A. PENDAHULUAN
Pertusis atau batuk rejan disebut juga whooping cough, tussis quinta,
violet cough dan di Cina disebut juga batuk seratus hari. Pertusis yang berarti
batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif. Pertusis merupakan
penyakit infeksi saluran napas akut yang dapat menyerang setiap orang yang
rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan
penyakit ini ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat
spasmodik dan paroksismal disertai nada yang tinggi, karena pasien berusaha
keras menarik napas sehingga pada akhir batuk sering disertai bunyi yang
khas.1
Penyakit ini dapat ditemukan pada semua umur, mulai dari bayi sampai
B. DEFENISI
serius yang disebabkan oleh bakteri pertusis. Hal ini menyebabkan kekerasan
batuk dan tidak bisa berhenti. Batuk rejan adalah yang paling berbahaya
untuk bayi muda dan dapat mematikan. Sindrom klinis klasik menyebabkan
1
C. EPIDEMOLOGI
yang dapat menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan.
Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya tuan rumah. Pertusis dapat
ditularkan melalui udara secara kontak lansung yang berasal dari droplet
Kejadian pertusis terjadi pada tahun 2005, ketika 25,000 kasus dilaporkan
dilaporkan.2
rawat inap. Ini, 50% akan berkembang menjadi pneumonia dan1% akan
2
di daerah perkotaan, bahkan pada anak yang telah di imunisasi
infeksi pada bayi. Pada dewasa, sindrom sering atipik, bermanifestasi sebagai
batuk berlarut – larut yang berat tanpa suara teriakan (whoop). Biasa terjadi
penyebaran dalam keluarga. Semakin muda usia anak, tanda dan gejala
penyakit semakin atipik, bayi yang berusia kurang dari 6 bulan dapat
menderita apnea, serangan sianotik, dan batuk tanpa suara whoop. Frekuensi
D. ETIOLOGI
disebabkan oleh Bordotella parapertussis dan adenovirus (tipe 1,2,3 dan 5).1
2. Gram negatif
3
4. Tidak dapat bergerak
5. Tidak berspora
metakromatik
7. Mempunyai kapsul
pertumbuhan :
- Membentuk asam
laktosa
- Endotoksin (lipopolisakarida)
- Faktor limfositosis
4
Untuk membedakan jenis – jenis kuman ini, ditentukan dengan reaksi
E. PATOFISIOLOGI
termasuk arang, darah, dan pati. Media seperti Bordet-Gengou, yang berisi
(LPF)/ pertussi toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan dalam perlekatan B.
pernapasan.Proses ini tidak invasif, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi
yang akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough.
5
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit yang disebabkan oleh
karena pertussis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B.
Toksin sub unit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target, kemudian
menghasilkan sel unit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membran sel.
silia, maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi
F. GEJALA KLINIS
umur dan status imunisasi. Gejala pada anak yang berumur < 2 tahun yaitu,
80%) dan kejang (20-25%).Pada anak yang lebih besar manifestasi klinis
tersebut ringan dan lama sakit pendek, kejang jarang pada anak > 2
tahun.Suhu jarang > 38,40C pada semua golongan umur. Penyakit yang
6
disebabkan oleh B.parapertusiss atau B.bronkiseptika lebih ringan daripada
B.pertussis dan juga lama sakit lebih pendek. Ketiga stadium pertusis
yaitu timbulnya rinore (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi
pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi.
droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman paling mudah
diisolasi.
5-10 kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usah inspirasi
Udara yang dihisap melalui glottis yang menyempit. Pada anak yang lebih
tua dan bayi yang lebih muda, serangan batuk hebat dengan berbunyi
whoop sering tidak terdengar. Selama serangan muka merah dan sianosis,
mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher
Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada
7
sehingga seringkali menjadi tanda kecurigaan apakah anak menderita
pertusis walaupun tidak disertai bunyi whoop. Anak menjadi apatis dan
3. Stadium konvalesens
menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan
G. DIAGNOSIS
pemeriksaan laboratorium.1,5,10
1) Stadium kataral
2) Stadium paroksismal
8
Batuk paroksismal yang dicetuskan oleh pemberian makan (bayi)
b. Periksaan laboratorium
penyebab.2
kataral dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak
pada infeksi lain. Isolasi B pertussis dari sekret nasofaring dipakai untuk
9
membuat diagnosis pertusis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%,
stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20%
infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk
menentukan serum IgM, IgG dan IgA terhadap FHA dan PT. Nilai serum
IgM FHA dan PT. menggambarkan respon imun primer baik disebabkan
IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik
pertusis.1,10
H. DIAGNOSIS BANDING
10
limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus. Pada
dan endoskopi.1
I. PENATALAKSANAAN
1. Terapi kausal
a. Antibiotik
11
diberikan selama 10 hari atau jenis makrolid lainnya. Hal ini tidak akan
infeksius.5
pertusis.9
12
(Dikutip dari kepustakaan 2)
b. Kortikosteroid
c. Salbutamol
- Mengurangi paroksismal
dosis.1
13
2. Terapi suportif1,5
pengeluaran sekret.
- Bila anak mengalami episode sianotik, isap lendir dari hidung dan
kronik. Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau
batuk. Selalu upayakan agar lubang hidung bersih dari mukus agar
sedikitnya setiap 3 jam, bahwa nasal prongs berada pada posisi yang
benar dan tidak tertutup oleh mukus dan bahwa semua sambungan
aman
14
J. PERAWATAN PENUNJANG
berikan parasetamol.
Beri ASI atau cairan per oral. Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa
nasogastrik dan berikan makanan cair porsi kecil tetapi sering untuk
pemberian makanan porsi kecil dan sering. Jika penurunan berat badan
K. PEMERIKSAAN PENUNJANG
dengan limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama
stadium paroksismal.1,7,10
toksin pertusis)
15
4. Diagnosis pasti apabila ditemukan organisme pada apus nasofaring
(Regan-Lowe).10
L. PENCEGAHAN
secara aktif dan secara pasif. Kekebalan yang didapat dari ibu hampir tidak
ada, vaksin pertusis pertamakali dikembangkan sekitar 60 tahun yang lalu dan
sebanyak 36.013 kematian yang disebabkan pertusis dan setelah era imunisasi
1. Imunisasi pasif
16
2. Imunisasi aktif
pada bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0,25 ml, IM) telah
14 hari. Kontak erat pada usia> 7 tahun juga perlu diberikan Eritromisin
sebagai profilaksis.1
17
eritromisin selama 14 harisetelah kontak diputuskan. Jika kontak tidak dapat
1. Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam keluarga
hari untuk setiap bayi yang berusia di bawah 6 bulan yang disertai
demam atau tanda lain dari infeksi saluran pernapasan dalam keluarga.5
M. KOMPLIKASI
a. Brokopneumonia
yang lebih kecil dari 1 tahun.Gejala ditandai dengan batuk, sesak napas
dan panas. Pada foto toraks terlihat bercak – bercak infiltrate tersebar.1
b. Otitis media
c. Bronkitis
18
Batuk mula – mula kering, setelah beberapa hari timbul lender jernih
d. Atelektasis`
e. Emfisema pulmonum
f. Aktivasi tuberculosis
g. Kolaps alveoli
Akibat batuk paroksismal yang lama pada anak – anak sehingga dapat
3. Komplikasi lain
19
c. Hernia
d. Prolaps rekti
N. PROGNOSIS
lebih baik. Pada bayi risiko kematian (0,5-1%) disebabkan ensefalopati. Pada
DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Pertussis. Dalam : Buku
ajar infeksi & pediatrik tropis. Edisi ke-2. Jakarta: IDAI; 2008. hal 331-337.
2. Snyder, J. Fisher,D. Pertusis in childhood. Journal of The American Academy
of Pediatrics. Pediatrics in Review 2012;33;412.DOI:10.1542/pir.33-9-412.
20
Downloaded from http://pedsinreview.aappublications.org/by guest on April
15, 2018
3. Cherry, JD. 2013. Pertussis: Challenges Today and for the Future. PLoS
Pathog 9(7): e1003418. doi:10.1371/journal.ppat.1003418
4. Word Health Organization. 2009. Pelayanan kesehatan anak di Rumah Sakit.
Jakarta : WHO Indonesia.
5. Hull, David. 2008. Dasar – Dasar Pediatri Edisi 3. Jakarta : EGC.
6. Behrman, RE . 2010. Nelson Esensi Pediatri Edisi 4.Jakarta : EGC.
7. Maryunani, A. 2010. Ilmu kesehatan anak dalam kebidanan. Jakarta : TIM
8. Lewis, K. 2006. Pertusis dalam Rudolph, AM dkk Buku Ajar Rudolph
Volume 1.Jakarta : EGC.
9. Ikatan dokter Indonesia. 2011. Pedoman pelayanan medis jilid II.
21