Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH FARMAKOTERAPI TERAPAN

ASMA

Disusun Oleh :

Desi Anna Kristiani 3351201166

Fitria Ade Larasita 3351201177

Siti Hajar Nur Alfiah 3351201182

Moch Zandan Firmansyah 3351201187

PROGRAM STUDI APOTEKER

UNIVERSITAS JENDRAL ACHMAD YANI

CIMAHI

2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi tepat pada waktunya.

Makalah ini berjudul “Famakoterapi Terapan Asma” yang diajukan sebagai


salah satu syarat pembelajaran program studi Apoteker Fakultas Farmasi
Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI).

Akhir kata, semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya,
serta membalas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu diharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun
untuk menyempurnakan makalah.

Cimahi, Desember 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................i


DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah ..............................................................................................2
1.3. Tujuan ................................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................3
2.1. Definisi Asma.....................................................................................................3
2.2. Prevalensi Asma di Indonesia.............................................................................4
2.3. Faktor Risiko Asma............................................................................................6
2.4. Patofisiologi Asma .............................................................................................7
2.4.1. Penyempitan Saluran Napas .......................................................................9
2.4.2. Hiperreaktivitas saluran napas .................................................................. 10
2.5. Etiologi Asma................................................................................................... 11
2.6. Terapi Penyakit Asma ...................................................................................... 12
2.6.1. Tujuan Terapi ........................................................................................... 12
2.6.2. Terapi Farmakologi .................................................................................. 13
2.6.3. Terapi Non-Farmakologi .......................................................................... 19
2.7. Studi Kasus Asma ............................................................................................ 20
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 24
3.1. Kesimpulan ...................................................................................................... 24
3.2. Saran ................................................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 25

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi (kekerapan


penyakit) asma terutama di negara-negara maju. Kenaikan prevalensi asma di
Asia seperti Singapura, Taiwan, Jepang, atau Korea Selatan juga mencolok. Kasus
asma meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari lima belas tahun,
baik di negara berkembang maupun di negara maju. Beban global untuk penyakit
ini semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi penurunan kualitas hidup,
produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya
kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan kematian.

Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan 100 – 150 juta penduduk dunia
menderita asma, jumlah ini diperkirakan akan bertambah sebesar 180.000 orang
setiap tahun. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai 300
juta orang diseluruh dunia dan terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini.
Apabila tidak dicegah dan ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi
peningkatan prevalensi yang tinggi lagi pada masa yang akan datang serta
mengganggu proses tumbuh kembang anak dan kualitas hidup pasien.

Dengan melihat kondisi dan kecenderungan asma secara global, GINA pada
kongres asma sedunia di Barcelona tahun 1998 menetapkan tanggal 7 Mei 1998
sebagai “Hari Asma Sedunia” untuk pertama kalinya. Di Indonesia asma termasuk
dalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian. Prevalensi asma di
Indoneisa belum diketahui secara pasti, namun hasil penelitian pada anak sekolah
usia 13 – 14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study
on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 prevalensi asma masih 2,1 %,
sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survei asma pada
anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta,
Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasara) menunjukkan

1
prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7%-6,4%,
sedangkan pada anak SMP di Jakarta pusat sebesar 5,8% tahun 1995 dan tahun
2001 di Jakarta Timur sebesar 8,6%.

Asma merupakan penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran nafas yang


ditandai adanya mengi episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat
penyumbatan saluran napas, termasuk dalam kelompok penyakit saluran
pernapasan kronik. Asam mempunyai tingkat fatalitas yang rendah namun jumlah
kasusnya cukup banyak ditemukan dalam masyarakat. Meskipun pengobatan
efektif telah dilakukan untuk menurunkan morbiditas karena asma, keefktifan
hanya tercapai jika penggunaan obat telah sesuai. Seiring dengan perlunya
mengetahui hubungan antara terapip yang baik dan keefektifan terapetik, baik
peneliti maupun tenaga kesehatan harus memahami faktor – faktor yang
berhubungan dengan kepatuhan pasien.

Apoteker dalam hal ini dapat membantu penangan penyakit asma dengan
mengarahkan pasien yang diduga menderita asma untu memeriksakan dirinya,
memotivasi pasien untuk patuh dalam pengoabatan, memberikan informasi dan
konseling.

1.2. Rumusan Masalah

2. Apa yang dimaksud dengan asma?


3. Bagaimana prevalensi asma di Indonesia?
4. Apa saja farktor resiko terjadinya asma?
5. Bagaimana patofisiologi dari asma?
6. Bagaimana terapi untuk penyakit asma?

1.3. Tujuan
Makalah ini bertujuan agar mahasiswa dapat memahami dan mengerti apa yang
dimaksud dengan asma, prevalensi asma di Indonesia, faktor risiko asma,
patofisiologi asma, dan terapi untuk penderita asma.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Asma

Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas
yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang
ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan
rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat
reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan.

Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala tidak
mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat
bahkan dapat menimbulkan kematian.(Indonesia MKR, 2008).

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola


keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting
bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat
asma semakin tinggi tingkat pengobatan.

Gambar 2.1. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit (Pharmaceutical Care


untuk Penyakit Asma, 2007)

3
APE = arus puncak ekspirasi

FEV1 = volume ekspirasi paksa dalam 1 detik

2.2. Prevalensi Asma di Indonesia

Gambar 2.2. Prevalensi asma karakteristik umur tahun 2007 dan 2018

Berdasarkan grafikk diatas dapat diketahui hasil Riskesdas 2007 menunjukkan


peningkatan prevalensi asma seiring bertambahnya usia. Akan tetapi prevalensi
12,4% pada kelompok usia 75+ kemungkinan bukan murni disebabkan penyakit
asma, karena untuk mendiagnosa asma pada orang lanjut usia sedikit lebih sulit,
karena gejala asma yang dialami hampir sama dengan gejala penyempitan saluran
nafas pada PPOK, berupa sesak dan batuk. Kemudian pada hasil Riskesdas 2018
terlihat hasil yang konsisten dengan 2007, dimana prevalensi asma semakin
meningkat sesuai dengan penambahan kelompok usia, dimana kelompok usia ˂ 1
tahun memiliki prevalensi terendah dan kelompok usia 75+ memiliki prevalensi
tertinggi.

4
Gambar 2.3 Prevalensi asma menurut provinsi tahun 2018

Grafik di atas menunjukan bahwa pada tahun 2018 terdapat sembilan belas
provinsi yang mempunyai prevalensi penyakit asma melebihi angka nasional yaitu
DI Yogyakarta, Kalimantan Timur, Bali, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara,
Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Kep. Bangka
Belitung, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Gorontalo, DKI Jakarta, Jawa Timur,
Banten, Sulawesi Selatan, Bengkulu, Kepulauan Riau, dan Sulawesi Tenggara.
Terdapat lima belas provinsi yang memiliki prevalensi asma di bawah angka
nasional yaitu Aceh, Papua Barat, Riau, Sulawesi Utara, Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Maluku, Papua, Jawa Tengah,Maluku Utara, Jambi, Lampung,
Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat , dan Sumatera Utara.

Jika dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2007, terdapat enam provinsi yang
prevalensi sebelumnya berada di bawah angka nasional menjadi di atas angka
nasional yaitu Provinsi Sulawesi Selatan, Bengkulu, Jawa Timur, Kep. Riau, DKI
Jakarta, dan Banten. Kemudian terdapat empat provinsi yang prevalensi asmanya
mengalami penurunan sehingga berada di bawah angka nasional yaitu Provinsi
Sumatera Barat, Papua, Aceh, dan Papua Barat. Jika grafik tahun 2007
dibandingkan dengan 2018 diketahui bahwa terdapat kenaikan prevalensi asma
secara nasional sebesar 0,5%.(Kementrian Kesehatan RI, 2019).

5
2.3. Faktor Risiko Asma

Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host) dan
faktor lingkungan.

1) Faktor pejamu tersebut adalah:


Penyebab asma yang pertama adalah genetika. Jika orang tua menderita asma,
kemungkinan untuk mengalami penyakit asma di kemudian hari. Beberapa gen
terlibat dalam bagaimana sistem kekebalan merespons alergen. Gen-gen ini dapat
menyebabkan reaksi yang lebih kuat di saluran udara. Dan juga Sistem kekebalan
tubuh dapat menimbulkan gejala asma, gejala asma terjadi ketika saluran udara
paru-paru menyempit sehingga membuatnya lebih sulit untuk bernapas.
Penyempitan ini biasanya disebabkan oleh peradangan yang membuat saluran
udara membengkak dan menyebabkan sel-sel saluran napas membuat lendir
berlebih. Bronkospasme atau pengetatan otot-otot di sekitar saluran udara juga
membuat saluran udara menyempit dan menyebabkan kesulitan bernapas. Seiring
waktu, jika asma tetap aktif, dinding saluran napas bisa menjadi lebih tebal.

a. Predisposisi genetik asma


b. Alergi merupakan hasil dari interaksi antara faktor predisposisi genetik atopi
dengan alergen lingkungan, infeksi dan polutan.
c. Hipereaktifitas bronkus jenis kelamin
d. Ras/etnik

2) Faktor lingkungan dibagi 2, yaitu :


• Yang mempengaruhi individu dengan kecenderungan /predisposisi asma
untuk berkembang menjadi asma
• Yang menyebabkan eksaserbasi (serangan) dan/atau menyebabkan gejala
asma menetap.

A. Faktor lingkungan yang mempengaruhi individu dengan predisposisi asma


untuk berkembang menjadi asma adalah :
▪ Alergen di dalam maupun di luar ruangan, seperti mite domestik,
alergen binatang, alergen kecoa, jamur, tepung sari bunga

6
▪ Asap rokok, merokok membuat efek asma pada saluran udara menjadi
lebih buruk dengan menambahkan batuk dan sesak napas pada
gejalanya, serta meningkatkan risiko infeksi akibat kelebihan produksi
lendir.
▪ Infeksi pernapasan (virus)
▪ Diet
▪ Obesitas menunjukan bahwa mekanisme inflamasi yang mendorong
asma juga terkait dengan obesitas.
B. Sedangkan faktor lingkungan yang menyebabkan eksaserbasi dan/atau
menyebabkan gejala asma menetap adalah :

▪ Alergen di dalam maupun di luar ruangan


▪ Polusi udara di luar maupun di dalam ruangan
▪ Olahraga dan hiperventilasi
▪ Perubahan cuaca
▪ Makanan, additif (pengawet, penyedap, pewarna makanan)
▪ Obat-obatan, seperti asetil salisilat
▪ Ekspresi emosi yang berlebihan, orang yang mengalami stres memiliki
tingkat asma yang lebih tinggi. Peningkatan perilaku terkait asma
selama stres yaitu merokok-mungkin menjelaskan kenapa hal ini
berkaitan. Selain itu, respons emosional termasuk tertawa dan
kesedihan juga bisa memicu serangan asma.
▪ Asap rokok, merokok membuat efek asma pada saluran udara menjadi
lebih buruk dengan menambahkan batuk dan sesak napas pada
gejalanya, serta meningkatkan risiko infeksi akibat kelebihan produksi
lendir.
▪ Iritan antara lain parfum, bau-bauan yang merangsang.

2.4. Patofisiologi Asma

Asma akibat alergi bergantung kepada respon IgE yang dikendalikan oleh limfosit
T dan B serta diaktifkan oleh interaksi antara antigen dengan molekul IgE dengan

7
sel mast. Sebagian besar allergen yang mencetus asma bersifat airborne agar dapat
menginduksi keadaan sensitivitas, allergen tersebut harus tersedia dalam jumlah
banyak untuk periode waktu tertentu. Akan tetapi, sekali sensitivitasi telah terjadi,
klien akan memperlihatkan respon yang sangan baik, sehingga sejumlah kecil
allergen yang mengganggu sudah dapat menghasilkan eksaserbasi penyakit yang
jelas (Nurarif & kusuma, 2015). Obat yang paling sering berhubungan dengan
induksi episode akut asma adalah aspirin, bahan pewarna seperti tartrazin,
antagonis beta- adrenergik, dan bahan sulfat. Sindrom pernafasan sensitif-aspirin
khususnya terjadi pada orang dewasa, walaupun keadaan ini juga dapat dilihat
pada masa kanak-kanak. Masalah ini biasanya berawal dari rhinitis vasomotor
perennial yang diikuti oleh rhinosinusitis hiperplastik dengan polip nasal. Baru
kemudian muncul asma progresif. Klien yang sensitive terhadap aspirin dapat
didesentisasi dengan pemberian obat setiap hari. Setelah menjalani terapi ini,
toleransi silang juga akan terbentuk terhadap agen anti-inflamasi non-steroid.
Mekanisme yang menyebabkan bronkospasme karena penggunaan aspirin dan
obat lain tidak diketahui, tetapi mungkin berkaitan dengan pembentukan
leukotrien yang diinduksi secara khusus oleh aspirin (Solomon, 2015).

Pelepasan mediator dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar
jalan napas, menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membran mukosa, dan
pembentukan mucus yang sangat banyak. Selain itu, reseptor α- dan β- adrenergik
dari sistem saraf simpatis terletak dalam bronki. Ketika reseptor α- adrenergik
dirangsang, terjadi bronkokonstriksi, bronkodilatasi terjadi ketika reseptor β-
adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor α- dan β adrenergik
dikendalikan terutama oleh siklik adenosine monofosfat (cAMP). Stimulasi
reseptor α- mengakibatkan penurunan cAMP, yang mengarah pada peningkatan
mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi
reseptor β- mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP yang menghambat
pelepasan mediator kimiawi dan menyebabakan bronkodilatasi. Teori yang
diajukan adalah bahwa penyekatan β- adrenergik terjadi pada individu dengan

8
Asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator
kimiawi dan konstriksi otot polos (Smeltzer & Bare, 2002).

Gambar 2.4. Tahapan Terjadinya Serangan Asma

2.4.1. Penyempitan Saluran Napas


Penyempitan saluran napas merupakan hal yang mendasari timbulnya gejala dan
perubahan fisiologis asma. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya
penyempitan saluran napas yaitu kontraksi otot polos saluran napas, edema pada
saluran napas, penebalan dinding saluran napas dan hipersekresi mukus (Miglino
et al, 2011). Kontraksi otot polos saluran napas yang merupakan respon terhadap
berbagai mediator bronkokonstiktor dan neurotransmiter adalah mekanisme
dominan terhadap penyempitan saluran napas dan prosesnya dapat dikembalikan
dengan bronkodilator. Edema pada saluran napas disebabkan kerena adanya
proses inflamasi. Hal ini penting pada eksaserbasi akut. Penebalan saluran napas
disebabkan karena perubahan struktural atau disebut juga ”remodelling”. Proses
inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan jaringan yang secara
fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang
menghasilkan perbaikan (repair) dan 4 pergantian sel-sel yang mati atau rusak
dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan perbaikan
jaringan yang rusak dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan
yang rusak dengan jaringan penyambung yang menghasilkan jaringan parut. Pada
asma kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan

9
inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang komplek
yang dikenal dengan airway remodelling (Mangunegoro et al, 2004).

Inflamasi kronis yang terjadi pada bronkus menyebabkan kerusakan jaringan yang
menyebabkan proses perbaikan (repair) yang terjadi berulang-ulang. Proses
remodeling ini yang menyebabkan terjadinya asma. Namun, pada onset awal
terjadinya proses ini kadang-kadang sebelum disesbkan oleh inflamasi eosinofilik,
dikatakan proses remodeling ini dapat menyebabkan asma secara simultan. Proses
dari remodeling ini dikarakteristikan oleh peningkatan deposisi protein
ekstraselular matrik di dalam polosdan sekitar otot halus bronkial, dan
peningkatan daripada ukuran sel atau hipertropi dan peningkatan jumlah sel atau
hiperplasia (Sundaru, 2006).

2.4.2. Hiperreaktivitas saluran napas


Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan patofisiologis yang
secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang
bertanggungjawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini
belum diketahui dengan pasti tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan otot
polos saluran napas (hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang
menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran
respiratorik terutama daerah peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran
respiratorik selama kontraksi otot polos (Bara et al, 2010).

10
Gambar 2.4. Patofisiologi Asma

2.5. Etiologi Asma


1. Adanya kontraksi otot di sekitar bronkhus sehingga terjadi penyempitan jalan
nafas.
2. Adanya pembengkakan membran bronkhus.
3. Terisinya bronkus oleh mokus yang kental
Beberapa Faktor Predisposisi dan Presipitasi timbulnya serangan Asma Bronkhial.
Faktor Predisposisi :
1) Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena
adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asthma
bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas
saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
Faktor Presipitasi :
1) Alergen
Dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
a. Inhalan: masuk saluran pernafasan, seperti : debu, bulu binatang, bakteri dan
polusi.
b. Ingestan, masuk melalui mulut, seperti : makanan dan obat-obatan.

11
c. Kontaktan yang masuk melalui kontak dengan kulit, seperti : perhiasan,
logam, dan jam tangan.
2) Perubahan cuaca
Cuaca lembab atau dingin juga menpengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak
dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang
serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau,
musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
3) Stress
Stress dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat
serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus
segera diobati penderita asma yang mengalami stress perlu diberi nasehat untuk
menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka
gejala asmanya belum bisa diobati.
4) Lingkungan Kerja.
Lingkungan Kerja juag menjadi penyebab terjadinya serangan asma. Hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di
laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini
membaik pada waktu libur atau cuti.
5) Olah raga atau aktivitas yang berat.
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah
menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi
segera setelah selesai aktifitas tersebut (Capernito, 2000).

2.6. Terapi Penyakit Asma

2.6.1. Tujuan Terapi


a) Asma Kronik
Tujuan Penanganan asma kronik : (1) mempertahankan tingkat aktivitas
normal (termasuk latihan fisik); (2) mempertahankan fungsi paru – paru
(mendekati normal); (3) mencegah gejala kronis dan yang menganggu (cth.
batuk atau kesulitan bernafas pada malam hari, pada pagi hari atau setelah

12
latihan berat); (4) mencegah memburuknya asma secara berulang dan
meminimalisasi kebutuhan untuk masuk ICU atau rawat inap; (5)
menyediakan farmakoterapi optimum dengan tidak ada atau sedikit efek
samping. (Sukandar, et al., 2008)
b) Asma Parah Akut
Tujuan penanganan adalah sebagai berikut: (1) perbaikan hipoksemia
signifikan; (2) pembalikan cepat penutupan jalan udara (dalam hitungan
menit); (3) pengurangan kecenderungan penutupan aliran udara yang parah
timbul kembali. (Sukandar, et al., 2008).

2.6.2. Terapi Farmakologi

Gambar 1.6 Pendekatan bertahap untuk menangani asma pada orang dewasa dan
anak-anak> 5 tahun (NHLBI, 2002)

13
Gambar 2.7 Pendekatan bertahap untuk menangani asma pada anak-anak usia 5
tahun atau lebih muda (NHLBI, 2002)

1) Agonis 2
bronkodilator yang paling efektif dengan mekanisme kerja menstimulasi β2-
adrenergik untuk aktivasi adenilat siklase sehingga menghasilkan peningkatan
AMP Siklik intraselular. Hal ini menyebabkan relaksasi otot polos, menstabilkan

14
sel mast, dan menstimulasi otot skeletal. Contoh obat tersebut adalah Albuterol,
Salmeterol, Terbutalin, Isoproterenol, Metaproterenol.

▪ Pemberian aerosol meningkatkan bronkoselektivitas dan memberikan respons


yang lebih cepat dan perlindungan yang lebih besar terhadap provokasi yang
menyebabkan bronkospasme (misalnya, olahraga, adanya alergen)
dibandingkan pemberian sistemik.
▪ Albuterol dan agonis β2 selektif selektif inhalasi lainnya diindikasikan untuk
pengobatan episode bronkospasme intermiten dan merupakan pengobatan
pilihan pertama untuk asma berat akut dan EIB.
▪ Formoterol dan salmeterol dihirup β2-agonis kerja panjang yang diindikasikan
sebagai kontrol tambahan jangka panjang untuk pasien dengan gejala yang
sudah menggunakan kortikosteroid inhalasi dosis rendah sampai sedang
sebelum melanjutkan ke kortikosteroid inhalasi dosis sedang atau tinggi. Β2-
agonis kerja pendek harus dilanjutkan untuk jika keadaan memburuk secara
akut. Zat yang bekerja lama tidak efektif untuk asma berat akut karena dapat
memerlukan waktu hingga 20 menit untuk onset dan 1 hingga 4 jam untuk
bronkodilatasi maksimum setelah inhalasi.
▪ Pada asma berat akut, β2-agonis short-acting (misalnya, albuterol) harus
diberikan dalam dosis tinggi menggunakan nebulizer dengan interval
pemberian sering atau melalui inhalasi dosis terukur. (Metered Dose
Inhaler/MDI).
▪ Agen β2-agonis inhalasi adalah pengobatan pilihan untuk bronkospasmus yang
diinduksi oleh latihan fisik. zat aktif pendek memberikan perlindungan penuh
selama minimal 2 jam setelah terhirup dan zat aktif kerja panjang memberikan
perlindungan yang signifikan selama 8 sampai 12 jam pada awalnya, tetapi
durasinya menurun dengan penggunaan rutin kronis.
▪ Pada asma nocturnal (asma yang timbul di malam hari), agonis β2 inhalasi
kerja lama lebih disukai daripada agonis β2 lepas lambat oral atau teofilin lepas
lambat oral. Namun, asma nokturnal mungkin merupakan indikator pengobatan
antiinflamasi yang tidak memadai.

15
2) Kortikosteroid
Meningkatkan jumlah reseptor β2-adrenergik dan meningkatkan respon reseptor
terhadap stimulasi β2-adrenergik sehingga menyebabkan penurunan produksi
mukus dan hipersekresi, mengurangi hiperresponsivitas bronkus, serta mencegah
dan mengembalikan perbaikan jalur nafas.

Kortikosteroid inhalasi adalah terapi kontrol jangka panjang yang disukai asma
persisten pada semua pasien karena potensi dan efektivitasnya yang konsisten.
kortikosteroid satu-satunya terapi yang terbukti mengurangi risiko kematian
akibat asma. Contoh obat: Prednison, hidrokortison, metilprednisolon,
dexamethasone.

3) Metilxantin
Teofilin menghasilkan bronkodilatasi dengan menginhibisi fosfodiesterase, yang
menghasilkan antiinflamasi dan aktivitas nonbronkodilatasi lain melalui
penurunan pelepasan mediator sel mast, protein dasar eosinofil, proliferasi
limfosit T, sitokin sel T, dan eksudasi plasma.

Pemberian tidak efektif dalam bentuk aerosol sehingga harus diberikan Oral atau
IV. Teofilin lepas lambat lebih disukai untuk pemberian oral, sedangkan bentuk
kompleksnya dengan etilendiamin(aminofilin) lebih disukai untuk sediaan
parenteral karena peningkatan kelarutannya.
Contoh obat : teofilin, aminofilin.

4) Antikolinergik
Antikolinergik menghasilkan bronkodilatasi hanya pada bronkokonstriksi yang
dimediasi kolinergik. Kerjanya tidak sekuat agonis ß2, menekan tapi tidak
memblok, asma yang dipicu oleh alergen atau latihan bergantung dosis. Inhalasi
Ipratropium hanya diindikasikan sebagai terapi tambahan pada asma parah akut
yang tidak merespon sepenuhnya terhadap agonis ß2. Contoh obat : ipratropium
dan tiotropium bromida.

16
5) Kromolin Natrium dan Nedokromil Natrium (Mast Cell stabilizers)
Kromolin Natrium dan Nedokromil Natrium menginhibisi respon terhadap
paparan alergen dan bronkospasme di induksi latihan tetapi tidak menyebabkan
bronkodilatasi. Kedua obat ini diindikasikan untuk profilaksis asma persisten
ringan pada anak dan dewasa. Efektif jika dihirup. Kromolin obat pilihan kedua
untuk pencegahan bronkospasme yg diinduksi latihan fisik dan dapat digunakan
bersama agonis ß2.

6) Modifikator Leukotrien
Modifikator Leukotrien merupakan antagonis reseptor leukotrien lokal yang
mengurangi proinflamasi dan efek bronkokonstriksi leukotrien D4. Tidak
digunakan pada kondisi akut parah dan diminum secara teratur, bahkan pada
periode bebas gejala. Zileuton merupakan inhibitor leukotrien sintesis, tapi
penggunaannya terbatas karena frekuensi pemberian tinggi. Contoh obat :
Zafirlukast dan montelukast.

7) Kombinasi Terapi Pengontrol


Kombinasi kortikosteroid hirup dan agonis ß2 hirup kerja lama untuk tahap 3
asma persisten sedang. Kombinasi ini lebih kuat daripada menduplikasi dosis
kortikosteroid hirup atau menambahkan antagonis leukotriene ke kortikosteroid
hirup. Kombinasi ini mempunyai onset yang cepat (1 minggu).

8) Omalizumab
Antibodi anti-IgE yang digunakan untuk pengobatan asma yang tidak dapat
ditangani dengan baik oleh kortikosteroid hirup dosis tinggi. Obat ini hanya
diindikasikan untuk pasien atopik yang bergantung pada kortikosteroid oral atau
kortikosteroid dosis tinggi dengan gejala dan kadar IgE tinggi. Dosis omalizumab
ditentukan berdasarkan IgE serum total dasar(IU/mL)dan BB pasien(kg) yang
diberikan secara subkutan dengan interval 2 atau 4 minggu.

17
9) Metotreksat
Dosis rendah metotreksat (15 mg/minggu) digunakan untuk mengurangi dosis
kortikosteroid sistemik pasien dengan asma parah akut bergantung steroid.
(Sukandar, et al., 2008).

Gambar 2.8 Tabel Regimen Pengobatan untuk Asma Eksaserbasi Parah Akut di
Unit Gawat Darurat atau Rumah Sakit

18
Gambar 2.9 Penanganan perburukan Asma Akut (Pharmacotherapy Handbook,
2000)

2.6.3. Terapi Non-Farmakologi


1) Edukasi Pasien
Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam penatalaksanaan
asma. Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk :
▪ Meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola
penyakit asma sendiri)
▪ Meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam pemanagan asma sendiri/asma
mandiri)
▪ Meningkatkan kepuasan
▪ Meningkatkan rasa percaya diri
▪ Meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri
▪ Membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol
asma.

19
2) Pengukuran peak flow meter
Hal ini perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat.
Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini
dianjurkan pada :
▪ Penanganan serangat akut digawat darurat, klinik, prakter dokter dan oleh
pasien dirumah.
▪ Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan prakter dokter.
▪ Pemantauan sehari- hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma persisten usia
di atas > 5 tahun, terutama bagi pasien setelah perawatan dirumah sakit, pasien
yang sulit/tidak mengenal perburukan melalui gejala padahal berisiko tinggi
untuk mendapat serangan yang mengancam jiwa.
3) Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4) Pemberian oksigen
5) Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak – anak
6) Kontrol secara teratur
7) Pola Hidup sehat dapat dilakukan dengan penghentian merokok, menghindari
kegemukan dan kegiatan fisik misalnya senam asma. (Pharmaceutical Care
untuk Penyakit Asma, 2007).

2.7. Studi Kasus Asma


Nyonya SJ, ibu rumah tangga 35 tahun, selama 3 hari ini mengeluh sulit bernafas
dan nafasnya berbunyi. Sebelumnya pasien membeli kucing peliharaan beberapa
waktu lalu. Ia menderita asma selama beberapa tahun, tetapi hampir tidak pernah
mengalami masalah serius karena selalu menggunakan Inhaler secara teratur.
Akan tetapi kali ini ia dibawa ke rumah sakit karena selama beberapa hari ini
mengalami susah bernafas.

❖ Riwayat pengobatan :
- Salbutamol 1 atau 2 semprotan 3 – 4 x sehari bila diperlukan
- Salmeterol 2 semprotan 2 x sehari
- Beclometason 2 semprotan 2 x sehari secara teratur.
❖ Riwayat penyakit dahulu :

20
- Pasien mengidap asma selama 2 tahun terakhir.
❖ Riwayat penyakit keluarga :
- Di keluarga pasien ada kakek pasien yang memiliki riwayat penyakit asma .
❖ Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum :
- Kesadaran : compos mentis
- Nadi : 140x/m, isi dan tegangan cukup
- Pernafasan : 45x/m
- Suhu tubuh : 38oC
- Tekanan darah : 110/70 mmHg
- Berat badan : 60 kg
- Tinggi badan : 160 cm
- Edema umum : tidak ada.
❖ Pemeriksaan laboratorium :
- Nilai FEV1 < 80% dari nilai prediksi (paru-paru obstruktif)
- Rasio FEV1/FVC <70% (paru-paru obstruktif)
- Nilai PERF 60% (zona kuning, kondisi sesak nafas memburuk)
❖ Diagnosa : Asma akut

ANALISIS KASUS

Penyelesaian kasus dengan metode SOAP (Subjective, Objective, Assesment,


Plan) pada kasus ini adalah sebagai berikut :

1) Data Base
a. Nama Pasien : Nyonya SJ
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Umur Pasien : 35 Tahun
d. Tinggi badan : 160 cm
e. Berat badan : 60 kg

21
2) SOAP
a. Subjektif
- Keluhan : sulit bernafas dan nafasnya berbunyi
- Riwayat penyakit : mengidap asma selama 2 tahun
- Riwayat sosial : bekerja dipekerjaan stress tinggi
- Riwayat keluarga : kakek pasien memiliki riwayat penyakit asma kronis
- Riwayat alergi : tidak ada
b. Objektif
- TD : 110/70 mmHg
- Nilai FEV1 < 80% dari nilai prediksi (paru-paru obstruktif)
- Rasio FEV1/FVC <70% (paru-paru obstruktif)
- Nilai PERF 60% (zona kuning, kondisi sesak nafas memburuk)
c. Assesment
- Berdasarkan hasil pemeriksaan dengan spirometri, pasien diindikasikan
mengalami penyempitan salurn pernafasan akibat asma
- Hasil pemeriksaan dengan PFM (peak flow meter) pada pasien
menunjukkan kondisi sesak nafas memburuk
d. Plan
▪ Tujuan terapi :
- Memperbaiki obstruksi jala udara dengan cepat
- Memperbaiki hipoksemia secara signifikan
- Mencegah kekambuhan asma
▪ Terapi farmakologi :
- Terapi gas O2 aliran tinggi : pasien asma akut memerlukan oksigen
untuk mengatasi hipoksemia, memperbaiki obstruksi udara dengan
segera.
- Salbutamol nebulizer: salbutamol merupakan agonis B2 yang bekerja
cepat dan merupakan pilihan utama untuk pasien asma akut.
Digunakan inhalasi selama 60 menit. Jika tidak ada perubahan pada
awal penggunaan, maka perlu diberikan prednison oral.

22
- Oral prednison : penggunaan prednison oral di anjurkan untuk pasien
yang menderita asma akut setelah pemberian inhalasi B2 agonis kerja
cepat tidak memperbaiki gejala saat obat diberikan. Penggunaannya
harus dibatasi selama 2 minggu dan jika harus digunakan untuk jangka
lama, maka pilihlah dosis terkecil yang memberikan efek.
▪ Terapi non farmakologi :
- Istirahat yang cukup
- Menghindari faktor-faktor pencentus : asap rokok, cuaca, stress psikis
dan fisik, dan debu.

3) Komunikasi, Informasi, dan Edukasi


- Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit asma dan tingkat
keparahannya, gejala dan faktor pencetus asma.
- Menjelaskan kepada pasien hal yang harus dilakukan jika serangan asma
terjadi.
- Menjelaskan upaya pencegahan serangan asma kepada pasien. Dimana
upaya pencegahan berbeda pada masing-masing individu, yaitu dengan
mengenali faktor pencetusnya seperti olahraga, makanan, merokok, alergi,
penggunaan obat tertentu, stres dan polusi. Pastikan pasien mengerti
mengapa perlu menghindari faktor-faktor yang dapat memicu gejala asma.
- Menjelaskan kepada pasien bagaimana cara menggunakan obat tersebut dan
memberikan kesempatan bagi pasien untuk menanyakan tentang pengobatan
yang dilakukan.

23
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan
1. Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (perdangan) kronik saluran napas
yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang
ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan
rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya
bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan.
2. Asma akibat alergi bergantung kepada respon IgE yang dikendalikan oleh
limfosit T dan B serta diaktifkan oleh interaksi antara antigen dengan molekul
IgE dengan sel mast. Sebagian besar allergen yang mencetus asma bersifat
airborne dan agar dapat menginduksi keadaan sensitivitas, allergen tersebut
harus tersedia dalam jumlah banyak untuk periode waktu terentu.
3. Penatalaksaan terapi pada penderita asma terbagi menjadi dua yaitu terapi
farmakologi dan terapi non-farmakologi. Terapi farmakologi antara lain dapat
diobat obat golongan 2 agonis, kortikosteroid, metilxantin, antikolinergik,
Mast Cell Stabilizers, modifikator leukotriene, Omalizumab, metoktreksat dan
Kombinasi terapi pengontrol. Penatalaksanaan secara non farmakologi yaitu
dengan mengedukasi pasien, pengukuran peak flow meter, identifikasi dan
mengendalikan faktor pencetus, pemberian oksigen, banyak minum untuk
menghindari dehidrasi, kontrol secara teratur, Pola hidup sehat.

3.2. Saran
Dengan mengetahui apa dan bagaimana penyakit asma, maka penderita jangan
menganggap remeh tingkat keparahan penyakit asma yang diderita. Namun,
seringlah untuk berkonsultasi dengan dokter yang menangani. Penderita
diharapkan dapat menghindari stress dan faktor-faktor yang memicu terjadinya
asma kambuh.

24
DAFTAR PUSTAKA

Asthma, G. I. (2020). Global Initiative for Asthma: Global strategy for asthma
management and prevention (Updated 2020). Revue Francaise
d'Allergologie et d'Immunologie Clinique, 36(6), 685-704.

Bara, A. Ozier, J-M. Tunon de Lara, R. Marthan and P. Berger. Pathophysiology


of bronchial smooth muscle remodelling in asthma. Eur Respir J 2010; 36:
1174– 1184.

Barbara, G., Joseph, T., Terry , L., & Cecily, V. (2000). Pharmacotherapy
Handbook (Seventh ed.). McGrawHill Medical.

Bare & Smeltzer. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddart (Alih bahasa Agung Waluyo) Edisi 8 vol.3. Jakarta : EGC

Capernito, Lynda J. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis.


EGC: Jakarta.

Indonesia MKR. (2008). Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta:,


Keputusan Menteri Kesehatan No 1023 / MENKES / SK / XI (pp. 4–16).

Kementrian Kesehatan RI. (2019). Pusdatin. Pusat Data Dan Informasi


Kementrian Kesehatan RI.

Mangunegoro, H. Widjaja, A. Sutoyo, DK. Yunus, F. Pradjnaparamita. Suryanto,


E. et al. (2004), Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

NHLBI, National Asthma Education and Prevention Program. Expert Panel


Report: Guidelines for the Diagnosis and Management of Asthma-Update
on Selected Topics. NIH Publication No. 02–5075. Bethesda, Md: US
Department of Health and Human Services; 2002.

Nurarif, Amin Huda, & Kusuma, Hardhi. (2015). Aplikasi Asuhan Keperwatan

25
Berdesakan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Jilid 1. (p 65-75).
Jogjakarta. Mediaction Jogja.

O’Byrne, P. Bateman, ED. Bosquet, J. Clark, T. Otha, K. Paggiaro, P. et al. 2010.


Global Initiative for Asthma Global Strategy for Asthma Management and
Prevention. Ontario Canada.

Pharmaceutical Care untuk Penyakit Asma. (2007). Pharmaceutical Care Untuk


Pasien penyakit Arthritis Rematik, 53-80.

Solomon, Michael. R. 2015. Consumer Behavior: Buying, Having and Being,


11th Edition. New Jersey: Prentice-Hall.

Sukandar, E. Y., Andrajati, R., Sigit, J., Adnyana, I., Setiadi, A. P., & Kusnandar.
(2008). ISO Farmakoterapi. Jakarta Barat: PT.ISFI Penerbitan.

Sundaru, H. Sukamto. (2006), Asma Bronkial, In: Sudowo, AW. Setiyohadi, B.


Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S. (eds), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Jilid I, Edisi Keempat, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, pp: 247-252.

26
LAMPIRAN

1. Mengapa kortikosteroid perlu menggunakan resep dokter, efek sampingnya


jika digunakan terus menerus?
Jawaban : karena kortikosteroid merupakan golongan obat keras yang
memerlukan resep dari dokter, efek samping yang terjadi jika kortikosteroid
digunakan terus-menerus adalah dapat menyebabkan efek samping moon face
dan hipertensi.
2. Bagaimana mekanisme kerja kortikosteroid?
Jawaban : kortikosteroid akan meningkatkan jumlah reseptor beta adrenergik
dan respon reseptor beta adrenergik, sehingga menghasilkan efek bronkodilator
dan antiinflamasi.
3. Mengapa jika kortikosteroid digunakan terlalu banyak menyebabkan moonface
dan bagaimana penyalahgunaan kortikosteroid dimasyarakat?
Jawaban : karena penggunaan kortikosteroid yang berlebihan dapat
meningkatkan kadar kortisol dalam darah yang menyebabkan efek samping
moon face. Selain itu, di masyarakat kortikosteroid sering disalahgunakan
untuk obat penggemuk / peningkat berat badan karena efek moon face yang
sebenernya tidak meningkatkan berat badan.
4. Apakah asma lebih banyak terjadi pada pria atau wanita?
Jawaban : asma lebih banyak terjadi pada wanita karena wanita tidak memiliki
hormon testosteron seperti pada pria, dimana hormon ini dapat mencegah paru-
paru menghirup debu atau alergen yang berbahaya.
5. Mengapa dikalimantan lebih sedikit penduduknya dari yogya tetapi persentase
penduduk kalimantan yang mengidap asma lebih tinggi?
Jawaban : hal ini bisa disebabkan karena perpindahan penduduk dari wilayah
lain ke wilayah kalimantan, selain itu juga dapat disebabkan faktor genetik dari
penduduk kalimantan yang banyak mengidap asma, serta akibat polusi udara
yang semakin memburuk.

27
6. Apa itu mediator sel mast?
Jawaban : mediator utama yang dilepaskan oleh sel mast adalah histamin, yang
berperan terhadap timbulnya respon segera setelah terpapar oleh alergen.
7. Apa saja terapi non farmakologi asma?
Jawaban : istirahat yang cukup, menghindari faktor pemicu seperti: asap rokok,
debu, cuaca, stress psikis, peningkatan pemahaman pasien terhadap penyakit
asma dan penggunaan obat yang terakit, dll
8. Olahraga apa yang cocok untuk penderita asma?
Jawaban : senam yang ringan, jogging, dan berenang

28

Anda mungkin juga menyukai