Anda di halaman 1dari 6

NAMA : Muhammad Ikrar Fadhillah

NIM : 2010912210006
KELOMPOK : 12

EPIDEMIOLOGICAL PROFILE OF PERTUSIS FROM 2008 TO 2014 OF 6TH


REGIONAL MANAGEMENT OF HEALTH, STATE OF PARAÍBA, BRAZIL

Pertusis atau batuk rejan adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh
bakteri Bordetella pertussis. Menurut data WHO, penderita penyakit pertusis berkisar
sekitar 30 sampai 50 juta kasus per tahunnya. Dampak akhir dari penyakit ini dapat
menyebabkan kematian. Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis
quinta, violent cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari . Penyakit Pertusis dapat
diderita oleh semua orang tetapi penyakit ini lebih serius bila terjadi pada bayi.
Penyakit pertusis terlebih dahulu menyerang saluran pernapasan bagian atas melalui
udara ataupun percikan, kuman pathogen dapat mencapai saluran napas bagian bawah
ketika sistem pertahanan tubuh menurun. Pertusis dalam kondisi berat dapat
menyebabkan komplikasi pneumonia, terutama pada anak kurang gizi dan anak
dengan gangguan sistem imun. Pertusis merupakan penyakit akut pada saluran
pernafasan, memiliki distribusi global dan terjadi secara endemik dengan siklus
epidemic setiap 2-5 tahun. Itu dapat terjadi kapan saja sepanjang tahun dan pada
tahap apa pun kehidupan, tetapi terutama mempengaruhi anak di bawah 6 bulan. Itu
diamati munculnya kembali penyakit di Brazil bahkan di tempat-tempat dengan
proporsi yang tinggi cakupan vaksin (1, 2, 3, 7).
Pertusis, juga dikenal sebagai batuk rejan, merupakan penyakit saluran
pernapasan akut. Ini dapat terjadi kapan saja sepanjang tahun dan pada tahap
kehidupan apa pun, tetapi terutama memengaruhi anak-anak. Pertusis memiliki
distribusi global dan terjadi secara endemik dengan siklus epidemi setiap 2-5 tahun.
Insiden pertusis menunjukkan variasi yang luas di negara-negara di benua yang sama
dan di berbagai wilayah di negara yang sama. Di Brazil, meskipun koefisien insiden
pertusis rendah, jumlah kasus dan kematian akibat batuk rejan meningkat secara
signifikan pada tahun 2011 dan 2012. Terjadi kebangkitan pertusis di semua
kelompok umur di beberapa negara. Fakta ini telah dikaitkan dengan penurunan
imunitas yang didapat dan sensitivitas surveilans epidemiologi dan efektivitas rendah
komponen pertusis dari vaksin. Untuk lebih cepat dalam menganalisis penyakit ini
diperlukan suatu teknologi komputer agar dapat dideteksi sedini mungkin. Tujuan
dari deteksi dini ini adalah agar memudahkan dalam mengidentifikasi penyebarannya,
salah satu metode yang tepat adalah menggunakan metode forward chaning dan
certainty factor, pada metode ini pengambilan diagnosa berdasarkan dua faktor,
perserntase keyanikan dari seorang pakar dan user. Sistem pakar yang dikembangkan
diharapkan dapat membantu para doktek dan pasian agar dapat mengetahui gejala
penyakit pertusis pada anak serta solusi yang diharapkan (1, 4).
Pertusis merupakan penyebab penting kematian anak dibawah 1 tahun di
seluruh dunia dan terus menjadi masalah kesehatan bahkan di negara yang memiliki
cakupan imunisasi yang tinggi. Oleh karena itu, dibutuhkan pemberian vaksin untuk
meningkatkan daya tahan tubuh mereka. Pada tahun 1950-1960an sejak adanya
pengenalan vaksinasi pertusis pada negara-negara industri, insidens pertusis dan
mortalitas karena pertusis mengalami penurunan yang dramatis (>90%), sehingga
pada tahun 1974 vaksin pertusis ditetapkan sebagai bagian pada program perluasan
imunisasi WHO. Sebelum vaksin pertusis ditemukan, pertusis merupakan penyakit
tersering dan salah satu penyebab kematian anak.4 Dengan imunisasi pertusis,
insidens pertusis menurun dari sekitar 355.000 kasus per tahun menjadi hanya sekitar
5.000 kasus per tahun. Banyak negara, baik di negara maju maupun di negara sedang
berkembang, menggunakan vaksin pertusis aselular pada program imunisasi nasional.
Di Indonesia terdapat kasus pertusis sebanyak 5.643, tidak menutup kemungkinan
angka tersebut dapat bertambah tiap tahunnya. Salah satu cara untuk mengurangi
jumlah kasus pertusis ini adalah dengan pemberian vaksin (5, 6, 7).
Vaksin pertusis whole-cell berhubungan dengan KIPI yang beragam antara lain
menangis terus menerus selama 3 jam atau lebih (inconsolable crying), kejang,
kejadian hipotonik–hiporesponsif dan ensefalopati. Adanya data KIPI pada susunan
saraf pusat tersebut pada penggunakan DTwP mendorong banyak peneliti untuk
memproduksi vaksin pertusis lain yang memiliki KIPI lebih ringan dan jarang, tetapi
tetap memberikan efek perlindungan yang baik. Jepang berhasil menemukan vaksin
pertusis lain yang dikenal dengan vaksin pertusis aselular pada tahun 1981. Pada
tahun 1990-an, Amerika mengganti vaksin DTwP menjadi DTaP dengan alasan
keamanan vaksin yaitu efek simpang yang lebih ringan (6).
Gejala-gejala pada penyakit menular pada penyakit pertusis (batuk rejan) pada
anak yaitu batuk terus menerus yang berlangsung 1 - 10 minggu kataralis (1-2
minggu) batuk pada malam hari dan pilek, spasmodic (tegang otot) 2-4 minggu dan
batuk semakin keras diakhiri bunyi ‘whoop’, konvacelled (1-2 minggu) ditandai
berhentinya bunyi ‘whoop’. Pertusis menular melalui droplet batuk dari pasien yang
terindeksi penyakit dan kemudian terhirup oleh orang sehat yang mempunyai
kekebalan tubuh rendah. Apabila terinfeksi pemberian antibiotik dapat digunakan
untuk mengurangi terjadinya infeksi dan mengurangi kemungkinan menjangkit
keseluruh tubuh, antibiotik juga diberikan pada orang yang kontak dengan penderita,
diharapkan dengan pemberian seperti ini akan mengurangi terjadinya penularan pada
orang sehat tersebut (4, 7).
Diperkirakan 90% kematian akibat pertusis masih terjadi di negara
berkembang, dimana tingkat vaksinasi rendah, baik dalam skema dasar, maupun di
negara-negara berkembang. Hal ini terjadi karena kegagalan vaksin primer (tidak ada
induksi yang sesuai) atau sekunder (pengurangan titer antibodi pelindung),
menyebabkan sirkulasi yang lebih besar dari vaksin. Bordetella pertussis dan
terjadinya epidemi. Di wilayah yang tingkat imunisasinya rendah, anak-anak
merupakan reservoir utama Bordetella pertusis, melawan pertandingan, di mana ada
cakupan vaksinasi yang efektif pada anak-anak, remaja dan orang dewasa adalah
sumber utama penularan bakteri. Saat ini, Kementerian Kesehatan
merekomendasikan cakupan vaksinasi dengan komponen pertussis di atas 90%, dan
mengaitkan efektivitas 75% hingga 80% terhadap pertusis dengan skema dasar
lengkap. Semua kasus yang dicurigai pertusis harus dilaporkan melalui sistem
informasi penyakit yang dapat dinotifikasikan (1).
Penerapan teknologi informasi dalam pelayanan sistem kesehatan sangat
diperlukan. Begitu juga teknologi informasi pengolahan data penyakit pertusis.
Tujuan dari penerapan teknologi informasi ini agar dalam pemberian pelayanan yang
lebih cepat, efektif dan efisien. Salah satu metode untuk memberikan penerapan
sistem informasi adalah dengan penerapan sistem pakar. Hasil sistem pakar nantinya
akan dapat memberikan informasi yang benar untuk mendiagnosis secara medis.
Sistem pakar merupakan sebuah aplikasi berbasis komputer yang digunakan untuk
menyelesaikan masalah. Sistem pakar yang baik dirancang agar dapat menyelesaikan
suatu permasalahan tertentu dengan meniru kerja dari para ahli, dengan keberadaan
sistem pakar, orang awam pun dapat menyelesaikan masalah yang cukup rumit yang
sebenarnya hanya dapat diselesaikan dengan bantuan para ahli (4).
Forward Chaining merupakan pencocokan fakta atau pernyataan dimulai dari
bagian kiri (IF dulu), dengan kata lain penalaran dimulai dari fakta terlebih dahulu
untuk menguji kebenaran hipotesis. Metode Forward Chaining adalah penalaran dari
bawah ke atas karena penalaran dari evidence (fakta) pada level bawah menuju
konklusi pada level atas di dasarkan pada fakta. Pelacakan ke depan adalah
pendekatan yang dimotori data (datadriven), sedangkan Metode Certanty Factor
menunjukkan ukuran kepastian terhadap suatu fakta atau aturan. Jadi, pelacakan maju
ini sangat baik digunakan dalam mengidentifikasi penyakit pertusis pada anak serta
didukung dengan ukuran kepastian dalam mengidentifikasi penyakit pertusis pada
anak yang mana nantinya bisa diakses secara online (4).
Pertusis merupakan penyakit yang masih ada dan berkembang pada 6 penyakit
th RHM, yang menjadikan anak di bawah usia enam bulan sebagai korban dengan
gejala penyakit yang parah. Penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan
laboratorium dihormati di kotamadya 6th RHM, diadakan pada waktu yang tepat
untuk semua kasus suspek batuk rejan dapat di rumah sakit atau unit kesehatan dasar
guna memenuhi alat epidemiologi dan surveilans penyakit. Studi tersebut
memungkinkan saham baru untuk diadopsi oleh 6th RHM sebagai cara untuk
mengkaji kerja melawan penyakit dalam fokus untuk tahun-tahun mendatang dan
mempertahankan cakupan vaksinasi yang tinggi, serta memiliki manfaat untuk
pendekatan baru terhadap sarana kesadaran dan pedoman bagi penduduk untuk
memerangi batuk rejan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama, terdapat
kekurangan yang serius dari organ administrasi kesehatan masyarakat untuk
mengumpulkan, mengolah, dan menampilkan informasi dari konsultasi klinis yang
dilakukan di fasilitas kesehatan (1).
DAFTAR PUSTAKA

1. Nobre JD, et al. Epidemiological profile of pertusis from 2008 to 2014 of 6th
regional management of health, state of paraíba, Brazil. International Archives
of Medicine. 2016; 9(45): 1-5.
2. Monita O, Finny FY, Yuniar L. Profil pasien pneumonia komunitas di bagian
anak RSUP dr. M. Djamil Padang Sumatera Barat. Jurnal Kesehatan Andalas
2015; 4(1): 218-226.
3. Sumiyati. Hubungan jenis kelamin dan status imunisasi DPT dengan pneumonia
pada bayi usia 0-12 bulan. Jurnal Kesehatan Metro Sai Wawai 2016; 8(2): 63-9.
4. Susilo H. Sistem pakar metode forward chaining dan certainty factor untuk
mengidentifikasi penyakit pertusis pada anak. Rang Teknik Journal. 2018; 1(2):
185-194.
5. World Health Organization. Pertussis vaccines: WHO position paper. Weekly
Epidemiological Record Relevé Épidémiologique Hebdomadaire. 2015; 90(35):
433-58.
6. Tjahjowargo S, Hatono G. Perbandingan efektivitas dan keamanan vaksin
pertusis aselular dan whole-cell. Sari Pediatri 2017; 18(5): 403-408.
7. Waluya SB, Zaidin A, Muhammad K. Pemodelan SIR untuk penyebaran
penyakit pertusis dengan vaksinasi pada populasi manusia konstan. Unnes
Journal of Mathematics. 2018; 7(1): 96-107.

Anda mungkin juga menyukai