Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

TB Paru merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di

dunia ini.Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah

mencanangkan TB Paru sebagai“Global Emergency”. Laporan WHO tahun

2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru TB Paru, pada tahun

2002 sebanyak 3,9 juta kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif dalam dahak.

Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB Paru dan menurut

Regional WHO jumlah terbesar kasus TB Paru di dunia ada di benua Afrika

dan Asia, bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000

penduduk. Di Asia Afrika ditemukan kasus TB Paru 2 kali lebih besar dari

Asia Tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk (Soedarsono, 2006).

Di perkirakan angka kematian akibat TB Paru adalah 8.000 setiap hari

dan 2,3 juta setiap bulan. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa

jumlah terbesar kematian akibat TB Paru terdapat di Asia Tenggara yaitu

625.000 orang dan angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per

100.000. Indonesia menempati urutan ke-3 didunia untuk jumlah kasus TB

Paru setelah India dan Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB

Parudan sekitar 140.000 kematian akibat TB Paru.


Di Indonesia TB Paru adalah merupakan pembunuh nomor satu

diantara penyakit menular danmerupakan penyebab kematian nomor tiga

setelah jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.

Menurut Riskesdas (2010) insiden penyakit TB paru 3-4% secara nasional

tiap tahunnya. Di Provinsi Sulawesii Tenggara tahun 2016 jumlah kasus baru

2.830 kasus dari total 5.763 kasus dan keberhasilan pengobatan sebanyak

2.416 penderita (Pusdatin Kesehatan Inddonesia, Sulawesi Tenggara, 2017).

Untuk Kota Baubau, jumlah penderita TB Paru terdapat sebanyak 118 kasus

(Profit Dinkes Sultra,2016).

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang menyerang parenkim

paru. Tuberkulosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainya, termasuk

meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe. Pengobatan TB terbagi menjadi 2

fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan

obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan (Smeltzer

dan Bare, 2002).

Berhasil atau tidaknya pengobatan tuberkulosis tergantung pada

pengetahuan pasien, keadaan sosial ekonomi serta dukungan dari keluarga.

Tidak ada upaya dari diri sendiri atau motivasi dari keluarga yang kurang

memberikan dukungan untuk berobat secara tuntas akan mempengaruhi

kepatuhan pasien untuk mengkonsumsi obat. Apabila ini dibiarkan dampak

yang akan muncul jika penderita berhenti minum obat adalah munculnya

kuman tuberkulosis yang resisten terhadap obat, jika ini terus terjadi dan

kuman tersebut terus menyebar pengendalian obat tuberkulosis akan semakin


sulit dilaksanakan dan meningkatnya angka kematian terus bertambah akibat

penyakit tuberkulosis.

Penyebaran tuberkulosis melalui inhalasi droplet yang mengandung

kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.

Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau

dibersinkan ke luar menjadi droplet nuclei dalam udara yang kemudian

terhirup olah orang yang mengalami kontak langsung maupun tidak langsung

dengan penderita TB paru (Sudoyo, 2006).

Hasil riset Riskesdas (2010) menunjukkan bahwa penularan TB paru

sebagian besar terjadi pada keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan

TB paru pula.Bakteri TB paru merupakan bakteri basil yang sangat kuat

sehingga memerlukan waktu yang lama untuk mengobatinya, disamping rasa

bosan karena harus minum obat dalam waktu yang lama seseorang penderita

kadang-kadang juga berhenti minum obat sebelum massa pengobatan belum

selesai hal ini dikarenakan penderita belum memahami bahwa obat harus

ditelan seluruhnya dalam waktu yang telah ditentukan, serta pengetahuan

yang kurang tentang penyakit sehingga akan mempengaruhi kepatuhan untuk

berobat secara tuntas.

Tujuan pengobatan pada penderita tuberkulosis bukanlah sekedar

memberikan obat saja, akan tetapi pengawasan serta memberikan

pengetahuan tentang penyakit ini, untuk itu hendaknya petugas kesehatan

memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya agar pengetahuan


mereka mengetahui bagaimana cara merawat dan mencegah penyebaran TB

paru ke anggota keluarga lainnya.

Kegagalan dalam pengobatan TB paru dipengaruhi oleh beberapa faktor

diantaranya ketidak teraturan pasien dalam mengkonsumsi obat atau tidak

adanya pengawan minum obat (PMO), kurangnya pengetahuan pasien

mengenai pentingnya keteraturan minum obat serta akibat efek samping dari

obat yang dikonsumsi pasien (Depkes, 2005).

Dalam pengawasan keteraturan minum obat penderita TB Paru,

diperlukan peran penting keluarga sebagai unit terdekat dengan penderita,

sehingga pengetahuan dan persepsi keluarga tentang TB Paru sangat di

perlukan oleh keluarga agar mendukung dalam proses penyembuhan

penderita TB Paru dalam keluarga. Peran keluarga sesuai dengan tugas-tugas

keluarga dalam bidang kesehatan salah satunya adalah memberikan

perawatan kepada anggota keluarga yang sakit dan tidak dapat membantu

dirinya sendiri karena cacat atau usianya yang terlalu muda, misalnya

keluarga mengingatkan/memonitor waktu minum obat, mengontrol

persediaan obat, mengantarkan penderita control (Fitaliyanti, 2009)

Dari hasil pra survey pada tahun 2015 di Wilayah kerjaa Puskesmas

Meomeo di Kota Baubau kasus kien yang mengalami TB Paru berjumlah 34

orang, pada tahun 2016 mengalami penurunan klien yang mengalami TB

Paru berjumlah 21, pada tahun 2017 mengalami peningkatan yaitu klien yang

mengalami TB berjumlah 36 di Wilayah Kerja Puskesmas Meo-me

Berdasarkan pra survey juga diketahui bahwa peningkatan jumlah kejadian


tersebut, sebagian besar terjadi pada keluarga pasien yang pernah menderita

TB paru. Fenomena ini menunjukkan bahwa masih kurangnya pengetahuan

dan kesadaran keluarga tentang pencegahan penularan dan perawatan pasien

TB paru, sehingga kuman bahteri TB paru sangat mudah menyebar ke

anggota keluarga lainnya.

Hasil penelitian ini , pada tahun 2021 dengan judul "Hubungan Tingkat

Pengetahuan Keluarga Tentang Cara Penularan Penyakit TB Paru Di Wilayah

Kerja Puskesmas Meo-meo Tahun 2021 " memberikan hasil bahwa terdapat

hubungan antara pengetahuan keluarga dan sikap terhadap perawatan pasien

TB Paru dengan p value 0,000, dengan OR: 4.21 dimana pada pasien dengan

pengetahuan yang kurang baik mememiliki peluang 4 kali lebih besar dengan

perawatan yang kurang baik.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka hal itu menjadi dasar bagi

peneliti untuk mengetahui " Hubungan Tingkat Pengetahuan Keluarga

Tentang Cara Penularan Penyakit TB Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas

Meo-meo Tahun 2021" karena adanya peningkatan kejadian TB paru serta

kurangnya pengetahuan dan sikap keluarga pasien terhadap upaya

pencegahan dan penularan kejadian TB paru.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan yaitu

tingginya kasus TB paru di Indonesia 3-4% secara nasional tiap tahunnya dan

tingginya kasus di puskesmas Meo-meo meningkat setiap tahunya. Adanya

faktor-faktor yang mempengaruhi pengobatan TB paru yaitu pengatahuan dan


sikap keluarga terhadap pencegahan dan penularan TB paru, sehingga

pertanyaan penelitian “Apakah ada hubungan Pengetahuan Keluarga

Terhadap Sikap Pencegahan Penularan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas

Meo-meo Kota Baubau Tahun 2021.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

pengetahuan keluarga terhadap sikap pencegahan penularan Paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Meo-meo Kota Baubau Tahun 2021 .

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui distribusi frekuensipengetahuan keluarga tentang

pencegahan penularan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meo-meo

Kota Baubau Tahun 2021.

b. Untuk mengetahui distribusi frekuensipengetahuan keluarga tentang

perawatan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meo-meo Kota

Baubau Tahun 2021.

c. Untuk menganalisis hubungan pengetahuan keluarga terhadap sikap

pencegahan penularan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meo-meo

Kota Baubau Tahun 2021


D. Ruang Lingkup Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian analitik

kuantitatif. subjek penelitian ini adalah keseluruhan pasien TB. Lokasi

penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Meo-meo Kota Baubau

Tahun 2021.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat penerapan ilmu

pengetahuan tentang promosi kesehatan guna meningkatkan

pengetahuanmasyarakat serta menjadi bahan perbandingan peneltian

terakit serta memperbanyak referensi tentang pengaruh pengetahuan

keluarga terhadap perilaku kesehatan guna pencegahan penularan TB Paru.

2. Aplikatif

Sebagai bahan masukan bagi petugas kesehatan di Puskesmas untuk

meningkatkan program pencegahan dan perawatan pasien TB paru untuk

menurunkan angka kejadian TB Paru di wilayah kerjanya serta sebagai

bahan referensi atau bacaan bagi peneliti lain dikemudian hari terutama

untuk meneliti hal-hal yang belum terungkap dalam penelitian ini.


BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Tinjauan Teoritis

1. TB Paru

a. Pengertian

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang menyerang

parenkim paru. Tuberkulosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainya,

termasuk meninges, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Smeltzer dan Bare,

2002). Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan

basil Mycobacterium tuberkulosis, atau basil tuberkel, yang tahan asam.

Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh

bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini berbentuk batang dan

bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Basil Tahan Asam

(BTA) (Sanjaya, 2009).

b. Etiologi

Penyebab TB Paru adalah mycobacterium tuberkulosis batang

aerobik tahan asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitive terhadap

panas dan sinar matahari (Smeltzer dan Bare 2002 : 584).

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

basil mikrobakterium tuberkulosis tipe humanus, sejenis kuman yang


berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/mm dan tebal 0,3-0,6/mm.

Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid). Lipid inilah yang

membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap

gangguan kimia dan fisik.Kuman ini tahan hidup pada udara kering

maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari

es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat

dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberkulosis

aktif kembali. Sifat lain kuman adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa

kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya.

Dalam hal ini tekanan bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari pada

bagian lainnya, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi

penyakit tuberkulosis (Ayunindia, 2011).

c. Patofisiologi

Skema 2.1 Patofisiologi Tubercolosis Paru (Sudoyo, 2006: 999)


Ihalasi Drplet Nuclei
Berisi M. Tuberkulosis

Tidak ada Droplet nuclei > Droplet nuclei ≤ 5 mikrometer


infeksi 10 mikrometer mukosa Menembus lapisan mukosilier
Saluran nafas atas

Reaksi inflamasi non


spesifik alveoulus

Basil TB dalam
makrofag alveolus

Penyebaran limfogen
Penyebaran hematogen
Sel T spesifik Respons imun seluler
gagal atau inadekuat

Makrofag aktif.
Membunuh/menghambat TB-aktif
basil TB (penyakit)

TB-inaktif mungkin Imunitas menurun


Penyakit tuberkulosis menular melalui inhalasi droplet yang

mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang

terinfeksi. Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan

atau dibersinkan ke luar menjadi droplet nuclei dalam udara. Droplet

nuclei yang ukurannya kurang dari 5 mikro meter akan menembus lapisan

mukosilier sedangkan droplet nuclei yang lebih dari 10 mikrometer akan

menempel pada saluran nafas atas. Sistem imun tubuh akan berespon

dengan melakukan reaksi inflamasi, partikel dapat masuk ke alveolar bila

ukuran partikel kurang dari 5 mikro meter. Basil TB dalam makrofak

alveolus akan menyebar melalui limfogen dan penyebaran hematogen.

Dari penyebaran tersebut sel T spesifik dalam tubuh akan membunuh atau

menghambat basil TB sehingga menjadi TB in aktif, tetapi jika daya imun

menurun kemungkinan basil TB dalam tubuh aktif dan akibat dari

penyebaran itu respon imun seluler gagal atau in-adekuat sehingga TB

menjadi aktif.(Sudoyo, 2006)

d. Tanda dan Gejala

Gejala-gejala klinis TB paru:

1) Demam, adalah salah satu pertahanan tubuh terhadap invase pathogen

yang merupakan gejala umum dari TB paru


2) batuk/batuk berdahak, pada tahap selanjutnya, batuk bisa

menghasilkan dahak berwarna abu-abu atau kuning yang bisa

bercampur dengan darah.

3) Nyeri dada, batuk yang berlebih dan dan infeksi di paru-paru

menyebabkan nyeri dada yang serius terutama ketika sedang batuk dan

bernafas.

4) Malaise, akibat adanya rasa nyeri di dada dan tidak nafsu makan

5) Tidak nafsu makan, pada pasien TB kemungkinan akan mengurangi

nafsu makan.

6) Keluar keringat pada malam hari walau tanpa aktivitas, berkeringat di

malam hari adalah salah satu cara tubuh melindungi dari penyakit.

Berkeringat di malam hari dapat dimulai dengan demam dan akhirnya

menyebabkan keringat berlimpah diikuti oleh menggigil.

7) Penurunan berat badan, akibat dari penurunan nafasu makan

menyebabkan terjadinya penurunan berat badan.

(Sudoyono, 2006)

e. Penatalaksanaan

1) Obat Anti TB (OAT)

Pengobatan TB dilakukan melalui 2 fase, yaitu :

a) Fase awal intensif, dengan kegiatan bakterisid untuk memusnahkan

populasi kuman yang membelah dengan cepat.


b) Fase lanjutan, melalui kegiatan seterilisasi kuman pada pengobatan

jangka pendek atau kegiatan bakteriostatik pada pengobatan

konvensional.

OAT yang biasa digunakan antara lain isoniazid (INH), rifampisin (R),

pirazinamid (Z) dan streptomisin (S) yang bersifat bakterisid dan

etambutol (E) yang bersifat bakteriostatik.

Tabel 1. Panduan OAT pada tuberkulosis paru

Panduan Fase
Klasifikasi dan Tipe Penderita Fase Awal
OAT Lanjutan
Kategori I - BTA (+) paru 2 HRZS (E) 4 RH
- Sakit berat : BTA (-) luar paru 2 RHZS (E) 4R3H3
Kategori II Pengobatan Ulang :
- Kambuh BTA (+) 2 RHZES/1RHZE 4 RH
- Gagal 2 RHZES/1RHZE 4R3H3
Kategori III - TB paru BTA (-) 2 RHZ 4 RH
- TB luar paru 2 RHZ/2R3H3Z3 4R3H3
Keterangan : 2 RHZ : tiap hari selama 2 bulan

4 RH : tiap hari selama 4 bulan

4 H3R3 : 3 kali seminggu selama 4 bulan

Tabel 2.2 Dosis obat anti tuberkulosis

Dosis
Obat
Setiap Hari Dua Kali/Minggu Tiga Kali/Minggu
ISONIAZID 5 mg/kg max 300 mg 15 mg/kg max 900 mg 15 mg/kg max 900 mg
RIFAMPISIN 10 mg/kg max 600 mg 10 mg/kg max 600 mg 10 mg/kg max 900 mg
PIRAZINAMID 15-30 mg/kg max 2 g 50-70 mg/kg max 4 g 50-70 mg/kg max 3 g
ETAMBUTOL 15-30 mg/kg max 2,5 g 50 mg/kg max 4 g 25-30 mg/kg
STREPTOMISIN 15 mg/kg max 300 1 g 25-30 mg/kg max 1,5mg 25-30 mg/kg max 1 mg

2) Pengobatan pada TB Paru

Dilakukan jika :
a) Semua pasien yang mendapat OAT adekuat tetapi sputum tetap

positif

b) Pasien batuk darah masif tidak dapat diatasi dengan cara

konservatif

c) Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat

diatasi secara konservatif

Tindakan yang harus dilakukan keluarga menurut (Depkes, 2005),

yaitu:

a. Pencegahan penularan

1) Menutup mulut bila batuk

2) Membuang ludah/dahak pada tempat/wadah yang telah diisi

dengan cairan lysol/pasir

3) Pemeriksaan anggota keluarga yang lainnya apakah juga terkena

penularan penyakit tuberkulosis paru.

4) Makan-makanan bergizi

5) Memperhatikan kebersihan rumah, lantai dan ventilasi/jendela

6) Memisahkan alat makan dan minum pasien

7) Untuk bayi diberikan imunisasi BCG

b. Perawatan pasien tuberkulosis paru

1) Mengawasi anggota keluarga yang sakit untuk menelan obat secara

teratur.

2) Mengetahui adanya gejala samping obat dan merujuk bila

diperlukan
3) Memberikan makanan bergizi

4) Memberikan waktu istirahat kepada keluarga yang sakit minimal 8

jam/hari

5) Mengingatkan atau membawa anggota keluarga yang sakit untuk

pemeriksaan ulang dahak bulan ke 2, 5, dan 6 setelah pengobatan

6) Memodifikasi lingkungan yang dapat menunjang kesembuhan

pasien yang menderita tuberkulosis paru, antara lain

mengupayakan rumah yang memenuhi persyaratan kesehatan,

misalnya punya jendela/ventilasi yang cukup bebas debu, rumah

dan lantai tidak lembab.

c. Akibat lanjut

Tuberkulosis paru bila tidak diobati secara teratur maka dapat

memberikan akibat sebagai berikut:

1) Batuk darah (hemoptiasis)

2) Kerusakan jaringan paru-paru

3) Mengganggu (insufisiensi) kerjanya jantung

4) Dapat menyebabkan kematian

d. Pengobatan

Penyakit tuberkulosis paru dapat disembuhkan dalam waktu kurang lebih

6 bulan asalkan pasien makan obat secara teratur sesuai dengan anjuran

dokter.

e. Faktor-faktor yang mempengaruhi Pengobatan TB paru


Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kegagalan dalam

pengobatan TB paru diantaranya yaitu:

1) Ketidak teraturan pasien dalam mengkonsumsi obat atau tidak

adanya pengawan minum obat (PMO)

2) Kurangnya pengetahuan pasien mengenai pentingnya keteraturan

minum obat

3) Efek samping dari obat yang dikonsumsi pasien (Depkes, 2005).

1. Faktor Resiko Penyebab Tuberkulosis Paru

a. Faktor Umur

Beberapa faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis di Amerika yaitu

umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta infeksi AIDS. Dari hasil

penelitian yang dilaksanakan di New York pada panti penampungan orang-orang

gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi

tuberkulosisaktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden

tertinggituberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia

diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-

50tahun.

2.Faktor Jenis Kelamin

Dibenua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996

jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah

penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada

wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat


sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun0,7%. TB

paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-

laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan

terjangkitnya TB paru.

3.Tingkat Pendidikan

 Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan

seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan

dan pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup

maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan

sehat.Selain itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap

jenis pekerjaannya.

4.Pekerjaan

  Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap

individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debudi daerah

terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan.

Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas,terutama

terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru.Jenis

pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan keluarga yang akan

mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantarakonsumsi makanan,

pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan

rumah (kontruksi rumah). Kepala keluarga yangmempunyai pendapatan dibawah

UMR akan mengkonsumsi makanan dengankadar gizi yang tidak sesuai dengan

kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang
kurang dan akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB

Paru. Dalam hal jenis kontruksi rumah dengan mempunyai pendapatan yang

kurang maka kontruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan

sehingga akan mempermudah terjadinya penularan penyakit TB Paru.

5.Kebiasaan Merokok 

  Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko

untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitiskronik

dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk

terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok diIndonesia

per orang per tahun adalah 230 batang, relatif lebih rendah dengan 430 batang/orang/tahun di

Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana dan 760   Batang/orang/tahun di

Pakistan (Achmadi, 2005). Prevalensi merokok pada hampir semua Negara

berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok

kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk

terjadinya infeksi TB Paru.


BAB III

KERANGKA TEORI

A. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep adalah suatu uraian atau hubungan antara konsep satu

terhadap konsep yang lain dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo, 2010).

Berdasarkan kerangka teori yang telah dijelaskan di atas, maka kerangka konsep

dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1

Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

Sikap Pencegahan Penularan dan Perawatan TB paru


Pengetahuan

B. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam peneltiian ini adalah:

Ho: Tidak ada hubungan pengetahuan keluarga terhadap sikap pencegahan

penularan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meo-meo Kota Baubau

Tahun 2021.

Ha: Ada hubungan pengetahuan keluarga terhadap sikap pencegahan

penularan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meo-meo Kota Baubau

Tahun 2021.
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif, yaitu

penelitian yang bersifat objektif, dengan rancangan penelitian analitik yaitu

penelitian yang coba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan

ini terjadi (Notoatmodjo, 2010: 37). Rancangan penelitian ini menggunakan

pendekatan cross sectional, yaitu suatu penelitian non-eksperimental untuk

mempelajari dinamika korelasi antara faktor faktor risiko dengan efek, dengan

cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat

(point time approach) (Notoatmodjo, 2010). Rancangan penelitian ini

digunakan untuk mengetahui pengetahuan keluarga terhadap sikap

pencegahan penularan dan perawatan TB Paru di Wilayah Kerja Puskemas

Meo-meo Kota Baubau Tahun 2021.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas Meo-

meo Kota Baubau dengan alasan adanya peningkatan penderita TB Paru

dari tahun 2015 ke tahun 2017 meningkat dan belum pernah dilakukannya

penelitian sejenis di lokasi tersebut.

2. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Tahun 2021.

C. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional, yaitu

suatu penelitian non-eksperimental untuk mempelajari dinamika korelasi

antara faktor faktor risiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi

atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach)

(Notoatmodjo, 2010).

D. Subjek Penelitian

1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah keseluruhan keluarga pasien TB

Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meo-meo yang berjumlah 30 responden

2. Sampel

Penentuan jumlah dan tehnik sampling yang digunakan adalah

tehnik pengambilan sampel total sampling, Total Sampling adalah tehnik

pengambilan sampel dengan mengambil keseluruhan anggota populasi

sehingga hasil peneltiian lebih representatif karena mewakili keseluruhan

anggota populasi yang berjumlah 30 responden.

E. Variabel Penelitian

Variabel penelitian secara sederhana dapat diartikan sesuatu yang

digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh
satuan penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu. Variabel dalam

suatu penelitian ada dua macam yaitu variabel bebas dan variabel terikat.

Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi, sedangkan variabel

terikat adalah variabel yang dipengaruhi (Notoatmodjo, 2010). Variabel bebas

dalam penelitian ini yaitu pengetahuan keluarga sedangkan variabel

terikatnya adalah sikap keluarga terhadap pencegahan penularan TB Paru.

F. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan kepada variabel

dengan cara memberikan suatu operasional yang diberikan untuk mengukur

variabel tersebut dengan diamati atau diukur. Penyusunan definisi operasional

sangat diperlukan, karena definisi operasional akan menunjukan alat

pengambilan data mana yang cocok untuk digunakan (Notoatmodjo, 2002).

Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


Tabel 3.1

Definisi Operasional

Cara Skala
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur
Ukur Ukur
1 TB paru Penyakit infeksi yang
menyerang parenkim paru.

2. Pengetahuan Segala sesuatu yang Angket Kuisoner 0. Baik (> 56%) Ordinal
diketahui akseptor TB 1. Kurang baik
paru, meliputi: (< 56%)
a. Pengertian TB Paru
b. Penyebab TB Paru (Arikunto, 2002)
c. Tanda dan Gejala TB
Paru
d. Penularan TB paru
e. Pencegahan TB paru
f. Pengobatan

3 Sikap Tanggapan atau respon Angket Kuisioner 0. Mendukung Ordinal


keluarga terhadap (Skor T > mean
pencegahan penularan dan / median)
perawatan TB Paru, 1. Tidak
meliputi: Mendukung
a. Tanda dan Gejala (Skor T< mean/
b. Penularan median)
c. Pencegahan
d. Perawatan (Azwar, 2007)
e. Pengobatan

G. Alat Ukur

Instrument penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti

dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih baik. Salah satu bentuk

instrumen penelitian adalah angket, yang berisi nama, subjek dan beberapa gejala

atau sasaran pengamatan (Notoatmodjo, 2010). Instrument penelitian ini adalah

menggunakan kuisioner. Kuisioner ini dilakukan dengan mengedarkan suatu

daftar pertanyaan yang berupa formulir-formulir, diajukan secara tertulis kepada


sejumlah subjek untuk mendapatkan tanggapan, informasi, jawaban, dan

sebagainya (Notoatmodjo, 2010). Kuisioner yang digunakan untuk

mengumpulkan data variabel penelitian sebagai berikut:

a. Variabel Pengetahuan

a. Kategori baik diberi kode 0

b. Kategori kurang baik diberi kode 1

b. Variabel sikap

a. Mendukung diberi kode 0.

b. Tidak mendukung diberi kode 1

H. Pengumpulan Data

Langkah-langkah pengumpulan data dalam penelitian ini adalah

dilakukan dengan langkah persiapan awal seperti mempersiapkan usulan

proposal penelitian, mengajukan proposal penelitian melalui seminar,

perbaikan usulan proposal penelitian. Setelah langkap persiapan tersebut

maka dilakukan pelaksanaan penelitian dengan mengumpukan data

menggunakan cheklist, setelah data terkumpul, kemudian dilakukan

pemeriksaan terhadap data apakah sudah benar-benar terisi, kemudian data

dikelompok sesuai dengan variabel yang diteliti dalam bentuk tabulasi yang

pada akhirnya akan diolah dengan batuan komputerisasi dengan program

SPS. Setalah diperoleh hasil penelitian, maka kemudian disusun laporan hasil

peneliannya yang disajikan dalam hasil penelitian dan pembahasan.


I. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, maka dilakukan tahap pengolahan data.

Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

program statistik komputer dengan langkah sebagai berikut:

1. Editing

Pada tahap ini, penulis melakukan penelitian terhadap data yang diperoleh

kemudian memastikan apakah terdapat kekeliruan atau tidak dalam

pengisian.

2. Coding

Dilakukan dengan memberikan kode pada hasil jawaban jawaban atau

hasil observasi sebagai berikut:

a. Variabel Pengetahuan

1) Kategori baik diberi kode 0

2) Kategori kurang baik diberi kode 1

b. Variabel sikap

1) Mendukung diberi kode 0.

2) Tidakmendukung diberi kode 1

3. Prosessing

Kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan serta sudah melewati

pengkodean, maka selanjutnya memproses data agar data yang sudah di-

entry dapat di analsis.

J. Analisis Data
Analisa data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang

lebih mudah dipahami dan diinterpretasikan (Arikunto, 2005). Data

dikumpulkan dengan cara melakukan pengukuran pengetahuan keluarga

tentang pencegahan dan perawatan pasien TB yang diambil dengan

penyebaran kuisioner. Data dianalisis dengan analisis deskriptif.

1. Analisa Univariat

Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel dan hasil

penelitian. Analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan prosentase dari

tiap variabel (Notoatmodjo, 2010). Dari hasil kuisioner yang telah diisi

oleh responden selanjutnya dihitung distribusi frekuensi dari tiap variabel

penelitian dengan hasil dalam bentuk prosentase.

2. Analisa Bivariat

Analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkolerasi (Notoatmodjo, 2005). Analisis bivariat

dilakukan dengan uji hipotesis dilakukan dengan uji analisis uji chi

square. Untuk menentukan derajat kemaknaan, digunakan selang

kepercayaan (Confident Interval) 95 % dan tingkat kesalahan (α) = 5 %.

Berdasarkan rumus di atas dan pengolahan data dilakukan dengan

menggunakan komputer, maka jika didapatkan hasil:

a. P value<α, artinya ada hubungan.

b. P value>α, berarti tidak ada hubungan.


Dalam penelitian ini untuk mengetahui nilai derajat hubungan

menggunakan odd ratio (OR)

Anda mungkin juga menyukai