Anda di halaman 1dari 44

1

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit paru-paru yang dikenal dengan tuberkulosis paru adalah salah satu
penyakit yang ditakuti oleh masyarakat, karena penyakit ini masih terus mewabah
diseluruh dunia. Setiap tahunnya muncul penderita baru dan sekitar dua juta
penderita meninggal setiap tahun. Menurut Anggraeni dalam Yuliana et. al,
Penyakit tuberkulosis paru sangat cepat menyebar dan menginfeksi manusia
terutama bagi kelompok sosial ekonomi rendah dan kurang gizi. Kecepatan
penyebaran dan infeksi penyakit tuberkulosis paru sangat tinggi, maka tidak
berlebihan jika penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit yang mematikan
(Yuliana et. al, 2014).
Waktu pengobatan yang panjang dengan jenis obat lebih dari satu
menyebabkan penderita sering terancam putus berobat selama masa penyembuhan
dengan berbagai alasan, antara lain merasa sudah sehat atau karena faktor
ekonomi atau karena kurangnya dukungan keluarga. Akibatnya pola pengobatan
harus dimulai dari awal serta menghabiskan waktu berobat yang lebih lama.
Alasan ini menyebabkan situasi tuberkulosis di dunia semakin memburuk dengan
jumlah kasus yang terus meningkat serta banyak yang tidak berhasil disembuhkan
(Ariani et. al, 2015).
Dalam laporan WHO (World Health Organization) tahun 2013, diperkirakan
terdapat 8,6 juta kasus tuberkulosis pada tahun 2012 dimana 1,1 juta orang (13%)
diantaranya adalah pasien tuberkulosis dengan HIV (Human Immunodeficiency
Virus) positive dan terdapat 450.000 orang yang menderita TB-MDR

(Tuberkulosis Multi Drugs Resistant) dan 170.000 orang diantaranya meninggal


dunia. Meskipun kasus dan kematian karena tuberkulosis sebagian besar terjadi
pada pria, tetapi angka kesakitan dan kematian wanita akibat tuberkulosis juga
sangat tinggi. Diperkirakan terdapat 2,9 juta kasus pada tahun 2012 dengan
jumlah kematian mencapai 410.000 kasus termasuk diantaranya 160.000 orang
wanita dengan HIV-positive (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis,
2014).
Pada tahun 2014, secara global diperkirakan ada 9,6 juta kasus insiden
tuberkulosis (kisaran 9,1 juta-10 juta), setara 133 kasus per 100.000 penduduk
jumlah mutlak kasus insiden. Sebagian besar perkiraan jumlah kasus pada tahun
2014 terjadi di Asia (58%) dan Afrika (28%), proporsi yang lebih kecil kasus
terjadi di Mediterania Timur (8%), Eropa (3%), dan Amerika (3%). Enam Negara
yang menonjol memiliki jumlah kasus insidensi terbesar pada tahun 2014 adalah
India dengan 2.2000 kasus, Indonesia 1.000 kasus, China 930 kasus, Nigeria 570
kasus, Pakistan 500 kasus, dan Afrika Selatan dengan 450 kasus (Global
Tuberculosis Report, 2015).
Pada tahun 2014, di seluruh Indonesia kasus tuberkulosis lebih banyak terjadi
pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan kelompok umur 25-34 tahun
kasus tertinggi. Provinsi Sulawesi Utara dengan jumlah penduduk 2.382.941 jiwa
menempati urutan ke-8 dari 34 provinsi dengan jumlah kasus baru tuberkulosis
menurut jenis kelamin sebanyak 5.783 kasus tuberkulosis dengan jumlah laki-laki
3.555 kasus (61,47%) dan perempuan 2.228 kasus (38,53%). Dari jumlah kasus
yang ditemukan, ada sebanyak 5.226 kasus positive tuberkulosis dengan jumlah

laki-laki sebanyak 3.233 kasus (61,87%) dan perempuan 1.993 kasus (38,13%).
Jumlah kasus tuberkulosis menurut kelompok umur provinsi Sulawesi Utara, yang
tertinggi terdapat pada kelompok umur 45-54 tahun (19,90%) dengan jumlah lakilaki 652 jiwa dan perempuan 388 jiwa, diikuti umur 35-44 tahun (18,66%) dengan
jumlah laki-laki 591 jiwa dan perempuan 384 jiwa, umur 25-34 tahun (18,06%)
dengan jumlah laki-laki 579 jiwa dan perempuan 365 jiwa, umur 55-64 tahun
(17,60%) dengan jumlah laki-laki 591 jiwa dan perempuan 329 jiwa, umur 15-24
tahun (13,76%) dengan jumlah laki-laki 399 jiwa dan perempuan 320 jiwa, dan
umur 65 tahun (11,58%) dengan jumlah laki-laki 411 jiwa dan perempuan 194
jiwa, serta terendah umur 0-14 tahun (0,44%) dengan jumlah laki-laki 10 jiwa dan
perempuan 13 jiwa (Profil Kesehatan Indonesia, 2014).
Survey awal yang dilakukan penulis di Puskesmas Bahu kota Manado, pada
tahun 2015 tuberkulosis paru menempati urutan ke-11 penyakit umum yang
terbanyak dan pada tahun 2016 meningkat menempati urutan ke-9 penyakit umum
terbanyak. Sementara untuk penyakit menular, pada tahun 2016 tuberkulosis paru
sendiri menempati urutan pertama kasus tertinggi penyakit menular (Puskesmas
Bahu, 2016).
Pengobatan tuberkulosis paru dapat dilaksanakan secara tuntas diperlukan
kerjasama yang baik antara penderita tuberkulosis paru dan tenaga kesehatan,
sehingga tidak akan terjadi resistensi obat. Penanganan tuberkulosis paru setiap
lembaga kesehatan harus melakukan metode DOTS (Directly Observed Treatment
Shortcourse) atau observasi langsung untuk penanganan jangka pendek (Zahra B.
Siti, 2014).

Faktor-faktor yang masih mempengaruhi perilaku seseorang dalam menjalani


pengobatannya antara lain umur, pekerjaan, penghasilan, peran PMO (Pengawas
Menelan Obat), pelayanan kesehatan, dan dukungan sosial serta diskriminasi yang
diterima oleh pasien. Dukungan sosial yang utama berasal dari dukungan
keluarga, karena dukungan keluarga memegang peranan penting dalam kehidupan
penderita tuberkulosis berjuang untuk sembuh, berpikir ke depan, dan menjadikan
hidupnya lebih bermakna. Dukungan keluarga yang sangat menunjang
keberhasilan pengobatan seseorang itu seperti dengan selalu mengingatkan
penderita agar makan obat, pengertian yang dalam terhadap penderita yang sedang
sakit dan memberi semangat agar tetap rajin berobat (Novitasari et. al, 2014).
Motivasi adalah proses pengembangan dan pengarahan perilaku atau
kelompok, agar individu atau kelompok itu menghasilkan keluaran yang
diharapkan, sesuai dengan sasaran atau tujuan yang ingin dicapai organisasi.
Seperti contoh pasien tuberkulosis diberi dukungan dan motivasi untuk minum
obat sesuai dengan aturan, dengan harapan suatu saat tanpa dorongan bisa mandiri
dan minum obat secara teratur (Sumanto, 2014).
Penelitian sebelumnya oleh Zahra B. Siti menunjukkan bahwa motivasi
penderita TB Paru berobat ulang ke Balai Kesehatan Paru Masyarakat wilayah
Semarang dalam kategori kurang baik yaitu sebanyak 35 orang (42,7%).
Responden mempunyai motivasi berobat ulang kurang baik dimana kurangnya
dukungan keluarga menyebabkan kurang bersemangat berobat ulang. Mereka
berobat ulang jika dukungan keluarga menumbuhkan rasa tanggung jawab
terhadap kesehatan atau dipaksa oleh orang tua bahkan pengalaman teman yang

menderita TB tidak dapat mendorong untuk rajin berobat ulang. Kurangnya


motivasi penderita TB Paru berobat ulang ke Balai Kesehatan Paru Masyarakat
wilayah Semarang salah satunya disebabkan oleh sikap negatif dari anggota
keluarga (Zahra B. Siti, 2014).
Berdasarkan data dari survey awal yang dilakukan penulis pada 9 Februari
2016 di Puskesmas Bahu kota Manado terdapat 123 pasien yang terdiagnosis TB
paru (1,09% ) dari bulan Juni 2015-Januari 2016. Bulan Juni sebanyak 7 pasien
(0,06%), bulan Juli sebanyak 17 pasien (0,15%), bulan Agustus 5 pasien (0,04%),
bulan September 17 pasien (0,15%), bulan Oktober sebanyak 29 pasien (0,25%),
bulan November 19 pasien (0,16%), bulan Desember sebanyak 13 pasien (0,11%),
dan bulan Januari sebanyak 16 Pasien (0,14%). Dari 123 pasien yang ada, hanya
sekitar 51 pasien (41,46%) yang rutin berobat atau teratur melakukan pengobatan
dan sebanyak 72 pasien (58,53%) tidak teratur melakukan pengobatan ke
Puskesmas Bahu kota Manado.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk meneliti mengenai
Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Motivasi Keteraturan Konsumsi Obat
Pasien TB (Tuberkulosis) Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Bahu, Kota Manado.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut: apakah ada hubungan dukungan keluarga dengan motivasi
keteraturan konsumsi obat pasien tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas
Bahu Kota Manado ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga


dengan motivasi keteraturan konsumsi obat pasien tuberkulosis paru di
wilayah kerja Puskesmas Bahu kota Manado.
2. Tujuan Khusus
a. Menentukan dukungan keluarga pasien tuberkulosis paru di wilayah kerja
Puskesmas Bahu, Kota Manado.
b. Menentukan motivasi keteraturan konsumsi obat pasien tuberkulosis paru
di wilayah kerja Puskesmas Bahu, kota Manado.
c. Menguraikan hubungan dukungan keluarga dengan motivasi keteraturan
konsumsi obat pasien tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Bahu,
kota Manado.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Puskesmas
Sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan pelayanan serta
penyuluhan bagi pasien-pasien serta keluarga tentang dukungan keluarga
dengan motivasi keteraturan konsumsi obat pasien tuberkulosis paru.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai informasi dalam sub mata kuliah terkait dengan dukungan
keluarga dengan motivasi keteraturan konsumsi obat pasien tuberkulosis paru.
3. Bagi Penulis
Menambah wawasan dan pemahaman tentang hubungan dukungan
keluarga dengan motivasi keteraturan konsumsi obat pasien tuberkulosis paru.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Konsep Keluarga
1. Pengertian Keluarga
Keluarga adalah tinggal bersama di bawah satu atap atau antara satu
anggota dengan yang lain memiliki tempat tinggal berbeda karena sesuatu
urusan tertentu (misalnya urusan pekerjaan) akan tetapi untuk sementara
waktu (Dion & Betan, 2013).

Sedangkan menurut Harmoko (2012), keluarga adalah perkumpulan dua


atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi,
dan tiap-tiap anggota keluarga selalu berinteraksi satu sama lain.
B. Konsep Dukungan Keluarga
1. Pengertian Dukungan Keluarga
Friedman (1998) dalam Murniasih menyatakan dukungan keluarga adalah
sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggotanya. Anggota
keluarga dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam lingkungan
keluarga. Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat
mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan.
2. Bentuk Dukungan Keluarga
Keluarga memiliki beberapa bentuk dukungan (Friedman, 2010) yaitu:
a. Dukungan Penilaian
Dukungan ini meliputi pertolongan pada individu untuk memahami
kejadian depresi dengan baik dan juga sumber depresi dan strategi koping
yang dapat digunakan dalam menghadapi stressor. Dukungan ini juga
merupakan dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian yang positif
terhadap individu. Individu mempunyai seseorang yang dapat diajak
bicara tentang masalah mereka, terjadi melalui ekspresi pengaharapan
positif individu kepada individu lain, penyemangat, persetujuan terhadap
ide-ide atau perasaan seseorang dan perbandingan positif seseorang
dengan orang lain, misalnya orang yang kurang mampu. Dukungan
keluarga dapat membantu meningkatkan strategi koping individu dengan
strategi-strategi alternatif berdasarkan pengalaman yang berfokus pada
aspek-aspek yang positif.
b. Dukungan Instrumental

Dukungan ini meliputi penyediaan dukungan jasmaniah seperti


pelayanan, bantuan finansial dan material berupa bantuan nyata
(instrumental support material support), suatu kondisi dimana benda atau
jasa akan membantu memecahkan masalah praktis, termasuk di dalamnya
bantuan langsung, seperti saat seseorang memberi atau meminjamkan
uang,

membantu

pekerjaan

sehari-hari,

menyampaikan

pesan,

menyediakan transportasi, menjaga dan merawat saat sakit ataupun


mengalami depresi yang dapat membantu memecahkan masalah.
Dukungan nyata paling efektif bila dihargai oleh individu dan mengurangi
depresi individu. Pada dukungan nyata keluarga sebagai sumber untuk
mencapai tujuan praktis dan tujuan nyata.
c. Dukungan Informasional
Jenis dukungan ini meliputi jaringan komunikasi dan tanggung jawab
bersama, termasuk di dalamnya memberikan solusi dari masalah,
memberikan nasehat, pengarahan, saran, atau umpan balik tentang apa
yang dilakukan oleh seseorang. Keluarga dapat menyediakan informasi
dengan menyarankan tentang dokter, terapi yang baik bagi dirinya dan
tindakan spesifik bagi individu untuk melawan stresor. Individu yang
mengalami depresi dapat keluar dari masalahnya dan memecahkan
masalahnya dengan dukungan dari keluarga dengan menyediakan feed
back. Pada dukungan informasi ini keluarga sebagai penghimpun
informasi dan pemberi informasi.
d. Dukungan Emosional
Selama depresi berlangsung, individu sering menderita secara
emosional, sedih, cemas dan kehilangan harga diri. Jika depresi

10

mengurangi perasaan seseorang akan hal yang dimiliki dan dicintai.


Dukungan emosional memberikan individu perasaan nyaman, merasa
dicintai saat mengalami depresi, bantuan dalam bentuk semangat, empati,
rasa percaya, perhatian sehingga individu yang menerimanya merasa
berharga. Pada dukungan emosional ini keluarga menyediakan tempat
istirahat dan memberikan semangat.
C. Motivasi
1. Pengertian Motivasi
a. Motivasi adalah sesuatu yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku
dalam mencapai suatu tujuan. Tiap-tiap orang mempunyai motivasi. Besar
kecilnya motivasi tergantung pada masing-masing orang (Saam Zulfan,
2013).
b. Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seorang anggota
organisasi mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan, dalam bentuk
keahlian atau ketrampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan
berbagai kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya dan menunaikan
kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran
organisasi yang telah ditentukan (Sumanto, 2014).
2. Dimensi- dimensi motivasi
Mengacu pendapat Kerlinger, Elasar dan Scott, Cut Zurnali
menyimpulkan bawah motivasi karyawan dipengaruhi oleh motif, harapan dan
insentif yang diinginkan. Komponen-komponen tersebut sering digunakan
dalam banyak penelitian dibidang manajemen, administrasi dan psikologi.
Berikut ini di berkan contoh penyusunan kajian pustaka komponen-komponen
motivasi (Sumanto, 2014)
a. Motif

11

Menurut Cut Zurnali (Sumanto, 2014), motif adalah faktor-faktor yang


menyebabkan individu bertingkah laku atau bersikap tertentu. Untuk
mengukur motif diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti
kebutuhan-kebutuhan apa yang dicoba dipuaskan oleh seseorang? Apa
yang menyebabkan mereka melakukan sesuatu pekerjaan atau aktivitas. Ini
berarti bahwa setiap individu mempunyai kebutuhan yang ada didalam
dirinya (inner needs) yang menyababkan mereka terdorong dan ditekan
untuk memenuhinya. Kebutuhan tertentu yang mereka rasakan akan
menentukan tindakan yang mereka lakukan.
Lebih lanjut Cut Zurnali mengutip pendapat Fremout E. Kast dan
James E. Rosenzweig (Sumanto, 2014) yang mendefinisikan motif adalah
suatu dorongan yang datang dari dalam diri seseorang untuk melakukan
atau sedikitnya adalah suatu kecenderungan menyumbangkan perbuatan
atau tingkah laku tertentu. William G Scott (Sumanto, 2014) menerangkan
bawah motif adalah kebutuhan yang belum terpuaskan yang mendorong
individu untuk mencapai tujuan tertentu. Secara lengkap menurut Scott:
Motive are unsatisfiied need which prompt an individual toward the
accomplishment of applicable goals. Berdasarkan uraian diatas dapat
dikatakan, motif adalah dorongan yang ada didalam diri seseorang untuk
melakukan perbuatan guna memenuhui kepuasannya yang belum
terpuaskan. Maslow membagi kebutuhan manusia dalam beberapa
hierarki, yakni kebutuhan kebutuhan fisik, keselamatan dan keamanan,
sosial, penghargaan atau prestise dan kebutuhan aktualisasi diri.
b. Harapan

12

Mengacu pada pendapat Victor Vroom, Cut Zurnali (Sumanto, 2014)


mengemukakan

bahwa

ekspektasi

adalah

adanya

kekuatan

dari

kecenderungan untuk bekerja secara benar atau tidak tergantung pada


kekuatan dari pengharapan bahwa kerja akan diikuti dengan pemberian
jaminan, fasilitas dan lingkungan atau outcom yang menarik. RL. Khan
dan NC Morce (Sumanto, 2014) secara singkat mengemukakan pendapat
mereka tentang harapan: Expectation is the probability that tha act will
obtain the goal. Jadi harapan adalah merupakan kemungkinan bahwa
dengan perbuatan akan mencapai tujuan. Arthur Levingson dalam buku
Vilfredo Pareto (Sumanto, 2014) menyatakan : The invidual is influenced,
in his action, by two major sources of role expectation the formal demands
made by the company as spelled out in the job, and the informal
expectation forces make behavioral demands on the individual attemps to
structure the social situation and the devine his place in it.
c. Insentif
Dalam kaitannya dengan insentif (incentive), Cut Zurnali mengacu
pada pendapat Robert Dubin (Sumanto, 2014) yang menyatakan bahwa
pada dasarnya incentive itu adalah peransang, menurut pendapat Dubin:
Incentive are the inducement placed the course of an going activities,
keeping activities toward directed one goal rather than another. Dengan
perkataan lain, insentif adalah perangsang yang menjadikan sebab
berlangsungnya kegiatan, memelihara kegiatan agar mengarah langsung
kepada satu tujuan yang lebih baik dari yang lain. Morris S. Viteles
(Sumanto,

2014)

merumuskan

insentif

sebagai

keadaan

yang

13

membangkitkan kekuatan dinamis individu, atau persiapan-persiapan dari


pada keadaan yang mengantarkan dengan harapan dapat memengaruhi
atau merubah sikap atau tingkah laku orang-orang. Maknanya bahwa
seseorang tidak banyak mengetahui tentang sesuatu hal, apabila nereka
tidak didorong untuk melakukan pekerjaan yang demikian itu, yaitu
apabila mereka tidak dibekali dengan insentif secara cukup. Jadi,
komponen-komponen motif, harapan dan insentif menjadi faktor penting
dalam membangun motivasi.
3. Macam-macam Motivasi
Menurut Saam Zulfan dan Sri Wahyuni dalam Psikologi Keperawatan
(2013) Ditinjau dari pihak yang menggerakkan motivasi digolongkan menjadi
2 golongan, yaitu:
a. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang telah berfungsi dengan sendirinya
yang berasal dari dalam diri orang tersebut tanpa adanya dorongan atau
rangsangan dari pihak luar.
Misalnya: seorang mahasiswa belajar dengan kesadaran sendiri tanpa
suruhan orang lain. Individu yang bersangkutan memperoleh kepuasan
dengan proses belajar itu sendiri.
b. Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang berfungsi karena adanya
dorongan dari pihak luar atau orang lain.
Misalnya: seseorang selalu diperhatikan dan disiapkan agar minum obat
secara teratur. Motivasi dari orang lain dapat dilakukan dengan harapan
pada suatu saat, orang yang bersangkutan tanpa dorongan orang lain sudah
bisa belajar atau minum obat secara teratur.
4. Teori-teori Motivasi

14

Ada beberapa teori tentang tingkah manusia, antara lain: hierarki


kebutuhan Maslow, teori motivasi dua faktor, teori motivasi berprestasi, dan
teori harapan Vroom.
a. Hieraki kebutuhan Maslow.
Menurut Maslow (Saam Zulfan, 2013), manusia bertingkah laku
karena adanya kebutuhan yang harus dipenuhi. Terpenuhinya suatu
kebutuhan menimbulkan kepuasan dan bila tidak terpenuhi kebutuhan
menimbulkan ketidakpuasan. Menurut Maslow kebutuhan manusia
tersusun secara hierarki atau bertingkat. Terpenuhinya suatu kebutuhan
pada jenjang tertentu menimbulkan adanya kebutuhan pada jenjang
berikutnya. Ada 5 kebutuhan manusia menurut Maslow, yaitu:

(1)

Kebutuhan fisiologis, (2) Kebutuhan keselamatan, (3) Kebutuhan kasih


sayang, (4) Kebutuhan harga diri, (5) Kebutuhan aktualisasi diri.
Kebutuhan pada point 1 sampai 4 merupakan kebutuhan pokok, hal itu
terjadi karena difisiensi atau kekurangan individu. Adapun kebutuhan ke-5
yaitu aktualisasi diri adalah untuk keperluan pengembangan diri.
Kebutuhan fisiologis, seperti kebutuhan makan, minum, seks, istirahat,
dan olahraga. Kebutuhan rasa aman meliputi rasa aman dari gangguan
binatang, rasa aman dari ancaman/teror dan kebutuhan tempat berlindung
serta kebutuhan keselamatan dalam bekerja atau perjalanan. Kebutuhan
yang sangat menonjol pada masa anak-anak adalah kebutuhan
perlindungan dan rasa aman. Kebutuhan ini diperoleh dari orang tua.
Kebutuhan kasih sayang dari keluarga, kebutuhan persahabatan, hubungan
dengan orang lain, dan kebutuhan kerja sama. Kebutuhan harga diri seperti
kebutuhan

kepercayaan

diri,

kemandirian,

prestasi,

kompetensi,

15

pengetahuan, aktualisasi diri misalnya realisasi potensi, kreativitas


penerimaan diri, penerimaan orang lain, dan pengembangan diri/karir.
Tidak seluruh orang dapat mencapai aktualisasi diri, karena kebutuhan ini
adalah kebutuhan yang paling puncak, seseorang hanya dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pada jenjang sebelum aktualisasi diri.
Gambar 2.1 Hierarki Kebutuhan Maslow
Ak
tu
ali
sa
si
Di
Kebutuhan
ri
Harga Diri
Kebutuhan Kasih
Sayang
Kebutuhan Keselamatan

Kebutuhan Fisiologis

(Sumanto, 2014)
b. Teori Kebutuhan untuk Berprestasi
Teori kebutuhan untuk berprestasi dipelopori oleh Mc Clelland.
Kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement) atau disingkat N.Ach
adalah daya mental manusia untuk melakukan suatu kegiatan yang lebih
baik dan mencapai hasil yang lebih baik pula, yang disebabkan oleh virus
mental. Virus mental adalah adanya suatu daya, kekuatan (power) dalam

16

diri orang tersebut sehingga ia mempunyai dorongan yang luar biasa untuk
melakukan suatu kegiatan untuk mencapai hasil yang lebih baik.
Motivasi berprestasi adalah ciri-ciri perilaku yang mengarah
pencapaian sukses, prestasi, atau kinerja yang lebih baikdaripada orang
lain dan mencoba menyelesaikan kegiatan tersebut secara unik. Kita
belajar menetapkan tujuan secara realistik untuk diri kita sendiri dan kita
lebih berinisiatif pada tugas-tugas. Mc Clelland mengatakan bahwa
motivasi berprestasi merupakan usaha atau perjuangan untuk mencapai
standar yang unggul (excellence). Ada tiga ciri-ciri perilaku orang yang
mempunyai motivasi berprestasi menurut Mc. Clelland yaitu: pertama,
orang yang mempunyai motivasi berprestasi menyukai tugas-tugas dengan
tingkat kesulitan sedang. Kedua, orang yang mempunyai motivasi
berprestasi menyenangi tugas-tugas yang hasilnya ditentukan oleh usaha,
bukan oleh nasib. Ketiga, orang yang mempunyai motivasi berprestasi
membutuhkan umpan balik dan pengetahuan yang lebih besar tentang
kesuksesan dan kegagalan daripada orang yang mempunyai motivasi yang
rendah.
c. Teori Motivasi Dua Faktor
Teori ini dipelopori oleh Frederick Herzberg. Ia mengatakan bahwa
ada dua kebutuhan yang memuaskan manusia yaitu kebutuhan yang
berkaitan dengan kepuasan kerja dan kebutuhan yang berkaitan dengan
ketidakpuasan kerja. Faktor-faktor yang memengaruhi kepuasan kerja
disebut motivator terdiri dari penghargaan, prestasi, tanggung jawab,
promosi, dan pengembangan diri. Jika aspek-aspek motivator tersebut
dianggap baik atau positif oleh karyawan, maka cenderung terjadi

17

kepuasan kerja. Sebaliknya, jika motivator tersebut tidak muncul dalam


kondisi dan suasana kerja maka terjadi ketidakpuasan karyawan.
Faktor-faktor yang berkaitan dengan ketidakpuasan disebut
pemeliharaan (maintenance) atau kesehatan (hygiene) kerja. Pemeliharaan
atau kesehatan kerja meliputi: gaji,kebijakan organisasi, keselamatan
kerja, kondisi kerja, pengawasan, administrasi serta hubungan antarpribadi
dalam lingkungan kerja.
Menurut teori dua factor ini, program untuk memotivasi pegawai
disebut motivasi melalui pekerjaan itu sendiri. Jadi, untuk menciptakan
kepuasan kerja pegawai harus diciptakan adalah motivator dan
pemeliharaan atau kesehatan kerja.
d. Teori Harapan Vroom
Teori harapan (Expectancy Theory) adalah orang akan termotivasi bila
adanya harapan akan hasil tertentu, harapan tersebut mempunyai nilai
positif bagi yang bersangkutan, dan hasil tersebut diperoleh melalui usaha
tertentu. Teori harapan dipelopori oleh Vroom Pace dan Faules (Zulfan
Saam, 2013) mengemukakan ada tiga asumsi dasar teori harapan, yaitu:
1) Setiap individu percaya bahwa ia berperilaku tertentu karena ada
harapan untuk memperoleh hasil tertentu. Hal ini disebut harapan hasil
(outcome expectancy). Contoh ada harapan memperoleh skor yang
bagus sehingga lulus ujian calon PNS. Jadi, harapan hasil adalah
keyakinan atau penilaian subjektif seseorang atas kemungkinan hasil
atas tingkah laku/kegiatan yang dilakukan.
2) Setiap hasil mempunyai daya Tarik tertentu bagi seseorang, yang
disebut dengan valensi (valence). Contoh valensi seperti gelar,

18

keterampilan, dan sertifikat. Daya tarik tersebut merupakan nilai yang


bersifat subjektif.
3) Setiap hasil berkaitan dengan persepsi mengenai seberapa besar usaha
untuk mencapai hasil tersebut. Hal ini disebut harapan usaha (effort
expectancy). Contoh: seseorang memersepsi jika menguasai 60%
materi kuliah tentu lulus dalam ujian. Ia menargetkan untuk menguasai
paling sedikit 75% bahan kuliah tersebut.
Empat teori yang disebutkan tadi mempunyai pandangan masingmasing tentang kebutuhan manusia yang menyebabkan ia bertingkah laku
tertentu. Maslow lebih menekankan pemuasan kebutuhan secara
berjenjang, Mc.Clelland lebih memfokuskan motivasi berprestasi, Hexberg
lebih menekankan pada motivator kerja dan pemeliharaan atau kesehatan
kerja, sedangkan Vroom lebih menekankan pada harapan, daya Tarik, dan
usaha dalam memenuhi suatu kebutuhan.
D. Konsep Dasar Penyakit Tuberkulosis Paru
1. Epidemiologi Tuberkulosis Paru
Pada tahun 2013, ada 11 juta kematian akibat tuberkulosis diantara orang
HIV-negative dan tambahan diperkirakan 360.000 kematian diantara orang
HIV-positive. Antara tahun 2000 dan 2013, diperkirakan 37 juta jiwa
diselamatkan oleh pencegahan, diagnosis, dan pengobatan intervensi. Juga
pada tahun 2013, 6,1 juta orang di diagnosis dengan tuberkulosis secara resmi
dilaporkan ke otoritas kesehatan masyarakat. Dari jumlah tersebut, 5,7 juta
adalah orang-orang yang baru di diagnosis, setara dengan sekitar 64% dari
perkiraan kasus insiden dan 400.000 orang sudah pada pengobatan (Millenium
Development Goals Report, 2015).

19

Angka MDR TB (Multi Drugs Resistant Tuberculosis) diperkirakan


sebesar 2% dari seluruh kasus tuberkulosis baru (lebih rendah dari estimasi di
tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus tuberkulosis dengan
pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR TB setiap
tahunnya (Amiruddin, 2012).
2. Pengertian
TBC paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim paruparu dan disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Sementara itu, Junaidi
menyebutkan tuberculosis (TB) sebagai suatu infeksi akibat Mycobacterium
tuberculosis yang dapat menyerang berbagai organ, terutama paru-paru
dengan gejala yang sangat bervariasi (Ardiansyah M, 2012).
3. Penyebab
Tuberculosis paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
basil Mycobacterium tuberculosis tipe humanus, sejenis kuman berbentuk
barang dengan panjang 1-4 mm dan tebal 0,3-0,6 mm. Struktur kuman ini
terdiri atas lipid (lemak) yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam,
serta dari berbagai gangguan kimia dan fisik. Kuman ini juga tahan berada di
udara kering dan keadaan dingin (misalnya di dalam lemari es) karena sifatnya
yang dormant, yaitu dapat bangkit kembali dan menjadi lebih aktif. Selain itu,
kuman ini juga bersifat aerob.
Tuberculosis paru merupakan infeksi pada saluran pernapasan yang vital.
Basil Mycobacterium masuk ke dalam jaringan paru melalui saluran napas
(droplet infection) sampai alveoli dan terjadilah infeksi primer (Ghon).
Kemudian, di kelenjar getah bening terjadilah primer kompleks yang disebut
tuberculosis primer. Dalam sebagian besar kasus, bagian yang terinfeksi ini
dapat

mengalami

penyembuhan.

Peradangan

terjadi

sebelum

tubuh

20

mempunyai kekebalan spesifik terhadap basil Mycobacterium pada usia 1-3


tahun. Sedangkan, post primer tuberculosis (reinfection) adalah peradangan
yang terjadi pada jaringan paru yang disebabkan oleh penularan ulang.
4. Tanda dan Gejala
a. Sistemik : malaise, anoreksia, berat badan menurun, dan keluar keringat
malam.
b. Akut : demam tinggi, seperti flu dan menggigil.
c. Milier : demam akut, sesak napas, dan sianosis (kulit kuning).
d. Respiratorik :batuk lama lebih dari dua minggu, sputum yang mukoid atau
mukopurulen, nyeri dada, batuk darah, dan gejala lain. Bila ada tandatanda penyebaran ke organ lain, seperti pleura, sesak napas, ataupun gejala
meningeal (nyeri kepala, kaku kuduk, dan lain sebagainya).
5. Klasifikasi TBC Paru
Tuberculosis pada manusia dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu
tuberculosis primer dan tuberculosis sekunder.
a. Tuberculosis Primer
Tuberculosis adalah infeksi bakteri TB dari penderita yang belum
mempunyai reaksi spesifik terhadap bakteri TB. Bila bakteri TB terhirup
dari udara melalui saluran pernapasan dan mencapai alveoli atau bagian
terminal saluran pernapasan, maka bakteri akan ditangkap dan
dihancurkan oleh makrofag yang berada di alveoli. Jika pada proses ini
bakteri ditangkap oleh makrofag yang lemah, maka bakteri akan
berkembang biak dalam tubuh makrofag yang lemah itu dan
menghancurkan makrofag. Dari proses ini, dihasilkan bahan kemotaksis
yang menarik monosit (makrofag) dari aliran darah dan membentuk
tuberkel. Sebelum menghancurkan bakteri, makrofag harus diaktifkan
terlebih dahulu oleh limfokin yang dihasilkan oleh limfosit T.

21

Tidak semua makrofag pada granula TB mempunyai fungsi yang sama.


Ada makrofag yang berfungsi pembunuh, mencerna bakteri, dan
merangsang limfosit. Beberapa makrofag menghasilkan protease elastase,
kolagenase, serta factor penstimulasi koloni untuk merangsang produksi
monosit dan granulosit pada sumsum tulang. Bakteri TB menyebar ke
saluran pernapasan melalui getah bening regional (hilus) dan membentuk
epitiolit granuloma. Granuloma mengalami nekrosis sentral sebagai akibat
dari timbulnya hipersensitifitas selular (delayed hipersensitifity ) terhadap
bakteri TB. Hal ini terjadi sekitar 2-4 minggu dan akan terlihat pada tes
tuberculin. Hipersensitifitas selular terlihat sebagai akumulasi local dari
lifosit dan makrofag.
Bakteri TB yang berada dalam alveoli akan membentuk focus local
(focus ghon), sedangkan focus inisial bersama-sama dengan limfa
denopati disebut juga TB primer. Focus primer paru biasanya bersifat
unilateral dengan subpleura terletak di atas atau bawah sifura interlobaris,
atau di bagian basal dari lobus inferior. Bakteri ini menyebar lebih lanjut
melalui saluran limfe atau aliran darah, dan tersangkut pada berbagai
organ. Jadi, TB primer merupakan infeksi yang bersifat sistematis.
b. Tuberculosis Sekunder
Telah terjadi resolusi dari infeksi primer; sejumlah kecil bakteri TB
masih dapat hidup dalam keadaan dorman di jaringan parut. Sebanyak
90% diantaranya tidak mengalami kekambuhan. Reaktifasi penyakit TB
(TB pascaprimer/TB sekunder) terjadi bila daya tahan tubuh menurun,
pencandu alcohol akut, silicosis, dan pada penderita diabetes mellitus serta
AIDS.

22

Berbeda dengan TB primer, pada TB sekunder, kelenjar limfe regional


dan organ lainnya jarang terkena, lesi lebih terbatas, dan terlokalisir.
Reaksi imunologis terjadi dengan adanya pembentukan granuloma, mirip
dengan yang terjadi pada TB primer. Tetapi, nekrosis jaringan lebih
mencolok dan menghasilkan lesi kaseosa (perkejuan) yang luas dan
disebut tuborkulema. Plotease yang dikeluarkan oleh makrofag aktif akan
menyebabkan pelunakan bahan kaseosar. Secara umum, dapat dikatakan
bahwa terbentuknya kafisatas dan manifestasi lainnya dari TB sekunder
adalah akibat dari reaksi nekrotik yang dikenal sebagai hipersensitivitas.
TB paru pascaprimer dapat disebabkan oleh infeksi lanjutan dari
sumber eksogen, terutama pada usia tua dengan riwayat masa muda pernah
terinfeksi bakteri TB. Biasanya, hal ini terjadi pada daerah artikel atau
segmen posterior lobus superior, 10-20 mm dari pleura dan segmen apikel
lobus interior. Hal ini mungkin disebabkan kadar oksigen yang tinggi,
sehingga menguntungkan untuk pertumbuhan penyakit TB.
Lesi sekunder berkaitan dengan kerusakan paru yang disebabkan oleh
produksi sitokin yang berlebihan. Kavitas kemudian diliputi oleh jaringan
fibrotic yang tebal dan berisi pembuluh darah vulmonal. Kavitas yang
kronis diliputi oleh jaringan fibrotic yang tebal. Masalah lainnya pada
kavitas kronis adalah kolonisasi jamur, seperti aspergilus yang
menumbuhkan micotema.
6. Patofisiologi
Port dientri kuman Mycobacterium tuberculosis adalah saluran
pernapasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan
infeksi terjadi melalui udara (air bone), yaitu melalui inhalasi droplet yang

23

mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang teinfeksi.Basil tuberkel yang


mencapai alveolus dan diinhalasi biasanya terdiri atas satu sampai tiga
gumpalan. Basil yang lebih besar cenderung bertahan di saluran hidung dan
cabang besar bronkus, sehingga tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada
dalam ruang alveolus, kuman akan mulai mengakibatkan peradangan.
Leukosit polimorfonuklear tampak memfagosit bakteri di tempat ini, namun
tidak membunuh organisme tersebut.
Sesudah hari pertama, maka leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang
terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut.
Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada
sisa yang tertinggal atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit
atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening
menuju getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi
lebih panjang dan sebagian bersatu, sehingga membentuk sel tuberkel epiteloit
yang dikelilingi oleh foist. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10-20
jam.
7. Komplikasi
a. Komplikasi Dini
1) Pleuritis
2) Efusi pleura
3) Empyema
4) Laryngitis, dan
5) TB usus.
b. Komplikasi Lanjut
1) Obstruksi jalan napas,
2) Kor pulmonale,
3) Amyloidosis,
4) Karsinoma paru, dan
5) Sindrom gagal napas.

24

8.

Pemeriksaan Diagnosis
a. Pemeriksaan Rontgen Toraks
Pada hasil pemeriksaan rontgen toraks, sering didapatkan adanya suatu
lesi sebelum ditemukan gejala subjektif awal. Sebelum pemeriksaan fisik,
dokter juga menemukan suatu kelainan padda paru. Pemeriksaan rontgen
toraks ini sangat berguna untuk mengevaluasi hasil pengobatan, di mana
hal ini bergantung pada tipe keterlibatan dan kerentanan bakteri tuberkel
terhadap

OAI

(apakah

sama

baiknya

dengan

respon

pasien?).

Penyembuhan total sering kali terjadi di beberapa area dan ini adalah
observasi yang dapat muncul pada sebuah proses penyembuhan yang
lengkap.
b. Pemeriksaan CT-scan
Pemeriksaan CT-scan dilakukan untuk menemukan hubungan kasus
TB inaktif/stabil yang ditunjukkan dengan adanya gambaran garis-garis
fibrotic ireguler, pita parenkimal, klasifikasi nodul dan adenopati,
perubahan kelengkungan berkas bronkhovaskular, bronkhiektasis, serta
emfisema perisikatrisial. Pemeriksaan CT-scan sangat bermanfaat untuk
mendeteksi adanya pembentukan kavitas dan lebih dapat diandalkan
daripada pemeriksaan rontgen toraks biasa.
c. Radiologis TB Paru Milier
TB milier akut diikuti oleh invasi pembuluh darah secara
massif/menyeluruh serta mengakibatkan penyakit akut yang berat dan
sering disertai akibat fatal sebelum penggunaan OAT. Hasil pemeriksaan
rontgen toraks bergantung pada ukuran dan jumlah tuberkel milier. Pada
beberapa pasien TB milier, tidak ada lesi yang terlihat pada hasil rontgen

25

toraks, tetapi ada beberapa kasus di mana bentuk milier klasik berkembang
seiring dengan perjalanan penyakitnya.
d. Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis terbaik dari penyakit TB diperoleh dengan pemeriksaan
mikrobiologi melalui isolasi bakteri. Untuk membedakan spesies
Mycobacterium yang satu dengan lainnya harus dilihat sifat koloni, waktu
pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai media, perbedaan kepekaan
terhadap OAT dan percobaan, serta perbedaan kepekaan kulit terhadap
berbagi jenis antigen Mycobacterium.
Bahan untuk pemeriksaan isolasi Mycobacterium TB adalah septum
pasien, urine, dan cairan kumbah lambung. Selain itu, ada juga bahanbahan lain yang dapat digunakan, yaitu cairan serebrospinal (sumsum
tulang belakang), cairan pleura, jaringan tubuh, feses, dan swab
tenggorokan. Pemeriksaan darah yang dapat menunjang diagnosis TB
paru, walaupun kurang sensitive, adalah pemeriksaan laju endap darah
(LED). Adanya peningkatan LED biasanya disebabkan peningkatan
immunoglobulin, terutama IgG dan IgA.
9. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan tuberculosis paru di bagi menjadi tiga bagian, yaitu
pencegahan, pengobatan, dan penemuan penderita (Ardiansyah M, 2012) :
a. Pencegahan Tuberculosis Paru
1) Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang
bergaul erat dengan penderita TB paru BTA positif.
2) Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompokkelompok populasi tertentu, misalnya karyawan rumah sakit atau
puskesmas atau balai pengobatan, penghuni rumah tahanan, dan siswasiswi pesantren.

26

3) Vaksinasi BCG; reaksi positif terjadi jika setelah mendapat vaksinasi


BCG langsung terdapat reaksi lokal yang besar dalam waktu kurang
dari 7 hari setelah penyuntikkan.
4) Kemoprokfilaksis, yaitu dengan menggunakkan INH 5 mg/kg BB
selama 6-12 bulan dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi
populasi bakteri yang masih sedikit.
5) KIE (Komunikasi, informasi, dan

edukasi)

tentang

penyakit

tuberculosis kepada masyarakat di tingkat puskesmas maupun rumah


sakit oleh petugas pemerintah atau petugas LSM.
b. Pengobatan Tuberkolosis Paru
Tujuan pengobatan pada penderita TB paru, selain untuk mengobati,
juga untuk mencegah kematian, kekambuhan, resistensi, kuman terhadap
OAT, serta memutuskan mata rantai penularan.
c. Penemuan Penderita
1. Penatalaksanaan terapi: asupan nutrisi adekuat/ mencukupi.
2. Kemoterapi, yang mencakup pemberian:
a) Isoniazid (INH) sebagai bakterisidial terhadap basil yang tumbuh
aktif. Obat ini diberikan selama 18-24 bulan dan dengan dosis 1020 mg/kg berat badan/hari melalui oral.
b) Kombinasi antara NH, rimfapicin, dan pyrazinamide yang
diberikan selama 6 bulan.
c) Obat tambahan, antara lain Streptomycin (diberikan intramuskuler)
dan ethambutol.
d) Terapi kortikosteroid diberikan bersamaan dengan obat anti-TB
untuk mengurangi respons peradangan, misalnya pada meningitis.
3. Pembedahan dilakukan jika kemoterapi tidak berhasil. Tindakan ini
dilakukan dengan mengangkat jaringan paru yang rusak.
4. Pencegahan dilakukan dengan menghindari kontak langsung dengan
yang terinfeksi basil TB serta mempertahankan asupan nutrisi yang

27

memadai.

Pemberian

imunisasi

BCG

juga

diperlukan

untuk

meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi basil TB virulen.


Berdasarkan hasil pemeriksaan menyeluruh, yang meliputi
anamnesis (yang juga mencakup tanda dan gejala serta riwayat
penyakit), maka pasien didiagnosis menderita tuberculosis jika telah
menunjukkan gejala-gejalanya. Pasien harus minum obat secara teratur
dan melanjutkan terapi pengobatan hingga dinyatakan benar-benar
sembuh. Pasien harus sabar dan taat. Anggota keluarga harus
memeriksakan dahaknya dan harus memperhatikan serta motivasi
pasien agar tetap konsisten dalam menjalani pengobatan.
10. DOTS (Directly Observed Treatment Short)
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci
keberhasilan

program

penanggulangan

tuberculosis

adalah

dengan

menerapkan strategi DOTS, yang juga telah dianut oleh negara kita. Oleh
karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting agar
TB dapat ditanggulangi dengan baik.
a. DOTS mengandung lima komponen, yaitu :
1) Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional
2) Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA (Basil Tahan Asam)
mikroskopik
3) Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal
dengan istilah DOT (Directly Observed Therapy)
4) Pengadaan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) secara berkesinambungan
5) Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang (baku/standar) baik.
Istilah DOT diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka
pendek setiap hari oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
b. Pengawasan dilakukan oleh :
1) Penderita berobat jalan
a) Langsung di depan dokter

28

b) Petugas kesehatan
c) Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll)
d) Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah.
c. Penderita dirawat
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah
petugas Rumah Sakit, selesai perawatan untuk pengobatan selanjutnya
sesuai dengan berobat jalan.
d. Tujuan :
1) Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
2) Mencegah putus berobat
3) Mengatasi efek samping obat
4) Mencegah resistensi.
e. Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai
harus diingat:
1) Tentukan seorang PMO
Berikan penjelasan kepada penderita bahwa harus ada seorang PMO
dan PMO tersebut harus ikut hadir di poliklinik untuk mendapat
penjelasan tentang DOT.
2) Persyaratan PMO
PMO bersedia dengan sukarela membantu penderita tuberkulosis
sampai sembuh selama 6 bulan. PMO dapat berasal dari kader
dasawisma, kader PPTI (Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis
Indonesia), PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga), atau anggota
keluarga yang disegani penderita.
3) Tugas PMO
Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik, memberikan pengawasan
kepada penderita dalam hal minum obat, mengingatkan penderita
untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal, memberitahukan /
mengantar penderita untuk kontrol bila ada efek samping obat,
bersedia antar jemput OAT jika penderita tidak bisa datang ke RS
/poliklinik.
4) Petugas PPTI atau Petugas Sosial

29

Untuk

pengaturan/penentuan

PMO,

dilakukan

oleh

PKMRS

(Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit), oleh PERKESMAS


(Perawatan Kesehatan Masyarakat) atau PHN (Public Health Nurse),
paramedis atau petugas social
5) Petugas Sosial
Ialah volunteer yang mau dan mampu bekerja sukarela, mau dilatih
DOT. Penunjukan oleh RS atau dibantu PPTI, jika mungkin diberi
penghargaan atau uang transport Penyuluhan tentang TB merupakan
hal yang sangat penting, dan penyuluhan dapat dilakukan secara
perorangan/ individu serta kelompok.
6) Penyuluhan Perorangan/ Individu
Penyuluhan terhadap perorangan (penderita maupun keluarga) dapat
dilakukan di unit rawat jalan, di apotik saat mengambil obat dan lainlain.
7) Penyuluhan Kelompok
Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok penderita,
kelompok keluarga penderita, masyarakat pengunjung RS dan lainlain.
f. Cara memberikan penyuluhan
1) Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada
2) Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat
penerimaannya sebagai bahan untuk penatalaksanaan selanjutnya
3) Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang
belum jelas
4) Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah
dimengerti, kalau perlu dengan alat peraga (brosur, leaflet dll)
g. DOTS (Directly Observed Treatment Short) Plus
1) Merupakan strategi pengobatan dengan menggunakan 5 komponen
DOTS
2) Plus adalah menggunakan obat antituberkulosis lini 2

30

3) DOTS Plus tidak mungkin dilakukan pada daerah yang tidak


menggunakan strategi DOTS
4) Strategi DOTS Plus merupakan inovasi pada pengobatan MDR-TB.
E. Keteraturan Konsumsi Obat pasien Tuberculosis Paru
1. Pengertian Keteraturan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Keteraturan adalah
kesamaan keadaan, kegiatan atau proses yang terjadi beberapa kali atau lebih
secara berturut-turut dengan tetap.
2. Pengertian Keteraturan Pasien
Keteraturan pasien ialah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan
ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan.
3. Keteraturan Pengobatan TB Paru
Keteraturan pengobatan TB paru yaitu :
a. Minum obat sesuai petunjuk
b. Jadwal mengambil obat
c. Lama pengobatan
d. Macam- macam obat.
4. Keteraturan Konsumsi Obat Pasien TB Paru
Keteraturan konsumsi obat pasien TB paru adalah sejauh mana perilaku
pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan
dalam hal minum obat sesuai petunjuk dan teratur dalam pengobatan TB paru
yang dilakukan beberapa kali atau lebih secara berturut-turut dengan tetap.
F. Kerangka Konsep
Gambar 2.2 Kerangka konsep hubungan dukungan keluarga dengan motivasi
keteraturan konsumsi obat pasien TB paru

Variabel Independen

Dukungan Keluarga

Variabel Dependen
Motivasi
Keteraturan
Konsumsi Obat
Pasien
Tuberkulosis Paru

Ada Hubungan

Tidak Ada
Hubungan

31

Keterangan :

: Variabel yang diteliti


: Hubungan antar variabel
G. Hipotesis Penelitian

Ho :

Tidak ada hubungan dukungan keluarga dengan motivasi keteraturan


konsumsi obat pasien tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Bahu
kota Manado

Ha :

Ada hubungan dukungan keluarga dengan motivasi keteraturan konsumsi


obat pasien tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Bahu kota
Manado.

32

BAB III. METODE PENELITIAN


A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode analitik dengan menggunakan Cross
Sectional, untuk melihat hubungan dukungan keluarga dengan motivasi
keteraturan konsumsi obat pasien tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas
Bahu Kota Manado (Elfindri dkk, 2011).
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kerja Puskesmas Bahu, Kota
Manado.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2016.
C. Variabel Penelitian
Adapun variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel Independen adalah variabel yang mempengaruhi, disebut juga
variabel bebas, variabel perlakuan. Yang termasuk variabel independen
dalam penelitian ini adalah dukungan keluarga (Elfindri dkk, 2011).
2. Variabel Dependen adalah variabel yang dipengaruhi, variabel tidak bebas,
variabel terikat. Yang termasuk variabel dependen dalam penelitian ini
adalah motivasi keteraturan konsumsi obat pasien TB paru (Elfindri dkk,
2011).

33

D. Definisi Operasional
Definisi
Parameter
Operasional
Variabel
Suatu sistem 1. Dukungan Penilaian
a. Pikiran yang positif
Independen pendukung
Dukungan bagi anggota b. Punya seseorang
yang dapat diajak
keluarga
keluarga
bicara tentang
dengan
masalah yang ada
memberikan
c.
Penyemangat
bantuan
d. Persetujuan
berupa
terhadap ide/
informasi
perasaan
atau nasehat,
e. Ekspresi
bantuan
pengharapan positif
nyata, atau
2. Dukungan
tindakan
Instrumental
yang
a. Pelayanan
mempunyai
b. Bantuan finansial
manfaat
c. Bantuan material
emosional
3. Dukungan
atau
Informasional
berpengaruh
a. Memberikan
pada perilaku
solusi
penerimanya.
b. Memberikan
nasehat
c. Memberikan
pengarahan
d. Memberikan saran
e. Memberikan
umpan balik
tentang apa yang
diberikan.
4. Dukungan
Emosional
a. Merasa nyaman
b. Merasa dicintai
c. Empati
d. Rasa percaya
e. Merasa diterima
Variabel

Alat
Ukur
Kuesioner

Hasil
Ukur
< 60 :
Dukungan
Keluarga
Kurang
60 :
Dukungan
Keluarga
Baik

Skala
Skala
Ordinal

34

Variabel
Dependen
Motivasi
Keteratura
n
Konsumsi
Obat
Pasien
Tuberkulos
is paru.

Kemampuan 1. Motivasi :
a. Motif
yang
b. Harapan
ditunjukan
c. Insentif
pasien
tuberkulosis 2. Keteraturan
Konsumsi obat
paru untuk
pasien tuberkulosis
mengkonsum
paru:
si obat secara
a.
Minum Obat
teratur.
sesuai petunjuk
b. Mengambil obat
sesuai jadwal
c. Lama pengobatan
d. Minum macammacam obat.

Kuesioner

< 30 :
Motivasi
Kurang
30 :
Motivasi
Baik

E. Populasi Dan Sampel


1. Populasi
Populasi merupakan keseluruhan objek penelitian. Populasi dalam
penelitian ini adalah semua pasien tuberkulosis paru yang berada di wilayah
kerja Puskesmas Bahu kota Manado dari bulan Juni 2015- Januari 2016 yaitu
123 pasien (Suyanto, 2011).
2. Sampel
Sampel merupakan sebagian yang diambil dari keseluruhan objek
penelitian dan dianggap mewakili populasi. Teknik pengambilan sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Purposive Sampling, dimana
pengambilan sampel didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat
oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah
diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2010).
Sehingga atas pertimbangan peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifatsifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya, besar sampel yang diambil
dalam penelitian ini adalah sebanyak 20 pasien dengan kriteria Inklusi :

Skala
Ordinal

35

a. Merupakan pasien di wilayah kerja Puskesmas Bahu, kota Manado


b. Pasien didiagnosis menderita tuberkulosis paru dan masih dalam masa
pengobatan
c. Bersedia menjadi responden
d. Bisa diajak berkomunikasi
e. Sudah mendapat OAT (Obat Anti Tuberkulosis)
F. Instrument Penelitian
1. Kisi-kisi alat ukur
1) Dukungan Keluarga
Kisi-kisi alat ukur dukungan keluarga dapat dilihat dalam tabel sebagai
berikut :
Tabel 3.2 Kisi-kisi Kuesioner Dukungan Keluarga
No

Dukungan Keluarga

Nomor Butir

1.

Dukungan Penilaian

1-5

a. Pikiran yang positif


b. Punya seseorang yang dapat
diajak bicara tentang masalah
yang ada
c. Penyemangat
d. Persetujuan terhadap ide/
perasaan
e. Ekspresi pengharapan positif

Dukungan Instrumental

6-10

a. Pelayanan

b. Bantuan finansial

7, 8

c. Bantuan material

9, 10

Dukungan Informasional

11-15

a. Memberikan solusi

11

b. Memberikan nasehat

12

c. Memberikan pengarahan

13

2.

3.

Jumlah Butir

2
5
3
4
5

d. Memberikan saran
14
e. Memberikan umpan balik
15
tentang apa yang diberikan

36

4.

Dukungan Emosional

16-20

a. Merasa nyaman

16

b. Merasa dicintai

17

c. Empati

18

d. Rasa percaya

19

e. Merasa diterima

20

Jumlah Butir Keseluruhan

20

2) Motivasi Keteraturan Konsumsi Obat Pasien Tuberkulosis Paru


Kisi-kisi alat ukur motivasi keteraturan konsumsi obat pasien
tuberkulosis paru dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 3.3 Kisi-kisi Kuesioner Motivasi keteraturan Konsumsi Obat Pasien
Tuberkulosis Paru
No
1.

Motivasi
Keteraturan
Nomor Butir
Konsumsi Obat Pasien TB Paru
Motivasi
1-6
a. Motif

1, 2

b. Harapan

3, 4

c. Insentif
Keteraturan Konsumsi Obat
2.
Pasien Tuberkulosis Paru
a. Minum obat sesuai petunjuk
b. Mengambil
obat
sesuai
jadwal
c. Lama pengobatan
d. Minum macam-macam jenis
obat
Jumlah Butir Keseluruhan

Jumlah Butir

5, 6
7-10
7
8

9
10
10

2. Alat ukur yang digunakan


Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang
terdiri atas empat bagian, bagian pertama berisi identitas dan karakteristik

37

responden, bagian kedua berisi tentang petunjuk pengisian, bagian ketiga


berisi tentang kuesioner dukungan keluarga dan bagian keempat berisi tentang
kuesioner motivasi keteraturan konsumsi obat pasien tuberkulosis paru.
Berikut penjelasan mengenai kuesioner yang digunakan yaitu :
1) Kuesioner Dukungan Keluarga
Skala yang digunakan dalam kuesioner penelitian ini adalah skala
Likert, yaitu: 5 = Sangat Setuju (SS), 4 = Setuju (S), 3 = Netral (N), 2 =
Tidak Setuju (TS), dan 1 = Sangat Tidak setuju (STS). Kuesioner
penelitian ini terdiri atas 20 pernyataan positif/ favourable yang berisi 5
pernyataan dukungan penilaian, 5 pernyataan dukungan instrumental, dan
5 pernyataan dukungan informasional serta 5 pernyataan dukungan
emosional.
2) Kuesioner Motivasi Keteraturan Konsumsi Obat pasien Tuberkulosis Paru
Skala yang digunakan dalam kuesioner penelitian ini adalah skala
Likert, yaitu: 5 = Sangat Setuju (SS), 4 = Setuju (S), 3 = Netral (N), 2 =
Tidak Setuju (TS), dan 1 = Sangat Tidak setuju (STS). Kuesioner
penelitian ini terdiri atas 10 pernyataan positif/ favourable yang berisi 6
pernyataan tentang motivasi, dan 4 pernyataan tentang keteraturan
konsumsi obat pasien tuberkulosis paru.
3. Uji Validitas dan dan reliabilitas instrument
Untuk melihat apakah alat ukur benar-benar dapat digunakan untuk
mengukur apa yang seharusnya diukur, maka dilakukan uji validitas dan
reliabilitas instrument (Suyanto, 2011).
Uji Validitas dan reliabilitas yang dilakukan peneliti pada 20 responden,
dibantu dengan program SPSS (Statistical Product and Service Solutions)
Versi 16.0 for Windows.
1) Uji Validitas

38

Validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu


butir pertanyaan/ pernyataan. Skala butir pertanyaan/ pernyataan disebut
valid, jika melakukan apa yang seharusnya dilakukan dan mengukur yang
seharusnya diukur. Jika skala pengukuran tidak valid maka tidak
bermanfaat bagi peneliti, sebab tidak mengukur apa yang seharusnya
dilakukan (Sunyoto, 2012).
Secara sederhana pengukuran uji validitas dilakukan dengan
membandingkan hasil pengukuran dengan tabel Pearsons Correlation
Product Moment. Apabila koefisien korelasi (r hitung) lebih tinggi dari
nilai r tabel (r= 0,444) dan nilai probabilitas lebih kecil dari 0,05 (5%),
maka butir tersebut dinyatakan valid (Suyanto, 2011).
a. Kuesioner Dukungan Keluarga
Kuesioner yang digunakan sudah valid karena sudah pernah
digunakan oleh Sarira Mediati dengan judul penelitian Hubungan
Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien TB
Paru Di Puskesmas Kecamatan Kembangan Jakarta Barat.
b. Kuesioner Motivasi Keteraturan Konsumsi Obat Pasien Tuberkulosis
Paru
Berdasarkan hasil dari analisis validitas output (lihat lampiran 4),
dengan alpha 5% sebagai berikut :
a) Butir pernyataan 1 mempunyai koefisien korelasi terhadap total
motivasi keteraturan konsumsi obat sebesar 0,709, >0,444 dan
signifikasi 0,000 atau 0%, < 5% berarti valid
b) Butir pernyataan 2 mempunyai koefisien korelasi terhadap total
motivasi keteraturan konsumsi obat sebesar 0,749, >0,444 dan
signifikasi 0,000 atau 0%, < 5% berarti valid

39

c) Butir pernyataan 3 mempunyai koefisien korelasi terhadap total


motivasi keteraturan konsumsi obat sebesar 0,781, >0,444 dan
signifikasi 0,000 atau 0%, < 5% berarti valid
d) Butir pernyataan 4 mempunyai koefisien korelasi terhadap total
motivasi keteraturan konsumsi obat sebesar 0,622, >0,444 dan
signifikasi 0,002 atau 0,2%, < 5% berarti valid
e) Butir pernyataan 5 mempunyai koefisien korelasi terhadap total
motivasi keteraturan konsumsi obat sebesar 0,659, >0,444 dan
signifikasi 0,001 atau 0,1%, < 5% berarti valid
f) Butir pernyataan 6 mempunyai koefisien korelasi terhadap total
motivasi keteraturan konsumsi obat sebesar 0,650, >0,444 dan
signifikasi 0,001 atau 0,1%, < 5% berarti valid
g) Butir pernyataan 7 mempunyai koefisien korelasi terhadap total
motivasi keteraturan konsumsi obat sebesar 0,695, >0,444 dan
signifikasi 0,000 atau 0%, < 5% berarti valid
h) Butir pernyataan 8 mempunyai koefisien korelasi terhadap total
motivasi keteraturan konsumsi obat sebesar 0,526, >0,444 dan
signifikasi 0,009 atau 0,9%, < 5% berarti valid
i) Butir pernyataan 9 mempunyai koefisien korelasi terhadap total
motivasi keteraturan konsumsi obat sebesar 0,550, >0,444 dan
signifikasi 0,006 atau 0,6%, < 5% berarti valid
j) Butir pernyataan 10 mempunyai koefisien korelasi terhadap total
motivasi keteraturan konsumsi obat sebesar 0,480, >0,444 dan
signifikasi 0,016 atau 1,6%, < 5% berarti valid.

40

2) Uji Reliabilitas
Reliabilitas disini menunjukkan tingkat konsistensi dan stabilitas dari
data berupa skor hasil persepsi suatu variabel baik variabel bebas maupun
variabel terikat. Dengan demikian reliabilitas meliputi stabilitas ukuran
dan

konsistensi

internal

ukuran.

Stabilitas

ukuran

menunjukkan

kemampuan sebuah ukuran untuk tetap stabil atau tidak rentan terhadap
perubahan situasi apapun. Kestabilan ukuran dapat membuktikan kebaikan
(goodness) sebuah ukuran dalam mengukur sebuah konsep (Sunyoto,
2012).
Secara sederhana pengukuran uji reliabilitas dilakukan dengan
membandingkan hasil pengukuran dengan nilai Cronbachs Alpha. Jika
alpha >0,70, maka butir-butir pertanyaan/ pernyataan dikatakan reliabel
(Suyanto, 2011).
a. Dukungan Keluarga
Kuesioner yang digunakan sudah reliabel karena sudah pernah
digunakan oleh Sarira Mediati dengan judul penelitian Hubungan
Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien TB
Paru Di Puskesmas Kecamatan Kembangan Jakarta Barat.
b. Motivasi Keteraturan Konsumsi Obat Pasien Tuberkulosis Paru
Berdasarkan hasil dari analisis reliabilitas output (lihat lampiran 4),
didapatkan hasil sebagai berikut :
a) Nilai Cronbach Alpha pernyataan butir 1= 0,796, >0,70 (reliabel)
b) Nilai Cronbach Alpha pernyataan butir 2= 0,790, >0,70 (reliabel)
c) Nilai Cronbach Alpha pernyataan butir 3= 0,779, >0,70 (reliabel)
d) Nilai Cronbach Alpha pernyataan butir 4= 0,823, >0,70 (reliabel)
e) Nilai Cronbach Alpha pernyataan butir 5= 0,797, >0,70 (reliabel)
f) Nilai Cronbach Alpha pernyataan butir 6= 0,797, >0,70 (reliabel)
g) Nilai Cronbach Alpha pernyataan butir 7= 0,792, >0,70 (reliabel)
h) Nilai Cronbach Alpha pernyataan butir 8= 0,814, >0,70 (reliabel)
i) Nilai Cronbach Alpha pernyataan butir 9= 0,811, >0,70 (reliabel)
j) Nilai Cronbach Alpha pernyataan butir 10= 0,818, >0,70 (reliabel).

41

Kesimpulan, semua butir dalam kuesioner motivasi keteraturan konsumsi


obat pasien tuberkulosis paru valid dan reliabel. Jadi, 10 butir pernyataan
dalam kuesioner layak untuk digunakan sebagai instrument penelitian.
G. Teknik Pengumpulan Data
1. Data Primer
Diperoleh langsung dari responden dengan menggunakan kuesioner.
2. Data Sekunder
Data yang diperoleh dari pencatatan/ dokumentasi yang ada di Puskesmas
Bahu, kota Manado.
H. Jalannya Penelitian
1. Tahap Persiapan
a. Penyediaan surat izin peneliti ke lokasi penelitian oleh institusi pendidikan
b. Survey awal ke lokasi penelitian
c. Pengajuan judul berdasarkan masalah
d. Menyusun proposal, dan konsultasi dengan pembimbing
e. Seminar proposal
2. Tahap Pelaksanaan
a. Pengajuan izin penelitian kepada Kepala Puskesmas
b. Setelah mendapatkan izin dari Kepala Puskesmas di lakukan penelitian
c. Mengidentifikasi calon responden yang bersedia menjadi subjek penelitian
d. Pengajuan surat permohonan untuk bersedia menjadi subjek penelitian
kepada calon responden
e. Menjelaskan pada responden maksud dan tujuan teknik pengumpulan data
untuk penelitian
f. Pengajuan surat persetujuan menjadi responden
g. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juni 2016
h. Melakukan pemeriksaan kelengkapan dan kesinambungan

serta

keseragaman data
i. Semua data yang dikumpul akan diolah menggunakan SPSS.
3. Tahap Penyelesaian
a. Penyusunan/konsultasi Karya Tulis Ilmiah
b. Ujian KTI dilanjutkan dengan revisi KTI
c. Pengesahan KTI.
I. Analisa Data
1. Teknik Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dilakukan pengolahan melalui
tahap sebagai berikut :

42

a. Pemeriksaan kembali (Editing) yaitu untuk memeriksa data apa sudah


sesuai dengan harapan serta memeriksa kelengkapan dan keseragaman
data.
b. Pengkodean (Coding) yaitu setelah data terkumpul kemudian diberikan
symbol serta menyederhanakan data guna memepermudah peneliti dalam
pengolahan data.
c. Proses (Processing) yaitu setelah data di kumpulkan diproses dengan
menggunakan SPSS.
d. Tabulasi data (Tabulating) yaitu mengelompokkan data dalam bentuk tabel
sesuai kriteria dan skor yang telah ditentukan berdasarkan kuesioner.
2. Analisa Data
Analisa data dalam penelitian ini adalah :
a. Analisa Univariat
Analisa Univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini
hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel,
dalam hal ini distribusi frekuensi responden berdasarkan umur, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan per bulan (Notoatmodjo,
2010).
b. Analisa Bivariat
Apabila telah dilakukan analisa univariat tersebut diatas, hasilnya akan
diketahui karakteristik atau distribusi setiap variabel dan dapat dilanjutkan
analisa bivariat, dalam penelitian ini menggunakan Analisis Korelasi
Pearson Product Moment (Notoatmodjo, 2010).
Teknik analisis korelasi ini digunakan untuk mencari koefisien
korelasi ( r ) atau kekuatan hubungan, dengan kata lain untuk
membuktikan adanya hubungan antara dua variabel dari sumber data yang
sama, serta akan dihitung dengan menggunakan bantuan program SPSS

43

(Statistical Product and Service Solutions) Versi 16.0 for Windows


(Suyanto, 2011).
Selanjutnya, peneliti akan membandingkan hasil perhitungan dengan
tabel Pearson Product Moment dengan jumlah sampel yang ditentukan (20
pasien) dengan taraf signifikan 0,05 (5%) diperoleh nilai koefisien r tabel
= 0,444. Kemudian bandingkan nilai koefisien tersebut dengan hasil
perhitungan :
a. Jika hasil perhitungan > dari r tabel (0,444) maka Ho (Tidak Ada
Hubungan) ditolak dan Ha (Ada Hubungan) diterima.
b. Jika hasil perhitungan < dari r tabel (0,444) maka Ho (Tidak Ada
Hubungan) diterima dan Ha (Ada Hubungan) ditolak.
Setelah itu, peneliti akan menginterpretasikan hasil perhitungan
dengan korelasi ( r ) yang diperoleh dari tabel kekuatan hubungan
berdasarkan besarnya koefisien korelasi antar variabel menggunakan tabel
interpretasi koefisien korelasi sebagai berikut : (Suyanto, 2011)

Tabel 3.4 Kekuatan hubungan berdasarkan besarnya koefisien korelasi antar


variabel
Koefisien Korelasi ( r )

0,20 0,399

Kekuatan Hubungan
Tidak ada hubungan/ Sangat
lemah
Lemah

0,40 0,599

Sedang

0,60 0,799

Kuat

0,80 1,000

Sangat kuat

0,00 0,199

J. Etika Penelitian

44

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti harus mendapat rekomendasi


terlebih dahulu dari Pimpinan Poltekkes Kemenkes Manado serta mengajukan
permintaan izin ke Kepala Puskesmas Bahu, kota Manado. Nanti setelah
mendapatkan

persetujuan,

barulah

dapat

melakukan

penelitian

dengan

menekankan masalah etika yang meliputi :


1. Lembar Persetujuan (informed consent)
Lembar persetujuan diberikan pada subjek yang akan diteliti. Peneliti
menjelaskan maksud dan tujuan riset yang dilakukan. Jika subjek bersedia
diteliti, maka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika subjek menolak
untuk diteliti, maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati
haknya.
2. Tanpa Nama (Anonymity)
Untuk menjaga kerahasiaan identitas, peneliti tidak akan mencantumkan
nama subjek pada lembar kuesioner yang diisi oleh subjek. Lembar tersebut
hanya diberi nomor kode tertentu.
3. Kerahasiaan (Anonfidentiality)
Peneliti menjamin kerahasiaan informasi yang diperoleh dari responden.
K. Biaya Penelitian
1. Pembuatan Proposal

Rp.200.000,-

2. Transportasi

Rp.100.000,-

3. Penelitian

Rp.500.000,-

4. Penyusunan KTI

Rp.1.000.000,-

5. Seminar Hasil Penelitian

Rp.2000.000,-

6. Biaya tak terduga

Rp.500.000,Jumlah

Rp.2.500.000

Anda mungkin juga menyukai