Anda di halaman 1dari 23

PERTUSIS

Ahmad Chaer Darwis, dr. Hj Musyawarah., Sp.A

A. PENDAHULUAN

Pertusis atau batuk rejan disebut juga whooping cough, tussis quinta, violet

cough dan di Cina disebut juga batuk seratus hari. Pertusis yang berarti batuk

yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran

napas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang

belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan tubuh menurun. Disebut

juga whooping cough oleh karena penyakit ini ditandai oleh suatu sindrom yang

terdiri dari batuk yang bersifat spasmodik dan paroksismal disertai nada yang

tinggi, karena pasien berusaha keras menarik napas sehingga pada akhir batuk

sering disertai bunyi yang khas. Nama pertusis lebih disukai daripada whooping

cough karena tidak semua pasien pertusis disertai bunyi yang khas.1

Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada

anak, terutama dinegara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang

600.000 kematian disebabkan pertusis setiap tahunnya terutama pada bayi yang

tidak di imunisasi.1

Penyakit ini dapat ditemukan pada semua umur, mulai dari bayi sampai

dewasa. Dengan kemajuan perkembangan antibiotika dan program imunisasi

maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun.1,2

1
B. DEFENISI

Pertusis adalah penyakit pernapasan yang menular. Hal ini terutama

disebabkan oleh Bordetella pertussis, tapi penyakit batuk yang sama dapat

disebabkan oleh B. parapertussis pada anak-anak dan B. holmesii pada remaja

dan orang dewasa.3

Batuk rejan atau pertusis adalah penyakit infeksi pernapasan yang sangat

serius yang disebabkan oleh bakteri pertusis. Hal ini menyebabkan kekerasan

batuk dan tidak bisa berhenti. Batuk rejan adalah yang paling berbahaya untuk

bayi muda dan dapat mematikan.4

Pertusis, umumnya dikenal sebagai "batuk rejan," adalah penyakit

pernapasan yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis. Sindrom klinis

klasik menyebabkan morbiditas dengan mempengaruhi saluran pernapasan

bagian atas pada pasien dari segala usia.5

Pertusis yang berat terjadi pada bayi muda yang belum pernah diberi

imunisasi. Setelah masa inkubasi 7-10 hari, anak timbul demam, biasanya

disertai batuk dan keluar cairan hidung yang secara klinik sulit dibedakan dari

batuk dan pilek biasa. Pada minggu ke-2, timbul batuk paroksismal yang dapat

dikenali sebagai pertusis. Batuk dapat berlanjut sampai 3 bulan atau lebih. Anak

infeksius selama 2 minggu sampai 3 bulan setelah terjadinya penyakit.6

Bordetella pertussis merupakan penyebab penyakit pernapasan. Penyakit

ini berlangsung lama dan berbahaya khususnya pada masa bayi. Setelah masa

inkubasi selama 7 hari, terdapat stadium “kataral” yang berlangsung 1 – 2

2
minggu yaitu selama kondisi anak tersebut tidak baik dengan tanda – tanda

infeksi saluran napas atas. Spasme batuk dapat di ikuti dengan “whoop” saat

inspirasi, terutama pada anak – anak yang lebih besar. Muntah dapat terjadi, dan

anak tersebut dapat menjadi kelelahan setelah batuk. Di antara spasme mungkin

terdapat kesulitan napas yang nyata meskipun pemeriksaan fisik menunjukan

paru – paru tidak ada kelainan. Fase ini berlangsung selama 4 – 6 minggu, dan

batuk membaik secara bertahap selama lebih dari 2 – 3 minggu sesudahnya.7

C. EPIDEMOLOGI

Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling sering menular yang

dapat menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Sampai

saat ini manusia merupakan satu-satunya tuan rumah. Pertusis dapat ditularkan

melalui udara secara kontak lansung yang berasal dari droplet penderita selama

batuk.1

Di seluruh dunia,diperkirakan 50 juta kasus dan 300.000

kematian karena pertusis terjadi setiap tahun. Di Amerika, pertusis merupakan

penyakit endemik, dengan epidemi periodik setiap 3 sampai 5 tahun dan sering

mewabah. Yang terakhir puncak dalam kejadian pertusis terjadi pada tahun 2005,

ketika 25,000 kasus dilaporkan secara nasional. Meningkatkan kejadian tercatat

di Amerika Serikat dan Negara lainnya meskipun imunisasi luas. Di 2009,

hampir 17.000 kasus pertusis dilaporkan di Amerika Serikat, dengan lebih

banyak yang tidak dilaporkan.5

3
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), 50% dari

bayi di bawah usia 1 tahun yang terinfeksi pertussis akan memerlukan rawat

inap. Ini, 50% akan berkembang menjadi pneumonia dan 1% akan meninggal

karena komplikasi. Morbiditas dan kematian pertussis yang paling signifikan

pada bayi diawah usia 3 bulan. Bayi dalam kelompok usia ini memiliki insiden

tertinggi rawat inap, masuk ke unit perawatan intensif,

dan kematian dari pertusis.5

Imunisasi mengurangi insidensi dan angka mortalitas pertusis, tetapi

imunitas tidak sempurna atau permanen. Wabah pertusis paling sering terjadi di

daerah perkotaan, bahkan pada anak yang telah di imunisasi lengkap. Banyak

remaja dan dewasa, walaupun telah tervaksinasi atau sakit sebelumnya, rentan

terhadap infeksi dan merupakan reservoir utama untuk infeksi pada bayi. Pada

dewasa, sindrom sering atipik, bermanifestasi sebagai batuk berlarut – larut yang

berat tanpa suara teriakan (whoop). Biasa terjadi penyebaran dalam keluarga.

Semakin muda usia anak, tanda dan gejala penyakit semakin atipik, bayi yang

berusia kurang dari 6 bulan dapat menderita apnea, serangan sianotik, dan batuk

tanpa suara whoop. Frekuensi pertusis semakin meningkat pada daerah dengan

imunisasi lebih rendah.8

D. ETIOLOGI

B. pertusis merupakan bakteri gram negative, berbentuk basil pleomorfik.

Rata – rata masa inkubasi sekitar 6 hari.6

4
Genus bordetella mempunyai 4 spesies yaitu B. pertussis, B. parapertussis, B.

bronkiseptika dan B.avium. Penyebab pertusis adalah Bordetella pertussis dan

perlu dibedakan dengan sindrom pertusis yang disebabkan oleh Bordotella

parapertussis dan adenovirus (tipe 1,2,3 dan 5).1

Ciri – ciri organisme ini adalah :

1. Merupakan kokobasilus

2. Gram negative

3. Berbentuk ovoid

4. Ukuran panjang 0,5 – 1 mm dan diameter 0,2 – 0,3 mm

5. Tidak dapat bergerak

6. Tidak berspora

7. Dengan pewarnaan toludin biru, dapat terlihat granula bipolar metakromatik

8. Mempunyai kapsul

9. Isolasi primer Bordetella pertussis memerlukan suatu media pembenihan,

yaitu bordet gengou (potato-blood-glycerol agar) dengan sifat – sifat

pertumbuhan :

- Kuman aerob murni

- Membentuk asam

- Tidak membentuk gas pada media yang mengandung glukosa dan laktosa

- Sering menimbulkan hemolisis.

Bordetella pertussis dapat mati dengan pemanasan pada suhu 550C selama

setengah jam, tetapi pada suhu rendah ( 00 – 100 C).

5
Kuman ini menghasilkan dua macam toksin, yaitu :

- Toksin tidak tahan panas (heat labile toxin)

- Endotoksin (lipopolisakarida)

Disamping itu dapat pula mengandung beberapa faktor enzim, seperti :

- Faktor sensivitas histamine

- Faktor limfositosis

Secara morfologis terdapat beberapa kuman yang menyerupai Bordetella

pertussis seperti Bordetella parapertussis dan Bordetella bronchiseptica. Untuk

membedakan jenis – jenis kuman ini, ditentukan dengan reaksi aglutinasi yang

khas atau tes tertentu.2

E. PATOFISIOLOGI

Pertusis adalah kokobasil Gram-negatif kecil yang hanya menginfeksi

manusia. Bersifat aerobik dan tumbuh terbaik pada suhu 35 ° C sampai 37 ° C.

spesies Bordetella, termasuk B.pertussis dan B.parapertussis, yang

sulit untuk tumbuh pada media biasanya digunakan di laboratorium untuk

pertumbuhan patigen pernapasan; B pertussis membutuhkan faktor pertumbuhan

tambahan termasuk arang, darah, dan pati. Media seperti Bordet-Gengou, yang

berisi tepung kentang, dan arang berbasis Media Regan-Lowe biasanya

digunakan dalam laboratorium mikrobiologi untuk mengkultur organisme.5

Bordetella pertussis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan

kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme infeksi oleh

B. pertussis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap

6
mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, nekrosis sel dan akhirnya timbul

penyakit sistemik.1,5

Filamentous hemaglutinin (FHA), lymphositosis promoting factor (LPF)/

pertussi toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan dalam perlekatan B. pertussis

pada silia. Setelah terjadi perlekatan B. pertussis, kemudian ber-multiplikasi dan

menyebar keseluruh permukaan epitel saluran pernapasan. Proses ini tidak

invasif, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama

pertumbuhan B.pertusis maka akan menghasilkan toksin yang akan

menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough. Toksin

terpenting yang dapat menyebabkan penyakit yang disebabkan oleh karena

pertussis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub

unit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target, kemudian menghasilkan

sel unit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membran sel. Efek LPF

menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.1,5

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan

lomfoid peri bronchial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia,

maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi

sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia, H.influenzae dan

Staphylococcus aureus). Penumpukan mukus akan menimbulkan plug yang

dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis

disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigen pada saat ventilasi dan timbulnya

apnea saat terserang batuk.1

7
F. GEJALA KLINIS

Masa inkubasi 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini

berlangsung dalam 3 stadium, yaitu stadium kataralis (prodormal,

preparoksismal), stadium akut paroksismal (paroksismal, spasmodik) dan

stadium konvalesens. Manifestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, umur

dan status imunisasi. Gejala pada anak yang berumur < 2 tahun yaitu, batuk

paroksismal (100%), whoops (60-70%), emesis (66-80%), dispnea (70-80%) dan

kejang (20-25%). Pada anak yang lebih besar manifestasi klinis tersebut ringan

dan lama sakit pendek, kejang jarang pada anak > 2 tahun. Suhu jarang > 38,40C

pada semua golongan umur. Penyakit yang disebabkan oleh B.parapertusiss atau

B.bronkiseptika lebih ringan daripada B.pertussis dan juga lama sakit lebih

pendek. Ketiga stadium pertusis diuraikan dibawah ini.1,2,8,5

1. Stadium Kataralis (1-2 minggu)

Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran nafas bagian atas yaitu

timbulnya rinore (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada

konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi. Pada

stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditetapkan karena sukar

dibedakan dengan common cold.

Selama stadium ini, sejumlah besar organisme tersebar dalam inti

droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman paling mudah

diisolasi.

8
2. Stadium paroksismal/stadium spasmosik (2-6 minggu)

Frekuensi dan derajat batuk bertambah, khas terdapat pengulangan 5-

10 kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usah inspirasi masih

yang mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop). Udara yang

dihisap melalui glottis yang menyempit. Pada anak yang lebih tua dan bayi

yang lebih muda, serangan batuk hebat dengan berbunyi whoop sering tidak

terdengar. Selama serangan muka merah dan sianosis, mata menonjol, lidah

menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher bahkan sampai terjadi

petekia di wajah (teruma di konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal

dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran napas menghilang.

Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga seringkali menjadi

tanda kecurigaan apakah anak menderita pertusis walaupun tidak disertai

bunyi whoop. Anak menjadi apatis dan berat badan menurun. Batuk dapat

dibangkitkan dengan stress emosional (menangis sedih, gembira) dan aktivitas

fisik.

3. Stadium konvalesens

Stadium penyebuhan ditandai dengan berhentinya bunyi whoop dan

muntah dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur

menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan

menghilang sekitar 2-3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul serangan

paroksismal kembali. Episode terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan

9
dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran nafas bagian atas yang

berulang.

G. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan

pemeriksaan laboratorium.1,2,6,11

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisis

- Kontak dengan penderita pertusis

- Belum di imunisasi/imunisasi tidak adekuat

- Tanda dan gejala tergantung stadium

1) Stadium kataral

Gejala klisnisnya minimal dengan/tanpa demam, rinorea, anoreksia,

frekuensi batuk bertambah

2) Stadium paroksismal

Batuk paroksismal yang dicetuskan oleh pemberian makan (bayi) dan

aktivitas, fase inspiratori batuk atau batuk rejan (inspiratory

whooping); post-tussive vomiting. Dapat pula dijumpai: muka merah

atau sianosis; mata menonjol; lidah menjulur; lakrimasi; hipersalivasi;

distensi vena leher selama serangan; apatis; penurunan berat badan

3) Stadium konvalesens : gejala akan berkurang dalam beberapa minggu

sampai dengan beberapa bulan, dapat terjadi petekia pada kepala/leher,

perdarahan konjungtiva, dan terdengar crackles difus.

10
 Bayi < 6 bulan gejalanya tidak khas

 Hipoksia yang terlihat lebih hebat dibandingkan gambaran klinis

 Muntah-muntah sampai menimbulkan dehidrasi

 Kadang hanya menunjukkan tanda dan gejala sianosis dan apneic

spell, tanpa disertai whoop.11

b. Periksaan laboratorium

Isolasi B.pertussis dari swab nasofaring atau kultur aspirasi pada media

tertentu merupakan baku emas untuk mendeteksi organisme penyebab. 5

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000-

50.000/IU dengan limfositosis absolute yang khas pada akhir stadium kataral

dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong

untuk diagnosis, oleh karena respons limfositosis juga terjadi pada infeksi

lain. Isolasi B pertussis dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat

diagnosis pertusis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium

paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk waktu

berikutnya. Serologi terhadap toksin pertusis. Tes serologi berguna pada

stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada individu

dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk menentukan serum IgM, IgG

dan IgA terhadap FHA dan PT. Nilai serum IgM FHA dan PT.

menggambarkan respon imun primer baik disebabkan oleh penyakit atau

vaksinasi.1

11
IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitive dan spesifik

untuk mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setelah imunisasi

pertusis.1,11

Berikut ini metode diagnosis berdasarkan pemeriksaan laboratorium :

Table 1. Tes laboratorium untuk mendiagnosis pertusis

(dikutip dari kepustakaan 5)

H. DIAGNOSIS BANDING

1. Batuk spasmodik pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis, pneumonia

bakterial, sistik fibrosis, tuberculosis dan penyakit lain yang menyebabkan

limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus. Pada umumnya

pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium. Benda asing juga

dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya gejalanya mendadak

dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologik dan endoskopi.1,2

12
2. Infeksi B.parapertussis, B.bronkiseptika dan adenovirus dapat menyerupai

sindrom klinis B.pertussis. Dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab.1

Selain bakteri B. pertusis, pertusis kadang-kadang disebabkan oleh B.

parapertusis termasuk bakteri gram negatif yang dapat dibiakkan dari swab

nasofaring penderita pertusis dengan media khusus (ditanamkan pada media

agar Bordet-Gengou).9

I. PENATALAKSANAAN

1. Terapi kausal

a. Antibiotik

Berbagai antimikroba telah dipakai dalam pengobatan pertusis, namun

tidak ada antimikroba yang dapat mengubah perjalanan klinis penyakit ini

terutama bila diberikan pada stadium paroksismal.1,2

Eritromisin merupakan antimikroba yang lebih efektif dibandingkan

kloramfenikol maupun tetrasiklin. Kebanyakan peneliti menganjurkan

eritromisin dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dalam 2 – 4 dosis selama 7 hari.

Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dapat meng-eliminasi organisme nasofaring

dalam 3 - 4 hari sehingga mengurangi kemngkinan penularan dan

terjadinya infeksi bakteri lain.1,2,9

Eritromisin oral diberikan selama 10 hari atau jenis makrolid lainnya. Hal

ini tidak akan memperpendek lamanya sakit tetapi akan menurunkan

periode infeksius.6

13
Pada bayi usia kurang dari 4 minggu, eritromisin kadang dihubungkan

dengan stenosis pylorus. Azitromisin atau klaritomisin dapat diberikan

untuk waktu yang lebih pendek. Trimetroprim/sulfametoksazol merupakan

alternative yang tidak terbukti. Kodein mungkin diperlukan untuk batuk.7

Antobiotik yang lain dapat digunakan rovamisin, kotrimoksazol,

kloramfenikol dan tetrasiklin.9

Orang yang terpajan paling dekat dengan penderita pertusis yang infeksius

harus diberi profilaksis antibiotik selama 14 hari setelah kontak

terakhirnya. Dosisnya sama dengan dosis terapi. Profilaksis harus diberikan

meskipun kontak baru saja menerima vaksinasi pertusis.10

Berdasarkan rekomendasi CDC, berikut adalah regimen antibiotic dan

profilaksis yang dapat diberikan pada pada pertusis, yaitu :

Table 2. Regimen antibiotik dan profilaksis untuk terapi pertusis

(Dikutip dari kepustakaan 5)

14
b. Kortikosteroid

Beberapa peneliti menggunakan :

- Betametason oral dengan dosis 0,075 mg/kgBB/24 jam

- Hidrokortison suksinat (Solukortef) intramuscular dengan dosis 30

mg/kgBB/24 jam, kemudian diturunkan secara perlahan-lahan dan

dihentikan pada hari ke-8.2

c. Salbutamol

Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa salbutamol efektif terhadap

pegobatan pertusis dengan cara sebagai berikut:

- Beta 2 adrenergik stimulant

- Mengurangi paroksismal

- Mengurangi frekuensi dan lamanya whoop

- Mengurangi frekuensi apnue

- Dosis yang dianjurkan 0,3 – 0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis.2

2. Terapi suportif 1,2,6

a. Menghindari faktor yang menimbulkan serangan batuk.

b. Pemberian makanan. Hindari makanan yang sulit ditelan, sebaiknya

diberikan makanan yang berbentuk cair. Bila penderita muntah – muntah

sebaiknya diberikan cairan dan elektrolit parenteral.

c. Pembersihan jalan napas. Selama batuk paroksismal, letakan anak dengan

posisi kepala lebih rendah dalam posisi telungkup, atau miring, untuk

mencegah aspirasi muntahan dan membantu pengeluaran sekret.

15
- Bila anak mengalami episode sianotik, isap lendir dari hidung dan

tenggorokan dengan lembut dan hati-hati.

- Bila apnu, segera bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan

manual atau dengan pompa ventilasi dan berikan oksigen.6

d. Oksigen hendaknya diberikan pada distres pernapasan yang akut dan

kronik. Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti

napas atau batuk paroksismal berat. Gunakan nasal prongs, jangan

kateter nasofaringeal atau kateter nasal, karena akan memicu batuk.

Selalu upayakan agar lubang hidung bersih dari mukus agar tidak

menghambat aliran oksigen. Terapi oksigen dilanjutkan sampai gejala

yang disebutkan di atas tidak ada lagi. Perawat memeriksa sedikitnya

setiap 3 jam, bahwa nasal prongs berada pada posisi yang benar dan tidak

tertutup oleh mukus dan bahwa semua sambungan aman.

J. PERAWATAN PENUNJANG

 Hindarkan sejauh mungkin segala tindakan yang dapat merangsang

terjadinya batuk, seperti pemakaian alat isap lendir, pemeriksaan

tenggorokan dan penggunaan NGT.

 Jangan memberi penekan batuk, obat sedatif, mukolitik atau antihistamin.

 Obat antitusif dapat diberikan bila batuk amat sangat mengganggu.

16
 Jika anak demam (≥ 390 C) yang dianggap dapat menyebabkan distres,

berikan parasetamol.

 Beri ASI atau cairan per oral. Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa

nasogastrik dan berikan makanan cair porsi kecil tetapi sering untuk

memenuhi kebutuhan harian anak. Jika terdapat distres pernapasan, berikan

cairan rumatan IV untuk menghindari risiko terjadinya aspirasi dan

mengurangi rangsang batuk. Berikan nutrisi yang adekuat dengan pemberian

makanan porsi kecil dan sering. Jika penurunan berat badan terus terjadi,

beri makanan melalui NGT.6

K. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Leukosit dan hitung jenis sel: Leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan

limfositosis absolute atau didapatkan leukosit 20.000-50.000/UI dengan

limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium

paroksismal.1,8,11

2. IgG terhadap toksin pertusis: Didapatkan antibodinya (IgG terhadap toksin

pertusis)

3. Foto toraks: Infiltrat perihiler atau edema, atelektasis, atau empiema

4. Diagnosis pasti apabila ditemukan organisme pada apus nasofaring (bahan

media-Bordet-Gengou) dengan menggunakan media transpor (Regan-

Lowe).11

17
L. PENCEGAHAN

Tidak ada imunitas terhadap pertusis. Pencegahan dapat dilakukan secara

aktif dan secara pasif. Kekebalan yang didapat dari ibu hampir tidak ada, vaksin

pertusis pertamakali dikembangkan sekitar 60 tahun yang lalu dan mulai dipakai

diseluruh dunia sekitar tahun 1960-an bersama-sama dengan vaksin difteri dan

tetanus sebagai vaksin DPT.9

Cara terbaik untuk mengontrol penyakit adalah dengan imunisasi. Banyak

laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian pertusis

dengan adanya pelaksanaan program imunisasi. Pada tahun 1926-1930 (era

sebelum imunisasi) di Amerika Serikat dan Inggris terdapat sebanyak 36.013

kematian yang disebabkan pertusis dan setelah era imunisasi berjalan terdapat 26

kematian yang disebabkan oleh pertusis (1986-1988). Melalui Program

Pengembangan Imunisasi (PPI) Indonesia telah melaksanakan imunisasi pertusis

dengan vaksin DPT. Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi pasif dan

aktif.

1. Imunisasi pasif

Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin,

ternyata berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif

sehingga akhir-akhir ini human hyperimmune glubolin tidak lagi diberikan

untuk pencegahan.1,2

18
2. Imunisasi aktif

Diberikan vaksin pertusis dari kuman B.pertussis yang telah dimatikan

untuk mendapatkan kekebalan aktif. Imunisasi pertusis diberikan bersama-

sama dengan vaksin difteria dan tetanus. Dosis imunisasi dasar dianjurkan 12

IU dan diberikan tiga kali sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu. Jika

prevalensi pertusis di dalam masyarakat tinggi, imunisasi dapat dimulai pada

umur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak berumur > 7 tahun tidak lagi

memerlukan imunisasi rutin. Hasil imunisasi pertusis tidak permanen oleh

karena proteksi menurun selama adolesens, walaupun demikian infeksi pada

pasien yang lebih besar biasanya ringan hanya merupakan sumber infeksi

B.pertussis pada bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0,25 ml, IM)

telah dipakai untuk mengontrol epidemik diantar orang dewasa yang terpapar.

Salah satu efek samping setelah imunisasi pertusis adalah demam.1

Kontak erat pada anak usia < 7 tahun yang sebelumnya telah diberikan

imunisasi hendaknya diberi booster. Booster tidak perlu diberikan bila telah

diberikan imunisasi dalam waktu 6 bulan terakhir. Juga diberikan Eritromisin 50

mg/kgBB/24 jam dalam 2 - 4 dosis selama 14 hari. Kontak erat pada usia > 7

tahun juga perlu diberikan Eritromisin sebagai profilaksis.2

Pengobatan Eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran

infeksi dan mengurangi gejala penyakit. Seseorang yang kontak dengan penderita

pertusis tetapi belum pernah di imunisasi hendaknya di beri Eritromisin selama

14 hari setelah kontak diputuskan. Jika kontak tidak dapat diputuskan hendaknya

19
Eritromisin diberikan sampai penderita berhenti batuk atau setelah penderita

mendapat Eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertusis monovalen dan eritromisisn

diberikan pada waktu terjadi epidemi.2

Tindakan Kesehatan masyarakat

1. Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam keluarga

yang imunisasinya belum lengkap.

2. Beri DPT ulang untuk anak yang sebelumnya telah diimunisasi.

3. Beri eritromisin suksinat (12.5 mg/kgBB/kali 4 kali sehari) selama 14 hari

untuk setiap bayi yang berusia di bawah 6 bulan yang disertai demam atau

tanda lain dari infeksi saluran pernapasan dalam keluarga.6

M. KOMPLIKASI

1. Pada saluran pernapasan

a. Brokopneumonia

Merupakan komplikasi berat yang paling sering terjadi dan menyebabkan

kematian pada anak dibawah 3 tahun, terutama bayi yang lebih kecil dari 1

tahun. Gejala ditandai dengan batuk, sesak napas dan panas. Pada foto

toraks terlihat bercak – bercak infiltrate tersebar.1,2

b. Otitis media

Karena batuk – batuk hebat, kuman masuk melalui tuba eustaski ke telinga

tengah sehingga menyebabkan otitis media.2,8

20
c. Bronkitis

Batuk mula – mula kering, setelah beberapa hari timbul lender jernih

kemudian menjadi purulen. Pada auskultasi terdengar suara pernapasan

kasar atau ronki kasar atau ronki kering.2

d. Atelektasis`

Timbul akibat lender kental yang dapat menyumbat bronkioli.1,2,8

e. Emfisema pulmonum

Terjadi karena batuk yang hebat sehingga alveoli pecah.2,8

f. Aktivasi tuberculosis

Tuberculosis laten dapat juga menjadi aktiv.1,2

g. Kolaps alveoli

Akibat batuk paroksismal yang lama pada anak – anak sehingga dapat

menyebabkan hipoksia berat dan pada bayi dapat menyebabkan kematian

yang tiba – tiba.2

2. Pada sistem saraf pusat 2,8,11

Terjadi kejang karena :

a. Hipoksia dan anoksia akibat apnu yang lama

b. Perdarahan subaraknoid yang massif

c. Ensefalopati akibat atrofi kortikal yang difus

d. Gangguan elektrolit karena muntah

21
3. Komplikasi lain

a. Hemoptisis, akibat batuk yang hebat sehingga menyebabkan tekanan vena

meningkat dan kapiler pecah.

b. Epitaksis dan perdarahan subkonjungtiva

c. Hernia

d. Prolaps rekti

e. Ulkus lidah, stomatitis

f. Malnutrisi karena anoreksia dan infeksi sekunder.2,6

N. PROGNOSIS

Prognosis tergantung usia anak yang lebih tua mempunyai prognosis lebih

baik. Pada bayi risiko kematian (0,5-1%) disebabkan ensefalopati. Pada

observasi jangka panjang, apnea atau kejang akan menyebabkan gangguan

intelektual dikemudian hari.1

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Pertussis. Dalam : Buku ajar

infeksi & pediatrik tropis. Edisi ke-2. Jakarta: IDAI; 2008. hal 331-337.

2. Rampoengan, TH. 2007. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta : EGC.

3. Cherry, JD. 2013. Pertussis: Challenges Today and for the Future. PLoS Pathog

9(7): e1003418. doi:10.1371/journal.ppat.1003418

4. American Academi of pediatrict. 2015. Whooping Cough and the Vaccine

(Shot) to Prevent It. CDC.

5. Snyder, J.Fisher,D. Pertusis in childhood. Journal of The American Academy of

Pediatrics. Pediatrics in Review 2012;33;412.DOI:10.1542/pir.33-9-412.

Downloaded from http://pedsinreview.aappublications.org/ by guest on February

8, 2017

6. Word Health Organization. 2009. Pelayanan kesehatan anak di Rumah Sakit.

Jakarta : WHO Indonesia.

7. Hull, David. 2008. Dasar – Dasar Pediatri Edisi 3. Jakarta : EGC.

8. Behrman, RE . 2010. Nelson Esensi Pediatri Edisi 4. Jakarta : EGC.

9. Maryunani, A. 2010. Ilmu kesehatan anak dalam kebidanan. Jakarta : TIM

10. Lewis, K. 2006. Pertusis dalam Rudolph, AM dkk Buku Ajar Rudolph Volume 1.

Jakarta : EGC.

11. Ikatan dokter Indonesia. 2011. Pedoman pelayanan medis jilid II.

23

Anda mungkin juga menyukai