MASYARAKAT
Yusril M. Mamonto, Jurusan Kesehatan Masyarakat
yusrilmamonto99@gmail.com
Dr. Irwan, S.KM, M.Kes, Jurusan Kesehatan Masyarakat
irwandel@yahoo.com
Universitas Negeri Gorontalo
ABSTRAK
Pertusis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis. Bordetella
pertussis adalah penyebab manifestasi klinis pertusis yang paling berat, bakteri gram negative
pleomorfik yang membutuhkan lingkungan tertentu untuk tumbuh. Pertusis sering juga
disebut batuk rejan, batuk seratus hari, tussis quinta, atau violent cough. Penularan pertusis
melalui droplet.
Pertusis adalah infeksi pernapasan akut yang diuraikan dengan baik pada tahun
1500. Prevalensi di seluruh dunia sekarang berkurang hanya karena imunisasi aktif.
Syndenham yang pertama kali menggunakan istilah pertusis pada tahun 1670. Penyakit ini di
tandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang sangat spasmodik dan paroksimal
disertai nada yang meninggi, karena penderita berupaya keras untuk menarik nafas sehingga
pada akhir batuk sering di sertai bunyi yang khas
Dari hasil pembahasan diketahui bahwa penderita pertussis banyak dialami oleh anak-
anak yang tidak melakukan vaksinasi DPT. Disarankan kepada masyarakat agar bisa
melakukan pencegahan seperti vaksinasi DPT.
epistaksis, dan hernia (Marcdante et al., sedang, bayi kurang dari 6 bulan, yang
alami, maka kekebalan alaminya akan penyakit pertusis, yaitu: fase kataral,
Kriteria laboratorum:
1) Isolasi Bordatella pertussis
Uji laboratorium yang dapat Apabila terdapat pasien kedua yang
menentukan jenis bakteri dan spesifik pada terinfeksi setelah pasien pertama, maka
penyakit pertusis adalah biakan sekret PCR harus dilakukan pada pasien kedua
nasofaring pada saat stadium kataralis dan Jika tidak ada pasien kedua, analisis
stadium paroksismal. Waktu yang paling serologis harus dilakukan untuk
tepat untuk melakukan biakan adalah memberi antibodi toxin anti-pertussis
kurang dari 2 minggu pasca batuk terjadi jika pasien belum pernah mendapatkan
(Snyder dan Fisher, 2012). vaksinasi pertussis sebelumnya, atau
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam 2 tahun terakhir.
dalam penegakan diagnosis pertusis antara 3) Kultur
lain (Gabutti dan Rota, 2012) : a. Aspirasi nasofaring dan transport ke
a. Anamnesis laboratorium secepatnya
1) Waktu muncul gejala b. Sensitifitas tinggi pada fase awal
2) Karakteristik batuk: serangan batuk penyakit, penyakit yang berat, pasien
hebat, muntah setelah batuk, suara yang belum mendapat vaksinasi, dan
tarikan nafas berat, memburuk ketika pada balita
malam hari c. Hasil kultur bergantung pada antibiotik
3) Riwayat kontak dengan pasien pertussis yang dikonsumsi sebelumnya
pada masa inkubasi (7 – 21 hari) 4) PCR
4) Status vaksinasi: vaksinasi pertusis a. Kemungkinan diagnosis meningkat
terdahulu apabila dikombinasi dengan kultur
b. PCR paling sensitif pada fase awal
penyakit dan pada fase paroksismal
b. Konfirmasi biologis c. Akurasi diagnostik mungkin bervariasi
1) Bayi baru lahir dan balita di rumah pada berbagai laboratorium
sakit: kultur dan real-time PCR pada 5) Serologi
aspirasi nasofaring atau swab a. Diagnosis serum tunggal dapat berguna
nasofaring, kultur harus dilkukan untuk untuk fase akhir penyakit (3 – 4 minggu
menganalisis evolusi populasi bakteri setelah onset), pemeriksaan serologi
2) Anak-anak, remaja, dan dewasa: berpasangan dengan pengambilan
a. Durasi batuk ≤ 21 hari: real-time PCR, spesimen klinis kedua pada fase
kultur selanjutnya dapat membantu penegakan
b. Durasi batuk > 21 hari: diagnosis
PCR dan kultur tidak lagi bermakna
b. Antibodi (IgG dan IgA) terhadap toksin terbanyak di dunia yang kejadiannya dapat
pertussis atau filamentous dicegah dengan vaksinasi. Vaksin pertusis
haemagglutinin dapat ditemukan di ada 2 jenis yaitu whole pertussis (wP) dan
serum acellular pertussis (aP). Vaksin wP
c. Satu hasil titer IgG terhadap toksin terbukti lebih baik dibandingkan vaksin aP
pertussis yang tinggi (>100 – 125 U/ml karena memiliki efektifitas yang lebih
pada pemeriksaan ELISA) memiliki tinggi dan waktu perlindungan yang lebih
sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi lama dibandingkan aP.
untuk diagnosis Sejalan dengan hal tersebut,
d. Interpretasi pada hasil serologi dapat penelitian oleh Glansz et al. (2013)
sulit pada pasien yang baru saja menunjukkan bahwa pencegahan pertussis
mendapat imunisasi. dapat dilakukan dengan vaksinasi DTaP
8. Pencegahan tepat waktu. Dalam penelitian Glansz et al.
Belum ada bukti ilmiah yang cukup (2013) disebutkan bahwa status
yang membuktikan bahwa terapi undervaccination terhadap vaksin DTaP
profilaksis pertussis memberikan menempatkan bayi dan anak-anak pada
keuntungan. Profilaksis dengan antibiotik peningkatan resiko terjadinya pertussis.
berhubungan dengan efek samping dan Hal tersebut juga mengancam populasi
tidak secara signifikan memperbaiki gejala sekitarnya yang beresiko tinggi untuk
klinis, whoop, batuk paroksismal, jumlah terjadinya komplikasi serius dari pertussis.
kasus yang berkembang menjadi kultur Vaksinasi memiliki peran yang
positif B. pertussis atau batuk paroksismal sangat penting dalam pencegahan pertusis.
lebih dari 2 minggu. Karena resiko tinggi Pada tahun 2008, WHO menyatakan
terjadinya morbiditas dan kematian pada terjadi sekitar 16 juta kasus pertusis di
bayi < 6 bulan yang belum diimunisasi seluruh dunia, 95% diantaranya terdapat di
lengkap, profilaksis kontak negara berkembang, dan terjadi sekitar
direkomendasikan untuk keluarga. Pilihan 195.000 kematian. Pada tahun tersebut,
antibiotik dan dosisnya sama dengan imunisasi telah berhasil mencegah sekitar
regimen terapi (Altuniaji, 2012). 680.000 kematian (Gabutti dan Rota,
Menurut Zepp et al. (2011), 2012).
penyebaran infeksi hanya dapat dicegah Menurut Tiwari et al. (2015), selama
dengan meningkatkan cakupan imunisasi wabah pertussis, perlu dilakukan vaksinasi
di atas 92%. Menurut Witt et al., (2013), pertussis dosis pertama tepat waktu pada
pertusis merupakan salah satu penyakit usia 6 minggu dan segera diberikan terapi
antibiotik yang sudah direkomendasikan divaksinasi DaTP akan terlindung 8,5
secara dini Rekomendasi tersebut berlaku tahun setelah vaksin terakhir. Dengan
secara global, khususnya di negara-negara diberikannya booster untuk anak
dimana vaksinasi DTP/DaTP rutin dimulai prasekolah usia 4-6 tahun diperkirakan
pada usia 6 minggu. Bayi yang tidak akan sangat sedikit anak > 10 tahun yang
memenuhi syarat usia untuk vaksinasi akan terlindung dari pertussis, sehingga
mendapatkan keuntungan dan tercegah dari diperlukan booster Tdap untuk remaja
paparan B. pertussis. awal.
Imunitas terhadap pertusis, baik yang 9. Komplikasi
diperoleh secara alami maupun didapat Menurut Altunaiji (2012) pertussis
dengan imunisasi tidak bertahan seumur bisa menyebabkan sakit berat dan
hidup, imunitas yang didapat dari vaksin mengarah pada komplikasi seperti apneu,
hanya melindungi selama 4 – 12 tahun saja sianosis, kesulitan intake, pneumonia, dan
imunitas yang diperoleh secara alami (2012), komplikasi dari pertusis yang
bertahan 4 – 20 tahun (Zepp et al., 2011). paling penting adalah infeksi sekunder
Di Amerika Serikat, setiap anak (seperti pneumonia dan otitis media), gagal
mendapatkan 5 dosis vaksin difteri, tetanus napas (apnea dan hipertensi pulmonal),
dan pertusis aseluler (DTaP) sebelum usia gangguan fisik karena serangan batuk yang
2012). Menurut penelitian oleh McGirr dan ensefalopati, dan kematian. Pneumonia
Fisman (2015), vaksinasi pertussis perlu akibat pertusis adalah keadaan serius dan
diulang saat dewasa, hal tersebut juga membutuhkan prosedur ventilasi mekanik
termasuk untuk menjaga agar cakupan insasif untuk memasang alat bentu
populasi yang tercover dengan vaksin tetap pernafasan. Menurut Jackson dan Rohani