Anda di halaman 1dari 3

Patogenesis

Setelah menghisap droplet yang terinfeksi, kuman akan berkembang biak di saluran
pernafasan. Gejala sakit hampir selalu timbul dalam 10 hari setelah kontak meskipun masa
inkubasinya bervariasi (Hewlett, 2014). Masa inkubasi 6 sampai 20 hari (rata-rata 7 sampai
10 hari). Penyakit ini terbagi dalam 3 stadium :

Stadium Prodormal (kataral) berlangsung selama 1-2 minggu. Selama


stadium ini, penderita hanya menunjukkan gejala-gejala infeksi saluran nafas
atas yang ringan seperti bersin, keluarnya cairan dari hidung, batuk, dan
kadang-kadang konjungtivitis. Pemeriksaan fisik tidak memberikan hasil
yang menentukan. Masa ini merupakan masa perkembangbiakan kuman
dalam saluran pernafasan.

Stadium kedua biasanya berlangsung selama 1-6 minggu dan ditandai dengan
peningkatan batuk paroksismal. Suatu batuk paroksismal yang khas adalah
dimana dalam jangka waktu 15-20 detik terjadi 5-20 kali batuk beruntun yang
biasanya diakhiri dengan keluarnya lendir/muntah serta tidak ada kesempatan
untuk bernafas di antara batuk-batuk tersebut. Tarikan nafas setelah batuk
biasanya menimbulkan bunyi yang keras.

Stadium ketiga berupa stadium konvalesen. Batuk dapat berlangsung selama


beberapa bulan dari permulaan sakit. Beratnya penyakit bervariasi (Moore,
2013).

Pertusis paling mudah menular pada stadium kataral, bisa menular selama 3 minggu, atau
sebelum 5 hari pengobatan dengan Eritromisin (Parker, 2013).
Penularan terutama melalui saluran pernapasan dimana Bordetella pertussis akan
terikat pada silia epitel saluran pernapasan, kemudian kuman ini akan mengalami multiplikasi
disertai pengeluaran toksin, sehingga menyebabkan inflamasi dan nekrose trakea dan
bronkus. Mukosa akan mengalami kongesti dan infiltrasi limfosit dan polimorfonukleus
lekosit. Di samping itu terjadi hiperplasi dari jaringan limfoid peribronkial diikuti oleh proses
nekrose yang terjadi pada lapisan basal dan pertengahan epitel bronkus. Lesi ini merupakan
tanda khas pada pertusis. Pada pemeriksaan postmortem dapat dijumpai infiltrasi peribronkial
dan pneumonia interstitial (Paddock, 2014).
Mekanisme patogenesis infeksi terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan,
perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul
penyakit sistemik (Cherry, 2014).

Filamentous hemaglutinin (FHA), lymphositosis promoting factor (LPF)/ pertusis


toxin (PT) dan protein 69 Kd berperan dalam perlekatan B.pertussis pada silia. Setelah terjadi
perlekatan, B.pertussis kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel
saluran pernapasan. Proses ini tidak invasif, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi
bakterimia. Selama pertumbuhan B.pertussis akan dihasilkan toksin yang akan menyebabkan
penyakit yang dikenal dengan whooping cough. Toksin terpenting yang dapat menyebabkan
penyakit adalah pertussis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 subunit, yaitu A dan B. Toksin
subunit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target, kemudian menghasilkan sel unit A
yang aktif pada daerah aktivasi membran sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan
makrofag ke daerah infeksi (Mattoo, 2005).
Toxin mediated adenosine diphosphate mempunyai efek mengatur sintesis protein di
dalam membran sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel target
termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamin dan
serotonin, efek memblokir beta adrenergik dan meningkatkan aktivitas insulin, sehingga akan
menurunkan konsentrasi gula darah (Kallonen, 2012).
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hiperplasia jaringan limfoid
peribronkial dan meningkatkan jumlah mukus pada permukaan silia, maka fungsi silia
sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh
Streptococcus pneumoniae, H.influenzae, dan Staphylococcus aureus). Penumpukan mukus
akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan
sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigen saat ventilasi dan timbulnya apnea
saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat,
apakah akibat pengaruh langsung toksin atau sekunder sebagai akibat anoksia. Terjadi
perubahan fungsi sel yang reversibel, pemulihan tampak bila sel mengalami regenerasi, hal
ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit (Locht,
2011).
Dermonecrotic toxin adalah heat labile cytoplasmic toxin menyebabkan kontraksi otot
polos pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebabkan iskemia dan nekrosis trakea.
Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA, menyebabkan siliostasis, dan diakhiri dengan
kematian sel. Pertussis lipopolysaccharide (endotoksin) tidak terlalu penting dalam hal
patogenesis penyakit ini. Kadang-kadang B.pertussis hanya menyebabkan infeksi yang ringan
karena tidak menghasilkan toksin pertusis (Kallonen, 2012).

DAFTAR PUSTAKA

Hewlett Erik L, et al. (2014). Pertussis PathogenesisWhat We Know and What We


Don't Know. Atlanta: National Foundation of Infectious Disease.
Moore Hannah C, et al. (2013). How Accurate Are International Classication of
Diseases-10 Diagnosis Codes in Detecting Inuenza and Pertussis Hospitalizations in
Children?. Perth: University of Western.
Parker Danny, et al. (2013). Detecting Paroxysmal Coughing from Pertussis Cases
Using Voice Recognition Technology. Mississippi: Oxford University.
Paddock Christopher D, et al. (2014). Pathology and Pathogenesis of Fatal Bordetella
pertussis Infection in Infants. Los Angeles: University of California.
Cherry D James. (2014). The Present and Future Control of Pertussis. Los Angeles:
University of California.
Mattoo Seema, et al. (2005). Molecular Pathogenesis. Epidemiology, and Clinical
Manifestations of Respiratory Infections Due to Bordetella pertussis and Other Bordetella
Subspecies. Los Angeles: University of California.
Kallonen T, et al. (2012). Rapid Detection of The Recently Emerged Bordetella
pertussis Strains with The ptxP3 Pertussis Toxin Promoter Allele by Real-Time PCR.
Finland: University of Turku.
Locht Camille, et al. (2011). The Ins and Outs of Pertussis Toxin. France: Institut
Pasteur de Lille.

Anda mungkin juga menyukai