari 6 semprotan harus di
bawah pengawasan dokter atau rumah sakit. Selain itu
salbutamol dapat diberikan secara nebulizer dengan dosis 0,1-
0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5 mg/kali) dengan interval 20
menit, atau nebulisasi secara kontinu dengan dosis 0,3-0,5
mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam). Efek samping ß2-
agonis antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi,
takikardi, dan palpitasi. Selain itu dapat terjadi
ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi akibat adanya
peningkatan perfusi (sirkulasi) ke paru yang ventilasinya
kurang (under ventilated). Hal ini menimbulkan hipoksemia
dan dapat terjadi hypokalemia. Sehingga sebaiknya dilakukan
pemantauan kadar kalium dalam darah dan pemeriksaan
elektrokardiografi.
b) Methyl Xanthine
Efek bronkodilator methylxantine setara dengan ß2-agonis
inhalasi, tetapi karena efek sampingnya lebih banyak obat ini
sebaiknya diberikan pada serangan asma berat pemberian ß2
agonis dan antikolinergik tidak memberikan respon. Dosis inisial
aminofilin intravena sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam 20 ml
dextrose 5% atau garam fisiologis, diberikan dalam 20-30 menit.
Jika pasien sudah diberikan aminofilin kurang dari 12 jam
sebelumnya, dosis yang diberikan setengahnya. Selanjutnya
diberikan dosis rumatan yaitu 0,5-1 mg/kgBB/jam. Dosis maksimal
aminofilin adalah 16-20 mg/kgBB/hari. Efek samping obat teofilin
21

adalah mual, muntah, dan sakit kepala. Pada konsentrasi obat yang
lebih tinggi dapat menimbulkan kejang, takikardi, dan aritmia.
Selain sebagai bronkodilator, teofilin dapat merangsang pusat
respiratorik dan meningkatkan kontraktilitas otot-otot respiratorik.
2. Antikolinergik
a) Ipratropium bromide
Kombinasi nebulasi ß2-agonis dan antikolinergik menghasilkan
efek bronkodilator yang lebih baik daripada masing-masing obat
diberikan secara sendiri. Kombinasi ini diberikan jika 1 kali
nebulisasi ß2-agonis kurang memberikan respon. Pemberian
kombinasi ini diberikan terlebih dahulu sebelum pemberian methyl
xanthine. Dosis yang dianjurkan 0,1 mg/kgBB, nebulisasi setiap 4
jam. Dapat juga diberikan larutan 0,025% dengan dosis sebagai
berikut : usia >6 tahun 8-20 tetes; usia <6 tahun 4-10 tetes. Secara
umum tidak ada efek samping yang berarti.
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik diberika pada keadaa sebagai berikut :
a) Terapi inisial inhalasi ß2-agonis kerja cepat gagal mencapai
perbaikan yang cukup lama
b) Serangan asma tetap terjadi meskipun pasien telah menggunakan
kortikosteroid hirupan sebagai controller
c) Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat
sebelumnya
Preparat oral yang digunakan adalah prednisone, prednisolone,
atau triamsinolon dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari diberikan 2-3 kali
sehari selama 3-5 hari. Kortikosteroid intravena diberikan pada kasus
asma di rawat di rumah sakit. Metil-prednisolon merupakan pilihan
utama karena penetrasi ke jaringan paru lebih baik, efek antiinfamasi
lebih besar, dan efek mineralokortikoid minimal. Dosis metil-
prednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB diberkan setiap 4-6
jam. Selain itu ada hidrokortison IV dengan dosis 4 mg/kgBB setiap 4-
22

6 jam. Dexamethason bolus intravena 0,5-1 mg/kgBB dilanjutkan 1


mg/kgBB/hari setiap 6-8 jam.
4. Obat-obatan lain
a) Magnesium sulfat
Dianjurkan sebagai terapi sistemik pada serangan asma berat. Obat
ini bekerja sebagai penghambat kanal kalsium, memiliki efek
sedative, pelepasan asetilkolin pada ujung saraf, dan menstabilkan
sel mast. Dosis magnesium sulfat adalah 2-50 mg/kgBB IV
diberikan selama 1 jam. Efek samping obat ini adalah kelemahan
otot, penurunan refleks tendon dalam (deep tendon reflex),
hipotensi, takikardi, mual, muntah, flushing kulit, dan distimia
jantung.
b) Mukolitik
Dapat diberikan pada asma ringan-sedang namun harus hati-hati
pada anak dengan reflex batuk yang tidak optimal. Inhalasi
mukolitik tidak menunjukkan kegunaan dalam menangani serangan
asma bahkan pada asma berat bisa memperberat batuk dan
menghambat saluran napas.
c) Antibiotik
Tidak dianjurkan karena sebagian besar pencetus asma bukan
infeksi bakteri. Dapat diberikan antibiotik bila dicurigai infeksi
respiratorik disebabkan oleh infeksi bakteri seperti adanya tanda-
tanda pneumonia, sputum purulent, serta adanya rhinosinusitis
yang menyertai asma.
d) Obat sedasi
Sangat tidak dianjurkan karena dapat menekan/mendepresi
pernapasan.
e) Antihistamin
Tidak memberikan efek menguntungkan, bahkan dapat
memperburuk kondisi asma karena memperkental sputum.
b. Terapi suportif
23

1. Oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat. Pada bayi atau
anak kecil, saturasi oksigen sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry
(nilai normalnya > 95%). Meskipun pasien sudah mendapat oksigen
beraliran tinggi, jika saturasi oksigen kurang dari 90% dan kondisi
pasien memburuk, sebaiknya dilakukan pemeriksaan analisa gas darah.
Saturasi oksigen sebaiknya dipertahankan sebesar sekitar 95% (pada
bayi dan anak kecil). Hal ini dapat dicapai dengan pemberian oksigen
memakai kanula hidung, masker, atau kadang-kadang head box
(terutama pada bayi). Pada nebulisasi B2-agonis, oksigen sebaiknya
diberikan untuk mengatasi efek samping hipoksia.
2. Campuran Helium dan Oksigen
Inhalasi helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit
sebagai tambahan pada pemberian oksigen (dengan kanula hidung),
bersama dengan nebulisasi salbutamol dan metil prednisolon IV,
secara bermakna menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan peak
flow, dan mengurangi sesak. Cara ini juga bisa mencegah kebutuhan
ventilasi mekanik pada beberapa pasien. Campuran helium dan
oksigen dapat memperbaiki oksigenasi. Hal ini dapat terjadi karena
sifat helium yang ringan sehingga dapat mengubah aliran turbulen
menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai
alveoli. Sayangnya, pengalaman menggunakan helioks pada anak
dengan serangan asma berat tidak selalu menunjukkan hasil yang
menguntungkan. Belum diketahui dengan pasti alasan. mengapa
didapatkan hasil yang berbeda-beda, sehingga untuk menetapkan terapi
helioks sebagai pengobatan standar pada serangan asma, masih
diperlukan penelitian lebih lanjut.
3. Terapi Cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat. Hal ini
disebabkan oleh kurang adekuatnya asupan cairan, peningkatan
insensible water lost, takipnea, serta akibat efek diuretik teofilin.
24

Pemberian cairan harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari


hidrasi berlebihan (overhydration); pada asma berat, terjadi
peningkatan sekresi ADH yang memudahkan terjadinya retensi cairan
serta terdapat tekanan negatif yang tinggi dari tekanan pleura pada
puncak inspirasi (peak inspiratory pleural pressure) yang memudahkan
terjadinya edema paru. Biasanya, jumlah cairan yang diberikan adalah
1-1,5 kali kebutuhan rumatan.

2.9. PENCEGAHAN
Pencegahan pada asma terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu pencegahan
primer, sekunder, dan tersier. Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah
terjadinya sensitisasi pada bayi yang belum tersensisitisasi. Pencegahan primer
ini dapat dilakukan prenatal atau pascanatal. Pencegahan sekunder bertujuan
untuk mencegah terjadinya inflamasi/asma pada bayi anak yang sudah
tersensitisasi. Pencegahan tersier bertujuan mencegah terjadinya serangan akut
atau eksaserbasi pada bayi/anak asma (Rahajoe dkk, 2018).
a. Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah mencegah terjadinya sensitisasi pada bayi atau
anak yang mempunyai risiko untuk menjadi asma di kemudian hari.
Langkah pertama adalah mengenali adanya faktor risiko untuk terjadinya
asma di kemudian hari yaitu dengan mengenali orang tua dengan atopi.
Oleh karena itu, upaya pencegahan primer sudah dapat dimulai ketika
belum terjadinya potensi genetik bersatu, yaitu dengan rekayasa genetik.
Akan tetapi, hal ini belum dapat dilakukan, sehingga upaya pencegahan
primer saat ini masih ditujukan pada janin atau bayi dengan risiko asma.
Beberapa upan pencegahan primer telah ditelusuri dan masih banyak yang
kontroversial. Pencegahan primer dapat dilakukan pada saat prenatal dan
pascanatal. Pada masa prenatal, orangtua dihindari terhadap lingkungan
yang dapat bersifat sebagai faktor risiko. Penghindaran yang dianjurkan
adalah terhadap lingkungan, terutama indoor pollutants. Yang dimaksud
25

dengan indoor pollutants adalah asap rokok, debu rumah yang mungkin
mengandung banyak tungau debu rumah, dan lain-lain.
Pada masa pascanatal, bayi dihindari dari pemberian air susu ibu (ASI)
yang mengandung makanan yang dapat menyebabkan alergi. Pemberian
ASI saja yang lama (>4 bulan) dapat mengurangi risiko asma di kemudian
hari. Peat dkk meneliti pemberian ASI, yaitu selama kurang dari 3 bulan
dan lebih dari 3 bulan, dan mendapatkan bahwa pemberian ASI >3 bulan
merupakan faktor protektif terhadap terjadinya asma. Mengenai hewan
piaraan seperti anjing dan kucing, hal ini masih diperdebatkan. Ada yang
menganggap bahwa bila bayi terpapar dengan hewan peliharaan
(khususnya anjing dan kucing), justru akan menurunkan prevalens asma,
tetapi hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah mencegah terjadinya asma/inflamasi pada
seorang anak yang sudah tersensitisasi. Secara klinis hal ini telah
dibuktikan dengan menggunakan obat antihistamin. Pada early treatment
of the atopic child (ETAC), pemberian cetirizine selama 18 bulan pada
anak dengan dermatitis atopi yang orangtuanya atopi, dapat mencegah
terjadinya asma sebanyak 50% bila anak tersebut hanya alergi terhadap
debu rumah dan serbuk sari. Hanya saja, obat ini secara keseluruhan tetap
tidak dapat menurunkan kejadian asma. Selain pemberian obat-obatan
tersebut, faktor risiko lain seperti alergen harus dihindari juga.
Penghindaran pada pencegahan sekunder juga sama seperti pada
pencegahan primer, sebab tanpa penghindaran terhadap alergen maka
pencegahan sekunder menjadi tidak bermakna. Akan tetapi, pencegahan
sekunder ini masih memerlukan penelitian yang lebih lanjut.
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah mencegah terjadinya serangan pada seorang
anak yang sudah menderita asma. Kita menyadari bahwa serangan asma
dapat terjadi akibat adanya faktor pencetus. Pencegahan terhadap hal
tersebut merupakan salah satu langkah pencegahan tersier. Faktor lain
26

yang dapat menyebabkan serangan asma adalah gagalnya terapi jangka


panjang. Mengenai kurangnya paparan terhadap alergen, telah diteliti
bahwa pada seorang anak yang bebas terhadap paparan tungau debu rumah
(tempat tidurnya bersih), angka kejadian wheezing menurun, penggunaan
obat-obatan berkurang, dan PEFR meningkat. Penghindaran terhadap
pencetus ini kelihatannya mudah untuk diucapkan tetapi sangat sulit untuk
dilaksanakan, karena memerlukan kerjasama antara dokter, pasien, dan
keluarganya. Yang dimaksud dengan terapi jangka panjang adalah
pemberian obat pengendali (controller) berupa kortikosteroid, baik yang
diberikan tersendiri ataupun kombinasi dengan ß-agonis kerja panjang.

2.10. PROGNOSIS
Batuk dan mengi berulang terjadi pada 35% anak usia prasekolah. Dari
jumlah tersebut, sekitar sepertiganya menderita asma persisten hingga masa
kanak-kanak, dan sekitar dua pertiga diantaranya membaik dengan sendirinya
selama masa remaja. Keparahan asma pada usia 7-10 tahun merupakan
prediktif asma menetap di usia dewasa. Anak-anak dengan asma sedang
sampai berat dengan ukuran fungsi paru-paru yang lebih rendah cenderung
memiliki asma yang menetap saat dewasa. Anak-anak dengan asma ringan dan
fungsi paru-paru normal cenderung membaik dari waktu ke waktu, dengan
beberapa menjadi asma berkala (bebas penyakit selama berbulan-bulan sampai
bertahun-tahun); namun, remisi lengkap selama 5 tahun di masa kanak-kanak
jarang terjadi. (Kliegman dkk. 2011)

2.11. KOMPLIKASI
Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan
terjadi emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk thoraks yaitu thoraks
membungkuk ke depan dan memanjang. Pada foto rontgen thoraks terlihat
diafragma letaknya rendah, gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri
dan kanan bertambah. Pada asma kronik dan berat dapat terjadi bentuk dada
burung dara dan tampak sulkus Harrison. (Abdoerrachman dkk. 2015)
27

Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat
sehingga dapat terjadi atelektasis pada lobus segmen yang sesuai.
Mediastinum tertarik ke arah atelektasis. Bila atelektasis berlangsung lama
dapat berubah menjadi bronkiektasis, dan bila ada infeksi akan terjadi
bronkopneumonia. Serangan asma yang terus menerus dan berlangsung
beberapa hari serta berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obat yang biasa
disebut status asmatikus. Bila tidak ditolong dengan semestinya dapat
menyebabkan kematian, kegagalan pernafasan dan kegagalan jantung.
(Abdoerrachman dkk. 2015)
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Asma didefinisikan sebagai penyakit saluran napas bronkus yang ditandai
oleh hiper-responsivitas terhadap allergen inhalan. Etiologi asma belum
diketahui secara pasti namun kasus yang sering ditemukan berkaitan dengan
kombinasi antara pajanan lingkungan, faktor biologis, dan kerentanan genetik.
Adapun hal-hal pada lingkungan yang dapat memicu asma meliputi alergen
yang terhirup, infeksi virus pada pernafasan, polusi udara, kimia dan biologis
seperti asap rokok Asma memiliki beragam gambaran klinis. Gejala klinis
asma yang paling sering terjadi adalah batuk kering yang kambuh-kambuhan
dan mengi (wheezing). Pada anak yang lebih muda terjadi gejala nyeri dada
intermiten nonfocal sedangkan pada anak yang lebih tua terjadi gejala sesak
dengan dada terasa tertekan. Gejala tersebut akan memburuk pada malam hari
dan ketika aktifitas fisik meningkat terlebih bila terdapat alergen yang
terhirup. Penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien asma adalah terapi
medikamentosa dan terapi suportif. Terapi medikamentosa yang sering
digunakan adalah golongan beta 2 agonis yaitu efedrin dan salbutamol yang
dapat dikombinasikan dengan antikolinergik. Untuk terapi suportif yang
digunakan adalah oksigen dan terapi cairan. Serangan asma dapat dicegah
dimana pencegahannya dibagi menjadi 3 yaitu pencegahan primer,
pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier. Prognosis anak dengan asma
ringan dapat membaik dari waktu ke waktu sedangkan anak dengan asma
sedang sampai berat cenderung akan menetap. Status asmatikus yang tidak
ditolong dengan semestinya dapat menyebabkan kematian, kegagalan
pernafasan, dan kegagalan jantung.

28
DAFTAR PUSTAKA

Abdoerrachman dkk. 2015. Buku Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Indonesia; Jakarta.
Bernstein, D dan Steven Shelov. 2016. Ilmu Kesehatan Anak untuk Mahasiswa
Kedokteran. Jakarta : EGC
Global Initiative For Asthma (GINA). 2020. Global Startegy For Asthma
Management and prevention. www.ginasthma.org
Kliegman, R. dkk. 2011. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th Edition. America:
Elsevier Saunders
Rahajoe, dkk,.2018. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta : IDAI.

29

Anda mungkin juga menyukai