Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
UNIVERSITAS JAMBI
2022
KASUS
Seorang wanita usia 33 tahun dirawat di rumah sakit dikarenakan batuk sudah
lebih dari satu bulan serta kehilangan berat badan sebanyak 10 kg dalam kurun
waktu satu bulan. Hasil pemeriksaan X-Ray dan sputum pasien menunjukkan
bahwa paru-paru pasien terinfeksi tuberculosis. Hasil pemeriksaan menunjukkan
RR : 34 x/m, ronkhi (+) di kedua paru. BB : 35 kg, TB : 155 cm. Nilai CD4 pasien
: 134 sel/ul. Pasien mengatakan tertular HIV dari suaminya. Pasien sering
mengeluhkan sesak nafas dan
sesak semakin memburuk pada saat berjalan. Pasien mengatakan kepada perawat
bahwa ia merasa putus asa dengan kondisinya saat ini. Perawat pun menyarankan
kepada pasien untuk berzikir agar pasien merasa tenang.
LO :
STEP I
ISTILAH SULIT
1. Pemeriksaan x-ray
Jawaban :
X-ray adalah tes pencitraan yang digunakan untuk melihat bagian
dalam tubuh tanpa harus membedah pasiennya. Prosedur pemeriksaan
ini membantu dalam mendiagnosis, memantau, dan mengobati
berbagai kondisi medis. X-ray juga tersedia dalam berbagai jenis,
tergantung pada area mana yang butuh diperiksa.
Secara umum kegunaan Foto thorax/CXR adalah :
a. untuk melihat abnormalitas congenital (jantung, vaskuler)
b. untuk melihat adanya trauma (pneumothorax, haemothorax)
c. untuk melihat adanya infeksi (umumnya tuberculosis/TB)
d. untuk memeriksa keadaan jantung
e. untuk memeriksa keadaan paru-paru
2. CD4
Jawaban :
Sel CD4 adalah jenis sel darah putih atau limfosit yang merupakan
bagian penting dari sistem kekebalan tubuh disebut sebagai sel-T, atau
sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah
putih manusia, terutama sel-sel limfosit, dimana CD4 adalah bagian
dari sel darah putih yang dihancurkan oleh HIV yang berperan vital
untuk mengahadang infeksi
3. Tuberkolosis
Jawaban :
Tuberkulosis (TBC) atau TB adalah penyakit menular akibat infeksi
bakteri. TBC umumnya menyerang paru-paru, tetapi juga dapat
menyerang organ tubuh lain, seperti ginjal, tulang belakang, dan otak.
Penyakit ini menyebar saat orang yang terinfeksi TB paru sedang
mengeluarkan bakteri ke udara , misalnya dengan batuk. Seluruh
keseluruhan, dalam proporsi yangrelative kecil (5-15%) dari perkiraan
1,7 miliar orang yang terinfeksi M. tuberkulosis akan mengembangkan
penyakit TB selama hidupnya. Namun, kemungkinan pengembangan
penyakit TB jauh lebih tinggi di antara orang yang terinfeksi HIV dan
juga diantara orang-orang yang terkena dampak faktor risiko seperti
gizi buruk, diabetes, merokok dan konsumsi alcohol (WHO, 2017).
Tuberkulosis (TB) juga disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis dan disebut sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA) (Infodatin
Kemenkes RI, 2018). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru (TB
paru), namun dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (TB ekstra
paru). Penularan TB terutama terjadi secara aerogen atau lewat udara
dalam bentuk droplet (percikan dahak/sputum). Sumber penularan TB
yaitu penderita TB paru BTA positif yang ketika batuk, bersin atau
berbicara mengeluarkan droplet yang mengandung bakteri M.
tuberculosis (Kemenkes RI, 2017).
4. Sputum
Jawaban :
Sputum adalah lendir dan materi lainnya yang dibawa dari paru-paru,
bronkus, dan trakea yang mungkin dibatukkan dan dimuntahkan atau
ditelan Kata "sputum" yang dipinjam langsung dari bahasa Latin
"meludah" Disebut juga dahak (Kamus Kesehatan, 2017). Orang
dewasa normal membentuk sputum + 100 ml/hari. Jika produksi
berlebihan, proses pembersihan mungkin tidak efektif lagi sehingga
sputum akan tertimbun. Perlu dipelajari sumber sputum, warna,
volume, dan kosistensi sputum (Muttaqin, 2008)
5. Ronkhi
Jawaban :
Ronki digambarkan sebagai suara yang mirip dengkuran. Kondisi ini
muncul saat udara tersumbat atau aliran udara menjadi kasar ketika
melalui saluran udara yang besar.
Ronkhi juga merupakan suara napas tambahan yang bernada rendah
yang terjadi akibat adanya penyumbatan jalan napas biasanya akibat
adanya lendir. Ronkhi dapat terjadu pada inspirasi (saat mengambil
napas) maupun ekspirasi. Ronkhi sendiri terdiri dari 2 jenis yaitu ronkhi
basah dan ronkhi kering.
6. HIV
Jawaban :
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh yang selanjutnya melemahkan kemampuan
tubuh melawan infeksi dan penyakit. Virus HIV ini merusak sistem
kekebalan tubuh dengan menginfeksi dan menghancurkan sel CD4. Jika
makin banyak sel CD4 yang hancur, daya tahan tubuh akan makin
melemah sehingga rentan diserang berbagai penyakit.
7. Sel/Ul
Jawaban :
Sel/ UL : Sel dimana untuk UL itu menggambarkan jumlah
sesungguhnya setiap jenis sel tersebut per mikroliter darah (UL)
STEP 2
IDENTIFIKASI MASALAH
STEP 3
ANALISA MASALAH
1. Penularan HIV terjadi saat cairan tubuh penderita (bisa darah, sperma, atau
cairan vagina), masuk ke dalam tubuh orang lain. Hal ini dapat terjadi
melalui berbagai cara berikut:
a. Hubungan seks
Infeksi HIV dapat terjadi melalui hubungan seks baik melalui vagina,
anal maupun melalui seks oral. Namun, penularan lewat seks oral hanya
terjadi bila terdapat luka terbuka di mulut penderita, misalnya akibat
gusi berdarah atau sariawan. Selain itu seseorang yang suka berganti-
ganti pasangan seksual juga lebih berisiko untuk terkena HIV.
b. Faktor Sanitasi Alat Suntik / Penggunaan jarum suntik
Berbagi penggunaan jarum suntik dengan penderita HIV adalah salah
satu cara yang dapat membuat seseorang tertular HIV. Umumnya, cara
penularan HIV ini terjadi pada pengguna-pengguna narkoba. Mereka
berbagi alat suntik untuk digunakan bersama. Penularan bisa terjadi jika
berbagi pakai jarum suntik ketika menggunakan NAPZA, Ketika jarum
tersebut dipakai oleh pemakai narkoba ODHA, pengguna narkoba
lainnya akan menggunakan jarum yang sama. Itulah yang menjadi
penyebab HIV tersebar. Selain jarum suntik, jarum lainnya juga
memiliki risiko yang sama, misalnya jarum peralatan tato-menato.
c. Transfusi darah
Penularan HIV dapat terjadi saat seseorang menerima donor darah dari
penderita HIV. Hal ini disebabkan adanya pertukaran, pencampuran,
atau proses lainnya yang melibatkan kontak cairan darah ODHA.
Beberapa di antaranya adalah donor darah yang dilakukan oleh
pendonor positif HIV atau tranfusi darah yang tercemar virus HIV.
Namun, kemungkinan terjadinya penularan ini cukup rendah. Hal ini
karena sekarang pendonor darah harus melewati skrining HIV dan
infeksi lainnya terlebih dahulu.
d. Faktor Biologis Ibu Positif HIV
Cara penularan HIV pada ibu dan janin ini terjadi melalui tali plasenta.
Selain melalui tali plasenta, penyebab HIV pada bayi pun dapat terjadi
ketika masa persalinan. Secara tidak sengaja maupun sengaja, darah
atau cairan tertentu yang dimiliki ibu positif HIV dapat masuk ke dalam
tubuh bayi.
e. Faktor Pemberian ASI
Penularan HIV juga dapat terjadi lewat pemberian Air Susu Ibu (ASI).
Sama halnya dengan faktor penularan HIV secara biologis antara ibu-
anak melalui tali plasenta, faktor pemberian ASI ini berlaku sama
karena adanya pemberian cairan. Terlebih lagi, penularan HIV lewat
ASI memiliki risiko yang lebih tinggi, yakni dapat mencapai 5 hingga
20 persen. Selain itu, kondisi tertentu pun dapat terjadi. Contohnya,
kondisi kesehatan bayi sedang turun, imun bayi sedang melemah, luka
di sekitar putih payudara ibu, dan sebagainya. Berdasarkan hasil
penelitian medis, risiko penularan HIV lewat ASI terjadi dengan
perbandingan 3:100 per tahunnya. Dengan kata lain, setiap tahunnya, 3
dari 100 anak memiliki risiko terkena HIV lewat ASI.
2. Penyakit TBC memang erat kaitannya dengan HIV. Kolaborasi dari kedua
penyakit ini sering terjadi dan merupakan kombinasi yang mematikan
karena saling mempengaruhi satu sama lain pada seluruh aspek penyakit,
mulai dari patogenesis, epidemiologi, manifestasi klinis, pengobatan serta
pencegahan. Tuberculosis juga menjadi penyebab utama kematian pada
pasien HIV-positif.
Hasil studi menyatakan bahwa terdapat hubungan saling mempengaruhi
antara kedua penyakit ini dalam menimbulkan suatu gejala klinis lewat
penurunan aktivitas sistem imun tubuh. Jika pengidap TB tertular HIV,
bakteri-bakteri yang tadinya tertidur atau pasif akan bangun dan aktif
menyerang tubuh akibat sistem kekebalan tubuh yang lemah. Tuberkulosis
(TB) merupakan salah satu infeksi paling sering pada penderita HIV/AIDS.
Akibat kerusakan cellular immunity oleh infeksi HIV menyebabkan
berbagai infeksi oportunistic, seperti TB. Angka kematian akibat infeksi
TB pada penderita HIV lebih tinggi, TB merupakan penyebab kematian
tersering (30-50%) pada penderita HIV/AIDS. Mekanisme infeksi TB pada
penderita HIV melalui : reaktivasi, infeksi baru yang progresif. Infeksi HIV
mengakibatkan kerusakan luas pada sistem imunitas seluler sehingga
terjadi koinfeksi. Infeksi TB mengakibatkan progresifitas perjalanan
HIV/AIDS yang lebih cepat hingga kematian. Efek TBC pada ODHA
maupun sebaliknya memiliki hubungan timbal balik yang saling
memperburuk kondisi satu sama lain. Karenanya sangat penting untuk
melakukan deteksi dini adanya kedua infeksi ini.
6. Batuk dan sesak napas adalah tanda dari infeksi paru. Kondisi ini
merupakan infeksi yang umum ditemui pada penderita HIV. Salah satu
infeksi paru lainnya yang juga sering ditemui pada penderita HIV adalah
tuberkulosis. Pada infeksi ini, pasien akan mengeluh batuk, sesak, dan
berkeringat pada malam hari.
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu infeksi paling sering pada
penderita HIV/AIDS. Akibat kerusakan cellular immunity oleh infeksi HIV
menyebabkan berbagai infeksi oportunistic, seperti TB.
Nah, infeksi inilah yang dapat menyebabkan pasien menjadi sesak dan
semakin sesak saaat pada saat berjalan dikarenakan pada saat berjalan
pasien akan membutuhkan energi lebih untuk bisa berjalan yang
mengakibatkan sesak semakin parah.
MIND MAPPING
Seorang wanita
33 tahun
ASUHAN KEPERAWATAN
TERMINAL ILLNESS
PADA PASIEN HIV AIDS
STEP V
Umur : 33 tahun
Tanggal lahir :-
Suku/bangsa :-
Agama :-
Alamat :-
Nomor Register :-
Tanggal MRS/Tanggal :-
2. Identitas penanggungjawab:
Nama : Tn. S
Umur :-
Suku/bangsa :-
Agama :-
Pendidikan :-
Pekerjaan :-
Alamat :-
Hubungan dengan klien : Suami
3. Riwayat Penyakit:
a. Alasan masuk RS / Keluhan utama :
Batuk sudah lebih dari satu bulan, dan kehilangan BB sebanyak
10 kg dalam kurun waktu satu bulan.
b. Riwayat kesehatan sekarang :
Pasien mengatakan batuk sudah lebih dari satu bulan
Pasien mengatakan kehilangan berat badan sebanyak 10 kg
dalam kurun waktu satu bulan.
Pasien mengatakan tertular HIV dari suaminya
Pasien sering mengeluhkan sesak nafas dan sesak semakin
memburuk pada saat berjalan
Pasien mengatakan kepada perawat bahwa ia merasa putus
asa dengan kondisinya saat ini
Hasil pemeriksaan X-Ray dan sputum pasien menunjukkan
bahwa paru-paru pasien terinfeksi tuberculosis
RR : 34 x/m
Ronkhi (+) di kedua paru
BB : 35 kg
TB : 155 cm
Nilai CD4 pasien : 134 sel/ul.
c. Riwayat penyakit dahulu:
Tidak terkaji pada kasus
d. Riwayat penyakit keluarga:
Suami pasien mengidap HIV
5 MOBIL Pasien sesak nafas berat saat Tidak terkaji pada kasus
ITAS berjalan
danAK
TIVITA
S
5. Pemeriksaan Fisik
1. Kesadaran : Compos mentis
2. Pemeriksaan TTV :
RR: 23x/menit,
3. Pemeriksaan Head to Toe :
1) Kulit :TidakTerkaji
2) Kepala :TidakTerkaji
3) Mata :TidakTerkaji
4) Telinga :TidakTerkaji
5) Hidung :TidakTerkaji
6) Mulut :TidakTerkaji
7) Leher :TidakTerakaji
8) Thorax :Bunyi ronki (+) dikedua paru
9) Abdomen :TidakTerkaji
6. Pemeriksaan penunjang:
a) Hasil pemeriksaan X-Ray dan sputum pasien menunjukkan bahwa
paru-paru pasien terinfeksi tuberculosis
b) Nilai CD4 pasien : 134 sel/ul.
B. ANALISA DATA
Data Etiologi Problem
DS: Obsturksi jalan Bersihan jalan
- Pasien mengatakan batuk napas nafas tidak efektif
sudah satu bulan
- Pasien mengeluh sesak nafas
dan sesak semakin memburuk
saat berjalan
DO:
- RR: 34x/menit
- Tredapat bunyi nafas
tambahan ronki (+) dikedua
paru
DO:
- TB 155cm
- BB 35 kg (rendah dan tidak
ideal)
DS: Penurunan Keputusasaan
- Pasien merasa putus asa kondisi
dengan kondisinya fisiologis
(penyakit
DO: - terminal)
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d obstruki jalan nafas
2. Defisit nutrisi b.d penyakit infeksi opurtunistik
3. Keputusasaan b.d penurunan kondisi fisiologis (penyakit terminal)
D. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Tujuan & Kriteria Intervensi Keperawatan
Keperawatan Hasil
Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan Latihan Batuk Efektif
tidak efektif intervensi
keperawatan 1. Observasi
diharapkan bersihan Identifikasi
jalan napas membaik kemampuan batuk
dengan kriteria hasil: Monitor adanya
1. Batuk efektif retensi sputum
meningkat Monitor tanda dan
2. Produksi sputum gejala infeksi saluran
menurun napas
3. Suara ronki
Monitor input dan
menurun
4. Dispnea menurun output cairan ( mis.
5. Frekuensi napas jumlah dan
membaik karakteristik)
6. Pola napas 2. Terapeutik
membaik Atur posisi semi-
Fowler atau Fowler
Pasang perlak dan
bengkok di pangkuan
pasien
Buang sekret pada
tempat sputum
3. Edukasi
Jelaskan tujuan dan
prosedur batuk efektif
Anjurkan tarik napas
dalam melalui hidung
selama 4 detik,
ditahan selama 2
detik, kemudian
keluarkan dari mulut
dengan bibir mencucu
(dibulatkan) selama 8
detik
Anjurkan mengulangi
tarik napas dalam
hingga 3 kali
Anjurkan batuk
dengan kuat langsung
setelah tarik napas
dalam yang ke-3
4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
mukolitik atau
ekspektoran, jika
perlu
1. Observasi
Monitor pola napas
(frekuensi, kedalaman,
usaha napas)
Monitor bunyi napas
tambahan (mis.
Gurgling, mengi,
weezing, ronkhi
kering)
Monitor sputum
(jumlah, warna,
aroma)
2. Terapeutik
Pertahankan
kepatenan jalan napas
dengan head-tilt dan
chin-lift (jaw-thrust
jika curiga trauma
cervical)
Posisikan semi-Fowler
atau Fowler
Berikan minum hangat
Lakukan fisioterapi
dada, jika perlu
Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik
Keluarkan sumbatan
benda padat dengan
forsepMcGill
Berikan oksigen, jika
perlu
3. Edukasi
Anjurkan asupan
cairan 2000 ml/hari,
jika tidak
kontraindikasi.
Ajarkan teknik batuk
efektif
4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.
Pemantauan Respirasi
1. Observasi
Monitor frekuensi,
irama, kedalaman, dan
upaya napas
Monitor pola napas
(seperti bradipnea,
takipnea,
hiperventilasi,
Kussmaul, Cheyne-
Stokes, Biot, ataksik)
Monitor kemampuan
batuk efektif
Monitor adanya
produksi sputum
Monitor adanya
sumbatan jalan napas
Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
Auskultasi bunyi
napas
Monitor saturasi
oksigen
Monitor nilai AGD
Monitor hasil x-
ray toraks
2. Terapeutik
Atur interval waktu
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
Dokumentasikan hasil
pemantauan
3. Edukasi
Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
1. Observasi
Identifikasi
kemungkinan
penyebab BB kurang
Monitor adanya mual
dan muntah
Monitor jumlah
kalorimyang
dikomsumsi sehari-
hari
Monitor berat badan
Monitor albumin,
limfosit, dan elektrolit
serum
2. Terapeutik
Berikan perawatan
mulut sebelum
pemberian makan, jika
perlu
Sediakan makan yang
tepat sesuai kondisi
pasien( mis. Makanan
dengan tekstur halus,
makanan yang
diblander, makanan
cair yang diberikan
melalui NGT atau
Gastrostomi, total
perenteral nutritition
sesuai indikasi)
Hidangkan makan
secara menarik
Berikan suplemen,
jika perlu
Berikan pujian pada
pasien atau keluarga
untuk peningkatan
yang dicapai
3. Edukasi
Jelaskan jenis
makanan yang bergizi
tinggi, namuntetap
terjangkau
Jelaskan peningkatan
asupan kalori yang
dibutuhkan
Promosi Harapan
a. Observasi
Identivikasi harapan
pasien dan keluarga
dalam pencapaian
hidup
b. Terapiutik
Sadarkan bahwa
kondisi yang dialami
memiliki nilai penting
Pandu mengingat
kembali kenangan
yang menyenangkan
Libatkan pasien secara
aktif dalam perawatan
Kembangkan rencana
perawatan yang
melibatkan tingkat
pencapaian tujuan
sederhana sampai
dengan kompleks
Berikan kesempatan
kepada pasien dan
keluarga terlibat
dengan dukungan
kelompok
Ciptakan lingkungan
yang memudahakan
mempraktekan
kebutuhan sepiritual
c. Edukasi
Anjurkan
mengungkapkan
perasaanterhadap
kondisi dengan
realistis
Anjurkan
mempertahankan
hubungan(mis.
menyebutkan nama
orang yang dicintai)
Anjurkan
mempertahankan
hubungan terapeutik
dengan orang lain
Latih menyusun
tujuan sesuai harapan
Latih cara
mengembangakn
sepiritual diri
Latih cara mengenang
dan minikmati masa
lalu (mis. prestasi,
pengalaman )
Sumber:
1. DEFINISI
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat
limfotropik khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh,
menghancurkan atau merusak sel darah putih spesifik yang disebut limfosit
Thelper atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4). Virus ini diklasifikasikan
dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus Lentivirus.
Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan
orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tingkat HIV dalam tubuh dan
timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi
HIV telah berkembang menjadi AIDS (Acquired Imunnodeficiency
Syndrome.
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan dampak
atau efek dari perkembang biakan virus HIV dalam tubuh makhluk hidup.
AIDS merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh
menurunnya kekebalan tubuh akibat virus HIV. Sebagian besar orang yang
terkena HIV, bila tidak mendapat pengobatan, akan menunjukkan tanda-
tanda AIDS dalam waktu 8-10 tahun. AIDS diidentifikasi berdasarkan
beberapa infeksi tertentu yang dikelompokkan oleh Organisasi Kesehatan
Dunia (World Health Organization) menjadi 4 tahapan stadium klinis,
dimana pada stadium penyakit HIV yang paling terakhir (stadium IV)
digunakan sebagai indikator AIDS. Sebagian besar keadaan ini merupakan
infeksi oportunistik yang apabila diderita oleh orang yang sehat, infeksi
tersebut dapat diobati.
2. PATOFISIOLOGI/PATOGENESIS
a. Penularan dan Masuknya Virus
HIV dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinalis, semen, air mata,
sekresi vagian atau serviks, urin, ASI, dan air liur. Penularan terjadi
paling efisien melalui darah dan semen . HIV juga dapat ditularkan
melalui air susu dan sekresi vagian atau serviks. Tiga cara utama
penularan adalah kontak ibu-bayi. Setelah virus ditularkan akan terjadi
serangkaian proses yang kemudian menyebabkan infeksi.
b. Perlekatan Virus
Setelah virus berfusi dengan limfosit CD4+ maka berlangsung
serangkaian proses kompleks yang, apabila berjalan lancer,
menyebabkan terbentuknya partikel-partikel virus baru dari sel yang
terinfeksi. Lomfosit CD4+ yang terinfeksi mungkin mengalami siklus-
siklus replikasi sehingga menghasilkan banyak virus. Infeksi pada
limfosit CD4+ juga dapat menimbulkan sitopatogenisitas melalui
beragam mekanisme, termasuk apoptosis (kematian sel terprogram),
anergi (pencegahan fusi sel lebih lanjut), atau pembentukan sinsitium
(fusi sel).
c. Replikasi Virus
Replikasi HIV berlanjut sepanjang periode latensi klinis, bahkan saat
hanya terjadi aktivitas virus yang minimal di dalam darah (Embretson et
al., 1993; Panteleo et al., 1993). HIV ditemukan dalam jumlah besar di
dalam limfosit CD4+ dan makrofag di seluruh system limfoid pada
semua tahap infeksi. Partikel-partikel virus juga telah dihubungkan
dengan sel-sel dendritik folikular, yang mungkin memindahkan infeksi
ke sel-sel selama migrasi melalui folikel-folikel limfoid.
Walaupun selama masa latensi klinis tingkat viremia dan replikasi virus
di sel-sel mononukleus darah perifer rendah, namun pada infeksi ini
tidak ada latensi yang sejati. HIV secara terus menerus terakumulasi
dan bereplikasi di organ-organ limfoid. Sebagian data menunjukkan
bahwa terjadi replikasi dalam jumlah sangat besar dan pertukaran sel
yang sangat cepat, dengan waktu-paruh virus dan sel penghasil virus di
dalam plasma sekitar 2 hari (Wei et al., 1995; Ho et al., 1995). Aktivitas
ini menunjukkan bahwa terjadi pertempuran terus menerus antara virus
dan system imun pasien
3. KLASIFIKASI
Klasifikasi HIV/AIDS pada orang dewasa dengan infeksi, menurut
WHO (Health Organizations) dijelaskan menjadi 4 stadium klinis yaitu :
1. Stadium I bersifat Asimptomatik
Aktivitas normal dan dijumpai adanya Limfadenopati generalisata.
2. Stadium II Simptomatik
Aktivitas normal, berat badan menurun <10%, terdapat kelainan kulit
dan mukosa yang ringan, seperti Dermatitis serobik, Prorigo,
Onikomikosis, Ulkus yang berulang dan Khelitis angularis, Herpes
zoster dalam 5 tahun terakhir, serta adanya infeksi saluran nafas bagian
atas, seperti Sinusitis bakterialis.
3. Stadium III
Pada umumnya kondisi tubuh lemah, aktivitas di tempat tidur <50%
berat badan menurun >10% terjadi diare kronis yang berlangsung lebih
dari 1 bulan, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, terdapat
Kandidiasis orofaringeal, TB paru dalam 1 tahun terakhir, infeksi
bacterial yang berat seperti Pneumonia dan Piomiositis.
4. Stadium IV
Pada umumnya kondisi tubuh lemah, aktivitas ditempat tidur <50%,
terjadi HIV wasting syndrome, semakin bertambahnya infeksi
oportunistik, seperti Pneumonia Pneumocystis carinii, Toksoplasmosis
otak, Diare Kriptosporidosis ekstrapulmunal, Retinitis virus sitomegalo,
Herpes simpleks mukomutan >1 bulan, Leukoensefalopati multifocal
progresif, Kandidiasis di esophagus, trachea, bronkus dan paru, TB
diluar paru, LImfoma, Sarkoma Kaposi, serta Ensefalopati HIV. (WHO
dalam Budhy, 2017).
5. KOMPLIKASI
Menurut Budhy (2017) komplikasi yang disebabkan karena infeksi
HIV memperlemah system kekebalan tubuh, yang dapat menyebabkan
terserang banyak infeksi dan jenis kanker tertentu. Infeksi umum terjadi
pada HIV/AIDS antara lain:
1. Tuberkulosis (TB).
2. Sitomegalovirus
Herpes yang ditularkan melalui cairan tubuh. Jika kekebalan tubuh
melemah virus muncul kembali, menyebabkan kerusakan pada mata,
saluran pencernaan, paru-paru atau organ tubuh lainnya.
3. Kandidiasis
Infeksi yang berhubungan dengan HIV menyebabkan radang dan
lapisan putih tebal diselaput lendir mulut, lidah , kerongkongan dan
vagina.
4. Meningitis kriptokokal
Pembengkakan selaput dan cairan yang mengelilingi otak dan sumsum
tulang belakang (meninges). Meningitis kriptokokal adalah infeksi
system saraf pusat yang umum yang terkait dengan HIV disebabkan
oleh jamur.
5. Toksoplasmosis.
6. Kriptosporidiosis
Infeksi yang disebabkan oleh parasit usus yang biasa ditemukan pada
hewan. Kriptosporidiosis bisa masuk kedalam tubuh seseorang ketika
menelan makanan yang terkontaminasi. Parasite tumbuh di usus dan
saluran empedu yang dapat menyebabkan diare kronis yang parah pada
pasien dengan AIDS.
7. Kanker
a. Tumor Sarkoma Kaposi
b. Sarcoma Kaposi
c. Limfoma
Kanker berasal dari sel darah putih dan biasanya pertama kali
muncul dikelenjar getah bening. Tanda awal yang paling umum
adalah pembengkakan kelenjar getah bening yang tidak
menyakitkan di leher, ketiak, atau pangkal paha.
8. Sindroma wasting
Kehilangan setidaknya 10% berat badan sering disertai diare,
kelemahan kronis dan demam.
9. Komplikasi neurologis
AIDS tampak tidak menginfeksi sel-sel saraf, hal itu dapat
menyebabkan gejala neurologis seperti kebingungan, kelupaan, depresi,
kegelisahan dan kesulitan berjalan. Komplikasi neurologis yang umum
adalah kompleks dimensia AIDS yang menyebabkan perubahan
perilaku dan berkurangnya fungsi mental.
10. Penyakit ginjal
HIV terkait nefropati (HIVAN) adalah radang filter kecil di ginjal yang
menghilangkan kelebihan cairan dan limbah dari aliran darah, serta
meneruskannya ke urin. Akibat predisposisi genetik, resiko
pengembangan HIV/AIDS jauh lebih tinggi pada orang kulit hitam.
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan HIV
1. Skrining HIV
Untuk mengetahui tingkat resiko infeksi dan juga pola hidup
kesehraian, apakah memang benar faktor resiko tinggi untuk
menderita penyakit HIV.
2. Tes Serologi/Tes Antibody
Rapid test
Tes ELISA
3. Tes Konfirmasi
Wastern blot
Indirect Fluorescent Antibody(IFA)
4. Deteksi Virus
Antigen P24
Viral load/PCR
7. FAKTOR RISIKO
Secara umum faktor resiko HIV/AIDS adalah sebagai berikut :
a. Jenis Kelamin
Menurut penelitan Yunior dan Ika (2018), didapatkan bahwa jenis
kelamin laki-laki lebih berisko terinfeksi HIV AIDS sebesar 1,77 kali
dibandingkan perempuan.
b. Usia
Berdasarkan penelitian Amelia dkk (2016), usia 28-44 tahun berisiko
5,4 kali berpengaruh terhadap kejadian HIV/AIDS pada laki-laki.
c. Status Menikah
Menurut Sumini dkk (2017), status menikah ternyata lebih mungkin
terjadi HIV/AIDS sebesar 2,54 kali dibanding individu yang statusnya
belum menikah.
d. Pendidikan
Kejadian HIV juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang rendah.
Tingkat pendidikan yang rendah berisiko 4,709 kali lebih besar
berpengaruh terhadap kejadian HIV/AIDS.
e. Pengetahuan
Selain pendidikan rendah dapat berpengaruh pada kejadian HIV,
ternyata pengetahuan yang rendah juga dapat mempengaruhi individu
untuk terinfeksi HIV sebesar 3,32 kali. f. Riwayat Konsumsi Alkohol
Individu yang memiliki riwayat mengonsumsi alkohol memiliki risiko
7,65 kali lebih besar untuk terinfeksi HIVAIDS.
f. Riwayat Tindik
Menurut Susilawati, Muchlis dan Ana (2018), riwayat melakukan
tindik dengan jarum suntik yang tidak steril dapat berisiko terhadap
kejadian HIV/AIDS sebesar 3,42 kali dibandingkan dengan tindik
yang menggunakan jarum suntik steril.
g. Riwayat HIV/AIDS
Pada Keluarga atau Pasangan Selain memiliki riwayat infeksi menular
seksual, HIV berisiko terjadi pada individu yang memiliki riwayat
HIV/AIDS dalam keluarga ataupun pasangannya.
h. Riwayat Penyakit Menular Seksual
Peningkatan risiko HIV selanjutnya adalah riwayat penyakit menular
seksual pada penderita atau pasangan, berdasarkan penelitian
Susilowati (2011), penyakit menular seksual berisiko 2,67 kali lebih
besar berpengaruh terhadap kejadian HIV/AIDS.
i. Orientasi Seksual
a. Heteroseksual
b. Homoseksual
c. Biseksual
j. Pasangan Seksual Lebih dari Satu
Peningkatan risiko HIV dipengaruhi juga oleh individu yang memiliki
pasangan seksual lebih dari satu, menurut Muchimba dkk (2013)
dalam Musyarofah dkk (2017), semakin banyak jumlah pasangan
seksual akan meningkatkan kemungkinan bahwa salah satu tindakan
berhubungan seks secara acak akan mengakibatkan infeksi.
k. Hubungan Seks Tanpa Kondom
Selain pasangan seksual lebih dari satu, ternyata risiko HIV juga
dipengaruhi oleh hubungan seks anal atau vaginal tanpa kondom.
l. Pengguna Narkoba Suntik (Penasun)
Terdapat beberapa populasi yang mengalami peningkatan risiko HIV,
yaitu penggunaan jarum suntik yang tidak aman secara bersama-sama
di antara pengguna narkoba suntik, hal ini didukung oleh penelitian
Susilowati (2011), bahwa status penggunaan narkoba suntik berisiko
4,51 kali lebih besar berpengaruh terhadap kejadian HIV/AIDS
8. PENANGANAN
HIV/AIDS umumnya ditangani dengan penggunaan beberapa obat
antiretroviral (ARV) untuk mengendalikan infeksi HIV.Terdapat beberapa
kategori obat antiretroviral berdasarkan tahapan hidup dari virus HIV.
Penggunaan beberapa obat sekaligus yang diarahkan ke beberapa target
virus disebut sebagai highly active antiretroviral therapy (HAART)
atau antiretroviral therapy (ART) atau terapi ARV. ART mengurangi efek
virus HIV dan dapat membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh serta
menurunkan peluang terjadinya infeksi lain yang sering kali menyebabkan
kematian pada pasien HIV. ART juga mencegah penyebaran virus HIV
melalui hubungan seks antara pasien dan bukan pasien selama si pasien
rutin menjaga pemakaian obat serta mengecek dan menjaga tingkat jumlah
virus dalam darah (viral load) dalam tingkat tidak terdeteksi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan penawaran terapi
ARV terhadap pasien dengan HIV. Karena pengobatan pada terapi ARV
dapat sangat kompleks dan berpotensi memiliki efek samping atau
memunculkan kekebalan virus.WHO juga menekankan keterlibatan pasien
dalam memilih pelaksanaan terapi serta agar manfaat dan risiko pada
pasien dapat dianalisis.] WHO mendefinisikan sehat tidak hanya sebagai
ketiadaan penyakit pada seseorang.
Penanganan/Penatalaksanaan HIV tergantung pada stadium penyakit
dan setiap infeksi oportunistik yang terjadi, secara umum, tujuan
pengobatan adalah untuk mencegah sistem imun tubuh memburuk ke titik
di mana infeksi oportunistik akan bermunculan. Sindrom putih atau
immune Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS) yang dapat muncul
setelah pengobatan juga jarang terjadi pada pasien yang belum mencapai
titik tersebut (Hidayati et al. 2019).
Untuk semua penderita HIV/AIDS diberikan anjuran untuk istirahat
sesuai kemampuan atau derajat sakit, dukungan nutrisi yang memadai
berbasis makronutrien dan mikronutrien untuk HIV dan AIDS, konseling
termasuk pendekatan psikologi dan psikososial, dan membiasakan gaya
hidup sehat. Terapi antiretroviral adalah metode utama untuk mencegah
perburukan sistem imun tubuh. Terapi infeksi
sekunder/oportunistik/malignansi diberikan sesuai gejala dan diagnosis
penyerta yang ditemukan. Sebagai tambahan profilaksis untuk infeksi
oportunistik spesifik diindikasikan pada kasus-kasus tertentu (Hidayati et
al. 2019).
9. PENCEGAHAN
Lima cara untuk mencegah penularan HIV, dikenal konsep “ABCDE”
sebagai berikut.
1. A (Abstinence): artinya Absen seks atau tidak melakukan
hubungan seks bagi yang belum menikah.
2. B (Be faithful): artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan
seks (tidak berganti-ganti pasangan).
3. C (Condom): artinya Cegah penularan HIV melalui hubungan
seksual dengan menggunakan kondom.
4. D (Drug No): artinya Dilarang menggunakan narkoba.
5. E (Education): artinya pemberian Edukasi dan informasi yang
benar mengenai HIV, cara penularan, pencegahan dan
pengobatannya.
Individu dapat mengurangi risiko infeksi HIV dengan membatasi paparan
faktor risiko. Pendekatan utama untuk pencegahan HIV sebagai berikut :
10. ETIOLOGI
Penyebab penyakit AIDS adalah virus HIV yaitu suatu virus yang
masuk ke dalam kelompok retrovirus yang biasanya menyerang organ-
organ vital sistem kekebalan tubuh manusia. Penyakit ini juga bisa dapat
ditularkan melalui penularan seksual, kontaminasi patogen di dalam darah,
dan penularan masa perinatal ( Bararah & Jauhar, 2013 )
HIV sendiri termasuk kelompok retrovirus, virus yang mempunyai
enzim (protein) yang dapat mengubah asam rebonukleatnya(RNA) menjadi
asam deoksiribunokleat (DNA). Kemampuan HIV untuk tetap tersembunyi
yang menyebabkan virus ini tetap ada seumur hidup bahkan dengan
pengobatan yang efektif. Penularan virus dapat ditularkan melalui :
a. Hubungan seksual yang tidak terlindungi atau tanpa kondom dengan
orang yang telah terinfeksi HIV
b. Jarum sunti yang tidak disterilkan dan sering dipakai secara bergantian
c. Mendapatkan tranfusi darah dari penderita virus HIV
d. Ibu penderita HIV positif melahirkan atau melalui air susu ibu (ASI) (
Gallant, 2010 ).
11. EPIDEMIOLOGI
Dari 38 juta orang yang hidup dengan HIV, 25,4 juta orang sekarang
dalam pengobatan. Artinya, 12,6 juta orang masih menunggu. Infeksi HIV
baru telah berkurang 23% sejak 2010, sebagian besar berkat penurunan
substansial sebesar 38% di Afrika bagian timur dan selatan. Tetapi infeksi
HIV telah meningkat 72% di Eropa Timur dan Asia Tengah, 22% di Timur
Tengah dan Afrika Utara, dan 21% di Amerika Latin. Secara global, masih
ada 690.000 kematian terkait AIDS pada 2019 dan 1,7 juta infeksi baru
(UNAIDS 2020)
HIV dan AIDS di Indonesia berada di urutan ke-5 dari negara-ngara di
Asia paling bersiko terhadap penularan HIV/AIDS (Kementrian Kesehatan
RI 2018). Data kasus HIV/ AIDS di Indonesia terus meningkat dari setiap
tahunnya. Pada tahun 2019 ditemukan sebanyak 50.282 kasus. Berdasarkan
data WHO tahun 2019, terdapat 78% infeksi HIV baru di Asia Pasifik
(Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI 2020).
DAFTAR PUSTAKA
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Gallant, J. (2010). 100 tanya jawab mengenai HIV dan AIDS. Alih bahasa:
Alexander Sindoro. Indeks, Jakarta