Anda di halaman 1dari 21

PERTUSIS

Yusmiati, dr. Hasniah Bombang,M.Kes., Sp.A

A. PENDAHULUAN

Pertusis atau batuk rejan disebut juga whooping cough, tussis quinta,

violet cough dan di Cina disebut juga batuk seratus hari. Pertusis yang berarti

batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif. Pertusis merupakan

penyakit infeksi saluran napas akut yang dapat menyerang setiap orang yang

rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan

kekebalan tubuh menurun. Disebut juga whooping cough oleh karena

penyakit ini ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat

spasmodik dan paroksismal disertai nada yang tinggi, karena pasien berusaha

keras menarik napas sehingga pada akhir batuk sering disertai bunyi yang

khas.1

Penyakit ini dapat ditemukan pada semua umur, mulai dari bayi sampai

dewasa. Dengan kemajuan perkembangan antibiotika dan program imunisasi

maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun.1

B. DEFENISI

Pertusis (batuk rejan) adalah penyakit infeksi pernapasan yang sangat

serius yang disebabkan oleh bakteri pertusis. Hal ini menyebabkan kekerasan

batuk dan tidak bisa berhenti. Batuk rejan adalah yang paling berbahaya

untuk bayi muda dan dapat mematikan. Sindrom klinis klasik menyebabkan

morbiditas dengan mempengaruhisaluran pernapasan bagian atas pada pasien

dari segala usia.2,4

1
C. EPIDEMOLOGI

Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling sering menular

yang dapat menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan.

Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya tuan rumah. Pertusis dapat

ditularkan melalui udara secara kontak lansung yang berasal dari droplet

penderita selama batuk.1

Diperkirakan 50 jutakasus dan 300.000 kematian karena pertusis terjadi

setiap tahun. Pada populasi Amerika, pertusis merupakan penyakit endemik,

dengan epidemi periodik setiap 3 sampai 5 tahun dan sering mewabah.

Kejadian pertusis terjadi pada tahun 2005, ketika 25,000 kasus dilaporkan

secara nasional. Meningkatkan kejadian tercatat di Amerika Serikat dan

Negara lainnya meskipunimunisasi luas. Di tahun 2009 hampir 17.000 kasus

pertusis dilaporkan di Amerika Serikat, dengan lebih banyak yang tidak

dilaporkan.2

Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), 50%

dari bayi di bawah usia 1tahun yang terinfeksi pertussisakan memerlukan

rawat inap. Ini, 50% akan berkembang menjadi pneumonia dan1% akan

meninggal karena komplikasi. Morbiditasdan kematian pertussis yang paling

signifikan pada bayi diawahusia 3 bulan.Bayi dalam kelompok usia ini

memilikiinsiden tertinggi rawat inap,masuk ke unit perawatan intensif, dan

kematian dari pertusis.2

Imunisasi mengurangi insidensi dan angka mortalitas pertusis, tetapi

imunitas tidak sempurna atau permanen.Wabah pertusis paling sering terjadi

2
di daerah perkotaan, bahkan pada anak yang telah di imunisasi

lengkap.Banyak remaja dan dewasa, walaupun telah tervaksinasi atau sakit

sebelumnya, rentan terhadap infeksi dan merupakan reservoir utama untuk

infeksi pada bayi. Pada dewasa, sindrom sering atipik, bermanifestasi sebagai

batuk berlarut – larut yang berat tanpa suara teriakan (whoop). Biasa terjadi

penyebaran dalam keluarga. Semakin muda usia anak, tanda dan gejala

penyakit semakin atipik, bayi yang berusia kurang dari 6 bulan dapat

menderita apnea, serangan sianotik, dan batuk tanpa suara whoop. Frekuensi

pertusis semakin meningkat pada daerah dengan imunisasi lebih rendah.2

D. ETIOLOGI

Pertusisadalah penyakitpernapasanmenular yang disebabkan terutama oleh

Bordetella pertussis, tapi penyakit batukyang sama dapat disebabkan oleh B.

parapertussis pada anak-anak dan B. holmesii pada remaja dan orang

dewasa.2 B. pertusis merupakan bakteri gram negative, berbentuk basil

pleomorfik. Rata – rata masa inkubasi sekitar 6 hari.5

Genus bordetella mempunyai 4 spesies yaitu B. pertussis, B.

parapertussis, B. bronkiseptika dan B. avium. Penyebab pertusis adalah

Bordetella pertussis dan perlu dibedakan dengan sindrom pertusis yang

disebabkan oleh Bordotella parapertussis dan adenovirus (tipe 1,2,3 dan 5).1

Ciri – ciri organisme ini adalah :

1. Merupakan bentuk batang

2. Gram negatif

3. Ukuran panjang 0,5 – 1 mm dan diameter 0,2 – 0,3 mm

3
4. Tidak dapat bergerak

5. Tidak berspora

6. Dengan pewarnaan toludin biru, dapat terlihat granula bipolar

metakromatik

7. Mempunyai kapsul

8. Isolasi primer Bordetella pertussis memerlukan suatu media pembenihan,

yaitu bordet gengou (potato-blood-glycerol agar) dengan sifat – sifat

pertumbuhan :

- Kuman aerob murni

- Membentuk asam

- Tidak membentuk gas pada media yang mengandung glukosa dan

laktosa

- Sering menimbulkan hemolisis.

Bordetella pertussis dapat mati dengan pemanasan pada suhu 550C

selama setengah jam, tetapi pada suhu rendah ( 00 – 100 C).

Kuman ini menghasilkan dua macam toksin, yaitu :

- Toksin tidak tahan panas (heat labile toxin)

- Endotoksin (lipopolisakarida)

Disamping itu dapat pula mengandung beberapa faktor enzim, seperti :

- Faktor sensivitas histamine

- Faktor limfositosis

Secara morfologis terdapat beberapa kuman yang menyerupai Bordetella

pertussis seperti Bordetella parapertussis dan Bordetella bronchiseptica.

4
Untuk membedakan jenis – jenis kuman ini, ditentukan dengan reaksi

aglutinasi yang khas atau tes tertentu.1

E. PATOFISIOLOGI

Pertusis adalah bakteri yang hanya menginfeksi manusia. Bersifat

aerobik dantumbuh terbaik pada suhu 35 ° C sampai 37 ° C. Spesies

Bordetella, termasuk B. pertussis dan B. parapertussis, yang sulit untuk

tumbuh pada media biasanya digunakan di laboratorium untuk pertumbuhan

patigen pernapasan; B pertussis membutuhkan faktor pertumbuhan tambahan

termasuk arang, darah, dan pati. Media seperti Bordet-Gengou, yang berisi

tepung kentang, dan arang berbasisMedia Regan-Lowe biasanya digunakan

dalam laboratorium mikrobiologi untuk mengkultur organisme.2

Bordetella pertussis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan

kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme infeksi

oleh B. pertussis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan

terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, nekrosis sel dan

akhirnya timbul penyakit sistemik.1,2

Filamentous hemaglutinin (FHA), lymphositosis promoting factor

(LPF)/ pertussi toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan dalam perlekatan B.

pertussis pada silia. Setelah terjadi perlekatan B. pertussis, kemudian ber-

multiplikasi dan menyebar keseluruh permukaan epitel saluran

pernapasan.Proses ini tidak invasif, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi

bakteremia. Selama pertumbuhan B.pertusis maka akan menghasilkan toksin

yang akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough.

5
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit yang disebabkan oleh

karena pertussis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B.

Toksin sub unit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target, kemudian

menghasilkan sel unit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membran sel.

Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.1,4

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan

lomfoid peri bronchial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan

silia, maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi

infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia, H.influenzae dan

Staphylococcus aureus). Penumpukan mukus akan menimbulkan plug yang

dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis

disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigen pada saat ventilasi dan

timbulnya apnea saat terserang batuk.1

F. GEJALA KLINIS

Masa inkubasi 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit

ini berlangsung dalam 3 stadium, yaitu stadium kataralis (prodormal,

preparoksismal), stadium akut paroksismal (paroksismal, spasmodik) dan

stadium konvalesens. Manifestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik,

umur dan status imunisasi. Gejala pada anak yang berumur < 2 tahun yaitu,

batuk paroksismal (100%), whoops (60-70%), emesis (66-80%), dispnea (70-

80%) dan kejang (20-25%).Pada anak yang lebih besar manifestasi klinis

tersebut ringan dan lama sakit pendek, kejang jarang pada anak > 2

tahun.Suhu jarang > 38,40C pada semua golongan umur. Penyakit yang

6
disebabkan oleh B.parapertusiss atau B.bronkiseptika lebih ringan daripada

B.pertussis dan juga lama sakit lebih pendek. Ketiga stadium pertusis

diuraikan dibawah ini.1,2,7

1. Stadium Kataralis (1-2 minggu)

Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran nafas bagian atas

yaitu timbulnya rinore (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi

pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi.

Pada stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditetapkan

karena sukar dibedakan dengan common cold.

Selama stadium ini, sejumlah besar organisme tersebar dalam inti

droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman paling mudah

diisolasi.

2. Stadium paroksismal/stadium spasmosik (2-6 minggu)

Frekuensi dan derajat batuk bertambah, khas terdapat pengulangan

5-10 kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usah inspirasi

masih yang mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop).

Udara yang dihisap melalui glottis yang menyempit. Pada anak yang lebih

tua dan bayi yang lebih muda, serangan batuk hebat dengan berbunyi

whoop sering tidak terdengar. Selama serangan muka merah dan sianosis,

mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher

bahkan sampai terjadi petekia di wajah (teruma di konjungtiva bulbi).

Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada

saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas,

7
sehingga seringkali menjadi tanda kecurigaan apakah anak menderita

pertusis walaupun tidak disertai bunyi whoop. Anak menjadi apatis dan

berat badan menurun. Batuk dapat dibangkitkan dengan stress emosional

(menangis sedih, gembira) dan aktivitas fisik.

3. Stadium konvalesens

Stadium penyebuhan ditandai dengan berhentinya bunyi whoop

dan muntah dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur

menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan

menghilang sekitar 2-3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul

serangan paroksismal kembali. Episode terjadi berulang-ulang untuk

beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran nafas

bagian atas yang berulang.

G. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan

pemeriksaan laboratorium.1,5,10

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisis

- Kontak dengan penderita pertusis

- Belum di imunisasi/imunisasi tidak adekuat

- Tanda dan gejala tergantung stadium

1) Stadium kataral

Gejala klisnisnya minimal dengan/tanpa demam, rinorea,

anoreksia, frekuensi batuk bertambah

2) Stadium paroksismal

8
Batuk paroksismal yang dicetuskan oleh pemberian makan (bayi)

dan aktivitas, fase inspiratori batuk atau batuk rejan (inspiratory

whooping); post-tussive vomiting. Dapat pula dijumpai: muka

merah atau sianosis; mata menonjol; lidah menjulur; lakrimasi;

hipersalivasi; distensi vena leher selama serangan; apatis;

penurunan berat badan

3) Stadium konvalesens : gejala akan berkurang dalam beberapa

minggu sampai dengan beberapa bulan, dapat terjadi petekia pada

kepala/leher, perdarahan konjungtiva, dan terdengar crackles difus.

 Bayi <6 bulan gejalanya tidak khas

 Hipoksia yang terlihat lebih hebat dibandingkan gambaran klinis

 Muntah-muntah sampai menimbulkan dehidrasi

 Kadang hanya menunjukkan tanda dan gejala sianosis dan

apneic spell, tanpa disertai whoop.10

b. Periksaan laboratorium

Isolasi B.pertussis dari swab nasofaring atau kultur aspirasi pada

media tertentu merupakan baku emas untuk mendeteksi organisme

penyebab.2

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000-

50.000/IU dengan limfositosis absolute yang khas pada akhir stadium

kataral dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak

menolong untuk diagnosis, oleh karena respons limfositosis juga terjadi

pada infeksi lain. Isolasi B pertussis dari sekret nasofaring dipakai untuk

9
membuat diagnosis pertusis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%,

stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20%

untuk waktu berikutnya.Serologi terhadap toksin pertusis. Tes serologi

berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya

infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk

menentukan serum IgM, IgG dan IgA terhadap FHA dan PT. Nilai serum

IgM FHA dan PT. menggambarkan respon imun primer baik disebabkan

oleh penyakit atau vaksinasi.1

IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik

untuk mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setelah imunisasi

pertusis.1,10

Berikut ini metode diagnosis berdasarkan pemeriksaan laboratorium:

Table 1. Tes laboratorium untuk mendiagnosis pertusis

(dikutip dari kepustakaan 4)

H. DIAGNOSIS BANDING

1. Batuk spasmodik pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis, pneumonia

bakterial, sistik fibrosis, tuberculosis dan penyakit lain yang menyebabkan

10
limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus. Pada

umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium.

Benda asing juga dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya

gejalanya mendadak dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologik

dan endoskopi.1

2. Infeksi B. parapertussis, B. bronkiseptika dan adenovirus dapat

menyerupai sindrom klinis B.pertussis. Dapat dibedakan dengan isolasi

kuman penyebab.1 Selain bakteri B. pertusis, pertusis kadang-kadang

disebabkan oleh B. parapertusis termasuk bakteri gram negatif yang dapat

dibiakkan dari swab nasofaring penderita pertusis dengan media khusus

(ditanamkan pada media agar Bordet-Gengou).8

I. PENATALAKSANAAN

1. Terapi kausal

a. Antibiotik

Berbagai antimikroba telah dipakai dalam pengobatan pertusis,

namun tidak ada antimikroba yang dapat mengubah perjalanan klinis

penyakit ini terutama bila diberikan pada stadium paroksismal. 1

Eritromisin merupakan antimikroba yang lebih efektif dibandingkan

kloramfenikol maupun tetrasiklin. Kebanyakan peneliti menganjurkan

eritromisin dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dalam 2 – 4 dosis selama 7

hari. Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dapat mengeliminasi organisme

nasofaring dalam 3 - 4 hari sehingga mengurangi kemungkinan

penularan dan terjadinya infeksi bakteri lain.1,8 Eritromisin oral

11
diberikan selama 10 hari atau jenis makrolid lainnya. Hal ini tidak akan

memperpendek lamanya sakit tetapi akan menurunkan periode

infeksius.5

Pada bayi usia kurang dari 4 minggu, eritromisin kadang

dihubungkan dengan stenosis pylorus. Azitromisin atau klaritomisin

dapat diberikan untuk waktu yang lebih pendek.

Trimetroprim/sulfametoksazol merupakan alternatif yang tidak terbukti.

Kodein mungkin diperlukan untuk batuk.7 Antobiotik yang lain dapat

digunakan rovamisin, kotrimoksazol, kloramfenikol dan tetrasiklin.8

Orang yang terpajan paling dekat dengan penderita pertusis yang

infeksius harus diberi profilaksis antibiotik selama 14 hari setelah

kontak terakhirnya. Dosisnya sama dengan dosis terapi. Profilaksis

harus diberikan meskipun kontak baru saja menerima vaksinasi

pertusis.9

Berdasarkan rekomendasi CDC, berikut adalah regimen antibiotic

dan profilaksis yang dapat diberikan pada pada pertusis, yaitu :

Table 2. Regimen antibiotik dan profilaksis untuk terapi pertusis

12
(Dikutip dari kepustakaan 2)

b. Kortikosteroid

Beberapa peneliti menggunakan :

- Betametason oral dengan dosis 0,075 mg/kgBB/24 jam

- Hidrokortison suksinat (Solukortef) intramuscular dengan dosis 30

mg/kgBB/24 jam, kemudian diturunkan secara perlahan-lahan dan

dihentikan pada hari ke-8.1

c. Salbutamol

Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa salbutamol efektif terhadap

pegobatan pertusis dengan cara sebagai berikut:

- Beta 2 adrenergik stimulant

- Mengurangi paroksismal

- Mengurangi frekuensi dan lamanya whoop

- Mengurangi frekuensi apnue

- Dosis yang dianjurkan 0,3 – 0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3

dosis.1

13
2. Terapi suportif1,5

a. Menghindari faktor yang menimbulkan serangan batuk.

b. Pemberian makanan. Hindari makanan yang sulit ditelan, sebaiknya

diberikan makanan yang berbentuk cair. Bila penderita muntah –

muntah sebaiknya diberikan cairan dan elektrolit parenteral.

c. Pembersihan jalan napas. Selama batuk paroksismal, letakan anak

dengan posisi kepala lebih rendah dalam posisi telungkup, atau

miring, untuk mencegah aspirasi muntahan dan membantu

pengeluaran sekret.

- Bila anak mengalami episode sianotik, isap lendir dari hidung dan

tenggorokan dengan lembut dan hati-hati.

- Bila apnu, segera bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan

manual atau dengan pompa ventilasi dan berikan oksigen.5

d. Oksigen hendaknya diberikan pada distres pernapasan yang akut dan

kronik. Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau

berhenti napas atau batuk paroksismal berat. Gunakan nasal prongs,

jangan kateter nasofaringeal atau kateter nasal, karena akan memicu

batuk. Selalu upayakan agar lubang hidung bersih dari mukus agar

tidak menghambat aliran oksigen. Terapi oksigen dilanjutkan sampai

gejala yang disebutkan di atas tidak ada lagi. Perawat memeriksa

sedikitnya setiap 3 jam, bahwa nasal prongs berada pada posisi yang

benar dan tidak tertutup oleh mukus dan bahwa semua sambungan

aman

14
J. PERAWATAN PENUNJANG

 Hindarkan sejauh mungkin segala tindakan yang dapat merangsang

terjadinya batuk, seperti pemakaian alat isap lendir, pemeriksaan

tenggorokan dan penggunaan NGT.

 Jangan memberi penekan batuk, obat sedatif, mukolitik atau antihistamin.

 Obat antitusif dapat diberikan bila batuk amat sangat mengganggu.

 Jika anak demam (≥ 390 C) yang dianggap dapat menyebabkan distres,

berikan parasetamol.

 Beri ASI atau cairan per oral. Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa

nasogastrik dan berikan makanan cair porsi kecil tetapi sering untuk

memenuhi kebutuhan harian anak. Jika terdapat distres pernapasan,

berikan cairan rumatan IV untuk menghindari risiko g .terjadinya aspirasi

dan mengurangi rangsang batuk. Berikan nutrisi yang adekuat dengan

pemberian makanan porsi kecil dan sering. Jika penurunan berat badan

terus terjadi, beri makanan melalui NGT.5

K. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Leukosit dan hitung jenis sel: Leukositosis (15.000-100.000/mm3)

dengan limfositosis absolute atau didapatkan leukosit 20.000-50.000/UI

dengan limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama

stadium paroksismal.1,7,10

2. IgG terhadap toksin pertusis: Didapatkan antibodinya (IgG terhadap

toksin pertusis)

3. Foto toraks: Infiltrat perihiler atau edema, atelektasis, atau empiema

15
4. Diagnosis pasti apabila ditemukan organisme pada apus nasofaring

(bahan media-Bordet-Gengou) dengan menggunakan media transpor

(Regan-Lowe).10

L. PENCEGAHAN

Tidak ada imunitas terhadap pertusis. Pencegahan dapat dilakukan

secara aktif dan secara pasif. Kekebalan yang didapat dari ibu hampir tidak

ada, vaksin pertusis pertamakali dikembangkan sekitar 60 tahun yang lalu dan

mulai dipakai diseluruh dunia sekitar tahun 1960-an bersama-sama dengan

vaksin difteri dan tetanus sebagai vaksin DPT.8

Cara terbaik untuk mengontrol penyakit adalah dengan imunisasi.

Banyak laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian

pertusis dengan adanya pelaksanaan program imunisasi. Pada tahun 1926-

1930 (era sebelum imunisasi) di Amerika Serikat dan Inggris terdapat

sebanyak 36.013 kematian yang disebabkan pertusis dan setelah era imunisasi

berjalan terdapat 26 kematian yang disebabkan oleh pertusis (1986-1988).

Melalui Program Pengembangan Imunisasi (PPI) Indonesia telah

melaksanakan imunisasi pertusis dengan vaksin DPT. Pencegahan dapat

dilakukan melalui imunisasi pasif dan aktif.

1. Imunisasi pasif

Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune

globulin, ternyata berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak

efektif sehingga akhir-akhir ini human hyperimmune glubolin tidak lagi

diberikan untuk pencegahan.1,

16
2. Imunisasi aktif

Diberikan vaksin pertusis dari kuman B.pertussis yang telah

dimatikan untuk mendapatkan kekebalan aktif. Imunisasi pertusis

diberikan bersama-sama dengan vaksin difteria dan tetanus. Dosis

imunisasi dasar dianjurkan 12 IU dan diberikan tiga kali sejak umur 2

bulan, dengan jarak 8 minggu. Jika prevalensi pertusis di dalam

masyarakat tinggi, imunisasi dapat dimulai pada umur 2 minggu dengan

jarak 4 minggu. Anak berumur > 7 tahuntidak lagi memerlukan imunisasi

rutin.Hasil imunisasi pertusis tidak permanen oleh karena proteksi

menurun selama adolesens, walaupun demikian infeksi pada pasien yang

lebih besar biasanya ringan hanya merupakan sumber infeksi B.pertussis

pada bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0,25 ml, IM) telah

dipakai untuk mengontrol epidemik diantar orang dewasa yang terpapar.

Salah satu efek samping setelah imunisasi pertusis adalah demam.1

Kontak erat pada anak usia< 7 tahun yang sebelumnya telah

diberikan imunisasi hendaknya diberi booster. Booster tidak perlu

diberikan bila telah diberikan imunisasi dalam waktu 6 bulan terakhir.

Juga diberikan Eritromisin 50 mg/kgBB/24 jam dalam 2- 4 dosis selama

14 hari. Kontak erat pada usia> 7 tahun juga perlu diberikan Eritromisin

sebagai profilaksis.1

Pengobatan eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran

infeksi dan mengurangi gejala penyakit. Seseorang yang kontak dengan

penderita pertusis tetapi belum pernah di imunisasi hendaknya di beri

17
eritromisin selama 14 harisetelah kontak diputuskan. Jika kontak tidak dapat

diputuskan hendaknya eritromisin diberikan sampai penderita berhenti batuk

atau setelah penderita mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertusis

monovalen dan eritromisisn diberikan pada waktu terjadi epidemi.1

Tindakan Kesehatan masyarakat

1. Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam keluarga

yang imunisasinya belum lengkap.

2. Beri DPT ulang untuk anak yang sebelumnya telah diimunisasi.

3. Beri eritromisin suksinat (12.5 mg/kgBB/kali 4 kali sehari) selama 14

hari untuk setiap bayi yang berusia di bawah 6 bulan yang disertai

demam atau tanda lain dari infeksi saluran pernapasan dalam keluarga.5

M. KOMPLIKASI

1. Pada saluran pernapasan

a. Brokopneumonia

Merupakan komplikasi berat yang paling sering terjadi dan

menyebabkan kematian pada anak dibawah 3 tahun, terutama bayi

yang lebih kecil dari 1 tahun.Gejala ditandai dengan batuk, sesak napas

dan panas. Pada foto toraks terlihat bercak – bercak infiltrate tersebar.1

b. Otitis media

Karena batuk – batuk hebat, kuman masuk melalui tuba eustaski ke

telinga tengah sehingga menyebabkan otitis media.1,7

c. Bronkitis

18
Batuk mula – mula kering, setelah beberapa hari timbul lender jernih

kemudian menjadi purulen. Pada auskultasi terdengar suara pernapasan

kasar atau ronki kasar atau ronki kering.1

d. Atelektasis`

Timbul akibat lender kental yang dapat menyumbat bronkioli.1,7

e. Emfisema pulmonum

Terjadi karena batuk yang hebat sehingga alveoli pecah.7

f. Aktivasi tuberculosis

Tuberculosis laten dapat juga menjadi aktif.1

g. Kolaps alveoli

Akibat batuk paroksismal yang lama pada anak – anak sehingga dapat

menyebabkan hipoksia berat dan pada bayi dapat menyebabkan

kematian yang tiba – tiba.1

2. Pada sistem saraf pusat 1,7,10

Terjadi kejang karena :

a. Hipoksia dan anoksia akibat apnu yang lama

b. Perdarahan subaraknoid yang massif

c. Ensefalopati akibat atrofi kortikal yang difus

d. Gangguan elektrolit karena muntah

3. Komplikasi lain

a. Hemoptisis, akibat batuk yang hebat sehingga menyebabkan tekanan

vena meningkat dan kapiler pecah.

b. Epitaksis dan perdarahan subkonjungtiva

19
c. Hernia

d. Prolaps rekti

e. Ulkus lidah, stomatitis

f. Malnutrisi karena anoreksia dan infeksi sekunder.1,5

N. PROGNOSIS

Prognosis tergantung usia anak yang lebih tua mempunyai prognosis

lebih baik. Pada bayi risiko kematian (0,5-1%) disebabkan ensefalopati. Pada

observasi jangka panjang, apnea atau kejang akan menyebabkan gangguan

intelektual dikemudian hari.1

DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Pertussis. Dalam : Buku
ajar infeksi & pediatrik tropis. Edisi ke-2. Jakarta: IDAI; 2008. hal 331-337.
2. Snyder, J. Fisher,D. Pertusis in childhood. Journal of The American Academy
of Pediatrics. Pediatrics in Review 2012;33;412.DOI:10.1542/pir.33-9-412.

20
Downloaded from http://pedsinreview.aappublications.org/by guest on April
15, 2018
3. Cherry, JD. 2013. Pertussis: Challenges Today and for the Future. PLoS
Pathog 9(7): e1003418. doi:10.1371/journal.ppat.1003418
4. Word Health Organization. 2009. Pelayanan kesehatan anak di Rumah Sakit.
Jakarta : WHO Indonesia.
5. Hull, David. 2008. Dasar – Dasar Pediatri Edisi 3. Jakarta : EGC.
6. Behrman, RE . 2010. Nelson Esensi Pediatri Edisi 4.Jakarta : EGC.
7. Maryunani, A. 2010. Ilmu kesehatan anak dalam kebidanan. Jakarta : TIM
8. Lewis, K. 2006. Pertusis dalam Rudolph, AM dkk Buku Ajar Rudolph
Volume 1.Jakarta : EGC.
9. Ikatan dokter Indonesia. 2011. Pedoman pelayanan medis jilid II.

21

Anda mungkin juga menyukai