Anda di halaman 1dari 3

Definisi

Pertusis atau batuk rejan adalah wooping-cough, tussis quinta, violent cough, dan di Cina disebut batuk
seratus hari. Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit
infeksi saluran napas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum
diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun. Disebut juga whooping cough oleh
karena penyakit ini datandai ole suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodik dan
paroksimal disertai nada yang meninggi, karena pasien berupaya keras untuk menarik napas sehingga
pada akhir batuk sering disertai bunyi yang khas. Nama pertusis lebih disukai dari pada whooping cough
karena tidak semua pasien pertusis disertai dengan bunyi yang khas. Uraian pertama epidemi penyakit
ini ditulis pada tahun 1578 di Paris. Kuman penyebab baru diketahui pada tahun 1908 oleh Bordet dan
Gengou.

Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada anak, terutama di negara
berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000 kematian disebabkan petusis setiap tahunnya
terutama pada bayi yang tidak diimunisasi dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program
imunisasi maka mortalitas dan mordibitas penyakit ini mulai menurun

Data yang diambil dari profil kesehatan Jawa Barat 1993, jumlah kasus pertusis tahun 1990 adalah 4.970
kasus dengan CFR (case fatality rate) 0,20%, menurun menjadi 2.752 kasus pada tahun 1991 dengan CFR
0% kemudian menurun lagi menjadi 1.379 kasus dengan CFR 0%, kumudian menurun lagi mejadi 1992.

Etiologi

Genus Bordetela mempunyai 4 spesies yaitu B. Pertusis, B. Parapertussis, B. Bronkiseptika, dan B. Avium.
Penyebaba pertusis adalah Bordetella pertusis dan perlu dibedakan dengan sindrom pertusis yang
disebabkan oleh Bordetella parapertusis dan adenovirus (tipe 1, 2, 3 dan 5). Bordetella pertusis
termasuk kokobasilus, Gram-gram negatif, kecil, ovoid, ukeran panjang 0,5-1um dan diameter 0,2-0,3
um, tidak bergerak, tidak berspora. Dengan pewarnaan toloidin biru, dapat terlihat granula bipoler
metakromatik dan mempunyai kapsul. Untuk melakukan biakan B. Pertusis, diperlukan suatu media
pembenihan yang disebut bordetella gengou (potato-blood-glycerol agar) yang ditambah penisilin G 0,5
ug/ml untuk menhambat pertumbuhan organisme lain.

Epidemiologi

Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat menimbulkan attack rate 80-
100% pada penduduk yang rentan. Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya tuan rumah.
Pertusis dapat ditularkan melalui udara secara kontak langsung yang berasal dari droplet penderita
secara batuk.

Pertusis adalah penyakit epidemik. Di Amerika Serikat antara tahun 1932-1989 telah terjadi 1.188 kali
puncak epidemi pertusis.penyebaran penyakit ini tedapat diseluruh udara,dapat menyerang semua
golongan umur, yang terbanyak adalah anak umur di bawah 1 tahun. Masih muda usianya makin
berbahaya penyakitnya, lebih sering menyerang anak perempuan dari pada anak laki-laki, di Amerika
Serikat kurang lebih 35% kasus terjadi pada usia < 6 bulan, termasuk bayi yang berumur 3 bulan. Kurang
lebih 45% penyakit terjadi pada usia < 1 tahun dan 66% < 5 tahun. Kematian dan jumlah kasus yang
dirawat tertinggi terjadi pada usia 6 bulan pertama kehidupan.

Antibodi dari ibu (transplansental) selama kehamilan, tidaklah cukupuntuk mencegah bayi baru lahir
terhadap pertusis. Pertusis yang berat pada neonatus dapat ditemukan dari ibu dengan gejala pertusis
ringan. Kematian sangat menurun setelah diketahui bahwa dengan pengobatan eritromisin dapat
menurunkan tingkat penularan pertusis, karena biakan nasofaring akan negatif setelah 5 hari
pengobatan.

Patogesis

Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian melekat pada silia
epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh B. Pertussis terjadi melalui 4 tingkatan
yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu,kerusakan lokal, dan akhirnya
timbul penyakit sistemik.

Filamentous hemaglutinin (FHA), lymphositosis promoting factor (LPF)/ pertussis toxin (PT) dan protein
69-Kd perberan dalam perlekatan B. Pertussis pada silia. Setelah terjadiperlekatan B. Pertussis,
kemudian ber-multiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran pernapasan. Proses ini
tidak infasif, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan B. Pertussis,
maka aka menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping
cough. Toksin yang terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan oleh karena pertussis
toxin. Toxin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toxin sub unit B selanjutnya berikatan dengan
reseptor sel target kemudian menghasilkan sel unit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membran
sel . Efek LPF menghambat migrasi limposit dan magrofag ke daerah infeksi.

Toxin mediated adenosine disphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesa protein di dalam
membran sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologi dari sel target termasuk limposit
(menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamin dan serotonin, dan efek memblokir beta
adrenergik dan meningkatkan aktivitas insulin, sehingga akan menurunkan kensentrasi gula darah.

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hiperplasia jaringan limfoid peri bronkial dan
meningkatkan julah mukos pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu,
sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonuae, H. Influenza dan
Staphylococcus aureus). Penumpukan mukus akan menimbulkan plug yang dapt menyebabkan obstruksi
dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenasi pada saat
ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan
susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toxin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia.
Terjadi perubahan fugsi sel yang reversibel, pemulihan tampak bila sel mengalami regenerasi, hal ini
dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotikterhadap proses penyakit.

Dermonecrotic Toxin adalah head labile cytoplasmatic toxin menyebabkan kontraksi otot polos
pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebabkan iskemia dan nekrosis trakea. Sitotoksin bersifat
menghambat sintesa DNA, menyebabkan siliostatis, dan diakhiri dengan kematian sel. Pertussis
lipopolysaccharide (endotoksin) tidak terlalu penting dalam hal patogenesis penyakit ini. Kadang-kadang
B. Pertussis hanya menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toxin pertusis.

Gejala Klinis

Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini berlangsung antara
6-8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung dalam 3 stadium, yaitu stadium
kataralis (prodornal, preparoksimal), stadium akut paroksimal (paroksimal, spasmodik), dan stadium
konvalensens. Manifestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, umur dan status imunisasi. Gejala pada
anak yang berumur < 2 tahun yaitu, batuk paroksimal (100%), whoops (60-70%), emesis (66-80%),
dispnea (70-80%) dan kejang (20-25%). Pada anak yang lebih besar manifestasi klinis tersebut lebih
ringan dan lama sakit lebih pendek, kejang jarang pada anak > 2 tahun. Suhu jarang > 38,4C pada
semua golongan umur. Penyakit yang disebabkan B. Parapertussis atau B. Bronkiseptika lebih ringan
daripada B. Pertussis dan juga lama sakit lebih pendek. Ketiga stadium pertusis diuraikan dibawah ini.

a. Stadium kataralis (1-2 minggu)

Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu timbulnya

Anda mungkin juga menyukai