Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang ditularkan oleh bakteri

Mycobakterium tuberkulosis, merupakan penyebab kematian terutama di negara-

negara berkembang di seluruh dunia. Penyakit ini tersebar diseluruh dunia, dan

Indonesia dikenal sebagi Negara terbesar dengan penderita tuberkulosis diseluruh

dunia setelah India dan Cina. Penyakit ini menyerang paru-paru.1

Bakteri M. tuberkulosis tidak hanya menyerang paru-paru tetapi juga organ

lainnya seperti tulang, otak, dan lain-lain. Bakteri ini mempunyai sifat khas yaitu

tahan asam. Oleh karna itu, bakteri ini disebut juga dengan basil tahan asam

(BTA). Saat ini, tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan masyarakat

Indonesia karena tingginya angka kesakitan dan angka kematian yang disebabkan

oleh tuberkulosis tersebut.2

Tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi perhatian global, namun

tuberkulosis diperkirakan masih menyerang 9,6 juta orang dan menyebabkan 1,2

juta kematian pada tahun 2014. Negara dengan penderita tuberkulosis terbanyak

yaitu India 23%, Indonesia 10% dan Cina 10% dari seluruh penderita di dunia.3

Indonesia merupakan Negara yang beriklim tropis yang mempunyai tingkat

kelembaban yang tinggi. Hal ini sangat sesuai dengan karakteristik bakteri M.

tuberkulosis yang suka hidup di tempat yang lembab. Berdasarkan laporan

WHO(World Health Organisation) pada tahun 2014, terdapat 9,6 juta orang

didunia menderita tuberkulosis paru dan 1,5 juta orang diantaranya meninggal

1
2

dunia. WHO juga menyebutkan bahwasanya angka insiden tuberkulosis paru pada

tahun 2014 adalah 183/100.000 penduduk dan angka prevalensi tuberkulosis pada

tahun 2014 adalah 272/100.000 penduduk.4

Penyakit TB paru di Indonesia sampai saat ini masih merupakan salah satu

penyakit endemis kerena menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)

tahun 2015 bahwa di Indonesia penyakit TB paru merupakan penyakit kematian

nomor 2 (dua) setelah penyakit kardiovaskuler pada semua golongan usia dan

peringkat pertama penyebab kematian untuk jenis penyakit infeksi. Diperkirakan

setiap tahunya terdapat 500.000 kaus TB dimana 300.000 penderita dapat di

sekitar puskesmas, 200.000 ditemukan pada pelayanan rumah sakit/klinik

pemerintah. Jumlah kematian akibat TB paru diperkirakan 175.000 orang

pertahun.5

Menurut Profil Kesehatan Indonesia (2015), tuberkulosis dapat menyerang

semua umur, tidak hanya usia tua, tetapi juga usia muda dan usia produktif.

Menurut kelompok umur, kasus baru paling banyak ditemukan pada kelompok

usia 25-34 tahun, (18,65%), diikuti kelompok umur 45-45 tahun (17,33%), dan

kelompok umur 35-44 tahun (17,18%). Menurut jenis kelamin, jumlah kasus BTA

positif pada laki-laki lebih tinggi 1,5 kali dibandingkan dengan kasus BTA positif

pada perempuan.4

Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2014), dari seluruh

Provinsi di Indonesia yang terdapat penderita tuberkulosisnya, Provinsi Sumatera

Utara berada di posisi keenam dengan jumlah penderita terbanyak. Penderita

penyakit tuberkulosis di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2014 tercatat


3

sebanyak 16.500 orang. posisi pertama provinsi Sulawesi Utara sebanyak 23.800

orang, Papua Barat sebanyak 23.500 orang, DKI Jakarta sebanyak 22.200 orang,

Papua sebanyak 21.600 orang, Maluku sebanyak 21.300 orang. Pada tahun 2014,

jumlah penderita TB paru positif di Kota Binjai yaitu sebanyak 232 orang.6

Hasil penelitian dari Tobing peranan dalam penularan penyakit tuberkulosi

ini adalah lingkungan. Lingkungan yang buruk sangat mendukung aktifnya dan

berkembangnya bakteri M. tuberkulosis dengan baik. Lingkungan khususnya

lingkungan rumah sangat berisiko terhadap perkembangbiakan dan penyebaran

bakteri sebab bakteri ini berada di udara. Keberadaan bakteri di udara sangat

ditentukan oleh kelembaban dalam rumah, cahaya matahari yang masuk dan

ventilasi. Bakteri ini dapat bertahan lama berada di udara jika berada di ruang

yang lembab dan tidak terkena matahari. Kondisi rumah yang minim cahaya

matahari atau cahaya lampu menyebabkan bakteri TB paru dapat bertahan

sehingga mempunyai peluang besar untuk menimbulkan kasus TB paru.7

Perilaku individu juga menjadi faktor resiko terhadap penularan TB Paru.

Ada beberapa perilaku yang sangat berisiko dalam penularan yaitu tidak

membuka jendela rumah, menggunakan peralatan makan yang sama dengan

penderita, dan kebiasaan meludah sembarangan. Kebiasaan masyarakat seperti

tidak menutup mulut ketika batuk dan meludah kesembarangan tempat, menutup

jendela rumah pada siang hari juga berkaitan dengan penularan penyakit

tuberkulosis.7

Berdasarkan Profil Kesehatan Kota Binjai tahun 2014, dari 13.257 rumah

yang terdapat di Kecamatan Binjai Timur hanya 2.460 rumah atau sekitar 18,56%
4

yang memenuhi syarat sebagai rumah sehat sedangkan sisanya 10.797 atau sekitar

81,44% rumah termasuk ke dalam kategori rumah yang tidak memenuhi syarat

sebagi rumah sehat.8

Menurut survei awal yang dilakukan peneliti pada bulan Mei 2017 di

Puskesmas Tanah Tinggi Kecamatan Binjai Timur dengan melihat data sekunder

yaitu Rekam medis pasien pada tahun 2017, dapat diketahui bahwasanya jumlah

kasus TB paru positif pada bulan Januari sebanyak 68 kasus, Februari sebanyak

59 kasus, Maret sebanyak 53 kasus, April sebanyak 45 kasus dan Mei sebanyak

56 kasus. Selain itu, diketahui bahwasanya di wilayah kerja Puskesmas Tanah

Tinggi Kecamatan Binjai Timur masih banyak persentase rumah tidak sehat

adapun wilayah kerja Puskesmas Tanah Tinggi yaitu : Mencirim 25,4%,

Tunggutono 15%, Dataran Tinggi 76,5%, Timbang Langkat 46,9%, Tanah Tinggi

26,0%, Sumer Mulyorejo 3,7%, Sember Karya 31,3%.9

Dari hasil uraian diatasdapat dijelaskan bahwa hubungan antara kondisi

lingkungan fisik rumah sangat berkaitan dengan kejadian TB paru ditinjau dari

padatan hunian, ventilasi, suhu, kelembaban dan lantai rumah yang tidak sehat

dan tidak sesuai dengan standar dari pemerintah sehingga menyababkan TB paru.

Maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan

Kondisi Lingkungan Fisik Rumah dan Perilaku Individu dengan Kejadian TB

Paru Positif di Wilayah Kerja Puskesmas Tanah Tinggi Kecamatan Binjai Timur

Tahun 2017.
5

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah apakah ada hubungan antara lingkungan kondisi lingkungan fisik rumah

dan perilaku individu dengan kejadian TB paru positif di wilayah kerja Puskesmas

Tanah Tinggi Kecamatan Binjai Timur tahun 2017.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Adapun tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

kondisi lingkungan fisik rumah dan perilaku individu dengan kejadian TB Paru

Positif di Wilayah Kerja Puskesmas Tanah Tinggi Kacamatan Binjai Timur Tahun

2017.

1.3.2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui bagaimana hubungan kepadatan hunian dengan kejadian

TB Paru Positifdi wilayah kerja Puskesmas Tanah Tinggi Kecamatan Binjai

Timur Tahun 2017.

2. Untuk mengetahui bagaimanahubungan ventilasi dengan kejadian TB Paru

Positifdi wilayah kerja Puskesmas Tanah Tinggi Kecamatan Binjai Timur

Tahun 2017.

3. Untuk mengetahui bagaimana hubungan jenis lantai rumah dengan kejadian

TB Paru Positifdi wilayah kerja Puskesmas Tanah Tinggi Kecamatan Binjai

Timur Tahun 2017.


6

4. Untuk mengetahui bagaimana hubungan pengetahuan dengan kejadian TB

Paru Positifdi wilayah kerja Puskesmas Tanah Tinggi Kecamatan Binjai

Timur Tahun 2017.

5. Untuk mengatahui bagaimana hubungan sikap dengan kejadian TB Paru

Positifdi wilayah kerja Puskesmas Tanah Tinggi Kecamatan Binjai Timur

Tahun 2017.

6. Untuk mengatahui bagaimana hubungan jenis kelamin dengan kejadian TB

Paru Positifdi wilayah kerja Puskesmas Tanah Tinggi Kecamatan Binjai

Timur Tahun 2017.

7. Untuk mengetahui faktor paling dominan yang mempengaruhi kejadian TB

Paru Positifdi wilayah kerja Puskesmas Tanah Tinggi Kecamatan Binjai

Timur Tahun 2017.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu :

1. Bagi Institusi Pendidikan,dapat digunakan sebagai tambahan pustaka untuk

memperkaya kajian ilmu kesehatan lingkungan khususnya kajian mengenai

penularan TB Paru.

2. Sebagai bahan masukan pada pihak Puskesmas Tanah Tinggi Kecamatan

Binjai Timur dalam hal program kegiatan pencegahan dan meningkatkan

pelayanan kesehatan khususnya bagi pasien penderita TB Paru.


7

3. Bagi Dinas Kesehatan Kota Binjai, dapat digunakan sebagai referensi dan

perimbangan dalam membuat program-program untuk menyelesaikan kasus

penyakit berbasis lingkungan khususnya penyakit TB paru di Kota Binjai.

4. Bagi peneliti dapat menambah wawasan dan pengalaman dalam menganalisa

permasalahan TB Paru, khususnya hubungannya dengan kesehatan

lingkungan.

5. Bagi masyarakat, dapat digunakan sebagai tambahan informasi untuk

mengetahui cara penularan dan cara pencegahan agar tidak tertular penyakit

TB Paru dan dapat menambah wawasan masyarakat dlam melakukan upaya

penyehatan lingkungan khususnya penyehatan lingkungan rumah.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Peneliti Terdahulu

Pada penelitian yang dilakukan oleh Sakinah dengan judul Pengaruh

Sanitasi Lingkungan Rumah, Penghasilan Keluarga dan Upaya Pengendalian

Terhadap Kejadian Penyakit TB Paru pada Ibu Rumah Tangga di Puskesmas

Mulyorejo Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012 menunjukan hasil bahwa variable

sanitasi lingkungan rumah yaitu ventilasi (p=0,041), pencahayaan (p=0,003),

kelembaban (p=0,045) dan suhu (p=0,007 berhubungan dengan kejadian penyakit

TB paru sedangkan kepadatan penghuni (p=0,477) dan lantai rumah (p=0,407)

tidak berhubungan. Penghasilan keluarga (p=0,001) dan upaya pengendalian yaitu

perilaku hidup sehat (p=0,018), hubungan dengan kejadian penyakit TB Paru.

Sedangkan variabel yang tidak memiliki hubungan adalah tingkat pendidikan

(p=0,297).10

Hasil penelitian yang dilakukan Amalia dengan judul Hubungan Kondisi

Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja

Puskesmas Ngemplak Boyolali Tahun 2015 mendapatkan hasil bahwa kondisi

lingkungan fisik rumah yang berhubungan dengan kejadian TB Paru adalah

ventilasi (p=0,230), pencahayaan (p=0,003), kelembaban (p=0,319),jenis dinding

(p=0,230).11

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wulandari di wilayah kerja Puskesmas

Bandarharjo Kota Semarang mendapatkan hasil bahwa Faktor-Faktor Yang

Berhubungan Dengan Kejadian TB Paru adalah pengetahuan (p=0,001), sikap

8
9

(p=0,003), tindakan (p=0,002), luas ventilasi ruang tamu (p=0,02), pencahayaan

ruang tamu (p=0,020), pencahayaan ruang keluarga (p=0,001), pencahayaan ruang

tidur (p=0,001), jenis dinding (p=0,003), kelembaban ruang tamu (p=0,002) dan

kelembaban ruang tidur (p=0,02).12

Hasil penelitian yang dilakukan I nyoman dkk denganjudul Hubungan

Antara Antara Sanitasi Rumah dengan Kejadian TB Paru di Kabupaten Bangli

Tahun 2012 mendapatkan hasil bahwa sanitasi rumah yang berhubungan dengan

kejadian TB paru adalah ventilasi rumah (p=0,015), kepadatan hunian (p=0,015),

jenis lantai (p=0,555), kelembaban ruangan (p=0,001), suhu ruangan (p=1,000),

dan pencahayaan (p=0,007).13

Penelitian lain yang dilakukan oleh Ryana dkk dengan judulfaktor Resiko

Kejadian TB Paru di Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri Tahun 2012

mendapatkan hasil responden dengan kondisi social ekonomi rendah (p=0,001),

kepadatan hunian (p=1,000), kelembaban (p=0,606), suhu(p=0,263), pencahayaan

(p=0,025), luas ventilasi (p=0,005), pengetahuan (p=0,085), sikap (p=0,052) dan

kebiasaan merokok (p=0,627).14

2.2. Tuberkulosis Paru (TB)

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman yang

bernama Mycobakteriumtuberkulosis.TB Paru adalah penyakit menular. Sumber

penularan adalah pasien yang pemeriksaan dahaknya di bawah mikroskop di

temukan adanya kuman TB, disebut dengan hasil basil tahan asam (BTA).15
10

Tuberkulosis yang disingkat TB adalah penyakit menular yang disebabkan

oleh Mycobakterium tuberkulosis, yang dapat menyerang paru dan organ

lainnya.16

2.2.1. Etiologi

Sebagaimana telah ketahui, tuberkulosis paru disebabkan oleh basil TB

(Mycobakterium tubarkulosishumanis). Secara umum sifat kuman TB sebagai

berikut :

a. M. tuberculosistermasuk family mycobacteriaceae yang mempunyai berbagai

genus, satu diantaranya adalah mycobakterium dan salah satu spesiesnya

adalah M. mycobakterium.

b. M. tuberkulosis yang paling berbahaya bagi manusia adalah tipe humanis

(kemungkinan infeksi tipe bovines saat ini dapat diabaikan, setelah hygiene

peternakan makin ditingkatkan).

c. Basil TB mempunyai dinding sel lipoid sehingga tahan asam. Karna itu kuman

ini disebut Basil Tahan Asam (BTA).

d. Karena pada umumnya mycobakterium tahan asam, secara teoritis BTA belum

tentu identik dengan hasil basil TB.

e. Kalau bekteri-bakteri lain hanya memerlukan beberapa menit sampai 20 menit

untuk mitosis, basil BTA memerlukan waktu 12 sampai 24 jam.

f. Basil TB sangat rentan terhadap sinar matahari, sehingga dalam beberapa

menit saja akan mati. Basil TB juga akan terbunuh dalam beberapa menit bila

terkena alkohol 70%, atau lisol 5%.17


11

Terdapat beberapa spesies Mycobakteriumantara lain :M. tuberkulosis, M.

bovis, M. leprae,dan sebaginya. Yang dikenal sebagi bakteri tahan asam

(BTA).Kelompok bakteri Mycobakteriumtuberkulosis yang biasa menimbulkan

gangguan pada saluran pernafasan dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other

Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan

pengobatan TB. Secara umum karakteristik kuman TB (Mycobakterium

tuberkulosis) antara lain sebagai berikut :

1. Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2-06 mikron.

2. Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dalam metode ziehl neelsen.

3. Kuman nampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksan dibawah

mikroskop.

4. Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka

waktu lama pada suhu 4oCsampai minum 70oC

5. Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet.

6. Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar kuman akan mati

dalam waktu beberapa menit.

7. Dalam dahak pada suhu 30-37oc akan mati dalam waktu kurang 1 minggu.

8. Kuman bisa bersifat dorman (tidur/tidak berkembang).18

Mikobakteria merupakan bakteri tahan asam yang ditandai oleh sifat

“tahan asam”, misalnya dengan media 95% etil alkohol yang mengandung 3%

asam hidroklorida (asam alkohol) dengan cepat dapat menghilangkan warna

semua kuman kecuali mikobakteria. Sifat tahan asam ini tergantung pada

integritas struktur selubung berlilin. Tehnik pewarnaan ziehl neelsen digunakan


12

untuk identifikasi kuman tahan asam. Pada seputum atau potongan jaringan

mikobakterium dapat diperlihatkan fluoresensi kuning-jinga setelah diwarnai

dengan zat warna fluorokhrom (misalnya auramin dan rodamin).19

2.2.2. Penularan TB Paru

Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman keudara

dalam bentuk droplet (percikan dahak).Droplet yang mengandung kuman dapat

bertahan diudara pada suhu kamar selama beberapa jam.Orang dapat terinfeksi

kalau droplet tersebut kedalam saluran pernafasan. Selama kuman masuk kedalam

tubuk manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru

kebagian lainnya, melalui sistem peredaran darah , sistem saluran limfe, saluran

nafas, atau penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya.20

Menurut pedoman TB Nasional 2014 antara lain :

a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percikan renik dahak

yang dikeluarkan. Namun, bukan berarti pasien TB dengan hasil pemeriksaan

BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja

terjadi oleh karna jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji < dari

5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit untuk dideteksi melalui pemeriksaan

mikroskopis langsung.

b. Pasien TB dengan BTA negatif juga bisa memiliki kemungkinan menularkkan

penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien

TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26%. Sedangkan pasien TB

dengan hasil kultur negatif dengan foto Toraks positif adalah 17%.
13

c. Pada waktu batuk atau bersin, pasien akan menyebarkan kuman ke udara

dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei/ percik renik). Sekali batuk dapat

menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.18

2.2.3. Gejala Penyakit TB

Gejala dan tanda yang muncul tergantung organ mana yang terkena.

Seseorang yang disangka menderita TB paru dijumpai keluhan dan tanda-tanda :

a. Batuk-batuk (lebih 3 minggu)

b. Demam-demam (terutama disore hari)

c. Nafsu makan berkurang

d. Berat bandan turun

e. Keringat malam hari

f. Badan terasa lemah / mudah capek/rasa malas

g. Sesak nafas (bila penyakit berlanjut)

h. Sakit dada (bila terjadi peradangan selaput paru/dinding dada).21

2.2.4. Diagnosis TB Paru

Diagnosis TB paru dilakukan sebagai berikut :

a. Pemeriksaan mikroskopis dahak merupakan cara yang paling dapat diandalkan

(dan paling mudah) yang dapat anda lakukan dikebanyakn tempat.

b. Berhubung dengan batuk kronis disebabkan oleh rokok. Bronkitis kronis , dan

sebagainya, banyak spesimen dahak akan negatif. Pada program yang baik

hanya 5-10% dari para pasien yang menunjukan dahak positif.


14

c. Foto rontgen toraks tuberkulosis sangat sulit didiagnosis secara pasti hanya

berdasarkan pemeriksaan toraks saja. Jangan pernah mengobati pasien sperti

itu tanpa melakukan pemeriksaan dahak.

d. Tes tuberkulin sering kali merupakan cara yang kurang dapat diandalkan

dalam penegakan diagnosis di Negara-negara miskin. Akan tetapi, pada anak

tersangka tuberkulosi, hasil tes yang positif kuat, dapat membantu diagnosis.22

Menurut pedoman TB Nasional diagnosis dibagi menjadi 2 yaitu :

a. Diagnosis TB Paru

1. Dalam upaya pengendalian TB secara Nasional, maka diagnosis TB paru

pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemekrisaan

biologis.

2. Apabila pemeriksaan secara biologis hasilnya negative, maka penegakan

diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil

pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidanya pemeriksaan foto

toraks).

3. Pada sarana terbatas penegakan diagnosis secara klinis dilakukan setelah

pembarian terapi antibiotika spectrum luas atau non OAT (Obat Anti

Tuberkulosis) dan non kuinolon yang tidak membarikan perbaikan klinis.

4. Tidak membenarkan mengdiaknosis TB dengan pemeriksaan serologis.

5. Tidak membenarkan mengdiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksan

foto toraks saja.

6. Tidak membenarkan mengdiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan uji

tuberkulin.
15

b. Diagnosis Ekstra Paru

1 Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya kuku

kuduk pada meningitis TB, nyeri pada dada TB pleura (pleuritis),

pembesaran pada kelenjar limfe superfisialis pada limfedenitis TB pada

deformitas tulang belakang (gibbus) pada sipondilitis TB dan lainya.

2 Diagnosis pasti pada pasien TB ektra paru ditegakkan dengan pemeriksaan

klinis bakteriologi dan atau histopatologis dari uji yang diambil dari organ

tubuh yang terkena.

3 Dilakukan pemeriksaan bakteriologis apabila juga ditemukan keluhan dan

gejala yang sesuai, untuk menentukan kemungkinan adanya TB paru.18

2.2.5. Pengobatan TB Paru

Mengobati pasien dengan TB juga cukup mudah, karena penyebab

tuberkulosis sudah jelas yaitu kuman mycobacterium TB. Kuman ini dapat

dimatikan dengan kombinasi beberapa obat yang sudah jelas manfaatnya.

Kombinasi obat untuk membunuh kuman TB terdiri dari :

a. Rifampisisn

b. INH

c. Pyrazinamid

d. Etambutol, pada kasus tertentu perlu ditambahkan

e. Streptomisin atau Kanamisin injeksi.21

DOTS (direclly ovserved treadment short-course) adalah strategi yang

paling efektif tingkat kesembuhan bahkan sampai 95%.DOTS diperkenalkan sejak

tahun 1991 dan sekitar 10 juta pasien telah menerima perlakuan DOTS ini.Di
16

Indonesia sendiri DOTS diperkenalkanpada tahun 1995 dengan tingkat

kesembuhan 87%, tapi sangat disayangkan bahwa tingkat deteksi kasus baru di

Indonesia masih rendah. Berdasrkan data WHO, untuk tahun 2010, tingkat deteksi

hanya 21% jauh dibawah target WHO, 70% karena itu usaha untuk mendeteksi

kasus baru perlu lebih ditingkatkn lagi.23

2.2.6. Penanggulan TB Paru dengan Strategi DOTS

Pada awal tahun 1990-an WHO telah mengembangkan strategi

penanggukangan TB yang dikenal dengan strategi DOTS (direclly ovserved

treadment short-course) dan telah terbukti dengan strategi strategi

penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif.

Strategi ini dikembangkan dari barbagai studi, uji coba klinik (clinical

trials), pengalaman-pengalaman terbaik (best practices), dan hasil implemantasi

program penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade.Penerapan strategi

DOTS secara baik, disampingsecara cepat menekan penularan, juga mencegah

perkembangannya kekebalan ganda terhadap obat atau Multi Drugs

Resistance(MDR) TB.

DOTS (direclly ovserved treadment short-course) adalah penemuan dan

penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi

ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan insiden TB

di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik

dalam upaya pencegahan penularan TB. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen

kunci yaitu :
17

1. Komitmen politik

2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya

3. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan

tatalaksan kasus yang tepat, termasuk langsung dengan pengawsan pengobatan

4. Jaminan ketersediaan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) yang bermutu

5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu membarikan penilaian terhadap

hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.23

2.2.7. Pencegahan TB Paru

Pencegahan TB paru dibagi menjadi 3 (tiga) tahap yaitu :

a. Pencegahan primer

1. Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan penderita, kontak dan

pengobatan dini bagi penderita, kontak, suspect, perawatan.

2. Petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB

yang antara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkan.

3. Pencegahan infeksi : cuci tangan dan praktek menjaga kebersihan rumah

harus dipertahankan sebagai kegitan rutin.

4. Pencegahan pada penderita dapat dilakukan dengan menutup mulut

sewaktu batuk dan membuang dahak disembarangan tempat.

5. Imunisasi orang-orang yang terkontak dengan vaksin BCG.

6. Mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial yang mempertinggi resiko

terjadinya infeksi misalnya kepadatan hunian.

7. Lakukan elimminasi terhadap ternak yang menderita TB bovinum dengan

cara menyembelih sapi-sapi yang tes tuberkulin positif.


18

8. Lakukan upaya pencegahan terjadinya silikosis pada pekerja pabrik dan

tambang.

b. Pencegahan sekunder

1. Pengobatan preventif

2. Isolasi, pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi, pengobatan

khusus TBC.

3. Pemeriksaan bakteriologi dahak pada orang dengan gejala TBC paru.

4. Pemeriksaan screening

5. Pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari hasil

pemeriksaan tuberculin test.

6. Pengobatan khusus. Obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh

dokter diminum dengan tekun dan teratur waktu yang lama (6 atau 12

bulan).

c. Pencegahan tersier

1. Tindakan mencegah bahaya penyakit paru kronis karena menghirup udara

yang tercemar.

2. Rehabilitasi.24

2.3. Kondisi Fisik Rumah

Lingkungan hidup manusia pada dasarnya terdiri dari dua bagian, internal

dan eksternal. Lingkunan hidup internal merupakan suatu keadaan yang dinamis

dan seimbang yang disebut homeostatis, sedangkan lingkungan hidup eksternal

merupakan lingkungan diluar tubuh manusia yang terdiri dari atas tiga komponen

yaitu: Lingkungan fisik, Biologis, dan sosial.25


19

Lingkungan fisik rumah didefinisikan sebagai suatu keadaan yang berkaitan

dengan faktor-faktor lingkungan fisik yang ditunjukan untuk menjamin

pemenuhan kebutuhan fisiologis dan psikologis dari penghuni rumah tersebut.26

2.3.1. Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian rumah menurutKeputusan Menteri Kesehatan Nomor

829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, satu orang

minimal menempati luas rumah 8m2. Dengan kriteria diharapkan dapat mencegah

penularan penyakit dan pelancaran aktivitas.25

Kepadatan hunian adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan

jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal.Persyaratan kepadatan hunian

untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m 2 per orang.Luas minimum

perorang sangat relatife, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang

tersedia.Untuk perumahan sederhana minimum 8 m2/orang.Kamar tidur sebaiknya

tidak dihuni >2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah umur dua

tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi penderita penyakit

tuberkulosis sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya.27

2.3.2. Ventilasi Rumah

Ventilasi merupakan sarana untuk pertukaran udara bersih dari luar dengan

udara kotor di dalam ruangan, sehingga udara ruangan tetap sehat dan segar.

Menurut indikator pengawasan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat

kesehatan adalah ≥ 10 % luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi

syarat kesehatan adalah < 10% lantai rumah. Ventilasi yang tidak sehat/ tidak

sesuai standar akan mempengaruhi sirkulasi udara di dalam rumah, jika sirkulasi
20

didalam rumah kurang baik maka mikroorganisme akan lebih cepat berkembang

dan akan membawa dampak buruk pada penghuni rumah tersebut.

Ventilasi yang baik adalah berukuran 10–25% luas lantai atau lebih

tepatnya 15% dari luas lantai, sehingga mampu menjamin sirkulasi udara yang

baik. Pertukaran udara yang cukup menyebabkan hawa diruangan tetap segar

karna kandungan oksigen diudara juga tercukupi.

Berdasarkan kejadiannya, maka ventilasi dapat dibagi kedalam dua jenis yaitu :

a. Ventilasi Alam

Ventilasi Alam ini mengandalkan gerakan udara bebas (angin), temperatur

udara dan kelembabannya.Selain melalui jendela pintu dan lubang angin, maka

ventilasi pun dapat diperoleh dari pergerakkan udara sebagai hasil sifat porous

dinding ruangan, atap dan lantai.

b. Ventilasi Buatan

Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan dengan menggunakan alat

mekanis maupun elektrik. Alat-alat tersebut diantaranya adalah kipas angin,

exhauseter dan AC (air conditioner).25

Adapun fungsi dari ventilasi dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang

optimum bagi pernafasan.

2. Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun debu dan zat-zat

pencemar lain dengan cara pengenceran udara.

3. Mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang.

4. Mensuplai panas akibat hilangnya panas ruang dan bangunan.


21

5. Mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi tubuh,

kondisi, evavorasi ataupun keadaan external.

6. Mendisfungsikan suhu udara secara merata.27

2.3.3. Suhu

Suhu adalah panas atau dinginnya udara yang dinyatakan dengan satuan

derajat.Secara umum, penilaian suhu rumah dengan menggunakan thermometer

ruangan. Berdasarkan indikator pengawasan perumahan, suhu rumah yang

memenuhi syarat kesehatan adalah antara 25oC, dan suhu rumah yang tidak

memenuhi syarat kesehatan adalah <20oC atau >25oC.28

Suhu atau temperatur ruangan sering dihubungkan dengan cuaca dan letak

Negara.Di negara teropis seperti Indonesia, suhu yang lebih rendah cenderung

disukai oleh vector atau agen penyakit dibandingkan dengan suhu suhu yang lebih

tinggi. Pada suhu 40-50oC atau 10-20oC mikroba hanya akan mengalami

pertumbuhan yang cukup lambat, hal ini disebabkan karna suhu optimal untuk

pertumbuhan mikroba adalah 20-40oc. Menurut badan penelitian dan

pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, suhu dikatakan memenuhi

syarat jika suhu 18oC- 30oC dan tidak memenuhi syarat jika <18oC atau >30oC.25

2.3.4. Kelembaban

Rumah yang memiliki kelembaban yang tidak memenuhi syarat kesehatan

akan membawa pengaruh bagi penghuninya, rumah yang lemab akan menjadi

tempat yang baik untuk pertumbuhan mikrobiologi seperti bakteri. Peningkatan

CO2, sangat mendukung pertumbuhan bakteri. Hal ini dikernakan Mycobakterium


22

tuberkulosis adalah aerob obligat dan mendapatkan energi dari oksidasi banyak

komponen karbon sederhana.28

Kelembaban udara adalah prosentase jumlah kandungan air dalam udara.

Kelembaban terdiri dari 2 jenis yaitu :

a. Kelembaban absolut, yaitu berat uap air per unit volume udara

b. Kelembaban nasbi (relatif), yaitu banyaknya uap air dalam udara pada suatu

temperatur terhadap banyaknya uap air pada saat udara jenuh dengan uap air

pada temperatur tersebut.29

Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah dengan menggunakan

Hygrometer.Menurut indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara yang

memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-70%.

Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan

akan membawa pengaruh pada penghuninya. Rumah yang lembab merupakan

media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket,

ricketsia dan virus.Mikroorganisme tersebut dapat masuk kedalam tubuh melalui

udara. Selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa

hidup menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang

mikroorganisme.30

2.3.5. Jenis Lantai

lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian TB paru melalui

kelembaban di dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban,

dengan demikian sangat mempengaruhi viabilitas kuman TB. Kondisi lantai tanah
23

yang selalu basah menyebabkan kelembaban rumah semakin rendah, memicu

daya tahan kuman TB paru di udara semakin lama.30

Persyaratan rumah tinggal menurut Keputusan Menteri Kesehatan

No.829/MENKES/SK/VII/1999 di dalam komponen dan penataan ruang

menganai jenis lantai rumah harus kedap air dan mudah dibersihkan. Lantai kedap

air apabila semen/tegel/ubin/keramik dan lantai tidak kedap air apabila lantai di

dalam rumah masih berupa tanah.25

2.3.6. Pencahayaan Sinar Matahari

Pencahayaan dalam ruangan secara langsung maupun tidak langsung dapat

menerangi seluruh ruangan. Intensitas minimal pencahayaan dalam ruangan

adalah 60 lux dan tidak menyilaukan.25

Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup bertahun-tahun lamanya, dan mati

bila terkena sinar matahari, sabun, losion, karbol dan panas api. Kurangnya sinar

yang masuk kedalam rumah, ventilasi yang buruk cenderung menciptakan suasana

lembab dan gelap, kondisi ini menyebabkan kuman dapat bertahan berhari-hari

sampai berbulan-bulan di dalam rumah. Pencahayaan rumah yang tidak

memenuhi persyaratan, semua cahaya pada dasarnya dapat mematikan, namun

tentu tergantung jenis dan lama cahaya tersebut.27

Sinar matahari dapat dimanfaatkan untuk mencegah penyakit tuberkulosis

paru, dengan mengusahakan masuknya sinar matahari pagi kedalam

rumah.Cahaya matahari masuk kedalam rumah melalui jendela atau genteng kaca.

Diutamakan sinar matahari pagi mengandung sinar ultraviolet yang dapat

mematikan kuman.31
24

2.4. Perilaku

2.4.1. Definisi Perilaku

Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (mahluk hidup)

yang bersangkutan, oleh sebab itu dari sudut pandang biologis semua mahluk

hidup mulaidari tumbuh-tumbahan, binatang sampai dengan manusia itu

berperilaku, karna mereka mempunyai aktifitas masing-masing.

Kebiasaan individu yang tidak menerapkan perilaku hidup bersih dan

sehat seperti batuk atau bersin tidak menutup mulut, membuang dahak secara

sembarangan dan menggunakan masker jika berpergian akan lebih cepat

terkontaminasi oleh kuman TB Paru.

Dilihat dari respon terhadap stimulus ini maka perilaku dibedakan menajdi dua

yaitu :

1. Perilaku tertutup (covert behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup

(covert). Respon atau reaksi terhadap stimulasi ini masih terbatas dari

perhatian, persepsi pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada

orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas

oleh orang lain.

2. Perilaku terbuka (overtbihavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau

terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan

atau praktik (practice), dengan mudah dapat diamati atau dilihat dari orang

lain.32
25

2.4.2. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang

melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui

panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan

raba.32

Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang

melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.Tanpa pengetahuan

seseorang tidak mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan menentukan

tindakan terhadap masalah yang dihadapi.

Pengetahuan masyarakat yang kurang tahu akan penyakit Tuberkulosis

baik itu pencegahan maupun pengobatan sehingga masih banyaknya kasus

Tuberkulosis ditemukan di masyarakat.

Faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah faktor internal

faktor dari dalam diri sendiri, misalnya inteligensia, minat, kondisi fisik.Faktor

ekternal faktor dari luar diri, misalnya keluarga, masyarakat, sarana. Dan faktor

pendekatan belajar , faktor upaya belajar, misalnya strategi dan metode dalam

pembelajaran.

Ada enam tingkat domain pengetahuan yaitu :

1. Tahu (know) tahu diartikan sebagai mengingat kembali terhadap suatu materi

yang telah dipelajari sebelumnya.

2. Memahami (comprehention) suatu kemampuan untuk menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi

tersebut secara benar.


26

3. Aplikasi, diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada pada situasi dan kondisi yang sebanarnya.

4. Analisa, adalah suatu kemampuan untuk manjabarkan materi atau suatu objek

kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi

dan kaitannya dengan yang lain.

5. Sintesis, sintesis menunjukan suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan baru.

6. Evaluasi, evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melaksanakan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi/objek.33

2.4.3. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek.

Sikap individu yang buruk menyebabkan mikrobiologi seperti baketri

virus, kuman dan lainya, sikap yang kurang menjaga kebersihan diri seperti tidak

menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, tidak menjaga kebersihan rumah dan

tidak mau memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan jika batuk lebih dari 3 hari

maka individu akan lebih mudah terserang penyakit Tuberkulosis.

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai

tingkatan yaitu :

1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus

yang diberikan (objek).Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari

kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah tentang gizi.


27

2. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas

yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.Karna dengan suatu usaha

untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas

dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berat bahwa orang menerima ide

tersebut.

3. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakn atau mendiskusikan suatu masalah

adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang ibu yang mengajak

ibu yang lain (tetangganya, saudaranya dan sebagainya) untuk pergi

menimbangkan anaknya ke posyandu.

4. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab terhadap sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala

resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya seorang ibu mau

menajdi akseptor KB, meskipun mendapatkan tantangan dari mertua atau

orang tuanya.32

2.5. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah:

1. Ada hubungan kepadatan hunian dengan kejadian TB Paru P ositifdi wilayah

kerja Puskesmas Tanah Tinggi Binjai Timur Tahun 2017.

2. Ada hubungan ventilasi dengan kejadian TB Paru Positif di wilayah kerja

Puskesmas Tanah Tinggi Binjai Timur Tahun 2017.


28

3. Ada hubungan jenis lantai rumah dengan kejadian TB Paru Positif di wilayah

kerja Puskesmas Tanah Tinggi Binjai Timur Tahun 2017.

4. Ada hubungan pengetahuan dengan kejadian TB Paru Positif di wilayah kerja

Puskesmas Tanah Tinggi Binjai Timur Tahun 2017.

5. Ada hubungan sikap dengan kejadian TB Paru Positif di wilayah kerja

Puskesmas Tanah Tinggi Binjai Timur Tahun 2017.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah menggunakan metode observasional analitik

dengan rancangan Case Control, merupakan penelitian epidemiologis analitik

observasi yang menelaah hubungan antara efek (penyakit atau kondisi kesehatan)

tertentu dengan faktor resiko tertentu, atau untuk membandingkan kelompok

kasus dan kelompok kontrol berdasarkan status paparannya.34

Studi kasus kontrol dipilih dengan pertimbangan waktu penelitian relatif

singkat, sampel yang dibutuhkan lebih kecil, kasus telah terjadi dan banyak faktor

risiko yang bisa diteliti bersamaan. Perbandingan kelompok kasus dan kontrol

adalah 1:1. Kelompok kasus adalah dari hasil pemeriksaan ditemukan BTA pada

pemeriksaan dahak sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS BTA hailnya positif

dan ditambah foto rontgen dada , sedangkan kelompok kontrol ialah memiliki

gejala yang sama tetapi hasil pemeriksaannya negatif.34

29
30

Desain penelitian digambarkan dalam bagan berikut ini:

Faktor resiko + Kasus(hasil pemeriksaan

ditemukan BTA pada pemeriksaan

Faktor resiko - dahak, spesimen SPS BTA positif

dan foto rontgen dada.

Faktor resiko +
Kontrol (memiliki gejala yang

sama tetapi hasil pemeriksaannya


Faktor resiko -
negatif)

Bagan 2.1. Skema Rancangan Penelitian Kasus Kontrol Kejadian TB


Paru

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Tanah Tinggi

Kecamatan Binjai Timur Kabupaten Langkat yang masih banyak penderita TB

Paru dan masih banyak terdapat rumah yang tidak sehat.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penulisan dan penyusunan penelitian ini dimulai sejak Mei sampai dengan

Agustus 2017.
31

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi penelitian adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang

diteliti 34. Populasidalam penelitian ini adalah semua penduduk di wilayah kerja

Puskesmas Tanah Tinggi Kecamatan Binjai Timur.

3.3.2. Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti tersebut dan dianggap mewakili seluruh

populasi. Sampel merupakan populasi target yang memenuhi kriteria inklusi yang

di tambah dengan kelompok kontrol dan dijadikan sebagai subjek penelitian.

a. Metode Pengambilan Sampel

Sampel dalam penelitian ini diambil dengan metode non probability

sampling dengan cara consecutive sampling, yaitu pengambilan sampel kelompok

kasus dan sampel kelompok kontrol berdasarkan urutan data sekunder (populasi

studi kasus dan kontrol) dari rekam medik yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi.

Pengambilan sampel kasus dan kontrol dilakukan secara bersamaan

berdasarkan data sekunder yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Proses

pengambilan sampel sesuai jumlah sampel yang dibutuhkan berdasarkan urutan

data terbaru sampai data terlama sehingga mencapai target jumlah sampel. Jika

jumlah sampel belum tercukupi maka interval periode data sekunder yang

digunakan diperlebar.34 Skema seleksi sampel dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:
32

Populasi Studi (Sampel Kasus)


Kasus

Seleksi Sampel
Berdasarkan Subjek
Populasi Studi
Kriteria Inklusi Penelitian
Dan Eksklusi

Populasi Studi (Sampel Kontrol)


Kontrol

Bagan 2.2 Alur Seleksi Sampel Penelitian

b. Besar Sampel

Penentuan jumlah sampel untuk penelitian kasus kontrol dengan

mempertimbangkan Odss Ratio hasil dari penelitian sebelumnya.

Penetuan sampel berdasarkan rumus Lameshow sebagai berikut:

n=¿ ¿

( P1−P2 )
Dimana, P =
2

P ( ¿ ) P2 P P1
1= 2=
( ¿ ) P 2+ ( 1−P2 ) (¿) ( 1−P2) +P 1

Keterangan:

n = Besar sampel

Zα = Deviasi baku alfa, nilai 1,96 (nilai Zα pada CI 95%, α=0,05

Zβ = Deviasi baku beta, nilai 0,842 (nilai Zβ pada power 80%)

P1 = Proporsi paparan pada kelompok kasus

P2 = Proporsi paparan pada kelompok kontrol


33

OR = Odss Ratio berdasarkan faktor risiko penelitian sebelumnya.

Adapun perhitungan sampelnya sebagai berikut:

( ¿) P
2
P 1=
( ¿ ) P2+ ( 1−P2 )

3,85 ×0,1
P 1=
3,85 ×0,1+ ( 1−0,1 )

0,38
P 1=
0,38+0,9

0,38
P 1=
1,28

P1=0,29

P1
P 2=
( ¿ ) ( 1−P ) + P1

0,3
P 2=
3,85 ( 1−0,2 ) +0,3

0,3
P 2=
3,08+0,3

0,3
P 2=
3,38

P2=0,08

( P1 + P2 )
P=
2

0,3+0,1
P= =0,2
2

Sehingga diketahui: P2 = 0,08

P1 = 0,29

P = 0,2

n=¿ ¿
34

n=¿ ¿

{1,96 √0,4 ( 0,8 ) +0,842 √0,20+ 0,07 } ²


n=
( 0,21 ) ²

n=¿ ¿

{ 0,98+0,41 } ²
n=
( 0,04 ) ²

1,39
n=
0,04

n=35

3.3.3. Kriteria Kasus dan Kontrol

A. Kriteria Kasus

1. Kriteria Inklusi

a. Dari hasil pemeriksaan ditemukan BTA positif pada pemeriksaan

dahak, sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif dan

ditambah foto rontgen dada.

b. Bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Tanah tinggi.

c. Penderita yang berusia > 15 tahun

2. Kriteria Eksklusi

a. Meninggal dunia atau tidak bisa ditemui.

B. Kriteria Kontrol

1. Kriteria Inklusi
35

a. memiliki gejala yang sama yaitu badan lemah, nafsu makan turun,

barat badan turun, kurang enak badan dan batuk, tetapi hasil

pemeriksaannya dahak negatif

b. Bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Tanah Tinggi.

c. Penderita yang berusia > 15 tahun

2. Kriteria Eksklusi

a. Dalam keadaan sakit atau tidak bisa ditemui.

C. Kriteria Pencocokan (matching)

Pencocokan (matching) dilakukan berdasarkan umur responden (baik

kelompok kasus maupun kelompok kontrol).34

3.4. Kerangka konsep

Variabel Independen Variabel Depeneden

Kondisi Lingkungan Fisik Rumah

Perilaku Individu

Kejadian TB Paru

Jenis Kelamin

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian

3.5. Definisi Operasional dan Aspek Pengukuran

3.5.1. Definisi Operasional


36

Definisi operasional adalah mendifinisikan variabel secara operasional

berdasarkan karakteristik yang diamati sehingga memungkinkan penelitian untuk

melakukan observasi dan pengukuran secara cermat terhadap objek atau

fenomena.

1. Kepadatan hunian adalah banyaknya penghuni yang tinggal di rumah

responden dibandingkan dengan luas lantai rumah.

2. Ventilasi adalah semua lubang angin yang menjadi pertukaran udara yang

tedapat di rumah responden.

3. Jenis lantai rumah adalah bahan lapisan penutup bagian bawah/dasar yang

tedapat di rumah responden.

4. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh responden tentang TB

parudilihat dari kemampuan untuk menjawab pertanyaan yang diberikan.

5. Sikap adalah respon atau tanggapan yang dimiliki oleh responden tentang

penyakit TB paru dan pencegahannya.

6. Jenis kelamin adalah perbedaan bentuk, sifat, dan fungsi biologis perbedaan

upaya meneruskan garis keturunan.

7. Kejadian TB Paru adalah kondisi responden bedasarkan diagnosa petugas

kesehatan dan ditemukan mycobakterium didalam sputum/dahak responden.

3.5.2. Aspek Pengukuran

Tabel 3.1. Aspek Pengukuran


No Variabel Cara Ukur Alat Kategori/Bobot Sekala
37

Independen Ukur Ukur


1 Kepadatan Observasi Rol Meter 1= tidak memenuhi Ordinal
hunian dan syarat hunian setiap
wawancara satu orang penghuni
menepati ruangan
<8m2/orang
2= memenuhi syarat
padat apa bila setiap
orang penghuni
menempti ruang
≥8m2/orang
2 Ventilasi Observasi Rol meter 1= tidak memenuhi Ordinal
syarat apabial ventilasi
<10% luas lantai
2= memenuhi syarat
apabila luas ventilasi
≥10% luas lantai
3 Jenis lantai Observasi Kuesioner 1= tidak memenuhi Ordinal
syarat apabila bahan
dipakai terbuat dari
selain ubin/semen
2= memenuhi syarat
apabila bahan dipakai
terbuat dari ubi/semen
4 Pengetahuan Wawancara Kuesioner Baik: > 50% (> 9) Ordinal
Kurang: ≤ 50% (≤ 9)
5 Sikap Wawancara Kuesioner Baik : > 50% (> 36) Ordinal
Kurang : ≤ 50% (≤ 36)
6 Jenis Wawancara Kuesioner 1= laki-laki Nominal
Kelamin 2= Perempuan
No Variabel Cara Alat Kategori Skala
Dependen Ukur Ukur Ukur
1 Kejadian Melalui Rekam 1=Kasus ditemukan Ordinal
TB Paru pemeriks medis BTA pada pemeriksaan
aan dahak, sedikit-dikitnya
mikrosko dua dari tiga spesimen
pis SPS BTA hasilnya
positif
2= Kontrol : tidak
memiliki gejala
sakit/tidak menderita
TB Paru
3.6. Teknik Pengumpulan Data

3.6.1. Data Primer


38

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden melalui

teknik wawancara dan obsevasi yang berpedoman pada kuesioner yang telah

disiapkan sebelumnya.

3.6.2. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari Pukesmas Tanah Tinggi dan

Dinas Kesehatan Kota Binjai.

3.7. Uji Validitas dan Reliabilitas

Sebelum penyebaran kuesioner pada sampel penelitian, butir-butir

pertanyaaan pada kuesioner harus diuji validitas dan reabilitas melalui uji Pearson

Product Moment.

3.7.1. Uji Validitas

Uji validitas bertujuan untuk mengetahui sejauh mana suatu ukuran atau

nilai yang menunjukkan tingkat kehandalan suatu alat ukur dengan cara mengukur

korelasi antara variabel atau item dengan skor total variabel. Uji Validitas

dilakukan dengan komputerisasi dengan menggunakan Aplikasi SPSS. Kriteria

validitas instrumen penelitian yaitu jika sig2_tailed < 0,05 maka butir instrumen

dinyatakan valid, jika sig2_tailed > 0,05 maka butir instrumen dinyatakan tidak

valid.

Tabel. 3.2. Hasil Uji Validitas Kuesioner Pengetahuan


Pernyataan Ke r tabel r hitung Keterangan
1 0,444 0,838 Valid
2 0,444 0,878 Valid
39

3 0,444 0,696 Valid


4 0,444 0,692 Valid
5 0,444 0,728 Valid
6 0,444 0,632 Valid
7 0,444 0,831 Valid
8 0,444 0,719 Valid
9 0,444 0,640 Valid
10 0,444 0,768 Valid
11 0,444 0,656 Valid
12 0,444 0,711 Valid
13 0,444 0,831 Valid
14 0,444 0,794 Valid
15 0,444 0,777 Valid
16 0,444 0,692 Valid
17 0,444 0,245 Tidak Valid
18 0,444 0,838 Valid
19 0,444 0,298 Tidak Valid
20 0,444 0,571 Valid

Hasil uji validitas menunjukkan bahwa dari 20 butir soal yang dilakukan

uji validitas 18 soal dinyatakan valid dikarenakn nilai r hitung > r tabel dan 2 soal

dinyatakan tidak valid dikarenakn nilai r hitung < r tabel maka dengan itu

kuesioner yang dijadikan untuk penelitian sebanyak 18 butir tes.

Tabel. 3.3. Hasil Uji Validitas Kuesioner Sikap


Pernyataan Ke r tabel r hitung Keterangan
1 0,444 0,650 Valid
2 0,444 0,765 Valid
3 0,444 0,282 Tidak Valid
4 0,444 0,851 Valid
5 0,444 0,595 Valid
6 0,444 0,799 Valid
7 0,444 0,790 Valid
8 0,444 0,157 Tidak Valid
9 0,444 0,652 Valid
10 0,444 0,762 Valid
11 0,444 0,601 Valid
12 0,444 0,851 Valid
13 0,444 0,713 Valid
14 0,444 0,789 Valid
15 0,444 0,728 Valid
16 0,444 0,646 Valid
17 0,444 0,740 Valid
40

18 0,444 0,785 Valid


19 0,444 0,610 Valid
20 0,444 0,851 Valid

Hasil uji validitas menunjukkan bahwa dari 20 butir soal yang dilakukan

uji validitas 18 soal dinyatakan valid dikarenakn nilai r hitung > r tabel dan 2 soal

dinyatakan tidak valid dikarenakn nilai r hitung < r tabel maka dengan itu

kuesioner yang dijadikan untuk penelitian sebanyak 18 butir tes.

3.7.2. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas bertujuan untuk mengukur sejauh mana suatu alat ukur

dapat menunjukkan ketepatan dan dapat dipercaya dengan menggunakan metode

Cronbach Alpha , yaitu menganalisi reliabilitas alat ukur dari satu kali pengkuran

dengan ketentuan jika r alpha> r tabel (0,444) maka dinyatakan reliabel. Uji

Reliabilitas intrumen Penelitian ini dilakukan dengan Komputerisasi dengan

menggunakan Aplikasi SPSS.

Tabel. 3.4. Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner Pengetahuan


Cronbach α r tabel Status

0,945 0,444 Reliabilitas tinggi

Berdasarkan hasil uji reliabilitas instrumen diperoleh hasil bahwa nilai uji

reliabilitas diperoleh r-hitung sebesar 0,945 dan lebih besar dari nilai r-tabel

(0,444), maka instrumen penelitian dinyatakan reliabel (handal).

Tabel. 3.5. Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner Sikap


Cronbach α r tabel Status

0,945 0,444 Reliabilitas tinggi


41

Berdasarkan hasil uji reliabilitas instrumen diperoleh hasil bahwa nilai uji

reliabilitas diperoleh r-hitung sebesar 0,945 dan lebih besar dari nilai r-tabel

(0,444), maka instrumen penelitian dinyatakan reliabel (handal).

3.8. Analisis data

Data primer dan sekunder dilakukan tahapan editing, coding, dan

tabulating kemudian dianalis melalui proses pengolahan data yang mencakup

analis univariat, analisis bivariat.

3.8.1. Analisis Univariat

Analisis univariat yaitu analisis yang digunakan untuk menggambarkan

distribusi frekuensi masing-masing variabel, baik variabel bebas, variabel terikat

maupun deskripsi karakteristi responden.

3.8.2. Analisis Bivariat

Analisis Bivariat yaitu analisis yang dilakukan untuk mengetahui adanya

hubungan atara variabel independen dan variabel dependen denga menggunakan

uji Chi-Square pada tingkat kepercayaan 95% (p< 0,05).

3.8.3. Analisis Multivariat

Analisis multivariat yaitu analisis lanjutan yang memungkinkan untuk

mengetahui variabel independen yang paling dominan berpengaruh dengan

variabel dependen. Analisa data penelitian ini dilakukan uji regresi logistik pada

taraf nyata 95% (ɑ=0,05) dengan menggunakan bantuan SPSS.

Anda mungkin juga menyukai