PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertusis atau yang lebih dikenal orang awam sebagai “batuk rejan” atau
“batuk 100 hari” merupakan salah satu penyakit menular saluran pernapasan yang
sudah diketahui adanya sejak tahun 1500-an. Penyebab tersering dari pertusis
adalah kuman gram (-) Bordetella pertussis.
Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak
kurang dari 5 tahun. Meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa masih
mungkin terinfeksi. Insidensi terutama didapatkan pada bayi atau anak yang
belum diimunisasi.
Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari gejala, pathogen dan
pemeriksaan penunjang lainnya, diharapkan para klinisi mampu memberikan
penanganan yang tepat dan cepat.
1
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian dari Pertusis
2. Untuk mengetahui epidemiologi yang ada di dunia dan di Indonesia
3. Untuk mengetahui gejala-gejala orang yang terkena penyakit Pertusis
4. Untuk mengetahui diagnostik dari Pertusis
5. Untuk mengetahui pathogen dari Pertusis
6. Untuk mengetahui cara pengobatan dan pencegahan Pertusis
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
B. Epidemiologi
Epidemiologi di Dunia
3
Epidemiologi di Indonesia
C. Gejala
Pada akhir minggu, batuk makin bertambah berat dan terjadi paroksismal
berupa batuk-batuk khas. Penderita tampak berkeringat, pembuluh darah leher dan
muka melebar. Batuk sedemikian beratnya hingga penderita tampak gelisah.
Gejala-gejala masa inkubasi 5 – 10 hari. Pada awalnya anak yang terinfeksi
terlihat seperti terkena flu biasa dengan hidung mengeluarkan lendir, mata berair,
bersih, demam dan batuk ringan. Batuk inilah yang kemudian menjadi parah dan
sering. Batuk akan semakin panjang dan seringkali berakhir dengan suara seperti
orang menarik nafas (melengking). Anak akan berubah menjadi biru karena tidak
mendapatkan oksigen yang cukup selama rangkaian batuk. Muntah-muntah dan
kelelahan sering terjadi setelah serangan batuk yang biasanya terjadi pada malam
hari. Selama masa penyembuhan, batuk akan berkurang secara bertahap.
4
3.Stadium konvalesensi Lamanya kira-kira 4-6 minggu
D. Diagnostik
1. Sifat Bakteri
Bakteri ini merupakan gram negative dan dengan pewarnaan toluidin biru
dapat terlihat granula bipolar metakromatik.
5
Berbeda dengan spesies-spesies Hemophilus, kuman Bordetella dapat
tumbuh tanpa adanya hemin (factor X) dan koenzim I (factor V). Pembiakan
dilakukan pada perbenihan Bordet-gengou, dimana kuman-kuman ini tumbuh
dengan membentuk koloni yang bersifat smooth, cembung, mengkilat, dan tembus
cahaya. Kuman ini membentuk zona hemolisis. Sifat-sifat ini dapat berubah
tergantung lingkungan dimana kuman ini dibiakkan, yang diikuti oleh perubahan-
perubahan sifat antigenic serta virulensinya
2. Penyebab
E. Pathogenesis
6
untuk perlekatan terhadap sel epitel bersilia saluran pernapasan. Sitotoksin trakea,
adenilat siklase, dan TP menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakea,
factor dermonekrotik dan adenilat siklase diterima secara dominant menyebabkan
cedera epitel local yang menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan
mempermudah penyerapan TP.
F. Pengobatan
Eritromisin : 50 mg/kg BB/hari selama 114 hari dapat mengeliminasi
organisme pertussis dari nasofaring dalam 3-4 hari.
Eritromisin biasanya tidak memperbaiki gejala-gejala jika diberikan
terlambat.
Suportif : terutama menghindarkan faktor-faktor yang menimbulkan
serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi
Oksigen diberikan pada distres pernapasan akut/kronik.
Penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres
pernapasan.
Betametason dan salbutamol (albuterol) dapat mengurangi batuk
paroksismal yang berat walaupun kegunaannya belum dibuktikan melalui
penelitian kontrol.
Penekan batuk (“suppressants”) tidak menolong.
7
G. Pencegahan
8
ditunda apabila anak menderita infeksi dengan demam yang naik turun. Namun
penyakit ringan dengan atau tanpa demam bukan merupakan kontraindikasi
pemberian imunisasi. Pada bayi yang masih kecil dengan perkiraan adanya
kelainan syaraf yang progresif, imunisasi sebaiknya ditunda sampai beberapa
bulan kemudian untuk memberikan kesempatan memastikan diagnosa untuk
mencegah kerancuan penyebab timbulnya gejala. Pada beberapa kasus dengan
kelainan syaraf progresif, seorang anak sebaiknya diberikan DT saja daripada
diberikan DTaP/DTP. Kelainan neurologist yang sudah stabil bukan merupakan
kontraindikasi pemberian vaksinasi. Secara umum, vaksin pertusis tidak diberikan
kepada anak berumur 7 tahun atau lebih, karena reaksi terhadap vaksin meningkat
pada anak yang besar atau dewasa. Anak dengan riwayat pernah mengalami reaksi
berat seperti kejang, menangis keras dan lama, pernah kolaps atau suhu tubuh
lebih dari 40,50C (atau lebih tinggi dari 1050F) sebaiknya tidak diberikan dosis
selanjutnya vaksin yang berisi pertusis apabila risiko pemberian vaksin lebih besar
daripada manfaatnya. Pada situasi dimana imunisasi pertusis harus diberikan
(seperti pada saat terjadi KLB pertusis), sebaiknya digunakan DTaP. Reaksi
anaphylactic atau encephalopathy akut dalam 48-72 jam setelah imunisasi
merupakan kontraindikasi absolute pemberian imunisasi selanjutnya dengan
vaksin yang mengandung pertusis. Reaksi sistemik yang kurang serius atau reaksi
lokal jarang terjadi setelah imunisasi DTaP dan reaksi ini bukan kontraindikasi
untuk pemberian dosis pertusis selanjutnya. Efikasi vaksin pada anak yang telah
mendapatkan paling sedikit 3 dosis diperkirakan sebesar 80%; memberikan
perlindungan terhadap timbulnya penyakit yang berat dan perlindungan mulai
menurun setelah sekitar 3 tahun. Imunisasi aktif yang diberikan setelah pajanan
tidak akan melindungi seseorang terhadap penyakit setelah pajanan namun tidak
merupakan kontraindikasi. Proteksi yang paling baik didapat apabila mengikuti
jadwal imunisasi yang dianjurkan. Imunisasi pasif tidak efektif, dan IG pertusis
saat ini tidak ada lagi dipasaran. Vaksin pertusis tidak melindungi terhadap infeksi
yang disebabkan oleh B. parapertussis.
9
3) Pada kejadian luar biasa, dipertimbangkan untuk memberikan
perlindungan kepada petugas kesehatan yang terpajan dengan kasus pertusis yaitu
dengan memberikan erythromycin selama 14 hari. Walaupun vaksin DTaP sejak
1999 tidak dianjurkan untuk diberikan kepada anak berumur 7 tahun atau lebih,
nampaknya vaksin aseluler (DTaP) baru, mungkin dapat diberikan pada usia itu.
2) Isolasi:
4) Karantina:
10
dimana banyak orang berkumpul. Larangan tersebut berlaku sampai dengan 21
hari sejak terpajan dengan penderita atau sampai dengan saat penderita dan kontak
sudah menerima antibiotika minimal 5 hari dari 14 hari yang diharuskan.
Imunisasi pasif tidak efektif dan pemberian imunisasi aktif kepada kontak
untuk melindungi terhadap infeksi setelah terpajan dengan penderita juga tidak
efektif. Kontak yang berusia dibawah 7 tahun dan yang belum mendapatkan 4
dosis DTaP/DTP atau yang tidak mendapat DTaP/DTP dalam 3 tahun terakhir
harus segera diberikan suntikan satu dosis setelah terpapar. Dianjurkan pemberian
erythromycin selama 14 hari bagi anggota keluarga dan kontak dekat tanpa
memandang status imunisasi dan umur.
Lakukan pencarian kasus secara dini, cari juga kasus yang tidak dilaporkan
dan kasus-kasus atipik. Oleh karena bayi-bayi dan anak tidak diimunisasi
mempunyai risiko tertular.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, dan di Cina disebut
batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah pertussis
(batuk kuat) pada tahun 1670; istilah ini lebih disukai dari batuk rejan (whooping
cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak (whoop artinya
berteriak). Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif,
merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang
yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan
kekebalan yang menurun.
B. Saran
Melakukan penyuluhan kepada orang tua bayi untuk pentingnya
mendapatkan imunisasi segera mulai usia 2 bulan.
Memahami dan mengerti bagaimana Pertusis bisa menjadi bahaya bagi
manusia, agar kesehatan masyarakat optimal terwujudkan.
Peningkatan kualitas keahlian dengan banyak membaca dan pengalaman
di lapangan sebagai upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
12
DAFTAR PUSTAKA
http://nolvian-midwifery.blogspot.com/2012/10/epidemologi-kebidanan-tentang-
pertusis.html
http://www.forumsains.com/kesehatan/pertusis/
http://www.persify.com/id/perspectives/medical-conditions-diseases/pertusis-_-
9510001031356
drakeiron.wordpress.com
https://adhienbinongko.wordpress.com/2012/11/29/pertussis-epidemiologi-
penyakit-menular/
www.google.com
13
LAMPIRAN
14