PERTUSIS
A. Definisi
Pertussis (batuk rejan) adalah infeksi saluran nafas atas, yang pertama
kali ditemukan pada tahun 1.500 an dan menjadi penyakit endemis di Eropa
pada tahun 1.600 an (Altunaiji, 2012).
Menurut Bayhan et al. (2012), pertussis atau disebut juga dengan batuk
rejan, “whooping cough”, adalah batuk yang ditandai dengan adanya suara
tarikan nafas yang keras atau inspiratory whoop yang mengikuti serangan
batuk yang hebat sebelumnya. Penyakit ini merupakan penyakit yang sangat
menular, disebabkan oleh Bordatella pertussis. Pertussis-like syndrome
disebabkan oleh spesies Bordetella lain seperti B. parapertussis, B.
bronchiseptica dan B. holmesii, dengan gejala umum yang mirip dengan
penyakit pertusis namun lebih ringan (Zouhari et al., 2012).
Batuk pada pertussis dapat berlangsung beberapa hari, minggu, hingga
berbulan-bulan. Gejala ini mengganggu kegiatan sehari-hari dan dapat
menyebabkan gangguan tidur yang signifikan (Heininger, 2012).
B. Epidemiologi
Batuk rejan merupakan epidemi pada era sebelum adanya vaksin, yaitu
sebelum pertengahan 1940 an). Pertussis bisa dicegah dengan vaksinasi dan
sejak adanya imunisasi rutin, morbiditas dan mortalitas batuk rejan telah
menurun tajam. Meskipun sudah ada vaksinasi, penyakit tersebut belum
diberantas dan dilaporkan terdapat peningkatan kejadian selama dua dekade
terakhir pada tahun 1990 an. Hal tersebut masih berlangsung hingga saat ini
(Muloiwa et al., 2015). Menurut WHO (1999) terdapat 20 hingga 40 juta
kasus batuk rejan setiap tahunnya. Sembilan puluh persen kasus terjadi di
negara berpendapatan rendah dan mengakibatkan sekitar 200.000- 300.000
kematian tiap tahunnya. Sementara menurut Espinoza et al (2015) dan
Gabutti dan Rota (2012), di seluruh dunia, setiap tahun terdapat sekitar 16
juta kasus pertusis, 95% diantaranya terjadi di negara berkembang, dan
mengakibatkan 195.000 anak meninggal setiap tahunnya. Kejadian pertusis
selalu meningkat dari tahun ke tahun dengan angka peningkatan yang
bermakna, bahkan di negara-negara yang cakupan vaksinasinya tinggi
sekalipun (Cherry, 2012; Espinoza et al., 2015; Kayina et al., 2015). Puncak
insidensi pertusis terjadi setiap 2 – 5 tahun sekali (Crespo et al., 2011).
Berdasar data CDC, di Amerika Serikat saat ini terdapat kejadian pertusis
terbanyak dalam 50 tahun terakhir. Jumlah kejadiannya mencapai 800.000
sampai 1 juta kasus setiap tahunnya (Cherry, 2012).
D. Patogenesis
Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit pertusis, yaitu: fase
kataral, paroksismal, dan konvalesen. Fase paling infeksius adalah fase
kataral dan awal fase paroksismal (Espinoza, 2015). Transmisi penyakit ini
terjadi melalui droplet respiratorik (Bolanos et al., 2011). Masa inkubasinya
berkisar antara 7 – 10 hari, gejala klinis yang terjadi bergantung pada usia
ketika terinfeksi, imunitas tubuh, vaksinasi, dan terapi antibiotik yang
diterima (Gabutti dan Rota, 2012), sementara menurut Altuniaji (2012), masa
inkubasi sekitar 7 hingga 10 hari (range 4-21 hari) dan bisa terjadi namun
jarang, selama 42 hari.
E. Manifestasi klinis
Manifestasi dari infeksi B. pertussis bermacam-macam mulai dari
asimptomatis, batuk-batuk ringan sampai batuk yang tak menentu sampai
muntah pasca batuk. Manifestasi bergantung dari beberapa faktor seperti
riwayat infeksi sebelumnya, riwayat imunisasi, jenis bakteri, dan jenis
kelamin. Pasien dengan riwayat infeksi atau imunisasi tidak terjadi
limfositosis dan berbeda dengan pasien yang baru pertama kali terinfeksi.
Pada pasien pertusis demam bukan manifestasi klinis utama kecuali terdapat
infeksi sekunder seperti pneumonia (Cherry dan Paddock, 2012).
Manifestasi klinis pada pertusis dibagi berdasarkan stadiumnya, antara
lain stadium kataral, stadium paroksismal, dan stadium konvalesen, sebagai
berikut (Marcdante et al., 2011).
1. Stadium kataral
Stadium ini ditandai oleh gejala klinis yang tidak spesifik (mata merah,
peningkatan sekresi nasal, dan demam ringan) yang berlangsung selama
1-2 minggu
2. Stadium Paroksismal
Stadium paroksismal merupakan gejala paling khas pada pertusis yang
berlangsung selama 2-4 minggu. Batuk terjadi saat ekspirasi, sehingga
pada anak kecil tidak sempat bernapas dan menjadi sesak. Hal ini
terjadi karena epitel pada saluran napas mengalami nekrotik selain itu
terdapat cairan mukus yang kental yang menambah keparahan dari
batuk. Bunyi “whoop” terjadi akibat tekanan inhalasi pada glottis yang
mengalami penyempitan setelah batuk paroksismal terjadi. Seringkali
pasien akan muntah pasca batuk.
3. Stadium Konvalesen
Pada stadium ini ditandai dengan perbaikan gejala klinis secara
bertahap sekitar 1-2 minggu dan batuk sudah mulai mereda, suara
“whoop” juga sudah mulai menghilang. Walaupun umumnya penyakit
ini berlangsung selama 6-8 minggu akan tetapi batuk masih dapat
terjadi sampai berbulan-bulan apabila terjadi stress fisik ataupun iritasi
pada saluran pernapasan.
Menurut Altuniaji (2012), pertussis ditandai dengan adanya batuk berat
spasme (paroksism). Paroksism berlanjut tanpa inspirasi hingga akhir dan
sering ditandai dengan adanya whoop saat inspirasi, muntah post-tussive, atau
keduanya. Onset penyakit tersebut perlahan namun mengejutkan, dengan
gejala yang mirip dengan infeksi saluran nafas atas minor. Selama 1 hingga 2
minggu pertama, umumnya terjadi coryza (a head cold) dengan batuk non
produktif yang intermitten. Fase ini diikuti oleh episode batuk paroksismal
yang berlangsung selama beberapa minggu. Puncak keparahan penyakit
terjadi setelah 1 atau beberapa minggu dari batuk paroksismal dan menurun
perlahan dengan periode konvalesen selama 2-6 minggu; periode konvalesen
bisa berlangsung hingga 3 bulan dalam beberapa kasus. Sementara menurut
Espinoza (2012), gejala klinis pasien pertusis dapat berupa:
- Demam
- Batuk yang berat
- Rinorrhea
- Distress pernafasan
- Wheezing
- Kongesti faring
- Berdahak
- Vomitus
- Diare
- Asthenia
- Kongesti abdominal
- Nyeri abdomen
- Nyeri kepala
- Otalgia
- Myalgia
Gejala klinis pada anak usia lebih dari 16 tahun biasanya tidak khas dan sulit
dibedakan dengan penyakit infeksi pernafasan lain (Miyasitha et al., 2013).
F. Pemeriksaan Penunjang
Gold standard penegakan diagnosis untuk pertusis adalah dengan kultur
dan uji molekuler salah satunya adalah PCR (Espinoza et al., 2015). Isolasi B.
pertussis pada spesimen klinis memiliki tingkat spesifisitas yang tinggi
sehingga banyak digunakan untuk penegakan diagnosis, meskipun tingkat
sensitifitasnya bergantung dari berbagai macam faktor, seperti transportasi
dan metode pemeriksaan laboratorium yang digunakan, fase penyakit, usia
pasien, status vaksinasi, dan terapi antibiotik yang telah diterima sebelumnya.
Untuk mengatasi kekurangan dari teknik kultur tersebut, telah dikembangkan
teknik amplifikasi DNA (seperti PCR) untuk mendeteksi DNA pertusis
dengan mentarget regio promoter dari gen yang mengkode ptxA, elemen
insersi IS481 and IS 1001, gen adenylate cyclase, dan gen porin (Bayhan et
al., 2015). Teknik amplifikasi DNA dapat lebih cepat dan lebih sensitif dalam
mendeteksi B. pertussis. Namun dalam praktek klinis, diagnosis biasanya
ditegakkan tanpa melakukan pemeriksaan mikrobiologi untuk mempercepat
pemberian terapi dan mencegah komplikasi (Espinoza et al., 2015).
B. pertusis banyak hidup di epitel bersilia pada saluran pernafasan, oleh
karena itu, pengambilan spesmen klinis dilakukan pada permukaan sel epitel
bersilia yang terdapat di tenggorokan, swab nasofaring, dan aspirasi
nasofaring. Pengambilan sputum atau epitel rongga hidung bagian anterior
tidak disarankan karena tidak mengandung epitel bersilia yang adekuat.
Aspirasi melalui pipa endotrakheal dan bronkoalveoler juga bisa dilakukan
untuk mengambil specimen (Zouhari e al., 2012).
Untuk swab nasofaring, digunakan swab dakron atau kalsium alginat
yang fleksibel. Swab kalsium alginat sebaiknya tidak digunakan untuk PCR.
Swab dakron direkomendasikan untuk PCR terutama apabila kedua prosedur
kultur dan PCR dilakukan. Swab dengan ujung kapas tidak direkomendasikan
karena mengandung asam lemak yang bersifat toksik terhadap Bordatella dan
menginhibisi PCR. Gagang swab diinsersi secara perlahan melalui lubang
hidung dan diputar perlahan selama beberapa detik. Idealnya, swab
ditempelkan selama 10 detik pada dinding faring posterior sebelum ditarik
keluar.
Untuk mengumpulkan sampel dengan cara aspirasi, feeding tube ukuran
balita disambungkan dengan hand-operated vacuum pump with tubing melalui
mucus trap. Ujung kateter dimasukkan ke dalam lubang hidung menuju faring
posterior, sepanjang dasar nasofaring. Setelah aspirasi, kateter dibilas dengan
1 ml normal saline untuk mengangkat spesimen. Teknik aspirasi lebih disukai
untuk dilakukan apabila memungkinkan karena memiliki tingkat isolasi B.
pertussis yang lebih tinggi. Namun prosedur ini lebih sulit dan harus
dikerjakan oleh tenaga medis yang professional (Zouhari et al., 2012).
Transport sampel adalah proses yang penting dalam keberhasilan
pemeriksaan. Untuk keberhasilan transport, medium transport yang digunakan
harus dapat mencegah hilangnya B. pertussis dan mencegah pertumbuhan
flora normal nasofaring. Medium yang banyak dipilih adalah Regan – Lowe
medium. Preinkubasi medium dilakukan pada suhu 36°C selama semalam
sebelum digunakan memungkinkan pertumbuhan Bordatella maksimal dan
meningkatkan multiplikasinya media transport non-nutritif seperti asam
Casamino yang terbuat dari asam hydrolyzedcasein 1% juga bisa digunakan.
Waktu transport harus diusahakan secepat mungkin, jarak antara pengambilan
sampel hingga dilakukan kultur tidak boleh melebihi 24 jam (ZOuhari et al.,
2015).
Medium klasik yang digunakan untuk mengisolasi Bordatella adalah
agar Bordet–Gengou (BG). Medium ini terbuat dari kentang sehingga
mengandung banyak serat. Serat berfungsi untuk menetralkan material toksik
yang terkandung dalam agar maupun dalam spesimennya sendiri. Medium ini
juga mengandung gliserol sebagai agen penstabil dan sumber karbon.
Intuk mengisolasi Bordatella, agar plates diinkubasi pada suhu 36°C ±
1°C dengan tekanan udara sama dengan lingkungan dan kelembaban tinggi.
Inkubasi pada udaran dengan kadar karbondioksida tinggi harus dihindari.
Plates diinkubasi selama 7 – 10 hari (Zouhari et al., 2015).
Literatur menunjukkan bahwa isolasi B. pertussis kebanyakan berhasil
jika spesimen diambil antara fase kataral hingga awal fase paroksismal
(Zouhari et al., 2015).
Pertusis dapat sulit didiagnosis pada anak berusia kurang dari 1 tahun
pada musim dingin, karena patogen lain seperti influenza juga umum
menginfeksi. Pada kasus ini, gejala akut pertusis dapat bertumpang tindih
dengan bronkiolitis atau infeksi pernafasan lain yang tidak spesifik (Espinoza
et al., 2015).
G. Diagnosis
Berdasarkan WHO (2003), pertussis didefinisikan sebagai (Gabutti dan
Rota, 2012) :
a. Penyakit yang didiagnosis oleh dokter sebagai pertusis,
b. Seseorang yang mengalami batuk yang berlangsung selama lebih dari 2
minggu, dengan minimal 1 dari gejala:
1. Serangan batuk yang hebat
2. Tarikan nafas yang keras/berat
3. Muntah pasca batuk tanpa penyebab lain yang jelas
Kriteria laboratorum:
1. Isolasi Bordatella pertussis
2. Terdeteksinya sekuens genom yang bermakna pada pemeriksaan PCR
3. Pemeriksaan serologi positif
Berdasarkan CDC (2011), dinyatakan pertusis bila terjadi batuk ≥14 hari
dengan minimal 1 dari gejala (Gabutti dan Rota, 2012) :
1. Serangan batuk yang hebat
2. Suara nafas keras/berat
3. Muntah pasca batuk
Kriteria laboratorium:
1. Isolasi Bordatella pertussis dari spesimen klinis
2. Pemeriksaan PCR positif untuk B. pertussis
Tabel 1. Metode laboratorium untuk mendiagnosis pertussis
Total Sensitifitas Spesifisitas Waktu Keuntungan Kerugian
(%) (%) optimal
Kultur 12 – 60 100 < 2 minggu Sangat spesifik Kurang sensitif,
setelah onset terdapat jangka
waktu antara
pengambilan
spesimen dan
diagnosis
Uji laboratorium yang dapat menentukan jenis bakteri dan spesifik pada
penyakit pertusis adalah biakan sekret nasofaring pada saat stadium kataralis
dan stadium paroksismal. Waktu yang paling tepat untuk melakukan biakan
adalah kurang dari 2 minggu pasca batuk terjadi (Snyder dan Fisher, 2012).
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penegakan diagnosis
pertusis antara lain (Gabutti dan Rota, 2012) :
a. Anamnesis
1. Waktu muncul gejala
2. Karakteristik batuk: serangan batuk hebat, muntah setelah batuk, suara
tarikan nafas berat, memburuk ketika malam hari
3.Riwayat kontak dengan pasien pertussis pada masa inkubasi (7 – 21 hari)
4.Status vaksinasi: vaksinasi pertusis terdahulu
b. Konfirmasi biologis
1. Bayi baru lahir dan balita di rumah sakit: kultur dan real-time PCR pada
aspirasi nasofaring atau swab nasofaring, kultur harus dilkukan untuk
menganalisis evolusi populasi bakteri
2. Anak-anak, remaja, dan dewasa:
a. Durasi batuk ≤ 21 hari: real-time PCR, kultur
b. Durasi batuk > 21 hari:
PCR dan kultur tidak lagi bermakna
Apabila terdapat pasien kedua yang terinfeksi setelah pasien
pertama, maka PCR harus dilakukan pada pasien kedua
Jika tidak ada pasien kedua, analisis serologis harus dilakukan
untuk memberi antibodi toxin anti-pertussis jika pasien belum
pernah mendapatkan vaksinasi pertussis sebelumnya, atau
dalam 2 tahun terakhir.
3.Kultur
a. Aspirasi nasofaring dan transport ke laboratorium secepatnya
b. Sensitifitas tinggi pada fase awal penyakit, penyakit yang berat,
pasien yang belum mendapat vaksinasi, dan pada balita
c. Hasil kultur bergantung pada antibiotik yang dikonsumsi
sebelumnya
4. PCR
a. Kemungkinan diagnosis meningkat apabila dikombinasi dengan
kultur
b. PCR paling sensitif pada fase awal penyakit dan pada fase
paroksismal
c. Akurasi diagnostik mungkin bervariasi pada berbagai laboratorium
5. Serologi
a. Diagnosis serum tunggal dapat berguna untuk fase akhir penyakit (3
– 4 minggu setelah onset), pemeriksaan serologi berpasangan
dengan pengambilan spesimen klinis kedua pada fase selanjutnya
dapat membantu penegakan diagnosis
b. Antibodi (IgG dan IgA) terhadap toksin pertussis atau filamentous
haemagglutinin dapat ditemukan di serum
c. Satu hasil titer IgG terhadap toksin pertussis yang tinggi (>100 –
125 U/ml pada pemeriksaan ELISA) memiliki sensitifitas dan
spesifisitas yang tinggi untuk diagnosis
d. Interpretasi pada hasil serologi dapat sulit pada pasien yang baru
saja mendapat imunisasi.
H. Penatalaksanaan
Tabel 2. Regimen Antibiotik untuk Terapi dan Profilaksis Pertussis (Snyder
dan Fisher, 2012)
Obat Dosis dan sediaan
Azitromisin - < 6 bulan: 10 mg/kg selama 5 hari
- ≥6 bulan: 10 mg/kg (max 500 mg) selama 1 hari, diikuti 5 mg/kg selama
1 hari, kemudian 250 mg/ hari selama 2 – 5 hari
- Dewasa: 500 mg selama 1 hari, dilanjutkan 250 mg/hari selama 2 – 5
hari
Claritromisin - < 1 bulan: tidak direkomendasikan
- > 1 bulan: 15 mg/kg/hari (max 1g/hari) dibagi dalam 2 dosis selama 7
hari
- Dewasa: 1 g/hari dibagi dalam 2 dosis selama 7 hari
Eritromisin - < 1 bulan: 40 – 50 mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis. Monitoring ketat
karena beresiko stenosis pylorica
- > 1 bulan: 40 – 50 mg/kg/hari (max 2 g/hari) dibagi dalam 4 dosis
selama 14 hari
- Dewasa: 2 g/hari dibagi dalam 4 dosis selama 14 hari
TMP – SMX - < 2 bulan: kontraindikasi
- >2 bulan: TMP 8 mg/kg/hari, SMX 40 mg/kg/hari, dibagi dalam 2 dosis
selama 14 hari
- Dewasa: TMP 320 mg/hari, SMX 1600 mg/hari, dibagi dalam 2 dosis
selama 14 hari
B. pertussis secara sendirinya dapat hilang secara spontan dari
nasofaring dalam waktu 2 sampai 4 minggu pasca infeksi. Ketika mulai di
awal perjalanan penyakit, selama tahap katarhal, antibiotik dapat
mempersingkat gejala dan mengurangi keparahan pertusis. Setelah tahap
paroksismal antibiotic tidak efektif dalam mengubah perjalanan penyakit.
Dengan ini tahap, manifestasi klinis penyakit yang disebabkan oleh toksin
Bordetella pertussis, dan dengan demikian tidak terpengaruh oleh terapi
antimikroba. Meskipun perjalanan klinis pertusis tidak mudah dipengaruhi
oleh pengobatan, penggunaan antibiotik namun dapat mengurangi masa
penularan (Snyder dan Fisher, 2012).
Antibiotik yang direkomendasikan untuk tatalaksana pertusis untuk
anak berusia lebih dari 1 tahun adalah makrolid, seperti eritromisin,
claritromisin, dan azitromisin. Sedangkan untuk anak berusia kurang dari 1
tahun lebih direkomendasikan menggunakan azitromisin atau claritromisin
intravena (Bayhan et al., 2012).
Studi terbaru menurut Snyder dan Fisher (2012) menunjukkan
azitromisin adalah obat yang memiliki efek samping gastrointestinal yang
lebih sedikit, karena tidak menghambat sistem sitokrom P450. Selain itu,
eritromisin telah dikaitkan dengan peningkatan risiko stenosis pilorus bila
diberikan untuk bayi di pertama 2 minggu setelah kelahiran. Sementara
menurut Bayhan et al. (2012), claritromisin sangat efektif dan aman untuk
terapi pada pasien dengan apnea, hipoksia dan kesulitan makan.
Altuniaji (2012) menunjukkan bahwa pemberian antibiotik untuk
pengobatan pertussis efektif dalam mengeliminasi B.pertussis agar tidak
menular tetapi tidak mengubah perjalanan klinis dari penyakit. Regimen
antibiotik yang efektif antara lain:
Azitromicin (10 mg/kgBB) single dose selama 3 hari
Azitromicin (10mg/kgBB pada hari pertama terapi dan 5 mg/kgBB sekali
sehari pada hari kedua hinga hari ke-15 terapi).
Clarithrimycin (7,5mg/kgBB/dosis 2x/hari) selama 7 hari
Eritromicin (60mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 7-14 hari
Eritromicin (60mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 14 hari
Oxytetracyclin (50mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis) selama 7 hari
Kloramfenikol (50mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis) selama 7 hari
Regimen terbaik untuk microbiological clearance dengan sedikit efek
samping adalah sebagai berikut :
Azitromicin (10mg/kgBB) single dose selama 3 hari
Azitromicin (10mg/kgBB pada hari pertama terapi dan 5mg/kgBB sekali
sehari pada hari kedua hingga hari ke-15 terapi), atau
Claritromycin (7,5mg/kgBB/dosis) dua kali sehari selama 7 hari
I. Pencegahan
Belum ada bukti ilmiah yang cukup yang membuktikan bahwa terapi
profilaksis pertussis memberikan keuntungan. Profilaksis dengan antibiotik
berhubungan dengan efek samping dan tidak secara signifikan memperbaiki
gejala klinis, whoop, batuk paroksismal, jumlah kasus yang berkembang
menjadi kultur positif B. pertussis atau batuk paroksismal lebih dari 2
minggu. Karena resiko tinggi terjadinya morbiditas dan kematian pada bayi <
6 bulan yang belum diimunisasi lengkap, profilaksis kontak
direkomendasikan untuk keluarga. Pilihan antibiotik dan dosisnya sama
dengan regimen terapi (Altuniaji, 2012).
Menurut Zepp et al. (2011), penyebaran infeksi hanya dapat dicegah
dengan meningkatkan cakupan imunisasi di atas 92%. Menurut Witt et al.,
(2013), pertusis merupakan salah satu penyakit terbanyak di dunia yang
kejadiannya dapat dicegah dengan vaksinasi. Vaksin pertusis ada 2 jenis yaitu
whole pertussis (wP) dan acellular pertussis (aP). Vaksin wP terbukti lebih
baik dibandingkan vaksin aP karena memiliki efektifitas yang lebih tinggi dan
waktu perlindungan yang lebih lama dibandingkan aP.
Sejalan dengan hal tersebut, penelitian oleh Glansz et al. (2013)
menunjukkan bahwa pencegahan pertussis dapat dilakukan dengan vaksinasi
DTaP tepat waktu. Dalam penelitian Glansz et al. (2013) disebutkan bahwa
status undervaccination terhadap vaksin DTaP menempatkan bayi dan anak-
anak pada peningkatan resiko terjadinya pertussis. Hal tersebut juga
mengancam populasi sekitarnya yang beresiko tinggi untuk terjadinya
komplikasi serius dari pertussis.
Vaksinasi memiliki peran yang sangat penting dalam pencegahan
pertusis. Pada tahun 2008, WHO menyatakan terjadi sekitar 16 juta kasus
pertusis di seluruh dunia, 95% diantaranya terdapat di negara berkembang,
dan terjadi sekitar 195.000 kematian. Pada tahun tersebut, imunisasi telah
berhasil mencegah sekitar 680.000 kematian (Gabutti dan Rota, 2012).
Menurut Tiwari et al. (2015), selama wabah pertussis, perlu dilakukan
vaksinasi pertussis dosis pertama tepat waktu pada usia 6 minggu dan segera
diberikan terapi antibiotik yang sudah direkomendasikan secara dini
Rekomendasi tersebut berlaku secara global, khususnya di negara-negara
dimana vaksinasi DTP/DaTP rutin dimulai pada usia 6 minggu. Bayi yang
tidak memenuhi syarat usia untuk vaksinasi akan mendapatkan keuntungan
dan tercegah dari paparan B. pertussis.
Imunitas terhadap pertusis, baik yang diperoleh secara alami maupun
didapat dengan imunisasi tidak bertahan seumur hidup, imunitas yang didapat
dari vaksin hanya melindungi selama 4 – 12 tahun saja (Gabutti dan Rota,
2012). Sedangkan imunitas yang diperoleh secara alami bertahan 4 – 20 tahun
(Zepp et al., 2011). Di Amerika Serikat, setiap anak mendapatkan 5 dosis
vaksin difteri, tetanus dan pertusis aseluler (DTaP) sebelum usia 7 tahun dan
kekebalannya mulai menghilang setelah 5 tahun (Klein et al., 2012). Menurut
penelitian oleh McGirr dan Fisman (2015), vaksinasi pertussis perlu diulang
saat dewasa, hal tersebut juga termasuk untuk menjaga agar cakupan populasi
yang tercover dengan vaksin tetap tinggi. Penelitian tersebut juga
menyebutkan bahwa durasi imunitas protektif terhadap pertussis setelah dosis
kelima DaTP adalah 3-4 tahun, dengan rata-rata perlindungan selama 3 tahun
dengan sumsi efikasi vaksin 85%. Dengan hilangnya perlindungan oleh
vaksin, diperkirakan bahwa hanya 10% anak yang divaksinasi DaTP akan
terlindung 8,5 tahun setelah vaksin terakhir. Dengan diberikannya booster
untuk anak prasekolah usia 4-6 tahun diperkirakan akan sangat sedikit anak >
10 tahun yang terlindung dari pertussis, sehingga diperlukan booster Tdap
untuk remaja awal.
J. Komplikasi
Menurut Altunaiji (2012) pertussis bisa menyebabkan sakit berat dan
mengarah pada komplikasi seperti apneu, sianosis, kesulitan intake,
pneumonia, dan ensefalopati. Menurut Bayhan et al. (2012), komplikasi dari
pertusis yang paling penting adalah infeksi sekunder (seperti pneumonia dan
otitis media), gagal napas (apnea dan hipertensi pulmonal), gangguan fisik
karena serangan batuk yang hebat (fracture costae, berdarahan konjunctiva,
hernia inguinal), kejang, ensefalopati, dan kematian. Pneumonia akibat
pertusis adalah keadaan serius dan membutuhkan prosedur ventilasi mekanik
insasif untuk memasang alat bentu pernafasan. Menurut Jackson dan Rohani
(2013), kematian akibat pertussis banyak dihubungkan dengan pneumonia.
K. Prognosis
Sebagian besar anak akan membaik, mengalami perbaikan epitel pada
saluran respiratori dan fungsi paru yang normal setelah sembuh. Pada anak
dengan usia lebih muda akan cenderung membutuhkan rawat inap, hal ini
disebabkan memiliki angka kematian lebih besar. Pada anak yang terkena
pertusis dapat mengalami gangguan disabilitas akibat enselopati (Marcdante
et al., 2011).
Prognosis penyakit dapat memburuk pada tahun pertama dan kedua
kehidupan dimana angka masuk rumah sakit dan angka kematiannya tinggi
(Case Fatality Rate 0,2% dan 4% pada negara maju dan negara berkembang).
Pada anak yang sudah mendapat imunisasi, gejala biasanya ringan dan tidak
spesifik, sehingga jarang terdiagnosis (Gabutti dan Rota, 2012).
BAB III
PENUTUP
Pertussis atau disebut juga dengan batuk rejan, “whooping cough”, adalah
batuk yang ditandai dengan adanya suara tarikan nafas yang keras atau inspiratory
whoop yang mengikuti serangan batuk yang hebat sebelumnya. Penyakit ini
merupakan penyakit yang sangat menular, disebabkan oleh Bordatella pertussis.
Di seluruh dunia, setiap tahun terdapat sekitar 16 juta kasus pertusis, 95%
diantaranya terjadi di negara berkembang, dan mengakibatkan 195.000 anak
meninggal setiap tahunnya. Kejadian pertusis selalu meningkat dari tahun ke
tahun dengan angka peningkatan yang bermakna, bahkan di negara-negara yang
cakupan vaksinasinya tinggi sekalipun.
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertussis, suatu cocobasilus gram
negatif aerobik minotil kecil dan tidak membentuk spora dengan pertumbuhan
yang sangat rumit dan tidak bergerak. Bordetella pertusis setelah ditularkan
melalui sekresi udara pernapasan kemudian melekat pada silia epitel saluran
pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi
melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme
pertahanan pejamu, kerusakan local dan akhirnya timbul penyakit sistemik.
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan
penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam
waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan,
trakea dan saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak.
Perkembangan penyakit melalui 3 tahapan yaitu kataral, paroksismal, dan
konvalesen.
DAFTAR PUSTAKA
Altunaiji SM, Kukuruzovic RH, Curtis NC, Massie J (2012). Antibiotics for
whooping cough (pertussis) (Review). Evid.-Based Child Health 7:3: 893–
956
Glanz JM, Narwaney KJ, Newcomer SR, Daley MF, Hambidge SJ, Rowhani-
Rahbar A, Lee GM, Nelson JC, Naleway AL, Nordin JD, Lugg MM,
Weintraub ES (2013). Association Between Undervaccination With
Diphtheria, Tetanus Toxoids, and Acellular Pertussis (DTaP) Vaccine and
Risk of Pertussis Infection in Children 3 to 36 Months of Age. JAMA
Pediatr. 167(11):1060-1064
Tiwari TSP, Baughman AL, Clark TA (2015). First Pertussis Vaccine Dose and
Prevention of Infant Mortality. Pediatrics, 135 (6) : 1-12
Muloiwa R, Kagina BM, Engel ME, Hussey GD (2015). The burden of pertussis
in low- and middle-income countries since the inception of the Expanded
Programme on Immunization (EPI) in 1974: a systematic review protocol. .
Systematic Reviews (2015) 4:62
Espinoza IP, Medina SB, Alzamora AH, Weilg P, Pons MJ, Luis MA, et al
(2015). BioMed Central Infectious Disease, 15: 554
Bayhan GI, Tanir G, Otgun SN, Teke TA, Timur OM, Oz FN (2012). The clinical
characteristics and treatment of pertussis patients in a tertiary center over a
four-year period. The Turkish Journal of Pediatrics, 54 : 596-60
Zouhari A, Smaoi H, Kechrid A (2012). The diagnosis of pertussis: which method
to choose? Informa Healthcare, 38(2): 111–121
Witt MA, Arias L, Katz PH, Truong ET, Witt DJ (2013). Reduced Risk of
Pertussis Among Persons Ever Vaccinated with Whole Cell Pertussis
Vaccine Compared to Recipients of Acellular Pertussis Vaccines in a Large
US Cohort. Clinical Infectious Disease, 56: 1248 – 1254
Klein NP, Bartlett J, Rahbar AR, Fireman B, Baxter R (2012). Waning Protection
after Fifth Dose of Acellular Pertussis Vaccine in Children. The New
England Journal of Medicine, 367: 11
Marcdante, Karen J et al. (2011). Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi 6.
Elsevier : Singapura, pp: 523-525