Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Tuberkulosis (TB) paru merupakan salah satu penyakit menular yang masih

menjadi permasalahan di dunia hingga saat ini, baik negara berkembang maupun

negara maju. Pada tahun 1992, World Health Organization (WHO) telah

mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency Disease. Laporan WHO

tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun

2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Setiap detik

ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia ini dan sekitar sepertiga

penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis.

Berdasarkan WHO Global Tuberculosis Report tahun 2015, Indonesia

merupakan negara peringkat kedua prevalensi TB Paru tertinggi di dunia setelah

India. Angka insidensi semua tipe TB paru Indonesia pada tahun 2014 adalah 1 juta

kasus atau 399 per 100.000 penduduk, angka prevalensi semua tipe TB paru 1,6

juta kasus atau 647 per 100.000 penduduk, dan angka kematian TB paru 100.000

kasus atau 41 per 100.000 penduduk. Di seluruh dunia, TB paru merupakan

penyakit infeksi terbesar kedua yang menyebabkan tingginya angka mortalitas

dewasa. Secara nasional, TB dapat membunuh sekitar 67.000 orang setiap tahun,

setiap hari 183 orang meninggal akibat penyakit TB di Indonesia dan TB paru

1
menduduki peringkat 3 dari 10 penyebab kematian terbanyak di Indonesia dengan

proporsi 10% dari mortalitas total.

Jumlah penemuan kasus baru TB paru BTA (+) di Indonesia Pada tahun 2018

sebanyak 203.348 kasus, dengan penemuan kasus baru TB paru BTA (+) di provinsi

lampung sebanyak 8.249 kasus.

Wilayah kerja Puskesmas Kedaton Kecamatan Kedaton terdiri dari 7 kelurahan

dan masing-masing kelurahan telah memiliki kader kesehatan yang turut membantu

penemuan kasus suspek tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas Kedaton.

Berdasarkan data sekunder dari Pemegang Program TB Puskesmas Kedaton pada

tahun 2017, jumlah kasus suspek TB di Puskesmas kedaton mencapai 1.103 kasus.

Angka penemuan kasus TB BTA positif di Puskesmas Kedaton mencapai 104 kasus.

Angka ini masih di bawah target Standar Pelayanan Minimal penemuan kasus TB

BTA positif sebesar 70%.

Kejadian TB paru di wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap Kedaton dapat

dipengaruhi oleh sanitasi lingkungan rumah warga sekitar yang kurang memenuhi

syarat seperti : kondisi rumah yang sempit, dan rapat terutama mereka yang tinggal

di gang-gang sempit, kurang pencahayaan, minimnya ventilasi, serta kurangnya

kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan sekitarnya.

Selain itu faktor lain yang dapat menyebabkan kejadian TB paru adalah praktik

higiene masyarakat yang masih kurang baik yaitu membuang dahak/ludah

sembarangan, tidak mentup mulut saat bersin dan batuk, tidak menggunakan masker

yang dapat menularkan TB paru kepada orang lain. Pasien TB harus menutup

mulutnya pada waktu bersin dan batuk karena pada saat bersin dan batuk ribuan

hingga jutaan kuman TB keluar melalui percikan dahak.

2
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik melakukan penelitian

dengan judul “hubungan karakteristik individu, praktik higiene, dan sanitasi

lingkungan rumah terhadap kejadian TB paru di wilayah kerja Puskesmas Kedaton

tahun 2019”

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah adakah hubungan karakteristik individu, praktik higiene, dan sanitasi

lingkungan rumah dengan kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Kedaton

tahun 2019?

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

karakteristik individu, praktik hiegiene, dan sanitasi lingkungan rumah dengan

kejadian TB paru di wilayah kerja Puskesmas Kedaton tahun 2019.

1.3.2 Tujuan khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui karakteristik individu yaitu umur, jenis kelamin,

pekerjaan, penghasilan, dan pendidikan penderita TB paru di

Puskesmas Kedaton tahun 2019

2. Mengetahui praktik higiene penderita TB paru di Puskesmas Kedaton

tahun 2019

3
3. Mengetahui sanitasi lingkungan rumah yaitu kepadatan hunian, jenis

lantai, ventilasi, dan pencahayaan penderita TB paru di Puskesmas

Kedaton tahun 2019

4. Mengetahui hubungan karakteristik individu yaitu pekerjaan,

penghasilan, dan pendidikan dengan kejadian TB paru di Puskesmas

Kedaton tahun 2019

5. Mengetahui hubungan praktik higiene dengan kejadian paru

Puskesmas Kedaton tahun 2019

6. Mengetahui hubungan sanitasi lingkungan rumah yaitu kepadatan

hunian, jenis lantai, ventilasi, dan pencahayaan dengan kejadian TB

paru di Puskesmas Kedaton tahun 2019

1.4 Manfaat penelitian

1. Pada masyarakat, penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat yang

menderita TB mengetahui bahwa mereka memiliki penyakit yang dapat

menular.

2. Sebagai bahan masukan kepada pihak Puskesmas Kedaton dalam hal

program kegiatan pencegahan dan meningkatkan pelayanan kesehatan

khususnya bagi pasien penderita TB paru.

3. Menjadi dasar yang dapat digunakan sebagai informasi untuk

penelitian- penelitian selanjutnya.

4. Bagi peneliti dapat menambah wawasan dan pengalaman dalam

menganalisa permasalahan TB paru, khususnya hubungannya

dengan kesehatan lingkungan.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis paru

2.1.1 Definisi

Tuberkulosis (TB) paru adalah suatu penyakit infeksi yang dapat mengenai

paru-paru (tidak termasuk pleura) yang disebabkan oleh bakteri berbentuk basil

tahan asam dan bersifat aerob, yaitu Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis)

complex. Selain mengenai paru-paru, TB juga dapat mengenai bagian tubuh

lainnya, seperti otak, tulang, kulit, dan lain-lain.

2.1.2 Epidemiologi

Menurut data WHO Global Tuberculosis Report 2014, sekitar 9 juta orang

menderita TB (sekitar 64% diantaranya adalah TB kasus baru) dan 1,5 juta

diantaranya meninggal dunia pada tahun 2013. Jumlah kasus yang dilaporkan ke

WHO sebanyak 6,1 juta kasus dimana 5,7 juta kasus diantaranya adalah kasus TB

baru. WHO juga memasukkan Indonesia dalam 22 negara dengan kasus TB

tertinggi di dunia dengan total case notified 327.103 kasus. Menurut Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi penduduk Indonesia yang

didiagnosis menderita TB paru oleh tenaga kesehatan adalah 0,4%.

5
Angka Case Detection Rate (CDR) TB paru dengan Basil Tahan Asam

(BTA) positif di Provinsi Lampung pada tahun 2018 adalah sebesar 52,8% dari total

penduduk 8.370.485 jiwa, yang dihitung berdasarkan jumlah penderita yang telah

ditemukan dibandingkan dengan jumlah penderita yang diperkirakan ada di daerah

tersebut. Angka CDR TB paru BTA positif di Kota Bandar Lampung pada tahun

2016 adalah sebesar 44,3% dan angka Case Notification Rate (CNR), yaitu angka

penemuan kasus per 100.000 penduduk di wilayah tertentu, adalah sebesar 91

kasus. Angka keberhasilan pengobatan kasus baru TB paru BTA positif dibagi per

jumlah total TB kasus baru dikali 100% (success rate) di tahun 2016 mencapai

93%. Angka ini sudah memenuhi target nasional, yaitu > 85%. Keberhasilan

pengobatan yang rendah dapat memicu munculnya Multi Drug Resistant (MDR)

TB. MDR TB merupakan resistensi ganda yang menunjukkan Mycobacterium

tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT (Obat

Anti Tuberkulosis) lainnya.

WHO melaporkan pada tahun 2013 sedikitnya 480.000 orang di dunia

menderita MDR TB, sedangkan di Indonesia, MDR TB belum memiliki data yang

akurat.6 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Munir dkk di Poliklinik Paru

Rumah Sakit Persahabatan yang merupakan rujukan paru nasional selama 3 tahun

pada tahun 2005-2007, terdapat 554 pasien (14,86%) MDR TB dari 3.727 pasien

TB paru dalam kurun waktu tersebut.

Beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat anti tuberkulosis,

yaitu pemakaian obat tunggal dalam pengobatan TB, penggunaan paduan obat yang

tidak adekuat, pemberian obat yang tidak teratur, fenomena addition syndrome,

yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil,

6
penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan dengan baik,

penyediaan obat yang tidak reguler, dan pengetahuan penderita yang masih kurang

tentang penyakit TB.

2.1.3 Etiologi

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit

melengkung dengan panjang 1-4 mikron dan lebar sekitar 0,3-0,6 mikron, tidak

berspora, dan tidak berkapsul. Mycobacterium tuberculosis berproliferasi dengan

baik pada suhu 22-23oC dengan pH optimal 6,4-7,0. Mycobacterium tuberculosis

berkembang biak dengan cara membelah diri.

2.1.4 Cara penularan dan faktor risiko

Penularan Mycobacterium tuberculosis biasanya berasal dari:

a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percikan

dahak yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti pasien TB dengan

hasil pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam

dahaknya.

b. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan

menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif

adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah

26%, sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto toraks

positif adalah 17%.

c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang

mengandung percikan dahak infeksius tersebut.

7
d. Saat batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam

bentuk percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali batuk

dapat menghasilkan sekitar 3.000 percikan dahak dari orang dengan TB

BTA positif.

Daya penularan Mycobacterium tuberculosis dipengaruhi oleh banyaknya

kuman yang berasal dari paru-paru penderita, daya tahan tubuh orang yang terhirup,

dan lamanya pemaparan. Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan cukup lama

dalam ruangan yang tertutup dan lembab. Sinar matahari dapat langsung mematikan

Mycobacterium tuberculosis, sedangkan ventilasi dapat mengurangi percikan.

2.1.5 Klasifikasi

Klasifikasi pasien TB berdasarkan riwayat pengobatan, yaitu:

1. Kasus baru, yaitu penderita yang belum pernah mendapat pengobatan

dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan

(30 dosis harian).

2. Kasus kambuh (relaps), yaitu penderita tuberkulosis yang sebelumnya

pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh

atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil

pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.

3. Kasus lalai berobat, yaitu penderita yang sudah berobat paling kurang

1 bulan dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali

berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil

pemeriksaan dahak BTA positif.

8
4. Kasus gagal pengobatan (failure), yaitu penderita BTA positif yang

masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5

(satu bulan sebelum akhir pengobatan) dan penderita dengan hasil BTA

negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir

bulan ke-2 pengobatan dan/atau gambaran radiologik ulang hasilnya

mengalami perburukan.

5. Kasus pindahan (transfer in), yaitu penderita yang sedang mendapatkan

pengobatan di suatu kabupaten/kota dan kemudian pindah berobat ke

kabupaten/kota lain.

2.1.6 Diagnosis

A. Gejala klinis

Gejala klinis TB paru dapat dibagi menjadi gejala lokal (sesuai organ yang

terlibat) dan gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru, maka gejala

klinis pada pasien adalah:

1. Gejala respiratorik: bervariasi tergantung dari luas lesi, dapat bersifat

asimptomatik hingga simptomatik.

a. Batuk produktif ≥ 2 minggu.

b. Batuk berkembang dari batuk biasa menjadi purulen hingga batuk darah

(gross haemopthysis).

c. Sesak napas ditemukan pada penyakit yang lanjut dengan kerusakan paru

yang cukup luas.

9
d. Nyeri dada pada TB termasuk nyeri pleuritik ringan. Nyeri dada yang

bertambah berat akan timbul jika infiltrasi radang sudah sampai ke pleura

sehingga menimbulkan pleuritis luas.

2. Gejala sistemik

a. Demam

Demam merupakan gejala pertama dari TB paru. Demam pada TB paru

biasanya subfebris, tergantung dari daya tahan tubuh dan virulensi kuman.

b. Malaise

Tuberkulosis bersifat radang menahun sehingga dapat terjadi rasa tidak

enak badan, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan semakin kurus,

sakit kepala, dan mudah lelah.

3. Gejala TB ekstra paru

Gejala TB ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada

limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari

kelenjar getah bening. Pada meningitis TB akan terlihat gejala meningitis. Pada

pleuritis TB terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang

rongga pleuranya terdapat cairan.

B. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan tergantung organ yang terlibat. Penyakit TB

paru kelainannya tergantung luas kerusakan struktur paru. Kelainan paru pada

umumnya terletak di daerah lobus superior, terutama daerah apeks dan segmen

posterior serta daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik pasien dengan

TB paru dapat ditemukan suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah,

10
ronkhi basah karena sekret menjadi lebih banyak dan kental, serta tanda-tanda

penggunaan otot-otot bantu pernafasan.

C. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan bakteriologi

Pemeriksaan bakteriologis dari spesimen dahak dapat dilakukan dengan

cara mikroskopis dan biakan. Cara pengambilan dahak tiga kali dengan

minimal satu kali dahak pagi hari. Pemeriksaan mikroskopis terdiri dari

dua jenis yaitu pemeriksaan mikroskopis biasa dan pemeriksaan

mikroskopis fluoresens.

2. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan lain yang juga

dianjurkan, tapi bukan merupakan gold standard. Pemeriksaan yang

diminta adalah foto toraks PA.

3. Rapid test (tes cepat molekuler) TB

Tes ini dilakukan untuk mendeteksi kasus TB dan menunjukkan apakah

bakteri resisten terhadap rifampisin. Tes ini menyediakan deteksi sensitif

terhadap TB dan resistensi terhadap rifampisin langsung dari dahak

dalam waktu kurang dari dua jam.

4. Polymerase chain reaction (PCR)

Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi

DNA, termasuk DNA Mycobacterium tuberculosis. Hasil pemeriksaan

PCR dapat menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut

dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar.

11
2.1.7 Tatalaksana

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan, dan mencegah

terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

a. Tahap awal (intensif), yaitu pasien mendapat obat setiap hari selama 2-

3 bulan dan mendapat pengawasan langsung untuk mencegah

terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tepat, biasanya dalam waktu

2 minggu pasien tidak akan menularkan penyakitnya. Sebagian besar

konversi dari TB BTA positif menjadi negatif terjadi dalam waktu 2

bulan.

b. Tahap lanjutan, yaitu pasien diberi obat 3 kali dalam seminggu selama

4-7 bulan. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten

dan mencegah kekambuhan.

OAT terdiri dari OAT utama (lini I) dan tambahan (lini II), antara lain:

a. OAT lini I : isoniazid (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z), etambutol

(E), dan streptomisin (S).

b. OAT lini II : kanamisin, amikasin, kuinolon, makrolid, dan amoksilin

serta asam klavulanat (masih dalam penelitian).

2.1.8 Suspek (tersangka penderita) TB

Tersangka penderita TB adalah seorang penderita batuk berdahak selama 2-

3 minggu atau lebih dan dapat diikuti gejala tambahan, seperti batuk darah, sesak

nafas, nafsu makan menurun, penurunan berat badan, malaise, berkeringat di

12
malam hari walaupun tanpa melakukan kegiatan fisik, dan demam meriang lebih

dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut dapat dijumpai pula pada penyakit paru

selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, dan kanker paru. Oleh

karena prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang

datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala tersebut di atas dianggap sebagai

seorang tersangka penderita TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara

mikroskopis langsung.

13
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan desain

case control study yaitu untuk mengetahui hubungan karakteristik individu,

praktik higiene dan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian TB paru

di wilayah kerja Puskesmas Rawat inap kedaton tahun 2019. Dimana peneliti

membandingkan derajat keterpaparan antara yang menderita penyakit

Tuberkulosis paru (Kasus) dengan yang tidak menderita penyakit Tuberkulosis

paru (Kontrol).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap Kedaton.

Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni 2019 sampai dengan Agustus 2019.

14
3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

a. Populasi kasus dalam penelitian ini adalah semua penderita yang

menderita TB Paru BTA (+) berdasarkan data rekam medis

Puskesmas Rawat Inap Kedaton yang berusia 15 tahun keatas,

mulai dari bulan Juni 2019 – Agustus 2019 yaitu sebanyak 18

orang.

b. Populasi kontrol dalam penelitian ini adalah tetangga penderita TB

Paru BTA (+) yang berusia 15 tahun keatas yang tidak menderita TB

Paru yaitu sebanyak 18 orang.

3.3.2 Sampel

a. Sampel kasus dalam penelitian ini dihitung menggunakan rumus:

n= 2x (1.96+1.28)2(0.47)2

(0.5)2

n= 18.3 kelompok sample, dibulatkan menjadi 18 Kelompok sampel

15
b. Sampel kontrol dalam penelitian adalah tetangga penderita TB paru

BTA positif yang tidak menderita penyakit TB, besar sampel dalam

penelitian ini yaitu 18 orang.

3.3.3 Kriteria Kasus dan Kontrol

1. Kriteria Kasus

a) Kriteria Inklusi

a. Bersedia berpartisispasi dalam penelitian.

b. Bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Kedaton.

b) Kriteria Eksklusi

a. Tidak berada di tempat pada waktu pengumpulan data atau studi

selama tiga kali berturut-turut.

b. Meninggal dunia, dalam keadaan sakit atau tidak bisa ditemui.

2. Kriteria Kontrol

a) Kriteria Inklusi

a. Bersedia berpartisispasi dalam penelitian.

b. Kelompok kasus atau kriteria kontrol matching dengan kasus.

c. Bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Kedaton.

b) Kriteria Eksklusi

a. Tidak berada di tempat pada waktu pengumpulan data atau studi

selama tiga kali berturut-turut.

b. Dalam keadaan sakit atau tidak bisa ditemui.

3. Kriteria Pencocokan (Matching)

Pencocokan (matching) terdiri dari jenis kelamin (kelompok

kasus dan kontrol berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki dan

16
perempuan) dan umur (kelompok kasus dan kontrol berdasarkan usia

produktif yaitu > 15 tahun).

3.4 Teknik Pengambilan Sampel

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan, diperoleh sampel

sebanyak 18 responden positif menderita Tuberkuosis Paru. Dalam penelitian

ini perhitungan besar total sampel dalam penelitian ini sebanyak 36 sampel

dengan 18 kasus dan18 kontrol.

3.5 Metode Pengumpulan Data

3.5.1 Data Primer

Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dan

observasi kepada penderita Tuberkulosis Paru menggunakan kuesioner

meliputi :

a. Karakteristik individu responden : umur, jenis kelamin, penghasilan,

pendidikan, dan pekerjaan.

b. Praktik higiene : usaha kesehatan yang dilakukan responden yang

bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit pada manusia.

c. Kondisi sanitasi rumah : kepadatan hunian, ventilasi, jenis lantai,

dan pencahayaan yang dilakukan dengan melakukan observasi,

pengukuran dan kemudian menilai persyaratan untuk masing-masing

objek yang diteliti, dengan menggunakan Kepmenkes no. 829 tahun

1999.

17
3.5.2. Data Sekunder

Data sekunder yang akan digunakan adalah data rekam medis

Puskesmas Kedaton mengenai data penyakit tuberkulosis paru pada

periode Juni 2019 – Agustus 2019 yang diperoleh dari Puskesmas Kedaton.

3.6.1 Variabel Penelitian

Variabel independen dalam penelitian ini adalah karakteristik

individu (umur, jenis kelamin, pekerjaan, penghasilan dan pendidikan) ,

praktik higiene dan sanitasi lingkungan rumah (kepadatah hunian, jenis

lantai, ventilasi, dan pencahayaan). Variabel dependen dalam penelitian ini

adalah kejadian Tuberkulosis Paru.

3.6.2 Defenisi Operasional

1. Kejadian TB paru adalah penderita TB paru yang didiagnosa secara

klinis dan laboratorium menyatakan menderita TB paru berdasarkan

data Puskesmas Kedaton Juni 2019 - Agustus 2019.

2. Karakteristik Individu adalah keadaan dari responden yang terdiri dari

umur, jenis kelamin, pepekerjaan, penghasilan, dan pendidikan.

3. Umur adalah usia responden dari mulai lahir sampai ulang tahun terakhir.

4. Jenis kelamin adalah responden yang dinyatakan dengan jenis kelamin

pria dan wanita.

5. Pekerjaan adalah sumber mata pencarian yang dilakukan untuk

memenuhi kebutuhan hidup responden.

18
6. Pendidikan adalah tingkat/jenjang pendidikan formal yang

terakhir ditamatkan oleh responden mulai dari SR/SD sampai dengan

Perguruan Tinggi.

7. Penghasilan keluarga adalah pendapatan keluarga dari hasil pekerjaan

utama maupun tambahan (dalam rupiah) yang dikategorikan

berdasarkan Upah Minimum Regional (UMR).

8. Praktik higiene merupakan usaha kesehatan masyarakat yang bertujuan

untuk mencegah terjadinya penyakit pada manusia.

9. Sanitasi Lingkungan Rumah adalah keadaan bagian-bagian dari

lingkungan rumah responden yang diperkirakan ikut berperan dalam

penularan penyakit, yaitu kepadatan hunian, jenis lantai, ventilasi atau

penghawaan, dan pencahayaan.

3.7 Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan bantuan komputer, untuk

menggambarkan hasil observasi, wawancara dan pengukuran yang dilakukan.

a. Editing, Kegiatan ini di lakukan setelah memperoleh data yang di

kumpulkan untuk di koreksi sebelum di lakukan kegiatan data entri data

sehingga apabila ada kesalahan atau kekurangan data dapat segera di

klarifikasi.

b. Coding, merupakan kegiatan merubah data yang berbentuk huruf

menjadi data berbentuk angka atau bilangan. Pemberian kode ini untuk

mempermudah pengolahan dan mempercepat proses entry data.

19
c. Processing, Setelah melalui proses pengkodean, selanjutnya memproses

data agar data yang telah di entry dapat di analisis. Pemrosesan data di

lakukan dengan cara mengentri data dari kuesioner ke paket program

komputer SPSS

d. Cleaning, (pembersihan data) merupakan kegiatan pengecekan

kembali data yang sudah di entry untuk mengetahui adanya

kesalahan atau tidak.

20
BAB IV
PROFIL UMUM
PUSKESMAS RAWAT INAP KEDATON

4.1 Data Geografis

Puskesmas Kedaton berlokasi di Jalan Raya Kedaton Atas No. 62


Tanjung Karang. Berdasarkan Keputusan Walikota Bandar Lampung Tahun
2012 Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Kedaton membawahi 7 kelurahan
dan 1 buah Puskesmas Pembantu (Pustu) Sukamenanti, hal ini karena
Pemekaran Wilayah Kecamatan Kedaton menjadi Kecamatan Kedaton dan
Kecamatan Labuhan Ratu. Puskesmas Kedaton hingga saat ini mempunyai
wilayah kerja 7 kelurahan yaitu :
1. Kelurahan Kedaton dengan luas wilayah 1,48 km2
2. Kelurahan Sidodadi dengan luas wilayah 1,16 km2
3. Kelurahan Surabaya dengan luas wilayah 1,25 km2
4. Kelurahan Sukamenanti dengan luas wilayah 0,19 km2
5. Kelurahan Sukamenanti Baru dengan luas wilayah 0,19 km 2
6. Kelurahan Penengahan dengan luas wilayah 0,25 km 2
7. Kelurahan Penengahan Raya dengan luas wilayah 0,20 km 2

Luas wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap Kedaton: 4,72 km 2.


Batas-batas wilayah :
 Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Seneng dan
Rajabasa
 Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Karang
Pusat
 Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Way Halim

21
 Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Karang
Barat dan Labuhan Ratu

4.2 Data Demografis

Jumlah Penduduk di wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap Kedaton


pada tahun 2017 sebanyak 41.772 jiwa. Dari 7 Kelurahan yang ada di wilayah
kerja Puskesmas Rawat Inap Kedaton tercatat kelurahan yang paling banyak
penduduknya adalah Kelurahan Kedaton dengan jumlah penduduk sasaran
11.298 jiwa, sedangkan jumlah penduduk sasaran yang paling sedikit adalah
Kelurahan Sukamenanti Baru yaitu 3.437 jiwa. Penyebaran penduduk tidak
merata dan tercatat kelurahan dengan jumlah penduduknya paling tinggi
adalah Kelurahan Kedaton yang paling rendah Kelurahan Penengahan.

Tabel 2. Data Jumlah Penduduk, KK dan Jumlah Rumah di Wilayah Kerja


Puskesmas Rawat Inap Kedaton Tahun 2017

No Kelurahan Jumlah Kepala Jumlah


Keluarga Penduduk
1 Kedaton 2520 11298
2 Sidodadi 2457 8542
3 Surabaya 2105 8605
4 Sukamenanti 901 3533
5 Sukamenanti Baru 3437 3437
6 Penengahan 673 2626
7 Penengahan Raya 992 3731
Jumlah 10618 41772
Sumber : Data Dasar Puskesmas Rawat Inap Kedaton

4.3 Sumber Daya Manusia Puskesmas Rawat Inap Kedaton

Jumlah sumber daya manusia di Puskesmas Rawat Inap Kedaton baik


tenaga medis maupun non medis samapi dengan tahun 2017 berjumlah 97
orang.

22
Tabel 3. Data Ketenagan di UPT Puskesmas Rawat Inap Kedaton Tahun 2017

No Jenis Puskesmas PUSTU Jumlah


Ketenagaan Kedaton Sukamenanti
1 Dokter Umum 9 0 9
2 Dokter Gigi 3 0 3
3 Profesi 3 0 3
Keperawatn (Ns)
4 Sarjana 3 0 3
Keperawatan
5 Sarjana Kesmas 3 0 3
6 SAA 0 0 0
7 D-III Farmasi 1 0 1
8 Apoteker 1 0 1
9 D-III Fisioterapi 0 0 0
10 D-III Gizi 1 0 1
11 D-III Perawat Gigi 1 0 1
12 SPRG 2 0 2
13 SPK 1 2 3
14 D-III Perawat 4 1 5
15 D IV Kebidanan 2 0 2
16 D-III Kebidanan 5 1 6
17 D IV Analis 1 0 1
18 D III Analis 0 0 0
19 Sanitarian 2 0 2
20 Pekarya 1 0 1
Kesehatan/SMA
21 Juru Mudi 1 0 1
22 Bidan PTT 1 0 1
23 Perawat Poskeskel 14 0 14
24 Cleaning Service 2 0 2
25 Tenaga Kontrak 15 1 16
26 Perawat TKS 4 0 4
27 Bidan Kontrak 13 1 14
Jumlah Total 97

23
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Individu

Adapun gambaran karakteristik individu kasus dan kontrol pada

penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.3 dibawah ini.

Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Individu

di Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Kedaton Tahun 2019 tahun 2015

Kasus Kontrol
karakteristik individu
N % n %
Umur
16- 50 tahun 12 66,7 12 66,7
> 50 tahun 6 33,3 6 33,3
Total 18 100 18 100
jenis Kelamin
Laki- Laki 12 66,7 12 66,7
Perempuan 6 33,3 6 33,3
Total 18 100 18 100
Pekerjaan
Tidak Bekerja 4 22,2 3 16,7
Bekerja 14 77,8 15 83,3
Total 18 100 18 100
Jenis Pekerjaan
Non formal 12 66,7 6 33,3
Formal 6 33,3 12 66,7
Total 18 100 18 100
lama kerja
> 5 tahun 14 77,8 13 72,2
< 5 tahun 4 22,2 5 27,8

24
total 18 100 18 100
Penghasilan
Rendah < Rp. 2.037.000 11 61,1 4 22,2
Tinggi > Rp 2.037.000 7 38,9 14 77,8
total 18 100 18 100
Pendidikan
Rendah 10 55,6 4 22,2
Tinggi 8 44,4 14 77,8
Total 18 100 18 100

Hasil penelitian pada tabel 4.3 diatas menunjukkan bahwa

prevalensi umur dan jenis kelamin pada responden kasus dan kontrol sama,

karena dalam penelitian ini dilakukan proses matching menurut umur dan

jenis kelamin pada responden kasus maupun responden kontrol. Tabel 4.3

menunjukkan bahwa jumlah responden yang terbanyak berkisar pada

kelompok umur 16-50 tahun yaitu 12 responden (66,7%) dan yang paling

sedikit berkisar pada kelompok umur > 50 tahun yaitu 6 responden (33,3%).

Jenis kelamin antara responden kasus dan kontrol pada tabel 4.3

diatas menunjukkan bahwa jenis kelamin pada kelompok kasus dan kontrol

responden lebih banyak pada jenis kelamin laki-laki yaitu 12 responden

(66,7%) dan lebih kecil pada jenis kelamin perempuan yaitu 6 responden

(33,7%).

Berdasarkan pekerjaan responden pada kelompok kasus yang tidak

bekerja yaitu hanya 4 responden (22,2%) dan jumlah responden kasus yang

bekerja yaitu 14 responden (77,8%). Sedangkan pada kelompok kontrol

responden yang tidak bekerja yaitu hanya 3 responden (16,7%) dan jumlah

responden kontrol yang bekerja yaitu 15 responden (83,3%).

Berdasarkan jenis pekerjaan pada responden kelompok kasus yang

bekerja pada bidang non formal yaitu 12 responden (66,7%) dan responden

25
kasus yang bekerja pada bidang formal yaitu 6 responden (33,3%).

Sedangkan pada responden kelompok kontrol yang bekerja pada bidang non

formal yaitu 6 responden (33,3%) dan jumlah responden kontrol yang

bekerja pada bidang formal yaitu 12 responden (66,7%).

Berdasarkan lama kerja pada responden kelompok kasus yang

bekerja >5 tahun yaitu 14 responden (77,8%) dan responden kasus yang

bekerja < 5 tahun yaitu hanya 4 responden (22,2%). Sedangkan pada

responden kelompok kontrol yang bekerja >5 tahun yaitu 13 responden

(72,2%) dan jumlah responden kontrol yang bekerja <5 tahun yaitu hanya 5

responden (27,8%).

Berdasarkan penghasilan pada responden kelompok kasus dengan

penghasilan rendah <Rp2.037.000 yaitu 11 responden (61,1%) dan

responden kasus dengan penghasilan tinggi >Rp2.037.000 yaitu 7

responden (38,9%). Sedangkan pada responden kelompok kontrol dengan

penghasilan rendah <Rp2.037.000 yaitu 4 responden (22,2%) dan

responden kontrol dengan penghasilan tinggi >Rp2.037.000 yaitu 14

responden (77,8%).

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.3 pendidikan pada

responden kelompok kasus dengan pendidikan rendah yaitu 10 responden

(55,6%) dan responden kasus dengan pendidikan tinggi yaitu 8 responden

(44,4%). Sedangkan pada responden kelompok kontrol dengan pendidikan

rendah yaitu hanya 4 responden (22,2%) dan responden kontrol dengan

pendidikan tinggi yaitu 14 responden (77,8%).

26
5.2 Praktik Higiene

Adapun distribusi praktik higiene responden kasus dan kontrol pada

penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.4 dibawah ini.

Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Praktik Higiene

Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Kedaton Tahun 2019.

Kasus Kontrol
karakteristik individu
n % n %
Apakah anda membuang dahak/ludah di
tempat khusus (tidak sembarangan)?
1. Sering 2 16,7 5 27,8
2. Kadang Kadang 2 16,7 3 16,7
3. Tidak 9 66,7 10 55,6
Apakah anda menutup mulut saat batuk ?
1. Sering 9 50,0 13 72,2
2. Kadang Kadang 8 44,4 4 22,2
3. Tidak 1 5,6 1 5,6
Apakah anda menggunakan masker saat
batuk?
1. Sering 0 0 2 11,1
2. Kadang Kadang 5 27,8 4 22,2
3. Tidak 13 72,2 12 66,7
Apakah anda menutup mulut saat bersin ?
1. Sering 14 77,8 16 88,9
2. Kadang Kadang 4 22,2 2 11,1
3. Tidak 0 0 0 0

Apakah anda menutup mulut dengan


tisu/sapu tangan saat batuk dan bersin ?
1. Sering 1 5,6 1 5,6
2. Kadang Kadang 8 44,4 9 50,0
3. Tidak 9 50,0 8 44,4
Ketika anda menderita penyakit
pernapasan apakah anda minum obat
secara teratur sampai sembuh?
1. Sering 12 66,7 10 55,6
2. Kadang Kadang 6 33,3 6 33,3
3. Tidak 0 0 2 11,1
Apakah anda menghindari konsumsi
minuman beralkohol dan merokok ketika
menderita penyakit pernapasan?
1. Sering 10 55,6 12 66,7
2. Kadang Kadang 6 33,3 5 27,8

27
3. Tidak 2 11,1 7 38,9
Ketika anda menderita penyakit
pernapasan apakah anda tidur terpisah
dengan orang sehat?
1. Sering 1 5,6 2 11,1
2. Kadang Kadang 3 16,7 9 50,0
3. Tidak 14 77,8 7 38,9
Apakah anda menjemur alat tidur secara
teratur?
1. Sering 8 44,4 10 55,6
2. Kadang Kadang 7 38,9 7 38,9
3. Tidak 3 16,7 1 5.6
Apakah anda membuka ventilasi dan
jendela setiap pagi setiap hari ?
1. Sering 7 38,9 13 72,2
2. Kadang Kadang 7 38,9 4 22,2
3. Tidak 14 22,2 1 5,6

Variabel praktik higiene diketahui dengan menggunakan 10

pertanyaan pada tabel 4.4 diatas yang menanyakan bagaimana praktik

higiene responden kasus dan kontrol terhadap kejadian TB paru. Hasil

penelitian menunjukkan sebagian besar responden kelompok kasus

memiliki tindakan membuang dahak sembarangan yaitu 12 responden

(66,7%), tindakan responden menutup mulut saat batuk cukup baik dengan

9 responden (50%) menjawab sering, sebagian besar responden kasus tidak

menggunakan masker saat batuk yaitu 13 responden (72,2%), responden

kasus yang menutup mulut saat bersin tergolong baik yaitu 14 responden

(77,8%) menjawab sering, namun sebagian besar responden kasus tidak

menutup mulut dengan sapu tangan atau tissu saat bersin yaitu 9 responden

(50%).

TB paru ditularkan melalui melalui udara dengan cara droplet yaitu

dari percikan ludah dan dahak penderita saat batuk, bersin, dan berbicara,

oleh karena buang dahak sembarangan, tidak pakai masker, tidak menutup

28
mulut saat batuk dan bersin dapat menularankan TB paru kepada orang lain

yang sehat.

Tidakan responden kasus meminum obat teratur saat sakit cukup

baik yaitu 11 responden (66,7%), menghindari minum alkohol dan rokok

yaitu 10 responden (55,6%) yang menjawab sering, tindakan responden

kasus tidak tidur terpisah dengan orang sehat yaitu 14 responden (77,8%),

tindakan menjemur peralatan tidur dan membuka jendela tergolong sedang.

Tindakan di atas dapat meningkatkan kejadian TB paru karena berpotensi

menularkan pada orang sehat, terutama saat tidur dalam ruang kamar yang

sama dengan orang sehat. Oleh karena itu perlu dilakukan pemisahan orang

sehat dengan yang sakit denganpemberian jarak tidur antara orang sehat dan

sakit, dan lebih baik lagi jika tidur terpisah dan menggunakan perlengkapan

secara terpisah (bantal, selimut, sendok, piring, dll) untuk mencegah

penularan terhadap orang lain yang masih sehat.

Adapun kategori praktik higiene responden kasus dan kontrol pada

penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.5 dibawah ini.

Tabel 4.5 Kategori Responden Berdasarkan Praktik Higiene di

Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Kedaton Tahun 2019

Kasus Kontrol
Praktik Higiene n % n %
Sedang 16 88,9 8 44,4
Baik 2 11,1 10 55,6
Total 18 100,0 18 100,0

Tabel 4.5 diatas menunjukkan bahwa praktik higiene pada

responden kasus dengan kategori sedang yaitu 16 responden (88,9%) dan

29
praktik higiene responden kasus dengan kategori baik yaitu hanya 2

responden (11,1%). Sedangkan praktik higiene pada responden kontrol

dengan kategori sedang yaitu 8 responden (44,4%) dan praktik higiene

responden kontrol dengan kategori baik yaitu 10 responden (55,6%).

5.3 Sanitasi Lingkungan Rumah

Adapun gambaran sanitasi lingkunan rumah responden kasus dan

kontrol pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.6 dibawah ini.

Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Sanitasi Lingkungan

Rumah Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Kedaton Tahun

2019

Sanitasi Lingkungan Rumah Kasus Kontrol


N % n %
Kepadatan Hunian
Tidak memenuhi syarat 12 66,7 4 22,2
Memenuhi syarat 6 33,3 14 77,8
Total 18 100,0 18 100,0
Lantai Rumah
Tidak memenuhi syarat (kedap air) 8 44,4 5 27,8
Memenuhi syarat (tidak kedap air) 10 55,6 13 72.2
Total 18 100,0 18 100,0
Ventilasi
Tidak memenuhi syarat 11 61,1 4 22,2
Memenuhi syarat 7 38,9 14 77,8
Total 18 100,0 18 100,0
Jendela
Tidak ada 5 27,8 3 16,7
Ada 13 72,2 15 83,3
Total 18 100,0 18 100,0
Membuka Jendela
Tidak 8 44,4 5 27,8
Ya 10 55,6 13 72,2
Total 18 100,0 18 100,0
Pencahayaan Matahari
Tidak memenuhi syarat 11 61,1 5 27,8
Memenuhi syarat 7 38,9 13 72,2
Total 18 100,0 18 100,0

30
Tabel 4.6 diatas menunjukkan bahwa kepadatan hunian pada

responden kasus yang tidak memenuhi syarat yaitu 12 responden (66,7%)

dan kepadatan hunian pada responden kasus yang memenuhi syarat yaitu 6

responden (33,3%). Sedangkan kepadatan hunian pada responden kontrol

yang tidak memenuhi syarat yaitu hanya 4 responden (22,2%) dan

kepadatan hunian pada responden kontrol yang memenuhi syarat yaitu 14

responden (77,8%).

Lantai rumah responden kasus yang tidak memenuhi syarat yaitu 8

responden (44,4%) dan lantai rumah responden kasus yang memenuhi

syarat yaitu 10 responden (55,6%). Sedangkan lantai rumah responden

kontrol yang tidak memenuhi syarat yaitu 5 responden (27,8%) dan lantai

rumah responden kontrol yang memenuhi syarat yaitu 13 responden

(72,2%).

Ventilasi rumah responden kasus yang tidak memenuhi syarat yaitu

11 responden (61,1%) dan ventilasi rumah responden kasus yang memenuhi

syarat yaitu 7 responden (38,9%). Sedangkan ventilasi rumah responden

kontrol yang tidak memenuhi syarat yaitu hanya 4 responden (22,2%) dan

ventilasi rumah responden kontrol yang memenuhi syarat yaitu 14

responden (77,8%).

Berdasarkan ada tidaknya jendela rumah responden kasus yang tidak

memiliki jendela rumah yaitu 5 responden (27,8%) dan responden kasus

yang memiliki jendela rumah yaitu 13 responden (72,2%). Sedangkan

responden kontrol yang tidak memiliki jendela rumah yaitu 3 responden

(16,7%) dan responden kontrol yang memiliki jendela rumah yaitu 15

31
responden (83,3%).

Berdasarkan dibuka tidaknya jendela rumah responden kasus yang

tidak membuka jendela rumah yaitu 8 responden (44,4%) dan responden

kasus yang membuka jendela rumah yaitu 10 responden (55,6%).

Sedangkan responden kontrol yang tidak membuka jendela rumah yaitu 5

responden (27,8%) dan responden kontrol yang membuka jendela rumah

yaitu 13 responden (72,2%).

Berdasarkan masuk tidaknya cahaya matahari kedalam rumah

responden kasus yang tidak memenuhi syarat yaitu 11 responden (61,1%)

dan pencahayaan matahari responden kasus yang memenuhi syarat yaitu 7

responden (38,9%). Sedangkan pencahayaan matahari pada responden

kontrol yang tidak memenuhi syarat yaitu 5 responden (27,8%) dan

pencahayaan matahari pada responden kontrol yang memenuhi sayarat yaitu

13 responden (72,2%).

5.4 Analisis Bivariat

Analisis yang digunakan untuk melihat hubungan antara variabel

yang diteliti dengan kejadian tuberkulosis paru. Uji statistik yang digunakan

pada analisis ini adalah Chi Square dengan derajat kepercayaan 95% (α =

5%). Berdasarkan uji statistik akan diperoleh nilai p. Untuk nilai p < 0,05

berarti terdapat hubungan yang bermakna antara variabel yang diteliti

dengan variabel kejadian tuberkulosis paru.

32
5.4.1 Hubungan Karakteristik Individu dengan Kejadian TB Paru di Wilayah

Kerja Puskesmas Rawat Inap Kedaton Tahun 2019

Adapun hasil analisis bivariat karakteristik individu dengan kejadian

tuberkulosis paru adalah sebagai berikut.

Tabel 4.7 Distribusi Hubungan Karakteristik Individu dengan

Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Kedaton Tahun

2019

karakteristik Kasus Kontrol


p OR 95% CI
individu n % n %
Pekerjaan
Non formal 12 66,7 12 66,7
0,046 4,000 (1,000-15,994)
Formal 6 33,3 6 33,3
Total 18 100 18 100 18 100 18
Penghasilan
Rendah 11 61,1 4 22,2
0,018 5,500 1,277-23,692)
Tinggi 7 38,9 14 77,8
Total 18 100 18 100 18 100 18
Pendidikan
Rendah 10 55,6 4 22,2
0,040 4,357 (1,027-18,629)
Tinggi 8 44,4 14 77,8
Total 18 100 18 100 18 100 18

Tabel 4.7 diatas menunjukkan bahwa dari 18 responden dengan TB

paru terdapat 12 responden (66,7%) yang bekerja pada bidang non formal.

Sementara itu dari 18 responden yang sehat terdapat hanya 6 responden

(33,3%) yang bekerja pada bidang non formal. Hasil analisis dengan

menggunakan uji chi- square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara pekerjaan dengan kejadian TB paru dengan nilai p-value

= 0,046 < 0,05. Nilai OR sebesar = 4,000 (95% CI = 1,000-15,994) hal ini

menunjukkan bahwa resiko responden yang mengalami kejadian TB paru

33
dengan pekerjaan non formal adalah sebesar 4 kali dibandingkan dengan

kelompok responden yang sehat.

Tabel 4.7 diatas menunjukkan bahwa dari 18 responden dengan TB

paru terdapat 11 responden (61,1%) dengan penghasilan rendah. Sementara

itu dari 18 responden yang sehat terdapat hanya 4 responden (22,2%)

dengan penghasilan rendah. Hasil analisis dengan menggunakan uji chi-

square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

penghasilan dengan kejadian TB Paru dengan nilai p-value = 0,018 < 0,05.

Nilai OR = 5,500 (95% CI = 1,277-23,692) hal ini menunjukkan bahwa

resiko responden yang mengalami kejadian TB paru dengan penghasilan

rendah adalah sebesar 5,5 kali dibandingkan dengan kelompok responden

yang sehat.

Tabel 4.7 diatas menunjukkan bahwa dari 18 responden dengan TB

paru terdapat 10 responden (55,6%) dengan pendidikan rendah. Sementara

itu dari 18 responden yang sehat terdapat hanya 4 responden (22,2%)

dengan pendidikan rendah. Hasil analisis dengan menggunakan uji chi-

square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

pendidikan dengan kejadian TB paru dengan nilai p-value = 0,040 < 0,05.

Nilai OR = 4,357 (95% CI = 1,027-18,629) hal ini menunjukkan bahwa

resiko responden yang mengalami kejadian TB paru dengan pendidikan

rendah adalah sebesar 4,357 kali dibandingkan dengan kelompok responden

yang sehat.

34
5.4.2 Hubungan Praktik Higiene dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja

Puskesmas Rawat Inap Kedaton Tahun 2019

Adapun hasil analisis bivariat praktik higiene dengan kejadian

tuberkulosis paru adalah sebagai berikut.

Tabel 4.8 Distribusi Hubungan Praktik Higiene dengan Kejadian

TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Kedaton Tahun 2019

Praktik Higiene Kasus Kontrol


n % n % p OR 95% CI
Sedang 16 88,9 8 44,4
Baik 2 11,1 10 55,6 0,005 10,00 (1,756-56,933)
Total 18 100 18 100

Tabel 4.8 diatas menunjukkan bahwa dari 18 responden dengan TB

paru terdapat 16 responden (88,9%) dengan praktik higiene kategori sedang.

Sementara itu dari 18 responden yang sehat terdapat hanya 8 responden

(44,4%) dengan praktik higiene kategori sedang. Hasil analisis dengan

menggunakan uji chi- square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara praktik higiene dengan kejadian TB paru dengan nilai p-

value = 0,005 < 0,05. Nilai OR = 10,00 (95% CI = 1,756-56,933) hal ini

menunjukkan bahwa resiko responden yang mengalami kejadian TB paru

dengan praktik higiene kategori sedang adalah sebesar 10 kali dibandingkan

dengan kelompok responden yang sehat.

35
5.4.3 Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian TB Paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Kedaton Tahun 2019

Adapun hasil analisis bivariat sanitasi lingkungan rumah dengan

kejadian tuberkulosis paru adalah sebagai berikut.

Tabel 4.9 Distribusi Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan

Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Kedaton Tahun

2019

Sanitasi Lingkungan Kasus Kontrol p OR 95% CI


n % n %
Kepadatan Hunian
Kamar
Tidak Memenuhi Syarat 12 66,7 4 22,2 0,007 7,000 (1,591-30,800)
Memenuhi Syarat 6 33,3 14 77,8
Total 18 100 18 100
Lantai Rumah
Tidak Memenuhi Syarat 8 44,4 5 27,8 0,289 2,080 (0,519-8,339)
Memenuhi Syarat 10 55,6 13 72,2
Total 18 100 18 100
Ventilasi
Tidak Memenuhi Syarat 7 38,9 14 77,8 0.018 5,500 (1,277-23,692)
Memenuhi Syarat 11 61,1 4 22,2
Total 18 100 18 100
Pencahayaan Matahari
Tidak Memenuhi Syarat 11 61,1 5 27,8 0.044 4,086 (1,007-16,579)
Memenuhi Syarat 7 38,9 13 72,2
Total 18 100 18 100

Tabel 4.9 diatas menunjukkan bahwa dari 18 responden dengan TB

paru terdapat 12 responden (66,7%) dengan kepadatan hunian tidak

memenuhi syarat. Sementara itu dari 18 responden yang sehat terdapat

hanya 4 responden (22,2%) dengan kepadatan hunian tidak memenuhi

syarat. Hasil analisis dengan menggunakan uji chi-square menunjukkan

bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan

36
kejadian TB paru dengan nilai p-value = 0,007 < 0,05. Nilai OR = 7,000

(95% CI = 1,591-30,800) hal ini menunjukkan bahwa resiko responden yang

mengalami kejadian TB paru dengan kepadatan hunian tidak memenuhi

syarat adalah sebesar 7 kali dibandingkan dengan kelompok responden yang

sehat.

Tabel 4.9 diatas menunjukkan bahwa dari 18 responden dengan TB

paru terdapat 8 responden (44,4%) dengan lantai rumah tidak memenuhi

syarat. Sementara itu dari 18 responden yang sehat terdapat hanya 5

responden (27,8%) dengan lantai rumah tidak memenuhi syarat. Hasil

analisis dengan menggunakan uji chi-square menunjukkan bahwa tidak

terdapat hubungan yang signifikan antara lantai rumah dengan kejadian TB

paru dengan nilai p-value = 0,298 > 0,05. Sehingga lantai rumah responden

bukan merupakan penyebab kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas

Kwdaton.

Tabel 4.9 diatas menunjukkan bahwa dari 18 responden dengan TB

paru terdapat 11 responden (61,1%) dengan ventilasi rumah tidak memenuhi

syarat. Sementara itu dari 18 responden yang sehat terdapat hanya 4

responden (22,2%) dengan ventilasi rumah tidak memenuhi syarat. Hasil

analisis dengan menggunakan uji chi- square menunjukkan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara ventilasi dengan kejadian TB paru dengan

nilai p-value = 0,018 < 0,05. Nilai OR = 5,500 (95% CI = 1,277-23,692) hal

ini menunjukkan bahwa resiko responden yang mengalami kejadian TB

paru dengan ventilasi rumah tidak memenuhi syarat adalah sebesar 5,5 kali

dibandingkan dengan kelompok responden yang sehat.

37
Tabel 4.9 diatas menunjukkan bahwa dari 18 responden dengan TB

paru terdapat 11 responden (61,1%) dengan pencahayaan matahari tidak

memenuhi syarat. Sementara itu dari 18 responden yang sehat terdapat

hanya 5 responden (27,8%) dengan pencahayaan matahari tidak memenuhi

syarat. Hasil analisis dengan menggunakan uji chi-square menunjukkan

bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pencahayaan matahari

dengan kejadian TB paru dengan nilai p- value = 0,044 < 0,05. Nilai OR =

4,086 (95% CI = 1,007-16,579) hal ini menunjukkan bahwa resiko

responden yang mengalami kejadian TB paru dengan pencahayaan matahari

tidak memenuhi syarat adalah sebesar 4,086 kali dibandingkan dengan

kelompok responden yang sehat.

38
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan mengenai hubungan

karakteristik individu, praktik higiene dan sanitasi lingkungan rumah

dengan kejadian TB paru di wilayah kerja puskesmas Rawat Inap Kedaton

Tahun 2019 tahun 2015, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Berdasarkan karakteristik individu, bahwa penderita TB paru dalam

penelitian ini di dominasi oleh responden dengan kelompok umur 16-50

tahun (66,7%), jenis kelamin laki-laki (66,7%), pekerjaan non formal

(66,7%), penghasilan rendah (61,1%), dan pendidikan rendah (55,6%).

2. Berdasarkan praktik higiene, bahwa penderita TB paru dalam penelitian

ini di dominasi oleh responden dengan praktik higiene sedang (88,9%).

3. Berdasarkan sanitasi lingkungan rumah, bahwa penderita TB paru dalam

penelitian ini di dominasi oleh responden dengan kepadatan hunian tidak

memenuhi syarat (66,7%), lantai rumah memenuhi syarat (55,6%),

ventilasi rumah tidak memenuhi syarat (61,1%), dan pencahayaan

matahari tidak memenuhi syarat (61,1%).

4. Ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan nilai p=0,046<0,05,

39
penghasilan nilai p=0,018<0,05, dan pendidikan nilai p=0,040<0,05

dengan kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap

Kedaton Tahun 2019 tahun 2015.

5. Ada hubungan yang signifikan antara praktik higiene nilai p=0,005<0,05

dengan kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap

Kedaton Tahun 2019 tahun 2015.

6. Ada hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian nilai

p=0,007<0,05, ventilasi nilai p=0,018<0,05 dan pencahayaan matahari

nilai p=0,044<0,05 dengan kejadian TB paru di wilayah kerja Puskesmas

Rawat Inap Kedaton Tahun 2019 tahun 2015.

7. Tidak ada hubungan yang signifikan antara lantai rumah nilai

p=0,298>0,05 dengan kejadian TB paru di wilayah kerja Puskesmas

Rawat Inap Kedaton Tahun 2019 tahun 2015.

6.2 Saran

1. Kepada Petugas Kesehatan Puskesmas Rawat Inap Kedaton Tahun 2019

diharapkan memberikan informasi tentang TB paru untuk meningkatkan

pengetahuan masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian penyakit

TB paru, terutama bagi masyarakat yang memiliki pendidikan rendah

dengan upaya promosi kesehatan tentang penyakit TB Paru baik

penyebab, gejala, pengobatan, dan pencegahannya melalui penyuluhan,

pembagian poster, leaflet maupun media informasi lainnya dan

meningkatkan koordinasi lintas sektor dalam penanganan TB.

2. Kepada masyarakat diharapkan untuk memperbaiki praktik higiene

menjadi lebih baik, dengan upaya pencegahan penularan TB Paru dengan

40
pola hidup bersih dan sehat dengan cara mengubah praktik higiene

masyarakat agar membuang dahak ditempat khusus atau tidak

sembarangan, menggunakan masker saat batuk, menutup mulut dengan

tisu maupun sapu tangan ketika bersin, tidur terpisah dengan orang sehat

ketika sakit pernapasan, menjemur peralatan tidur dibawah sinar

matahari minimal 2 hari sekali, dan penggunaan perlengkapan secara

terpisah dengan penderita untuk mencegah terjadinya penularan TB paru

kepada orang sehat.

3. Menerapkan upaya pencegahan penularan TB Paru oleh keluarga melalui

perbaikan sanitasi lingkungan rumah dengan cara menerapkan kepadatan

hunian yang memenuhi syarat yaitu kamar tidur berukuran 8m² tidak

dihuni lebih dari 2 orang, mengkodisikan kamar tidur bagi penderita yang

tidak bersedia tidur terpisah dengan cara memberi jarak tidur dan

membedakan peralatan tidur (bantal, selimut, sprei, kasur, dll),

memperbaiki ventilasi rumah sehingga memenuhi syarat dan membuka

ventilasi rumah yang tertutup untuk memaksimalkan sirkulasi udara

didalam ruangan, dan diharapkan kepada masyarakat untuk

memaksimalkan masuknya pencahayaan matahari ke dalam seluruh

ruangan dengan cara membuka jendela dan gorden pada rumah setiap

hari agar sinar matahari dapat masuk kedalam ruangan secara merata

sehingga dapat membunuh bakteri mycobacterium tuberclosa penyebab

penyakit TB paru.

41
42

Anda mungkin juga menyukai