Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Pertusis adalah infeksi akibat bakteri Gram-negatif Bordetella pertussis


pada saluran napas sehingga menimbulkan batuk hebat yang khas.

2.2 Epidemiologi

Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Sampai saat ini
manusia merupakan satu-satunya tuan rumah. Pertusis dapat ditularkan secara
kontak langsung yang berasal dari droplet penderita selama batuk.
Pertusis tersebar di seluruh dunia. Di tempat-tempat yang padat
penduduknya dapat berupa epidemi pada anak. Dalam satu keluarga infeksi cepat
menjalar kepada anggota keluarga lainnya. Pertusis dapat mengenai semua
golongan umur. Tidak ada kekebalan pasif dari ibu. Terbanyak pada umur 1-5
tahun. Umur penderita termuda ialah 16 hari.

2.3 Etiologi

Penyebab pertusis adalah Bordatella pertusiss dan perlu dibedakan dengan


sindrom pertusis yang disebabkan oleh Bordatella parapertussis dan adenovirus
(tipe 1,2,3 dan 5). Genus Bordetela mempunyai 4 spesies yaitu B. Pertusis, B.
Parapertusis dan B. Avium. Bordatella pertusiss termasuk kokobasilus, Gram-
negatif, kecil, ovoid, ukuran panjang 0,5-1 µm dan diameter 0,2-0,3 µ, tidak
bergerak, tidak berspora.

2.4 Patofisiologi
Bordatella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernafasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme patogenesi

3
4

infeksi oleh B. Pertusiss terjadi melalui 4 tingkatan yaitu: perlekatan, perlawanan


terhadap mekanisme pertahanan penjamu, kerusakan lokan dan akihrnya timbul
penyakit sistemik Bakteri menyerang dan merusak epitel saluran udara dan alveoli
melalui tindakan gabungan dari beberapa faktor virulensi yang mengganggu
gerakan silia normal, yaitu Filamentous hemglutinin (FHA), lymphositosis
promoting factor (LPF)/ pertusis toxin (PT) dan protein 69-Kd. Setelah terjadi
perlekatan B. pertusis, kemudian bermultiplikasi dan meyebar ke seluruh
permukaan epitel saluran pernafasan. Proses ini tidak invasif, oleh karena itu pada
pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan B. pertusiss, maka akan
menghasilkan toksin yang akan menyebabkan pemyakit yang kita kenal dengan
whooping cough. Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit
disebabkan oleh karena pertusis toksin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit
yaitu A dan B. toksin sub unit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target,
kemudian menghasilkan sel unit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim
membran sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah
infeksi.
Toxin mediated adenosine disphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur
sintesis protein di dalam membran sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi
fisiologis dari sel terget termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati),
meningkatkan pengeluaran histamin dan serotonin, efek memblokir beta
adrenergik dan meningkatkan aktivitas insulin, sehingga akan menurunkan
konsentrasi gula darah.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hiperplasia jaringan
limfoid peri bronkial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia,
maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi
sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumoniae, H. influenzae dan
Staphylococcus aureus). Penumpukan mukus akan menimbulkan plug yang dapat
menyebabkan obstruksi dan kolaps paru.
5

Gambar 2.1. Sinergi antara toksin pertusis dan hemaglutinin filamen dalam
mengikat sel epitel pernapasan yang bersilia. Bordetella pertussis melekat
kuat pada sel-sel bersilia dengan aksi gabungan dari adhesins lainnya
(misalnya, fimbriae dan pertactin). Toksin pertusis memiliki kemampuan
untuk memasuki aliran darah dan memainkan peran penting dalam induksi
imunitas klinis

2.5 Gejala Klinis


Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan
penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit
ini dapat berlangsung dalam 3 stadium, yaitu stadium kataralis (prodormal,
preparoksismal), stadium akut paroksismal (paroksismal, spasmodik), dan stadium
konvalesens. Manifestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, umur dan status
imuniasi. Gejala pada anak yang berumur < 2 tahun yaitu, batuk paroksismal
(100%), whoops (60-70%), emesis (66-80%), dispnea (70-80%) dan kejang (20-
25%). Pada anak yang lebih besar manifestasi klinis tersebut lebih ringan dan
lama sakit lebih pandek., kejang jarang pada anak > 2 tahun.
6

a. Stadium kataralis (1-2 minggu)


Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran nafas bagian atas yaitu
timbulnya rinore (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada
konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan, dan panas tidak begitu tinggi. Pada
stadium ini biasanya biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditetapkan
karena sukar dibedakan dengan common cold. Selama stadium ini,
sejumlah besar organisme tersebar dalam inti droplet dan anak sangat
infeksius, pada tahap ini kuman paling mudah diisolasi.

b. Stadium paroksismal/ stadium spasmodik (2-4 minggu)


Frekuensi dan derajat batuk bertambah, khas terdapat pengulangan 5-10
kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif
yang mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (Whoop). Udara
yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada anak yang lebih tua dan
bayi yang lebih muda, selama serangan muka merah dan sianosis, mata
menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher
bahkan sampai terjadi petekia di wajah (terutama di konjungtiva bulbi).
Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada
saluran nafas menghilang, muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas,
sehingga seringkali menjadi tanda kecurigaan apakah anak menderita
pertusis walaupun tidak disertai bunyi whoop. Anak menjadi lebih apatis
dan berat badan menurun. Batuk mudah dibangkitkan dengan stres
emosional (menangis, sedih, gembira) dan aktivitas fisik.

c. Stadium konvalesens (1-2 minggu)


Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah
dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun.
Batuk biasanya menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang
sekitar 2-3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk
paroksismal kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa
7

bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran nafas bagian atas
yang berulang.

2.6 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisis, dan


pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat
kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi
whoop yang jelas, juga tanyakan riwayat imunisasi anak. Curiga pertusis jika anak
batuk berat lebih dari 2 minggu, terutama jika penyakit diketahui terjadi lokal dan
anak tidak atau belum lengkap diimunisasi terhadap pertusis. Tanda diagnostik
yang paling berguna: Batuk paroksismal diikuti suara whoop saat inspirasi, sering
disertai muntah, perdarahan subkonjungtiva. Bayi muda mungkin tidak disertai
whoop, akan tetapi batuk yang diikuti oleh berhentinya napas atau sianosis, atau
napas berhenti tanpa batuk. Periksa anak untuk tanda pneumonia dan tanyakan
tentang kejang.
 Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000-50.000/UI
dengan limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama
stadium paroksismal.
 Biakan sekret nasofaring (pada stadium kataralis atau awal stadium
paroksismal dipakai untuk diagnosis pertusis.
 Serologi terhadap antibodi toksin pertusis. Tes serologi berguna pada
stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada
individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk menentukan
serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA dan PT. Nilai serum IgM FHA
dan PT menggambarkan respons imun primer baik disebabkan oleh
penyakit atau vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling
sensitif dan spesifik untuk mengetahui infeksi alami dan tidak tampak
setelah imunisasi pertusis.
8

 Pemeriksaan lain yaitu foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler,


atalektasis atau empisema.

2.7 Diagnosis Banding

Batuk spasmodik pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis, pneumonia


bakterial, tuberkulosis dan penyakit lain yang menyebabkan limfadenopati dengan
penekanan di luar trakea dan bronkus. Benda asing juga dapat menyebabkan batuk
paroksismal, tetapi biasanya gejalanya mendadak dan dapat dibedakan dengan
pemeriksaan radiologik dan endoskopi
DIAGNOSIS GEJALA

2.8 Penatalaksanaan
9

2.9 Penyulit

2.3 Komplikasi

2.4 Pencegahan

2.5 Prognosis

Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis lebih

baik. Pada bayi risiko kematian (0,5-1%) disebabkan ensefalopati. Pada observasi

jangka panjang, apnea atau kejang akan menyebabkan gangguan intelektual di

kemudian hari.

Anda mungkin juga menyukai