Anda di halaman 1dari 56

EVALUASI PROGRAM PENJARINGAN KASUS

TUBERKULOSIS PARU PADA ANAK


DI PUSKESMAS PASAR AMBON KOTA BANDAR LAMPUNG
PERIODE JANUARI – JUNI TAHUN 2021

Oleh:
dr. Maya Fitriani

Pembimbing:
dr. Arlia Novita

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


PUSKSESMAS PASAR AMBON
BANDAR LAMPUNG 2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat-Nya penulis
diberikan kelancaran dalam menyelesaikan makalah yang berjudul “Evaluasi
Program Penjaringan Kasus TB Anak di Puskesmas Pasar Ambon Periode
Januari-Juni Tahun 2021” ini. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi salah
satu tugas dalam Program Internship Dokter Indonesia yang dijalani penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing di Puskesmas Pasar


Ambon yaitu dr. Arlia Novita yang telah meluangkan waktunya untuk
membimbing saya hingga makalah ini dapat diselesaikan. Tentu masih terdapat
kelemahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini, karena itu penulis
berharap masukan dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memperkaya ilmu pengetahuan bagi dunia pendidikan,
bermanfaat bagi penulis dan teman sejawat.

Bandar Lampung, September 2021

Penulis

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit tuberkulosis pada anak merupakan penyakit yang bersifat sistemik, yang
dapat bermanifestasi pada berbagai organ, terutama paru. Sifat sistemik ini disebabkan oleh
penyebaran hematogen dan limfogen setelah terjadi infeksi Mycobacterium tuberculosis.
Data insidens dan prevalens tuberkulosis anak tidak mudah. Dengan penelitian indeks
tuberkulin dapat diperkirakan angka kejadian prevalens tuberkulosis anak. Kriteria masalah
tuberkulosis di suatu negara adalah kasus BTA positif per satu juta penduduk. Jadi sampai
saat ini belum ada satu negara pun yang bebas tuberkulosis. TB merupakan penyakit yang
dapat dicegah dengan pemberian imunisasi BCG pada anak dan pengobatan sumber infeksi,
yaitu penderita TB dewasa. Disamping itu dengan adanya penyakit karena HIV maka
perhatian pada penyakit TB harus lebih ditingkatkan Anak biasanya tertular TB, atau juga
disebut mendapat infeksi primer TB, akan membentuk imunitas sehingga uji tuberkulin
akan menjadi positif. Tidak semua anak yang terinfeksi TB primer ini akan sakit TB.
Setelah beberapa puluh tahun penurunan insidensi tuberculosis, angka kasus tuberculosis
telah bertambah secara dramatis selama decade terakhir ini. Hampir 1,3 kasus dan 450.000
kematian terjadi pada anak-anak setiap tahunnya di seluruh dunia.
Penyebaran penyakit tuberkulosis (TBC) di Indonesia dari tahun ke ke tahun
mengalami kecenderungan naik 2 persen sampai 5 persen. Kenaikan terutama terjadi
beberapa tahun belakangan ini, bersamaan dengan terjangan krisis ekonomi yang melanda
Indonesia. Setiap tahun diperkirakan terdapat 262 ribu penderita baru di Indonesia. Di
Indonesia, penyakit TBC bahkan menjadi penyebab kematian akibat penyakit infeksi nomor
tiga setelah stroke dan jantung.

Hasil penelitian yang dilakukan Badan Kesehatan Dunia WHO (World Health
Organization), jumlah penderita TBC di Indonesia sekira 0,3 persen dari jumlah penduduk
total setiap tahun. Meskipun dari persentase kecil, namun jumlah penderita TBC cukup
tinggi apalagi setelah krisis ekonomi melanda negara Indonesia, yang ditandai dengan
penurunan kualitas hidup masyarakat, angka penderita semakin naik. 2

1
Jawa barat dengan jumlah penduduk sekitar 36 juta, ada sekira 108 ribu penderita
TBC paru setiap tahunnya. 8 program pengendalian TBC secara directly observed treatment
shortcourse (DOTS) telah luas dilaksanakan pemerintah sejak 1999. Namun sampai
sekarang hanya menjangkau sekitar 30% saja dari jumlah penderita yang ada. Sisanya yang
70% sebagian di antaranya diduga menjadi pasien yang dikelola oleh fasilitas swasta.

Berdasarkan hasil penilaian semua kinerja Puskesmas di kota Bandar Lampung tahun
2021 diharapkan sasaran kasus TBC pada anak yang harus ditemukan diharapkan target
mencapai 85% kasus TBC anak. Sedangkan di wiilayah kerja Pusksemas Pasar Ambon
diharpkan sasaran kasus TBC anak yang ditemukan selama periode 12 bulan sejumlah 25
orang. Sehingga perlu dilakukan evaluaai program untuk mengidentifikasi dan mencari
solusi yang tepat agar dapat memenuhi target di periode tahun berikutnya.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun masalah yang dapat dirumuskan dari latar belakang di atas, yaitu:
a. Bagaimana pelaksanaan program penjaringan TB anak di Puskesmas Pasar Ambon
Bandar Lampung?
b. Mengapa pelaksanaan untuk upaya penjaringan TB anak Puskesmas Pasar Ambon
belum mencapai target ?
c. Bagaimana solusi untuk mencapai target sasaran TB anak di Puskesmas Pasar Ambon
Bandar Lampung?

1.3. TujuanPenulisan
a. Tujuan Umum dan Khusus
1. Mengevaluasi program penjaringan penyakit menular TB anak di Puskesmas Pasar
Ambon pada periode Januari – Juni tahun 2021.
2. Mengetahui kemungkinan penyebab masalah masih rendahnya target pencapaian
kasus TB anak di wilayah kerja Puskesmas Pasar Ambon.
3. Menyusun alternatif pemecahan masalah agar tercapainya sasaran target TB anak di
Puskesmas Pasar Ambon pada periode berikutnya.

2
1.4. ManfaatPenulisan
a. Bagi Penulis
1. Menerapkan ilmu kedokteran komunitas yang telah diperoleh semasa perkuliahan.
2. Menambah ilmu kedokteran komunitas mengenai evaluasi pelaksanaan pencegahan
dan penanggulangan penyakit menular tuberkulosis paru .
3. Menganalisis penyebab masalah dan merumuskan alternatif pemecahan masalah
yang akan dihadapi dalam menjalankan suatu program kesehatan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.

b. Bagi Puskesmas
1. Mengetahui masalah yang ada dalam pelaksanaan Program Penjaringan Tuberkulosis
Anak di wilayah kerjanya.
2. Memperoleh masukan dan alternatif pemecahan masalah yang dihadapi agar
tercapainya keberhasilan program di masa mendatang secara optimal.

c. Bagi Masyarakat
1. Memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu khususnya bagi penderita
tuberkulosis anak di wilayah kerja Puskesmas Pasar Ambon

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tuberkulosis yang selanjutnya disingkat TB merupakan penyakit menular yang


disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang parenkim paru
(intrapulmonal) dan organ lainnya (ekstrapulmonal) (Permenkes RI, 2016). TB paru dapat
ditularkan melalui droplet dari penderita TB kepada individu lain yang rentan. Droplet dan
kuman TB dapat menular melalui udara, ketika seseorang dengan TB paru aktif batuk,
bersin atau bicara. (Kemenkes RI, 2014).

2.2 Epidemiologi

Penyakit tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan yang membebani


negara-negara berkembang. Menurut WHO tahun 2018, di secara global terdapat 9,6 juta
kasus TB setiap tahunnya, dan tingkat kematian mencapai 1,5 juta kasus per tahun, dan
sebagian diantaranya adalah anak usia < 15 tahun (WHO, 2015; kartasasmita, 2009).
Diantara 9,6 juta kasus TB tersebut didapat-kan 1,1 juta kasus TB atau sekitar 12 % yang
juga mengalami HIV positif dengan tingkat kematian 320.000 orang, dan 480.000 kasus
atau sekitar 5% adalah TB Resistan Obat (TB-RO) dengan tingkat kematian 190.000 orang
(Ketut Suarayasa, David Pakaya, 2019).

2.3 Etiologi

Kuman penyebab tuberkulosis termasuk dalam kelompok Mycobacterium yaitu


Mycobacterium tuberculosis. Beberapa spesies yang termasuk Myocobacterium, yaitu M.
Tuberculosis, M. Africanum, M. Bovis, M. Lepare, dsb. yang dikenal juga sebagai Bakteri
Tahan Asam (BTA). Adapun kelompok bakteri Mycobacterium yang dapat menimbulkan
gangguan saluran pernapasan selain Mycobacterium tuberculosis disebut MOTT
(Mycobacterium Other Than Tuberculosis). Bakteri ini penting juga diketahui karena dapat
mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan terhadap TB (Kemenkes RI, 2014).
Sifat-sifat kuman TB (Mycobacterium tuberculosis):
a. Berbentuk batang dengan panjang 1 – 10 mikron, lebar 0,2 – 0,6 mikron

4
b. Bersifat tahan asam dengan pewarnaan Ziehl Neelsen
c. Memerlukan media khusus untuk kultur seperti Lowenstein Jensen, Ogawa
d. Tampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan mikroskop
e. Tahan terhadap suhu rendah antara 40C hingga -700C
f. Sangat sensitif terhadap panas, sinar matahari, dan sinar UV
g. Sebagian besar akan mati dalam beberapa menit jika terkena paparan langsung terhadap
sinar ultraviolet
h. Akan mati dalam waktu kurang lebih 1 minggu dalam sediaan sputum pada suhu antara
30 – 370C
i. Dapat bersifat dormant atau “tidur” atau tidak berkembang

Gambar 1. Mycobacterium tuberculosis pada apusan Ziehl-Neelsen


Sumber: Irianti dkk (2016).

2.4 Patogenesis
Paru-paru merupakan port d’entree dari >98% kasus infeksi TB. Kuman TB dalam percikan
droplet yang ukurannya sangat kecil <5um akan terhirup dan mencapai alveolus. Beberapa
kasus kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik
sehingga tidak timbul respons imunologis spesifik. Namun pada beberapa kasus lain, tidak
seluruhnya dapat dihancurkan. Selanjutnya peran makrofag alveolus yang akan memfagosit
kuman TB tersebut untuk sebagian besar dihancurkan. Kuman TB sebagian kecil yang tidak
dapat dihancurkan akan berkembang biak dalam makrofag yang kemudian menyebabkan
lisis makrofag. Kemudian kuman TB tersebut akan membentuk lesi di tempat tersebut yang
dinamakan fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman T menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional yang menyebabkan inflamasi pada saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis

5
dinamakan kompleks primer. Saat terbentuk kompleks primer, imunitas selular tubuh
terhadap TB terbentuk, saat inilah uji tuberkulin positif. Kemudian fokus primer di jaringan
paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi (Kemenkes RI, 2016).

2.5 Faktor Risiko


Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya tuberkulosis primer:
1. Faktor Infeksi
Penularan tuberkulosis primer dapat melalui 4 cara, yaitu:
- Batuk orang dewasa
Saat orang dewasa batuk atau bersin, sejumlah tetesan cairan (ludah) tersembur ke udara.
Bila orang tersebut menderita tuberkulosis paru, maka tetesan tersebut mengandung
kuman. Jika disekitar orang tersebut terdapat orang dewasa atau anak-anak yang pada
saat itu kekebalan tubuhnya menurun maka dengan mudah akan terinfeksi atau tertular.
- Makanan atau susu
Anak- anak bisa terinfeksi tuberkulosis dari susu atau makanan, dan infeksi bisa terjadi
mulai pada mulut atau usus. Susu dapat mengandung tuberkulosis dari sapi (bovine TB),
bila sapi di daerah tersebut menderita tuberkulosis dan susu tidak direbus sebelum
diminum. Bila hal ini terjadi, infeksi primer terjadi pada usus, atau terkadang pada
amandel.
- Melalui kulit
Kulit yang utuh ternyata tahan terhadap tuberkulosis yang jatuh diatas permukaannya.
Namun, bila terdapat luka atau goresan baru, tuberkulosis dapat masuk dan
menyebabkan infeksi yang serupa dengan yang ditemukan pada paru.
- Keturunan dari ibu
Apabila seorang ibu yang sedang hamil menderita tuberkulosis maka sudah pasti
anaknya positif menderita tuberkulosis.

2. Faktor Lingkungan
Lingkungan yang tidak sehat, gelap dan lembab akan mendukung perkembangbiakan
basil Mycobacterium Tuberkulosis. Seperti diketahui basil tuberkulosis merupakan BTA
(Basil Tahan Asam) yang dapat berkembangbiak apabila ada di ruangan yang gelap dan

6
lembab, akan mati jika terkena sinar matahari secara langsung. Jadi kebersihan lingkungan
perlu diperhatikan.

3. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi berkaitan dengan ketersediaan pangan yang kaya zat gizi. Ekonomi
juga menjadi faktor pendukung yang mempengaruhi penyebab penularan tuberkulosis
primer. Seorang ibu dengan perekonomian rendah maka untuk mencukupi makanan bergizi
untuk tumbuh kembang anak susah, sehingga mereka hanya memberi makanan apa saja
tanpa mengetahui nilai gizinya. Padahal kita tahu bahwa dengan mengkonsumsi makanan
sehat dan bergizi akan bermanfaat bagi tumbuh kembang anak dan meningkatkan kekebalan
tubuh anak terhadap penyakit.

4. Pelayanan Kesehatan
Adanya penyakit tuberkulosis primer yang semakin tinggi prevalensi di Indonesia
maka pelayanan kesehatan yang harus ditingkatkan oleh pemerintah, melihat penderita
penyakit tersebut adalah anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan membutuhkan
perawatan intensive. Apabila tingkat pelayanan kesehatan tidak optimal maka akan
mempengaruhi penyembuhan tuberkulosis primer dan bila tingkat pelayanan kesehatan
bekerja secara optimal maka laju peningkatan penyakit tuberkulosis primer dapat ditekan
seminimal mungkin. Hal ini tidak lepas pula dari peran pemerintah dan masyarakat dalam
menanggapi segala macam penyakit agar tidak terjadi angka kematian anak yang tinggi.

2.6. Klasifikasi Pasien TB


Menurut Permenkes RI (2016) adapun klasifikasi pasien tuberkulosis antara lain
berdasarkan:
a. Lokasi anatomi penyakit
1. Tuberkulosis paru: TB yang berlokasi pada parenkim (jaringan) paru.
2. Tuberkulosis ekstraparu: TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya pleura,
kelenjar limfe, abdomen, saluran kemih, kulit, sendi, selaput otak, dan tulang.

b. Riwayat pengobatan sebelumnya


Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe
pasien, yaitu:

7
1) Baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2) Kambuh (Relaps) Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan


TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan
BTA positif (apusan atau kultur).

3) Pengobatan setelah putus berobat (Default) Adalah pasien yang telah berobat dan
putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

4) Gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5) Pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan dari sarana pelayanan
kesehatan yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.

6) Lain-lain: Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok
ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan. TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga
mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat
jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan
pertimbangan medis spesialistik.

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB


Paru:

1. TB paru BTA positif

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran TB

c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
8
2. TB paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB
paru BTA negatif harus meliputi:

a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative

b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran TB.

c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

d. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat


1. Mono resistan (TB MR): Mycobacterium tuberculosisresistan terhadap salah satu
jenis OAT lini pertama saja.
2. Poli resistan (TB PR): Mycobacterium tuberculosisresistan terhadap lebih dari satu
jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
3. Multi drug resistan (TB MDR): Mycobacterium tuberculosisresistan terhadap
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan, dengan atau tanpa diikuti resitan
OAT lini pertama lainnya.
4. Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap salah satu OAT golongan
fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan
(Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin).
5. Resistan Rifampisin (TB RR): Mycobacterium tuberculosisresistan terhadap
Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi
menggunakan metode genotip (tes cepat molekuler) atau metode fenotip
(konvensional).

2.7 Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis untuk mengetahui gejala dan tanda-tanda Tuberkulosis Paru.
Gejala utama yang terjadi adalah batuk lama (selama dua minggu atau lebih) dan
berdahak. Gejala tambahan yang sering terjadi yaitu batuk darah atau dahak bercampur

9
darah, sesak nafas, nyeri dada, badan lemas, keletihan, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa
aktifitas fisik, demam meriang lebih dari sebulan. Ditemukan adanya kontak dengan
pasien TB paru dewasa.

b. Pemerikksaan Fisik
- Pembesaran kelenjar limfe leher, aksila, inguinal
- Pembengkakan progresif atau deformitas tulang, sendi, lutut, falang
- Uji tuberculin. Biasanya positif pada anak dengan TB paru, tetapi bias negative pada
anak dengan TB milier atau juga menderita HIV/AIDS, gizi buruk atau beru menderita
campak
- Pengukuran berat badan menurut umur atau lebih baik pengukuran berat menurut panjang/tinggi
badan.

c. Pemeriksaan Tuberculin
Perkembangan hipersensitivitas tipe lambat pada kebanyakan individu yang
terinfeksi dengan basil tuberculosis membuat uji tuberculin sangat
dibutuhkan.Pemeriksaan ini merupakan alat diagnosis yang penting dalam menegakkan
diagnosis tuberkulosis. Uji multi punksi tidak seakurat uji Mantoux karena dosis antigen
tuberculin yang dimasukkan ke dalam kulit tidak dapat di control.Uji tuberkulin lebih
penting lagi artinya pada anak kecil bila diketahui adanya konvensi dari negatif. Pada
anak dibawah umur 5 tahun dengan uji tuberkulin positif, proses tuberkulosis biasanya
masih aktif meskipun tidak menunjukkan kelainan klinis dan radiologis. 10
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin yaitu dengan cara mono dengan salep,
dengan goresan disebut patch test cara von pirquet, cara mantoux dengan menyuntikan
intrakutan dan multiple puncture metode dengan 4 – 6 jarum berdasarkan cara Heat
andTine. Uji kulit Mantoux adalah injeksi intradermal 0.1 mL yang mengandung 5 unit
tuberculin ( UT ) derivate protein yang dimurnikan ( PPD ) yang distabilkan dengan
Tween 80.9 Sampai sekarang cara Mantoux masih dianggap sebagai cara yang paling
dapat dipertanggung jawabkan karena jumlah tuberkulin yang dimasukkan dapat
diketahui banyaknya.

Reaksi lokal yang terdapat pada uji Mantoux terdiri atas:

10
1. Eritema karena vasodilatasi perifer
2. Edema karena reaksi antara antigen yang dimasukkan dengan antibody
3. Indurasi yang dibentuk oleh sel mononukleus.
Pembacaan uji tuberculin dilakukan 48 – 72 jam. Setelah penyuntikan diukur
diameter melintang dari indurasi yang terjadi. Kadang-kadang penderita akan mulai
berindurasi lebih dari 72 jam sesudah perlakuan uji, ini adalah hasil positif. Faktor –
factor yang terkait hospes, termasuk umur yang amat muda, malnutrisi, immunosupresi
karena penyakit atau obat – obat, infeksi virus, vaksin virus hidup, dan tuberculosis yang
berat, dapat menekan reaksi uji kulit pada anak yang terinfeksi dengan M.tuberculosis.
Terapi kortikosteroid dapat menurunkan reaksi erhadap tuberculin, dengan pengaruh
yang sangat bervariasi10.

Interpretasi hasil test Mantoux9:


1. Indurasi 10 mm atau lebih → reaksi positif
Arti klinis adalah sedang atau pernah terinfeksi dengan kuman Mycobacterium
tuberculosis.
2. Indurasi 5 – 9 mm → reaksi meragukan
Arti klinis adalah kesalahan teknik atau memang ada infeksi dengan Mycobacterium
atypis atau setelah BCG. Perlu diulang dengan konsentrasi yang sama. Kalau reaksi
kedua menjadi 10 mm atau lebih berarti infeksi dengan Mycobacterium tuberculosis.
Kalau tetap 6 – 9 mm berarti cross reaction atau BCG, kalau tetap 6 – 9 mm tetapi ada
tanda – tanda lain daritubeculosis yang jelas maka harus dianggap sebagai mungkin
sering kali infeksi dengan Mycobacterium tuberculosis.
3. Indurasi 0 – 4 mm → reaksi negatif.
Arti klinis adalah tidak ada infeksi dengan Mycobacterium tuberculosis.
Reaksi positif palsu terhadap tuberculin dapat disebabkan oleh sensitisi silang
terhadap antigen mikobakteria non tuberculosis. Reaksi silang ini biasanya sementara
selama beberapa bulan sampai beberapa tahundan menghasilkan indurasi kurang dari 10
– 12 mm. Vaksinasi sebelumnya (BCG) juga dapat menimbulkan reaksi terhadap uji
kulit tuberculin. Sekitar setengah dari bayi yang mendapat vaksin BCG tidak pernah
menimbulkan uji kulit tuberculin reaktif, dan reaktivitas akan berkurang 2 – 3 tahun
kemudian pada penderitayang pada mulanya memiliki uji kulit positif. 9

11
d. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi diambil dari rontgen dada dengan proyeksi postero-anterior
(PA). Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih
dibanding pemeriksaan sputum, tapi dalam beberapa hal pemeriksaan radiologis
memberikan beberapa keuntungan seperti tuberkulosis pada anak – anak dan
tuberculosis millier. Pada kedua hal tersebut diagnosa dapat diperoleh melalui
pemeriksaan radiologi dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif.
Pada anak dengan uji tuberkulin positif dilakukan pemeriksaan radiologis. Gambaran
radiologis paru yang biasanya dijumpai pada tuberkulosis paru:
1. Kompleks primer dengan atau tanpa pengapuran.
2. Pembesaran kelenjar paratrakeal.
3. Penyebaran milier.
4. Penyebaran bronkogen
5. Atelektasis
6. Pleuritis dengan efusi.
Pemeriksaan radiologis pun saja tidak dapat digunakan untuk membuat diagnosis
tuberkulosis, tetapi harus disertai data klinis lainnya.

e. Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya kadang-kadang
meragukan. Pada saat tuberkulosis baru dimulai ( aktif ) akan didapatkan sedikit
leukosit yang sedikit meningkat. Jumlah limfosit masih normal. Laju Endap Darah
mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan
laju endap darah mulai turun kearah normal lagi.
2. Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman BTA,
diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu pemeriksaan sputum
juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan, tetapi
kadang – kadang tidak mudah untuk menemukan sputum terutama penderita yang
tidak batuk atau pada anak –anak. Padapemeriksaan sputum kurang begitu berhasil
karena pada umumnya sputum langsung ditelan, untuk itu dibutuhkan fasilitas
laboratorium berteknologi yang cukup baik, yang berarti membutuhkan biaya yang
12
banyak Adapun bahan – bahan yang digunakan untuk pemeriksaan bakteriologi
adalah :
1. Bilasan lambung
2. Sekret bronkus
3. Sputum
4. Cairan pleura
5. Liquor cerebrospinalis
6. Cairan asites
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang – kurang nya ditemukan tiga
batang kuman BTA pada suatu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman
dalam 1 ml sputum.

2.7 Pengobatan Tuberkulosis


A. PENCEGAHAN
1. Vaksinasi BCG
Pemberian BCG meninggikan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil tuberkulosis
yang virulen. Imunitas timbul 6 – 8 minggu setelah pemberian BCG. Imunitas yang
terjadi tidaklah lengkap sehingga masih mungkin terjadi super infeksi meskipun
biasanya tidak progresif dan menimbulkan komplikasi yang berat.
2. Kemoprofilaksis
- Kemoprofilaksis primer diberikan pada anak yang belum terinfeksi (uji tuberkulin
negatif) tetapi kontak dengan penderita TB aktif. Obat yang digunakan adalah INH 5
– 10 mg/kgBB/hari selama 2 – 3 bulan.
- Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak dengan uji tuberkulin positif tanpa
gejala klinis, dan foto paru normal, tetapi memiliki faktor resiko menjadi TB aktif,
obat yang digunakan adalah INH 5 – 10 mg/kgBB/hari selama 6 –12 bulan.1

B. PENATALAKSANAAN5
Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat. Setelah
pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang.
Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan
pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologic tidak
menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.

13
Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal/ intensif (2 bulan pertama) dan
sisanya sebagai tahap lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat
pada fase awal/intensif (2 bulan pertama) dan dilanjutkan dengan 2 macam obat pada fase
lanjutan (4 bulan, kecuali pada TB berat). OAT pada anak dapat diberikan setiap hari, baik
pada intensif maupun tahap lanjutan.
Untuk menjamin ketersediaan OAT untuk setiap pasien, OAT disediakan dalam bentuk
paket. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket OAT anak
berisi obat untuk tahap intensif, yaitu Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z),
sedangkan untuk tahap lanjutan, yaitu Rifampisin dan isoniazid.

Nama Dosis Dosis


(mg/kgBB/hari) maksimal (mg/hari)
Isoniazid (INH) 5-15 mg/kgBB/hari 300 mg/hari
Rifampisin (RIF) 10-20 mg/kgBB/hari 600 mg/hari
Pirazinamid (PZA) 25-35 mg/kgBB/hari 2000 mg/hari
Streptomisin (harus parenteral) 15-40 mg/kgBB/hari 1250 mg/hari
Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari 1000 mg/hari

Paduan OAT disediakan dalam bentuk kombinasi dosis tetap = KDT. Tablet KDT untuk
anak tersedia dalam 2 macam tablet, yaitu :
- Tablet RHZ yang merupakan kombinasi dari R (Rifampisin), H (Isoniazid), dan Z
(Pirazinamid) yang digunakan pada tahap intensif.
- Tablet RH yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin) dan H (Isoniazid)
yang digunakan pada tahap lanjutan.
Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan anak dan
komposisi dari tablet KDT tersebut.
Dosis KDT pada anak
Berat badan (KG) 2 bulan tiap hari 4 bulan tiap hari
RHZ (75/50/150) RH (75/50)
5-9 1 Tablet 1 Tablet
10-14 2 Tablet 2 Tablet

14
15-19 3 Tablet 3 Tablet
20-32 4 Tablet 4 Tablet
Keterangan :
- Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk kerumah sakit
- Anak dengan BB > 33 kg, disesuaikan dengan dosis dewasa
- Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
- OAT KDT dapat diberikan dengan cara ditelan secara utuh atau digerus
Bila paket KDT belum tersedia dapat digunakan paket OAT Kombipak anak dosisnya
Di Indonesia digunakan sistem skoring TB anak untuk menentukan tatalaksana yang akan
diberikan kepada anak tersebut :

Gambar 2. Skoring Tuberkulosis pada Anak

Algoritma Penatalaksanaan TB Anak

15
Gambar 3. Penatalaksanaan Tuberkulosis pada Anak sesuai dengan Sistem Skoring

Lalu ditentukan apabila skor ≥ 6 maka diberikan terapi OAT selama 2 bulan dan
kemudian dilakukan pemeriksaan ulang untuk melihat terapi OAT tersebut memberikan
respon perbaikan pada anak. Jika terjadi respon perbaikan makan terapi OAT diteruskan,
sedangkan jika respons negative maka dipikirkan adanya faktor lain seperti gizi buruk,
pengobatan yang tidak rutin, ataupun TB multidrug resistance (TB MDR).

Terapi TB terdiri dari 2 fase :

1. Fase intensif : diberikan 3-5 OAT selama 2 bulan awal


2. Fase lanjutan : paduan 2 OAT (INH-Rifampisin) hingga 6-12 bulan.

Pada anak OAT diberikan secara harian baik pada fase intensif maupun fase lanjutan.

 TB paru : INH, Rifampisin, dan Pirazinamid selama 2 bulan fase intensif, lalu
dilanjutkan dengan INH dan RIfampisin hingga genap 6 bulan tera
 pi (2RHZ-4HR)
 TB paru berat (milier, destroyed lung) dan TB ekstraparu : diberikan 4-5 OAT selama
2 bulan fase intensif, lalu dilanjutkan dengan INH dan Rifampisin hingga genap 9-12
bulan terapi.
 TB kelenjar superficial : terapinya sama dengan TB paru.
 TB milier dan efusi pleura TB diberikan prednisone 1-2 mg/kgBB/hari selama 2
minggu, lalu dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu (total pemberian waktu 1
bulan).

16
OAT Kombipak fase awal/intensif pada anak
Jenis obat BB <10 KG BB 10-20 KG BB 20-32 KG
(KOMBIPAK)
Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Dosis OAT Kombipak fase lanjutan pada anak


Jenis obat BB <10 KG BB 10-20 KG BB 20-32 KG
(KOMBIPAK)
Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg

C. KOMPLIKASI 3
Komplikasi yang dapat timbul antara lain :
 TB milier

 Meningitis TB

 Efusi pleura

 Pneumotoraks

 Bronkiektasis

 Atelektasis

D. PROGNOSIS 6
Dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur anak, lamanya mendapat infeksi, keadaan
gizi, keadaan sosial ekonomi keluarga, diagnosis dini, pengobatan adekuat dan adanya
infeksi lain seperti morbili, pertusis, diare yang berulang dan lain-lain.

17
2.9 Pedoman Penyelenggaraan P2TB

Puskesmas sebagai suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan


pusat pengembangan kesehatan masyarakat, juga membina peran serta masyarakat,
disamping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada
masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok, mempunyai
wewenang dan tanggung jawab atas pemeliharaan kesehatan masyarakat. Salah satu
upaya kegiatan pokok di puskesmas adalah program pengendalian dan pencegahan
TB Paru pada masyarakat. Penanggulangan tuberculosis di Puskesmas Pasar
Ambon menggunakan Pedoman yang digunakan secara nasional yaitu Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 67 Tahun 2016 (Kemenkes RI, 2016).

A. Penanggulangan TB diselenggarakan melalui kegiatan:


1. promosi kesehatan
Promosi Kesehatan dalam Penanggulangan TB ditujukan untuk:
a. meningkatkan komitmen para pengambil kebijakan
b. meningkatkan keterpaduan pelaksanaan program
c. memberdayakan masyarakat.

2. surveilans TB
Surveilans TB merupakan pemantauan dan analisis sistematis terus menerus
terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit TB atau masalah kesehatan
dan kondisi yang mempengaruhinya untuk mengarahkan tindakan penanggulangan
yang efektif dan efisien.

3. pengendalian faktor risiko


Pengendalian faktor risiko TB dilakukan dengan cara:
a. membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat
b. membudayakan perilaku etika berbatuk
c. melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan dan lingkungannya
sesuai dengan standar rumah sehat
d. peningkatan daya tahan tubuh
e. penanganan penyakit penyerta TB

18
f. penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TB di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan, dan di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

4. penemuan dan penanganan kasus TB


Penemuan kasus TB secara aktif sebagaimana dimaksud adalah:
a. investigasi dan pemeriksaan kasus kontak
b. skrining secara massal terutama pada kelompok rentan dan kelompok berisiko
c. skrining pada kondisi situasi khusus
Penemuan kasus TB secara pasif sebagaimana dimaksud dilakukan melalui
pemeriksaan pasien yang datang ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

5. pemberian kekebalan
Pemberian kekebalan dalam rangka Penanggulangan TB dilakukan melalui
imunisasi BCG terhadap bayi.

6. pemberian obat pencegahan


Pemberian obat pencegahan TB ditujukan pada:
a. anak usia di bawah 5 (lima) tahun yang kontak erat dengan pasien TB aktif
b. orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang tidak terdiagnosa TB
c. populasi tertentu lainnya

B. Tujuan Penyelenggaraan P2TB


a. Tujuan umum
Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka
pencapaian tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan drajat
kesehatan masyarakat.

b. Tujuan Khusus :
1. Meningkatkan penjaringan suspek dan penemuan kasus baru
BTA +
2. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit TBC
3. Mengurangi angka kejadian TBC di masyarakat melalui
penemuan kasus secara dini
4. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam penemuan kasus

19
baru TBC
5. Membentuk patisipan aktif ( Toam, Toga, Kader) untuk
mendukung penemuan kasus

C. Ruang Lingkup
a. Pelayan P2 TB dalam gedung
1. Pelayanan rawat jalan (konseling dan pemeriksaan suspek)
2. Pelayaanan rawat inap (asuhan keperawatan pada pasien suspek
maupun BTA +)

b. Pelayanan TB Paru luar gedung


1. Posyandu paru sehat
2. Community Based Approach (CBA)
3. Pelacakan TB mampir
4. Pemeriksaan kontak serumah
5. Penyuluhan TB di sekolah, kelompok masyarakat potensial,
Toma, Toga, dan Kader
D. Sasaran Program
Semua orang yang memiliki gejala TB dan penderita TB Paru yang masih
dalam masa pengobatan, paska pengobatan maupun pasien tersangka (suspek)
E. Sumber Daya
a. Sumber Daya Manusia
Pelayanan P2TB di puskesmas dikelola/dilaksanakan oleh pemegang
program TB dan dibantu 8 orang kader di tiap kelurahan.

b. Sumber Daya Sarana dan Prasarana


- Ruang Program TB Paru

- Laboratorium

F. Peran Lintas Program dan Lintas Sektor


a. Peran Lintas Program
Promkes : Mengkoordinir pelaksanaan penyuluhan kepada sasaran
masyarakat resiko tinggi. Sebagai fasilitator/narasumber

20
pada kegiatan kusus (sosialisasi TB pada tingkat sekolah,
Desa Siaga dll)

Kesling : mencegah penyakit berbasis lingkungan khususnya


pada masyarakat resiko tinggi tertular TB Paru

KIA : bertanggung jawab terhadap Ibu


Hamil dengan resiko TB Paru

P2M : Mengkoordinasi sub program TB


Paru di Puskesmas

Perkesmas: Melakukan pembinaan pada keluarga resiko tinggi


baik penderita TB+ maupun kontak serumah

Remasila : Bersama-sama melakukan pembinaan pada lansia


resiko tinggi TB Paru maupun Lansia yang
memiliki resoko tinggi penularan TB Paru.
UKS : Bersama-sama dengan petugas UKS melaksanakan
sosilaisasi tentang TB Paru

Laboratorium: Menentukan pemeriksaan Microscopi dalam


pemeriksaan BT
b. Peran Lintas Sektoral
Camat : Membuat kebijakan yang terkait dengan program TB
Paru sebagai upaya peningkatan status kesehatan di
wilayahnya. Menjamin tersedianya dana Desa untuk
kegiatan pelayanan Posyandu Paru Sehat, Desa Siaga
Sehat Jiwa melalui ADD. Melakukan pembinaan pada
desa-desa yang bermasalah di bidang kesehatan,
berdasarkan hail minilokakarya lintas sektoral atau
laporan langsung dari puskesmas.

21
Desa : Menjamin terlaksananya pelayanan kesehatan rutin di
Desa seperti posyandu Paru Sehat, pemeriksaan kontak
serumah dan pelacakan kasus tersangka TB Paru (
Suspek ).Menyediakan sarana dan prasarana termasuk
kesiapan Kader di Desa, Sekolah.

Sekolah: Memfasilitasi kegiatan di Sekolah

PKK : Betanggung jawab terhadap peningkatan kapasitas Kader


dalam membantu memberikan pelayanan dan melakukan
pembinaan pada keluarga resiko tinggi TB

G. Metode dan tehnik yang digunakan


a. Metode yang digunakan :
- Pendekatan kelompok melalui pemberdayaan masyarakat atau

komunitas di Desa
- Advokasi dan lobi pada penguasa Wilayah

- Penyuluhan dan konsling

- Kunjungan rumah

b. Pemanfaatan Teknologi
- Media komunikasi HP untuk melakukan komunikasi dengan Kader atau

sasaran
- Memanfaatkan Komputer dengan program SITT 10, 03 untuk sistim

pelaporan

2.10 Strategi Penemuan Pasien Tuberkulosis


Strategi penemuan pasien TB di Indonesia dapat dilakukan secara pasif (di dalam
gedung) secara intensif (penguatan jejaring layanan dan kolaborasi layanan
kesehatan) maupun secara aktif (kegiatan di luar gedung) dan masif (cakupan
seluas mungkin). Kedua upaya penemuan pasien TB tersebut harus didukung
dengan kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan,
terdiagnosis dan mendapatkan pengobatan sedini mungkin (Kemenkes RI, 2016).

22
1. Penemuan pasien Tuberkulosis secara pasif-intensif
Kegiatan penemuan yang dilaksanakan di dalam fasilitas kesehatan dengan
memperkuat jejaring layanan TB melalui kegiatan Public-Private Mix (PPM)
di tingkat kabupaten/kota dan memperkuat kolaborasi layanan antara layanan
TB dengan layanan kesehatan lain yang diselenggarakan di fasyankes
(Kemenkes RI, 2013).
a. Jejaring layanan
Strategi peningkatan penemuan pasien TB di fasilitas layanan kesehatan
(fasyankes) melalui kegiatan penguatan jejaring eksternal antar
fasyankes yang memberikan layanan diagnosis TB untuk menghindari
terjadinya miss-opportunity yang disebabkan karena keterbatasan sarana
diagnosis yang dimiliki oleh fasyankes yang melakukan kontak pertama
dengan pasien TB. Kegiatan ini bertujuan untuk memastikan semua
pasien TB akan mendapatkan layanan diagnosis yang bermutu dan sesuai
standar dimanapun pasien memilih untuk berobat. Sesuai dengan
Permenkes No.67/2016 semua kasus TB yang ditemukan dan diobati di
fasyankes wajib dilaporkan kepada program nasional pengendalian TB.
b. Kolaborasi layanan
Strategi peningkatan penemuan pasien TB melalui penguatan jejaring
internal antara unit-unit layanan yang mungkin akan menemukan terduga
atau pasien TB misalnya di poliklinik umum, poliklinik paru, poliklinik
penyakit dalam dan poliklinik anak. Kegiatan ini juga bisa berupa
kegiatan integrasi dan kolaborasi penemuan pasien TB dengan
penyelenggaraan layanan kesehatan selain TB yang tersedia di
fasyankes, terutama di unit layanan kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan kepada populasi kunci yang rentan untuk TB
misalnya unit layanan HIV, DM (Diabetes Mellitus), Gizi, Lansia, klinik
berhenti merokok, klinik KIA dan ANC. Penguatan kolaborasi layanan
TB secara manajerial juga bisa dilaksanakan dengan penerapan sistem
manajemen layanan kesehatan yang terintegrasi di fasyankes misalnya
dengan penerapan Pendekatan Praktis Kesehatan Paru/ PPKP (PAL =
Practical Approach to Lung health), Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS), Manajemen Terpadu Dewasa Sakit (MTDS) (Kemenkes RI,
2013).

23
2. Penemuan pasien Tuberkulosis secara aktif dan/atau masif berbasis
keluarga dan masyarakat
Kegiatan ini merupakan penemuan terduga atau pasien TB yang dilakukan di
luar fasyankes melalui beberapa upaya penjangkauan secara aktif oleh
petugas kesehatan atau potensi kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk
menemukan dan merujuk terduga TB ke fasyankes untuk penegakan
diagnosis (Kemenkes RI, 2015).

Kegiatan ini harus terintegrasi dengan gerakan masyarakat dan pendekatan


keluarga sehat untuk bisa menggerakkan atau melibatkan secara aktif semua
potensi kesehatan masyarakat yang ada di suatu wilayah antara lain: Kader
Kesehatan, Kader dari UKBM (Posyandu, Posbindu, Pos TB desa,
Poskesdes dan Polindes), kader organisasi kemasyarakatan, tokoh
masyarakat, tokoh agama, kelompok dukungan pasien dan kelompok peduli
TB lainnya. Kegiatan penemuan pasien TB secara aktif berbasis keluarga
dan masyarakat dapat berupa (Kemenkes RI, 2013):

a. Investigasi kontak
Kegiatan investigasi kontak diselenggarakan melalui kolaborasi antara
pemberi layanan kesehatan dengan potensi kesehatan masyarakat.
Dilakukan pada paling sedikit 10 - 15 orang kontak erat dengan pasien
TB. Kontak erat adalah orang yang tinggal serumah (kontak serumah)
maupun orang yang berada di ruangan yang sama dengan pasien TB aktif
(detected cases/ confirm cases) yang ternotifikasi selama satu periode
tertentu, yaitu sekurang-kurangnya selama 8 jam sehari selama satu
bulan atau lebih (Kemenkes RI, 2013).

b. Penemuan aktif pada populasi kunci di masyarakat


Penemuan aktif pada populasi kunci di masyarakat dilakukan kepada
orang-orang dengan resiko TB seperti anak usia <5 tahun, orang dengan
gangguan sistem imunitas, malnutrisi, lansia, wanita hamil, perokok dan
mantan penderita TB yang mengakses layanan di UKBM terkait
misalnya di Posyandu, Posbindu, Polindes dan Poskesdes. Kegiatan ini

24
diselenggarakan di daerah-daerah beresiko tinggi untuk TB, misalnya
dilaksanakan di daerah KUPAT-KUMIS (KUmuh PAdaT dan KUmuh
MISkin) dan daerah dengan beban TB yang tinggi (di atas angka estimasi
insidensi TB nasional). Kegiatan dilaksanakan dengan dua metode, yaitu
(Kemenkes RI, 2016):
 Metode skrining/ penapisan gejala pada populasi kunci yang datang
ke layanan UKBM;
 Metode penelusuran terhadap kondisi-kondisi tertentu yang mungkin
dipengaruhi oleh terjadinya TB, misalnya pada anak batita/balita
dengan grafik tumbuh-kembang di bawah garis merah, Lansia yang
mengalami penurunan berat badan atau pada pasien DM yang tidak
terkontrol;
Hasil temuan dari UKBM tersebut dirujuk ke fasyankes untuk dilakukan
evaluasi untuk penegakan diagnosis.
c. Penemuan di tempat khusus
Penemuan aktif yang dilakukan di tempat khusus yaitu pada lingkungan
yang mudah terjadi penularan TB yaitu Lapas/Rutan, RS Jiwa, tempat
kerja, asrama, pondok pesantren, sekolah, panti jompo, panti sosial, dan
tambang. Kegiatan penemuan aktif di tempat khusus dapat dilakukan
dengan skrining massal tahunan, skrining kesehatan bagi warga baru,
skrining kontak dan pemantauan batuk secara rutin. Penemuan aktif
ditempat khusus membutuhkan kolaborasi yang erat antara stakeholder
yang terkait. Semua hasil terkait kegiatan penemuan aktif di tempat
khusus harus dikelola oleh Puskesmas setempat sebagai penanggung
jawab UKM di wilayah tersebut (Kemenkes RI, 2016).
d. Penemuan di populasi berisiko
Kegiatan penemuan aktif yang dilakukan secara berkala pada anggota
masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah atau tempat yang memiliki
akses terbatas ke layanan kesehatan, misalnya: tempat penampungan
pengungsi, daerah kumuh, dan DTPK (Daerah Terpencil, Perbatasan dan
Kepulauan). Upaya ini dilakukan dengan kegiatan ‘jemput bola’ oleh
petugas kesehatan dibantu potensi kesehatan masyarakat. Metode
kegiatan bisa dilakukan dengan mengirimkan sediaan dahak dari terduga
TB yang ditemukan selama kegiatan ke fasyankes pemeriksa maupun

25
dengan mendatangkan sarana diagnostik TB yang bersifat mobile
(Kemenkes RI, 2015).
e. Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat
Dilaksanakan secara rutin oleh anggota keluarga maupun kader
kesehatan yang melakukan skrining gejala pengawasan batuk terhadap
orang yang tinggal di lingkungannya dan menyarankan orang dengan
batuk untuk memeriksakan diri ke fasyankes terdekat. Kegiatan
pemantauan batuk ini bisa diintegrasikan kepada kegiatan kader
kesehatan yang sudah rutin berjalan misalnya kegiatan ketuk pintu kader
kesehatan, kegiatan kunjungan rumah kader jumantik, kader posyandu
dan posbindu serta kegiatan upaya kesehatan berbasis masyarakat
(UKBM) yang lain. Selain mendukung penemuan kasus TB, kegiatan ini
akan sangat bermanfaat dalam rangka penyampaian edukasi mengenai
TB terhadap anggota keluarga dan masyarakat sehingga akan terbentuk
awareness tentang TB di kemudian hari (Kemenkes RI, 2015; Kemenkes
RI, 2016).
f. Penemuan aktif berkala
Metode ini dilakukan oleh Puskesmas pada wilayah yang teridentifikasi
sebagai daerah kantung TB, yaitu daerah yang memiliki jumlah pasien
yang banyak apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada
(Kemenkes RI, 2016).

Pada daerah kantong ini dilakukan kegiatan skrining aktif setiap 6 bulan
sekali sampai tidak ditemukan kasus TB pada kegiatan penemuan aktif
berkala 2 kali berturut-turut. Kegiatan penemuan secara aktif berkala
akan sangat efektif apabila dipadukan dengan kegiatan penemuan aktif
berbasis keluarga dan masyarakat (Kemenkes RI, 2015).
g. Skrining masal
Kegiatan penemuan aktif melalui skrining massal yang dilaksanakan
sekali setahun untuk meningkatkan penemuan pasien TB di wilayah yang
penemuan kasusnya masih sangat rendah. Puskesmas bekerja sama
dengan aparat desa/ kelurahan, kader kesehatan dan potensi masyarakat
melakukan skrining gejala TB secara masif di masyarakat dan
membawanya ke layanan kesehatan luar gedung (Kemenkes RI, 2016).

26
2.11 Upaya Pengendalian TB
Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi Directly Observed
Treatment Short-course (DOTS) sebagai kerangka dasar dan memerhatikan strategi
global untuk mengendalikan TB. Ada enam komponen dalam the Stop TB Strategy
(WHO, 2015):
1. Memperluas dan meningkatkan kualitas DOTS yang bermutu
2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan masyarakat
miskin serta rentan lainnya
3. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajmen
program pengendalian TB
4. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela),
perusahaan dan swasta melalui pendekatan Pelayanan TB Terpadu Pemerintah
dan Swasta
5. Memberdayakan masyarakat komunitas dan pasien TB
6. Mendorong penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan informasi strategis

Fokus utama DOTS, yaitu penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan
kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini kemudian akan memutus rantai
penularan TB sehingga menurunkan insiden TB di masyarakat. Upaya pencegahan
penularan TB dilakukan dengan cara terbaik yaitu menemukan dan menyembuhkan
pasien. Adapun lima komponen kunci dari strategi DOTS itu sendiri (WHO, 2015),
yaitu:

1. Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan


2. Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin
mutunya
3. Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien
4. Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif
5. Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan
penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.

27
Upaya pengendalian faktor risiko TB juga dilakukan bertujuan mengurangi hingga
mengeleminasi penularan dan kejadian sakit TB di masyarakat. Upaya yang
dilakukan antara lain (Permenkes RI, 2016):
a. Pengendalian Kuman Penyebab TB
1. Mempertahankan cakupan pengobatan dan keberhasilan pengobatan tetap
tinggi
2. Melakukan penatalaksanaan penyakit penyerta yang mempermudah
terinfeksi TB, misalnya HIV, diabetes, dll.

b. Pengendalian Faktor Risiko Individu


1. Membudayakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), makan makanan
bergizi, dan tidak merokok

2. Membudayakan etika batuk dan cara membuang dahak bagi pasien TB

3. Meningkatkan imunitas tubuh melalui perbaikan nutrisi pada populasi


terpapar TB

4. Pencegahan pada populasi rentan


a) Vaksinasi BCG pada bayi baru lahir
b) Pemberian profilaksis INH pada anak di bawah lima tahun
c) Pemberian profilaksis INH pada ODHA selama 6 bulan dan diulang
setiap 3 tahun
d) Pemberian profilaksis INH pada pasien dengan indikasi klinis
lainnya seperti silikosis

c. Pengendalian Faktor Lingkungan


1. Mengupayakan lingkungan sehat
2. Melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan dan
lingkungannya sesuai persyaratan baku rumah sehat

d. Pengendalian Intervensi Daerah Berisiko Penularan


1. Kelompok khusus maupun masyarakat umum yang berisiko tinggi penularan
TB
2. Penemuan aktif dan masif di masyarakat (daerah terpencil, belum ada
program, padat penduduk)

28
e. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI), empat pilar:
1. Pengendalian secara manajerial
2. Pengendalian secara administratif
3. Pengendalian lingkungan fasyankes
4. Pemanfaatan alat pelindung diri

2.12. Pelaksanaan Program TB dimasa pandemik COVID-19


Pencegahan dan pengendalian penyakit menular TB
a. Pelayanan TB tetap berjalan dengan mempertimbangkan upaya untuk
memisahkan tempat layanan TB dan COVID-19.
b. Interval pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diperpendek melihat
kondisi pasien sesuai dengan Protokol Layanan TBC dalam Masa Pandemi
COVID-19 yang berlaku dengan memperkuat Pengawas Minum Obat (PMO).
c. Pemantauan pengobatan memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi.
Beberapa hal penting yang perlu disampaikan ke pasien TB rawat jalan adalah :
a. Semua pasien TB dihimbau untuk tetap tinggal di rumah, menjaga social
distancing dan menghindari tempat tempat yang dikunjungi banyak orang
b. Pasien TB sensitif obat pada fase pengobatan intensif, pemberian OAT diberikan
dengan interval tiap 14 - 28 hari.
c. Pasien TB sensitif obat pada fase pengobatan lanjutan, pemberian OAT
diberikan dengan interval tiap 28 - 56 hari.
d. Pasien TB resistan obat pada fase pengobatan intensif, pemberian OAT oral
diberikan dengan interval tiap 7 hari.
e. Pasien TB resistan obat pada fase pengobatan lanjutan, pemberian OAT oral
diberikan dengan frekuensi tiap 14 - 28 hari dengan memperkuat PMO dan
menggunakan modalitas teknologi digital dalam memantau pengobatan.
f. Interval pemberian OAT bisa diperpendek melihat kondisi pasien.
g. Pasien TB resistan obat yang masih menggunakan terapi injeksi tetap melakukan
kunjungan setiap hari ke faskes yang ditunjuk mengikuti prinsip yang sudah
dijelaskan sebelumnya. Diupayakan sebisa mungkin injeksi dilakukan di faskes
terdekat dari rumah pasien (pemerintah/swasta) dengan tetap memperhatikan
keamanan petugas di faskes tujuan.

29
h. Pasien dan keluarganya harus diberikan informasi terkait efek samping dan
tanda-tanda bahaya yang mungkin terjadi dan apa yang harus dilakukan jika
kondisi tersebut muncul.
i. Pasien TB yang masih batuk agar tetap memakai masker baik di rumah maupun
saat keluar rumah, dan disarankan untuk memiliki ruang tidur yang terpisah dengan
anggota keluarga lainnya
j. Setiap pasien TB harus mempunyai 2 nomor telepon yang bisa dihubungi yaitu
nomor pasien dan nomer Pengawas Minum Obat. Petugas juga harus memberikan
nomor telepon kepada pasien dan keluarganya untuk memberikan akses apabila
terjadi kejadian efek samping obat atau kondisi lain yang memerlukan bantuan
medis dan penyesuaian pengobatan (pindah / pergi jarak jauh).
k. Manajer kasus dan pasien supporter tetap menjalankan fungsinya dengan
melakukan penyesuaian dengan kontak tidak langsung melalui telefon atau media
komunikasi lain yang lebih efektif.

Pemberian Terapi Pencegahan TB di Puskesmas Pasar Ambon diberikan 1 bulan


sekali dengan kewajiban lapor perkembangan ke petugas kesehatan melalui telefon
atau sarana komunikasi lain minimal setiap bulan sekali. Pasien atau keluarga
proaktif menghubungi petugas kesehatan jika ada keluhan atau efek samping obat.

30
BAB III
METODE EVALUASI

3.1 Pengumpulan Data


Pengumpulan data yang dilakukan berupa pengumpulan data primer dan sekunder.
Sumber data primer diperoleh melalui wawancara dengan koordinator pelaksana
Program Pengendalian Tuberkulosis di Puskesmas Pasar Ambon sedangkan data
sekunder diperoleh dari profil Puskesmas Pasar Ambon dan data pelaporan Sasaran
Terduga TBC dan Kasus TBC di Puskesmas di kota Bandar Lampung tahun 2021.

3.2 Cara Analisis


Evaluasi program pengendalian penyakit menular di Puskesmas Pasar Ambon
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Menetapkan indikator dan tolak ukur dari unsur keluaran
Langkah pertama yaitu menetapkan indikator dan tolak ukur atau standar yang
ingin dicapai, sebelum menentukan suatu masalah dari pencapaian hasil output.
Indikator dan tolak ukur tersebut didapat dari berbagai rujukan, rujukan
tersebut harus realistis dan sesuai sehingga layak digunakan untuk mengukur.
b. Membandingkan pencapaian masing-masing indikator keluaran dengan tolak
ukurnya. Langkah kedua yaitu membandingkan hasil pencapaian . program
(output) dengan tolak ukurnya. Pada langkah ini kita dapat menentukan
masalah, yaitu jika terdapat kesenjangan antara tolak ukur dengan hasil
pencapaian pada unsur keluaran. Jika terdapat kesenjangan antara tolak ukur
dengan hasil pencapaian pada unsur keluaran maka disebut sebagai masalah.
c. Menetapkan prioritas masalah
Langkah selanjutnya setelah ditemukan adanya masalah dan mungkin saja tidak
hanya satu masalah yang ada, perlu dibuat mengenai prioritas dari masalah-
masalah tersebut. Hal ini bertujuan untuk menentukan satu masalah yang akan
dipecahkan terlebih dahulu. Metode pemecahan masalah yang digunakan, yaitu
metode Urgency, Seriousness, dan Growth (U x S x G):
1. Urgency: menilai seberapa mendesak masalah tersebut harus dibahas jika
dikaitkan dengan waktu yang tersedia.

31
2. Seriousness: melihat seberapa serius atau fatal pengaruh yang disebabkan
masalah tersebut.
3. Growth: menilai aspek kemungkinan meluasnya atau berkembangnya.
masalah atau kemungkinan timbulnya masalah.
Untuk sistem skoringnya, yaitu nilai 1 (rendah), 2 (sedang), 3 (cukup), 4
(tinggi), dan 5 (sangat tinggi).
d. Identifikasi penyebab masalah
Langkah selanjutnya dari prioritas masalah yang telah ditentukan, perlu
diidentifikasi mengenai penyebab-penyebab masalah yang mungkin. Langkah
ini dapat dilakukan dengan membandingkan antara tolak ukur atau standar
komponen input, proses, lingkungan dan umpan balik dengan pencapaian yang
ada di lapangan. Bila terdapat kesenjangan, penyebab masalah tersebut dapat
diprioritaskan. Adapun metode yang dapat digunakan yaitu menggunakan
diagram fishbone.
Konsep dasar dari diagram fishbone, yaitu permasalahan mendasar diletakkan
di bagian kanan dari diagram (bagian kepala dari kerangka tulang ikan),
sedangkan penyebab permasalahan di bagian sirip dan durinya. Dalam analisis
penyebab masalah digunakan kategori 5 M (Man, Money, Material, Method,
Machine). Setelah diidentifikasi faktor-faktor penyebab masalah, selanjutnya
dapat ditentukan prioritas penyebab masalah tersebut dengan menggunakan
teknik kriteria matriks.
Kriteria matriks dibedakan menjadi tiga macam sebagai berikut:
1. Importancy (I), atau pentingnya masalah. Terdiri dari beberapa unsur:
a) Besarnya masalah (Prevalence/P)
b) Akibat yang ditimbulkan oleh masalah (Severity/S)
c) Kenaikan besarnya masalah (Rate of Increase /RI)
d) Derajat keinginan masyarakat yang tidak terpenuhi (Degree of Unmeet
Need/DU)
e) Keuntungan sosial karena selesainya masalah (Social Benefit/SB)
f) Rasa prihatin masyarakat terhadap masalah (Public concern/PB), dan
g) Suasana politik (Political Climate/PC).
2. Techinal feasibility (T), atau kelayakan teknologi: ketersediaan teknologi
dalam mengatasi suatu masalah.

32
3. Resource availability (R), atau sumber daya yang tersedia. Sumber daya
yang dimaksud yaitu tenaga (man), dana (money), dan sarana (material)
yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut.
Selanjutnya dalam perhitungan digunakan rumus (I x T x R) dengan
menggunakan skoring nilai 1 (tidak penting) hingga 5 (sangat penting).
Penyebab masalah yang dipilih sebagai prioritas adalah penyebab masalah
dengan nilai tertinggi.
e. Menyusun alternatif pemecahan masalah
Setelah ditentukan prioritas penyebab masalah, dapat dilakukan penyusunan
mengenai alternatif pemecahan masalah tersebut. Alternatif pemecahan
masalah ini ditentukan dengan melihat situasi dan kondisi fasilitas kesehatan di
Puskesmas Pasar Ambon.
f. Menentukan prioritas cara pemecahan masalah
Satu cara pemecahan masalah, untuk masing-masing penyebab masalah, yang
dianggap paling baik dan memungkinkan dipilih dari berbagai alternatif cara
pemecahan masalah yang telah dibuat. Penilaian efektifitas jalan keluar dapat
dilakukan dengan kriteria tambahan sebagai berikut.

1. Besarnya masalah yang dapat diselesaikan (Magnitude/M)


Semakin besar masalah yang dapat diatasi maka semakin tinggi prioritas
jalan keluar tersebut.
2. Pentingnya jalan keluar (Importancy/I)

Pentingnya jalan keluar dikaitkan dengan kelangsungan masalah. Semakin baik


dan sejalan selesainya masalah maka semakin penting jalan keluar tersebut.

3. Sensitifitas jalan keluar (Vulnerability/V)

Sensitifitas dikaitkan dengan kecepatan jalan keluar dalam mengatasi masalah.


Semakin cepat masalah teratasi maka semakin sensitif jalan keluar tersebut.
Selanjutnya, nilai efisiensi (efficiency) untuk setiap alternatif jalan keluar
ditetapkan. Nilai efisiensi biasanya dikaitkan dengan biaya (cost) yang
diperlukan untuk melaksanakan jalan keluar. Jika biaya yang diperlukan
semakin besar, jalan keluar tersebut semakin tidak efisien. Pada masing-masing
faktor diberikan angka 1 (biaya paling sedikit) sampai angka 5 (biaya paling
besar). Nilai prioritas (P) dihitung untuk setiap alternatif jalan keluar. Hasil

33
perkalian nilai MxIxV dibatasi dengan C. Jalan keluar dengan nilai P (prioritas)
tertinggi adalah prioritas jalan keluar terpilih. Secara matematis, prioritas
alternatif jalan keluar dapat dihitung dengan rumus P=(M x I x V)/C.

3.3 Diagram Fishbone


Diagram fishbone digambarkan sebagai diagram sebab akibat yang memperlihatkan
hubungan antara masalah dengan semua faktor penyebab yang mungkin
memengaruhi masalah tersebut. Diagram ini ditemukan oleh Kaoru Ishikawa
sehingga disebut juga diagram “Ishikawa” atau diagram “fishbone” atau “tulang
ikan" karena tampak mirip dengan tulang ikan. Langkah-langkah dalam
penyusunan dan analisis diagram fishbone, yaitu:
a. Identifikasi dan definisikan dengan jelas hasil atau akibat yang akan dianalisis
Hasil atau akibat yang akan dianalisis berarti karakteristik dari permasalahan
yang terjadi pada kerja, tujuan perencanaan, dan sebagainya. Hasil atau akibat
dapat bersifat positif (suatu tujuan, hasil) atau negatif (suatu masalah, akibat).
Kemudian hasil atau akibat tersebut didefinisikan secara operasional.
b. Gambar garis panah horisontal ke kanan yang akan menjadi tulang belakang
Deskripsi singkat hasil atau akibat yang dihasilkan oleh proses yang akan
dianalisis ditulis di sebelah kanan garis panah. Deskripsi tersebut dibuat di
dalam kotak.
c. Identifikasi penyebab‐penyebab utama yang memengaruhi hasil atau akibat
Pada garis horisontal “tulang punggung ikan”, semua proses utama dituliskan
dari kiri ke kanan. Penyebab utama ditulis di sebelah kiri kotak hasil atau
akibat. Beberapa penyebab utama ditulis di atas garis horisontal, selebihnya di
bawah garis. Penyebab-penyebab tersebut dibuat masing-masing di dalam
kotak.
d. Identifikasi faktor‐faktor yang menjadi penyebab dari penyebab utama
Identifikasi sebanyak mungkin faktor penyebab minor dari masing-masing
penyebab utama dan dituliskan sebagai sub-cabang utama.
e. Identifikasi lebih detail berbagai penyebab dan organisasikan penyebab tersebut
di bawah kategori atau penyebab yang berhubungan
f. Menganalisis diagram untuk membantu dalam mengidentifikasi kemungkinan
penyebab

34
1. Lihat keseimbangan diagram. Jika ada kelompok dengan banyak item pada
suatu area dapat mengindikasikan perlunya pengkajian lebih lanjut. Jika ada
kategori utama dengan sedikit penyebab minor dapat mengindikasikan
perlunya indentifikasi lagi penyebab minornya.
2. Lihat apakah ada penyebab yang muncul berulang, karena berpotensi
menjadi penyebab akar
3. Lihat apa yang bisa diukur dari setiap penyebab dan identifikasi penyebab-
penyebab yang dapat diambil tindakan.

3.4 Waktu dan Tempat

Data yang diambil merupakan data bulan Januari – Juni tahun 2021 di Puskesmas

Pasar Ambon.

35
BAB IV
GAMBARAN WILAYAH PUSKESMAS PASAR AMBON

4.1. Gambaran Umum


4.1.1. Sejarah Puskesmas Pasar Ambon
Dalam rangka meningkatkan kesehatan yang optimal, pemerintah telah
banyak mendirikan Sarana Kesehatan yang salah satunya adalah Puskesmas
Induk Pasar Ambon. Puskesmas Pasar Ambon didirikan pada tahun 1960
yang merupakan salah satu puskesmas yang terletak di daerah perkotaan
sebagai puskesmas rawat jalan. Puskesmas Pasar Ambon terletak di Jalan
Laksamana Malahayati yang dapat dengan mudah diakses dari beberapa
wilayah di Kota Bandar Lampung.
Puskesmas Pasar Ambon sudah banyak menjalani perubahan-perubahan
baik dalam pelayanannya maupun kepemimpinannya dari tahun 1960 sampai
sekarang sudah mengalami pergantian kepemimpinannya, yaitu:
1. dr. Samsadigun (1960–1980)
2. dr. Semeru (1980–1987)
3. dr. Haryata (1987–1988)
4. dr. Novizul Agus (1988–1988)
5. dr. M. Natsir Siduppa (1988–1990)
6. dr. Endang Budiarti (1990–1993)
7. dr. Nunik (1993–1993)
8. dr. Indrasari (1993–1993)
9. dr. Gatot Kusharyoko (1993–1998)
10. drg. L. Priyanto (1998–2001)
11. drg. Lis Yunita Pohan (2001–2007)
12. drg. Kurnia Agus jaya (2007 s/d Juni 2014)
13. dr. Desmayanti Bahri (Juni 2014 s/d sekarang)

4.1.2. Data Demografi


Puskesmas Pasar Ambon terletak di daerah perkotaan sebagai puskesmas
rawat jalan. Luas Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Ambon 256,1 Ha, yang
meliput Lima Kelurahan, yaitu Kelurahan Teluk Betung, Kelurahan

36
Pesawahan, Kelurahan Talang, Kelurahan Sumur Putri, dan Kelurahan
Gedung Pakuon.
Adapun Batas Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Ambon adalah sebagai berikut
:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Gunung Mas dan
Kecamatan Tanjung Karang Pusat.
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Bumi Waras
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Lampung dan Teluk Betung
Timur.
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Teluk Betung Barat

Gambar 1. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Ambon

Adapun Jumlah Penduduk Diwilayah Kerja Puskesmas Pasar Ambon adalah


sebagai berikut :

No. Kelurahan Jumlah Penduduk Jumlah KK


1 Pesawahan 13.405 2.790
2 Talang 9.742 2.080
3 Gedung Pakuon 5.295 1.128
4 Telukbetung 5.359 1.084
5 Sumur Putri 6.417 1.366
Puskesmas 40.218 8.448

Tabel 1. Data Penduduk di Wilayah Kerja Pasar Ambon.

37
4.1.3 Visi dan Misi Puskesmas Pasar Ambon

4.1.3.1 Visi
Terwujudnya masyarakat sehat melalui peningkatan mutu pelayanan dan
pemberdayaan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Pasar Ambon.

4.1.3.2 Misi
a. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar yang bermutu dan
berstandar.
b. Memelihara dan meningkatkan kesehatan induvidu, keluarga, kelompok
dan masyarakat beserta lingkungannya.
c. Meningkatkan kesejahteraan pegawai puskesmas
4.1.3.3 Moto dan Strategi
Motto
SEHAT ITU ASET MASA DEPAN

TATA NILAI
S : Sopan
E : Empati
H : Handal
A : Akuntable dan Adil
T : Teladan
I : Inisiatif dan Inovasi

Strategi
Untuk mencapai visi dan misi tersebut diatas, digunakan strategi;

a. Pertanggungjawaban wilayah
b. Pemberdayaan masyarakat
c. Keterpaduan lintas program
d. Keterpaduan lintas sektor
e. Sistem rujukan; rujukan upaya kesehatan perorangan dan rujukan
upaya kesehatan masyarakat

38
4.1. Sumber Daya
4.2.1 Ketenagaan
Tabel 2 : Data Ketenagaan di Puskesmas Pasar Ambon Tahun 2021.

JENIS KETENAGAAN PNS/PTT KONTRAK TKS JUMLAH KETERANGAN


Dokter Umum 6 0 6 Ka.Puskesmas
Dokter Gigi 0 1 1
Sarjana/D3
a. Sarjana Lain 3 3 Admin
b. S1 Kep/ Akper 4/2 1 /1 8
c.D4 Bidan/Akbid 2/2 ½ 7 Ka. TU
d. AKL 1 1 2
e. Akademi Analis 2 1 3
NUTRISIEN /D3 Gizi 1 1 2
SPK 0 0 0
D3 Perawat Gigi 0 1 1
Apoteker 1 1 2
Pengelola Obat 1 0 1
Pekarya kes/SMA 1/0 0/2 3
-Cleaning Servis 0 3 3
Supir Ambulance 1 1
II Puskesmas Pembantu
Ka.Puskesmas Pembantu 1 0 1
-Bidan 0 1 1
- Perawat 1 0 1
III.Poskeskel
-Bidan 3 2 5
- Perawat 5 5

Jumlah 28 28 56

4.2.2 Sarana dan Prasarana


Dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan, pasal 1 disebutkan bahwa fasilitas pelayanan
kesehatan adalah suatu alat dan atau tempat yang digunakan
untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik
promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan
oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan atau masyarakat.
Secara umum sarana dan prasaran Puskesmas Pasar Ambon
didapat dari beberapa sumber, seperti hibah masyarakat, bantuan

39
dari Pemda Tingkat II, Dinas Kesehatan dan Lainnya dimulai dari
tahun 1990 hingga tahun 2017. Mulai tahun 2012 sampai tahun
2019 Puskesmas Pasar Ambon membeli aset dari dana sumber
lainnya.
Bangunan Puskesmas Pasar Ambon sudah mengalami
perbaikan/ perubahan dari tahun 2014 sampai 2019 dalam rangka
Peningkatan Mutu Pelayanan.
Puskesmas Pasar Ambon terdiri dari 3 Gedung, yaitu:
a. Gedung A :
Pendaftaran, Ruang Tungggu Dalam, Mushola, Ruang
Rekam Medis,Ruang Kepala Puskesmas, Ruang Kepala Tata
Usaha dan Manajemen, dan Ruang Tamu Puskesmas.
b. Gedung B :
Laboratorium, Poli Lansia, Poli Umum, Poli KIA, Gudang
Obat, Poli Gigi, Klinik Akupresur, Konsultasi Gizi, Klinik
Sanitasi, Hatra, Apotik, dan Ruang Tindakan.
c. Gedung C :
Aula, Ruang PAL, Gudang dokumen, Dapur dan 3 Kamar
Mandi.
d. Mempunyai Satu Puskesmas Pembantu di Kelurahan Sumur
Putri.
e. Mempunyai Satu Ambulance dan 2 buah Sepeda Motor.
f. Peran Serta Masyarakat

Peran serta masyarakat dibidang Kesehatan dapat dilihat dari adanya


beberapa usaha kesehatan bersumber daya masyarakat seperti
Poskeskel, dimana sejak tahun 2011 telah dibangun 1 buah
Poskeskel di Kelurahan Pesawahan,tahun 2012 Sumur Putri dan
Poskeskel Talang ,pada tahun 2013 Poskeskel Telukbetung dan
Tahun 2014 Gedung Pakuon. Posyandu di Wilayah kerja Puskesmas
Pasar Ambon mempunyai 36 Posyandu dan 180 Kader Posyandu.

4.1.4 Indikator Keberhasilan


Tolak ukur keberhasilan dari Misi Puskesmas Pasar Ambon sebagai berikut;

40
4.1.4.1 Cakupan kunjungan rawat jalan meningkat 10 % pada tahun
2019
4.1.4.2 Cakupan target SPM yang mendukung tercapai program
4.1.4.3 Manajemen puskesmas berjalan baik.
4.2. Gambaran Pencapaian Program Kasus TBC Anak yang Harus
Ditemukan di Puskesmas Pasar Ambon Periode Januari-Juni 2021.
Tabel 3 . Sasaran Kasus TBC Anak yang Harus Ditemukan Periode Januari- Juni 2021
Semester I (2021) Sasaran Target Pencapaian Jumlah
Januari 2 anak 0 anak 0%
Februari 2 anak 0 anak 0%
Maret 2 anak 1 anak 8,3%
April 2 anak 0 anak 0%
Mei 2 anak 0 anak 0%
Juni 2 anak 1 anak 8,3%
Total 12 anak 2 anak 16,6%

Berdasarkan data di atas data diambil dari lima kelurahan wilayah kerja
Puskesmas Pasar Ambon yaitu dari kelurahan Pesawahan, Talang, Teluk Betung, Sumur
Putri, dan Gedung Pakuon. Berdasarkan data perolehan Sasaran Terduga TB anak dan
Kasus TB anak di Kota Bandar Lampung di Puskesmas Pasar Ambon untuk tahun
2021 periode Januari – Desember 2021 Sasaran Kasus TB anak yang harus ditemukan
sebanyak 25 anak, sedangkan untuk dibulan Januari- Juni 2021 sasaran TBC anak
ditemukan sebanyak 12 anak. Untuk wilayah kerja Puskesmas Pasar Ambon belum
mencapai target.

41
BAB V
HASIL EVALUASI DAN PEMBAHASAN

5.1. Menetapkan indikator dan target dari unsur keluaran

Evaluasi dilakukan pada program pengendalian tuberkulosis paru di Puskesmas


Pasar Ambon. Adapun sumber rujukan penilaian yang digunakan yaitu Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2016 Tentang
Penanggulangan Tuberkulosis.

5.2. Membandingkan Pencapaian Masing-masing Indikator Keluaran dengan

Targetnya

Masalah adalah kesenjangan antara tolak ukur dengan hasil pencapaian pada unsur

keluaran. Proses identifikasi masalah dilakukan secara bertahap, dimulai dari

keluaran (output) program kerja puskesmas. Apabila ditemukan adanya

kesenjangan antara tolak ukur dengan data keluaran tersebut maka harus dicari

kemungkinan penyebab masalah pada unsur masukan (input, proses, atau

lingkungan). Identifikasi masalah dimulai dengan melihat adanya kesenjangan

antara target dan pencapaian. Pencapaian program pengendalian TB di Puskesmas

Pasar Ambon

Tabel 4. Capaian Kinerja Program Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis Di


Wilayah Kerja Upt Puskesmas Pasar Ambon Periode Januari-Juni Tahun 2021
Semester I Sasaran Target Pencapaian Masalah
Tahun 2021 Perbulan Perbulan
Januari 2 anak 0 anak (0%) (+)
Februari 2 anak 0 anak (0%) (+)
Maret 2 anak 1 anak (50%) (+)
April 2 anak 0 anak (0%) (+)
Mei 2 anak 0 anak (0%) (+)
Juni 2 anak 1 anak (50%) (+)

42
5.3. Mentapkan Prioritas Masalah

Berdasarkan tabel diatas, masalah yang ditemukan adalah kurangnya cakupan


jumlah kasus TB anak yang harus ditemukan di lima kelurahan wilayah kerja
Puskesmas Pasar Ambon yang perlu dilakukan penjaringan dan pengendalian
Prioritas masalah yang diterpilih adalah capaian cakupan TB anak di Puskesmas
Pasar Ambon di lima kelurahan dalam periode Januari-Juni 2021 masih kurang.

Kerangka Konsep
Untuk mempermudah dalam mengidentifikasi faktor penyebab masalah
capaian cakupan TB Anak di Puskesmas Pasar Ambon di lima kelurahan
dalam periode Januari-Juni 2021 masih kurang maka diperlukan kerangka konsep
dengan menggunakan pendekatan sistem sebagai berikut:

Cakupan Program TB Anak

Faktor-faktor yang mempengaruhi


rendahnya penjaringan TB Anak

Faktor Petugas Faktor Kader Faktor Lintas Faktor Faktor Sarana


Sektor/Program Masyarakat Prasarana
- Pelayanan - Jumlah
Komunikasi - Pengetahuan - Pembuatan - Pengetahuan - Alat dan
Informasi - Sikap kebijakan tentang TB bahan
dan Edukasi (peran) mengenai anak pemeriksaan
(KIE) TB - Motivasi program TB ank - Persepsi dahak
anak - Pelatihan - Sikap (peran) masyarakat - Kualitas
- Pelatihan - Pelatihan spesimen
DOTS - Koordinasi lintas dahak
- Jumlah program dan - Pemeriksaan
suspek yang mantoux
lintas sektor dan
diperiksa pada anak
pihak
dengan risiko
puskesmas
tinggi TB
- Penjaringan
anak
kasus TB
anakssecara aktif
Gambar 5. Kerangka Konsep Evaluasi Program

43
5.5 Identifikasi Penyebab Masalah

Dari kerangka konsep yang telah dibuat, selanjutnya dapat diidentifikasi mengenai

penyebab masalah dengan menggunakan diagram fishbone. Analisis penyebab

masalah pada diagaram ini mnggunakan kategori 5 M (Man, Money, Material,

Method, dan Machine)

44
5.6 Menentukan Prioritas Penyebab Masalah

Dari diagram fishbone di atas, perlu ditentukan prioritas penyebab masalah yang
memiliki peranan dalam tercapainya keberhasilan program pengendalian TB anak
di Puskesmas Pasar Ambon. Dengan menggunakan model teknik kriteria matriks
pemilihan prioritas dapat dipilih masalah yang paling dominan.
Tabel 5. Teknik Kriteria Matriks USG Pemilihan Prioritas Penyebab Masalah

No Daftar Masalah U S G JUMLAH


UxSxG
1 Man
Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai 3 4 3 36
penularan TB anak

Kurangnya kesadaran orang tua untuk 4 5 4 80


memeriksakan anak bergejala ke fasyankes

2 Method
Kurang efektifnya program penjaringan yang 5 4 4 80
dilakukan oleh nakes, kader dan tokoh
masyarakat
Kerjasama P2TB dengan Lintas 5 5 5 125
Program/Lintas Sektor masih kurang
Kurangnya sosialisasi mengenai deteksi dini 5 5 4 100
dan penjaringan TB
3 Machine
Kurangnya koordinasi pihak RT dan kelurahan 4 5 4 80
dengan puskesmas dalam penemuan kasus TB
anak
Jumlah kader TB banyak namun kurang 5 5 4 100
bergerak aktif penjaringan TB anak

4 Material
Media penyuluhan mengenai TB anak tidak 3 3 3 27
memadai

Setelah dilakukan pemilihan prioritas penyebab masalah, didapatkan masalah


berupa kurangnya kerjasama P2TB dengan Lintas Program/Lintas Sektor yang
masih sulit Kurangnya sosialisasi mengenai deteksi dini dan penjaringan TB anak,
jumlah kader TB anak yang bergerak aktif masih kurang di Puskesmas Pasar
Ambon.

45
BAB VI
ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH

6.1 Menyusun Alternatif Pemecahan Masalah

Pecapaian program Pengendalian Penyakit Menular mengenai temunan kasus


TB anak di wilayah kerja Puskesmas Pasar Ambon masih belum mencapai target
yang diharapkan yaitu sebesar 100%. Hal tersebut terutama disebabkan oleh
kerjasama P2TB dengan lintas Program/lintas Sektor dinilai masih belum cukup
baik di Puskesmas Pasar Ambon. Dengan terbatasnya pengetahuan masyarakat dan
angka kenaikan kasus TB anak yang semakin tinggi, maka penemuan kasus TB
anak di kelurahan tersebut menjadi sulit dikarenakan banyak masyarakat dengan
gejala penyakit TB dan tinggal bersama dengan anak-anak akan cenderung
memiliki risiko tinggi tertular TB anak jika tidak dilakukan memeriksakan ke
puskesmas terdekat. Maka diperlukan kerjasama dan peningkatan kinerja antara
banyak pihak terutama lintas program dan lintas sektor agar dapat mempermudah
penjaringan kasus TB anak lebih banyak lagi dengan kerjasama antara kader dan
pemegang program di puskesmas. Dengan adanya kerjasama antara lintas sektor
maka dapat mengajak dan meningkatkan pengetahuan masyarakat di lima
kelurahan Puskesmas Pasar Ambon tentang bahaya penyakit TB anak dan dapat
menyebabkan peningkatan jumlah kasus TB anak dengan tanpa pengobatan atau
peningkatan jumlah temuan kasus TB dengan putus pengobatan. Tingkat keinginan
masyarakat untuk berobat cenderung lebih rendah dikarenakan kurangnya
koordinasi antara penanggung jawab program dengan lintas sektor/program yang
cukup untuk mengajak dan melakukan pendampingan pada setiap pemuka
masyarakat/tokoh masyarakat untuk mengenali gejala dugaan penyakit TB anak
untuk memeriksakan dirinya ke puskesmas sehingga masyarakat menjadi kurang
peduli untuk mendeteksi dini gejala penyakit TB yang ada disekitar rumahnya
sendiri. Beberapa alternatif pemecahan masalah tersebut dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:

46
Tabel 6 Alternatif pemecahan masalah

Masalah Penyebab Alternatif


Cakupan TB anak Kerjasama P2TB  Melakukan koordinasi lintas sektor dan
di lima kelurahan dengan Lintas program menyampaikan informasi
Puskesmas Pasar Program/Lintas mengenai TB anak dan menyampaikan
Ambon Periode Sektor masih angka cakupan TB anak masih rendah.
Januari-Juni 2021 kurang  Melakukaan koordinasi lintas program
hanya sebesar yaitu Gizi, KIA, dan Umum untuk
16,6%% dari penjaringanTB anak bisa didapatkan.
target 100%

6.2. Memilih Prioritas Pemecahan Masalah


Berdasarkan tabel di atas, terdapat tiga alternatif pemecahan masalah untuk
menyelesaikan masalah TB anak di Puskesmas Pasar Ambon tahun 2021, penulis
menggunakan rumus MIV/C untuk memilih prioritas pemecahan masalah. Rumus
tersebut diuraikan di bawah ini:

Tabel 7. Prioritas Pemecahan Masalah

NO Daftar Alternatif Jalan Keluar Efektivitas Efisiensi Jumlah


(MIV/C)
M I V C
1. Melakukan koordinasi lintas
sektor dan program
menyampaikan informasi
mengenai TB anak dan 4 4 4 3 21,3
menyampaikan angka cakupan
TB anak masih rendah.

2. Melakukaan koordinasi lintas


program yaitu Gizi, KIA, dan
Umum untuk penjaringanTB
anak bisa didapatkan 3 4 3 2 18

Keterangan:
P : Prioritas alternatif pemecahan masalah (MIV/C)
M :Magnitude, yaitu besarnya masalah yang dilihat dari morbiditas dan mortalitas.
I : Importance, yang ditentukan oleh jenis kelompok penduduk yang terkena
masalah/penyakit.
V :Vulnerability, yaitu ada/tersedianya cara-cara pencegahan dan pemberantasan masalah
yang bersangkutan.

47
C :Cost, yaitu biaya yang diperlukan untuk menanggulangi masalah tersebut.

Berdasarkan tabel di atas, prioritas pemecahan masalah yang didapatkan adalah


Saat kegiatan lintas sektor dan program disampaikan angka cakupan TB anak masih
rendah dan mencari solusi untuk meningkatkan penjaringan kasus TB anak di
Wilayah kerja Puskesmas Pasar Ambon. Untuk mencapai tercapainya prioritas
pemecahan masalah maka diperlukan kerjasama lintas sektor/lintas program
sehingga diperlukan peran dari berbagai pihak. Dalam lintas sektor maka diperlukan
peran dari berbagai pihak dari camat, lurah, pkk, sekolah dan dinas kesehatan
kota/provinsi. Diperlukan peran institusi pemerintah seperti camat dan lurah dalam
membuat kebijakan mengenai program TB anak dan menjamin tersedianya
tersedianya sarana dan prasarana sehingga terselenggaranya penjaringan TB anak
dan menggerakan kader dan pkk dalam penemuan kasus TB anak. Diperlukan juga
peran PKK untuk menggerakkan kader dalam penemuan kasus TB anak dan
meningkatkan pengetahuan masyarakat. Kerjasama dengan LSM juga diperlukan
dalam penjaringan penemuan kasus TB anak. Peran dari Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan menggerakkan program UKS di Sekolah dalam penyuluhan mengenai
gejala TB anak.
Kurang maksimalnya koordinasi antara lintas program atau lintas sektor
dengan faskes pemerintah, berkaitan dengan menurunnya kinerja program
penjaringan TB untuk melakukan penjaringan dan mengajak masyarakat mengenali
gejala TB untuk memeriksakan diri ke puskesmas. Melalui gerakan TOSS TB
(Temukan TBC Obati Sampai Sembuh). Gerakan TOSS TB diharapkan dapat
dilakukan secara proaktif dan dapat memperluas cakupan TB anak di seluruh
wilayah Indonesia. Gerakan ini juga mengajak bagi penderita TB anak untuk
mendapatkan dukungan moril dan mengajak berobat pasien hingga sembuh
sehingga dapat tercapai Indonesia Bebas TB tahun 2050.
Salah satu upaya agar penjaringan dapat semakin optimal di wilayah
dengan akses yang sulit dan kemudian ketika ada seseorang yang memiliki tanda
dan gejala mengarah ke TB anak dapat dilakukan pendekatan dan pendampingan
bersama petugas puskesmas dan lintas sektor/program dengan tokoh masyarakat dan
pemuka masyarakat untuk melakukan pemeriksaan secara mandiri ke Puskesmas
Pasar Ambon sehingga dapat meningkatkan deteksi dini dari kasus TB anak di
sekitar lingkungan masyarakat dengan harapan dapat meningkatkan pula capaian

48
Kasus TB Anak pada Program Penjaringan TB anak di Puskesmas Pasar Ambon
sehingga memenuhi sasaran target nasional.
Adapun dengan rincian kegiatan yang dilakukan sebagai berikut :
1. Melakukan advokasi bersama institusi pemerintah seperti camat, lurah, pkk,
kader dan tokoh masyarakat
2. Mempersiapkan sarana dan prasarana agar terselenggaranya program P2TB
3. Membentuk tim pelaksana program TB anak
4. Melakukan pelatihan P2TB
5. Pelaksanaan program TB anak dengan gerakan TOSS TB (Temukan TBC
Obati Sampai Sembuh)
6. Peningkatan penjaringan dan kontak erat TB anak
7. Pencatatan dan palaporan hasil kegiatan
8. Evaluasi dan monitoring berkala mengenai pencapaian dan perkembangan
jumlah kasus dalam bentuk lokmin tribulanan
9. Tindak lanjut hasil evaluasi
Upaya tersebut diharapkan mampu meningkatkan capaian TB anak di daerah
wilayah kerja Puskesmas Pasar Ambonn sehingga memenuhi target yang
diharapkan.

49
Tabel 8. Matriks Kerangka Acuan Kegiatan

2021 Penanggung
NO Kegiatan
Jawab
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Melakukan
advokasi bersama
institusi
pemerintah seperti
camat, lurah, pkk,
kader dan tokoh
masyarakat
2 Mempersiapkan
sarana dan
prasarana agar
terselenggaranya
program P2TB
3 Membentuk tim
pelaksana program
TB anak
4 Melakukan
pelatihan P2TB
5 Pelaksanaan
program TB
dengan gerakan
TOSS TB
(Temukan Obati
Sampai Sembuh)
6 Peningkatan
penjaringan dan
kotak erak TB
anak
7 Pencatatan dan
palaporan hasil
kegiatan
8 Evaluasi dan
monitoring
berkala mengenai
pencapaian dan
perkembangan
jumlah kasus
dalam bentuk
lokmin tribulanan
9 Tindak lanjut
evaluasi

50
51
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Adapun simpulan yang dapat diperoleh dari laporan evaluasi program ini, antara

lain:

1. Angka pencapaian TB anak tahun 2021 di Puskesmas Pasar Ambon sebesar

16,6%% dan belum mencapai target, yaitu 100%. Hal ini masih menjadi

prioritas masalah dalam pelaksanaan program pengendalian penyakit menular

tuberkulosis di Puskesmas Pasar Ambon.

2. Penyebab rendahnya angka capaian adalah karena kerjasama P2TB dengan


Lintas Program/Lintas Sektor dan faskes milik pemerintah masih kurang di

wilayah kerja Puskesmas Pasar Ambon.

3. Alternatif pemecahan masalah bagi pemegang program TB anak adalah dengan


membuat rencana kegiatan dengan lintas sektor/lintas program sebagai cara

meningkatkan penjaringan kasus agar tidak terjadi kesalahan dalam menentukan

dugaan kasus TB anak.

7.2 Saran

Adapun saran mengenai evaluasi program pencegahan dan pengendalian TB anak

di Puskesmas Pasar Ambon antara lain:

1. Bagi petugas program pencegahan dan pengendalian penyakit menular (P2PM)

tuberkulosis paru pada indikator TB anak di wilayah kerja Puskesmas

PasarAmbon, diharapkan dapat meningkatkan kontrol terhadap kader TB.

52
2. Meningkatkan kerjasama P2TB dengan Lintas Program/Lintas Sektor dan faskes

milik pemerintah agar dapat meningkatkan fungsi Puskesmas terkait Program

Penanggulangan Tuberkulosis.

3. Melakukan advokasi ke RT dan kelurahan dibantu tokoh masyarakat dalam

mendukung upaya penjaringan TB anak di wilayah kerja Puskesmas Pasar

Ambon dengan melakukan pertemuan rutin.

4. Perbaikan sistem terkait promosi kesehatan yaitu meningkatkan frekuensi

kegiatan penyuluhan mengenai penyebab, gejala, cara penularan penyakit TB

anak, pentingnya penjaringan suspek dan deteksi dini, sehingga mengubah pola

pikir masyarakat.

5. Bagi masyarakat, diharapkan agar lebih meningkatkan pengetahuan dan

kesadaran akan penularan penyakit TB anak, pentingnya deteksi dini, serta

mendukung pengobatan penderita dan tidak memandang negatif penderita.

53
DAFTAR PUSTAKA

Bahar A, Amin Z. 2014. Tuberkulosis Paru. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo A,


penyunting. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing.

Campbell IA, Bah-Sow O. 2009. Pulmonary tuberculosis: diagnosis and treatment. BMJ
(Clinical research.). 332(7551): 1194–97

Kemenkes RI. 2013. Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes RI.

Kemenkes RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Direktorat


Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Kemenkes RI. 2019. Tuberkulosis Temukan Obati Sampai Sembuh. Jakarta: InfoDatin.

Kemenkes RI. 2016. Tuberkulosis Temukan Obati Sampai Sembuh. Jakarta: InfoDatin.

Nedjaka NO, Matji R, Ogubanjo GA. 2008. An approach to the diagnosis , treatment
and referral of tuberculosis patients : The family practitioner’s role. SA Farm
Pract. 50:4.
Puskesmas Pasar Ambon 2021. Profil Puskesmas Puskesmas Pasar Ambon .
Bandarlampung: Puskesmas Pasar Ambon

WHO. 2015. Implementing The End TB Strategy: The Essentials. Geneva: WHO

WHO. 2016. Guidance for National Tuberculosis Programmes on the management of


tuberculosis in children. The Journal of Medical Association of Malawi.19:82–6.

WHO. 2018. Global Tuberculosis Report 2017. Geneva: WHO.


WHO Indonesia, Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, Jakrta : WHO
Indonesia; 2009;113-118

54

Anda mungkin juga menyukai