Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Di Negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, sebelum ditemukannya vaksin,


angka kejadian dan kematian akibat menderita pertusis cukup tinggi.Ternyata 80% anak-anak
dibawah umur 5 tahun pernah terserang penyakit pertusis, sedangkan untuk orang dewasa
sekitar 20% dari jumlah penduduk total.

Pertussis (batuk rejan) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi tenggorokan
dengan bakteri ”Bordatella Pertussis”. Penyakit batuk rejan / juga dikenal sebagai ”Pertussis”
atau dalam bahasa Inggris ”Whooping Cough” adalah satu penyakit yang menular. Pertussis
bisa ditularkan melalui udara. Gejala awalnya mirip dengan infeksi saluran nafas atau lainnya
yaitu pilek dengan lendir cair dan jernih, mata merah dan berair, batuk ringan, demam ringan.
Pada stadium ini, kuman paling mudah menular. Setelah 1-2 minggu, timbullah stadium
kedua dimana frekuensi dan derajat batuk bertambah. Stadium penyembuhan terjadi 2-4
minggu kemudian, namun batuk bisa menetap hingga lebih dari 1 bulan.

Penyakit ini biasanya terjadi pada anak berusia dibawah 1 tahun. 90% kasus ini terjadi
dinegara berkembang. Penyakit ini biasanya disebabkan oleh Bakterium Bordetella namun
tidak jarang diakibatkan oleh Bordetella Parapertussis. Pertussis dikenal dengan batuk serius
yang diakhiri bunyi apabila anak-anak bernafas. Ia juga disertasi dengan selema, bersin dan
demam yang tidak begitu panas. Selain menyerang anak-anak batuk pertussis juga menyerang
bayi berusia dibawah 1 tahun, ini disebabkan karena ia belum mendapatkan vaksin. Untuk itu
anak-anak diberi vaksin DPT yang diberikan pada 2 bulan, 3 bulan dan akhirnya 5 bulan dari
dosis tambahan pada usia 18 bulan. Vaksin ini berkisar selama 5 tahun. Penyakit ini lama-
kelamaan dapat menyebabkan kematian. Sampai saat ini manusia dikenal sebagai satu-
satunya tuan rumah dan penularannya melalui udara secara kontak langsung dari droplet
penderita selama batuk. Untuk itulah saya menyusun makalah yang berjudul ”Penyakit
Pertusis”.

1.2  Rumusan msalah
1. Apa definisi pertusis?
2. Apa Penyebab terjadinya penyakit pertusis?
3. Bagaimana transmisi dan epidemiologi penyakit pertusis?
4. Bagaimana distribusi dan insidens penyakit pertusis?
5. Bagaimana manifestasi klinik yang terjadi pada pertusis?
6. Bagaimana cara penularan dari pertussis?
7. Bagaimana patofisiologi terjadinya pertusis?
8. Komplikasi apa saja yang terjadi pada pertussis?
9. Bagaimana Pencegahan dari pertusis
10. Bagaimana pengobatan dari pertusis

1.3  Tujuan

1.Mahasiswa mengetahui apa itu penyakit pertussis


2.Mahasiswa mampu untuk mencegah penyakit pertussis

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
         
Pertusis adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang sangat menular
dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodic dan
paroksismal disertai nada yang meninggi. Penyakit saluran nafas ini  disebabkan
oleh Bordetella pertusis, nama lain penyakit ini adalah tussis quirita, whooping coagh, batuk
rejan. Istilah pertussis (batuk kuat) pertama kali diperkenalkan oleh Sydenham pada tahun
1670.dimana istilah ini lebih disukai dari “batuk rejan (whooping cough)”. Selain itu sebutan
untuk pertussis di Cina adalah “batuk 100 hari”.
Penyakit ini menimbulkan Serangan batuk panjang yang bertubi-tubi, berakhir dengan
inspirasi berbising dan juga dengan suara pernapasan dalam bernada tinggi atau melengking.

2.2.Etiologi

Pertusis pertama kali dapat di isolasi pada tahun 1900 oleh Bordet dan Gengou,
kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat dikembangkan dalam media buatan.
Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu B. pertusis, B.parapertusis, B.bronkiseptika, dan
B. avium. Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis dan perlu dibedakan dengan sindrom
pertusis yang disebabkan oleh Bordetella parapertusis dan Aadenovirus (tipe1,2,3 dan 5).
Bordetella pertusis termasuk kokobasilus, Gram negative, kecil, ovoid, ukuran panjang 0,5 –
1 um dan diameter 0,2 – 0,3 um, tidak bergerak, tidak berspora. Dengan pewarnaan toloidin
biru, dapat terlihat granula bipolar metakromatik dan mempunyai kapsul. Untuk melakukan
biakan B. pertusis, diperlukan suatu media pembenihan yang disebut bordet gengou (potato
blood glycerol agar) yang ditambah penisilin G 0,5 ug/ml untuk menghambat pertumbuhan
organism lain. Dengan sifat – sifat pertumbuhan kuman aerob murni, membentuk asam, tidak

5
membentuk gas pada media yang mengandung glukosa dan laktosa, sering menimbulkan
hemolisis.

Organisme yang didapatkan umumnya tipe virulen (disebut fase 1). Pasase dalam
biakan dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase 2, 3 atau 4). Strain 1
berperan untuk penularan penyakit dan menghasilkan vaksin yang efektif. Bordetella pertusis
dapat mati dengan pemanasan pada suhu 500C selama setengah jam, tetapi bertahan pada
suhu rendah (00 – 100C).

Faktor-faktor kevirulenan Bordetella pertusis :

 Toksin pertusis: histamine sensitizing factor (HSF), lymphocytosis promoting factor,


Islet activating protein (IAP).
 Adenilat siklase luar sel.
 Hemaglutinin (HA): F-HA (filamentous-HA) , PT-HA (pertussis toxin-HA).
 Toksin tak stabil panas (heat labile toxin).

6
Secara morfologis terdapat beberapa kuman yang menyerupai Bodetella Pertusis seperti
Bordetella Parapertusis dan Bordetella Bronchoseptica. Untuk membedakan jenis – jenis
kuman ini, maka di tentukan dengan reaksi aglutinasi yang khas atau tes tertentu.

2.3.Transmisi dan Epidemiologi

Pertusis merupakan penyakit menular dengan tingkat penularan yang tinggi, dimana
penularan ini terjadi pada kelompok masyarakat yang padat penduduknya dengan tingkat
penularannya mencapai 100%. Pertusis dapat ditularkan melalui udara secara :

 Droplet
 Bahan droplet
 Memegang benda yang terkontaminasi dengan secret nasofaring.

Sebagai sumber penularan yaitu pada kerier orang dewasa3.

Epidemi penyakit ini pernah terjadi di beberapa Negara, seperti amerika serikat
selama tahun 1977 – 1980 terdapat 102.500 penderita pertusis. Di Jepang tahun 1947 terdapat
152.600 pendeirta dengan kematian 17.00 orang. Pada tahun 1983 di Indonesia di perkirakan
819.500 penderita dengan kematian 23.100 orang. Data yang diambil dari profil kesehatan
jawa barat 193, jumlah pertusis tahun 1990 adalah 4.970 kasus dengan CFR (case fatality
rate) 0,20%, menurun menjadi 2.752 kasus pada tahun 1991 dengan CFR 0%, kemudian
turun lagi menjadi 1.379 kasus dengan CFR 0% pada tahun 1992. Pada tahun 1999,
diperkirakan sekitar 48,5 juta kasus pertusis dilaporkan terjadi pada anak-anak di seluruh
dunia. WHO memperkirakan sekitar 600.000 kematian setiap tahun disebabkan oleh pertusis,
terutama pada bayi yang tidak diimunisasi.

Usia Dari tahun 1999-2002, dari semua pasien pertusis:

 29% berusia kurang dari 1 tahun.


 12% berusia 1-4 tahun.
 10% berusia 5-9 tahun.
 29% berusia 10-19 tahun.
 20% berusia lebih dari 20 tahun.

7
2.4.Distribusi dan Insidens

Penyebaran penyakit ini terdapat di seluruh dunia dan dapat menyerang semua umur
mulai 2 minggu sampai 77 tahun dan terbanyak pada penderita di bawah 1 tahun, di mana
makin muda usia makin berbahaya. Banyak peneliti melaporkan bahwa pertusis bervariasi
sepanjang tahun mengikuti musim beberapa Negara. Di amerika serikat dapat di jumpai
sepanjang tahun dengan puncaknya di akhir musim panas.

Pertusis lebih sering menyerang anak wanita dari pada anak pria. Banyak peneliti
mengemukakan bahwa bayi kulit lebih hitam pada usia muda mempunyai insinden lebih
tinggi daripada bayi kulit putih, diduga perbedaan rasial ini dihubungkan dengan tingkat
kekebalan.

8
2.5  Manifestasi klinik

Masa tunas 7 – 14 hari. Penyakit ini dapat berlangsung selama 6 minggu atau lebih dan
terbagi dalam 3 stadium:

1. Stadium kataralis
Stadium ini berlangsung 1 – 2 minggu ditandai dengan adanya batuk-batuk ringan,
terutama pada malam hari, pilek, serak, anoreksia, dan demam ringan.Stadium ini
menyerupai influenza.

2. Stadium spasmodik

Berlangsung selama 2 – 4 minggu, batuk semakin berat sehingga pasien gelisah dengan
muka merah dan sianotik.Batuk terjadi paroksismal berupa batuk-batuk khas. Serangan batuk
panjang dan tidak ada inspirasi di antaranya dan diakhiri dengan whoop (tarikan nafas
panjang dan dalam berbunyi melengking). Sering diakhiri muntah disertai sputum
kental.Anak-anak dapat sempat terberak-berak dan terkencing-kencing. Akibat tekanan saat
batuk dapat terjadi perdarahan subkonjungtiva  dan  epistaksis. Tampak keringat, pembuluh
darah leher dan muka lebar.

9
3. Stadium konvalesensi

Berlangsung selama 2 minggu sampai sembuh.Jumlah dan beratnya serangan batuk


berkurang, muntah berkurang, dan nafsu makan timbul kembali.

2.6 Cara Penularan

Cara penularan pertusis, melalui:


 Droplet infection
 Kontak tidak langsung dari alat-alat yang terkontaminasi

Penyakit ini dapat ditularkan penderita kepada orang lain melalui percikan-percikan ludah
penderita pada saat batuk dan bersin. Dapat pula melalui sapu tangan, handuk dan alat-alat
makan yang dicemari kuman-kuman penyakit tersebut. Tanpa dilakukan perawatan, orang
yang menderita pertusis dapat menularkannya kepada orang lain selama sampai 3 minggu
setelah batuk dimulai.

2.7 Patofisiologi

Bordella merupakan kokobasili gram negatif yang sangat kecil yang tumbuh secara
aerobik pada agar darah tepung atau media sintetik keseluruhan dengan faktor pertumbuhan
dengan faktor tikotinamid, asam amino untuk energi dan arang atau resin siklodekstrin untuk
menyerap bahan-bahan berbahaya.

Bordella pertusis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak darinya
dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca penambahan
aerosol, hemaglutinin felamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama FIM2 dan Fim3),
dan protein permukaan nonfibria 69kD yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk
perlekatan terhadap sel epitel bersilia saluran pernafasan. Sitotoksin trakhea, adenilat siklase,
dan TP tampak menghambat pembersihan organisme.Sitotoksin trakhea, faktor
demonekrotik, dan adenilat siklase diterima secara dominan, menyebabkan cedera epitel lokal
yang menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP. TP terbukti
mempunyai banyak aktivitas biologis (misal, sensitivitas histamin, sekresi insulin, disfungsi
leukosit).Beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik penyakit.TP menyebabkan
limfositisis segera pada binatang percobaan dengan pengembalian limfosit agar tetap dalam

10
sirkulasi darah.TP tampak memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam
patogenesis.

2.8     Komplikasi

1. Alat Pernafasan
Bronchitis, atelektasis yang disebabkan sumbatan mucus, emfissema, bronkiektasis dan
bronkopneumonia yang disebabkan infeksi sekunder, misalnya karena streptokokkus
hemolitik, pneumukokkus, stafilokokkus, dll.

2.Saluran Pencernaan
Muntah-muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasi, prolaps rectum atau hernia,
ulkus pada  ujung lidah dan stomatitis.

3.Sistem Saraf Pusat


Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat muntah-
muntah.Kejang berat bisa terjadi karena penyebab anoksia. Kadang-kadang terdapat kongesti
dan edema otak, serta dapat pula terjadi perdarahan otak

2.9  Pengobatan dan perawatan

B.pertusis sensitif terhadap beberapa antimikroba in vitro.Pemberian eritromisin


selama fase kataral penyakit membantu menghilangkan organisme dan dapat bersifat
profilaksis.Pengobatan setelah awitan fase paroksimal jarang merubah fase klinis
penyakit.Inhalasi oksigen dan sedasi dapat mencegah kerusakan pada otak akibat anoksia.

Pengobatan :

1. Eritromisin : 50 mg/kg BB/hari selama 114 hari dapat mengeliminasi organisme pertussis
dari
nasofaring dalam 3-4 hari. Eritromisin biasanya tidak memperbaiki gejala-gejala jika
diberikan terlambat.
2. Suportif : terutama menghindarkan faktor-faktor yang menimbulkan serangan batuk,
mengatur hidrasi dan nutrisi
3. Oksigen diberikan pada distres pernapasan akut/kronik.
4. Penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan.

11
5. Betametason dan salbutamol (albuterol) dapat mengurangi batuk paroksismal yang berat
walaupun kegunaannya belum dibuktikan melalui penelitian kontrol.
6. Penekan batuk (“suppressants”) tidak menolong.

Perawatan :

1.    Pembersihan jalan nafas.


2.    Pemberian oksigen terutama pada serangan batuk yang hebat yang disertai sianosis.
3.    Pemberian makanan dan obat hindari makanan yang sulit ditelan dan makanan bentuk
cair.
4.    Pemberian terapi suportif :
a.    Dengan memberikan lingkungan perawatan yang tenang,atasi dehidrasi berikan
nutrisi.
b.    Bila pasien muntah-muntah sebaiknya diberikan cairan dan elektrolit secara
parenteral

2.10  Pencegahan

1. Pencegahan yang dilakukan secara aktif dan secara pasif:

a) Secara aktif

Dengan pemberian imunisasi DPT dasar diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan(DPT
tidak boleh dibrikan sebelum umur 6 minggu)dengan jarak 4-8 minggu. DPT-1 deberikan
pada umur 2 bulan,DPT-2 pada umur 4 bulan dan DPT-3 pada umur 6 bulan. Ulangan
DPT selanjutnya diberikan 1 tahun setelah DPT-3 yaitu pada umur 18-24 bulan,DPT-5
pada saat masuk sekolah umur 5 tahun. Pada umur 5 tahun harus diberikan penguat
ulangan DPT. Untuk meningkatkan cakupan imunisasi ulangan,vaksinasi DPT diberika
pada awal sekolah dasar dalam program bulan imunisasi anak sekolah(BIAS). Beberapa
penelitian menyatakan bahwa vaksinasi pertusis sudah dapat diberikan pada umur 1 bulan
dengan hasil yang baik sedangkan waktu epidemi dapat diberikan lebih awal lagi pada
umur 2-4 minggu.

12
Kontra indikasi pemberian vaksin pertusis :
1.  Panas yang lebih dari 38 derajat celcius
2.  Riwayat kejang
3.  Reaksi berlebihan setelah imunisasi DPT sebelumnya, misalnya suhu tinggi dengan
kejang, penurunan kesadaran, syok atau reaksi anafilaktik lainnya.

b. Secara pasif

Secara pasif pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan kemopropilaksis.


Ternyata eritromisin dapat mencegah terjadinya pertussis untuk sementara waktu.

2.  Pencegahan penyebarluasan penyakit dilakukan dengan cara :

 Isolasi:  mencegah kontak dengan individu yang terinfeksi, diutamakan bagi bayi dan
anak usia muda, sampai pasien setidaknya mendapatkan antibiotik sekurang-kurangnya 5
hari dari 14 hari pemberian secara lengkap. Atau 3 minggu setelah batuk paroksismal
reda bilamana pasien tidak mendapatkan antibiotik.

 Karantina:   kasus kontak erat terhadap kasus yang berusia <7 tahun, tidak diimunisasi,
atau imunisasi tidak lengkap, tidak boleh berada di tempat publik selama 14 hari atau
setidaknya mendapat antibiotic selama 5 hari dari 14 hari pemberian secara lengkap.

 Disinfeksi: direkomendasikan untuk melakukan pada alat atau ruangan yang


terkontaminasi sekret pernapasan dari pasien pertusis

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pertusis di tandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang sangat spasmodik dan
paroksimal disertai nada yang meninggi. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua
umur,mulai dari bayi sampai dewasa. Penyebabnya adalah Bordetella pertusis. Pertusis
merupakan penyakit menular dengan tingkat penularan yang tinggi, dimana penularan ini
terjadi pada kelompok masyarakat yang padat penduduknya dengan tingkat penularannya
mencapai 99%, dapat ditularkan melalui udara secara droplet, bahan droplet, memegang
benda yang terkontaminasi dengan sekret nasofaring.

Penyebaran penyakit ini terdapat di seluruh dunia dan dapat menyerang semua umur mulai
2 minggu sampai 77 tahun dan terbanyak pada penderita di bawah 1 tahun, di mana makin
muda usia makin berbahaya.

Penularan terutama melalui saluran pernapasan dimana Bordetella Pertusis akan terikat pada
silia epitel saluran pernapasan, kemudian kuman ini akan mengalami multiplikasi disertai
pengeluaran toksin, sehingga menyebabkan inflamasi dan nekrose trakea dan bronkus.
Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu
perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan
akhirnya timbul penyakit sistemik.

Masa inkubasi pertusis 6 – 10 hari (rata – rata 7 hari), dimana perlangsungan penyakit ini 6 –
8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung 3 stadium yaitu stadium
kataralis (prodromal, preparoksimal), stadium akut paroksismal (paroksismal, spasmodik),
dan stadium konvalesens.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis , pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adakah riwayat kontak dengan pasien
pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop yang jelas dan perlu pula
ditanyakan mengenai riwayat imunisasi. Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik
tergantung dari stadium saat pasien diperiksa. Pada pemerikssan laboratorium didapatkan

14
leukositosis 20.000 – 50.000/ Ul dengan limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral
dan selama stadium paroksismal.

Diagnosis banding pertusis adalah bordetella parapertusis, bordetella bronchoseptica, infeksi


oleh klamidia, infeksi oleh adeno virus tipe 1,2,3,5

Komplikasi – komplikasi dari pertusis. Pada saluran pernapasan : bronkopneumoinia, otitis


media, bronchitis, atelektasis, emfisema pulmonum, bronkiektasis, kolaps alveoli paru. Pada
sistem saraf pusat : kejang. Komplikasi – komplikasi yang lain : hemoptisis, epitaksis, hernia,
prolaps rekti, malnutirsi karena anoreksia dan infeksi sekunder

Pengobatan pertusis terdiri dari, terapi kausal : antimikroba, eritromisin merupakan


antimikroba yang lebih efektif dibanding kloramfenikol maupun tetrasiklin dengan dosis
50mg/kg.bb/hari, dalam 2 – 4 dosis, selama 5 – 7 hari. Kortikosteroid : betametason oral
dengan dosis 0,05mg/kg.bb/24jam, hidrokortison suksinat (Solukortef) dosis
30mg/kg.bb/24jam Prednisolon oral 2,5 – 5 mg/hari. Salbutamol, dosis yang dianjurkan 0,3 –
0,5mg/kg.bb/hari, dibagi dalam 3 dosis. Terapi suportif yaitu lingkungan perawatan yang
tenang, pemberian makanan, hindari makanan yang sulit ditelan, sebaiknya diberikan
makanan yang berbentuk cair., bila penderita muntah – muntah sebaiknya diberikan cairan
dan elektrolit secara parenteral, pembersihan jalan napas, oksigen, terutama pada serangan
batuk yang hebat yang disertai sianosis.

Pencegahan dan kontrol adalah Imunisasi pasif dapat diberikan Human Hiperimmune
Globulin, Imunisasi aktif diberikan vaksin pertusis yang terdiri dari kuman Bordetella
Pertusis yang telah dimatikan unrtuk mendapatkan imunisasi aktif. Vaksinasi pertusis
diberikan bersama – sama dengan vaksin difteri dan tetanus. Dosis pada imunisasi dasar
dianjurkan 12 IU dan diberikan tiga kali sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu.

3.2 Saran

Imunisasi sangat penting di berikan pada bayi karena dapat meningkatkan daya tahan
tubuh terhadap PD3I, jadi sebaiknya bayi harus diberikan Lima Imunisasi Dasar Lengkap
(LIDL) tanpa ada yang terlewat.

15
DAFTAR PUSTAKA

Arief Manjoer. 2000. “Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jilid II”. Jakarta: EGC


Ngastiyah. 1997. “Perawat Anak Sakit.” Jakarta: EGC.
Suryadi. 2010. “Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 2”. Jakarta: CV Sagung Seto
Shehab, Ziad M. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine. Missouri, USA. Mosby
Inc. 2000.Chapter 42.h: 693-699.
Garna, Harry, Azhali M.S, dkk.  Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi Tropik. Bandung,
Indonesia. FK Unpad, 1993. h: 80-86.
Behram, klieman dan nelson.2000 ‘Ilmu kesehatan Anak’ Jakarta;EGC
Mannsjoer, Arif.2000. Kapita Selekta kedokteran jilid 2 jakarta;Media Aesculapius
Nelson E Waldo , Behrman E Richard, Kliegman Robert, Arvin M Ann. Nelson Textbook Of
Pediatric. Edisi 15, volume 2, cetakan I. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2000. Hal :
960 – 965
Hassan Rusepno, Alatas Husein, et al. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 7, volume 2,
Cetakan XI. Pnerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1985. Hal : 564 – 568.

16

Anda mungkin juga menyukai