Anda di halaman 1dari 30

REFERAT PERTUSIS

Putry Nurul Fitriya


2012730077
Preseptor: dr. Jeffry Pattisahusiwa,
SpA

LATAR BELAKANG

Pertusis atau batuk rejan atau batuk 100 hari


merupakan salah satu penyakit menular saluran
pernapasan yang sudah diketahui adanya sejak
tahun 1500an.
Penyebab tersering dari pertusis adalah bakteri
gram (-) Bordatella pertusis.
Di seluruh dunia insidens pertusis banyak
didapatkan pada bayi dan anak kurang dari 5
tahun.
Cara penularannya melalui kontak dengan
penderita Pertusis.

LATAR BELAKANG

3 Tahap penyakit:
1. Kataralis: 1-2 minggu, gejala non-spesifik
2. Paroksismal: 2-6 minggu klasikwhooping

cough, bisa diikuti muntah, menular


3. Konvalesen: penurunan frekuensi dan
keparahan batuk

LATAR BELAKANG

Permasalahan:
Diagnosis sering terlambat
Gejala klasik tidak selalu ada
Kurang kesadaran klinis

LATAR BELAKANG

Tujuan : Untuk meningkatkan pengetahuan dan


pemahaman
mengenai
definisi,
etiologi,
epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis,
diagnosis,
penatalaksanaan,
pencegahan,
komplikasi, dan prognosis pertusi.

Manfaat Penulisan
Bagi masyarakat
Bagi tenaga kesehatan
Bagi peneliti

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Pertusis : Batuk yang sangat berat


atau batuk yang intensif, merupakan
penyakit infeksi saluran nafas akut
yang dapat menyerang setiap orang
yang rentan seperti anak yang belum
diimunisasi
atau
orang
dewasa
dengan kekebalan yang menurun.

ETIOLOGI

Penyebab pertusus adalah Bordetella


pertusis. B. Pertusis cirinya kecil,
tidak bergerak, cocobacillus gram (-).
Bisa didapatkan dengan swab pada
daerah nasofaring penderita pertusis

EPIDEMIOLOGI

Pertusisi merupakan salah satu penyakit yang paling menular


.

pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit


menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika
Serikat.

Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari


setahun, 75 persen adalah anak kurang dari 5 tahun.

Kematian sangat menurun setelah diketahui bahwa dengan


pengobatan eritromycin dapat menurunkan tingkat penularan
pertusis karena biakan nasofaring akan negatif setelah 5 hari
pengobatan

PATOGENESIS

Transmisi melalui droplet

Patogen masuk melalui mulut kolonisasi pada traktus


respiratorius atas.

Bakteri menempel pada silia dan memproduksi toksin yang


melumpuhkan siliainflamasi epitel sehingga menggangu
mekanisme pembersihan secret saluran napas.

Karena adanya gangguan dari mekanisme airway clearing,


maka terjadi penumpukan mukus yang menstimulasi batuk
pada pasien pertussis

Toxin dan adhesin Bordatella


pertussis

Pertussis toxin (PT) : toksin ini menghambat transduksi


sinyal pada berbagai tipe sel. Akibat gangguan dari
transduksi sinyal pada sel, timbul efek biologis seperti
induksi limfositosis, alterasi sekresi insulin, peningkatan
sensitivitas terhadap histamine dan mediator lainnya.

Filamentous Hemagglutinin (FHA) : protein ini merupakan


adhesin yang membantu proses penempelan bakteri pada
silia. Komponen FHA dapat ditemukan pada vaksin
pertussis aseluler yang memiliki efek imunomodulator.

Toxin dan adhesin Bordatella


pertussis

Pertactin (PRN) : Protein ini digolongkan sebagai adhesion


dan diteliti memiliki efek pertahanan terhadap neutrofil

Fimbriae (FIM) : merupakan protein permukaan yang


berfungsi sebagai adhesion. Fimbriae merupakan
imunomodula tor.

Adenylate Cyclase Toxia (ACT) : toksin ini meningkatkan


level cAMP yang menyebabkan inhibisi fungsi fagosit dan
aktivasi apoptosis pada beberapa jenis sel.

Tracheal Cytotoxin (TCT) : toksin ini membunuh sel epitel


pernapasan secara in vitro.

MANIFESTASI KLINIS

Dibagi menjadi 3 stadium


Stadium inkubasi (5-12 hari)
Stadium Kataral
Stadium Paroksismal
Stadium Konvalesens

STADIUM KATARAL

Mulai terjadi dalam waktu 7-10 hari setelah


terinfeksi, ciri cirinya mempunyai flu ringan :

Bersin bersin

Mata berair

Nafsu makan berkurang

Lesu

Batuk

STADIUM PAROKSISMAL

Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari

5-15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas


dalam whooping cough

Muka anak akan merah , mata menonjol, lidah


menjulur

Dapat ditemukan muntah setelah batuk

STADIUM KONVALESENS

Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah


gejala awal

Frekuemsi batuk dan muntah berkurang, anak


tampak merasa lebih baik

DIAGNOSIS
Anamnesis

1.
.

Keluhan utama batuk

Tidak disertai dengan keluhan lainnya seperti


demam tinggi, malaise, mialgia, rash, sakit
tenggorokan, maupun takipneu.

Pertussis harus dicurigai pada anak yang batuk


diikuti salah satu dari gejala : paroxysm, whoop
atau muntah setelah serangan batuk

2. Pemeriksaan Fisik

Pada PF mata mungkin ditemukan perdarahan pada


konjungtiva dan ptekiae pada wajah dikarenakan batuk
paroksismal yang menimbulkan tekanan yang
berlebihan sehingga perdarahan

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pada minggu pertama dapat terjadi leukopenia seperti


gambaran infeksi virus.

Kultur aspirat nasofaring

Tes serologi

4. Pemeriksaan Penunjang

Rontgen tidak khas, infiltrate perihiler atau


edema dan atelectasis

PENATALAKSANAAN

Terapi Supportif
Oksigenasi, dan ventilator dapat diberikan jika dibutuhkan.
Rawat inap dibutuhkan pada pneumonia, sianosis, hipoksia

atau dehidrasi sedang-berat, atau ada komplikasi lain. Pasien


dengan sakit berat mungkin dapat dirawat di Intensive Unit
Care (ICU).
Tidak ada kebutuhan khusus pada makanan dan disesuaikan

dengan umur pasien. Pasien yang tidak dapat mentoleransi


makanan secara per-oral dapat diberikan secara enteral
maupun parenteral

PENATALAKSANAAN
Terapi farmakologi

KOMPLIKASI

Pneumonia
TBC laten menjadi aktif.
Atelektasis
Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur
alveoli, emfisema interstitial dan pneumotoraks.
Infeksi sekunder (otitis media) dengan S.pneumonia sebagai
bakteri patogennya.
Peningkatan tekanan intrakranial selama batuk dapat
menyebabkan perdarahan subkonjungtiva, perdarahan
epidural, dan perdarahan intrakranial.
Peningkatan tekanan intraabdomen selama batuk dapat
menyebabkan ruptur diafragma, hernia umbikalis, hernia
inguinalis, dan prolaps rekti.
Dehidrasi dan gangguan nutrisi dapat terjadi akibat muntah
yang berlebihan.
Penyulit pada sistem saraf pusat antara lain kejang, koma
dan encephalitis.
Hiperleukositosis yang menyebabkan hipertensi pulmonal
dan berakhir menjadi gagal napas dan sirkulasi

PENCEGAHAN

Imunisasi Pasif
Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human
hyperimmune globulin. Namun berdasarkan
beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif
sehingga human hyperimmune globulin tidak
lagi diberikan untuk pencegahan.

Imunisasi Aktif
Diberikan vaksin pertusis dari kuman B.pertussis
yang telah dimatikan untuk mendapatkan
kekebalan aktif. Imunisasi pertusis diberikan
bersama-sama dengan vaksin difteria dan
tetanus. Dosis imunisasi dasar dianjurkan 12 IU
(International Unit) dan diberikan 3x sejak umur
2 bulan, dengan jarak 8 minggu.

Whole Cell Vaksin


vaksin seluruh sel mati yang membentuk suspensi
B.pertusis yang diinaktifkan, digabung dengan toksoid
difteri dan tetanus (DT) dan tambahan berisi aluminium
(vaksin DPT).
Kemanjuran vaksin sel utuh bervariasi menurut definisi
kasus dari 64% untuk batuk ringan, sampai 81% untuk
batuk paroksismal, dan sampai 95% untuk penyakit
klinis berat.
Keterbatasan utama: reaktogenisitas. Dibanding dengan
vaksin DT, DTP mempunyai reaksi lokal yang lebih
bermakna seperti nyeri, pembengkakan, eritema, dan
reaksi sitemik seperti demam, rewel, menangis,
mengantuk, dan muntah. Manifestasi ini terjadi dalam
beberapa jam setelah imunisasi dan berkurang secara
spontan tanpa sekuele.

Vaksin Aseluler
Komponen vaksin pertussis aseluler yang dimurnikan (AP),

pada mulanya berkembang di Jepang adalah imunogenik dan


disertai dengan kejadian kurang merugikan bila dibandingkan
dengan DTP.
Sebuah randomized control trial menunjukkan kemanjuran

vaksin aseluler ini sedikit kurang dibandingkan dengan whole


cell vaksin pertussis.
Reaktogenisitas vaksin aseluler yang lebih rendah dan

imunogenisitas yang baik pada anak yang baru belajar jalan,


digabung dengan bukti kemanjuran pada penelitian berdasar
populasi dari Jepang, menyebabkan keluarnya lisensi AS pada
DTaP untuk penggunaan pada anak umur lebih dari atau sama
dengan 15 bulan sebagai dosis ke-4 dan/atau dosis ke-5 seri
DTP yang dianjurkan.
Vaksin ini ditoleransi dengan baik, dan penggunaannya

disertai dengan sedikit reaksi lokal yang lazim dan gejalagejala sistemik, seperti kejang demam

PROGNOSIS

Usia: anak yang lebih tua memiliki prognosis yang


lebih baik.
Rasio kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8%
selama tahun 2000-2004.
Kebanyakan kematian disebabkan oleh ensefalopati
dan pneumonia atau komplikasi paru paru lain
Pada observasi jangka panjang, apneu atau kejang
dapat menyebabkan gangguan intelektual di
kemudian hari.
Beberapa peneliti juga melaporkan pasien pertussis
dengan hiperleukositosis memiliki prognosis yang
lebih buruk karena dapat terjadi kegagalan nafas
dan sirkulasi akibat hipertensi pulmonal

KESIMPULAN

Diagnosis awal pada pertussis membutuhkan pengamatan


teliti pada manifestasi klinis stadium pertussis
Stadium Kataral
Stadium Paroksismal

Anamnesis : batuk yang bersifat tiba-tiba, batuk 5-10x


dalam satu episode ekspirasi, dan bunyi whooping.

PP: Goldstandard adalah kultur

Komplikasi: Pneumonia, peningkatan tekanan (intrakranial,


intraabdominal, dll), dan Hiperleukositosis -> gagal nafas
dan sirkulasi.

Tata Laksana: Azitthromycin 10 mg/kgBB/hari,


dosis tunggal, selama 3 hari

Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai