Anda di halaman 1dari 28

PROPOSAL PENELITIAN

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DAN PETUGAS KESEHATAN DALAM


KEPATUHAN MINUN OBAT ANTI TUBERKULOSIS PADA PASIEN TB PARU DI RS
ABDUL WAHAB SJAHRANIE

Disusun Oleh:

Emel Mangkuraja Wanita

181148201029

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN DIRGAHAYU SAMARINDA

2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit tuberculosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis.
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA) (Kemenkes
RI, 2011). Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi, yang terutama menyerang
parenkim paru. Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai
organ tubuh lainnya termasuk meninges, ginjal, tulang, dan nodus limfe
(Smeltzer&Bare, 2002). Penyakit ini bila tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas
dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian. Meskipun jumlah kematian
akibat Tuberculosis menurun 22% antara tahun antara tahun 2000-2015, namun
tuberculosis masih menepati peringkat ke-10 penyebab kematian tertinggi didunia pada
tahun 2016. Oleh sebab itu hingga saat ini TBC masih menjadi prioritas utama di dunia
dan menjadi salah satu tujuan dalam SDGs (Sustainability Development Goals)
(Susenes, 2017).
Menurut Data World Health Organization (WHO) pada tahun 2013 menunjukkan
9 juta penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB Paru. Pada tahun 2014 mengalami
kenaikan menjadi 9,6 juta penduduk dunia terinfeksi kuman TB Paru. Pada tahun 2014,
jumlah kasus TB Paru terbanyak berada pada wilayah Afrika (37%), wilayah Asia
Tenggara (28%) dan wilayah Mediterania Timur (17%) (WHO, 2015) sedangkan data
World Health Organization, jumlah kasus baru tuberkulosis (TBC) pada tahun 2015
mencapai 10,4 juta jiwa, meningkat dari sebelumnya hanya 9,6 juta. Adapun jumlah
temuan TB Paru terbesar adalah di India sebanyak 2,8 kasus, diikuti Indonesia sebanyak
1,02 juta kasus dan Tiongkok sebanyak 918 ribu kasus. Pada tahun 2016 diketahui
terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC yang setara dengan 120 kasus per 100.000
penduduk. Lima negara dengan insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China,
Philipina dan Pakistan. Sementara itu jumlah kasus baru TB Paru di Indonesia sebanyak
420.994 kasus pada tahun 2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin,
jumlah kasus baru TB Paru tahun 2017 pada laki-laki sebesar 245.298 dan perempuan
sebesar 175.696 atau 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan.
Menurut Data rekam medik Rumah Sakit Abdul Wahab sjahranie didapatkan
jumlah pasien Tuberkulosis sebanyak 553 orang dari 33.241 pasien yang di rawat atau
sekitar 1,66% dari seluruh pasien pada tahun 2017.
Tuberculosis (TB) Paru akan menimbulkan dampak secara langsung bagi
penderita yaitu kelemahan fisik, batuk terus menerus, sesak napas, nyeri dada, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, keringat dimalam hari dan panas tinggi
sedangkan dampak bagi keluarga yaitu penderita TB Paru yang tidak diobati akan
menularkan kuman TB pada keluarganya, dan akan sangat sulit jika penderita TB tinggal
dalam satu rumah dengan banyak orang (Jurnal Ilmu Keperawatan).
Dalam konteks pengendalian tuberkulosis paru atau TB paru, kepatuhan terhadap
pengobatan dapat didefinisikan sebagai tingkat ketaatan pasien yang memiliki riwayat
pengambilan obat terapeutik terhadap resep pengobatan. Kepatuhan rata-rata pasien pada
pengobatan jangka panjang terhadap penyakit kronis di Negara maju hanya 50 %
sedangkan di Negara berkembang, jumlahnya jauh lebih rendah. Berdasarkan Global
Tuberculosis Control WHO Report 2007, Indonesia sebagai Negara yang sedang
berkembang, berada di peringkat ketiga jumlah kasus tuberkulosis tersebar di dunia
(528.000 kasus) setelah India dan Cina. Dalam laporan serupa tahun 2009, Indonesia
mengalami kemajuan menjadi peringkatan kelima (429.730 kasus) setelah India, Cina,
Afrika Selatan dan Nigeria.
Tingkat kepatuhan pemakaian obat TB paru sangatlah penting, karena bila
pengobatan tidak dilakukan secara teratur dan tidak sesuai dengan waktu yang telah di
tentukan maka akan dapat timbul kekebalan (resistence) kuman tuberkulosis terhadap
Obat Anti tuberkulosis (OAT) secara meluas atau disebut dengan Multi Drugs
Resistence (MDR). Keberhasilan pengobatan TB Paru sangat dipengaruhi akan
kepatuhan dalam berobat dan permasalahan kepatuhan pasien penyakit TB Paru banyak
dipengaruhi faktor. Faktor yang dapat memengaruhi tingkat kepatuhan seseorang untuk
meminum obat, yaitu: usia, pekerjaan, waktu luang, pengawasan, jenis obat, dosis obat,
pengetahuan, sikap dan penyuluhan dari petugas kesehatan.
Keberhasilan pengobatan tuberkulosis tergantung pada pengetahuan pasien dan
dukungan dari keluarga. Tidak ada upaya dari diri sendiri atau motivasi dari keluarga
yang kurang memberikan dukungan untuk berobat secara tuntas akan memengaruhi
kepatuhan pasien untuk mengkonsumsi obat. Apabila ini dibiarkan, dampak yang akan
muncul jika penderita berhenti minum obat adalah munculnya kuman tuberkolosis yang
resisten terhadap obat, jika ini terus terjadi dan kuman tersebut terus menyebar
pengendalian obat tuberkulosis akan semakin sulit dilaksanakan dan meningkatnya
angka kematian terus bertambah akibat penyakit tuberculosis (Amin&Bahar, 2007).
Pengetahuan dan sikap menjadi faktor kepatuhan seseorang dalam minum obat.
Demikian pula ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah pengetahuan,
faktor komunikasi, fasilitas kesehatan, faktor penderita termasuk persepsi dan motivasi
individu. Meningkatnya pengetahuan dapat menimbulkan perubahan persepsi dan
kebiasaan seseorang. Pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih bertahan lama daripada yang tidak didasari oleh pengetahuan
(Pasek&Made, 2013).
Dukungan keluarga berpengaruh pada kepatuhan minum obat pada pasien
tuberkulosis dalam fase intensif. Kecenderungan penderita untuk bosan dan putus
berobat saat pengobatan karena sudah memakan waktu yang lama merupakan salah satu
faktor ketidakpatuhan itu sendiri. Dukungan keluarga merupakan bagian dari dukungan
sosial. Individu yang termasuk dalam memberikan dukungan sosial meliputi pasangan
(suami/istri), orang tua, anak dan sanak keluarga. Secara fungsional dukungan sosial
mencakup dukungan emosional dengan mendorong adanya ungkapan perasaan, memberi
nasihat atau informasi dan pemberi bantuan material.
Petugas kesehatan dapat memantau terjadinya efek samping dengan cara
mengajarkan kepada pasien unuk mengenal keluhan dan gejala umum efek samping serta
menganjurkan mereka segera melaporkan kondisinya kepada petugas kesehatan. Selain
daripada hal tersebut, petugas kesehatan harus selalu melakukan pemeriksaan dan aktif
menanyakan keluhan pasien pada saat mereka datang ke fasyankes untuk mengambil
obat. Seorang petugas kesehatan harus memberikan dorongan motivasi kepada penderita
tuberkulosis paru untuk teratur berobat (Kemenkes, 2014).
Ketidakpatuhan terhadap pengobatan akan mengakibatkan tingginya angka
kegagalan pengobatan penderita TB paru, sehingga akan meningkatkan resiko kesakitan,
kematian, dan menyebabkan semakin banyak ditemukan penderita TB paru dengan Basil
Tahan Asam (BTA) yang resisten dengan pengobatan standar. Pasien yang resisten
tersebut akan menjadi sumber penularan kuman yang resisten di masyarakat. Hal ini
tentunya akan mempersulit pemberantasan penyakit TB paru di Indonesia serta
memperberat beban pemerintah. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang hubungan dukungan keluarga dan petugas kesehatan dalam kepatuhan
minum obat anti tuberkulosis pada pasien TB paru di Rumah Sakit Abdul Wahab
sjahranie.

B. Rumusan Masalah Penelitian


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah apakah ada hubungan dukungan keluarga dan petugas kesehatan
dalam kepatuhan minum obat anti tuberkulosis pada pasien TB paru di Rumah Sakit
Abdul Wahab sjahranie.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dan petugas
kesehatan dalam kepatuhan minum obat anti tuberkulosis pada pasien TB paru di
Rumah Sakit Abdul Wahab sjahranie.

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui gambaran dukungan yang diberikan keluarga pada pasien TB paru.
b. Mengetahui gambaran dukungan yang diberikan petugas kesehatan pada pasien
TB paru.
c. Menggambarkan karakteristik keluarga penderita TB paru di wilayah kerja
Rumah Sakit Abdul Wahab sjahranie (umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan dan penghasilan).
d. Menganalisis tingkat pengetahuan pasien TB paru terkait kepatuhan dalam
minum OAT.
e. Mengidentifikasi pengetahuan pengobatan pasien TB paru di RS Abdul Wahab
Sjahranie.
f. Membuktikan hubungan dukungan keluarga dan dukungan petugas kesehatan
terkait kepatuhan minum obat anti tuberkulosis pada pasien TB paru di Rumah
Sakit Abdul Wahab sjahranie.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dan memperkaya wawasan dalam bidang kefarmasian, tenaga kesehatan
lainnya serta masyarakat umum untuk dijadikan sumber informasi terkait dengan
kepatuhan pasien TB paru dalam minum OAT.

2. Manfaat Praktis
a. Bagi Penulis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan
memperkaya wawasan dalam bidang kefarmasian, tenaga kesehatan lainnya serta
masyarakat umum untuk dijadikan sumber informasi terkait dengan kepatuhan
pasien TB paru dalam minum OAT.

b. Bagi Tempat Penelitian


Diharapkan proposal penelitian ini dapat menjadi referensi bacaan untuk melakukan
proposal penelitian terkait kepatuhan pasien TB Paru dalam minum OAT.

c. Bagi Perkembangan Ilmu Kefarmasian


Sebagai acuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang kepatuhan
pasien TB paru dalam minum OAT mengetahui gambaran dukungan yang
diberikan keluarga dan petugas kesehatan pada pasien TB paru.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
1. Kepatuhan
a. Pengertian Kepatuhan
Kepatuhan atau ketaatan (compliance/adherence) adalah tingkat pasien
melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau
orang lain (Smet, 1994).
Kepatuhan adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari
dokter yang mengobatinya (Caplan, 1997). Menurut Haynes (1997), kepatuhan
secara sederhana adalah sebagai perluasan perilaku individu yang berhubungan
dengan minum obat, mengikuti diet dan merubah gaya hidup yang sesuai dengan
petunjuk medis.
Kepatuhan pasien sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan
yang diberikan oleh professional kesehatan (Niven, 2002). Sedangkan menurut
Gabit (1999), kepatuhan atau ketaatan terhadap pengobatan medis adalah suatu
kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang telah ditentukan.
Penderita yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan pengobatan
secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan
9 bulan. Penderita dikatakan lalai jika tidak datang lebih dari 3 hari sampai 2
bulan dari tanggal perjanjian dan dikatakan drop out jika lebih dari 2 bulan
berturutturut tidak datang berobat setelah dikunjungi petugas kesehatan
(Kemenkes, 2011).
Kebanyakan ketidakteraturan minum obat pada pasien TB terjadi antara
bulan kedua dan ketiga masa pengobatan, hal ini bertepatan dengan perbaikan
kondisi klinis pada awal pengobatan (Gupta et.al., 2011). Penderita dikatakan
tidak teratur jika penderita pernah terlambat/lalai mengambil obat atau minum
obat lebih dari 2 hari pada masa pengobatan intensif dan lebih dari 1 minggu
pada masa fase lanjutan serta tidak melakukan pemeriksaan sputum ulang pada
akhir bulan ke-2 dan ke-5 (Simamoro, 2004).
b. Pengaruh Jangka Panjang Pengobatan
Menurut Cuneo&Snider (1999), pengobatan yang memerlukan jangka
waktu yang panjang akan memberikan pengaruh-pengaruh pada penderita
seperti:
a) Merupakan suatu tekanan psikologis bagi seorang penderita tanpa keluhan
atau gejala penyakit saat dinyatakan sakit dan harus menjalani pengobatan
sekian lama.
b) Bagi penderita dengan keluhan atau gejala penyakit setelah menjalani
pengobatan 1-2 bulan atau lebih, keluhan akan segera berkurang atau hilang
sama sekali penderita akan merasa sembuh dan malas untuk menerus kan
pengobatan kembali.
c) Datang ke tempat pengobatan selain waktu yang tersisa juga menurunkan
motivasi yang akan semakin menurun dengan lamanya waktu pengobatan.
d) Pengobatan yang lama merupakan beban dilihat dari segi biaya yang harus
dikeluarkan.
e) Efek samping obat walaupun ringan tetap akan memberikan rasa tidak
nyaman terhadap penderita.
f) Sukar untuk menyadarkan penderita untuk terus minum obat selama jangka
waktu yang ditentukan.

Karena jangka waktu yang ditetapkan lama maka terdapat beberapa


kemungkinan pola kepatuhan penderita yaitu penderita berobat teratur dan
memakai obat secara teratur, penderita tidak berobat secara teratur (defaulting)
atau penderita sama sekali tidak patuh dalam pengobatan yaitu putus berobat atau
droup out (Depkes RI, 2006). Oleh karena itu menurut Cramer (2001), kepatuhan
penderita dapat dibedakan menjadi:

1) Kepatuhan penuh (Total compliance)


Pada keadaan ini penderita tidak hanya berobat secara teratur sesuai batas
waktu yang ditetapkan melainkan juga patuh memakai obat secara teratur
sesuai petunjuk.
2) Penderita yang sama sekali tidak patuh (Non compliance)
Penderita yang putus berobat atau tidak menggunakan obat sama sekali.

c. Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan


Faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan menurut Niven (2002),
adalah:
1. Faktor penderita atau individu
a) Sikap atau motivasi individu ingin sembuh Motivasi atau sikap yang
paling kuat adalah dalam diri individu sendiri. Motivasi individu ingin
tetap mempertahankan kesehatannya sangat berpengaruh terhadap faktor-
faktor yang berhubungan dengan perilaku penderita dalam kontrol
penyakitnya.
b) Keyakinan (persepsi)
Kepercayaan merupakan keyakinan tentang kebenaran teradap sesuatu
yang dirasakan pada budaya yang ada pada masyarakat tersebut.
Sehingga bila dalam masyarakat mempunyai kepercayaan yang salah
tentang sesuatu dapat menghambat perubahan perilaku.
2. Dukungan keluarga
Dukungan keluarga diartikan sebagai informasi verbal atau non verbal, saran,
bantuan nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang yang akrab
dengan subjek di dalam lingkungannya atau yang berupa kehadiran dan hal-
hal yang dapat memberi keuntungan emosional dan berpengaruh pada
tingkah laku penerimanya. Dukungan keluarga mengacu pada dukungan
sosial yang dipandang anggota sebagai suatu yang dapat diakses atau
diadakan untuk keluarga. Dukungan sosial bisa atau tidak digunakan, tapi
anggota memandang bahwa orang yang mendukung selalu siap memberikan
bantuan jika diperlukan (Friedman, 2002).
3. Dukungan petugas kesehatan
Dukungan petugas kesehatan merupakan faktor lain yang dapat
mempengaruhi perilaku kepatuhan. Dukungan mereka terutama berguna saat
pasien menghadapi bahwa perilaku sehat yang baru tersebut merupakan hal
penting. Begitu juga mereka dapat mempengaruhi perilaku pasien dengan
cara menyampaikan antusias mereka terhadap tindakan tertentu dari pasien,
dan secara terus menerus memberikan penghargaan yang positif bagi pasien
yang telah mampu beradaptasi dengan program pengobatannya.

2. Dukungan Keluarga
a. Pengertian
Dukungan keluarga merupakan bantuan yang dapat diberikan kepada
keluarga lain berupa barang, jasa, informasi dan nasehat, yang mana membuat
penerima dukungan akan merasa disayangi, dihargai, dan tentram (Taylor, 2006).
Dukungan keluarga sangat dibutuhkan dalam menentukan kepatuhan
pengobatan, jika dukungan kluarga diberikan pada pasien TB Paru maka akan
memotivasi pasien tersebut untuk patuh dalam pengobatannya dan meminum obat
yang telah diberikan oleh petugas keschatan. Sejumlah orang lain yang potensial
memberikan dukungan tersebut disebut sebagai significant other, misalnya
sebagai seorang istri significant other nya adalah suami, anak, orang tua, mertua,
dan saudara-saudara.
Friedman (1998), berpendapat orang yang hidup dalam lingkungan yang
bersifat suportif, kondisinya jauh lebih baik dari pada mereka yang tidak memiliki
lingkungan suportif. Dalam hal ini, penting sekali bagi pasien TB Paru untuk
berada dalam lingkungan keluarga yang mendukung kesehatannya, sehingga
pasien TB Paru akan selalu terpantau kesehatannya. Dukungan keluarga mengacu
kepada dukungan-dukungan yang dipandang oleh anggota keluarga sebagai suatu
yang dapat diakses/diadakan untuk keluarga (dukungan bisa digunakan atau tidak
digunakan, tapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat
mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan).

b. Sumber Dukungan
Sumber dukungan keluarga dapat berupa:
1. Dukungan keluarga internal, seperti dukungan dari suami (memberikan
kepedulian, cinta dan memberikan kenyamanan), orang tua, mertua dan
dukungan dari keluarga kandung.
2. Dukungan keluarga eksternal, yaitu dukungan keluarga eksternal bagi
keluarga inti (dalam jaringan kerja sosial keluarga).

c. Jenis Dukungan
Menurut Friedman (1998), dan Bomar (2004), menjelaskan 4 jenis
dukungan keluarga, yaitu:
1. Dukungan emosional: yaitu mengkomunikasikan cinta, peduli, percaya pada
anggota keluarganya (pasien TBC). Keluarga sebagai sebuah tempat yang
aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan
terhadap emosi. Jenis dukungan ini dilakukan melibatkan ekspresi rasa
empati, peduli terhadap seseorang sehingga memberikan perasaan nyaman,
membuat individu merasa lebih baik. Individu memperoleh kembali
keyakinan diri, merasa dimiliki serta merasa dicintai pada saat mengalami
stres. Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh social support jenis ini
akan merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang
menyenangkan pada dirinya.
2. Dukungan instrumental: yaitu membantu orang secara langsung mencakup
memberi uang dan tugas rumah. Dukungan instrumental ini mengacu pada
penyediaan barang, atau jasa yang dapat digunakan untuk memecahkan
masalah-masalah praktis. Taylor (2006) menyatakan pemberian dukungan
instrumental meliputi penyediaan pertolongan finansial maupun penyediaan
barang dan jasa lainnya. Jenis dukungan ini relevan untuk kalangan ekonomi
rendah. Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit.
diantaranya kesehatan pasien TBC dalam hal ketaatan pasien TBC dalam
berobat dengan membantu biaya berobat, istirahat, serta terhindarnya pasien
TBC dari kelelahan.
3. Dukungan informasi: Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah memberikan
nasehat, usulan, saran, petunjuk, dan pemberian informasi. Keluarga berfungsi
sebagai sebuah kolektor dan diseminator (penyebar) infomasi tentang dunia.
Menjelaskan tentang pemberian saran, sugesti, informasi yang dapat
digunakan untuk mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini
adalah dapat menckan munculnya suatu stressor karena informasi yang
diberikan dapat menyumban gkan aksi sugesti yang khusus pada individu.
Keluarga menceritakan cara menolong agar dapat mendefinisikan suatu
informasi untuk mengetahui hal-hal untuk orang lain. Diantaranya
memberikan nasehat terkait pentingnya pengobatan yang sedang dijalani dan
akibat dari tidak patuh dalam minum obat.
4. Dukungan penghargaan: jenis dukungan ini terjadi lewat ungkapan
penghargaan yang positif untuk individu, dorongan maju atau persetujuan
dengan gagasan atau perasaan individu lain. Dalam hal ini keluarga bertindak
sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi
perpecahan masalah dan sebagai sumber dan validator identitas keluarga.
Membantu orang belajar tentang dirinya sendiri dan menjadi seseorang pada
situasi yang sama atau pengalaman yang serupa, mirip dalam berbagai cara
penting atau membuat perasaan dirinya didukung oleh karena berbagai
gagasan dan perasaan.

d. Manfaat Dukungan Keluarga


Dukungan social keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang
masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan social berbeda-beda dalam berbagai
tahap-tahap siklus kehidupan. Namun demikian, dalam semua tahap siklus
kehidupan, dukungan sosial keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan
berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan
dan adaptasi keluarga (Friedman, 1998).
Wills (1985) dan Friedman (1998) menyimpulkan bahwa baik efek-efek
penyangga (dukungan sosial menahan efek-efek negatif dari stres terhadap
kesehatan) dan efek-efek utama (dukungan sosial secara langsung mempengaruhi
akibat-akibat dari kesehatan) pun ditemukan. Sesungguhnya efek-efek penyangga
dan utama dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan boleh jadi
berfungsi bersamaan.
Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti
berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit
(Ryan, Austin, & Friedman, 1998).

e. Faktor yang Mempengaruhi Dukungan


Sarafino (2006), menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi apakah seseorang akan menerima dukungan atau tidak. Faktor-
faktor tersebut adalah :
1. Faktor dari penerima dukungan (recipient)
Seseorang tidak akan menerima dukungan dari orang lain jika tidak
suka bersosialisasi, tidak suka menolong orang lain, dan tidak ingin orang lain
tahu bahwa dia membutuhkan bantuan. Beberapa orang terkadang tidak cukup
asertif untuk memahami bahwa dia sebenarnya membutuhkan bantuan dari
orang lain, atau merasa bahwa dia seharusnya mandiri dan tidak mengganggu
orang lain, atau merasa tidak nyaman saat orang lain menolongnya, dan tidak
tahu kepada siapa dia harus meminta pertolongan.
2. Faktor dari pemberi dukungan (providers)
Seseorang terkadang tidak memberikan dukungan kepada orang lain
ketika ia sendiri tidak memiliki sumberdaya untuk menolong orang lain, atau
tengah menghadapi stress, harus menolong dirinya sendiri, atau kurang
sensitif terhadap sekitarnya sehingga tidak menyadari bahwa orang lain
membutuhkan dukungan darinya.

3. Dukungan petugas Kesehatan


Peran petugas kesehatan adalah suatu sistem pendukung bagi pasien dengan
memberikan bantuan berupa informasi atau nasehat, bantuan nyata, atau tindakan
yang mempunyai manfaat emosional atau berpengaruh pada perilaku penerimanya
(Depkes, 2002).
Dukungan emosional sehingga merasa nyaman,merasa diperhatikan, empati,
merasa diterima dan ada kepedulian. Dukungan kognitif dimana pasien memperoleh
informasi, petunjuk, saran atau nasehat. Interaksi petugas kesehatan dengan penderita
TB terjadi di beberapa titik pelayanan yaitu poliklinik, laboratorium, tempat
pengambilan obat dan pada waktu kunjungan rumah. Peranan petugas kesehatan
dalam penyuluhan tentang TB perlu dilakukan, karena masalah tuberkulosis banyak
berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan
adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan peran serta masyarakat dalam
penanggulangan penyakit tuberkulosis (Depkes, 2002).
Penyuluhan tuberkulosis dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan
penting secara langsung ataupun menggunakan media. Peranan petugas kesehatan
dalam melayani pasien TB paru diharapkan dapat membangun hubungan yang baik
dengan pasien. Unsur kinerja petugas kesehatan mempunyai pengaruh terhadap
kualitas pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan kesehatan terhadap pasien TB paru
yang secara langsung atau tidak langsung akan berpengaruh terhadap keteraturan
berobat pasien yang pada akhirnya juga menentukan hasil pengobatan (Pare, 2012).
Menurut Niven (2002) dan Ulfah (2013), dukungan petugas kesehatan
merupakan faktor lain yang mempengarhui perilaku kepatuhan. Dukungan mereka
terutama berguna saat pasien menghadapi bahwa perilaku sehat yang baru tersebut
merupakan hal penting. Begitu juga mereka dapat mempengaruhi perilaku pasien
dengan cara menyampaikan antusias mereka terhadap tindakan tertentu dari pasien,
dan secara terus menerus, memberikan penghargaan yang positif bagi pasien yang
telah mampu berapdatasi dengan program pengobatannya.

4. Konsep Tuberculosis (TBC)


a. Definisi
Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium Tuberculosis) sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lain. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai
sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pewarnaan, oleh karena itu disebut pula
Basil Tahan Asam atau BTA (Depkes RI, 2006).

b. Etiologi atau Penyebab


Penyebab Tuberculosis adalah kuman Mycobacterium Tuberculosis.
Kuman tersebut merupakan kelompok bakteri gram positif, berbentuk batang
dengan ukuran panjang 1-4 μ dan tebal 0,3-0,6 μ. Sebagian besar kuman terdiri
atas lemak (lipid). Lipid inilah yang membuat kuman tersebut tahan terhadap
gangguan kimia dan fisik. Oleh karena itu, disebut pula sebagai Basil Tahan
Asam (BTA). Kuman tersebut dapat tahan hidup pada udara kering maupun
dalam keadaan dingin (dapat bertahun-tahun dalam lemari es), hal ini terjadi
karena kuman berada dalam sifat dormant. Kuman yang bersifat dormant dapat
bangkit kemabli menjadikan tuberculosis aktif lagi (Somantri, 2007).
Kuman hidup di dalam jaringan sebagai parasit intraseluler yakni dalam
sitoplasma makrofag. Sifat lain kuman tersebut adalah aerob. Sifat ini
menunjukkan bahwa kuman lebih menyayangi jaringan yang tinggi kandungan
oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apical paru-paru lebih
tinggi dari pada bagian lain, sehingga bagian apical ini merupakan tempat
predileksi penyakit Tuberculosis (Depkes RI, 2006).

c. Komplikasi Tuberculosis (TBC)


Menurut Nisa (2007), komplikasi yang sering terjadi pada penderita
stadium lanjut adalah sebagai berikut:
1. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan
napas.
2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.
3. Bronkietasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau retraktif) pada paru.
4. Pneumothorak (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan, kolaps spontan
karena kerusakan jaringan paru.
5. Penyebaran infeksi ke organ lain.
6. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).

d. Cara Penularan Tuberculosis (TBC)


Mycobacterium tuberculosis ditularkan dari orang ke orang melalui jalan
pernapasan, pada waktu batuk atau bersin. Setiap kali orang yang menderita TB
Paru batuk, maka akan mengeluarkan 3000 droplet infektif (memiliki kemampuan
menginfeksi). Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2
jam, bahkan dapat bertahan berharihari hingga berbulan-bulan tergantung pada
ada atau tidaknya sinat ultra violet. Setelah kuman tuberculosis masuk ke dalam
tubuh manusia melalui pernapasan, kuman tuberculosis tersebut dapat menyebar
ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe,
saluran pernapasan atau menyebar langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman
yang ditularkan dari parunya, makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan
dahak, makin menular penderita tersebut. Hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak
terlihat kuman) maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan
seseorang terinfeksi tuberculosis ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara
dan lamanya menghirup udara tersebut. Kemungkinan seseorang menjadi
penderita tuberculosis adalah daya tahan tubuh yang rendah (Budianto, 2003).
Tidak semua pasien TB Paru akan menularkan penyakitnya, pasien TB
Paru yang dapat menularkan penyakitnya ke orang lain adalah sesorang pasien
yang pada pemeriksaan dahak secara mikroskopik ditemukan BTA sekurang-
kurangnya 2 kali dari 3 kali pemeriksaan atau disebut BTA positif. Seorang
pasien TB yang pada pemeriksaan dahak secara mikroskopik 3 kali tidak
ditemukan BTA tetapi pada pemeriksaan radiologi ditemukan kelainan yang
mengarah pada TB aktif maka disebut BTA Negatif, BTA Negatif yang telah
diobati selama 2 minggu kecil kemungkinannya menularkan penyakitnya ke
orang lain. BTA Negatif diperkirakan akan menjadi BTA Positif dalam jangka
waktu 2 tahun bila tidak diobati (Depkes RI, 2007).

e. Perjalanan Tuberculosis (TBC)


1. Tuberculosis Primer (infeksi primer)
Tuberculosis primer terjadi pada individu yang tidak mempunyai imunitas
sebelumnya terhadap Mycobacterium Tuberculosis. Penularan TB Paru terjadi
karena kuman pada saat batuk atau bersin keluar menjadi droplet nuclei dalam
udara. Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
kuman tuberculosis (Irman, 2007). Infeksi dimulai saat kuman tuberculosis
berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru yang
mengakibatkan terjadinya infeksi sampai pembentukan komplek primer
adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya
perubahan reaksi tuberculin dari negatif menjadi positif (Nisa, 2007). Menurut
Soeparmnan (2005), komplek primer ini selanjutnya dapat berkembang
menjadi beberapa bagian:
a. Sembuh sama sekali tanpa menimbulkan cacat.
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas tanpa garis-garis fibcortic;
klasifikasi di hilus atau sarang.
c. Berkomplkasi dan menyebar secara:
(1) Perkontinuiatum yakni dengan menyebar ke sekitarnya.
(2) Secara bronkogen ke paru sebelahnya, kuman tertelan bersama sputum
dan ludah sehingga menyebar ke usus.
(3) Secara limfogen ke organ tubuh lainnya.
(4) Secara hematogen ke organ tubuh lainnya.
2. Tuberculosis Pasca Primer
Tuberculosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau
tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun
akibat infeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberculosis
pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau
efusi pleura (Nisa, 2007).

f. Gejala dan Diagnosis Tuberculosis (TBC)


1. Gejala
Gejala utama pasien TB Paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, malaise (tidak enak badan), berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Nisa, 2007).
2. Diagnosis
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakan dengan
ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis selain tidak
memerlukan biaya mahal, cepat, mudah dilakukan dan akurat. Pemeriksaan
mikroskopik merupakan teknologi diagnostic yang paling sesuai karena
mengidentifikasikan derajat penularan. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif
apabila sedikitnya dua dari tiga specimen SPS (sewaktu-pagi-sewaktu) BTA
hasilnya positif (Depkes RI, 2006).

g. Faktor yang Mempengaruhi Tuberculosis (TBC)


1. Faktor internal
1) Infeksi primer
Infeksi primer terjadi seseorang terpapar pertama kali dengan
kuman TB paru. Droplet nuklei yang terhisap sangat kecil ukurannya
sehingga dapat menembus sistem pertahanan nukosiler bronkus kemudian
berjalan sampai alveolus terminalis dan menetap disana. Infeksi dimulai
saat membelah diri berkembang biak di paru-paru. Waktu terjadi infeksi
sampai pembentukan komplek primer adalah 4–6 minggu.
2) Nutrisi
Dalam keadan nutrisi yang baik, tubuh cukup mempunyai
kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi, jika
keadaan gizi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun yang
berarti kemampuan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun.
3) Imunisasi
Tujuan imunisasi dalam jangka pendek untuk mencegah atau
mengurangi kemungkinan seseorang terkena penyakit berbahaya yang
menular, sedangakn tujuan jangka panjang adalah membasmi penyakit
yang bersangkutan. Adapun imunisasi yang biasa diberikan adalah
imunisasi BCG (Bacillus Calmette Guerin) pada anak.
2. Faktor eksternal
1) Tingkat pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil “tahu” dan hal ini terjadi setelah manusia
mengadakan penginderaan terhadap obyek tertentu (Notoatmodjo, 2010).
2) Sosial ekonomi
Makin buruk keadaan sosial ekonomi masyarakat, sehingga makin
jelek nilai gizi dan hygiene lingkungan yang akan menyebabkan
rendahnya daya tahan tubuh mereka, sehingga memudahkan menjadi sakit
seandainya mendapatkan penularan. Keadaan gizi yang jelek, selain
mempersulit penyembuhan juga memudahkan kambuhnya kembali TB
yang sudah reda.
3) Lingkungan
a. Pencemaran udara
Basil TB ditularkan melaui udara. Mycobacterium Tuberculosa
yang berjuta-juta banyaknya yang berasal dari dahak penderita
mengering, berterbangan dala debu-debu di udara, dalam kereta api,
bus umum, ruang bioskop dan tempat-tempat lain bekas penderita
berada. Basil TB yang melayang-layang di udara ini jika terhirup oleh
orang-orang dengan daya tahan tubuh rendah, maka akan menambah
jumlah penderita baru. Untuk mencegah penyebaran TB ini diharapkan
adanya kesadaran para penderita TB untuk tidak membuang dahak
sembarangan dan menerapkan etika batuk.
b. Rumah
Basil TB gemar bersarang di rumah dengan ventilasi buruk yang
menyebabkan sinar matahari yang masuk kedalam rumah kurang,
padahal sinar ultraviolet dapat membasmi kuman TB. Basil TB juga
gemar bersarang di pemukiman padat (crowded) seperti di daerah
kumuh dan kemah-kemah pengungsi, dalam masyarakat yang
hidupnya berdesak-desakan, tinggal di rumah yang sempit. Oleh
karena itu TB lebih banyak di daerah perkotaan daripada pedesaan.
Basil TB yang menyukai lingkungan kotor, yang kebersihan
lingkungannya buruk dan di tempat yang penghuninya mempunyai
perilaku yang buruk.

h. Klasifikasi Pasien Tuberculosis (TBC)


Pasien TB diklasifikasikan menurut:
a. Lokasi anatomi dan penyakit
1) Tuberkulosis paru
TB yang terjadi di parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai
TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
2) Tuberkulosis ekstra paru
TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya : pleura, kelenjar limfe,
abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang. Diagnosis
TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis.
b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
1) Pasien baru TB
Pasien yang belum pernah mendapat pengobatan TB sebelumnya atau
sudah pernah menelan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) namun kurang dari
1 bulan.
2) Pasien yang pernah diobati TB
Pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih.
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan
terakhir, yaitu:
1. Pasien kambuh: Pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan
sembuh dan kembali dinyatakan TB berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis ataupun klinis.
2. Pasien yang diobati kembali setelah gagal: Pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
3. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):
Pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan putus berobat
sebelumnya.
c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
1) Mono Resistan (TB MR) : resisten terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama.
2) Poli Resistan (TB PR) : resisten terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid dan Rifampisin.
3) Multi Drug Resistan (TB MDR) : resisten terhadap Isoniazid dan
Rifampisin secara bersamaan.
4) Extensive drug resistan (TB XDR) :TB MDR yang sekaligus juga resisten
terhadap OAT lini kedua.
5) Resisten Rifampisin (TB RR) : resisten terhadapa Rifampisin yang
terdeteksi dengan menggunakan metode tes cepat.
d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV
1) Pasien TB dengan HIV Positif
2) Pasien TB dengan HIV Negatif
3) Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui

i. Pencegahan Penularan Tuberculosis (TBC)


1. Pencegahan oleh penderita (Misnadiarly, 2006)
Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi penularan pada anggota keluarga
yang lain dan orang lain. Pencegahan penularan ini meliputi:
a) Menutup mulut waktu batuk, bersin dan tidak berbicara keras di depan
umum
b) Membuang dahak pada satu tempat khusus yang tertutup
c) Membuka jendela rumah atau ventilasi yang ada agar udara tidak lembab
dan pencahayaan yang baik untuk ruangan rumah
d) Berobat dan minum obat secara teratur
e) Menjalankan pola hidup sehat
f) Menggunakan alat – alat makan dan kamar tidur tersendiri yang terpisah
dari anggota keluarga yang lain
2. Pencegahan oleh masyarakat
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah agar tidak terjadi
penularan penyakit TBC adalah vaksinasi BCG terutama pada bayi maupun
keluarga pasien, di samping penyuluhan untuk perubahan sikap hidup dan
perbaikan lingkungan demi tercapainya masyarakat sehat.
3. Pencegahan oleh petugas kesehatan
Tindakan yang dapat dilakukan oleh petugas kesehatan adalah dengan
memberikan penyuluhan tentang penyakit TB antara lain meliputi gejala,
bahaya, penularan dan akibat yang ditimbulkannya, pengobatan. Penyuluhan
itu dapat dilakukan secara berkala melalui tatap muka, ceramah dan mass
media yang tersedia di wilayah tersebut tentang cara pencegahan TB paru.
Memberikan penyuluhan ini dapat dilakukan juga perorangan secara khusus
kepada penderita agar mau berobat rajin untuk mencegah penyebaran penyakit
kepada orang lain maupun keluarga agar tercipta rumah sehat sebagai upaya
mengurangi penyebaran penyakit.

j. Pengobatan Penyakit Tuberculosis (TBC)


1. Tujuan pengobatan (Depkes RI, 2014), adalah:
a) Menyembuhakan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas
hidup.
b) Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk
selanjutnya.
c) Mencegah terjadinya kekambuhan TB.
d) Menurunkan resiko penularan TB.
e) Mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat.
2. Tahapan Pengobatan
Pengobatan TB harus meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
dengan maksud:
a) Tahap awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap
ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman
yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian
kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien mendapat
pengobatan.Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus
diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan teratur dan
tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah
pengobatan selama 2 minggu pertama.
b) Tahap lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa kuman
yang maih ada dalam tubuh, khusunya kuman persiter sehingga pasien
dapat sembuh dan mencegah kekambuhan.

k. Pengobatan Tuberculosis (TBC)


Menurut Depkes RI (2006), penderita TBC harus diberikan Obat Anti
Tuberculosis (OAT) yang terdiri dari kombinasi beberapa obat, diantaranya
adalah sebagai berikut:
a. Isoniasid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman 90
populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat
efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolic aktif, yaitu kuman yang
sedang berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan
untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu dengan dosis 10 mg/kg BB.
b. Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi-dormant (persister) yang
tidak dapat dibunuh oleh INH. Dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk
pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu.
c. Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan
suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB.
d. Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan
untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama.
Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 g/hari, sedangkan untuk
umur 60 atau lebih diberikan 0,50 g/hari.
e. Etambutol (E)
Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg
BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis
30 mg/kg BB.

l. Efek Samping Obat


a. Efek samping ringan dari Obat Anti Tuberculosis (OAT):

Obat Efek Samping Penanganan

Rifampisin Tidak ada nafsu makan, Perlu penjelasan kepada


mual, sakit perut, warna penderita dan obat
kemerahan pada air seni diminum malam
(urine) sebelum tidur

pirasinamid Nyeri sendi Berikan aspirin

INH Kesemutan hingga rasa Berikan Vit B


terbakar di kaki (piridoxin) 100 mg per
hari

b. Efek samping ringan dari Obat Anti Tuberculosis (OAT):

Obat Efek Samping Penanganan

Strepomisin Tuli, gangguan Streptomisin dihentikan,


keseimbangan ganti dengan etambutol

Etambutol Gangguan penglihatan Hentikan etambutol

Rifampisin Purpura dan rejatan Hentikan rifampisin


(syok)

Semua jenis OAT Gatal dan kemerahan Diberi antihistamin


kulit

Hampir semua OAT Ikterus tanpa penyebab Hentikan semua OAT


lain, bingung dan sampai ikterus
muntah-muntah menghilang dan segera
lakukan tes fungsi hati

B. Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan gambaran dari struktur penelitian yang dijabarkan dalam
bentuk skema. Kerangka konsep ini terdiri dari variable bebas (independen) dan variable
terikat (dependen). Kerangka konsep dari penelitian ini adalah uraian dari hubungan
dukungan keluarga dan petugas kesehatan dalam kepatuhan minum obat anti
tuberkulosis pada pasien TB paru di Rumah Sakit Abdul Wahab sjahranie.

Variable Independen

Dukungan Keluarga dan Petugas Variable Dependen


Kesehatan:
Kepatuhan minum obat
- Dukungan emosional pada pasien Tuberculosis
- Dukungan penghargaan Paru
- Dukungan informasi
- Dukungan instrumental

Skema 2.1. Kerangka Konsep

Keterangan:

: Variabel yang diteliti


C. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan
penelitian. Menurut La Biondo-Wood dan Haber (1994) di dalam buku karangan
Nursalam (2011), hipotesis adalah suatu pernyataan asumsi tentang hubungan antara dua
atau lebih variabel yang diharapkan bisa menjawab suatu pertanyaan dalam penelitian.
Setiap hipotesis terdiri dari suatu unit atau bagian dari permasalahan. Pada penelitian ini
hipotesis yang di ambil adalah:
H1: Tidak ada hubungan dukungan keluarga dan petugas kesehatan dalam kepatuhan
minum obat anti tuberkulosis pada pasien TB paru di Rumah Sakit Abdul Wahab
sjahranie.
H2: Ada hubungan dukungan keluarga dan petugas kesehatan dalam kepatuhan minum
obat anti tuberkulosis pada pasien TB paru di Rumah Sakit Abdul Wahab sjahranie.
DAFTAR PUSTAKA

Widyastuti H. (2016). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Berobat

Pasien TB Paru di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Kota Pekalongan.

Skripsi, Semarang: Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang.

Rahmaniati,R, & Apriyani,N. (2018). Sosialisasi Pencegahan Penyakit TBC untuk

Masyarakat Flamboyant Bawah di Kota Palangkaraya. Jurnal Universitas

Muhammadiyah Palangkaraya. Vol 3 No 2 Maret.

Beauty A.L. (2016). Hubungan Antara Persepsi dan Dukungan Keluarga dengan

Kepatuhan Minum Obat Pasien Baru Tuberculosis Paru. Skripsi, Semarang:

Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang.

Dita P. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Tuberculosis Paru di Ruang Seruni

Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Skripsi,

Samarinda: Fakultas Keperawatan Poltekes Kemenkes Kalimantan Timur.

Sirait H, Sirait A, & Saragih L.F. (2020). Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan

Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberculosis Pada Pasien TB Paru di Puskesmas

Teladan Medan. Jurnal Riset Hesti Medan Akper Kesdam I/BB Medan. Vol 5

No 1 Juni.

Pameswari P, Halim A, & Yustika L. (2016). Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat Pada

Pasien Tuberculosis di Rumah Sakit Mayjen H.A.Thalib Kabupaten Kerinci.

Jurnal Sains&Klinis. Vol 2 No 2 Mei.

Afriani N.R.D. (2016). Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Pengobatan

Tuberculosis Paru di Rumah Sakit Paru Manguharjo Kota Madiun. Skripsi,


Madiun: Fakultas Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bhakti Husada

Mulia Madiun.

Indiyah (2018). Hubungan Motivasi dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita

Tuberculosis di Puskesmas Ngujung Kecamatan Maospati Kabupaten

Magetan . Skripsi, Jombang: Fakultas Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu

Kesehatan Insan Cendekia Medika Jombang.

Ulfah M. (2011). Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat Pada

Pasien Tuberculosis (TBC) di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Kota

Tangerang Selatan. Skripsi, Jakarta: Fakultas Kedokeran Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.

Anda mungkin juga menyukai