Anda di halaman 1dari 7

Pertussis

Dikenal juga sebagai penyakit batuk rejan atau batuk 100 hari, karena sifat penyakitnya.
Penyakit ini merupakan infeksi saluran nafas atas yang disebabkan oleh bakteri genus
bordetella. Penyakit ini sudah jarang terjadi karena penggunaan vaksin telah mengurangi
insidens penyakit ini. Penyakit ini sering terjadi terutama pada mereka yang belum
mendapatkan vaksinasi lengkap. Ciri khas dari penyakit ini adalah batuk yang tidak terkontrol
hingga terkadang pasien sulit batuk.

Di Amerika serikat, pada tahun 2010, insiden kasus pertusis mencapai 27.550 kasus dengan 27
kematian. Secara global insiden pertussis diperkirakan 48.5 juta kasus dengan mortalitas
emncapai 295.000 kematian tiap tahunnya. Case Fatality Rate pada anak-anak di negara
dengan pendapatan per kapita yang rendah mencapai 4%.

Etiologi

Bordetella pertussis. Merupakan bakteri kokobasil gram negatif, tidak motil, tumbuh baik pada
kultur bordet genggou dan regan lowe, memiliki enzim oksidase dan katalase. Bordetella
parapertussis juga dapat menyebabkan kasus pertussis dengan penyakit yang lebih ringan

Ciri-ciri Bordetella pertussis :


a.Gram negatif cocobacil
b. bipolar metachromatic granule
c. kultur : Bordet gengou (Potato-blood-glycerol agar) yang mengandung penicilin dan
Charcoal containing medium (Regan Lowe)

Transmisi

Droplet pernafasan (batuk, bersin). Penularan sering terjadi di dalam keluarga.

Patologi dan patogenesis

a. Diawali dengan perlekatan bakteri terhadap sel epitel nasofaring, perlekatan ini dimediasi
oleh pertactin dan Filamentous hemagglutinin milik Bordetella pertussis. Ditempat ini bakteir
mengalami multiplikasi dan memproduksi toksin (Tracheal cytotoxin dan dermonecrotic toxin)
b. Toksin pertussis merupakan toksin tipe AB (Mirip toksin cholera dan pseudomonas). Toksin
B berikatan dengan sel epitel nasofaring lalu menginjeksikan toksin A kedalam sel-sel tersebut.
Toksin merupakan sebuah ADP-Ribosyl transferase yang menginaktivasi Gi Protein, hal ini
menyebabkan peningkatan kadar adenylate cyclase sehingga terjadi peningkatan cAMP.
c. Manifestasinya adalah peningkatan produksi mukus, kerusakan silia, disertai dengan infiltasi
sel polimorfonuklear. Proses ini menciptakan batuk berkepanjangan pada pasien. Mukus akan
merangsang respon batuk, kerusakan silia menyebabkan stasis mukus di dalam saluran nafas
d. Ciri khas dari infeksi pertussis adalah limfositosis dan leukositosis, hal ini disebabkan karena
kerusakan terlokalisir pada saluran nafas atas sedangkan limfosit dan leukosit tidak dapat
mencapai daerah tersebut sehingga terakumulasi di dalam darah

nb.
Kerusakan terutama disebabkan oleh toksin yang diproduksi oleh bakteri, dan bukan oleh
bakteri itu sendiri. Bakteri cenderung sudah menghilang dari tubuh pada fase paroksismal (lihat
bagian tanda dan gejala)

Tanda dan gejala

Gejala pertussis dibagi menjadi 3 periode :


a. Periode katarrhal : Batuk kering, bersin, pilek, dengan atau tanpa demam, radang
tenggorokan -> Periode ini berlangsung selama 1-2 minggu
b. Periode paroksismal : Batuk rejan (whooping cough), setelah batuk ingin muntah (post-
tussive vomiting, dapat disertai dengan kejang, muka merah, maupun sianosis
.c. Periode konvalensens (penyembuhan) : Gejala akan berkurang dalam beberapa minggu
hingga beberapa bulan. Fase ini ditandai dengan batuk, petekia pada kepala/leher, pendarahan
pada konjungtiva dan terdengar ronki pada paru.

d. Pemeriksaan laboratorium yang khas :

 Limfositosis absolut (dapat mencapai >9000)


 Leukositosis (dapat mencapai > 25.000 sel/µl)

Diagnosis

a. Diagnosis sering ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik dan anamnesis, riwayat


vaksinasi dan gejala batuk yang khas
b. Darah lengkap menunjukkan limfositosis dan leukositosis
c. Kultur bakteri, spesimen diambil dari nasofaring
d. PCR (Polymerase Chain Reaction), spesimen diambil dari aspirasi nasofaring
e. Serologi

Treatment and management

a. Eritromisin
b. Azitromisin
c. Claritromisin
Pencegahan

Vaskin DPT (2,4,6 bulan , 15-18 bulan , 4-6 tahun)

*Orang yang kena pertussis harus gak masuk sekolah selama 5 hari setelah pemberian
antibiotik
*Orang yang belum diimunisasi (saudara kandung) dan close contact (anak2) harus gak masuk
sekolah dulu selama 14 hari dari pajanan terakhir. Or until the have take five days of a ten day
course of antibiotics

Penjelasan : karena penularan dari b.pertussis hanya terjadi pada fase catarhal dan fase awal
paroxysmal. Dan dengan antibiotic periode penularan biasanya hanya 5 hari / kurang setelah
pemberian antibiotik

Komplikasi

a. Pneumonia karena secondary bacterial infection


b. Neurologic manifestation (seizure dan encephalopathy) karena hypoxia
c. Bisa juga terjadi pneumothorax, subdural hematoma, epistaxis , subconjunctival hematoma,
hernia, rectal prolapse, urinary incontinence, rib fx
d. Apnea
Pertussis adalah satu dari penyakit-penyakit yang paling menular, dapat menimbulkan “attack
rate” 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada 60 juta kasus pertusis setahun
dengan lebih dari 500.000 meninggal. Selama masa pra-vaksin tahun 192-1948, pertusis adalah
penyebab utama kematian dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika
Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75 persen adalah
anak kurang dari 5 tahun. 1,2,3 Pertusis terutama mewabah di negara-negara berkembang dan
maju, seperti Italian, daerah-daerah tertentu di Jerman dimana cakupan vaksin rendah atau
Nova Scatia dimana digunakan vaksin yang kurang poten, dengan angka insidensi rata-rata
mencapai 200-500/100.000 populasi dengan angka kematian 350.000 pada anak dibawah 5
tahun.2 Di Amerika Serikat sendiri dilaporkan insidensi tertinggi 4500 kasus sejak tahun 1967.
namun setelah hal tersebut, pertusis jarang sekali kasusnya karena sudah lebih di galakkan
vaksinasi . 3 Pertusis adalah endemik, dengan ditumpangin siklus endemik setiap 3-4 tahun
sesudah akumulasi kelompok rentan yang cukup besar. Dilaporkan sebagian kasus terjadi dari
bulan Juli sampai dengan Oktober. 1,3. Pertusis sangat menular dengan angka serangan 100%
pada individu rentan yang terpajan pada aerosol dengan rentang yang rapat. Penyebaran terjadi
melalui kontak langsung atau melalui droplet yang ditularkan selama batuk. Dahulu dikatakan
bahwa Perempuan terkena lebih sering daripada laki-laki dengan perbandingan 0.9:1 . Namun
dengan laporan terbaru (Farizo, 1992) perbandingan insidensi antara perempuan dan laki-laki
menjadi sama sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan proporsi anak belasan tahun dan
orang dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara bersama samapai 27% pada tahun 1992-
1993. Tanpa reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau vaksinasi booster berulang, anak yang
lebih tua dan orang dewasa lebih rentan terhadap penyakit ini jika terpajan. Sedangkan antibodi
dari ibu secara transplasental pada anak tidaklah konsisten mencegah bayi yang baru lahir
terhadap pertussis. Pertussis pada neonatus yang berat dapat ditemukan dengan gejala-gejala
pertussis normal. 3 Patogen : B. pertussis : kecil, tidak bergerak, cocobacillus gram (-). Terbaik
dibiak pada “glycerin-potato-blood agar media (border-gengou)”. Organisme yang didapat
umumnya tipe virulen (disebut fase I). Pasase dalam kultur dapat merangsang pembentukan
varian yang avirulen (fase II, III, dan IV). Strain fase I berperan untuk penularan penyakit dan
menghasilkan vaksin yang efektif.

Make Google view image button visible again: https://goo.gl/DYGbub


anya B. pertussis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen utama. B.pertussis
juga menghasilkan beberapa bahan aktif, yang banyak darinya dimaksudkan untuk memainkan
peran dalam penyakit dan imunitas. Aerosol, hemaglutinin filamentosa (HAF), beberapa
aglutinogen (FIM2-FIM3), dan protein permukaannonfimbria 69-kD yang disebut pertaktin
(PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel epitel bersilia saluran pernapasan. Sitotoksin
trakea, adenilat siklase, dan TP menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakea, factor
dermonekrotik dan adenilat siklase diterima secara dominant menyebabkan cedera epitel local
yang menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP. 2,3,4 TP
mempunyai 2 sub unit, yaitu A dan B. TP (B) akan berikatan dengan reseptor pada sel taret dan
mengaktivasi TP(A) pada membran sel yang merangsang pengeluaran enzim. TP akan
merangsang pengeluaran Adenosin Diphosphate (ADP) sehingga akan mempengaruhi fungsi
dari leukosit, limfosit, myocardial sehingga bermanifestasi peradangan saluran napas dengan
hyperplasia kelenjar lymph peribronchial dan meningkatkan produksi mucus yang akan
menutupi permukaan silia. Yang pada akhirnya bias mengarah ke komplikasi
bronchopneumonia, infeksi sekunder bakteri lain (ex: Pneumococcus, Haemophilus
influenzae, S.aureus, S.pyogenes), sianosis karena apnea dan ventilation perfusion mismatch.
2,3 Patologi : - organisme bermultiplikasi pada epitel yang bersilia dan menghasilkan faktor-
faktor virulen (termasuk toksin) - Ada bendungan dan infiltrasi mukosa oleh sel-sel limfosit
dan leukosit PMN, dan hasil hasil peradangan dalam lumen bronki. Pada awalnya terjadi
hiperplasia limfoid peribronkial. Terjadi bronkopneumonia dengan nekrosis dan deskuamasi
epitel permukaan bronki. - Obstruksi bronkial dan atelektasis terjadi karena penumpukan
sekresi mukus. Dapat pula timbul bronkiektasi. - Perubahan patologis juga ditemukan pada
otak dan hati. Dapat ditemukan perdarahan serebral dan atrofi kortikal yang kemungkinannya
karena adanya anoksia. Pada hati dapat ditemukan infiltrasi lemak

Make Google view image button visible again: https://goo.gl/DYGbub


Manifestasi klinik : - masa inkubasi pertusis rata-rata 7 hari (6-20 hari). - Penyakit dapat dibagi
dalam 3 stadium : *kataral *paroksismal *konvalenses Penyakit umumnya berlangsung selama
6-8 minggu. - Manifestasi klinik tergantung dari etiologi spesifik, umur dan status imunisasi.
Penderita-penderita yang berumur <> 2 tahun. Jarang timbul panas diatas 38,4°C pada semua
golongan umur. - Penyakit disebabkan B. parapertussis dan B. bronkiseptika lebih ringan dan
juga lama sakitnya lebih pendek. - Stadium kataral : 1-2 minggu Gejala-gejala infeksi saluran
pernafasan bagian atas predominan à rinore, “conjuctival injection”, lakrimasi, batuk ringan,
panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertussis belum dapat
ditetapkan. - Stadium paroksismal : ³ 2-4 minggu Jumlah dan berat batuk bertambah. Khas, ada
ulangan 5-10 batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang
mendadak yang menimbulkan “whoop” ( udara dihisap secara kuat melalui glotis yang sempit).
Mukanya merah atau sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi
vena leher selama serangan. Episode batuk-batuk yang paroksimal dapat terjadi lagi sampai
obstruksi “mucous plug” pada saluran nafas menghilang. Pada stadium paroksismal dapat
terjadi petekia pada kepala dan leher atau perdarahan konjungtiva. Emesis sesudah batuk
dengan paroksimal adalah cukup khas sehingga anak dicurigai menderita pertussis walaupun
tidak ada “whoop”. Anak tampak apatis dan berat badan menurun. Serangan-serangan dapat
dirangsang dengan menguap, bersin, makan, minum, aktivitas fisik atau malahan sugesti.
Diantara serangan penderita tampak sakit minimal dan lebih enak. “Whoop” dapat tidak
ditemukan pada beberapa penderita terutama bayi-bayi muda. - Stadium Konvalesens : 1-2
minggu Episode paroksimal batuk dan muntah sedikit demi sedikit menurun dalam frekuensi
dan beratnya. Batuk dapat menetap untuk beberapa bulan. Pemeriksaan fisik umumnya tidak
informatif. Pada stadium paroksismal dapat terjadi petekia pada kepala dan leher atau
perdarahan konjungtiva. Pada beberapa penderita terjadi ronki difus. 4

Make Google view image button visible again: https://goo.gl/DYGbub


Diagnosis dan Diagnosis banding : - Pertusis dapat didiagnosis selama stadium paroksismal.
Sukar pada bayi-bayi yang sangat muda, adolesens, dan pada orang dewasa oleh karena
mempunyai manifestasi yang atipis. - Riwayat kontak dengan kasus-kasus pertusis sangatlah
menolong, tetapi umumnya riwayat ini negatif pada populasi yang telah banyak mendapat
imunisasi. - Batuk lebih dari 2 minggu dengan emesis sesudah batuk mempunyai nilai
diagnostik yang penting. - Leukositosis (20.000-50.000/mm³ darah) dengan limfositosis
absolut khas, pada bayi-bayi jumlah leukosit tidak dapat menolong untuk diagnosis, oleh
karena respon limfositosis terdapat pula pada banyak infeksi. - Foto toraks dapat
memperlihatkan infiltrat perihiler, atelaktasis atau empiema. - Diagnostik spesifik tergantung
dari didapatkannya organisme, terbaik diperiksa selama fase awalpenyakit dengan melakukan
apus nasofaring yang dibiak pada media Bordet-Gengou. “Direct flourescent antibody
staining” dari spesimen faring dapat membedakan diagnosis spesifik secara tepat. 1,3,4 -
Diagnosis serologis dapat dilakukan dengan penentuan antibodi toksin pertussis dari sepasang
serum. - ELISA dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap
“filamentous hemoaglutinin (FHA)” dan toksin pertussis (TP). nilai IgM-FHA dan IgM-TP
serum tidak bernilai dalam penentuan seropositif oleh karena menggambarkan respon imun
primer dan dapat disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi. IgG langsung terhadap toksin
pertussis merupakan test yang paling sensitif dan spesifik untuk infeksi akut. IgA-FHA dan
IgA-TP kurang sensitif daripada IgG-TP tetapi sangat spesifik untuk infeksi natural dan tidak
terlihat sesudah imunisasi pertussis. 4,5 - Tidak ada test tunggal berlaku saat ini yang sangat
sensitif dan sangat spesifik untuk menentukan infeksi B. pertussis selama semua fase penyakit.
- Kultur paling positif pada fase kataral dan awal paroksimal dan seharusnya dilakukan pada
semua kasus yang tersangka. Test serologis berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk
menentukan adanya infeksi pada individu dengan kultur negatif. Komplikasi : - Terutama pada
sistem respirasi dan saraf pusat. Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada ±90%
kematian pada anak-anak < style="">B.Pertussis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria
sekunder (H.influenzae, S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes). - TBC laten dapat juga di aktifer.
- Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan mukus yang kental. Aspirasi
mukus atau muntah dapat menimbulkan pneumonia. - Panas tinggi sering menandakan adanya
infeksi sekunder oleh bakteria. - Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur
alveoli, empisema interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan
menetap. - Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia. Perdarahan
subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural, perdarahan intrakranial, ruptura diafragma,
hernia umbikalis, hernia inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan gangguan nutrisi. - Dapat
pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia serebral (asfiksia),
perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang dapat disebabkan oleh temperatur
tinggi. 4 - Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap “syndrome of
inappropriate secretion of antidiuretic hormone (SIADH)”. 3,4

Make Google view image button visible again: https://goo.gl/DYGbub


Pencegahan : - Imunisasi aktif : Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis
yang seimbang dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid
pertussis, difteria dan tetanus (kombinasi). * jika pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat,
imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. * Anak-anak
berumu > 7 tahun : tidak rutin diimunisasi. Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya
proteksi selama adolesens ; infeksi pada penderita .besar biasanya ringan tetapi
berperansebagai sumber infeksi B.pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis
monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol epidemi diantara orang dewasa yang
terpapar. * Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum seperti
eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan , dan sering terjadi panas, mengantuk,
dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko
terjadinya kejang demam dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg BB, per
oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam. * Imunisasi pertama
pertussis ditunda atau dihilangkan : Penyakit panas, kelainan neurologis yang progresif atau
perubahan neurologis, riwayat kejang dll. Riwayat keluarga adanya kejang, “sudden infant
death syndrome (SIDS)” atau reaksi berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah kontra
indikasi untuk imunisasi pertussis. 3,4 Kontra indikasi untuk pemberian vaksin pertussis
berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang
tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis ³ 3 jam, “high picth cry” dalam 2 hari,
kolaps atau hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan ³ 40.5 °C
dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis. 4 - kontak : * Eritromisin efektif untuk pencegahan
pertussis pada bayi-bayi baru lahir dan ibu-ibu dengan pertussis. * Kontak intim yang berumur
<> * Eritromisin : 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, peroral selama 14 hari. Anak yang
berumur > 7 tahun yang telah mendapatkan imunisasi juga diberikan eritromisin profilaksis.
Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi penyebaran infeksi eliminasi B. pertussis dari
saluran pernafasan, dan mengurangi gejala-gejala penyakit. 1,2,3,4 * Orang-orang yang kontak
dengan penderita pertussis yang belum mendapat imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin
selama 14 hari sesudah kontak diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin
diberikan sampai batuk penderita berhenti atau mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin
pertussis monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi epidemi. 1,4 Pengobatan : -
eritromisin : 50 mg/kg BB/hari selama 114 hari dapat mengeliminasi organisme pertussis dari
nasofaring dalam 3-4 hari. Eritromisin biasanya tidak memperbaiki gejala-gejala jika diberikan
terlambat. - Suportif : terutama menghindarkan faktor-faktor yang menimbulkan serangan
batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi - Oksigen diberikan pada distres pernapasan akut/kronik. -
Penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan. -
Betametason dan salbutamol (albuterol) dapat mengurangi batuk paroksismal yang berat
walaupun kegunaannya belum dibuktikan melalui penelitian kontrol. - Penekan batuk
(“suppressants”) tidak menolong. Prognosis : - angka kematian telah menurun menjadi
<10/1000> - Kebanyakan kematian disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia atau
komplikasi paru-paru lain. - Sekuele pernapasan yang lama sesudah infeksi pertussis tidak
pasti. Umumnya bayi-bayi yang berumur <> III. KESIMPULAN Pertusis merupakan salah
satu penyakit menular yang menyerang saluran pernapasan bagian atas, disebabkan terutama
oleh Bordetella pertussis. Pertusis ditandai dengan batuk lama dan kadang-kadang terdengar
seperti menggonggong (whooping cough) dan episode diakhir dengan ekspulsi dari secret
trakea,silia lepas dan epitel nekrotik. Pertusis sering menyerang bayi dan anak-anak kurang
dari 5 tahun, terutama yang belum diimunisasi lebih rentan, demikian juga dengan anak lebih
dari 12 tahun dan orang dewasa. Stadium penyakit pertusis meliputi 3 stadium yaitu kataral,
paroxsismal, dan konvalesen. Masing2 berlangsung selama 2 minggu. Pada bayi, gejala
menjadi lebih jelas justru pda stadium konvalesen. Sedangkan pada orang dewasa mencapai
puncaknya pada stadium paroxsismal. Diagnosa pertusis dengan gejala klinis memuncak pada
stadium paroksismal, riwayat kontak dengan penderita pertusis, kultur apus nasofaring, ELISA,
foto thorax. Terapi yang dapat diberikan antibiotic eritromisin 50mg/kgB/hari dibagi 4 dosis
selama 14 hari, dan suportif. Prognosis baik dengan penatalaksanaan yang tepat dan cepat.
Kematian biasanya terjadi karena ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi penyakit paru
yang lainnya. DAFTAR PUSTAKA 1. Law, Barbara J. Pertussis. Kendig’s : Disorders of
Respiratory Tract in Children. Philadelphia, USA. WB Saunders, 1998. 6th edition. Chapter
62. h :1018-1023. 2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk : Ilmu Kesehatan Anak Penyakit
Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia. FK Unpad, 1993. h: 80-86. 3. Long, Sarah S. Pertussis.
Nelson : Textbook of Pediatrics. USA. WB Saunders, 2004. 17th edition. Chapter 180. h: 908-
912,1079. 4. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine.
Missouri, USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699. 5. Staf pengajar Ilmu Kesehatan
Anak FKUI. Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h: 564-566.

Make Google view image button visible again: https://goo.gl/DYGbub

Anda mungkin juga menyukai