Anda di halaman 1dari 9

Patofisiologi dan Etiologi ISPA

Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh.
Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada
permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu
tangkapan refleks spasmus oleh laring.Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan
epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan (Kending dan Chernick, 1983).

Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering (Jeliffe,
1974). Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikan aktifitas
kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran nafas, sehingga terjadi pengeluaran
cairan mukosa yang melebihi normal. Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan
gejala batuk (Kending and Chernick, 1983). Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang paling
menonjol adalah batuk.

Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibat
infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang merupakan mekanisme
perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-
bakteri patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti streptococcus pneumonia,
haemophylus influenza dan staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut (Kending
dan Chernick, 1983). Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah
banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak nafas dan juga menyebabkan
batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya fakor-faktor seperti
kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan adanya suatu
serangan infeksi virus pada saluran nafas dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan
anak (Tyrell, 1980).

Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-tempat yang lain
dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga bisa menyebar ke saluran
nafas bawah (Tyrell, 1980). Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa menyerang saluran nafas
bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan atas,
sesudah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia
bakteri (Shann, 1985).
1. Otitis Media
a. Patofisiologi

Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang tenggorokan
atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius. Saat bakteri melalui
saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di saluran tersebut sehingga terjadi
pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya saluran, dan datangnya sel-sel darah putih untuk
melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri dengan mengorbankan diri mereka
sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah nanah dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan
jaringan sekitar saluran Eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah
terkumpul di belakang gendang telinga(Mansjoer A,2001).

Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu karena gendang
telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan organ pendengaran di
telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan pendengaran yang dialami umumnya
sekitar 24 desibel (bisikan halus). Namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan
gangguan pendengaran hingga 45db (kisaran pembicaraan normal). Selain itu telinga juga akan
terasa nyeri. Dan yang paling berat, cairan yang terlalu banyak tersebut akhirnya dapat merobek
gendang telinga karena tekanannya (Pracy R, 1983)

b. Etiologi
Pada kebanyakan kasus, otitis media disebabkan oleh virus, namun sulit dibedakan
etiologi antara virus atau bakteri berdasarkan presentasi klinik maupun pemeriksaan
menggunakan otoskop saja. Otitis media akut biasanya diperparah oleh infeksi pernapasan atas
yang disebabkan oleh virus yang menyebabkan oedema pada tuba eustachius. Hal ini berakibat
pada akumulasi cairan dan mukus yang kemudian terinfeksi oleh bakteri. Patogen yang paling
umum menginfeksi pada anak adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Moraxella catarrhalis.

2. Sinusitis
a. Patofisiologi
Infeksi virus akan menyebabkan terjadinya udem pada dinding hidung dan sinus sehingga
menyebabkan terjadinya penyempitan pada ostium sinus, dan berpengaruh pada mekanisme
drainase di dalam sinus. Virus tersebut juga memproduksi enzim dan neuraminidase yang
mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat difusi virus pada lapisan mukosilia. Hal ini
menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan sekret yang diproduksi sinus menjadi lebih kental,
yang merupakan media yang sangat baik untuk berkembangnya bakteri patogen. Adanya bakteri
dan lapisan mukosilia yang abnormal meningkatkan kemungkinan terjadinya reinfeksi atau
reinokulasi dari virus.

Konsumsi oksigen oleh bakteri akan menyebabkan keadaan hipoksia di dalam sinus dan
akan memberikan media yang menguntungkan untuk berkembangnya bakteri anaerob.
Penurunan jumlah oksigen juga akan mempengaruhi pergerakan silia dan aktiviitas leukosit.

Sinusitis kronis dapat disebabkan oleh fungsi lapisan mukosilia yang tidak adekuat ,
obstruksi sehingga drainase sekret terganggu, dan terdapatnya beberapa bakteri patogen..

b. Etiologi
Sinusitis akut:
1. Infeksi virus.
Sinusitis akut bisa terjadi setelah suatu infeksi virus pada saluran pernafasan
bagian atas (misalnya pilek).
2. Bakteri.
Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam keadaan
normal tidak menimbulkan penyakit (misalnya Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae). Jika sistem pertahanan tubuh menurun
atau drainase dari sinus tersumbat akibat pilek atau infeksi virus lainnya, maka
bakteri yang sebelumnya tidak berbahaya akan berkembang biak dan menyusup
ke dalam sinus, sehingga terjadi infeksi sinus akut.
3. Infeksi jamur.
Kadang infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut. Aspergillus merupakan
jamur yang bisa menyebabkan sinusitis pada penderita gangguan sistem
kekebalan. Pada orang-orang tertentu, sinusitis jamur merupakan sejenis reaksi
alergi terhadap jamur.
4. Peradangan menahun pada saluran hidung.
Pada penderita rinitis alergika bisa terjadi sinusitis akut. Demikian pula halnya
pada penderita rinitis vasomotor.
5. Penyakit tertentu.
Sinusitis akut lebih sering terjadi pada penderita gangguan sistem kekebalan dan
penderita kelainan sekresi lendir (misalnya fibrosis kistik).
Sinusitis kronis:
1. Asma
2. Penyakit alergi (misalnya rinitis alergika).
3. Gangguan sistem kekebalan atau kelainan sekresi maupun pembuangan lendir.

3. Faringitis
a. Patofisiologi
Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat secara langsung
menginvasi mukosa faring dan akan menyebabkan respon inflamasi lokal. Kuman akan
menginfiltrasi lapisan epitel, lalu akan mengikis epitel sehingga jaringan limfoid superfisial
bereaksi dan akan terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.
Pada stadium awal terdapat hiperemis, kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Pada
awalnya eksudat bersifat serosa tapi menjadi menebal dan kemudian cenderung menjadi kering
dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan keadaan hiperemis, pembuluh darah dinding
faring akan melebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu akan
didapatkan di dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-
bercak pada dinding faring posterior atau yang terletak lebih ke lateral akan menjadi meradang
dan membengkak. Virus-virus seperti Rhinovirus dan 18 Coronavirus dapat menyebabkan iritasi
sekunder pada mukosa faring akibat sekresi nasal.
Infeksi streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi lokal dan pelepasan
extracelullar toxins dan protease yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat karena
fragmen M protein dari Streptococcus ß hemolyticus group A memiliki struktur yang sama
dengan sarkolema pada miokard dan dihubungkan dengan demam reumatik dan kerusakan katub
jantung. Selain itu juga dapat menyebabkan glomerulonefritis akut karena fungsi glomerulus
terganggu akibat terbentuknya kompleks antigenantibodi (Bailey, 2006; Adam, 2009).
b. Etiologi
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus (40−60%),
bakteri (5−40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013).

Faringitis bisa disebabkan oleh virus maupun bakteri.


1. Virus yaitu Rhinovirus, Adenovirus, Parainfluenza, Coxsackievirus, Epstein–Barr
virus, Herpes virus.
2. Bakteri yaitu, Streptococcus ß hemolyticus group A, Chlamydia, Corynebacterium
diphtheriae, Hemophilus influenzae, Neisseria gonorrhoeae.
3. Jamur yaitu Candida jarang terjadi kecuali pada penderita imunokompromis yaitu
mereka dengan HIV dan AIDS, Iritasi makanan yang merangsang sering merupakan
faktor pencetus atau yang memperberat (Departemen Kesehatan, 2007).

2. Bronkitis
a. Patofisiologi
Asap mengiritasi jalan napas, mengakibatkan hipersekresi lendir dan inflamasi. Karena
iritasi yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-sel globet meningkat
jumlahnya, fungsi sillia menurun, dan lebih banyak lendir yang dihasilkan dan akibatnya
bronchioles menjadi menyempit dan tersumbat. Alveoli yang berdekatan dengan bronchioles
dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis, mengakibatkan perubahan fungsi makrofag
alveolar, yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri. Pasien
kemudian menjadi lebih rentan terhadap infeksi pernapasan. Penyempitan bronchial lebih lanjut
terjadi sebagai akibat perubahan fibrotic yang terjadi dalam jalan napas. Pada waktunya,
mungkin terjadi perubahan paru yang irreversible, kemungkinan mengakibatkan emphysema dan
bronchiectasis.
b. Etiologi
Secara umum penyebab bronkitis dibagi berdasarkan faktor lingkungan dan faktor
host/penderita. Penyebab bronkitis berdasarkan faktor lingkungan meliputi polusi udara,
merokok dan infeksi. Infeksi sendiri terbagi menjadi infeksi bakteri (Staphylococcus, Pertusis,
Tuberculosis, mikroplasma), infeksi virus (RSV, Parainfluenza, Influenza, Adeno) dan infeksi
fungi (monilia). Faktor polusi udara meliputi polusi asap rokok atau uap/gas yang memicu
terjadinya bronkitis. Sedangkan faktor penderita meliputi usia, jenis kelamin, kondisi alergi dan
riwayat penyakit paru yang sudah ada..

3. Pneumonia
a. Patofisiologi
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi sampai usia
lanjut. Pecandu alkohol, pasien paska operasi, orang-orang dengan gangguan penyakit
pernapasan, sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya , adalah yang paling
berisiko. Sebenarnya bakteri Pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat.
Pada saat pertahanan tubuh menurun, misalnya karena penyakit, usia lanjut, dan malnutrisi,
bakteri Pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru (Qaulyiah:
2010).
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan. Selain itu, toksin-toksin yang dikeluarkan oleh
bakteri pada Pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak sel-sel system pernapasan
bawah. Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok.
Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru-paru, ataupun seluruh lobus, bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan, dan dua di paru-paru kiri)
menjadi terisi cairan. Dari jaringan paru-paru, infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah. Bakteri pneumokokus adalah kuman yang
paling umum sebagai penyebab Pneumonia
b. Etiologi
Secara umum penyebab bronkitis dibagi berdasarkan faktor lingkungan dan faktor
host/penderita. Penyebab bronkitis berdasarkan faktor lingkungan meliputi polusi udara,
merokok dan infeksi. Infeksi sendiri terbagi menjadi infeksi bakteri (Staphylococcus, Pertusis,
Tuberculosis, mikroplasma), infeksi virus (RSV, Parainfluenza, Influenza, Adeno) dan infeksi
fungi (monilia). Faktor polusi udara meliputi polusi asap rokok atau uap/gas yang memicu
terjadinya bronkitis. Sedangkan faktor penderita meliputi usia, jenis kelamin, kondisi alergi dan
riwayat penyakit paru yang sudah ada.
4. Common Cold
a. Patofisiologi
Rinovirus merupakan virus yang biasanya menyebabkan common cold. Virus lain
diantarata corona virus, entero virus terutama coxsackie virus A21 dan A24,, echovirus 11 dan 20,
parainfluenza virus dan adenovirusis. Rhinovirus masuk saluran nafas secara droplet yang dapat
ditularkan oleh orang lain yang menderita common cold. Setelah masainkubasi 2-4 hari pasien
akan mengalami gejala-gejala seperti cairan dari hidung yang berlebih atau rinorea, bersin-bersin,
sakit tenggorokan, batuk, sakit kepala, malaise, dan terkadang adanya demam ringan
Gejala-gejala common cold disebabkan oleh adanya kombinasi replica virus dan respon
imun tubuh. Pada infeksi rinovirus menyebabkan 70% infeksi salran pernapasan bagian atas,
mampu membuat lepasnya local mediator, misalnya histamin, interleukin 6 dan 8, dan nuclear
factor kappa beta. Mediator-mediator ini akan berkombinasi dengan respon imun yang
menyebabkan timbulnya ciri-ciri gejala common cold Rhinovirus yang menyebabkan common
cold mengiritasi epitelium nasal. Makrofag akan mencetuskan produksi sitokin yang apabila
berkkombinasi dengan mediator akan menimbulkan gejala-gejala. Sitokin menyebabkan efek
sistemik. Mediator bradykinin berperan utama menyebabkan symptom local seperti radang
tenggorokan dan iritasi nasal. Simptom biasanya bermula 2-5 hari setelah infeksi awal gejala
timbul pada 2-3 hari simptom onset, dapat dibedakan dengan influenza dimana memiliki simptom
yang konstan dan cepat.
b. Etiologi
Commond cold merupakan rhinitis akut yang disebabkan oleh virus “selesma”. Rhinitis
berarti “iritasi hidung” dan adalah derivative dari rhino, berarti “hidung”. Selaput lendir pada
hidung yang terkena iritasi atau radang akan memproduksi lebih banyak lendir dan
mengembang, sehingga hidung menjadi tersumbat dan pernafasan jadi sulit
Rhinovirus (RV) menjadi penyebab utama dari terjadinya kasus-kasus flu (common
cold) dengan presentase 30-40%. Rhinovirus merupakan subgrup family yang paling besar,
terdiri dari 89 serotipe yang telah di identifikasi dengan reaksi netralisasi memakai antiserum
spesifik. Rhinovirus berasal dari bahasa yunani rhin- yang artinya adalah hidung. Rhinovirus
merupakan organisme mikroskopisyang menyerang sel-sel mukus pada hidung, merusak fungsi
normal mereka serta memperbanyak diri di sana. Virus tersebut dapat bermutasi dan hingga saat
ini ada sekitar 250 strain atau jenis rhinovirus. Selain virus, batuk dan pilek dan demam juga di
sebabkan oleh bakteri. Keadaan bayi yang demikian biasa disertai panas. Gejala yang lebih berat
lagi tenggorokan berwarna merah. Pengobatannya cukup dengan memberikan antibioitik.
Biasanya batuk dan pilek pada bayi terjadi selama lima 5 hari. Virus adalah organisme yang amat
halus. Karena amat halusnya itu tidak dpat dilihat dengan mikroskop biasa. Untuk itu diperlukan
suatu mikroskop electron yakni mikroskop yang mampu membesarkan sampai 1000000 X. Jenis-
jenis virus yang dapat menimbulkan penyakit-penyakit yakni cacar, gondongan, influenza,
selesma atau Common Cold dan lain sebagainya
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.uns.ac.id/2269/1/142481208201012161.pdf, diakses pada tanggal 1 maret 2018

http://digilib.unila.ac.id/2292/10/BAB%20II.pdf, diakses pada tanggal 1 maret 2018

http://erepo.unud.ac.id/10083/3/94847817eac5c2a5ada7a3c5382cf0ee.pdf, , diakses pada tanggal 1 maret


2018

DepKes RI. Direktorat Jenderal PPM & PLP. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA). Jakarta. 2007

Anda mungkin juga menyukai