Anda di halaman 1dari 35

LOGBOOK KASUS I

BLOK HIV – AIDS

Dosen Pengampu :

Ns. Yuliana, S. Kep., M. Kep

Disusun Oleh :

Wike Astaria G1B120006

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2022
KASUS

Seorang wanita usia 33 tahun dirawat di rumah sakit dikarenakan batuk sudah
lebih dari satu bulan serta kehilangan berat badan sebanyak 10 kg dalam kurun
waktu satu bulan. Hasil pemeriksaan X-Ray dan sputum pasien menunjukkan
bahwa paru-paru pasien terinfeksi tuberculosis. Hasil pemeriksaan menunjukkan
RR : 34 x/m, ronkhi (+) di kedua paru. BB : 35 kg, TB : 155 cm. Nilai CD4 pasien
: 134 sel/ul. Pasien mengatakan tertular HIV dari suaminya. Pasien sering
mengeluhkan sesak nafas dan

sesak semakin memburuk pada saat berjalan. Pasien mengatakan kepada perawat
bahwa ia merasa putus asa dengan kondisinya saat ini. Perawat pun menyarankan
kepada pasien untuk berzikir agar pasien merasa tenang.

LO :

1. Bagaimana manajemen perawatan paliatif pada pasien tersebut?

2. Askep terminal illness/paliatif pada pasien tersebut?

STEP I

ISTILAH SULIT

1. Pemeriksaan x-ray
Jawaban :
X-ray adalah tes pencitraan yang digunakan untuk melihat bagian
dalam tubuh tanpa harus membedah pasiennya. Prosedur pemeriksaan
ini membantu dalam mendiagnosis, memantau, dan mengobati
berbagai kondisi medis. X-ray juga tersedia dalam berbagai jenis,
tergantung pada area mana yang butuh diperiksa.
 Secara umum kegunaan Foto thorax/CXR adalah :
a. untuk melihat abnormalitas congenital (jantung, vaskuler)
b. untuk melihat adanya trauma (pneumothorax, haemothorax)
c. untuk melihat adanya infeksi (umumnya tuberculosis/TB)
d. untuk memeriksa keadaan jantung
e. untuk memeriksa keadaan paru-paru

2. CD4
Jawaban :
Sel CD4 adalah jenis sel darah putih atau limfosit yang merupakan
bagian penting dari sistem kekebalan tubuh disebut sebagai sel-T, atau
sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah
putih manusia, terutama sel-sel limfosit, dimana CD4 adalah bagian
dari sel darah putih yang dihancurkan oleh HIV yang berperan vital
untuk mengahadang infeksi

3. Tuberkolosis
Jawaban :
Tuberkulosis (TBC) atau TB adalah penyakit menular akibat infeksi
bakteri. TBC umumnya menyerang paru-paru, tetapi juga dapat
menyerang organ tubuh lain, seperti ginjal, tulang belakang, dan otak.
Penyakit ini menyebar saat orang yang terinfeksi TB paru sedang
mengeluarkan bakteri ke udara , misalnya dengan batuk. Seluruh
keseluruhan, dalam proporsi yangrelative kecil (5-15%) dari perkiraan
1,7 miliar orang yang terinfeksi M. tuberkulosis akan mengembangkan
penyakit TB selama hidupnya. Namun, kemungkinan pengembangan
penyakit TB jauh lebih tinggi di antara orang yang terinfeksi HIV dan
juga diantara orang-orang yang terkena dampak faktor risiko seperti
gizi buruk, diabetes, merokok dan konsumsi alcohol (WHO, 2017).
Tuberkulosis (TB) juga disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis dan disebut sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA) (Infodatin
Kemenkes RI, 2018). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru (TB
paru), namun dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (TB ekstra
paru). Penularan TB terutama terjadi secara aerogen atau lewat udara
dalam bentuk droplet (percikan dahak/sputum). Sumber penularan TB
yaitu penderita TB paru BTA positif yang ketika batuk, bersin atau
berbicara mengeluarkan droplet yang mengandung bakteri M.
tuberculosis (Kemenkes RI, 2017).

4. Sputum
Jawaban :
Sputum adalah lendir dan materi lainnya yang dibawa dari paru-paru,
bronkus, dan trakea yang mungkin dibatukkan dan dimuntahkan atau
ditelan Kata "sputum" yang dipinjam langsung dari bahasa Latin
"meludah" Disebut juga dahak (Kamus Kesehatan, 2017). Orang
dewasa normal membentuk sputum + 100 ml/hari. Jika produksi
berlebihan, proses pembersihan mungkin tidak efektif lagi sehingga
sputum akan tertimbun. Perlu dipelajari sumber sputum, warna,
volume, dan kosistensi sputum (Muttaqin, 2008)

5. Ronkhi
Jawaban :
Ronki digambarkan sebagai suara yang mirip dengkuran. Kondisi ini
muncul saat udara tersumbat atau aliran udara menjadi kasar ketika
melalui saluran udara yang besar.
Ronkhi juga merupakan suara napas tambahan yang bernada rendah
yang terjadi akibat adanya penyumbatan jalan napas biasanya akibat
adanya lendir. Ronkhi dapat terjadu pada inspirasi (saat mengambil
napas) maupun ekspirasi. Ronkhi sendiri terdiri dari 2 jenis yaitu ronkhi
basah dan ronkhi kering.

6. HIV
Jawaban :
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh yang selanjutnya melemahkan kemampuan
tubuh melawan infeksi dan penyakit. Virus HIV ini merusak sistem
kekebalan tubuh dengan menginfeksi dan menghancurkan sel CD4. Jika
makin banyak sel CD4 yang hancur, daya tahan tubuh akan makin
melemah sehingga rentan diserang berbagai penyakit.

7. Sel/Ul
Jawaban :
Sel/ UL : Sel dimana untuk UL itu menggambarkan jumlah
sesungguhnya setiap jenis sel tersebut per mikroliter darah (UL)

STEP 2
IDENTIFIKASI MASALAH

1. Pada kasus pasien mengatakan tertular hiv oleh suaminya,Faktor yang


menjadi penularan hiv?
2. Apakah penyakit TBC dapat memperparah keadaan pasien yang terinfeksi
HIV
3. jelaskan apa yang menyebabkan pasien mengalami penurunan BB berat ?
4. Mengapa HiV dapat menyebabakan seseorang dalam Waktu lama dapat
menderita berbagai jenis penyakit?
5. Dalam kasus, pasien mengatakan tertular HIV dari suaminya. Jika dianalisa
dari kasus, apa faktor resiko yang menjadi penyebab suami terkena HIV?
6. Mengapa pasien HIV pada kasus bisa mengalami sesak nafas dan sesak
semakin memburuk saat berjalan?
7. Apa yang menyebabkan pasien merasa putus asa? Bagaimana cara perawat
menangani masalah psikologis yang terjadi pada pasien hiv aids selain
menyarankan berzikir?
8. Apa komlikasi yang terjadi pada kasus HIV tersebut ?
9. Bagaimana cara pengobatan TB pada pasien HIV pada kasus tersebut?

STEP 3
ANALISA MASALAH

1. Penularan HIV terjadi saat cairan tubuh penderita (bisa darah, sperma, atau
cairan vagina), masuk ke dalam tubuh orang lain. Hal ini dapat terjadi
melalui berbagai cara berikut:
a. Hubungan seks
Infeksi HIV dapat terjadi melalui hubungan seks baik melalui vagina,
anal maupun melalui seks oral. Namun, penularan lewat seks oral hanya
terjadi bila terdapat luka terbuka di mulut penderita, misalnya akibat
gusi berdarah atau sariawan. Selain itu seseorang yang suka berganti-
ganti pasangan seksual juga lebih berisiko untuk terkena HIV.
b. Faktor Sanitasi Alat Suntik / Penggunaan jarum suntik
Berbagi penggunaan jarum suntik dengan penderita HIV adalah salah
satu cara yang dapat membuat seseorang tertular HIV. Umumnya, cara
penularan HIV ini terjadi pada pengguna-pengguna narkoba. Mereka
berbagi alat suntik untuk digunakan bersama. Penularan bisa terjadi jika
berbagi pakai jarum suntik ketika menggunakan NAPZA, Ketika jarum
tersebut dipakai oleh pemakai narkoba ODHA, pengguna narkoba
lainnya akan menggunakan jarum yang sama. Itulah yang menjadi
penyebab HIV tersebar. Selain jarum suntik, jarum lainnya juga
memiliki risiko yang sama, misalnya jarum peralatan tato-menato.
c. Transfusi darah
Penularan HIV dapat terjadi saat seseorang menerima donor darah dari
penderita HIV. Hal ini disebabkan adanya pertukaran, pencampuran,
atau proses lainnya yang melibatkan kontak cairan darah ODHA.
Beberapa di antaranya adalah donor darah yang dilakukan oleh
pendonor positif HIV atau tranfusi darah yang tercemar virus HIV.
Namun, kemungkinan terjadinya penularan ini cukup rendah. Hal ini
karena sekarang pendonor darah harus melewati skrining HIV dan
infeksi lainnya terlebih dahulu.
d. Faktor Biologis Ibu Positif HIV
Cara penularan HIV pada ibu dan janin ini terjadi melalui tali plasenta.
Selain melalui tali plasenta, penyebab HIV pada bayi pun dapat terjadi
ketika masa persalinan. Secara tidak sengaja maupun sengaja, darah
atau cairan tertentu yang dimiliki ibu positif HIV dapat masuk ke dalam
tubuh bayi.
e. Faktor Pemberian ASI
Penularan HIV juga dapat terjadi lewat pemberian Air Susu Ibu (ASI).
Sama halnya dengan faktor penularan HIV secara biologis antara ibu-
anak melalui tali plasenta, faktor pemberian ASI ini berlaku sama
karena adanya pemberian cairan. Terlebih lagi, penularan HIV lewat
ASI memiliki risiko yang lebih tinggi, yakni dapat mencapai 5 hingga
20 persen. Selain itu, kondisi tertentu pun dapat terjadi. Contohnya,
kondisi kesehatan bayi sedang turun, imun bayi sedang melemah, luka
di sekitar putih payudara ibu, dan sebagainya. Berdasarkan hasil
penelitian medis, risiko penularan HIV lewat ASI terjadi dengan
perbandingan 3:100 per tahunnya. Dengan kata lain, setiap tahunnya, 3
dari 100 anak memiliki risiko terkena HIV lewat ASI.

2. Penyakit TBC memang erat kaitannya dengan HIV. Kolaborasi dari kedua
penyakit ini sering terjadi dan merupakan kombinasi yang mematikan
karena saling mempengaruhi satu sama lain pada seluruh aspek penyakit,
mulai dari patogenesis, epidemiologi, manifestasi klinis, pengobatan serta
pencegahan. Tuberculosis juga menjadi penyebab utama kematian pada
pasien HIV-positif.
Hasil studi menyatakan bahwa terdapat hubungan saling mempengaruhi
antara kedua penyakit ini dalam menimbulkan suatu gejala klinis lewat
penurunan aktivitas sistem imun tubuh. Jika pengidap TB tertular HIV,
bakteri-bakteri yang tadinya tertidur atau pasif akan bangun dan aktif
menyerang tubuh akibat sistem kekebalan tubuh yang lemah. Tuberkulosis
(TB) merupakan salah satu infeksi paling sering pada penderita HIV/AIDS.
Akibat kerusakan cellular immunity oleh infeksi HIV menyebabkan
berbagai infeksi oportunistic, seperti TB. Angka kematian akibat infeksi
TB pada penderita HIV lebih tinggi, TB merupakan penyebab kematian
tersering (30-50%) pada penderita HIV/AIDS. Mekanisme infeksi TB pada
penderita HIV melalui : reaktivasi, infeksi baru yang progresif. Infeksi HIV
mengakibatkan kerusakan luas pada sistem imunitas seluler sehingga
terjadi koinfeksi. Infeksi TB mengakibatkan progresifitas perjalanan
HIV/AIDS yang lebih cepat hingga kematian. Efek TBC pada ODHA
maupun sebaliknya memiliki hubungan timbal balik yang saling
memperburuk kondisi satu sama lain. Karenanya sangat penting untuk
melakukan deteksi dini adanya kedua infeksi ini.

3. Penyebab perubahan tubuh pada HIV belum sepenuhnya dipahami. Dalam


beberapa kasus, perubahan tubuh dapat diakibatkan oleh beberapa
kombinasi efek samping obat, perubahan dalam tubuh yang terjadi saat
terapi antiretroviral mengarah pada sistem kekebalan yang lebih kuat dan
efek penyakit HIV itu sendiri, terutama bagaimana HIV memengaruhi cara
penyimpanan tubuh dan menggunakan lemak darah. Dalam kasus lain,
perubahan tubuh ini adalah tipe yang sama yang terlihat pada orang HIV
negatif dan merupakan hasil dari pola makan yang tidak sehat, kurang
olahraga, dan penuaan

4. HIV merupakan virus yang menurunkan dan merusak sistem kekebalan


tubuh manusia. Seseorang yang baru terpapar HIV belum dikatakan AIDS
dan orang yang baru terinfeksi HIV belum menampakkan gejala-gejala
penyakit. Lambat laun sistem kekebalan tubuhnya semakin menurun
kemudian muncul berbagai gejala penyakit, barulah orang tersebut
dikatakan AIDS. Ketika individu sudah tidak lagi memiliki sistem
kekebalan tubuh maka semua penyakit dapat dengan mudah masuk ke
dalam tubuh. Karena sistem kekebalan tubuhnya menjadi sangat lemah,
penyakit yang tadinya tidak berbahaya akan menjadi sangat berbahaya.
AIDS baru dapat terdiagnosa setelah kekebalan tubuh sangat berkurang
dilihat dari jumlah sel-T nya. Timbul penyakit tertentu yang disebut dengan
infeksi oportunistik yaitu TBC, infeksi paru-paru yang menyebabkan
radang paru-paru dan kesulitan bernafas, kanker, khususnya sariawan,
kanker kulit atau sarcoma kaposi, infeksi usus yang menyebabkan diare
parah berminggu-minggu, dan infeksi otak yang menyebabkan kekacauan
mental dan sakit kepala.

5. Berdasarkan pada kasus, tidak dijelaskan bagaimana perjalanan suami


pasien tertular hiv. Jadi secara umum faktor resiko HIV/AIDS adalah
sebagai berikut :
a. Jenis Kelamin
Menurut penelitan Yunior dan Ika (2018), didapatkan bahwa jenis
kelamin laki-laki lebih berisko terinfeksi HIV AIDS sebesar 1,77 kali
dibandingkanperempuan.
b. Usia
Berdasarkan penelitian Amelia dkk (2016), usia 28-44 tahun berisiko
5,4 kali berpengaruh terhadap kejadian HIV/AIDS pada laki-laki.
c. Status Menikah
Menurut Sumini dkk (2017), status menikah ternyata lebih mungkin
terjadi HIV/AIDS sebesar 2,54 kali dibanding individu yang statusnya
belum menikah.
d. Pendidikan
Kejadian HIV juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang rendah.
Tingkat pendidikan yang rendah berisiko 4,709 kali lebih besar
berpengaruh terhadap kejadian HIV/AIDS.
e. Pengetahuan
Selain pendidikan rendah dapat berpengaruh pada kejadian HIV,
ternyata pengetahuan yang rendah juga dapat mempengaruhi individu
untuk terinfeksi HIV sebesar 3,32 kali.
f. Riwayat Konsumsi Alkohol
Individu yang memiliki riwayat mengonsumsi alkohol memiliki risiko
7,65 kali lebih besar untuk terinfeksi HIVAIDS. Riwayat Tindik
Menurut Susilawati, Muchlis dan Ana (2018), riwayat melakukan tindik
dengan jarum suntik yang tidak steril dapat berisiko terhadap kejadian
HIV/AIDS sebesar 3,42 kali dibandingkan dengan tindik yang
menggunakan jarum suntik steril.
g. Riwayat HIV/AIDS Pada Keluarga atau Pasangan
Selain memiliki riwayat infeksi menular seksual, HIV berisiko terjadi
pada individu yang memiliki riwayat HIV/AIDS dalam keluarga
ataupun pasangannya.
h. Riwayat Penyakit Menular Seksual
Peningkatan risiko HIV selanjutnya adalah riwayat penyakit menular
seksual pada penderita atau pasangan, berdasarkan penelitian
Susilowati (2011), penyakit menular seksual berisiko 2,67 kali lebih
besar berpengaruh terhadap kejadian HIV/AIDS.
i. Orientasi Seksual
- Heteroseksual
- Homoseksual
- Biseksual
j. Pasangan Seksual Lebih dari Satu
Peningkatan risiko HIV dipengaruhi juga oleh individu yang memiliki
pasangan seksual lebih dari satu, menurut Muchimba dkk (2013) dalam
Musyarofah dkk (2017), semakin banyak jumlah pasangan seksual akan
meningkatkan kemungkinan bahwa salah satu tindakan berhubungan
seks secara acak akan mengakibatkan infeksi.
k. Hubungan Seks Tanpa Kondom
Selain pasangan seksual lebih dari satu, ternyata risiko HIV juga
dipengaruhi oleh hubungan seks anal atau vaginal tanpa kondom.
l. Pengguna Narkoba Suntik (Penasun)
Terdapat beberapa populasi yang mengalami peningkatan risiko HIV,
yaitu penggunaan jarum suntik yang tidak aman secara bersama-sama
di antara pengguna narkoba suntik, hal ini didukung oleh penelitian
Susilowati (2011), bahwa status penggunaan narkoba suntik berisiko
4,51 kali lebih besar berpengaruh terhadap kejadian HIV/AIDS.

6. Batuk dan sesak napas adalah tanda dari infeksi paru. Kondisi ini
merupakan infeksi yang umum ditemui pada penderita HIV. Salah satu
infeksi paru lainnya yang juga sering ditemui pada penderita HIV adalah
tuberkulosis. Pada infeksi ini, pasien akan mengeluh batuk, sesak, dan
berkeringat pada malam hari.
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu infeksi paling sering pada
penderita HIV/AIDS. Akibat kerusakan cellular immunity oleh infeksi HIV
menyebabkan berbagai infeksi oportunistic, seperti TB.
Nah, infeksi inilah yang dapat menyebabkan pasien menjadi sesak dan
semakin sesak saaat pada saat berjalan dikarenakan pada saat berjalan
pasien akan membutuhkan energi lebih untuk bisa berjalan yang
mengakibatkan sesak semakin parah.

7. Penyebab px putus asa karena ia mengidap penyakit mengenaskan yaitu


HIV dan juga TBC. Ia merasa pengobatan” yg telah dijalaninya selama ini
sia” karena kondisinya tidak kunjung membaik dan malah memperparah.
Hal itulah yang menyebabkan px menjadi putus asa.
Cara perawat dalam menangani masalah psikologi yang terjadi pada pasien
HIV-AIDS selain berdzikir adalah dengan menggunakan teknik distraksi /
metode pengalihan. Dimana ini dilakukan untuk mengalihkan klien agar
tidak terfokus pada kondisi buruknya saat ini. Contoh teknik distraksi yang
bisa dilakukan seperti mendengarkan musik, melakukan hobinya, dsb

8. Menurut komisi penanggulangan AIDS Nasional th 2003, komplikasi yang


terjadi pada pasien HIV/AIDS ialah :
a. Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru-paru.
b. Kandidiasis esophagus.
c. Kriptokokosis ekstra paru.
d. Kriptosporidiosis intestinal kronis >1 bulan.
e. Rinitis CMV (gg penglihatan).
f. Herpes simpleks, ulkus kronik >1 bulan.
g. Mycobacterium tuberculosis di paru / ekstra paru.
h. Ensefalitistoksoplasma

9. Prioritas utama pada penderita dengan koinfeksi TB-HIV adalah memulai


terapi TB, diikuti dengan kotrimoksazol dan ARV.
1. Pengobatan TB pada ODHA yang belum dalam pengobatan ARV
Bila penderita belum dalam pengobatan ARV, pengobatan TB dapat
segera dimulai. Jika penderita dalam pengobatan TB maka teruskan
pengobatan TB nya sampai dapat ditoleransi (2-4 minggu) dan setelah
itu diberi pengobatan ARV. Keputusan untuk memulai pengobatan
ARV pada penderita dengan pengobatan TB sebaiknya dilakukan oleh
dokter yang telah mendapat pelatihan tata laksana penderita TB-HIV.
2. Pengobatan pada ODHA sedang dalam pengobatan ARV
Bila penderita sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan
TB dimulai minimal di RS yang petugasnya telah dilatih TB-HIV,
untuk diatur rencana pengobatan TB bersama dengan pengobatan ARV.
Hal ini penting karena ada kemungkinan masalah yang harus
dipertimbangkan, antara lain interaksi obat (rifampisin dengan beberapa
jenis obat ARV), gagal pengobatan ARV, IRIS atau perlu substitusi
obat ARV.
Terapi OAT dan ARV pada Pasien Koinfeksi TB/HIV
Status HIV pada pasien TB tidak mempengaruhi pemilihan kategori
OAT. Tatalaksana pasien TB dengan HIV sama dengan pasien TB lain
karena keefektifan OAT pada ODHA sama dengan pada pasien TB
umumnya. Pasien TB dengan HIV positif tetap diberi OAT dan ARV
(antiretroviral) dengan mendahulukan OAT untuk mengurangi angka
kesakitan dan kematian. Pemberian OAT pada pasien TB paru
(termasuk pasien ODHA) yang belum pernah mendapat pengobatan,
dianjurkan menggunakan lini pertama selama 6 bulan, meliputi 2 bulan
fase intensif menggunakan HRZE (isoniazid, rifampicin, pyrazinamide,
ethambutol) diminum setiap hari dan 4 bulan fase lanjutan
menggunakan HR (isoniazid dan rifampicin) tiga kali seminggu. Pada
ODHA dengan TB ekstra paru (limfadenopati, TB abdomen, efusi
pleura), OAT diberikan paling sedikit 9 bulan (2 bulan HRZE dan 7
bulan HR).
Terapi ARV diberikan untuk semua ODHA yang menderita TB tanpa
memandang jumlah CD4. Pengobatan ARV perlu dimulai meskipun
penderita sedang dalam pengobatan TB. Perlu diingat, pengobatan TB
di Indonesia selalu mengandung rifampisin sehingga penderita dalam
pengobatan TB dan mendapat pengobatan ARV bisa mengalami
masalah interaksi obat dan efek samping obat yang serupa sehingga
memperberat efek samping obat. Rekomendasi terapi ARV pada Ko-
Infeksi Tuberkulosis:
1) Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan TB aktif, berapa pun
jumlah CD4.
2) Mulai terapi ARV sesegera mungkin setelah terapi TB dapat
ditoleransi, secepatnya 2 minggu dan tidak lebih dari 8 minggu.
Penanganan Ko-infeksi TB-HIV dan Pengobatan Pencegahan dengan
Isoniazid (Insoniazid Profilaksis Treatment/IPT)
Tujuan:
Kolaborasi program TB-HIV bertujuan untuk menurunkan angka
kesakitan dan kematian akibat TB dan HIV di masyarakat Panduan
Pelaksanaan Melaksanakan kolaborasi program HIV dan TB dalam satu
atap, dengan melakukan kerjasama antara tim HIV, tim DOTS
danmanajemen layanan
1) Penemuan kasus TB yang lebih intensif dan pengobatannya melalui
skrining gejala dan tanda TB bagi ODHA yang berkunjung ke
layanan pada setiap kunjungan.
2) Pengobatan TB sesuai dengan pedoman nasional pengendalianTB
3) Pemberian anjuran tes dan konseling HIV kepada semua terduga
dan pasien TB di layanan
4) Menjamin akses perawatan, dukungan, dan pengobatan bagi pasien
koinfeksi TB-HIV
5) Memberikan pengobatan pencegahan kotrimoksasol
untukmengurangi kesakitan dan kematian ODHA dengan atau tanpa
TB
6) Pengendalian infeksi TB dan HIV
7) Pencatatan dan pelaporan TB dan HIV
8) Terapi ARV diberikan pada semua pasien koinfeksi TB-
HIVberapapun jumlah CD4.
9) Pengobatan ARV dapat dimulai setelah OAT dapat ditoleransi,
biasanya setelah 2 - 8 minggu
10) Pantau kemungkinan terjadi efek samping obat
11) Gunakan rejimen yang mengandung Efavirenz
12) Pertemuan TB-HIV koordinasi internal Faskes (diskusi klinis,
perencanaan, monev) Pengendalian TB tidak akan berhasil dengan
baik tanpa keberhasilanpengendalian HIV, sebaliknya TB
merupakan salah satu IO yang banyakterjadi dan penyebab utama
kematian pada ODHA. Kolaborasi kegiatanbagi kedua program di
semua tingkat merupakan suatu keharusan agarmampu
menanggulangi kedua penyakit tersebut secara efektif dan efisien.
STEP IV

MIND MAPPING

Seorang wanita
33 tahun

Dirawat di RS dengan keluhan:


Batuk sudah lebih dari satu bulan serta
kehilangan berat badan sebanyak 10 kg dalam
kurun waktu satu bulan.

Data Subjektif (DS): Data Objektif (DO):

- Batuk sudah lebih dari satu bulan - Hasil pemeriksaan X-Ray


- Kehilangan berat badan sebanyak dan sputum pasien
10 kg dalam kurun waktu satu menunjukkan bahwa paru-
bulan. paru pasien terinfeksi
- Pasien mengatakan tertular HIV tuberculosis
dari suaminy - RR : 34 x/m
- Pasien sering mengeluhkan sesak - Ronkhi (+) di kedua paru
nafas dan sesak semakin memburuk - BB : 35 kg
pada saat berjalan - TB : 155 cm
- Pasien mengatakan kepada perawat - Nilai CD4 pasien : 134 sel/ul.
bahwa ia merasa putus asa dengan
kondisinya saat ini

ASUHAN KEPERAWATAN
TERMINAL ILLNESS
PADA PASIEN HIV AIDS
STEP V

1. Bagaimana manajemen perawatan paliatif pada pasien tersebut?


Perawatan paliatif yang efektif membutuhkan pengkajian yang akurat
terkait kebutuhan fisik dan emosional, dan perencanaan yang tepatuntuk
mengatasi kebutuhan personal pasien. Mengingat bahwa pelayanan paliatif
hendaknya berpusat pada pasien dan diberikan oleh tim multi profesional yang
bekerja sama dengan pasien dan keluarganya, maka pendekatan “Patient-
Centered Care (PCC)” atau “perawatan berpusat pada pasien” sangat cocok
untukditerapkan dalam pelayanan paliatif. Dengan pende-katan ini, pasien
akan mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan personalnya dengan
melibat-kan keluarganya untuk meningkatkan kualitas hidup-nya dengan
menjunjung tinggi aspek nilai/budaya,filosofi hidup, keinginan, dan otonomi
pasien.Pendekatan PCC ini menggambarkan bagaimana layanan kesehatan
dapat diberikan oleh para pro-fesional kesehatan dengan cara yang terbaik
untuk setiap individu pasien. Perawatan berpusat pada pasien ini menetapkan
kemitraan antara praktisi,pasien, dan keluarganya untuk memastikan bahwa
keputusan pengobatan yang diambil telah memper timbangkan dan
menghormati keinginan, kebutuhan,dan preferensi pasien.

2. Askep terminal illness/paliatif pada pasien tersebut?


A. PENGKAJIAN
1. Identitas klien:
Nama : Ny. W

Umur : 33 tahun

Tanggal lahir :-

Suku/bangsa :-

Agama :-

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat :-

Diagnosa Medis : HIV dan TB Paru

Nomor Register :-

Tanggal MRS/Tanggal :-
2. Identitas penanggungjawab:

Nama : Tn. S

Umur :-

Suku/bangsa :-

Agama :-

Pendidikan :-

Pekerjaan :-

Alamat :-
Hubungan dengan klien : Suami

3. Riwayat Penyakit:
a. Alasan masuk RS / Keluhan utama :
Batuk sudah lebih dari satu bulan, dan kehilangan BB sebanyak
10 kg dalam kurun waktu satu bulan.
b. Riwayat kesehatan sekarang :
 Pasien mengatakan batuk sudah lebih dari satu bulan
 Pasien mengatakan kehilangan berat badan sebanyak 10 kg
dalam kurun waktu satu bulan.
 Pasien mengatakan tertular HIV dari suaminya
 Pasien sering mengeluhkan sesak nafas dan sesak semakin
memburuk pada saat berjalan
 Pasien mengatakan kepada perawat bahwa ia merasa putus
asa dengan kondisinya saat ini
 Hasil pemeriksaan X-Ray dan sputum pasien menunjukkan
bahwa paru-paru pasien terinfeksi tuberculosis
 RR : 34 x/m
 Ronkhi (+) di kedua paru
 BB : 35 kg
 TB : 155 cm
 Nilai CD4 pasien : 134 sel/ul.
c. Riwayat penyakit dahulu:
Tidak terkaji pada kasus
d. Riwayat penyakit keluarga:
Suami pasien mengidap HIV

4. Pola Aktivitas Sehari-Hari (ADL)


No ADL Sebelum Masuk Saat di RS
RS/Rumah
1 NUTRISI
MAKAN Tidak terkaji pada kasus Tidak terkaji pada kasus

MINUM Tidak terkaji pada kasus Tidak terkaji pada kasus


2 ISTIRAHAT dan
TIDUR Tidak terkaji pada kasus Tidak terkaji pada kasus
MALAM
Tidak terkaji pada kasus Tidak terkaji pada kasus
SIANG
3 ELIMINASI
BAK Tidak terkaji pada kasus Tidak terkaji pada kasus

BAB Tidak terkaji pada kasus Tidak terkaji pada kasus

4 PERSONALHYGI Tidak terkaji pada kasus Tidak terkaji pada kasus


ENE

5 MOBIL Pasien sesak nafas berat saat Tidak terkaji pada kasus
ITAS berjalan
danAK
TIVITA
S

5. Pemeriksaan Fisik
1. Kesadaran : Compos mentis
2. Pemeriksaan TTV :
RR: 23x/menit,
3. Pemeriksaan Head to Toe :
1) Kulit :TidakTerkaji

2) Kepala :TidakTerkaji

3) Mata :TidakTerkaji

4) Telinga :TidakTerkaji

5) Hidung :TidakTerkaji

6) Mulut :TidakTerkaji

7) Leher :TidakTerakaji
8) Thorax :Bunyi ronki (+) dikedua paru

9) Abdomen :TidakTerkaji

10) Ekstermitas :TidakTerakaji

6. Pemeriksaan penunjang:
a) Hasil pemeriksaan X-Ray dan sputum pasien menunjukkan bahwa
paru-paru pasien terinfeksi tuberculosis
b) Nilai CD4 pasien : 134 sel/ul.

B. ANALISA DATA
Data Etiologi Problem
DS: Obsturksi jalan Bersihan jalan
- Pasien mengatakan batuk napas nafas tidak efektif
sudah satu bulan
- Pasien mengeluh sesak nafas
dan sesak semakin memburuk
saat berjalan
DO:
- RR: 34x/menit
- Tredapat bunyi nafas
tambahan ronki (+) dikedua
paru

DS: Infeksi Defisit nutrisi


- Pasien mengatakan opurtunistik
kehilangan berat badan 10 kg

DO:
- TB 155cm
- BB 35 kg (rendah dan tidak
ideal)
DS: Penurunan Keputusasaan
- Pasien merasa putus asa kondisi
dengan kondisinya fisiologis
(penyakit
DO: - terminal)
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d obstruki jalan nafas
2. Defisit nutrisi b.d penyakit infeksi opurtunistik
3. Keputusasaan b.d penurunan kondisi fisiologis (penyakit terminal)

D. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Tujuan & Kriteria Intervensi Keperawatan
Keperawatan Hasil
Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan Latihan Batuk Efektif
tidak efektif intervensi
keperawatan 1. Observasi
diharapkan bersihan  Identifikasi
jalan napas membaik kemampuan batuk
dengan kriteria hasil:  Monitor adanya
1. Batuk efektif retensi sputum
meningkat  Monitor tanda dan
2. Produksi sputum gejala infeksi saluran
menurun napas
3. Suara ronki
 Monitor input dan
menurun
4. Dispnea menurun output cairan ( mis.
5. Frekuensi napas jumlah dan
membaik karakteristik)
6. Pola napas 2. Terapeutik
membaik  Atur posisi semi-
Fowler atau Fowler
 Pasang perlak dan
bengkok di pangkuan
pasien
 Buang sekret pada
tempat sputum
3. Edukasi
 Jelaskan tujuan dan
prosedur batuk efektif
 Anjurkan tarik napas
dalam melalui hidung
selama 4 detik,
ditahan selama 2
detik, kemudian
keluarkan dari mulut
dengan bibir mencucu
(dibulatkan) selama 8
detik
 Anjurkan mengulangi
tarik napas dalam
hingga 3 kali
 Anjurkan batuk
dengan kuat langsung
setelah tarik napas
dalam yang ke-3
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
mukolitik atau
ekspektoran, jika
perlu

Manajemen Jalan Nafas

1. Observasi
 Monitor pola napas
(frekuensi, kedalaman,
usaha napas)
 Monitor bunyi napas
tambahan (mis.
Gurgling, mengi,
weezing, ronkhi
kering)
 Monitor sputum
(jumlah, warna,
aroma)
2. Terapeutik
 Pertahankan
kepatenan jalan napas
dengan head-tilt dan
chin-lift (jaw-thrust
jika curiga trauma
cervical)
 Posisikan semi-Fowler
atau Fowler
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisioterapi
dada, jika perlu
 Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik
 Keluarkan sumbatan
benda padat dengan
forsepMcGill
 Berikan oksigen, jika
perlu
3. Edukasi
 Anjurkan asupan
cairan 2000 ml/hari,
jika tidak
kontraindikasi.
 Ajarkan teknik batuk
efektif
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.

Pemantauan Respirasi

1. Observasi
 Monitor frekuensi,
irama, kedalaman, dan
upaya napas
 Monitor pola napas
(seperti bradipnea,
takipnea,
hiperventilasi,
Kussmaul, Cheyne-
Stokes, Biot, ataksik)
 Monitor kemampuan
batuk efektif
 Monitor adanya
produksi sputum
 Monitor adanya
sumbatan jalan napas
 Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
 Auskultasi bunyi
napas
 Monitor saturasi
oksigen
 Monitor nilai AGD
 Monitor hasil x-
ray toraks
2. Terapeutik
 Atur interval waktu
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil
pemantauan
3. Edukasi
 Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
 Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu

Defisit nutrisi b.d Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi


infeksi opurtunistik intervesi keperawatan
diharapan kebutuhan 1. Observasi
cairan dapat datasi  Identifikasi status
dengan kriteria hasil: nutrisi
1. Adanya  Identifikasi alergi dan
peningkatan berat intoleransi makanan
badan sesuai  Identifikasi makanan
dengan tujuan yang disukai
berat badan ideal
 Identifikasi kebutuhan
sesuai dengan
tinggi badan kalori dan jenis
2. Menunjukkan nutrient
peningkatan  Identifikasi perlunya
fungsi penggunaan selang
pengecapan dan nasogastrik
menelan  Monitor asupan
3. Verbalisasi
makanan
keinginan untuk
meningkatkan  Monitor berat badan
nutrisi meningkat  Monitor hasil
4. Pengetahuan pemeriksaan
tentang pilihan laboratorium
makanan yang 2. Terapeutik
sehat meningkat  Lakukan oral hygiene
5. Pengetahuan sebelum makan, jika
tentang standard perlu
asupan
 Fasilitasi menentukan
nutrisiyang tepat
meningkat pedoman diet (mis.
6. Sikap terhadap Piramida makanan)
makanan/minuma  Sajikan makanan
n secara menarik dan
sesuai dengan suhu yang sesuai
tujuan kesehatan  Berikan makan tinggi
serat untuk mencegah
konstipasi
 Berikan makanan
tinggi kalori dan
tinggi protein
 Berikan suplemen
makanan, jika perlu
 Hentikan pemberian
makan melalui selang
nasigastrik jika asupan
oral dapat ditoleransi
3. Edukasi
 Anjurkan posisi
duduk, jika mampu
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum
makan (mis. Pereda
nyeri, antiemetik), jika
perlu
 Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kalori dan jenis
nutrient yang
dibutuhkan, jika perlu

Promosi Berat Badan

1. Observasi
 Identifikasi
kemungkinan
penyebab BB kurang
 Monitor adanya mual
dan muntah
 Monitor jumlah
kalorimyang
dikomsumsi sehari-
hari
 Monitor berat badan
 Monitor albumin,
limfosit, dan elektrolit
serum
2. Terapeutik
 Berikan perawatan
mulut sebelum
pemberian makan, jika
perlu
 Sediakan makan yang
tepat sesuai kondisi
pasien( mis. Makanan
dengan tekstur halus,
makanan yang
diblander, makanan
cair yang diberikan
melalui NGT atau
Gastrostomi, total
perenteral nutritition
sesuai indikasi)
 Hidangkan makan
secara menarik
 Berikan suplemen,
jika perlu
 Berikan pujian pada
pasien atau keluarga
untuk peningkatan
yang dicapai
3. Edukasi
 Jelaskan jenis
makanan yang bergizi
tinggi, namuntetap
terjangkau
 Jelaskan peningkatan
asupan kalori yang
dibutuhkan

Keputusasaan b.d Setelah dilakukan Dukungan Emosional


penurunan kondisi intervesi keperawatan
fisiologis (penyakit diharapan 1. Observasi
terminal)  Identifikasi
keputusasaan dapat
datasi dengan kriteria keputusasaan pasien
hasil:  Identifikasi hal yang
1. Keputusasaan telah memicu emosi
pasien berkurang 2. Terapeutik
2. Pasien  Fasilitasi
termotivasi dan mengungkapkan
memiliki harapan
perasaan cemas,
untuk sembuh
3. Pasien menerima marah, atau sedih
keadaanya  Buat pernyataan
4. Tingkat depresi suportif atau empati
bekurang  Lakukan sentuhan
untuk memberikan
dukungan (mis.
merangkul, menepuk-
nepuk)
 Tetap bersama pasien
dan pastikan
keamanan selama
ansietas, jika perlu
 Kurangi tuntutan
berfikir saat sakit atau
lelah
3. Edukasi
 Anjurkan
mengungkapkan
perasaan yang dialami
(mis. ansietas, marah,
sedih)
 Anjurkan
mengungkapkan
pengalaman
emosional sebelumnya
dan pola respon yang
biasa digunakan
 Ajarkan penggunaan
mekanisme
pertahanan yang tepat
4. Kolaborasi
 Rujuk untuk
konseling, jika perlu

Promosi Harapan

a. Observasi
 Identivikasi harapan
pasien dan keluarga
dalam pencapaian
hidup
b. Terapiutik
 Sadarkan bahwa
kondisi yang dialami
memiliki nilai penting
 Pandu mengingat
kembali kenangan
yang menyenangkan
 Libatkan pasien secara
aktif dalam perawatan
 Kembangkan rencana
perawatan yang
melibatkan tingkat
pencapaian tujuan
sederhana sampai
dengan kompleks
 Berikan kesempatan
kepada pasien dan
keluarga terlibat
dengan dukungan
kelompok
 Ciptakan lingkungan
yang memudahakan
mempraktekan
kebutuhan sepiritual
c. Edukasi
 Anjurkan
mengungkapkan
perasaanterhadap
kondisi dengan
realistis
 Anjurkan
mempertahankan
hubungan(mis.
menyebutkan nama
orang yang dicintai)
 Anjurkan
mempertahankan
hubungan terapeutik
dengan orang lain
 Latih menyusun
tujuan sesuai harapan
 Latih cara
mengembangakn
sepiritual diri
 Latih cara mengenang
dan minikmati masa
lalu (mis. prestasi,
pengalaman )

Sumber:

- Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan


Indonesia (SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
- Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan
Indonesia (SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
- Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia (SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
STEP VI

1. DEFINISI
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat
limfotropik khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh,
menghancurkan atau merusak sel darah putih spesifik yang disebut limfosit
Thelper atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4). Virus ini diklasifikasikan
dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus Lentivirus.
Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan
orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tingkat HIV dalam tubuh dan
timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi
HIV telah berkembang menjadi AIDS (Acquired Imunnodeficiency
Syndrome.
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan dampak
atau efek dari perkembang biakan virus HIV dalam tubuh makhluk hidup.
AIDS merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh
menurunnya kekebalan tubuh akibat virus HIV. Sebagian besar orang yang
terkena HIV, bila tidak mendapat pengobatan, akan menunjukkan tanda-
tanda AIDS dalam waktu 8-10 tahun. AIDS diidentifikasi berdasarkan
beberapa infeksi tertentu yang dikelompokkan oleh Organisasi Kesehatan
Dunia (World Health Organization) menjadi 4 tahapan stadium klinis,
dimana pada stadium penyakit HIV yang paling terakhir (stadium IV)
digunakan sebagai indikator AIDS. Sebagian besar keadaan ini merupakan
infeksi oportunistik yang apabila diderita oleh orang yang sehat, infeksi
tersebut dapat diobati.

2. PATOFISIOLOGI/PATOGENESIS
a. Penularan dan Masuknya Virus
HIV dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinalis, semen, air mata,
sekresi vagian atau serviks, urin, ASI, dan air liur. Penularan terjadi
paling efisien melalui darah dan semen . HIV juga dapat ditularkan
melalui air susu dan sekresi vagian atau serviks. Tiga cara utama
penularan adalah kontak ibu-bayi. Setelah virus ditularkan akan terjadi
serangkaian proses yang kemudian menyebabkan infeksi.
b. Perlekatan Virus
Setelah virus berfusi dengan limfosit CD4+ maka berlangsung
serangkaian proses kompleks yang, apabila berjalan lancer,
menyebabkan terbentuknya partikel-partikel virus baru dari sel yang
terinfeksi. Lomfosit CD4+ yang terinfeksi mungkin mengalami siklus-
siklus replikasi sehingga menghasilkan banyak virus. Infeksi pada
limfosit CD4+ juga dapat menimbulkan sitopatogenisitas melalui
beragam mekanisme, termasuk apoptosis (kematian sel terprogram),
anergi (pencegahan fusi sel lebih lanjut), atau pembentukan sinsitium
(fusi sel).
c. Replikasi Virus
Replikasi HIV berlanjut sepanjang periode latensi klinis, bahkan saat
hanya terjadi aktivitas virus yang minimal di dalam darah (Embretson et
al., 1993; Panteleo et al., 1993). HIV ditemukan dalam jumlah besar di
dalam limfosit CD4+ dan makrofag di seluruh system limfoid pada
semua tahap infeksi. Partikel-partikel virus juga telah dihubungkan
dengan sel-sel dendritik folikular, yang mungkin memindahkan infeksi
ke sel-sel selama migrasi melalui folikel-folikel limfoid.
Walaupun selama masa latensi klinis tingkat viremia dan replikasi virus
di sel-sel mononukleus darah perifer rendah, namun pada infeksi ini
tidak ada latensi yang sejati. HIV secara terus menerus terakumulasi
dan bereplikasi di organ-organ limfoid. Sebagian data menunjukkan
bahwa terjadi replikasi dalam jumlah sangat besar dan pertukaran sel
yang sangat cepat, dengan waktu-paruh virus dan sel penghasil virus di
dalam plasma sekitar 2 hari (Wei et al., 1995; Ho et al., 1995). Aktivitas
ini menunjukkan bahwa terjadi pertempuran terus menerus antara virus
dan system imun pasien

3. KLASIFIKASI
Klasifikasi HIV/AIDS pada orang dewasa dengan infeksi, menurut
WHO (Health Organizations) dijelaskan menjadi 4 stadium klinis yaitu :
1. Stadium I bersifat Asimptomatik
Aktivitas normal dan dijumpai adanya Limfadenopati generalisata.
2. Stadium II Simptomatik
Aktivitas normal, berat badan menurun <10%, terdapat kelainan kulit
dan mukosa yang ringan, seperti Dermatitis serobik, Prorigo,
Onikomikosis, Ulkus yang berulang dan Khelitis angularis, Herpes
zoster dalam 5 tahun terakhir, serta adanya infeksi saluran nafas bagian
atas, seperti Sinusitis bakterialis.
3. Stadium III
Pada umumnya kondisi tubuh lemah, aktivitas di tempat tidur <50%
berat badan menurun >10% terjadi diare kronis yang berlangsung lebih
dari 1 bulan, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, terdapat
Kandidiasis orofaringeal, TB paru dalam 1 tahun terakhir, infeksi
bacterial yang berat seperti Pneumonia dan Piomiositis.
4. Stadium IV
Pada umumnya kondisi tubuh lemah, aktivitas ditempat tidur <50%,
terjadi HIV wasting syndrome, semakin bertambahnya infeksi
oportunistik, seperti Pneumonia Pneumocystis carinii, Toksoplasmosis
otak, Diare Kriptosporidosis ekstrapulmunal, Retinitis virus sitomegalo,
Herpes simpleks mukomutan >1 bulan, Leukoensefalopati multifocal
progresif, Kandidiasis di esophagus, trachea, bronkus dan paru, TB
diluar paru, LImfoma, Sarkoma Kaposi, serta Ensefalopati HIV. (WHO
dalam Budhy, 2017).

4. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita AIDS
umumnya sulit dibedakan karena bermula dari gejala klinis umum yang
didapati pada penderita penyakit lainnya. Secara umum dapat dikemukakan
sebagai berikut:
a. Rasa lelah dan lesu
b. Berat badan menurun secara drastis
d. Demam yang sering dan berkeringat waktu malam
e. Mencret dan kurang nafsu makan
f. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
g. Pembengkakan leher dan lipatan paha
h. Radang paru
i. Kanker kulit

5. KOMPLIKASI
Menurut Budhy (2017) komplikasi yang disebabkan karena infeksi
HIV memperlemah system kekebalan tubuh, yang dapat menyebabkan
terserang banyak infeksi dan jenis kanker tertentu. Infeksi umum terjadi
pada HIV/AIDS antara lain:
1. Tuberkulosis (TB).
2. Sitomegalovirus
Herpes yang ditularkan melalui cairan tubuh. Jika kekebalan tubuh
melemah virus muncul kembali, menyebabkan kerusakan pada mata,
saluran pencernaan, paru-paru atau organ tubuh lainnya.
3. Kandidiasis
Infeksi yang berhubungan dengan HIV menyebabkan radang dan
lapisan putih tebal diselaput lendir mulut, lidah , kerongkongan dan
vagina.
4. Meningitis kriptokokal
Pembengkakan selaput dan cairan yang mengelilingi otak dan sumsum
tulang belakang (meninges). Meningitis kriptokokal adalah infeksi
system saraf pusat yang umum yang terkait dengan HIV disebabkan
oleh jamur.
5. Toksoplasmosis.
6. Kriptosporidiosis
Infeksi yang disebabkan oleh parasit usus yang biasa ditemukan pada
hewan. Kriptosporidiosis bisa masuk kedalam tubuh seseorang ketika
menelan makanan yang terkontaminasi. Parasite tumbuh di usus dan
saluran empedu yang dapat menyebabkan diare kronis yang parah pada
pasien dengan AIDS.
7. Kanker
a. Tumor Sarkoma Kaposi
b. Sarcoma Kaposi
c. Limfoma
Kanker berasal dari sel darah putih dan biasanya pertama kali
muncul dikelenjar getah bening. Tanda awal yang paling umum
adalah pembengkakan kelenjar getah bening yang tidak
menyakitkan di leher, ketiak, atau pangkal paha.
8. Sindroma wasting
Kehilangan setidaknya 10% berat badan sering disertai diare,
kelemahan kronis dan demam.
9. Komplikasi neurologis
AIDS tampak tidak menginfeksi sel-sel saraf, hal itu dapat
menyebabkan gejala neurologis seperti kebingungan, kelupaan, depresi,
kegelisahan dan kesulitan berjalan. Komplikasi neurologis yang umum
adalah kompleks dimensia AIDS yang menyebabkan perubahan
perilaku dan berkurangnya fungsi mental.
10. Penyakit ginjal
HIV terkait nefropati (HIVAN) adalah radang filter kecil di ginjal yang
menghilangkan kelebihan cairan dan limbah dari aliran darah, serta
meneruskannya ke urin. Akibat predisposisi genetik, resiko
pengembangan HIV/AIDS jauh lebih tinggi pada orang kulit hitam.

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan HIV
1. Skrining HIV
Untuk mengetahui tingkat resiko infeksi dan juga pola hidup
kesehraian, apakah memang benar faktor resiko tinggi untuk
menderita penyakit HIV.
2. Tes Serologi/Tes Antibody
 Rapid test
 Tes ELISA
3. Tes Konfirmasi
 Wastern blot
 Indirect Fluorescent Antibody(IFA)
4. Deteksi Virus
 Antigen P24
 Viral load/PCR

b. Pemeriksaan Infeksi Oportunistik


1. Hitung sel T CD4
Pemeriksaan sel CD4 ini dilakukan apabila pasien ada gejala
infeksi oportunistik, untuk melihat apakah pasien memerlukan
pencegahan kotrimoksasol.
2. Viral load (VL)
Di periksa setelah pasien minum obat ARV 6 bulan kemudian.Dan
seharusnya viral load sudah tidak terdeteksi.Jika viral load kurang
dari 1000 sudah menunjukan pengobatan baik. Namun jika viral
load lebih dari 1000 maka harus dilakukan pengulangan lagi
apakah terjadi adanya resistensi obat. Viral loadadalah jumlah virus
yang ada didalam darah.

7. FAKTOR RISIKO
Secara umum faktor resiko HIV/AIDS adalah sebagai berikut :
a. Jenis Kelamin
Menurut penelitan Yunior dan Ika (2018), didapatkan bahwa jenis
kelamin laki-laki lebih berisko terinfeksi HIV AIDS sebesar 1,77 kali
dibandingkan perempuan.
b. Usia
Berdasarkan penelitian Amelia dkk (2016), usia 28-44 tahun berisiko
5,4 kali berpengaruh terhadap kejadian HIV/AIDS pada laki-laki.
c. Status Menikah
Menurut Sumini dkk (2017), status menikah ternyata lebih mungkin
terjadi HIV/AIDS sebesar 2,54 kali dibanding individu yang statusnya
belum menikah.
d. Pendidikan
Kejadian HIV juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang rendah.
Tingkat pendidikan yang rendah berisiko 4,709 kali lebih besar
berpengaruh terhadap kejadian HIV/AIDS.
e. Pengetahuan
Selain pendidikan rendah dapat berpengaruh pada kejadian HIV,
ternyata pengetahuan yang rendah juga dapat mempengaruhi individu
untuk terinfeksi HIV sebesar 3,32 kali. f. Riwayat Konsumsi Alkohol
Individu yang memiliki riwayat mengonsumsi alkohol memiliki risiko
7,65 kali lebih besar untuk terinfeksi HIVAIDS.
f. Riwayat Tindik
Menurut Susilawati, Muchlis dan Ana (2018), riwayat melakukan
tindik dengan jarum suntik yang tidak steril dapat berisiko terhadap
kejadian HIV/AIDS sebesar 3,42 kali dibandingkan dengan tindik
yang menggunakan jarum suntik steril.
g. Riwayat HIV/AIDS
Pada Keluarga atau Pasangan Selain memiliki riwayat infeksi menular
seksual, HIV berisiko terjadi pada individu yang memiliki riwayat
HIV/AIDS dalam keluarga ataupun pasangannya.
h. Riwayat Penyakit Menular Seksual
Peningkatan risiko HIV selanjutnya adalah riwayat penyakit menular
seksual pada penderita atau pasangan, berdasarkan penelitian
Susilowati (2011), penyakit menular seksual berisiko 2,67 kali lebih
besar berpengaruh terhadap kejadian HIV/AIDS.
i. Orientasi Seksual
a. Heteroseksual
b. Homoseksual
c. Biseksual
j. Pasangan Seksual Lebih dari Satu
Peningkatan risiko HIV dipengaruhi juga oleh individu yang memiliki
pasangan seksual lebih dari satu, menurut Muchimba dkk (2013)
dalam Musyarofah dkk (2017), semakin banyak jumlah pasangan
seksual akan meningkatkan kemungkinan bahwa salah satu tindakan
berhubungan seks secara acak akan mengakibatkan infeksi.
k. Hubungan Seks Tanpa Kondom
Selain pasangan seksual lebih dari satu, ternyata risiko HIV juga
dipengaruhi oleh hubungan seks anal atau vaginal tanpa kondom.
l. Pengguna Narkoba Suntik (Penasun)
Terdapat beberapa populasi yang mengalami peningkatan risiko HIV,
yaitu penggunaan jarum suntik yang tidak aman secara bersama-sama
di antara pengguna narkoba suntik, hal ini didukung oleh penelitian
Susilowati (2011), bahwa status penggunaan narkoba suntik berisiko
4,51 kali lebih besar berpengaruh terhadap kejadian HIV/AIDS

8. PENANGANAN
HIV/AIDS umumnya ditangani dengan penggunaan beberapa obat
antiretroviral (ARV) untuk mengendalikan infeksi HIV.Terdapat beberapa
kategori obat antiretroviral berdasarkan tahapan hidup dari virus HIV.
Penggunaan beberapa obat sekaligus yang diarahkan ke beberapa target
virus disebut sebagai highly active antiretroviral therapy (HAART)
atau antiretroviral therapy (ART) atau terapi ARV. ART mengurangi efek
virus HIV dan dapat membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh serta
menurunkan peluang terjadinya infeksi lain yang sering kali menyebabkan
kematian pada pasien HIV. ART juga mencegah penyebaran virus HIV
melalui hubungan seks antara pasien dan bukan pasien selama si pasien
rutin menjaga pemakaian obat serta mengecek dan menjaga tingkat jumlah
virus dalam darah (viral load) dalam tingkat tidak terdeteksi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan penawaran terapi
ARV terhadap pasien dengan HIV. Karena pengobatan pada terapi ARV
dapat sangat kompleks dan berpotensi memiliki efek samping atau
memunculkan kekebalan virus.WHO juga menekankan keterlibatan pasien
dalam memilih pelaksanaan terapi serta agar manfaat dan risiko pada
pasien dapat dianalisis.] WHO mendefinisikan sehat tidak hanya sebagai
ketiadaan penyakit pada seseorang.
Penanganan/Penatalaksanaan HIV tergantung pada stadium penyakit
dan setiap infeksi oportunistik yang terjadi, secara umum, tujuan
pengobatan adalah untuk mencegah sistem imun tubuh memburuk ke titik
di mana infeksi oportunistik akan bermunculan. Sindrom putih atau
immune Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS) yang dapat muncul
setelah pengobatan juga jarang terjadi pada pasien yang belum mencapai
titik tersebut (Hidayati et al. 2019).
Untuk semua penderita HIV/AIDS diberikan anjuran untuk istirahat
sesuai kemampuan atau derajat sakit, dukungan nutrisi yang memadai
berbasis makronutrien dan mikronutrien untuk HIV dan AIDS, konseling
termasuk pendekatan psikologi dan psikososial, dan membiasakan gaya
hidup sehat. Terapi antiretroviral adalah metode utama untuk mencegah
perburukan sistem imun tubuh. Terapi infeksi
sekunder/oportunistik/malignansi diberikan sesuai gejala dan diagnosis
penyerta yang ditemukan. Sebagai tambahan profilaksis untuk infeksi
oportunistik spesifik diindikasikan pada kasus-kasus tertentu (Hidayati et
al. 2019).

9. PENCEGAHAN
Lima cara untuk mencegah penularan HIV, dikenal konsep “ABCDE”
sebagai berikut.
1. A (Abstinence): artinya Absen seks atau tidak melakukan
hubungan seks bagi yang belum menikah.
2. B (Be faithful): artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan
seks (tidak berganti-ganti pasangan).
3. C (Condom): artinya Cegah penularan HIV melalui hubungan
seksual dengan menggunakan kondom.
4. D (Drug No): artinya Dilarang menggunakan narkoba.
5. E (Education): artinya pemberian Edukasi dan informasi yang
benar mengenai HIV, cara penularan, pencegahan dan
pengobatannya.
Individu dapat mengurangi risiko infeksi HIV dengan membatasi paparan
faktor risiko. Pendekatan utama untuk pencegahan HIV sebagai berikut :

1. Penggunaan kondom pria dan wanita


Penggunaan kondom pria dan wanita yang benar dan konsisten selama
penetrasi vagina atau dubur dapat melindungi terhadap penyebaran
infeksi menular seksual, termasuk HIV. Bukti menunjukkan bahwa
kondom lateks laki-laki memiliki efek perlindungan 85% atau lebih
besar terhadap HIV dan infeksi menular seksual (IMS) lainnya.
2. Tes dan konseling untuk HIV dan IMS
Pengujian untuk HIV dan IMS lainnya sangat disarankan untuk semua
orang yang terpajan salah satu faktor risiko. Dengan cara ini orang
belajar tentang status infeksi mereka sendiri dan mengakses layanan
pencegahan dan perawatan yang diperlukan tanpa penundaan. WHO
juga merekomendasikan untuk menawarkan tes untuk pasangan. Selain
itu, WHO merekomendasikan pendekatan pemberitahuan mitra bantuan
sehingga orang dengan HIV menerima dukungan untuk
menginformasikan mitra mereka sendiri, atau dengan bantuan penyedia
layanan kesehatan.
3. Tes dan konseling, keterkaitan dengan perawatan tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang paling umum dan penyebab
kematian di antara orang dengan HIV. Hal ini fatal jika tidak terdeteksi
atau tidak diobati, yang bertanggung jawab untuk lebih dari 1 dari 3
kematian terkait HIV.
Deteksi dini TB dan keterkaitan yang cepat dengan pengobatan TB dan
ARV dapat mencegah kematian pada ODHA. Pemeriksaan TB harus
ditawarkan secara rutin di layanan perawatan HIV dan tes HIV rutin
harus ditawarkan kepada semua pasien dengan dugaan dan terdiagnosis
TB. Individu yang didiagnosis dengan HIV dan TB aktif harus segera
memulai pengobatan TB yang efektif (termasuk untuk TB yang resistan
terhadap obat) dan ARV. Terapi pencegahan TB harus ditawarkan
kepada semua orang dengan HIV yang tidak memiliki TB aktif.
4. Sunat laki-laki oleh medis secara sukarela
Sunat laki-laki oleh medis, mengurangi risiko infeksi HIV sekitar 60%
pada pria heteroseksual. Sunat laki-laki oleh medis juga dianggap
sebagai pendekatan yang baik untuk menjangkau laki-laki dan remaja
laki-laki yang tidak sering mencari layanan perawatan kesehatan.
5. Penggunaan obat antiretroviral untuk pencegahan
Penelitian menunjukkan bahwa jika orang HIV-positif mematuhi
rejimen ARV yang efektif, risiko penularan virus ke pasangan seksual
yang tidak terinfeksi dapat dikurangi sebesar 96%. Rekomendasi WHO
untuk memulai ARV pada semua orang yang hidup dengan HIV akan
berkontribusi secara signifikan untuk mengurangi penularan HIV.

10. ETIOLOGI
Penyebab penyakit AIDS adalah virus HIV yaitu suatu virus yang
masuk ke dalam kelompok retrovirus yang biasanya menyerang organ-
organ vital sistem kekebalan tubuh manusia. Penyakit ini juga bisa dapat
ditularkan melalui penularan seksual, kontaminasi patogen di dalam darah,
dan penularan masa perinatal ( Bararah & Jauhar, 2013 )
HIV sendiri termasuk kelompok retrovirus, virus yang mempunyai
enzim (protein) yang dapat mengubah asam rebonukleatnya(RNA) menjadi
asam deoksiribunokleat (DNA). Kemampuan HIV untuk tetap tersembunyi
yang menyebabkan virus ini tetap ada seumur hidup bahkan dengan
pengobatan yang efektif. Penularan virus dapat ditularkan melalui :
a. Hubungan seksual yang tidak terlindungi atau tanpa kondom dengan
orang yang telah terinfeksi HIV
b. Jarum sunti yang tidak disterilkan dan sering dipakai secara bergantian
c. Mendapatkan tranfusi darah dari penderita virus HIV
d. Ibu penderita HIV positif melahirkan atau melalui air susu ibu (ASI) (
Gallant, 2010 ).

11. EPIDEMIOLOGI
Dari 38 juta orang yang hidup dengan HIV, 25,4 juta orang sekarang
dalam pengobatan. Artinya, 12,6 juta orang masih menunggu. Infeksi HIV
baru telah berkurang 23% sejak 2010, sebagian besar berkat penurunan
substansial sebesar 38% di Afrika bagian timur dan selatan. Tetapi infeksi
HIV telah meningkat 72% di Eropa Timur dan Asia Tengah, 22% di Timur
Tengah dan Afrika Utara, dan 21% di Amerika Latin. Secara global, masih
ada 690.000 kematian terkait AIDS pada 2019 dan 1,7 juta infeksi baru
(UNAIDS 2020)
HIV dan AIDS di Indonesia berada di urutan ke-5 dari negara-ngara di
Asia paling bersiko terhadap penularan HIV/AIDS (Kementrian Kesehatan
RI 2018). Data kasus HIV/ AIDS di Indonesia terus meningkat dari setiap
tahunnya. Pada tahun 2019 ditemukan sebanyak 50.282 kasus. Berdasarkan
data WHO tahun 2019, terdapat 78% infeksi HIV baru di Asia Pasifik
(Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI 2020).
DAFTAR PUSTAKA

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Ermawan, Budhy. 2017. Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Gangguan Sistem


Imunologi. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Yunior N, Wardani IKF. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian


HIV/AIDS di RSUD Kabupaten Bekasi Tahun 2018. Bekasi; 2018.

Amelia, Winda dan Erna Hernawati. 2016. Pengaruh Komisaris Independen,


Ukuran Perusahaan dan Profitabilitas Terhadap Manajemen Laba. NeO~Bis.
Volume 10, No. 1, Juni 2016.

Sumini 2017, „Hubungan Paritas dengan Kejadian Kekurangan Energi Kronik


(KEK) pada Ibu Hamil di Desa Gombang Kecamatan Slahung Kabupaten
Ponorogo‟, Jurnal Delima Harapan, vol.5, no.1, hlm.4-6.

Susilawati T, Sofro M, Sari A. Faktor Bikfokes Volume 2 Edisi 1 Tahun 2021 59


Risiko Yang Mempengaruhi Kejadian HIV/AIDS Di Magelang . In: Standar
Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) Edisi 1 Terkait Rekam Medis . Yogyakarta;
2018.

Bararah, T dan Jauhar, M. 2013. Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi


Perawat Profesional. Jakarta : Prestasi Pustakaraya

Gallant, J. (2010). 100 tanya jawab mengenai HIV dan AIDS. Alih bahasa:
Alexander Sindoro. Indeks, Jakarta

UNAIDS, 2020. Tackling entrenched inequalities to end epidemics. Jt. united


Natl. Program. HIV/AIDS (UNAIDS)

Anda mungkin juga menyukai