ASMA
Disusun Oleh :
CIMAHI
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi tepat pada waktunya.
Akhir kata, semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya,
serta membalas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu diharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun
untuk menyempurnakan makalah.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan 100 – 150 juta penduduk dunia
menderita asma, jumlah ini diperkirakan akan bertambah sebesar 180.000 orang
setiap tahun. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai 300
juta orang diseluruh dunia dan terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini.
Apabila tidak dicegah dan ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi
peningkatan prevalensi yang tinggi lagi pada masa yang akan datang serta
mengganggu proses tumbuh kembang anak dan kualitas hidup pasien.
Dengan melihat kondisi dan kecenderungan asma secara global, GINA pada
kongres asma sedunia di Barcelona tahun 1998 menetapkan tanggal 7 Mei 1998
sebagai “Hari Asma Sedunia” untuk pertama kalinya. Di Indonesia asma termasuk
dalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian. Prevalensi asma di
Indoneisa belum diketahui secara pasti, namun hasil penelitian pada anak sekolah
usia 13 – 14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study
on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 prevalensi asma masih 2,1 %,
sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survei asma pada
anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta,
Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasara) menunjukkan
1
prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7%-6,4%,
sedangkan pada anak SMP di Jakarta pusat sebesar 5,8% tahun 1995 dan tahun
2001 di Jakarta Timur sebesar 8,6%.
Apoteker dalam hal ini dapat membantu penangan penyakit asma dengan
mengarahkan pasien yang diduga menderita asma untu memeriksakan dirinya,
memotivasi pasien untuk patuh dalam pengoabatan, memberikan informasi dan
konseling.
1.3. Tujuan
Makalah ini bertujuan agar mahasiswa dapat memahami dan mengerti apa yang
dimaksud dengan asma, prevalensi asma di Indonesia, faktor risiko asma,
patofisiologi asma, dan terapi untuk penderita asma.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas
yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang
ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan
rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat
reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan.
Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala tidak
mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat
bahkan dapat menimbulkan kematian.(Indonesia MKR, 2008).
3
APE = arus puncak ekspirasi
FEV1 = volume ekspirasi paksa dalam 1 detik
Gambar 2.2. Prevalensi asma karakteristik umur tahun 2007 dan 2018
4
Gambar 2.3 Prevalensi asma menurut provinsi tahun 2018
Grafik di atas menunjukan bahwa pada tahun 2018 terdapat sembilan belas
provinsi yang mempunyai prevalensi penyakit asma melebihi angka nasional yaitu
DI Yogyakarta, Kalimantan Timur, Bali, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara,
Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Kep. Bangka
Belitung, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Gorontalo, DKI Jakarta, Jawa Timur,
Banten, Sulawesi Selatan, Bengkulu, Kepulauan Riau, dan Sulawesi Tenggara.
Terdapat lima belas provinsi yang memiliki prevalensi asma di bawah angka
nasional yaitu Aceh, Papua Barat, Riau, Sulawesi Utara, Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Maluku, Papua, Jawa Tengah,Maluku Utara, Jambi, Lampung,
Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat , dan Sumatera Utara.
Jika dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2007, terdapat enam provinsi yang
prevalensi sebelumnya berada di bawah angka nasional menjadi di atas angka
nasional yaitu Provinsi Sulawesi Selatan, Bengkulu, Jawa Timur, Kep. Riau, DKI
Jakarta, dan Banten. Kemudian terdapat empat provinsi yang prevalensi asmanya
mengalami penurunan sehingga berada di bawah angka nasional yaitu Provinsi
Sumatera Barat, Papua, Aceh, dan Papua Barat. Jika grafik tahun 2007
dibandingkan dengan 2018 diketahui bahwa terdapat kenaikan prevalensi asma
secara nasional sebesar 0,5%.(Kementrian Kesehatan RI, 2019).
5
2.3. Faktor Risiko Asma
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host) dan
faktor lingkungan.
6
▪ Asap rokok, merokok membuat efek asma pada saluran udara menjadi
lebih buruk dengan menambahkan batuk dan sesak napas pada
gejalanya, serta meningkatkan risiko infeksi akibat kelebihan produksi
lendir.
▪ Infeksi pernapasan (virus)
▪ Diet
▪ Obesitas menunjukan bahwa mekanisme inflamasi yang mendorong
asma juga terkait dengan obesitas.
B. Sedangkan faktor lingkungan yang menyebabkan eksaserbasi dan/atau
menyebabkan gejala asma menetap adalah :
Asma akibat alergi bergantung kepada respon IgE yang dikendalikan oleh limfosit
T dan B serta diaktifkan oleh interaksi antara antigen dengan molekul IgE dengan
7
sel mast. Sebagian besar allergen yang mencetus asma bersifat airborne agar dapat
menginduksi keadaan sensitivitas, allergen tersebut harus tersedia dalam jumlah
banyak untuk periode waktu tertentu. Akan tetapi, sekali sensitivitasi telah terjadi,
klien akan memperlihatkan respon yang sangan baik, sehingga sejumlah kecil
allergen yang mengganggu sudah dapat menghasilkan eksaserbasi penyakit yang
jelas (Nurarif & kusuma, 2015). Obat yang paling sering berhubungan dengan
induksi episode akut asma adalah aspirin, bahan pewarna seperti tartrazin,
antagonis beta- adrenergik, dan bahan sulfat. Sindrom pernafasan sensitif-aspirin
khususnya terjadi pada orang dewasa, walaupun keadaan ini juga dapat dilihat
pada masa kanak-kanak. Masalah ini biasanya berawal dari rhinitis vasomotor
perennial yang diikuti oleh rhinosinusitis hiperplastik dengan polip nasal. Baru
kemudian muncul asma progresif. Klien yang sensitive terhadap aspirin dapat
didesentisasi dengan pemberian obat setiap hari. Setelah menjalani terapi ini,
toleransi silang juga akan terbentuk terhadap agen anti-inflamasi non-steroid.
Mekanisme yang menyebabkan bronkospasme karena penggunaan aspirin dan
obat lain tidak diketahui, tetapi mungkin berkaitan dengan pembentukan
leukotrien yang diinduksi secara khusus oleh aspirin (Solomon, 2015).
Pelepasan mediator dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar
jalan napas, menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membran mukosa, dan
pembentukan mucus yang sangat banyak. Selain itu, reseptor α- dan β- adrenergik
dari sistem saraf simpatis terletak dalam bronki. Ketika reseptor α- adrenergik
dirangsang, terjadi bronkokonstriksi, bronkodilatasi terjadi ketika reseptor β-
adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor α- dan β adrenergik
dikendalikan terutama oleh siklik adenosine monofosfat (cAMP). Stimulasi
reseptor α- mengakibatkan penurunan cAMP, yang mengarah pada peningkatan
mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi
reseptor β- mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP yang menghambat
pelepasan mediator kimiawi dan menyebabakan bronkodilatasi. Teori yang
diajukan adalah bahwa penyekatan β- adrenergik terjadi pada individu dengan
8
Asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator
kimiawi dan konstriksi otot polos (Smeltzer & Bare, 2002).
9
inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang komplek
yang dikenal dengan airway remodelling (Mangunegoro et al, 2004).
Inflamasi kronis yang terjadi pada bronkus menyebabkan kerusakan jaringan yang
menyebabkan proses perbaikan (repair) yang terjadi berulang-ulang. Proses
remodeling ini yang menyebabkan terjadinya asma. Namun, pada onset awal
terjadinya proses ini kadang-kadang sebelum disesbkan oleh inflamasi eosinofilik,
dikatakan proses remodeling ini dapat menyebabkan asma secara simultan. Proses
dari remodeling ini dikarakteristikan oleh peningkatan deposisi protein
ekstraselular matrik di dalam polosdan sekitar otot halus bronkial, dan
peningkatan daripada ukuran sel atau hipertropi dan peningkatan jumlah sel atau
hiperplasia (Sundaru, 2006).
10
Gambar 2.4. Patofisiologi Asma
11
c. Kontaktan yang masuk melalui kontak dengan kulit, seperti : perhiasan,
logam, dan jam tangan.
2) Perubahan cuaca
Cuaca lembab atau dingin juga menpengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak
dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang
serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau,
musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
3) Stress
Stress dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat
serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus
segera diobati penderita asma yang mengalami stress perlu diberi nasehat untuk
menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka
gejala asmanya belum bisa diobati.
4) Lingkungan Kerja.
Lingkungan Kerja juag menjadi penyebab terjadinya serangan asma. Hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di
laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini
membaik pada waktu libur atau cuti.
5) Olah raga atau aktivitas yang berat.
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah
menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi
segera setelah selesai aktifitas tersebut (Capernito, 2000).
12
latihan berat); (4) mencegah memburuknya asma secara berulang dan
meminimalisasi kebutuhan untuk masuk ICU atau rawat inap; (5)
menyediakan farmakoterapi optimum dengan tidak ada atau sedikit efek
samping. (Sukandar, et al., 2008)
b) Asma Parah Akut
Tujuan penanganan adalah sebagai berikut: (1) perbaikan hipoksemia
signifikan; (2) pembalikan cepat penutupan jalan udara (dalam hitungan
menit); (3) pengurangan kecenderungan penutupan aliran udara yang parah
timbul kembali. (Sukandar, et al., 2008).
Gambar 1.6 Pendekatan bertahap untuk menangani asma pada orang dewasa dan
anak-anak> 5 tahun (NHLBI, 2002)
13
Gambar 2.7 Pendekatan bertahap untuk menangani asma pada anak-anak usia 5
tahun atau lebih muda (NHLBI, 2002)
1) Agonis 2
bronkodilator yang paling efektif dengan mekanisme kerja menstimulasi β2-
adrenergik untuk aktivasi adenilat siklase sehingga menghasilkan peningkatan
AMP Siklik intraselular. Hal ini menyebabkan relaksasi otot polos, menstabilkan
14
sel mast, dan menstimulasi otot skeletal. Contoh obat tersebut adalah Albuterol,
Salmeterol, Terbutalin, Isoproterenol, Metaproterenol.
15
2) Kortikosteroid
Meningkatkan jumlah reseptor β2-adrenergik dan meningkatkan respon reseptor
terhadap stimulasi β2-adrenergik sehingga menyebabkan penurunan produksi
mukus dan hipersekresi, mengurangi hiperresponsivitas bronkus, serta mencegah
dan mengembalikan perbaikan jalur nafas.
Kortikosteroid inhalasi adalah terapi kontrol jangka panjang yang disukai asma
persisten pada semua pasien karena potensi dan efektivitasnya yang konsisten.
kortikosteroid satu-satunya terapi yang terbukti mengurangi risiko kematian
akibat asma. Contoh obat: Prednison, hidrokortison, metilprednisolon,
dexamethasone.
3) Metilxantin
Teofilin menghasilkan bronkodilatasi dengan menginhibisi fosfodiesterase, yang
menghasilkan antiinflamasi dan aktivitas nonbronkodilatasi lain melalui
penurunan pelepasan mediator sel mast, protein dasar eosinofil, proliferasi
limfosit T, sitokin sel T, dan eksudasi plasma.
Pemberian tidak efektif dalam bentuk aerosol sehingga harus diberikan Oral atau
IV. Teofilin lepas lambat lebih disukai untuk pemberian oral, sedangkan bentuk
kompleksnya dengan etilendiamin(aminofilin) lebih disukai untuk sediaan
parenteral karena peningkatan kelarutannya.
Contoh obat : teofilin, aminofilin.
4) Antikolinergik
Antikolinergik menghasilkan bronkodilatasi hanya pada bronkokonstriksi yang
dimediasi kolinergik. Kerjanya tidak sekuat agonis ß2, menekan tapi tidak
memblok, asma yang dipicu oleh alergen atau latihan bergantung dosis. Inhalasi
Ipratropium hanya diindikasikan sebagai terapi tambahan pada asma parah akut
yang tidak merespon sepenuhnya terhadap agonis ß2. Contoh obat : ipratropium
dan tiotropium bromida.
16
5) Kromolin Natrium dan Nedokromil Natrium (Mast Cell stabilizers)
Kromolin Natrium dan Nedokromil Natrium menginhibisi respon terhadap
paparan alergen dan bronkospasme di induksi latihan tetapi tidak menyebabkan
bronkodilatasi. Kedua obat ini diindikasikan untuk profilaksis asma persisten
ringan pada anak dan dewasa. Efektif jika dihirup. Kromolin obat pilihan kedua
untuk pencegahan bronkospasme yg diinduksi latihan fisik dan dapat digunakan
bersama agonis ß2.
6) Modifikator Leukotrien
Modifikator Leukotrien merupakan antagonis reseptor leukotrien lokal yang
mengurangi proinflamasi dan efek bronkokonstriksi leukotrien D4. Tidak
digunakan pada kondisi akut parah dan diminum secara teratur, bahkan pada
periode bebas gejala. Zileuton merupakan inhibitor leukotrien sintesis, tapi
penggunaannya terbatas karena frekuensi pemberian tinggi. Contoh obat :
Zafirlukast dan montelukast.
8) Omalizumab
Antibodi anti-IgE yang digunakan untuk pengobatan asma yang tidak dapat
ditangani dengan baik oleh kortikosteroid hirup dosis tinggi. Obat ini hanya
diindikasikan untuk pasien atopik yang bergantung pada kortikosteroid oral atau
kortikosteroid dosis tinggi dengan gejala dan kadar IgE tinggi. Dosis omalizumab
ditentukan berdasarkan IgE serum total dasar(IU/mL)dan BB pasien(kg) yang
diberikan secara subkutan dengan interval 2 atau 4 minggu.
17
9) Metotreksat
Dosis rendah metotreksat (15 mg/minggu) digunakan untuk mengurangi dosis
kortikosteroid sistemik pasien dengan asma parah akut bergantung steroid.
(Sukandar, et al., 2008).
Gambar 2.8 Tabel Regimen Pengobatan untuk Asma Eksaserbasi Parah Akut di
Unit Gawat Darurat atau Rumah Sakit
18
Gambar 2.9 Penanganan perburukan Asma Akut (Pharmacotherapy Handbook,
2000)
19
2) Pengukuran peak flow meter
Hal ini perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat.
Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini
dianjurkan pada :
▪ Penanganan serangat akut digawat darurat, klinik, prakter dokter dan oleh
pasien dirumah.
▪ Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan prakter dokter.
▪ Pemantauan sehari- hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma persisten usia
di atas > 5 tahun, terutama bagi pasien setelah perawatan dirumah sakit, pasien
yang sulit/tidak mengenal perburukan melalui gejala padahal berisiko tinggi
untuk mendapat serangan yang mengancam jiwa.
3) Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4) Pemberian oksigen
5) Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak – anak
6) Kontrol secara teratur
7) Pola Hidup sehat dapat dilakukan dengan penghentian merokok, menghindari
kegemukan dan kegiatan fisik misalnya senam asma. (Pharmaceutical Care
untuk Penyakit Asma, 2007).
❖ Riwayat pengobatan :
- Salbutamol 1 atau 2 semprotan 3 – 4 x sehari bila diperlukan
- Salmeterol 2 semprotan 2 x sehari
- Beclometason 2 semprotan 2 x sehari secara teratur.
❖ Riwayat penyakit dahulu :
20
- Pasien mengidap asma selama 2 tahun terakhir.
❖ Riwayat penyakit keluarga :
- Di keluarga pasien ada kakek pasien yang memiliki riwayat penyakit asma .
❖ Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum :
- Kesadaran : compos mentis
- Nadi : 140x/m, isi dan tegangan cukup
- Pernafasan : 45x/m
- Suhu tubuh : 38oC
- Tekanan darah : 110/70 mmHg
- Berat badan : 60 kg
- Tinggi badan : 160 cm
- Edema umum : tidak ada.
❖ Pemeriksaan laboratorium :
- Nilai FEV1 < 80% dari nilai prediksi (paru-paru obstruktif)
- Rasio FEV1/FVC <70% (paru-paru obstruktif)
- Nilai PERF 60% (zona kuning, kondisi sesak nafas memburuk)
❖ Diagnosa : Asma akut
ANALISIS KASUS
1) Data Base
a. Nama Pasien : Nyonya SJ
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Umur Pasien : 35 Tahun
d. Tinggi badan : 160 cm
e. Berat badan : 60 kg
21
2) SOAP
a. Subjektif
- Keluhan : sulit bernafas dan nafasnya berbunyi
- Riwayat penyakit : mengidap asma selama 2 tahun
- Riwayat sosial : bekerja dipekerjaan stress tinggi
- Riwayat keluarga : kakek pasien memiliki riwayat penyakit asma kronis
- Riwayat alergi : tidak ada
b. Objektif
- TD : 110/70 mmHg
- Nilai FEV1 < 80% dari nilai prediksi (paru-paru obstruktif)
- Rasio FEV1/FVC <70% (paru-paru obstruktif)
- Nilai PERF 60% (zona kuning, kondisi sesak nafas memburuk)
c. Assesment
- Berdasarkan hasil pemeriksaan dengan spirometri, pasien diindikasikan
mengalami penyempitan salurn pernafasan akibat asma
- Hasil pemeriksaan dengan PFM (peak flow meter) pada pasien
menunjukkan kondisi sesak nafas memburuk
d. Plan
▪ Tujuan terapi :
- Memperbaiki obstruksi jala udara dengan cepat
- Memperbaiki hipoksemia secara signifikan
- Mencegah kekambuhan asma
▪ Terapi farmakologi :
- Terapi gas O2 aliran tinggi : pasien asma akut memerlukan oksigen
untuk mengatasi hipoksemia, memperbaiki obstruksi udara dengan
segera.
- Salbutamol nebulizer: salbutamol merupakan agonis B2 yang bekerja
cepat dan merupakan pilihan utama untuk pasien asma akut.
Digunakan inhalasi selama 60 menit. Jika tidak ada perubahan pada
awal penggunaan, maka perlu diberikan prednison oral.
22
- Oral prednison : penggunaan prednison oral di anjurkan untuk pasien
yang menderita asma akut setelah pemberian inhalasi B2 agonis kerja
cepat tidak memperbaiki gejala saat obat diberikan. Penggunaannya
harus dibatasi selama 2 minggu dan jika harus digunakan untuk jangka
lama, maka pilihlah dosis terkecil yang memberikan efek.
▪ Terapi non farmakologi :
- Istirahat yang cukup
- Menghindari faktor-faktor pencentus : asap rokok, cuaca, stress psikis
dan fisik, dan debu.
23
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
1. Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (perdangan) kronik saluran napas
yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang
ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan
rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya
bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan.
2. Asma akibat alergi bergantung kepada respon IgE yang dikendalikan oleh
limfosit T dan B serta diaktifkan oleh interaksi antara antigen dengan molekul
IgE dengan sel mast. Sebagian besar allergen yang mencetus asma bersifat
airborne dan agar dapat menginduksi keadaan sensitivitas, allergen tersebut
harus tersedia dalam jumlah banyak untuk periode waktu terentu.
3. Penatalaksaan terapi pada penderita asma terbagi menjadi dua yaitu terapi
farmakologi dan terapi non-farmakologi. Terapi farmakologi antara lain dapat
diobat obat golongan 2 agonis, kortikosteroid, metilxantin, antikolinergik,
Mast Cell Stabilizers, modifikator leukotriene, Omalizumab, metoktreksat dan
Kombinasi terapi pengontrol. Penatalaksanaan secara non farmakologi yaitu
dengan mengedukasi pasien, pengukuran peak flow meter, identifikasi dan
mengendalikan faktor pencetus, pemberian oksigen, banyak minum untuk
menghindari dehidrasi, kontrol secara teratur, Pola hidup sehat.
3.2. Saran
Dengan mengetahui apa dan bagaimana penyakit asma, maka penderita jangan
menganggap remeh tingkat keparahan penyakit asma yang diderita. Namun,
seringlah untuk berkonsultasi dengan dokter yang menangani. Penderita
diharapkan dapat menghindari stress dan faktor-faktor yang memicu terjadinya
asma kambuh.
24
DAFTAR PUSTAKA
Asthma, G. I. (2020). Global Initiative for Asthma: Global strategy for asthma
management and prevention (Updated 2020). Revue Francaise
d'Allergologie et d'Immunologie Clinique, 36(6), 685-704.
Barbara, G., Joseph, T., Terry , L., & Cecily, V. (2000). Pharmacotherapy
Handbook (Seventh ed.). McGrawHill Medical.
Bare & Smeltzer. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddart (Alih bahasa Agung Waluyo) Edisi 8 vol.3. Jakarta : EGC
Nurarif, Amin Huda, & Kusuma, Hardhi. (2015). Aplikasi Asuhan Keperwatan
25
Berdesakan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Jilid 1. (p 65-75).
Jogjakarta. Mediaction Jogja.
Sukandar, E. Y., Andrajati, R., Sigit, J., Adnyana, I., Setiadi, A. P., & Kusnandar.
(2008). ISO Farmakoterapi. Jakarta Barat: PT.ISFI Penerbitan.
26
LAMPIRAN
27
6. Apa itu mediator sel mast?
Jawaban : mediator utama yang dilepaskan oleh sel mast adalah histamin, yang
berperan terhadap timbulnya respon segera setelah terpapar oleh alergen.
7. Apa saja terapi non farmakologi asma?
Jawaban : istirahat yang cukup, menghindari faktor pemicu seperti: asap rokok,
debu, cuaca, stress psikis, peningkatan pemahaman pasien terhadap penyakit
asma dan penggunaan obat yang terakit, dll
8. Olahraga apa yang cocok untuk penderita asma?
Jawaban : senam yang ringan, jogging, dan berenang
28