Anda di halaman 1dari 13

GAMABARAN KEJADIAN PENYAKIT MENULAR PERTUSIS PADA

MASYARAKAT
Yusril M. Mamonto, Jurusan Kesehatan Masyarakat
yusrilmamonto99@gmail.com
Dr. Irwan, S.KM, M.Kes, Jurusan Kesehatan Masyarakat
irwandel@yahoo.com
Universitas Negeri Gorontalo
ABSTRAK
Pertusis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis. Bordetella
pertussis adalah penyebab manifestasi klinis pertusis yang paling berat, bakteri gram negative
pleomorfik yang membutuhkan lingkungan tertentu untuk tumbuh. Pertusis sering juga
disebut batuk rejan, batuk seratus hari, tussis quinta, atau violent cough. Penularan pertusis
melalui droplet.
Pertusis adalah infeksi pernapasan akut yang diuraikan dengan baik pada tahun
1500. Prevalensi di seluruh dunia sekarang berkurang hanya karena imunisasi aktif.
Syndenham yang pertama kali menggunakan istilah pertusis pada tahun 1670. Penyakit ini di
tandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang sangat spasmodik dan paroksimal
disertai nada yang meninggi, karena penderita berupaya keras untuk menarik nafas sehingga
pada akhir batuk sering di sertai bunyi yang khas
Dari hasil pembahasan diketahui bahwa penderita pertussis banyak dialami oleh anak-
anak yang tidak melakukan vaksinasi DPT. Disarankan kepada masyarakat agar bisa
melakukan pencegahan seperti vaksinasi DPT.

Kata Kunci : Pertusis, Vaksinasi DPT, Penyakit Menular

PENDAHULUAN pada era sebelum vaksinasi dilakukan, dan


Pertusis adalah penyakit yang saat ini angka kejadiannya cukup tinggi di
disebabkan oleh bakteri Bordetella Negara Berkembang. Di Amerika Serikat
pertussis. Bordetella pertussis adalah ditemukan sebanyak 15.000 kasus
penyebab manifestasi klinis pertusis yang ditemukan pada tahun 2006 dengan usia
paling berat, bakteri gram negative tertinggi bayi dibawah 4 bulan. Di Inggris
pleomorfik yang membutuhkan lingkungan angka kejadian pertusis mengalami
tertentu untuk tumbuh. Pertusis sering juga penurunan sejak cakupan vaksinasi tinggi
disebut batuk rejan, batuk seratus hari, pada tahun 1970. Namun, angka kejadian
tussis quinta, atau violent cough. Penularan kembali meninggi saat cakupan vaksinansi
pertusis melalui droplet (Marcdante etal., menurun. Hal ini membuktikan efikasi
2011). vaksinasi (Marcdante et al., 2011).
Kejadian pertusis per tahunnya Komplikasi utamaa yang sering terjadi
mencapai 100-200 per 100.000 populasi pada anak kecil adalah hipoksia, apnea,
pneumonia, kejang, enselopati, dan menyebabkan gangguan tidur yang
malnutrisi. Batuk paroksismal dengan signifikan (Heininger, 2012).
tekanan yang kuat dapat mengakibatkan 2. Epidemiologi
terjadinya pneumomediastinum, Meskipun orang dewasa dan anak-

pneumotoraks, emfisema subkutan, anak memiliki gejala ringan hingga

epistaksis, dan hernia (Marcdante et al., sedang, bayi kurang dari 6 bulan, yang

2011). belum menerima 3 dosis vaksin DTP

PEMBAHASAN (Difteri-Pertussis-Tetanus) dan anak pra-


1. Pengertian Pertusis sekolah yang belum diimunisasi lengkap
Pertussis (batuk rejan) adalah infeksi memiliki resiko tinggi terjadinya pertussis
saluran nafas atas, yang pertama kali berat dan berujung pada komplikasi yaitu
ditemukan pada tahun 1.500 an dan kematian. Batuk rejan sangat menular. 70-
menjadi penyakit endemis di Eropa pada 100% anggota rumah tangga yang rentan
tahun 1.600 an (Altunaiji, 2012). dan 50-80% kontak sekolah yang retan
Menurut Bayhan et al. (2012), menjadi terinfeksi setelah terpapar kasus
pertussis atau disebut juga dengan batuk pertussis akut (Altunaiji, 2012).
rejan, “whooping cough”, adalah batuk Penyakit ini dapat menyerang semua
yang ditandai dengan adanya suara tarikan kelompok umur, terutama pada anak-anak,
nafas yang keras atau inspiratory whoop dan dapat menyebabkan kematian terutama
yang mengikuti serangan batuk yang hebat pada anak berusia kurang dari 1 tahun
sebelumnya. Penyakit ini merupakan (Gabutti dan Rota, 2012). CDC pada tahun
penyakit yang sangat menular, disebabkan 1997-2000 menunjukkan bahwa 29.048
oleh Bordatella pertussis. Pertussis-like orang dengan batuk rejan, 8.390 orang
syndrome disebabkan oleh spesies (29%) berusia < 1 tahun, 3.359 orang
Bordetella lain seperti B. parapertussis, B. (12%) berusia 1-4 tahun, 2.835 orang
bronchiseptica dan B. holmesii, dengan (10%) berusia 5-9 tahun, 8.529 orang
gejala umum yang mirip dengan penyakit (29%) berusia 10-19 tahun, dan 5.935
pertusis namun lebih ringan (Zouhari et al., orang (20%) berusia > 20 tahun (Altunaiji,
2012). 2012).
Batuk pada pertussis dapat Tingkat kejadian rata- rata tahunan
berlangsung beberapa hari, minggu, hingga yang tertinggi terjadi pada bayi berusia < 1
berbulan-bulan. Gejala ini mengganggu tahun (55,5 kasus per 100.000 penduduk).
kegiatan sehari-hari dan dapat Anak usia 1-4 tahun lebih rendah, yaitu 5,5
kasus per 100.000 penduduk. Anak usia 5-
9 tahun 3,6 kasus per 100.000 penduduk. coccobacillus, menginfeksi saluran nafas,
Anak usia 10-19 tahun 5,5 kasus per dan sangat mudah menular melalui droplet
100.000 penduduk, dan individu berusia > (Espinoza, 2015; Gabutti dan Rota, 2012).
20 tahun sebanyak 0,8 kasus per 100.000 McGirr dan Fisman (2015) menyebutkan
penduduk (Altunaiji, 2012). bahwa B.pertussis adalah bakteri gram
Angka kematian di negara negatif yang menjadi patogen bagi
berkembang diperkirakan sekitar 3% hal manusia, dengan tidak diketahui adanya
ini dikarenakan negara terbatas dalam hal reservoir hewan maupun lingkungan.
sumber daya karena sejumlah faktor, Bordetella pertusis pertama kali ditemukan
termasuk misdiagnosis, kurangnya oleh Bordet dan Gengou pada tahun 1906
pengetahuan, dan pelaporan kasus (Hartzel (Malvin dan Jeffrey, 2014). Menurut
dan Joshua, 2014). Bolanos et al. (2011), B.pertussis pertama
Sebelum adanya antibiotik dan kali disebutkan oleh Guillaume de Baillou
imunisasi, insidensi dan case fatality rate (1538-1616) sebagai epidemi di Perancis.
dari penyakit ini sangat tinggi. Adanya Catatan Nils Rosen von Reosenstein
terapi antibiotik dan imunisasi sangat jauh menyebutkan bahwa penyakit dimulai di
menurunkan angka kejadian dan kematian Perancis pada tahun 1414.
dari penyakit ini. Vaksinasi juga Spesies lain Bordetella, terutama
menggeser insidensi penyakit dari yang Bordetella parapertussis dan Bordetella
pada awalnya umum menyerang anak-anak bronchiseptica, dapat menyebabkan gejala
dengan usia dini, menjadi lebih sering pada seperti pertusis namun lebih ringan.
dewasa. Hal tersebut karena munculnya Variasi dalam ekspresi faktor pertusis
imunitas tubuh pasca vaksinasi dan mempengaruhi virulensi (Malvin dan
menghilangnya kekebalan setelah 4 – 12 Jeffrey, 2014).
tahun (Gabutti dan Rota, 2012). Sementara 4. Patogenesis
apabila seseorang terinfeksi pertusis secara Terdapat tiga fase dalam perjalanan

alami, maka kekebalan alaminya akan penyakit pertusis, yaitu: fase kataral,

menghilang setelah 4 – 20 tahun (Zepp, et paroksismal, dan konvalesen. Fase paling

al., 2011). infeksius adalah fase kataral dan awal fase

3. Etiologi paroksismal (Espinoza, 2015). Transmisi


Bordetella pertussis (B. pertussis) penyakit ini terjadi melalui droplet
adalah penyebab pertussis dan biasanya respiratorik (Bolanos et al., 2011). Masa
menyebabkan pertussis sporadic (Altunaiji, inkubasinya berkisar antara 7 – 10 hari,
2012). B.pertussis adalah bakteri gejala klinis yang terjadi bergantung pada
usia ketika terinfeksi, imunitas tubuh, Stadium paroksismal merupakan gejala
vaksinasi, dan terapi antibiotik yang paling khas pada pertusis yang berlangsung
diterima (Gabutti dan Rota, 2012), selama 24 minggu. Batuk terjadi saat
sementara menurut Altuniaji (2012), masa ekspirasi, sehingga pada anak kecil tidak
inkubasi sekitar 7 hingga 10 hari (range 4- sempat bernapas dan menjadi sesak. Hal
21 hari) dan bisa terjadi namun jarang, ini terjadi karena epitel pada saluran napas
selama 42 hari. mengalami nekrotik selain itu terdapat
5. Manifestasi Klinis cairan mukus yang kental yang menambah
Manifestasi dari infeksi B. pertussis keparahan dari batuk. Bunyi “whoop”
bermacam-macam mulai dari terjadi akibat tekanan inhalasi pada glottis
asimptomatis, batuk-batuk ringan sampai yang mengalami penyempitan setelah
batuk yang tak menentu sampai muntah batuk paroksismal terjadi. Seringkali
pasca batuk. Manifestasi bergantung dari pasien akan muntah pasca batuk.
beberapa faktor seperti riwayat infeksi 3) Stadium Konvalesen
sebelumnya, riwayat imunisasi, jenis Pada stadium ini ditandai dengan
bakteri, dan jenis kelamin. Pasien dengan perbaikan gejala klinis secara bertahap
riwayat infeksi atau imunisasi tidak terjadi sekitar 1-2 minggu dan batuk sudah mulai
limfositosis dan berbeda dengan pasien mereda, suara “whoop” juga sudah mulai
yang baru pertama kali terinfeksi. Pada menghilang. Walaupun umumnya penyakit
pasien pertusis demam bukan manifestasi ini berlangsung selama 6-8 minggu akan
klinis utama kecuali terdapat infeksi tetapi batuk masih dapat terjadi sampai
sekunder seperti pneumonia (Cherry dan berbulan-bulan apabila terjadi stress fisik
Paddock, 2012). ataupun iritasi pada saluran pernapasan.
Manifestasi klinis pada pertusis Menurut Altuniaji (2012), pertussis
dibagi berdasarkan stadiumnya, antara lain ditandai dengan adanya batuk berat spasme
stadium kataral, stadium paroksismal, dan (paroksism). Paroksism berlanjut tanpa
stadium konvalesen, sebagai berikut inspirasi hingga akhir dan sering ditandai
(Marcdante et al., 2011). dengan adanya whoop saat inspirasi,
1) Stadium kataral muntah post-tussive, atau keduanya. Onset
Stadium ini ditandai oleh gejala klinis yang penyakit tersebut perlahan namun
tidak spesifik (mata merah, peningkatan mengejutkan, dengan gejala yang mirip
sekresi nasal, dan demam ringan) yang dengan infeksi saluran nafas atas minor.
berlangsung selama 1-2 minggu Selama 1 hingga 2 minggu pertama,
2) Stadium Paroksismal umumnya terjadi coryza (a head cold)
dengan batuk non produktif yang molekuler salah satunya adalah PCR
intermitten. Fase ini diikuti oleh episode (Espinoza et al., 2015). Isolasi B. pertussis
batuk paroksismal yang berlangsung pada spesimen klinis memiliki tingkat
selama beberapa minggu. Puncak spesifisitas yang tinggi sehingga banyak
keparahan penyakit terjadi setelah 1 atau digunakan untuk penegakan diagnosis,
beberapa minggu dari batuk paroksismal meskipun tingkat sensitifitasnya
dan menurun perlahan dengan periode bergantung dari berbagai macam faktor,
konvalesen selama 2-6 minggu; periode seperti transportasi dan metode
konvalesen bisa berlangsung hingga 3 pemeriksaan laboratorium yang digunakan,
bulan dalam beberapa kasus. Sementara fase penyakit, usia pasien, status vaksinasi,
menurut Espinoza (2012), gejala klinis dan terapi antibiotik yang telah diterima
pasien pertusis dapat berupa: sebelumnya. Untuk mengatasi kekurangan
- Demam dari teknik kultur tersebut, telah
- Batuk yang berat dikembangkan teknik amplifikasi DNA
- Rinorrhea (seperti PCR) untuk mendeteksi DNA
- Distress pernafasan pertusis dengan mentarget regio promoter
- Wheezing dari gen yang mengkode ptxA, elemen
- Kongesti faring insersi IS481 and IS 1001, gen adenylate
- Berdahak cyclase, dan gen porin (Bayhan et al.,
- Vomitus 2015). Teknik amplifikasi DNA dapat
- Diare lebih cepat dan lebih sensitif dalam
- Asthenia mendeteksi B. pertussis. Namun dalam
- Kongesti abdominal praktek klinis, diagnosis biasanya
- Nyeri abdomen ditegakkan tanpa melakukan pemeriksaan
- Nyeri kepala mikrobiologi untuk mempercepat
- Otalgia pemberian terapi dan mencegah
- Myalgia komplikasi (Espinoza et al., 2015).
Gejala klinis pada anak usia lebih B. pertusis banyak hidup di epitel
dari 16 tahun biasanya tidak khas dan sulit bersilia pada saluran pernafasan, oleh
dibedakan dengan penyakit infeksi karena itu, pengambilan spesmen klinis
pernafasan lain (Miyasitha et al., 2013). dilakukan pada permukaan sel epitel
6. Pemeriksaan Penunjang bersilia yang terdapat di tenggorokan,
Gold standard penegakan diagnosis swab nasofaring, dan aspirasi nasofaring.
untuk pertusis adalah dengan kultur dan uji Pengambilan sputum atau epitel rongga
hidung bagian anterior tidak disarankan Namun prosedur ini lebih sulit dan harus
karena tidak mengandung epitel bersilia dikerjakan oleh tenaga medis yang
yang adekuat. Aspirasi melalui pipa professional (Zouhari et al., 2012).
endotrakheal dan bronkoalveoler juga bisa Transport sampel adalah proses yang
dilakukan untuk mengambil specimen penting dalam keberhasilan pemeriksaan.
(Zouhari e al., 2012). Untuk keberhasilan transport, medium
Untuk swab nasofaring, digunakan transport yang digunakan harus dapat
swab dakron atau kalsium alginat yang mencegah hilangnya B. pertussis dan
fleksibel. Swab kalsium alginat sebaiknya mencegah pertumbuhan flora normal
tidak digunakan untuk PCR. Swab dakron nasofaring. Medium yang banyak dipilih
direkomendasikan untuk PCR terutama adalah Regan – Lowe medium.
apabila kedua prosedur kultur dan PCR Preinkubasi medium dilakukan pada suhu
dilakukan. Swab dengan ujung kapas tidak 36°C selama semalam sebelum digunakan
direkomendasikan karena mengandung memungkinkan pertumbuhan Bordatella
asam lemak yang bersifat toksik terhadap maksimal dan meningkatkan
Bordatella dan menginhibisi PCR. Gagang multiplikasinya media transport non-
swab diinsersi secara perlahan melalui nutritif seperti asam Casamino yang
lubang hidung dan diputar perlahan selama terbuat dari asam hydrolyzedcasein 1%
beberapa detik. Idealnya, swab juga bisa digunakan. Waktu transport harus
ditempelkan selama 10 detik pada dinding diusahakan secepat mungkin, jarak antara
faring posterior sebelum ditarik keluar. pengambilan sampel hingga dilakukan
Untuk mengumpulkan sampel kultur tidak boleh melebihi 24 jam
dengan cara aspirasi, feeding tube ukuran (ZOuhari et al., 2015).
balita disambungkan dengan hand- Medium klasik yang digunakan
operated vacuum pump with tubing untuk mengisolasi Bordatella adalah agar
melalui mucus trap. Ujung kateter Bordet–Gengou (BG). Medium ini terbuat
dimasukkan ke dalam lubang hidung dari kentang sehingga mengandung banyak
menuju faring posterior, sepanjang dasar serat. Serat berfungsi untuk menetralkan
nasofaring. Setelah aspirasi, kateter dibilas material toksik yang terkandung dalam
dengan 1 ml normal saline untuk agar maupun dalam spesimennya sendiri.
mengangkat spesimen. Teknik aspirasi Medium ini juga mengandung gliserol
lebih disukai untuk dilakukan apabila sebagai agen penstabil dan sumber karbon.
memungkinkan karena memiliki tingkat Intuk mengisolasi Bordatella, agar
isolasi B. pertussis yang lebih tinggi. plates diinkubasi pada suhu 36°C ± 1°C
dengan tekanan udara sama dengan 2) Terdeteksinya sekuens genom yang
lingkungan dan kelembaban tinggi. bermakna pada pemeriksaan PCR
Inkubasi pada udaran dengan kadar 3) Pemeriksaan serologi positif
karbondioksida tinggi harus dihindari. Berdasarkan CDC (2011),
Plates diinkubasi selama 7 – 10 hari dinyatakan pertusis bila terjadi batuk ≥14
(Zouhari et al., 2015). hari dengan minimal 1 dari gejala (Gabutti
Literatur menunjukkan bahwa isolasi dan Rota, 2012) :
B. pertussis kebanyakan berhasil jika 1) Serangan batuk yang hebat
spesimen diambil antara fase kataral 2) Suara nafas keras/berat
hingga awal fase paroksismal (Zouhari et 3) Muntah pasca batuk
al., 2015). Kriteria laboratorium:
Pertusis dapat sulit didiagnosis pada 1) Isolasi Bordatella pertussis dari
anak berusia kurang dari 1 tahun pada spesimen klinis
musim dingin, karena patogen lain seperti 2) Pemeriksaan PCR positif untuk B.
influenza juga umum menginfeksi. Pada pertussis
kasus ini, gejala akut pertusis dapat Tabel 1. Metode laboratorium untuk
bertumpang tindih dengan bronkiolitis atau mendiagnosis pertussis
infeksi pernafasan lain yang tidak spesifik Total Sensitifitas Spesifisitas Waktu Keuntungan Kerugian
(%) (%) optimal
Kultur 12 – 60 100 < 2 Sangat Kurang
(Espinoza et al., 2015). minggu spesifik sensitif,
setelah terdapat jangka
7. Diagnosis onset waktu antara
pengambilan
Berdasarkan WHO (2003), pertussis spesimen dan
diagnosis
didefinisikan sebagai (Gabutti dan Rota, PCR 97 – 99 86 – 100 < 4 Rapid test, Tidak
minggu lebih sensitif terstandarisasi
2012) : setelah dibanding FDA, potensial
onset kultur, positif palsu,
organisme dapat terjadi
a. Penyakit yang didiagnosis oleh dokter tidak harus kontaminasi
viable, hasil DNA silang
sebagai pertusis, tetap positif
meskipun
paska terapi
b. Seseorang yang mengalami batuk yang antibiotik

berlangsung selama lebih dari 2 Serologi


berpasangan
90 – 92 72 – 100 Awal
gejala s/d
Efektif
untuk
Diagnosis
terlambat,
4 – 6 menentukan tidak ada
minggu, dengan minimal 1 dari gejala: minggu antibiotik standarisasi
setelahnya yang efektif FDA
1) Serangan batuk yang hebat Serologi 36 – 76 99 Minimal 2 Berguna Tidak ada
tungal minggu untuk standarisasi
2) Tarikan nafas yang keras/berat setelah diagnosis FDA, bisa bias
onset, yang akibat
sebaiknya terlambat vaksinasi
3) Muntah pasca batuk tanpa penyebab 4 – 8 atau paska
minggu terapi
lain yang jelas setelah antibiotik
onset

Kriteria laboratorum:
1) Isolasi Bordatella pertussis
Uji laboratorium yang dapat  Apabila terdapat pasien kedua yang
menentukan jenis bakteri dan spesifik pada terinfeksi setelah pasien pertama, maka
penyakit pertusis adalah biakan sekret PCR harus dilakukan pada pasien kedua
nasofaring pada saat stadium kataralis dan  Jika tidak ada pasien kedua, analisis
stadium paroksismal. Waktu yang paling serologis harus dilakukan untuk
tepat untuk melakukan biakan adalah memberi antibodi toxin anti-pertussis
kurang dari 2 minggu pasca batuk terjadi jika pasien belum pernah mendapatkan
(Snyder dan Fisher, 2012). vaksinasi pertussis sebelumnya, atau
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam 2 tahun terakhir.
dalam penegakan diagnosis pertusis antara 3) Kultur
lain (Gabutti dan Rota, 2012) : a. Aspirasi nasofaring dan transport ke
a. Anamnesis laboratorium secepatnya
1) Waktu muncul gejala b. Sensitifitas tinggi pada fase awal
2) Karakteristik batuk: serangan batuk penyakit, penyakit yang berat, pasien
hebat, muntah setelah batuk, suara yang belum mendapat vaksinasi, dan
tarikan nafas berat, memburuk ketika pada balita
malam hari c. Hasil kultur bergantung pada antibiotik
3) Riwayat kontak dengan pasien pertussis yang dikonsumsi sebelumnya
pada masa inkubasi (7 – 21 hari) 4) PCR
4) Status vaksinasi: vaksinasi pertusis a. Kemungkinan diagnosis meningkat
terdahulu apabila dikombinasi dengan kultur
b. PCR paling sensitif pada fase awal
penyakit dan pada fase paroksismal
b. Konfirmasi biologis c. Akurasi diagnostik mungkin bervariasi
1) Bayi baru lahir dan balita di rumah pada berbagai laboratorium
sakit: kultur dan real-time PCR pada 5) Serologi
aspirasi nasofaring atau swab a. Diagnosis serum tunggal dapat berguna
nasofaring, kultur harus dilkukan untuk untuk fase akhir penyakit (3 – 4 minggu
menganalisis evolusi populasi bakteri setelah onset), pemeriksaan serologi
2) Anak-anak, remaja, dan dewasa: berpasangan dengan pengambilan
a. Durasi batuk ≤ 21 hari: real-time PCR, spesimen klinis kedua pada fase
kultur selanjutnya dapat membantu penegakan
b. Durasi batuk > 21 hari: diagnosis
 PCR dan kultur tidak lagi bermakna
b. Antibodi (IgG dan IgA) terhadap toksin terbanyak di dunia yang kejadiannya dapat
pertussis atau filamentous dicegah dengan vaksinasi. Vaksin pertusis
haemagglutinin dapat ditemukan di ada 2 jenis yaitu whole pertussis (wP) dan
serum acellular pertussis (aP). Vaksin wP
c. Satu hasil titer IgG terhadap toksin terbukti lebih baik dibandingkan vaksin aP
pertussis yang tinggi (>100 – 125 U/ml karena memiliki efektifitas yang lebih
pada pemeriksaan ELISA) memiliki tinggi dan waktu perlindungan yang lebih
sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi lama dibandingkan aP.
untuk diagnosis Sejalan dengan hal tersebut,
d. Interpretasi pada hasil serologi dapat penelitian oleh Glansz et al. (2013)
sulit pada pasien yang baru saja menunjukkan bahwa pencegahan pertussis
mendapat imunisasi. dapat dilakukan dengan vaksinasi DTaP
8. Pencegahan tepat waktu. Dalam penelitian Glansz et al.
Belum ada bukti ilmiah yang cukup (2013) disebutkan bahwa status
yang membuktikan bahwa terapi undervaccination terhadap vaksin DTaP
profilaksis pertussis memberikan menempatkan bayi dan anak-anak pada
keuntungan. Profilaksis dengan antibiotik peningkatan resiko terjadinya pertussis.
berhubungan dengan efek samping dan Hal tersebut juga mengancam populasi
tidak secara signifikan memperbaiki gejala sekitarnya yang beresiko tinggi untuk
klinis, whoop, batuk paroksismal, jumlah terjadinya komplikasi serius dari pertussis.
kasus yang berkembang menjadi kultur Vaksinasi memiliki peran yang
positif B. pertussis atau batuk paroksismal sangat penting dalam pencegahan pertusis.
lebih dari 2 minggu. Karena resiko tinggi Pada tahun 2008, WHO menyatakan
terjadinya morbiditas dan kematian pada terjadi sekitar 16 juta kasus pertusis di
bayi < 6 bulan yang belum diimunisasi seluruh dunia, 95% diantaranya terdapat di
lengkap, profilaksis kontak negara berkembang, dan terjadi sekitar
direkomendasikan untuk keluarga. Pilihan 195.000 kematian. Pada tahun tersebut,
antibiotik dan dosisnya sama dengan imunisasi telah berhasil mencegah sekitar
regimen terapi (Altuniaji, 2012). 680.000 kematian (Gabutti dan Rota,
Menurut Zepp et al. (2011), 2012).
penyebaran infeksi hanya dapat dicegah Menurut Tiwari et al. (2015), selama
dengan meningkatkan cakupan imunisasi wabah pertussis, perlu dilakukan vaksinasi
di atas 92%. Menurut Witt et al., (2013), pertussis dosis pertama tepat waktu pada
pertusis merupakan salah satu penyakit usia 6 minggu dan segera diberikan terapi
antibiotik yang sudah direkomendasikan divaksinasi DaTP akan terlindung 8,5
secara dini Rekomendasi tersebut berlaku tahun setelah vaksin terakhir. Dengan
secara global, khususnya di negara-negara diberikannya booster untuk anak
dimana vaksinasi DTP/DaTP rutin dimulai prasekolah usia 4-6 tahun diperkirakan
pada usia 6 minggu. Bayi yang tidak akan sangat sedikit anak > 10 tahun yang
memenuhi syarat usia untuk vaksinasi akan terlindung dari pertussis, sehingga
mendapatkan keuntungan dan tercegah dari diperlukan booster Tdap untuk remaja
paparan B. pertussis. awal.
Imunitas terhadap pertusis, baik yang 9. Komplikasi
diperoleh secara alami maupun didapat Menurut Altunaiji (2012) pertussis

dengan imunisasi tidak bertahan seumur bisa menyebabkan sakit berat dan

hidup, imunitas yang didapat dari vaksin mengarah pada komplikasi seperti apneu,

hanya melindungi selama 4 – 12 tahun saja sianosis, kesulitan intake, pneumonia, dan

(Gabutti dan Rota, 2012). Sedangkan ensefalopati. Menurut Bayhan et al.

imunitas yang diperoleh secara alami (2012), komplikasi dari pertusis yang

bertahan 4 – 20 tahun (Zepp et al., 2011). paling penting adalah infeksi sekunder

Di Amerika Serikat, setiap anak (seperti pneumonia dan otitis media), gagal

mendapatkan 5 dosis vaksin difteri, tetanus napas (apnea dan hipertensi pulmonal),

dan pertusis aseluler (DTaP) sebelum usia gangguan fisik karena serangan batuk yang

7 tahun dan kekebalannya mulai hebat (fracture costae, berdarahan

menghilang setelah 5 tahun (Klein et al., konjunctiva, hernia inguinal), kejang,

2012). Menurut penelitian oleh McGirr dan ensefalopati, dan kematian. Pneumonia

Fisman (2015), vaksinasi pertussis perlu akibat pertusis adalah keadaan serius dan

diulang saat dewasa, hal tersebut juga membutuhkan prosedur ventilasi mekanik

termasuk untuk menjaga agar cakupan insasif untuk memasang alat bentu

populasi yang tercover dengan vaksin tetap pernafasan. Menurut Jackson dan Rohani

tinggi. Penelitian tersebut juga (2013), kematian akibat pertussis banyak

menyebutkan bahwa durasi imunitas dihubungkan dengan pneumonia.


10. Prognosis
protektif terhadap pertussis setelah dosis
Sebagian besar anak akan membaik,
kelima DaTP adalah 3-4 tahun, dengan
mengalami perbaikan epitel pada saluran
rata-rata perlindungan selama 3 tahun
respiratori dan fungsi paru yang normal
dengan sumsi efikasi vaksin 85%. Dengan
setelah sembuh. Pada anak dengan usia
hilangnya perlindungan oleh vaksin,
lebih muda akan cenderung membutuhkan
diperkirakan bahwa hanya 10% anak yang
rawat inap, hal ini disebabkan memiliki Di Indonesia, sejak tahun 1991
angka kematian lebih besar. Pada anak pertusis muncul menjadi kasus yang sering
yang terkena pertusis dapat mengalami dilaporkan yang terjadi pada balita. Pada
gangguan disabilitas akibat enselopati tahun 1996 terdapat 7796 kasus pertusis di
(Marcdante et al., 2011). Indonesia. 40% menyerang balita, remaja
Prognosis penyakit dapat memburuk dan dewasa meningkat.
pada tahun pertama dan kedua kehidupan Pertusis terutama mewabah di
dimana angka masuk rumah sakit dan negara-negara berkembang dan maju,
angka kematiannya tinggi (Case Fatality seperti Italian, daerah-daerah tertentu di
Rate 0,2% dan 4% pada negara maju dan Jerman dimana cakupan vaksin rendah atau
negara berkembang). Pada anak yang Nova Scatia dimana digunakan vaksin
sudah mendapat imunisasi, gejala biasanya yang kurang poten, dengan angka insidensi
ringan dan tidak spesifik, sehingga jarang rata-rata mencapai 200-500/100.000
terdiagnosis (Gabutti dan Rota, 2012). populasi dengan angka kematian 350.000
KESIMPULAN pada anak dibawah 5 tahun.2 Di Amerika
Batuk rejan atau pertusis adalah Serikat sendiri dilaporkan insidensi
infeksi bakteri pada paru-paru dan saluran tertinggi 4500 kasus sejak tahun 1967.
pernapasan yang mudah sekali menular. namun setelah hal tersebut, pertusis jarang
Penyakit ini dapat mengancam nyawa bila sekali kasusnya karena sudah lebih di
terjadi pada lansia dan anak-anak, galakkan vaksinasi.
khususnya bayi yang belum cukup umur
untuk mendapat vaksin pertussis
SARAN
1. Kiranya Mahasiswa bias lebih 2. Kiranya masyarakat bisa melakukan
memahami penyakit menular pertusis pencegahan dengan melakukan
Vaksinasi DPT Pada Balita
DAFTAR PUSTAKA
Altunaiji SM, Kukuruzovic RH, Curtis Rahbar A, Lee GM, Nelson JC,
NC, Massie J (2012). Antibiotics for Naleway AL, Nordin JD, Lugg MM,
whooping cough (pertussis) Weintraub ES (2013). Association
(Review). Evid.-Based Child Health Between Undervaccination With
7:3: 893–956 Diphtheria, Tetanus Toxoids, and
Glanz JM, Narwaney KJ, Newcomer SR, Acellular Pertussis (DTaP) Vaccine
Daley MF, Hambidge SJ, Rowhani- and Risk of Pertussis Infection in
Children 3 to 36 Months of Age. Pediatric Infectious Disease
JAMA Pediatr. 167(11):1060-1064 Journal. 31 (1) : 78-79
McGirr A, Fisman DN (2015). Duration of
Pertussis Immunity After DTaP Skof Th, Kenyon C, Cocoros N, Liko J,
Immunization: A Meta-analysis. Miller L, Kudish K, Baumbach J,
Pediatrics. 135 (2): 1-15 Zansky S, Faulkner A, Martin SW
Pérez-Bolaños C, Proenza-Alfonzo LL, (2015). Sources of Infant Pertussis
Fando-Calzada R (2011). Infection in the United States.
Epidemiology, reemergence of Pediatrics, 136 (4) :1-9
pertussis and vaccine development in Muloiwa R, Kagina BM, Engel ME,
Latin America: an overview. Revista Hussey GD (2015). The burden of
CENIC Ciencias Biológicas, 42 (3) : pertussis in low- and middle-income
153-158 countries since the inception of the
Tiwari TSP, Baughman AL, Clark TA Expanded Programme on
(2015). First Pertussis Vaccine Dose Immunization (EPI) in 1974: a
and Prevention of Infant Mortality. systematic review protocol. .
Pediatrics, 135 (6) : 1-12 Systematic Reviews (2015) 4:62
Jackson DW, Rohani P (2013). Review Cherry JD (2012). Epidemic Pertussis in
Article: Perplexities of pertussis: 2012: The Resurgence of a Vaccine-
recent global epidemiological trends Preventable Disease. The New
and their potential causes. England Journal of Medicine, 2012
Epidemiol. Infect. 1-13. (367) : 9
Kayina V, Kyobe S, Katabazi FA, Kigozi Crespo I, Cardenosa N, Godoy P, Carmona
E, Odongkara B, Babikako HM, G, Sala MR, Barrabeig I, et al
Whalen CC, Okee M, Joloba ML, (2011). Epidemiology of pertussis in
Musoke PM, Mupere E (2015). a country with high vaccination
Pertussis Prevalence and Its coverage. Vaccine, 2011 (29) : 4244
Determinants among Children with – 4248
Persistent Cough in Urban Uganda, Espinoza IP, Medina SB, Alzamora AH,
PLOS ONE, 2015: 1-12 Weilg P, Pons MJ, Luis MA, et al
Heininger U (2012). Pertussis: What the (2015). BioMed Central Infectious
Pediatric Infectious Disease Disease, 15: 554
Specialist Should Know. The Gabutti G, Rota MC (2012). Pertussis: A
Review of Disease Epidemiology
Worldwide and in Italy. International Pertussis Vaccine Compared to
Journal of Environmental Research Recipients of Acellular Pertussis
anf Public Health, 9: 4626-4638 Vaccines in a Large US Cohort.
Bayhan GI, Tanir G, Otgun SN, Teke TA, Clinical Infectious Disease, 56: 1248
Timur OM, Oz FN (2012). The – 1254
clinical characteristics and treatment Klein NP, Bartlett J, Rahbar AR, Fireman
of pertussis patients in a tertiary B, Baxter R (2012). Waning
center over a four-year period. The Protection after Fifth Dose of
Turkish Journal of Pediatrics, 54 : Acellular Pertussis Vaccine in
596-60 Children. The New England Journal
Zouhari A, Smaoi H, Kechrid A (2012). of Medicine, 367: 11
The diagnosis of pertussis: which
method to choose? Informa Miyashita N, Akaike H, Teranishi H,
Healthcare, 38(2): 111–121 Kawai K, Ouchi K, Kato T, et al
Zeep F, Heininger U, Mertsola J, (2013). BioMed Central Infectious
Bernatowska E, Guiso N, Roord J, Disease, 13: 129
Tozzi AE, et al (2011). Rationale for Marcdante, Karen J et al. (2011). Nelson
pertussis booster vaccination Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi
throughout life in Europe. The 6. Elsevier : Singapura, pp: 523-525
Lancet, 2011 (11) : 557 – 570 Cherry JD, Paddock CD (2014).
Pathogenesis and histopathology of
Witt MA, Arias L, Katz PH, Truong ET, pertussis :
Witt DJ (2013). Reduced Risk of implications for immunization
Pertussis Among Persons Ever Expert Rev. Vaccines, 13 (9) : 1115–
Vaccinated with Whole Cell 112

Anda mungkin juga menyukai