Anda di halaman 1dari 59

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang sampai

saat ini masih merupakan masalah kesehatan utama dunia terutama pada

negara-negara berkembang. Tuberkulosis menjadi penyebab utama kematian

akibat infeksi di seluruh dunia setelah HIV. WHO melaporkan bahwa 1,3 juta

orang meninggal karena TB dan 10 juta orang lainnya diperkirakan akan

menderita TB di seluruh dunia pada tahun 2017.1


Kasus TB tersebar di seluruh dunia dengan berbagai rentang usia dan

paling banyak terdapat pada dewasa ( usia ≥ 15 tahun ) yaitu 90%. Sebagian

besar estimasi insiden TBC pada tahun 2016 terjadi di Kawasan Asia Tenggara

(45%) dan sebagian lainnya yaitu 25% terjadi di Afrika. Tuberkulosis paru

(TB) merupakan masalah kesehatan utama di dunia yang menyebabkan

morbiditas pada jutaan orang setiap tahunnya. Berdasarkan laporan WHO

tahun 2018, pada tahun 2017 terdapat 10 juta kasus TB paru didunia, dengan

rincian penderitanya 5.8 juta adalah laki-laki, 3.2 juta perempuan dan 1 juta

anak-anak. Pada tahun 2017, 1.3 juta orang didunia meninggal karena TB.

Tuberkulosis menduduki urutan kedua setelah Human Imunodeficiency Virus

(HIV) sebagai penyakit infeksi yang menyebabkan kematian terbanyak pada

penduduk dunia.1
Berdasarkan Global Report Tuberculosis tahun 2017, secara global

kasus baru tuberkulosis sebesar 6,3 juta, setara dengan 61% dari insiden

tuberkulosis (10,4 juta). Tuberkulosis tetap menjadi 10 penyebab kematian


tertinggi di dunia dan kematian tuberkulosis secara global diperkirakan 1,3

juta pasien.2 Beban penyakit yang disebabkan oleh tuberkulosis dapat diukur

dengan insidens, prevalensi, dan mortalitas/kematian. Insidens dan Prevalens

Tuberkulosis Berdasarkan Global Tuberculosis Report WHO tahun 2017,

angka insiden tuberkulosis Indonesia 391 per 100.000 penduduk dan angka

kematian 42 per 100.000 penduduk sedangkan menurut pemodelan yang

berdasarkan data hasil survei prevalensi tuberkulosis tahun 2013-2014 angka

prevalensi pada tahun 2017 sebesar 619 per 100.000 penduduk sedangkan

pada tahun 2016 sebesar 628 per 100.000 penduduk.2


Indonesia adalah negara dengan jumlah kasus TB ke-3 terbanyak di

dunia setelah India dan China. Berdasarkan laporan WHO tahun 2018,

didapatkan pada tahun 2017 kasus TB di India, China dan Indonesia berturut-

turut yaitu 27%, 9% dan 8% kasus.1


Menurut Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, TB menyebar

hampir diseluruh provinsi di Indonesia. Prevalensi penduduk Indonesia yang

didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan tahun 2018 adalah sebanyak 0,4%.3

Berdasarkan Laporan Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI,

jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017.4
Berdasarkan laporan Riskesdas tahun 2018 prevalensi TB di Provinsi

Jambi adalah 0.27 %.3 Menurut laporan Dinkes Kabupaten Batanghari 2017,

jumlah kasus baru TB BTA positif yang ditemukan di Kabupaten Batanghari

tahun 2016 sebesar 202 kasus, menurun bila dibandingkan dengan tahun 2015

sebesar 208 kasus. Menurut jenis kelamin, kasus Tuberculosis BTA + pada

laki-laki lebih tinggi dari perempuan yaitu laki-laki 66.67% dan perempuan

33.33%.5

2
Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Batanghari tahun 2017,

jumlah kasus baru TB BTA positif yang ditemukan di wilayah kerja

Puskesmas Muara Bulian pada tahun 2016 sebesar 21 kasus. Hal ini menurun

dibandingkan dengan tahun 2015 sebesar 29 kasus. Jumlah keseluruhan kasus

TB di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian pada tahun 2016 sebesar 22

kasus menurun bila dibandingkan dengan tahun 2015 sebesar 35 kasus.5


Berdasarkan uraian di atas, kami ingin melakukan penelitian untuk

mengetahui karakteristik penderita TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas

Muara Bulian berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan,

penghasilan, sumber penularan, status merokok, riwayat pengobatan

sebelumnya, status gizi dan lingkungan tempat tinggal.  

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana karakteristik

penderita TB paru di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian pada tahun

2019?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui karakteristik penderita TB paru di wilayah kerja

Puskesmas Muara Bulian pada tahun 2019.

1.3.2 Tujuan Khusus


1.3.2.1 Mengetahui karakteristik penderita TB paru berdasarkan usia di

Puskesmas Muara Bulian tahun 2019.


1.3.2.2 Mengetahui karakteristik penderita TB paru berdasarkan jenis

kelamin di Puskesmas Muara Bulian tahun 2019.

3
1.3.2.3 Mengetahui karakteristik penderita TB paru berdasarkan tingkat

pendidikan di Puskesmas Muara Bulian tahun 2019.


1.3.2.4 Mengetahui karakteristik penderita TB paru berdasarkan

pekerjaan di Puskesmas Muara Bulian tahun 2019.


1.3.2.5 Mengetahui karakteristik penderita TB paru berdasarkan

penghasilan di Puskesmas Muara Bulian tahun 2019.


1.3.2.6 Mengetahui karakteristik penderita TB paru berdasarkan sumber

penularan di Puskesmas Muara Bulian tahun 2019.


1.3.2.7 Mengetahui karakteristik penderita TB paru status merokok di

Puskesmas Muara Bulian tahun 2019.


1.3.2.8 Mengetahui karakteristik penderita TB paru berdasarkan riwayat

pengobatan sebelumnya di Puskesmas Muara Bulian tahun

2019.
1.3.2.9 Mengetahui karakteristik penderita TB paru berdasarkan status

gizi di Puskesmas Muara Bulian tahun 2019.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pengambilan

kebijakan bagi kepala Puskesmas Muara Bulian maupun rujukan

dalam mengupayakan pencegahan dan penanggulangan penyakit TB

Paru di Provinsi Jambi.


1.4.2 Sebagai bahan masukan bagi petugas Puskesmas Muara Bulian untuk

mengenal karakteristik penderita TB paru sehingga diharapkan agar

petugas Puskesmas Muara Bulian dapat memberikan promosi

kesehatan pada pasien dan keluarga pasien tentang penyakit TB.


1.4.3 Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu

prngetahuan dan juga diharapkan dapat memberikan masukan dalam

sistem pendidikan, terutama untuk materi perkuliahan.

4
1.4.4 Merupakan sumber informasi bagi peneliti lain tentang karakteristik

penderita TB paru diwilayah kerja Puskesmas Muara Bulian dan juga

dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya.


1.4.5 Untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan serta pengembangan

khususnya dibidang penelitian, sebagai bahan perbandingan dan acuan

dalam mengembangkan penelitian selanjutnya.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis Paru


2.1.1Definisi dan Patogenesis
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium tuberculosis complex.6 Kuman ini berbentuk batang

dengan ukuran panjang 1-4/µm dan tebal 0.3-0.6/µm. Sebagian besar

dinding kuman ini terdiri atas asam lemak (lipid), peptidoglikan, dan

arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman ini tahan terhadap

asam alkohol sehingga disebut bakteri tahan asam, tahan terhadap

gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering

maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam

lemari es). Didalam jaringan kuman hidup sebagai parasit intraselular

yakni dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula ingin

memfagositasi malah kemudian disenanginya karena banyak

mengandung lipid. Selain itu kuman ini juga bersifat aerob sehingga

5
kuman ini lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan

oksigennya. Pada paru-paru bagian yang kaya akan oksigen adalah di

daerah apikal, sehingga daerah ini merupakan tempat predileksi

penyakit tuberkulosis.7
A. Tuberkulosis Primer
Penularan penyakit ini sebagian besar dari udara (air borne

spreading) melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei

khususnya yang didapat dari pasien TB Paru dengan batuk berdarah

atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA).7,8


Ketika kuman dibatukkan keluar menjadi droplet nuclei dalam

udara sekitar, partikel ini akan menetap dalam udara bebas selama 1-

2 jam tergantung pada ada atau tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi

yang buruk dan kelembapan. Pada suasana yang lembab kuman ini

bisa bertahan hingga berbulan-bulan. Lalu partikel ini terhirup oleh

orang sehat dan akan menempel pada saluran napas atau jaringan

paru. Partikel ini bisa masuk sampai ke alveolus karena ukurannya

<5 mikrometer.7
Setelah berada didalam membran alveolus, biasanya dibagian

bawah lobus atas paru atau bagian atas lobus bawah paru, kuman ini

membangkitkan reaksi peradangan. Kuman pertama kali akan

dihadapi oleh leukosit polimorfonuklear dan memfagosit kuman

tersebut tapi tidak membunuhnya. Selama periode tersebut, basil TB

berkembang biak dengan bebas, baik ekstraselular maupun

intraselular didalam sel yang memfagositosisnya. Setelah 3 minggu,

basil TB yang difagositosis akan dicerna oleh makrofag, umumnya

akan mati dan dikeluarkan oleh makrofag dari percabangan

6
trakeobronkial bersama gerakan siliar dari sekretnya. Kuman basil

yang virulen akan tetap hidup dan bila pertahanan tubuh lemah, basil

yang tidak virulen juga akan tetap hidup.9,10


Setelah itu kuman akan bersarang di paru-paru dan membentuk

suatu sarang pneumonik yang disebut sarang primer atau afek primer

(fokus ghon). Sarang primer ini dapat terjadi pada setiap bagian

jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura bisa menyebabkan

efusi pleura, selain itu kuman juga bisa masuk ke saluran

gastrointestinal,jaringan limfe, orofaring, kulit, terjadi limfadenopati

regional, kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke

seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, dan tulang. Bila masuk ke

arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran keseluruh bagian paru

menjadi TB milier. Dari sarang primer akan timbul peradangan

kelenjar getah bening menuju hilus (limfadenitis lokal) dan diikuti

oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis

regional). Afek primer bersama dengan limfadenitis regional disebut

dengan kompleks primer. Semua proses ini memakan waktu 3-8

minggu. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib

seperti berikut :
1. Sembuh dengan tidak menimbulkan cacat sama sekali (restution

ad integrum).
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas ( antara lain sarang

ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran dihilus).


3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum,menyebar ke sekitarnya.

7
b. Penyebaran secara bronkogen baik diparu bersangkutan

maupun paru disebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke

dalam usus.
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen.6,7
B. Tuberkulosis Post-Primer

Kuman yang dorman pada tuberkulosis primer akan muncul

bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi menjadi tuberkulosis

dewasa (tuberkulosis post primer), biasanya pada usia 15-40 tahun.

Bentuk tuberkulosis inilah yang menjadi problem kesehatan rakyat

karena menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post primer dimulai

dengan sarang dini yang terletak di segmen apikal dari lobus

superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya akan

membentuk sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini

akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut:

1. Direabsorpsi kembali, dan sembuh kembali tanpa meninggalkan

cacat.
2. Sarang tadi mula-mula meluas, tapi segera terjadi proses

penyembuhan dengan penyembuhan jaringan fibrosis.

Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras terjadi

perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran.

Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali,

membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan

keju dibatukkan keluar.


3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan

kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan

8
keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian

dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini :


a. Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik

baru.
b. Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan

disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan

menyembuh, tapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi

dan menjadi kaviti lagi


c. Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut

open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan

membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir

sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga

kelihatan seperti bintang (stellate shaped).6


2.1.2 Klasifikasi dan Tipe Pasien Tuberkulosis

1. Definisi Pasien TB11:


Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan

bakteriologis adalah seorang pasien TB yang dikelompokkan

pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik cepat

yang direkomendasi oleh Kemenkes RI (misalnya: GeneXpert).

Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:


a. Pasien TB paru BTA positif
b. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik

dengan BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang

terkena.
e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
Pasien TB terdiagnosis secara klinis adalah pasien yang tidak

memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi

didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan

9
untuk diberikan pengobatan TB. Termasuk dalam kelompok pasien

ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks

mendukung TB.
b. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun

laboratoris dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.


c. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.
2. Klasifikasi pasien TB:
Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut diatas,

pasien juga diklasifikasikan sebagai berikut11 :


a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:
1. Tuberkulosis paru adalah TB yang terjadi pada parenkim

(jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB paru karena

adanya lesi pada jaringan paru.


2. Tuberkulosis ekstra paru adalah TB yang terjadi pada organ

selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran

kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang.

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:


1) Pasien baru TB adalah pasien yang belum pernah mendapatkan

pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT

namun kurang dari 1 bulan (≥ dari 28 dosis).


2) Pasien yang pernah diobati TB adalah pasien yang sebelumnya

pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis).

Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil

pengobatan TB terakhir, yaitu:


a. Pasien kambuh adalah pasien TB yang pernah dinyatakan

sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB

berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik

karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).

10
b. Pasien yang diobati kembali setelah gagal adalah pasien TB

yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan

terakhir.
c. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to

follow-up) adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost

to follow up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai

pengobatan pasien setelah putus berobat /default).


d. Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil

akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.


3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan

contoh uji dari Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan

dapat berupa :

1. Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis

OAT lini pertama saja


2. Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis

OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)

secara bersamaan
3. Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid

(H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan


4. Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang

sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan

fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua

jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)


5. Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin

dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang

terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat) atau

metode fenotip (konvensional).

11
d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV
1. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV)

adalah pasien TB dengan hasil tes HIV positif sebelumnya atau

sedang mendapatkan ART, atau hasil tes HIV positif pada saat

diagnosis TB.
2. Pasien TB dengan HIV negatif adalah pasien dengan hasil tes

HIV negatif sebelumnya atau hasil tes HIV negatif pada saat

diagnosis TB.
3. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui adalah pasien TB

tanpa ada bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB

ditetapkan.
2.1.3 Diagnosis Tuberkulosis

Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologik,

dan pemeriksaan penunjang lainnya.8


Gejala klinis pada TB dapat dibagi menjadi 2 yaitu gejala sistemik

dan gejala lokal, bila organ yang terkena adalah paru, maka gejala lokal

adalah gejala respiratori. Gejala respirasi diantaranya batuk-batuk

selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai darah), sesak napas dan nyeri

dada. Gejala lokal itu tergantung pada organ mana yang terlibat, bila

terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru)

akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan

menimbulkan suara “mengi” yaitu, suara nafas melemah yang disertai

sesak. Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat

disertai dengan keluhan sakit dada. Bila mengenai tulang, maka akan

terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat

12
membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini

akan keluar cairan nanah.6,12


Gejala sistemik yang disebabakan oleh infeksi kuman TB adalah

demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan

malam hari disertai keringat malam, kadang-kadang serangan demam

seperti influenza dan bersifat hilang timbul, terjadi penurunan nafsu

makan dan berat badan, perasaan tidak enak (malaise) dan lemah.6,12
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan ronki basah, amforik,

suara napas bronkial, tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan

mediastinum. Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi

pleura. Pada perkusi memberikan suara pekak, dan pada auskultasi

terdengar suara napas melemah sampai tidak terdengar sama sekali.

Bila terdapat limfadenitis tuberkulosa didapatkan pembesaran kelenjar

limfe, sering di daerah leher, kadang disertai adanya skrofuloderma.7,8


Pemeriksaan bakteriologis sangat berperan dalam menegakkan

diagnosis. Spesimen dapat berupa dahak, cairan pleura, cairan

serebrospinal, bilasan lambung, bronchoalveolar lavage, urin, dan

jaringan biopsi. Pemeriksaan dapat dilakukan secara mikroskospis dan

biakan. Pemeriksaan radiologi dengan pemeriksaan standar foto toraks

PA. Pemeriksaan radiologi lain adalah foto lateral, oblik atau CT-scan.

Pemeriksaan penunjang lain untuk diagnosisi TB diantaranya

pemeriksaan darah, analisis cairan pleura, dan pemeriksaan serologi.8

2.1.3.1 Kriteria Diagnosis


Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan

pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud

adalah pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan cepat, dan tes cepat.

13
Diagnosis TB ditegakkan dengan ditemukaannya basil tahan asam

pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan

dinyatakan positif bila sedikitnya 1 dari 3 spesimen SPS (dahak

sewaktu-pagi-sewaktu) BTA hasilnya positif.11

Gambar 2.1 Alur Diagnosis dan Tindak Lanjut TB Paru pada Pasien
Dewasa.11

2.1.4 Pengobatan Tuberkulosis

Tujuan pengobatan TB adalah untuk menyembuhkan pasien dan

memulihkan kualitas hidup dan produktivitas, untuk mencegah

kematian akibat TB aktif atau efek lanjutannya, untuk mencegah

kekambuhan TB, untuk mengurangi penularan TB ke orang lain, untuk

mencegah perkembangan dan transmisi resistensi obat.13


WHO merekomendasikan obat Kombinasi Dosis Tetap (KDT)

untuk mengurangi risiko terjadinya TB resisten obat akibat monoterapi.

14
Dengan KDT pasien tidak dapat memilih obat yang diminum, jumlah

butir obat yang harus diminum lebih sedikit sehingga dapat

meningkatkan ketaatan pasien dan kesalahan resep oleh dokter juga

diperkecil karena berdasarkan berat badan. Dosis harian KDT di

Indonesia distandarisasi menjadi empat kelompok berat badan 30-37 kg

BB, 38-54 kg BB, 55-70 kg BB dan lebih dari 70 kg BB.11


Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 2 tahapan yaitu tahap awal

dan tahap lanjutan. Pada tahap awal pasien mendapat obat setiap hari

selama 2 bulan dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah

terjadinya resistensi obat. Setelah selesai pengobatan fase intensif

berlanjut ke fase lanjutan, pada fase ini pasien mendapat jenis obat lebih

sedikit namun dalam jangka waktu yang lebih lama sehingga mencegah

terjadinya kekambuhan. Tahap lanjutan penting untuk membunuh

kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.11


Paduan obat yang digunakan terdiri dari obat utama dan obat

tambahan. Obat anti tuberkulosis yang dipakai6 :

1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: Rifampisin (R),

INH (H), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S), Etambutol (E).


2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)

Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari :

a. Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin

150 mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275

mg dan
b. Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150

mg, isoniazid 75 mg dan pirazinamid 400 mg.


3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) yaitu :
a. Kanamisin
b. Kuinolon

15
c. Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam

klavulanat
d. Derivat rifampisin dan INH
Tabel 2. 1 Dosis rekomendasi OAT lini pertama untuk dewasa11
OAT Dosis Rekomendasi
Harian 3 Kali Per Minggu
Dosis Maksimum Dosis (mg/kg Maksimum
(mg/kgBB) (mg) BB) (mg)
Isoniazid 5 (4-6) 300 10(8-12) 900
Rifampisin 10 (8-12) 600 10(8-12) 600
Pirazinamid 25 (20-30) - 35 (30-40) -
Etambutol 15 (15-20) - 30 (25-35) -
Streptomisin 15 (12-18) 15 (12-18) 1000

2.1.4.1 Paduan Obat anti tuberkulosis

Paduan OAT lini pertama yang digunakan oleh program

pengendalian tuberkulosis di Indonesia adalah11 :

1. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
Paduan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) ini diberikan untuk pasien

baru :
a. Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis
b. Pasien TB paru terdiagnosis klinis
c. Pasien TB ekstra paru.

Tabel 2.2Dosis Paduan OAT KDT Kategori 111


Berat Badan Tahap Intensif tiap hari Tahap lanjutan 3 kali
selama 56 hari seminggu selama 16
RHZE(150/75/400/275) minggu RH (150/150)
30-37 Kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT
38-54 Kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT
55-70 Kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT
≥71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT

2. Kategori 2 : 2 (HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah

diobati sebelumnya (pengobatan ulang) :


a. Pasien kambuh

16
b. Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT

kategori 1 sebelumnya.
c. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to

follow-up).

Tabel 2.3 Dosis Paduan OAT Kategori 211

Berat Tahap Intensif Tahap lanjutan


Badan Tiap hari 3 kali seminggu
RHZE (150/75/400/275)+ S RH(150/150)+E(400)
Selama 56 hari Selama 28 Selama 20 minggu
hari
30-37 Kg 2 tab 4KDT 2 tab 4 2 tab 2 KDT+2 tab
+500mg Streptomisin inj KDT etambutol

38-54 Kg 3tab 4KDT 3tab 4KDT 3 tab 2 KDT +3 tab


+750mg streptomisin inj etambutol
55-70 Kg 4 tab KDT + 4 tab 4 4 tab 2 KDT + 4 tab
1000mg streptomisin inj KDT etambutol
≥71 Kg 5 tab 4KDT + 1000mg 5 tab 4 5 tab 2 KDT + 5 tab
streptomisin inj KDT etambutol
(> do maks)

3. Kategori anak : 2HRZ/4HR


OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif

maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat

badan anak.
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk

paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT- KDT). Tablet OAT

KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.

Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk pasien. Selain itu juga ada

paket kombipak yaitu paket obat lepas yang terdiri dari Isoniazid,

Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk

blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam

pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT11

17
Obat yang digunakan untuk tatalaksana pasien TB resisten obat di

Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin,

Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta

OAT lini-1 yaitu pirazinamid dan etambutol.11

2.1.5 Pemantauan Kemajuan Pengobatan

Pemantauan kemajuan pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan

dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis pada akhir fase

intensif (bulan kedua). Jika hasil pemeriksaan sputum masih positif

maka dilakukan pemeriksaan lagi pada bulan ke-5. Apabila hasilnya

negatif pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan

selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir

pengobatan Jika masih positif, dianjurkan untuk melakukan kultur dan

uji resistensi obat. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik

dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau

kemajuan pengobatan.11
Ketaatan pasien pada pengobatan TB sangat penting untuk

mencapai kesembuhan, mencegah penularan dan menghindari kasus

resisten obat. Oleh karena itu, pemerintah berupaya untuk

menanggulangi TB Paru dengan Strategi DOTS.11 Directly Observed

Treatment Short Course (DOTS) merupakan metode pengawasan

yang direkomendasikan oleh WHO sejak tahun 1995 dan sejak tahun

2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional di seluruh UPK

(Unit Pelayanan Kesehatan) terutama Puskesmas yang di integrasikan

dalam pelayanan kesehatan dasar.14 Pengobatan dengan pengawasan

membantu pasien untuk minum OAT secara teratur dan lengkap.

18
Pengawas menelan obat (PMO) harus mengamati setiap asupan obat

bahwa OAT yang ditelan oleh pasien adalah tepat obat, tepat dosis dan

tepat interval, di samping itu PMO sebaiknya adalah orang telah

dilatih, yang dapat diterima baik dan dipilih bersama dengan pasien.

Pengawasan dan komunikasi antara pasien dan petugas kesehatan

akan memberikan kesempatan lebih banyak untuk edukasi, identifikasi

dan solusi masalah-masalah selama pengobatan TB.11


Strategi DOTS mempunyai lima komitmen penting yaitu:

komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan

dana, penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara

mikroskopis, pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan

Obat (PMO), jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur,

menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin, serta sistem

pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan

dan evaluasi program penanggulangan TB Paru. Dengan strategi ini

bisa membantu mencapai angka penemuan kasus minimal 70% dan

angka kesembuhan minimal 85%.11

2.1.6 Indikator Keberhasilan Pengendalian TB


Ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menilai tingkat

keberhasilan pengendalian TB yaitu :


1. Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate)
Adalah persentase jumlah pasien baru BTA positif yang

ditemukan dan diobati dibanding jumlah pasien baru BTA

positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. CDR

19
menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA positif

pada wilayah tersebut dengan target minimal 70%.

2. Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate)


Adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang

ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk diwilayah

tertentu
3. Proporsi pasien TB anak
Adalah persentase pasien TB anak (<15 tahun) diantara seluruh

pasien TB tercatat.
4. Angka Keberhasilan Pengobatan
Adalah angka yang menunjukkan persentase penderita baru TB

paru terkonfirmasi bakteriologis yang menyelesaikan

pengobatan (sembuh dan pengobatan lengkap) diantara

penderita baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis yang

tercatat.

2.2 Karakteristik Penderita TB Paru


2.2.1 Pengertian Karakteristik
Karakteristik adalah ciri-ciri khusus atau mempunyai sifat

khas sesuai dengan perwatakan tertentu. 15 Karakteristik pasien

adalah siapa yang mempunyai atau menghadapi masalah kesehatan

dan siapa yang mempunyai resiko terkena penyakit, bagaimana

dengan indentitas orangnya seperti umur, pendidikan, pekerjaan,

jenis kelamin, agama, status sosial dan lain-lain.

2.2.2 Usia

TB paru dapat terjadi pada semua golongan umur baik pada

bayi, anak-anak, dewasa, maupun manul.16 Hasil penelitian ini

20
sesuai dengan data Kemenkes Republik Indonesia (2011) bahwa

sekitar 75% pasien TB paru adalah kelompok umur yang produktif

secara ekonomis, yaitu 15-50 tahun. Umur produktif merupakan

masa yang berperan penting dalam mencari nafkah di luar rumah

dan frekuensi keluar rumah yang sering dapat dimungkinkan

terjadinya penularan TB paru.

Umur sangat mempengaruhi kekuatan tubuh untuk melawan

infeksi. Pada awal kelahiran, pertahanan tubuh sangat lemah dan

akan meningkat secara perlahan sampai usia 10 tahun. Setelah masa

pubertas pertahanan tubuh lebih baik dalam mencegah penyebaran

infeksi melalui darah, tetapi lemah dalam mencegah penyebaran

infeksi di paru. Tingkat umur penderita juga mempengaruhi kerja

efek obat, karena metabolisme obat dan fungsi organ tubuh kurang

efisien pada bayi dan orang tua, sehingga dapat menimbulkan efek

yang lebih kuat dan panjang pada kedua kelompok umur ini.16
Jika ditinjau dari keberhasilan konversi, usia berhubungan

dengan konversi. Penderita TB Paru yang berusia 15-24 tahun lebih

banyak mengalami konversi (78%) daripada yang tidak konversi.

Berdasarkan penelitian di Portugal, penderita TB paru yang berusia

kurang dari 50 tahun hanya 17 % yang mengalami kegagalan

konversi dibandingkan usia >50 tahun sebanyak 44.1 % yang

mengalami kegagalan konversi.17 Hal ini dikarenakan populasi lanjut

usia tidak dapat diandalkan untuk minum obat secara teratur, pada

waktu yang tepat atau dalam dosis yang tepat, terutama jika

beberapa obat harus diminum secara bersamaan. Hal ini

21
dimungkinkan karena memori yang buruk, penglihatan yang buruk

dan kebingungan mental. Pasien lanjut usia sering menjadi apatis

tentang pengobatan mereka dan sering didapatkan kurangnya tekad

atau keinginan untuk menyelesaikan program pengobatan enam

bulan.17
2.2.3 Jenis Kelamin
Berdasarkan data Kemenkes RI (2013), sebesar 59,4% kasus

TB dengan BTA positif lebih banyak ditemukan pada laki-laki

(59,4%) dibanding perempuan (40,6%). Hal ini karena laki-laki

memiliki aktivitas yang lebih tinggi daripada perempuan sehingga

pajanan terhadap risiko infeksi juga lebih tinggi (termasuk gaya

hidup seperti merokok dan pekerjaan yang berasal dari dalam atau

luar ruangan). Jika dihubungkan dengan kegagalan konversi, pasien

TB pria cenderung mengalami kegagalan konversi sebanyak 52,8% .

Tingginya risiko kegagalan konversi pada laki-laki dikaitkan dengan

tingginya konsumsi alkohol dan merokok pada laki-laki.17


2.2.4 Tingkat Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan mengakibatkan kesadaran

untuk menjalani pengobatan TB paru secara teratur dan lengkap juga

relatif rendah, antara lain tercermin dari cukup banyaknya penderita

yang tidak menuntaskan pengobatan karena tidak kembali untuk

kunjungan ulang (follow up) dan beberapa penderita yang merasa

bosan minum obat setiap hari untuk jangka lama.16 Disamping itu

rendahnya pendidikan menyebabkan makin kurangnya pengetahuan

terhadap penyakit dan bahayanya. Sebagian besar penderita TB

adalah golongan masyarakat yang berpendidikan rendah.18


2.2.5 Pekerjaan

22
Pekerjaan adalah kegiatan yang harus dilakukan untuk

menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarganya, pekerjaan

erat kaitanya dengan penghasilan, mengarah pada kesejahteraan

sosial ekonomi dimana tingkat kesejahteraan dapat dicapai bila

penghasilan yang diperoleh mampu memenuhi kebutuhan anggota

keluarga.14
Jenis jenis pekerjaan
- Pegawai Negeri Sipil (PNS)
PNS adalah setiap warga Negara RI yang telah memenuhi syarat

yang telah ditentukan, diangkat oleh penjabat yang berwenang dan

diserahi tugas dalam jabatan negeri atau diserahi tugas Negara

lainya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang undangan yang

berlaku.
- Wiraswasta
Wiraswasta adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh

seseorang atau organisasi untuk memberikan nilai tambah untuk

produk yang memberikan kepuasan lebih kepada pelanggan. Nilai

tambah yang memiliki sifat baru dan belum pernah ada atau yang

belum pernah dilakukan oleh seorangpun sebelumnya.


- Swasta
Swasta adalah seseorang yang bekerja di luar instansi pemerintah

yang merupakan usaha sendiri atau usaha bersama. Swasta dapat

berupa pedagang,pegawai swasta, pengusaha dan lain lain.19


- Tani
Tani adalah seseorang yang melakukan pengololaan tanah dengan

tujuan untuk menumbuhkan dan memelihara tanaman (seperti padi,

jagung, ubi, bunga, buah dan lain lain) dengan harapan untuk

memperoleh hasil dari tanaman tersebut dan untuk digunakan

sendiri.

23
2.2.6 Penghasilan
Masyarakat dari golongan sosial ekonomi lemah lebih sering

terinfeksi TB Paru. Keadaan kemiskinan mengarah kepada

perumahan yang terlampau padat dan kondisi kerja yang buruk serta

terjadinya malnutisi yaitu gizi kurang yang dapat menurunkan daya

tahan tubuh, sehingga dapat memudahkan terjadinya infeksi

penyakit menular.20
2.2.7 Sumber Penularan
Sumber penularan TB paru yaitu pasien TB BTA positif

melalui percik renik dahak yang dikeluarkannya. TB dengan BTA

negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB

meskipun dengan tingkat penularan yang kecil.21


Menurut Kemenkes RI sumber penularan utama TB Paru

adalah pasien TB BTA positif itu sendiri.pada waktu batuk atau

bersin, pasien menyebarkan basil TB ke udara dalam bentuk

percikan dahak. Sekali batuk dapat menghasilkan 1000 percikan

dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan

dahak berada dalam waktu yang lama. Anggota keluarga kasus TB

BTA positif merupakan golongan mayarakat yang paling rentan

tertular penyakit TB Paru karena sulit menghindari kontak dengan

penderita.21
2.2.8 Status Merokok
Kebiasaan merokok akan merusak mekanisme pertahanan

paru yang disebut mucociliary clearance. Hasil dari asap rokok

dapat merangsang pembentukan mukus dan menurunkan pergerakan

silia, dengan demikian terjadi penimbunan mukosa dan peningkatan

risiko pertumbuhan bakteri termasuk kuman TB Paru sehingga dapat

24
menimbulkan infeksi. Asap rokok juga dapat meningkatkan tahanan

jalan nafas (airway resistance) dan menyebabkan pembuluh darah di

paru-paru mudah bocor dan dapat merusak makrofag yang

merupakan sel yang dapat memfagosit bakteri patogen. Merokok

dapat meningkatkan risiko 2-3 kali untuk mengalami kekambuhan

TB paru (nilai ρ 0,016).22


2.2.9 Riwayat Pengobatan Sebelumnya
Berdasarkan riwayat pengobatan penderita, klasifikasi TB paru

dibagi menjadi22 :
1) Kasus baru
Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapatkan Obat

Anti Tuberkulosis (OAT) sebelumnya atau riwayat mendapatkan

OAT <1 bulan.


2) Kasus dengan riwayat pengobatan sebelumnya
Kasus dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang

pernahmendapatkan OAT ≥1 bulan yang diklasifikasikan

berddasarkan hasil pengobatan terakhir, yaitu :


a. Kasus kambuh, adalah pasien yang dulunya pernah mendapatkan

OAT dan dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan pada

waktu sekarang ditegakkan diagnosis TB episode rekuren.


b. Kasus setelah pengobatan gagal, adalah pasien yang sebelumnya

pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir

pengobatan.
c. Kasus setelah putus berobat, adalah pasien yang pernah

mendapatkan OAT ≥1 bulan dan tidak lagi meneruskannya selama

>2 bulan berturut-turut atau dinyatakan tidak dapat dilacak pada

akhir pengobatan.

25
d. Kasus dengan riwayat pengobatan lainnya, adalah pasien yang

sebelumnya mendapatkan pengobatan OAT dan hasil pengobatannya

tidak diketahui atau didokumentasikan.


e. Pasien pindah, adalah pasien yang dipindah registrasi TB untuk

melanjutkan pengobatannya.
f. Pasien yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,

adalah pasien yang tidak dapat dimasukkan dalam salah satu

kategori di atas.
2.2.10 Status Gizi
Dari hasil penelitian Kurniawan (2015), umur pasien tidak

mempengaruhi hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis setelah

pengobatan, akan tetapi dipengaruhi oleh status gizi.. Pada usia

berapapun tubuh hanya dapat melawan infeksi apabila dicukupi oleh

makanan yang bergizi dalam jumlah cukup.16


Status gizi buruk pada pasien akan menyebabkan kekebalan

tubuh yang menurun sehingga memudahkan terinfeksi TB paru.

Peningkatan dan perbaikan status gizi dengan memberikan asupan

makanan yang seimbang pada pasien TB paru yang sedang

menjalani pengobatan merupakan faktor penentu keberhasilan

konversi dahak BTA pasien TB paru.16

BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL

3.1 Kerangka Konseptual

26
Berdasarkan hasil studi kepustakaan, dapat disusun kerangka konsep

penelitian sebagai berikut :

Umur Riwayat
Kontak
Jenis Kelamin Status
Merokok
Karakteristik
TB Paru
Tingkat Kategori
Pengobatan
Pendidikan

Pekerjaan Status Gizi

Penghasilan

Keterangan :

= variabel yang diteliti

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk

mengetahui karakteristik penderita TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Muara

27
Bulian yang sudah selesai pengobatan dan sedang menjalani pengobatan periode

Januari- Agustus 2019.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di desa atau kelurahan yang tercakup dalam

wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian selama bulan Agustus -September 2019

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien TB yang sudah selesai

pengobatan dan sedang menjalani pengobatan pada periode Januari- Agustus

2019.

4.3.2 Sampel

Sampel penelitian ini adalah semua populasi yang memenuhi kriteria

inklusi dan ekslusi


Kriteria inklusi dan eksklusi penelitian ini adalah:
a. Kriteria Inklusi
1. Penderita TB paru yang didiagnosis dan sudah pernah atau sedang

menjalani pengobatan OAT kategori 1 dan kategori 2 di wilayah kerja

Puskesmas Muara Bulian Periode Januari-Agustus 2019


2. Penderita TB paru yang bersedia ikut dalam penelitian
b. Kriteria Eksklusi
1. Pasien TB yang meninggal.
2. Pasien TB ekstra paru.

4.3.3 Teknik Pengambilan Sampel

Sampel dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik total

sampling.

4.4 Definisi Operasional

1. Umur

28
Definisi : Usia pasien saat didiagnosis suspek TB paru. Usia yang

diambil adalah ulang tahun terakhir pasien.

Cara ukur : Wawancara

Alat ukur : Kuesioner

Skala ukur : Ordinal

Hasil ukur : 1. Anak (< 18 tahun)

2. Usia Produktif ( 18-65 tahun)

3. Usia Tua ( > 65 tahun)

2. Jenis Kelamin

Definisi : Jenis kelamin pasien yang didapat dari kuesioner


Cara ukur : Wawancara

Alat ukur : Kuesioner

Skala ukur : Nominal

Hasil ukur : 1. Laki-laki

2. Perempuan

3. Tingkat Pendidikan

Definisi : Pendidikan formal terakhir yang ditamatkan pasien

Cara ukur : Wawancara

Alat ukur : Kuesioner

Skala ukur : Nominal

Hasil ukur : 1. Sekolah Dasar (SD)

2. Sekolah Menengah Pertama (SMP)

29
3. Sekolah Menengah Atas (SMA)

4. Sarjana (S1)
4. Pekerjaan
Definisi : Aktifitas mata pencaharian yang dilakukan penderita untuk biaya

hidupnya.
Cara ukur : Wawancara

Alat ukur : Kuesioner

Skala ukur : Nominal

Hasil ukur : 1. Formal bila pegawai swasta, PNS/POLRI

2.Non Formal bila tidak bekerja , petani, buruh, wiraswasta ,

pedagang, nelayan)

5. Penghasilan

Definisi : Hasil berupa uang yang diterima oleh seseorang dari pekerjaan

yang dilakukannya
Cara ukur : Wawancara

Alat ukur : Kuesioner

Skala ukur : Nominal

Hasil ukur : 1. < 1 juta

2. 1-3 juta

3. >3 juta

6. Riwayat Kontak

Definisi : Pasien pernah sebelumnya mengalami kontak baik secara langsung

dengan penderita TB paru BTA (+) atau kontak yang tidak

diketahui.
Cara ukur : Wawancara

Alat ukur : Kuesioner

30
Skala ukur : Nominal

Hasil ukur :

a. Ada riwayat kontak : Apabila responden pernah tinggal serumah

dengan penderita TB paru BTA (+).

b. Tidak diketahui : Apabila responden tidak pernah tinggal

serumah dengan penderita TB paru BTA (+)

7. Status Merokok

Definisi : Status mengenai perilaku merokok pada penderita TB paru


Cara ukur : Wawancara
Alat ukur : Kuesioner
Skala ukur : Nominal
Hasil ukur : 1. Perokok
2. Bukan Perokok

8. Kategori Pengobatan

Definisi : Status mengenai kategori pengobatan OAT penderita TB paru.

Cara ukur : Wawancara

Alat ukur : Kuesioner

Skala ukur : Nominal

Hasil ukur : 1. Kasus Baru

2.Kasus Relaps

3. Putus Obat

4. Lainnya

9. Status Gizi

Definisi : IMT= BB/TB2(Kg/m2)


Cara ukur : Menggunakan timbangan dan microtoise
Alat ukur : Data Primer

31
Skala ukur : Ordinal
Hasil ukur : 1. Kurang bila IMT <18,5
2. Normal bila IMT ≥ 18,5- <24,9
3.Lebih bila IMT ≥25

4.5 Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data


4.5.1 Pendataan

Data yang digunakan dalam kegiatan ini adalah data primer yang berasal

dari observasi langsung dan wawancara ke rumah pasien dan data sekunder yang

berasal dari dokumen data laporan evaluasi Program Penanggulangan

Tuberkulosis (P2TB) Puskesmas Muara Bulian Januari 2019- Agustus 2019 dan

berasal dari keterangan pemegang program P2TB secara langsung.

4.5.2 Pemetaan

Sasaran kegiatan adalah pasien TB positif yang baru selesai menjalani

pengobatan dan sedang menjalani pengobatan diambil dari desa atau kelurahan

yang merupakan wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian. Sasaran kegiatan

diambil berdasarkan kriteria inkulasi dan eklusi yang tepenuhi.

4.6 Cara Pengolahan Data dan Analisis Data

4.6.1 Pengolahan Data

1. Editing, yaitu data diperiksa kelengkapan dan kejelasannya terlebih dahulu.

2. Coding, yaitu pemberian tanda atau kode untuk memudahkan analisa.

3. Tabulating, menyusun dan menghitung data hasil pengkodean untuk disajikan

dalam tabel.

4. Cleaning, yaitu data yang telah diperoleh dikumpulkan untuk dilakukan

pembersihan data yaitu mengecek data yang benar saja yang diambil sehingga

tidak terdapat data yang meragukan atau salah.

32
4.6.2 Analisis data

Analisis data yang dilakukan yaitu analisis univariat. Analisis univariat

digunakan untuk menggambarkan distribusi frekuensi setiap variabel dalam

bentuk persentase.

33
BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pemetaan

5.1.1 Pemetaan Pasien TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Muara Bulian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian dari

bulan Agustus – September 2019. Sampel diambil dengan menggunakan data

primer dan data sekunder yang didapatkan dari dokumen data laporan evaluasi

Program Penanggulangan Tuberkulosis (P2TB) Puskesmas Muara Bulian tahun

2019 dan berasal dari keterangan pemegang program P2TB secara langsung.
Hasil pemetaan pasien TB Paru diambil dari 5 desa yang merupakan

wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian. Adapun hasil pemetaan tersebut

tercantum dalam tabel dan gambar berikut :

Tabel 5.1 Hasil Pemetaan Pasien TB di Wilayah Kerja Puskesmas Kadipaten


Tahun 2019

No Desa Jumlah Pasien Persentase (%)


TB
1. Teratai 2 15.38%
2 Kilangan 4 30.77%
3 Rengas Condong 3 23.07%
4 Pasar Baru 1 7.69%
5 Muara Bulian 3 23.07%
Jumlah 13 orang 100%

34
Gambar 5.1 Peta Penyebaran Penderita TB di Wilayah Kerja Puskesmas
Muara Bulian

Pada tabel dan gambar diatas menunjukan bahwa Desa Kilangan

merupakan desa yang memiliki pasien terbanyak diantara desa lainnya, dengan

jumlah total pasien sebanyak 4 orang (30.77%). Sedangkan desa yang memiliki

jumlah pasien terendah adalah Desa Pasar Baru yaitu 1 orang (7.69%).

Berdasarkan hasil wawancara kami dengan kader TB dan penderita TB yang

berada di Kilangan didapatkan bahwa kebanyakan penderita TB di Kilangan

memiliki riwayat kontak dengan keluarga yang pernah sakit TB. Kebanyakan

pasien yang sakit TB di desa Kilangan terlambat menyadari bahwa pasien tersebut

menderita sakit TB. Menurut hasil wawancara dengan kader TB Desa kilangan,

pada tahun 2019 ini terdapat 2 pasien yang diduga suspek TB meninggal dunia

sebelum diketahui pasti hasil pemeriksaan dahaknya. Mungkin perlu sosialisasi

lebih lanjut dari Puskesmas Muara Bulian kepada masyarakat Desa Kilangan

mengenai gejala-gejala TB Paru. Selain itu keterlambatan diagnosis TB bisa juga

35
disebabkan oleh anggapan masyarakat bahwa sakit TB adalah suatu aib dan suatu

kutukan sehingga penderita TB tidak mau memeriksakan dahaknya ke puskesmas.

Selain itu terkait dengan jarak tempuh dari Desa Kilangan ke Puskesmas Muara

Bulian yang cukup jauh, akses jalan yang kurang memadai, serta sudah tidak

adanya transportasi umum dari desa Kilangan ke Puskesmas Muara Bulian

sehingga menyulitkan pasien untuk datang ke Puskesmas.Keterlambatan diagnosis

pada penderita TB paru ini menyebabkan terjadinya keterlambatan pengobatan,

sehingga setiap pasien tersebut batuk dia akan terus menularkan ke keluarga dan

orang sekitar yang sering berkontak dengan penderita TB, sehingga penderita TB

Desa Kilangan tetap akan terus bertambah. Hal ini dapat diatasi dengan

peningkatan penemuan suspek TB secara aktif sehingga dapat memutus mata

rantai penularan TB di Desa Kilangan.

5.1.2 Pemetaan Pasien Suspek TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Muara

Bulian

Data pasien suspek didapatkan dari hasil penjaringan ke rumah pasien TB

Paru yang sedang berobat dan sudah selesai pengobatan pada tahun 2019 di

Puskesmas Muara Bulian. Keluarga pasien diperiksa oleh dokter dengan tujuan

untuk menemukan suspek yang memiliki gejala tuberculosis. Penentuan suspek

TB berdasarkan kriteria tanda dan gejala TB sesuai pedoman TB Nasional. Tujuan

kegiatan tersebut agar sasaran yang terjaring segera mendapatkan penanganan

sedini mungkin. Adapun hasil pemetaan pasien suspek TB Paru adalah sebagai

berikut :

36
Tabel 5.2 Hasil Pemetaan Pasien TB BTA Positif di Wilayah Kerja
Puskesmas Kadipaten Tahun 2019

No Desa Jumlah Pasien Persentase (%)


TB
1. Rengas Condong 1 50%
2 Kilangan 1 50%
Jumlah 2 orang 100%

Pada penelitian ini hanya didapatkan 2 pasien suspek TB Paru di wilayah

kerja Puskesmas Muara Bulian. Dari hasil wawancara kami dengan pasien

penderita TB paru dan keluarga pasien didapatkan keluarga pasien sehat-sehat dan

belum ada mengalami gejala-gejala TB Paru. Hal ini disebabkan karena tidak

semua yang mendapat riwayat kontak akan terjangkit TB paru, tergantung pada

seberapa kuat daya tahan tubuh seseorang serta dapat pula kuman TB tersebut

dorman dalam tubuh seseorang sehingga tidak menimbulkan gejala TB Paru.

Apabila seseorang tersebut daya tahan tubuhnya menurun, menderita penyakit

yang menyebabkan sistem imun menurun seperti pada Diabetes Mellitus,

malnutrisi, HIV kuman TB yang dorman tadi dapat berkembang sehingga

seeorang mengalami sakit TB.

5.2 Karakteristik Pasien TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Muara

Bulian

5.2.1 Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan karakteristik

pasien TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian berdasarkan usia dan

jenis kelamin adalah sebagai berikut :

Tabel 4.3 Karakteristik Pasien TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian
berdasarkan jenis kelamin

37
No Jenis Kelamin Jumlah Persentase
1. Laki-laki 9 69.23%
2. Perempuan 4 30.77%
Jumlah 13 100%

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada pasien TB di wilayah

kerja Puskesmas Muara Bulian didapatkan jenis kelamin terbanyak yang

menderita TB Paru adalah laki-laki sebanyak 69.23% . Hal yang sama juga

ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh puspitasari tahun 2013 di Manado

didapatkan bahwa jenis kelamin terbanyak yang menderita TB Paru adalah laki-

laki yaitu sebanyak 76,9%. Hal ini mungkin disebabkan oleh status sosial dan

pekerjaan laki-laki lebih berpotensi untuk terpajan kuman M. Tuberkulosis.23

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki yang menderita TB

paru lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan laki-laki lebih

banyak merokok dan mengonsumsialkohol yang merupakan faktor risiko

terjadinya infeksi, termasuk TB paru. 25,26

Tabel 5.3 Karakteristik Pasien TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian
berdasarkan usia

No Usia Jumlah Persentase


1. Anak (< 18 tahun ) 0 0%
2. Usia Produktif (18-65 tahun) 11 84.62 %
3. Usia Tua (>65 tahun) 2 15.38%
Jumlah 13 100%

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada pasien TB di wilayah

kerja Puskesmas Muara Bulian didapatkan kelompok usia terbanyak yang

menderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu sebanyak 84.62 %. Hal

38
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Susilayanti pada tahun 2012 di

Padang yang menemukan lebih dari separuh penderita TB terjadi pada kelompok

usia produktif. Usia produktif merupakan usia dimana seseorang berada ada tahap

untuk bekerja/menghasilkan sesuatu baik untuk diri sendiri maupun untuk orang

lain. Mayoritas pekerja di Indonesia merupakan mereka yang berusia produktif

dan berjenis kelamin laki-laki, sehingga individu dengan usia produktif dan

berjenis kelamin laki-laki lebih berpeluang untuk tertular agen penyebab TB.

Lingkungan kerja yang padat serta berhubungan dengan banyak orang

meningkatkan risiko terjadinya TB paru. Kondisi kerja yang demikian

menyebabkan seseorang tertular TB paru. 25,27,28

5.2.2Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan Tingkat Pendidikan, Pekerjaan ,

dan Penghasilan.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan karakteristik pasien TB

Paru di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian berdasarkan tingkat pendidikan,

pekerjaan , dan penghasilan adalah sebagai berikut :

Tabel 5.4 Karakteristik Pasien TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian
berdasarkan tingkat pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase


1. SD 5 38.46 %
2. SMP 3 23.07 %
3. SMA 4 30.77 %
4. S1 1 7.7 %
Jumlah 13 100%

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada pasien TB di wilayah kerja

Puskesmas Muara Bulian didapatkan tingkat pendidikan pasien yang menderita

39
TB Paru terbanyak adalah SD sebanyak 38.46 %. Berdasarkan penelitian yang

telah dilakukan pada pasien TB di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian

didapatkan tingkat pendidikan pasien yang menderita TB Paru terbanyak adalah

SD sebanyak 38.46 %. Sesuai dengan peneltianyang dilakukan oleh Yusran tahun

2018. Hal ini disebabkan oleh Tingkat pendidikan terakhir yang dimiliki

responden sangat bervariasi. Pada kelompok kasus tingkat pendidikan tertinggi

yaitu tamat SD sebanyak 21 responden atau sebesar 36,5% dan terendah adalah

tamat perguruan tinggi sebanyak 3 responden atau sebesar 5,2%. Sedangkan pada

kelompok tingkat pendidikan tertinggi adalah tamat SMA sebanyak 24 responden

atau sebesar 41,4% dan terendah adalah tamat perguruan tinggi sebanyak 1

responden atau sebesar 1,7%.

Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan seseorang berpengaruh terhadap

kejadian penyakit TB paru. Pemahaman dan pengetahuan seseorang terhadap

suatu penyakit tentu tidak lepas dari tingkat pendidikan yang dimilikinya. Dari

penelitian Faris pada tahun 2014 didapatkan bahwa yang berpendidikan rendah

lebih berisiko menderita TB paru sebesar 1,8 kali dibandingkan dengan

responden yang berpendidikan tinggi.37

Tabel 5.5 Karakteristik Pasien TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian
berdasarkan pekerjaan

No Pekerjaan Jumlah Persentase


1. Formal 0 0%
2. Non formal 13 100%
Jumlah 13 100%

40
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada pasien TB di wilayah kerja

Puskesmas Muara Bulian didapatkan kelompok pekerjaan pasien TB Paru

terbanyak adalah kelompok non formal yaitu 100%. Sesuai penelitian yang

dilakukan oleh Nurkumalasari di Palembang pada tahun 2016 mengatakan bahwa

faktor lingkungan kerja juga mempengaruhi seseorang untuk terpapar suatu

penyakit dimana lingkungan kerja yang buruk mendukung untuk terinfeksi TB

Paru antara lain supir, buruh, wirausaha dan lain-lain dengan persentase 52,2%

dibandingkan dengan orang yang bekerja di daerah perkantoran dengan persentase

47,8%, Dimana jenis pekerjaan sesorang juga mempangaruhi pendapatan keluarga

yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantaranya

konsumsi makanan yang bergizi dan pemeliharaan kesehataan. 24

Tabel 5.6 Karakteristik Pasien TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian
berdasarkan Penghasilan

No Penghasilan per Bulan Jumlah Persentase


1. <1 juta 9 69.23 %
2. 1-3 juta 4 30.77%
3. > 3 juta 0 0%
Jumlah 13 100%

41
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada pasien TB di wilayah

kerjaPuskesmas Muara Bulian didapatkan penghasilan pasien yang menderita

TB Paru terbanyak adalah < 1 juta sebanyak 69.23 %. Sesuai dengan

peneltian yang dilakukan oleh Novita pada tahun 2017, hal ini disebabkan

sosial ekonomi mayoritas penderita TB pendapatan berkisaran 50.000 –

650.000/bulan. Hasil penelitiannya sama dengan penelitian Panjaitan pada

tahun 2012 bahwa penderita TB mayoritas berstatus sosial ekonomi rendah

dengan pendapatan berkisar Rp.705.000/bulan . Hubungan Penghasilan

Dengan Penderita TB Parudisebutkan bahwa Negara miskin selain sanitasi,

pemukiman yang buruk, banyak terdapat penduduk yang merokok. Menurut

hasil penelitian Novita pada tahun 2017 mengatakan bahwa responden yang

penghasilannya rendah, akan beresiko menderita TB Paru sebesar 7,6 kali

dibandingkan dengan responden yang penghasilannya cukup.39

5.2.3 Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan Riwayat Kontak

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan karakteristik

pasien TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian pada tahun 2019

berdasarkan sumber penularan sebagai berikut :

Tabel 4.6 Karakteristik Pasien TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian
berdasarkan

No Riwayat Kontak Jumlah Persentase


1. Ada 3 23.08%
2. Tidak Diketahui 10 76.92%
Jumlah 13 100%

42
Pada penelitian ini didapatkan pasien TB yang memiliki riwayat kontak

dengan TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian pada tahun 2019

sebanyak 23.08% . Diantara pasien tersebut memiliki riwayat kontak serumah

dengan orang tuanya penderita TB, paman menderita TB , dan ada dalam satu

keluarga bapak dan kakak nya memiliki riwayat sakit TB sebelumnya.Faktor yang

paling berpengaruh dengan kejadian penyakit TB paru adalah adanya riwayat

kontak dengan pasien penderita TB paru atau lingkungan sekitar penderita TB

paru. Hal ini memang sering ditemui karena faktor utama seseorang dapat

terinfeksi adalah setelah menghirup udara yang mengandung droplet yang

mengandung kuman yang ditularkan oleh penderita TB paru BTA positif. 29

Riwayat kontak yang dimaksud antara lain pernah tinggal serumah dengan

penderita TB paru, sehingga memungkinkan droplet kuman TB yang keluar lewat

bersin atau batuk penderita dapat terhirup bersama dengan oksigen di udara dalam

rumah oleh anggota keluarga lainnya sehingga sangat memudahkan terjadinya

proses penularan. Namun tidak semua yang mendapat riwayat kontak akan

terjangkit TB paru, tergantung pada seberapa kuat daya tahan tubuh seseorang

serta dapat pula kuman TB tersebut dorman dalam tubuh seseorang sehingga tidak

menimbulkan gejala tuberkulosis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ryana

dkk (2012), terdapat 4,4% kelompok kasus atau penderita TB paru mempunyai

riwayat kontak atau tinggal serumah sedangkan pada kelompok kontrol tidak ada

(0%). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Eka Fitriani (2013) menunjukkan ada

hubungan antara riwayat kontak dengan kejadian TB paru. Tingkat penularan TB

di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita dapat

menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya, sedangkan besar risiko

43
terjadinya penularan untuk rumah tangga dengan penderita lebih dari satu orang

adalah 4 kali lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga yang hanya satu

orang penderita TB paru di dalamnya. Pada penelitian lainnya oleh Mahpudin dan

Mahkota (2007) menunjukkan bahwa sumber kontak serumah berhubungan secara

bermakna dengan kejadian TB paru BTA (+). Mereka yang tinggal serumah

dengan kontak berisiko menderita tuberculosis 3,16 kali lebih besar dibandingkan

dengan mereka yang tidak ada kontak serumah. Temuan ini sesuai dengan

penelitian sebelumnya, penelitian di Palembang kontak serumah berisiko 41,8 kali

lebih besar daripada mereka yang tanpa kontak serumah. Penelitian di Kabupaten

Majalengka 8,59 kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tidak ada

kontak serumah. Kontak erat dengan penderita TB paru BTA (+) berisiko

maksimum untuk terjadinya infeksi. Keterlambatan dalam memberikan

pengobatan akan memperbesar kemungkinan terjadinya risiko penularan.30,31

5.2.4 Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan Status Merokok

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan karakteristik pasien TB

Paru di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian pada tahun 2019 berdasarkan

status merokok adalah sebagai berikut :

Tabel 4.6 Karakteristik Pasien TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian
berdasarkan status merokok

No Status Merokok Jumlah Persentase


1. Perokok 7 53.85 %
2. Bukan Perokok 6 46.15%
Jumlah 13 100%

44
Pada penelitian ini didapatkan bahwa pasien yang menderita TB Paru di

wilayah kerja Puskemas Muara Bulian paling banyak adalah perokok . Sesuai

dengan penelitian penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lefondre K et al

pada tahun 2002 yang mendapatkan hasil 1,3% merupakan bukan perokok, 70,9%

perokok, dan 27,9% merupakan mantan perokok terdapat perbedaan dimana

bukan perokok merupakan jumlah yang paling rendah ( Lofondre K et al, 2002).

Menurut penelitian ryan pada tahun 2014 di surakarta didapatkan terdapat

hubungan bermakna antar merokok dengan kejadian TB Paru dengan nilai

P<0.05. Pada penelitiannya didapatkan seorang perokok yang menderita

Tuberkulosis paru sebanyak 18 sedangakan yang tidak menderita Tuberkulosis

paru sebanyak 11 orang. Mantan perokok yang menderita Tuberkulosis paru

sebanyak 7 orang dan yang tidak menderita Tuberkulosis Paru sebanyak 3 orang.

Pada seorang yang bukan merupakan perokok maupun mantan perokok yang

menderita Tuberkulosis paru sebanyak 10 orang sedangkan yang tidak menderita

Tuberkulosis paru sebanyak 21 orang.32

Hasil yang dipaparkan diatas hampir mirip dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Hsien Ho Lin dan kawan-kawan di Taiwan pada tahun 2009 yang

hasilnya menyatakan perokok mempunyai resiko 2,73 lebih terhadap Tuberkulosis

paru ( Lin Hsien Ho et al, 2009). Temuan lain yang dilakukan oleh Singh N.P, et al

pada tahun 2013 di Kamboja memperkuat bahwa terdapat hubungan antara

merokok dengan Tuberkulosis yaitu peningkatan lebih dari 3 kali lipat dalam

terinfeksi Tuberkulosis paru di antara orang dewasa yang merokok satu bungkus

per hari atau lebih dan mereka yang telah merokok lebih dari 30 pack per tahun.26

45
Mekanisme yang menyebabkan antara lain adalah adanya penurunan

fungsi mukosiliar, adanya kerusakan epitel dan peradangan, penyempitan kantung

udara alveolar, peningkatan jumlah makrofag alveolar beredar. Selain perubahan

fisik, penekanan terhadap kekebalan tubuh seorang perokok dapat berkontribusi

terhadap infeksi Tuberkulosis paru . Lebih detailnya peran sel-sel imunologis

yang berperan adalah sel T dimana paparan rokok menyebabkan sel T terstimuli

untuk meproduksi INF-γ yang berhubungan dengan peningkatan bakteri dalam

kasus Tuberkulosis paru. 33

Rokok akan menimbulkan masalah kesehatan paling tidak dianggap

sebagai faktor risiko dari berbagai macam penyakit. Rokok merupakan produk

industri dan komoditi internasional yang mengandung sekitar 1500 bahan

kimiawi. Unsur-unsur yang penting antara lain: tar, nikotin, benzopyrin,

metilklorida, aseton, amoniak, dan karbon monoksida. Diantara semua bahan-

bahan yang berbahaya itu terdapat 3 yang paling penting khususnya dalam hal

kanker yaitu tar, nikotin, dan karbon monoksida. Kebiasaan merokok akan

merusak mekanisme pertahanan paru yang disebut Muccociliary clearance. Bulu-

bulu getar dan bahan lain tidak dapat dengan mudah membuang infeksi yang

sudah masuk ke paru-paru karena bulu getar dan alat lain di paru rusak akibat asap

rokok. Selain itu asap rokok meningkatkan tahanan jalan nafas, dan menyebabkan

mudah bocornya pembuluh darah di paru juga akan merusak makrofag yang

merupakan sel pemakan bakteri pengganggu. Asap rokok juga diketahui dapat

menurunkan respon terhadap antigen sehingga kalau ada benda asing yang masuk

ke paru tidak cepat dikenali dan dilawan. 29

46
5.2.5 Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan Kategori Pengobatan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan karakteristik pasien TB

Paru di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian pada tahun 2019 berdasarkan

kategori pengobatan adalah sebagai berikut :

Tabel 4.6 Karakteristik Pasien TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian
berdasarkan

No Kategori Pengobatan Jumlah Persentase


1. Kasus Baru 12 92.3 %
2. Kasus Relaps 0 0%
3. Putus Obat 1 7.7 %
4. Lainnya 0 0%
Jumlah 13 100%

Pada penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa pasien yang menderita

TB Paru di wilayah kerja puskesmas Muara Bulian tahun 2019 paling banyak

belum pernah mengkonsumsi OAT sebelumnya (kasus baru ) sebanyak 92.3 % .

Sesuai dengan hasil penelitian Widhianasir tahun 2017 di kota Parepare

status penyakit diperoleh distribusi penderita TB paru di Kota Parepare pada tahun

2016, hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita TB paru paling banyak

adalah penderita baru yakni 171 orang, sedangkan TB paru kambuh yakni 14

orang, TB paru putus berobat 4 orang, dan yang paling sedikit adalah penderita

TB paru lainnya yakni 1 orang.38

5.2.6 Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan Status Gizi

47
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan karakteristik pasien TB

Paru di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian pada tahun 2019 berdasarkan

status gizi adalah sebagai berikut :

Tabel 4.6 Karakteristik Pasien TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian
berdasarkan

No Status Gizi Jumlah Persentase


1. Kurang 10 76.92%
2. Normal 3 23.08 %
3. Lebih 0 0%
Jumlah 13 100%

Pada penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa pasien yang mendeita

TB Paru di wilayah kerja puskesmas Muara Bulian tahun 2019 paling banyak

memiliki status gizi kurang yaitu sebanyak 76.92%. Menurut penelitian

Narasimhan tahun 2013 di Australia didapatkan bahwa seseorang yang malnutrisi

dua kali lebih berisiko menderita TB. Pasien dengan TB paru sering ditemukan

dengan keadaan kekurangan nutrisi seperti vitamin A, B complex, C dan E, dan

selenium yang mendasar dalam integritas respon imun. Studi menunjukkan, kadar

serum vitamin D yang menurun meningkatkan risiko TB paru. Hal ini secara

signifikan mempercepat konversi kultur dahak selama fase intensif pengobatan

anti mikroba TB paru.34

Selain itu, infeksi TB meningkatkan produksi leptin yang menyebabkan

penderita mengalami anoreksia (hilangnya nafsu makan) dan asupan gizi menurun

sehingga terjadi defisiensi kalori dan protein. sehingga kebanyakan pasien TB

ditemukan memiliki status gizi kurus. Kekurangan protein ini juga dapat

menimbulkan atrofi dan berkurangnya proliferasi sel di timus yang

48
mengakibatkan jumlah sel limfosit T yang dihasilkan akan menurun. Limfosit T

berperan dalam mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan kuman TB.

Apabila terjadi penurunan jumlah limfosit T, hal ini menyebabkan pertahanan

tubuh menjadi lemah,makrofag tidak mampu lagi mencerna kuman TB sehingga

kuman ini akan tetap hidup dijaringan paru yang berakibat pada keterlambatan

konversi sputum dan memperlambat proses penyembuhan . Selain itu, status gizi

yang rendah (malnutrisi) pada pasien ketika didiagnosis TB juga akan

mempengaruhi respon terapi pada pengobatan TB yang akan berdampak pada

keberhasilan pengobatan TB, keterlambatan konversi sputum, peningkatan angka

kematian dan risiko kekambuhan pada pasien TB. 35,36

BAB 6

KESIMPULAN

Desa Kilangan merupakan desa yang memiliki pasien terbanyak diantara


desa lainnya di wilayah kerja puskesmas Muara Bulian, sementara yang terendah
terdapat di Pasar Baru. Berdasarkan jenis kelamin didapatkan penderita TB Paru
terbanyak diwilayah kerja Puskesmas Muara Bulian adalah laki-laki dengan usia
terbanyak adalah usia produktif yaitu usia 18-65 tahun. Berdasarkan tingkat
pendidikan didapatkan penderita TB terbanyak adalah tamat SD dengan pekerjaan

49
terbanyak adalah kelompok Non-Formal. Berdasarkan riwayat kontak didapatkan
23,08% pasien TB paru di wilayah kerja puskesmas Muara Bulian memiliki
riwayat kontak serumah seperti orangtua, Paman, dan saudara dari pasien.
Berdasarkan status merokok pasien penderita TB di wilayah kerja puskesmas
Muara Bulian paling banyak adalah perokok. Berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya didapatkan paling banyak adalah kasus baru (belum pernah
mengkonsumsi OAT sebelumnya). Dan berdasarkan ststus gizi didapatkan pasien
TB di wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian merupakan pasien yang memiliki
status gizi kurang.

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Global Tuberculosis Report. 2018 [Diakses pada 23 Agustus 2019].


Available from : http://www.who.int/tb/publications/global_report/en/.
2. WHO. Global Tuberculosis Report. 2017 [Diakses pada 23 Agustus 2019].
Available from : http://www.who.int/tb/publications/global_report/en/.
3. Kementerian Kesehatan RI. Laporan Nasional RISKESDAS 2018. Jakarta :
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan ; 2018.
4. Kementerian Kesehatan RI. InfoDATIN Tuberkulosis 2018. Jakarta : Pusat
Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI ; 2018.
5. Dinas Kesehatan Batanghari. Profil Kesehatan Kabupaten Batanghari Tahun
2016. Batanghari : Pemerintah Kabupaten Batanghari ; 2017.

50
6. PDPI. Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsesus TB). 2011 [Diakses pada 23
Agustus 2019]. Available from : http://klikpdpi.com/konsensus/Xsip/tb.pdf.
7. Amin Z, dan Bahar A. Tuberkulosis Paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi VI. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2014. pp 864-69.
8. Hasan H. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Pusat penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
unair ; 2010.
9. Price SA, dan Wilson, LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 1. Jakarta: EGC ; 2006.
10. Djojodibroto RD. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC ; 2009.
11. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran. Tatalaksana Tuberkulosis. 2013 [Diakses pada 23 Agustus 2019].
Available from: http://www.depkes.go.id/.
12. Werdhani RA. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi Tuberkulosis .
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI.
2008 [Diakses pada 23 Agustus 2019]. Available from: http://staff.ui.ac.id/.
Diakses pada 21 Mei 2015.
13. WHO. Treatment of Tuberculosis: Guidelines Edisi 4. 2009 [Diakses pada 23
Agustus 2019]. Available from:
http://www.who.int/publications/guidelines/tuberculosis/en/.
14. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penanggulangan
Tuberkulosis. 2009 [Diakses pada 23 Agustus 2019]. Available from:
http://www.hukor.depkes.go.id/.
15. KBBI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2016 [Diakses pada 23 Agustus
2019]. Available from: http://kbbi.web.id/pusat
16. Amaliah R. Faktor- Faktor yan Berhubungan dengan Kegagalan Konversi
Penderita TB Paru BTA Positif Pengobatan Fase Intensif di Kabupaten Bekasi
Tahun 2010 (Tesis). Universitas Indonesia : Fakultas Kesehatan Masyarakat ;
2012 [Diakses pada 24 Agustus 2019]. Available from. lib.ui.ac.id/file?
file=digital/20313567-T31309-Faktor-faktor.pdf
17. Mota PC, Carvalho A, Valente I, Braga R, dan Duarte R. Predictors of
Delayed Sputum Smear And Culture Conversion among a Portuguese
Population with Pulmonary Tuberculosis. Rev Port Pneumol : 2012 ; 18(2):
72-79.

51
18. Suprijono D. Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Konversi
Dahak Setelah Pengobatan Fase Awal pada Penderita Baru Tuberkulosis Paru
Bakteri Tahan Asam (BTA) Positif (Tesis). Universitas Diponegoro : 2005
[Diakses pada 24 Agustus 2019]. Available from.
http://core.ac.uk/download/pdf/11714650.pdf
19. Nursalam. Konsep dan Penerapan Metodologi Penilitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta : Slemba Medika ; 2008.
20. Meirtha Y S. Karakteristik Penderita TB Paru Relapse Yang Berobat Di Balai
Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan Tahun 2000-2007. Medan :
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara ; 2009.
21. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014. Jakarta :
Kemenkes RI ; 2015.
22. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid I. VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014
23. Puspitasari P, Wongkar MCP, Surachman E. Profil Pasien Tuberkulosis Paru
di Poliklinik Paru RSUP Prof Dr.R.D.Kandou Manado. Jurnal E-Clinic.
2014;2(1): 1-9. Diakses pada tanggal 5 Oktober 2019.
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/view/3716/3239.
24. Nurkumalasari, Wahyuni D, Ningsih N. Hubungan Karakteristik Penderita
Tuberkulsosis Paru dengan Hasil Pemeriksaan Dahak di Kabupaten Ogan Ilir.
Palembang. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. 2016; 3(2): 51-58.
Diakses pada tanggal 5 Oktober 2019.
https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/jk_sriwijaya/article/view/4242/2181 .
25. Dotulong JFJ, MR. Sapulete, GD.Kandou. 2015. Hubungan Faktor Risiko
Umur,Jenis Kelamin dan Kepadatan Hunian dengan Kejadian Penyakit TB
Paru diDesa Wori Kecematan Wori. Universitas Sam Ratulangi. Jurnal
KedokteranKomunitas danTropik.2015.
26. Lin Hsien Ho, et al. Association between Tobacco Smoking and Active
Tuberculosis in Taiwan. Am J Respir Crit Care Med. 2009;180 : 476-479
27. Wardhani RA. Patogenesis, Diagnosis dan Klasifikasi
Tuberkulosis.Universitas Indonesia. 2013.
28. Susilayanti EN, Medison I, Erkadius. Profil Penderita Tuberkulosis Paru BTA
Positif yang ditemukan di BP4 Lubuk Alung periode Januari 2012-Desember
2012. Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(2):151-55. Diakses pada tanggal 7
Oktober 2019. http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/69

52
29. YunusYM. Faktor Risiko yang Berhubungan Dengan Kejadian TB Paru di
Wilayah Pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar [Skripsi]. Makassar:
Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin; 2018. Diakses pada tanggal 5 Oktober 2019.
http://digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/YTRlZ
mI5NzM4NTZjNWQyOGViN2MyZDBmNjFiZjZmZTVkY2QzODBlZA==.
pdf.
30. Fitria E, Ramadhan R, Rosdiana. Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru di
Puskesmas Rujukan Mikroskopis Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Penelitian
Kesehatan . 2017;4(1):13-20. Diakses pada tanggal 5 Oktober 2018.
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/sel/index.
31. Mahpudin, AH, Mahkota, Renti. Faktor Lingkungan Fisik Rumah, Respon
Biologis, dan Kejadian TBC Paru di Indonesia. FKM UI. 2007.
32. Leffondre K, et al. Modeling Smoking History: A Comparation of Different
Approaches. Am. J. Epidemiol. 2002; 156: 813-820.
33. Feng Yan, et al. Exposure to Cigarette Smoke Inhibits the Pulmonary TCell
Response to Influenza Virus and Mycobacterium Tuberculosis. Infection and
Immunity. 2011; 79: 235-236.
34. Narasimhan, P et al. Risk Factor for Tuberculosis. The University of New
South Wales. Hindawi Publishing Corporation. 2013.
35. Pratomo IP, Burhan E, dan Tambunan V. Malnutrisi dan Tuberkulosis. Artikel
Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan. 2012; 62 (2): 230-36.
36. Usman S .Konversi BTA padaPenderita TB ParuKategori I
denganBeratBadanRendahDibandingkandenganBeratBadan Normal yang
MendapatkanTerapiIntensif [Tesis].Medan: Universitas Sumatera Utara;2008.
37. Faris,Muaz. Faktor- faktor Yang Mempengaruhi kejadian Tuberkulosis
Paru Basil Tahan Aasam Positif di Puskesmas WilayahKecamatan Serang
Kota Serang. Jakarta. FakultasKedokteranUniversitas Islam NegeriSyarif
Hidayatullah;2014
38. Widhiasnasir, Eka. KarakteristikPenderita TuberkulosisParu di Kota Parepare.
Makassar.FakultasKedokteranUniversitasHasanudin. 2017; 3(3): 51-58.
Diakses pada tanggal 4 Oktober 2019.
https://ejournal.unhas.ac.id/index.php/jk_hasanudin/article/view/3242/2061
39. Novita,Elsa. Analisis Hubungan Karakteristik Individu dan Kondisi Rumah
Dengan Tuberkulosis Paru BTA Positif Di Puskesmas Kunti Kabupaten
Ponorogo.Surabaya: Universitas Airlangga;2017

53
54
LAMPIRAN

Data pasien TB dan Suspek TB di Wilayah Kerja Puskesmas Muara Bulian Pada Tahun 2019

No Nama Alamat Umur JK Pendidikan Pekerjaan Penghasilan Riwayat Kontak Kategori Pengobatan Status Gizi Merokok
1 HR Teratai RT 07 36 th LK SMP Wirausaha 1-3 juta/bulan Tidak Diketahui Kasus Baru Baik Bukan Perokok
2 YN Pasar Baru RT 08 33 th PR SMA IRT <1 juta/bulan Tidak Diketahui Kasus Baru Baik Bukan Perokok
3 EW Hutan Lindung RT 15 34 th LK SMP Wiraswasta 1-3 juta/bulan Tidak Diketahui Kategori II Baik Perokok
4 ST Teratai RT 07 71 th PR SD IRT < 1 juta/bulan Tidak Diketahui Kasus Baru kurus Bukan Perokok

MR Rengas Condong RT 10 18 th LK SMA Pelajar - Tidak Diketahui Kasus Baru Baik Perokok
5
6 ST Muara Bulian 30 th LK S1 Swasta 1-3 juta/ bulan Tidak Diketahui Kasus Baru kurus Bukan Perokok
Ibu Rumah
NB Muara Bulian RT 17 70 tahun Pr SD <1 juta/bulan Tidak Diketahui Kasus Baru kurus Bukan Perokok
7 Tangga
8 TM Kilangan RT 05 93 th PR SD IRT <1 juta/ bulan Tidak Diketahui Kasus Baru sangat kurus Perokok
9 YA Kilangan RT O7 20 th LK SMP Sopir <1 juta/bulan ada Kasus Baru kurus Bukan Perokok
10 SD Kilangan AMD RT 07 60 tahun LK SD Petani <1 juta/bulan ada Kasus Baru kurus Perokok
11 MS Kilangan AMD RT 22 18 tahun LK SMA Mahasiswa tidak ada tidak diketahui Kasus Baru kurus Perokok
12 NS Gemilang RT 07 43th LK SMA Wiraswasta 1-3 juta/bulan tidak diketahui Kasus Baru kurus Perokok
13 PG Muara Bulian RT 34 48 tahun LK SD Nelayan <1 Juta ada Kasus Baru kurus Perokok
DATA PASIEN TB PARU

Umur :

1. Anak (< 18 tahun)

2. Usia Produktif ( 18-65 tahun)

3. Usia Tua ( > 65 tahun)

Jenis Kelamin :

1. Laki-laki

2. Perempuan

Tingkat Pendidikan :

1. Sekolah Dasar (SD)

2. Sekolah Menengah Pertama (SMP)

3. Sekolah Menengah Atas (SMA)

4. Sarjana (S1)
Pekerjaan :

1. Formal bila pegawai swasta, PNS/POLRI

2.Non Formal bila tidak bekerja , petani, buruh, wiraswasta , pedagang,

nelayan)

Penghasilan :

1 . < 1 juta

2. 1-3 juta

3. > 3 juta

Riwayat Kontak :

a. Ada riwayat kontak : Apabila responden pernah tinggal serumah dengan

penderita TB paru BTA (+).

b. Tidak diketahui : Apabila responden tidak pernah tinggal serumah dengan

penderita TB paru BTA (+)


Status Merokok :

1. Perokok
2. Bukan Perokok

Kategori Pengobatan :

1. Kasus Baru

2.Kasus Relaps

3. Putus Obat

4. Lainnya

Status Gizi :

1. Kurang bila IMT <18,5


2. Normal bila IMT ≥ 18,5- <24,9

3.Lebih bila IMT ≥25

DOKUMENTASI PENDATAAN TB

2
3
4

Anda mungkin juga menyukai