TINJAUAN PUSTAKA
3.1.2. Epidemiologi
19
tahun keatas. Berdasarkan survey Riskerdas 2013, semakin bertambah usia, prevalensinya
semakin tinggi.3
3.1.3. Patogenesis4
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup,
dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh
mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan
biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada
sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan
bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang
biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni
kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.
Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus paru
bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus,
sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah
kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar
limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang
(limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan
sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya
berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu.
Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-
104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler Selama
berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB
sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberculin,
mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah,
20
infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap
uji tuberculin. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif. Setelah kompleks
primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian
besar individu dengan system imun yang berfungsi baik, begitu system imun seluler
berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat
tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru
yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru
biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna
focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama
bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan
pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar
ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB
disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis.
Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang
biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak,
tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai
lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum
terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus
yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas
21
terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.
Gejala sistemik/umum:
• Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)
• Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam
hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti
influenza dan bersifat hilang timbul.
Penurunan nafsu makan dan berat badan
• Tidak Perasaan Enak (Malaise), Lemah
Gejala khusus:
• Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian
bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening
yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang
disertai sesak.
• Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan
keluhan sakit dada.
• Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada
suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada
muara ini akan keluar cairan nanah.
• Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut
sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya
penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi
kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang
kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif.
Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru
dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan
serologi/darah.
22
Tb paru BTA positif : Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukan BTA
positif dan kelainan radiologi menunjukan gambaran tuberkulosis aktif dan hasil
pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukan BTA positif dan biakan positif.
Tb paru BTA negatif : hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukan BTA negatif,
gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukan tuberkulosis aktif dan hasil
pemeriksaan dahak 3 kali menunjukan BTA negatif dan biakan M.tuberculosis.
2. Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa
tipe pasien yatu :
a. Kasus baru : adalah pasien yang belum pernag mendapat pengobatan dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps) : adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran
radiologi dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus
dipikirkan beberapa kemungkinan yaitu :
- Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan, dll)
- Tb paru kambuh yang di tentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten
menangani kasus tuberkulosis.
c. Kasus defaulted atau drop out : adalah pasien yang telah menjalani pengobatan ≥
1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal : adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke 5 ( satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau
akhir pengobatan.
e. Kasus kronik : adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang dengan pengobatan ketegori 2 dengan pengawasan baik.
f. Kasus bekas TB
Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran
radiologi paru menunjukan lesi Tb yang tidak aktif, atau foto serial
menunjukan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat
akan lebih mendukung.
23
Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto thorax ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologi.
Tb Ekstra paru : adalah tuberkulosis yang menyerang tubuh lain selain paru,
misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran kencing dll. Diagnosis
sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi dari tempat les.
24
Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis, pemeriksaan klinis,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Keluhan dan hasil anamnesis meliputi :
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang
lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan HIV positis, batuk sering kali bukan
25
merupakan gejala TB khas, sehingga gejala batuk tidak harus selama 2 minggu atau
lebih.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB,
seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat angka prevalensi TB di Indonesia masih tinggi, maka setiap orang
datang ke fayankes dengan grjala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang
terduga TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
Selain gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pemeriksaan pada orang dengan
faktor resiko : kontak erat dengan padien TB, tinggal di daerah padat penduduk,
wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang yang bekerja dengan bahan kimia
yang beresiko menimbulkan paparan infeksi.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Langsung.
berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan
menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 2 spesimen
dahak yang dikumpulkan berupa dahak Sewaktu-Pagi (SP):
• S(sewaktu): dahak ditampung di fasyankes
• P(Pagi): dahak ditampung pada pagi hari segera setelah bangun tidur.
Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat (Lowenstein-Jensen) dan
media cair (Mycobacteria Growth Indicator Tube) untuk identifikasi Mycobacterium
Tuberkulosis (M.Tb)
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Foto Toraks
26
Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TB ektraparu.
3.1.7. penatalaksanaan5
a) Tujuan pengobatan TB
Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup.
Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnya.
Mencegah terjadinya kekambuhan
Menurunkan resiko penularan TB
Mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat
b) Prinsip Pengobatan TB
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB.
Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah
penyebaran lebih lanjut kuman TB.
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip :
1. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.
2. Diberikan dalam dosis yang tepat.
3. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan
Obat) sampai selesai pengobatan.
4. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup, terbagi dalam dua tahap
yaitu tahap awal dengan pemberian setiap hari, pengobatan tahap ini diberikan
selama 2 bulan. Kemudian Tahap lanjutan, tahap ini bertujuan membunuh sisa
kuman yang masih ada dalam tubuh untuk mencegah terjadinya kekambuhan.
27
Jenis Sifat Efek samping
Neuropati perifer
Isoniazid (gangguan saraf tepi ),
Bakterisidal
(H) psikosis toksik, gangguan
fungsi hati, kejang.
Flu syndrome (gejala
influenza berat), gangguan
gastrointestinal, urin
berwarna merah, gangguan
Rifamfisin (R) Bakterisidal
fungsi hati,
trombositopenia, demam,
skin rash, sesak nafas,
anemia hemolitik.
Gangguan gastrointestinal,
Pirazinamid (Z) Bakterisidal gangguan fungsi hati, gout
arthritis.
Nyeri ditempat suntikan,
gangguan keseimbangan,
Streptomisin (S) Bakterisidal renjatan anafilaktik,
anemia, agranulositosis,
trombositopeni.
Gangguan penglihatan,
Etambutol (E) Bakteriostatik buta warna, neuritis perifer
(gangguan saraf tepi).
28
e) Paduan OAT KDT lini pertama dan peruntukannya.
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :
Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis
Pasien TB paru terdiagnosis klinis
Pasien TB ekstra paru
Z 25 (20-30) 25 35
E 15 (15-20) 15 30
S 15 (12-18) 15 15
29
Tabel 3.5 Dosis harian fase awal dan dosis intermiten fase lanjutan, dosis paduan OAT
KDT Kategori 1 (2(HRZE)/4(HR)3)
30
streptomisin inj.
55-70 kg 4 tab 4 KDT + 1000 4 tablet 4 KDT 4 tablet
mg streptomisin inj.
≥ 71kg 5 tab 4 KDT + 1000 5 tablet 4 KDT (>do 5 tablet
mg streptomisin inj. maks)
Tabel 3.7 Dosis harian fase awal dan dosis intermiten fase lanjutan dan paduan OAT
KDT Kategori 2 (2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3))
Tahap lanjutan
Tahap intensif setiap hari RHZE
3 kali seminggu
Berat badan (150/75/400/275)+S
RH (150/150) + E(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tab 4 KDT + 500 mg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT + 2 tab
streptomisin inj. etambutol
38-54 kg 3 tab 4 KDT + 750 mg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT + 3 tab
streptomisin inj. etambutol
55-70 kg 4 tab 4 KDT + 1000 mg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT + 4 tab
streptomisin inj. etambutol
≥ 71kg 5 tab 4 KDT + 1000 mg 5 tablet 4 KDT (>do 5 tablet 2 KDT + 5 tab
streptomisin inj. maks) etambutol.
31
seminggu)
c. Tb Di Luar Paru
32
Prinsip pengobatan sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya pengobatan untuk TB
tulang, TB sendi dan TB kelenjar, meningitis pada bayi dan anak lama pengobatan 12
bulan. Pada TB diluar paru lebih sering dilakukan tindakan bedah. Tindakan
bedah dilakukan untuk :
33
Jangan lakukan desensitisasi OAT pada penderita HIV / AIDS (mis INH, rifampisin)
karena mengakibatkan toksik yang serius pada hati
INH diberikan terus menerus seumur hidup.
Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi
34
Rujuk ke ahli Paru.
Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelu
pengobatan
Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh digunakan
Paduan Obat yang dianjurkan / rekomendasi WHO: 2SHRE/6 RH atau 2 SHE/10 HE
Pada penderita hepatitis akut dan atau klinik ikterik ,sebaiknya OAT ditunda sampai
hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat diperlukan dapat
diberikan S dan E maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan
dengan 6 RH
Sebaiknya rujuk ke ahli Paru
Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obatobat hepatotoksik (drug induced
hepatitis)
Penatalaksanaan
o Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala / mual, muntah [+])
→ OAT Stop
o Bila klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan:
Bilirubin > 2 → OAT Stop
SGOT, SGPT > 5 kali : OAT stop
SGOT, SGPT > 3 kali, gejala (+) : OAT stop
SGOT, SGPT > 3 kali, gejala (-) → teruskan pengobatan, dengan pengawasan.
35
tambahkan rifampisin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat
badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES
o Pirazinamid tidak boleh digunakan lagi.
3.1.9 Komplikasi TB
3.2.1 Definisi7
3.2.2. Epidemiologi
36
Di Indonesia, prevalensi DM mencapai 15,9-32,73%, dimana diperkirakan sekitar 5
juta lebih penduduk Indonesia menderita DM. Di masa mendatang, diantara penyakit
degeneratif diabetes adalah salah satu diantara penyakit tidak menular yang akan meningkat
jumlahnya di masa mendatang. WHO membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah
pengidap diabetes di atas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25
tahun kemudian, pada tahun 2025 jumlah tersebut akan membengkak menjadi 300 juta orang.
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecendrungan peningkatan angka
insidensi dan prevalensi DM Tipe 2 diberbagai penjuru dunia. WHO memprediksikan
kenaikan jumlah penyandang Diabetes mellitus di Indonesian dari 8,4 juta pada tahun 2000
menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal
sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan diketahui bahwa
kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis),
gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal
(peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan
dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2.
37
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet)
berikut :
2. Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu gluconeogenesis
sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production)
meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses
gluconeogenesis.
3. Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di
intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport
38
glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
4. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam
plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan
resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan
yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini
adalah tiazolidindion.
5. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2
hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2
didapatkan defisiensi
GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh
keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja
menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga
mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang
memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat
meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja
ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.
39
7. Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2.
Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa
terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co- Transporter)
pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui
peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa
dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang
menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus
ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah
SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.
8. Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik
yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme
kompensasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya
resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1
agonis, amylin dan bromokriptin.
3.2.4. Klasifikasi
40
Endokrinopati
Karena obat atau zat kimia
Infeksi
Sebab imunologi yang jarang
Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
DM Gestasional
3.2.5. Diagnosis
41
3.2.6. Kriteria Diagnosis DM
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak
ada asupan kalori minimal 8 jam. Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik. Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi
oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
Tabel 3.10 kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan prediabetes
HbA1c (%) Glukosa Darah Puasa Glukosa plasma 2 jam
(mg/dl) setelah TTGO (mg/dl)
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126mg/dl ≥ 200mg/dl
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal <5,7 <100 <140
42
3.2.7. Penatalaksanaan
a. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya
hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2
macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia.
43
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
Metformin
Metformin mempunyai efek utama
mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan
glukosa di jaringan perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian
besar kasus DMT2. Dosis Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (GFR 30- 60 ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan pada
beberapa keadaan sperti: GFR<30 mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat,
serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK,gagal jantung [NYHA FC III-IV]). Efek
samping yang mungkin berupa gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala
dispepsia.
Tiazolidindion (TZD).
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated Receptor
Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel otot,
lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh
sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV)
karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati,
dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk dalam
golongan ini adalah Pioglitazone.
44
Guna mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan dosis kecil. Contoh
obat golongan ini adalah Acarbose.
d. Terapi insulin
Indikasi pemberian Insulin pada keadaan :
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetic
- Hiperglikemia hyperosmolar non ketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO dois optimal
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi atau alergi terhadap OHO
b. terapi nonfarmakologis
Modifikasi gaya hidup meliputi olahraga rutin, diet, menghentikan merokok serta membatasi
konsumsi alkohol.
45
3.2.8. Komplikasi
a. Makroangiopati
Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah tepi
Pembuluh darah otak
b. mikroangiopati
Retinopati Diabetikum
Nefropati Diabetikum
Neuropati Diabetikum
3.3.1 Definisi
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif pada umumnya berakhir
dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu
sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal
pada penyakit ginjal kronik.
3.3.2 Epidemiologi
Penyakit ginjal kronik (PGK) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan
global, terdapat pada 5-10% populasi dunia dan meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan
Global Burden Of Disease Study pada tahun 2015, PGK menempati urutan ke 12 penyebab
kematian, dari sekitar 1,1 juta kematian penduduk di dunia. Berdasarkan data WHO pada
tahun 2016 angka kematian akibat PGK berkisar 1.168.339 orang atau sekitar 2% angka
kematian seluruh penyakit. Insidensi PGK diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun
di Amerika Serikat tahun 1995-1999, dan angka ini meningkat setiap tahunnya. Dinegara-
negara berkembang, insidensi PGK diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk
46
pertahun. Menurut data yang dilaporkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi PGK
di Indonesia sebesar 0,2% dan untuk Sulawesi Utara sebesar 0,4%.2
Indonesia Renal Registry tahun 2017, melaporkan bahwa dari 20.548 kasus PGK
derajat 5 terdapat 184 orang dengan koinfeksi TB(0,9%). Pada penelitian yang dilakukan oleh
Abdelrahman et al. Di arab saudi dilaporkan terdapat 7% pasien yang di diagnosis
tuberkulosis dari 256 pasien PGK dengan hemodialisa. Pasien dengan PGK mempunyai
peningkatan resiko TB dibanding dengan fungsi ginjal yang normal. Hal ini terkait dengan
penurunan Cell-Mediated Immunity, pengobatan imunosupresif, koinfeksi Humen
Imunodeficiency Virus (HIV), dan diabetes melitus (DM). Uremia juga berhubungan dengan
imunodefisiensi pada PGK yang disebabkan oleh abnormalitas fungsional dan neutrofil,
penurunan fungsi sel T dan B, serta terganggunya fungsi monosit dan sel dendritik turunan
monosit.2
3.3.3 Etiologi
47
3.3.5 Patofisiologi
49
transplantasi glomerulopathy.
50
(LFG) dengan menifestasi :
Kelainan patologis
Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi
darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan.
2 Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 2 selama 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dan LFG kurang dari
60 ml/menit/1,73m2 tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.
3.3.8 Penatalaksanaan
Tabel 3.13 rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya dan
komplikasi penyakit ginjal kronik
Deraja LFG
Rencana tatalaksana Komplikasi
t (ml/menit/1,732)
Terapi penyakit dasar, kondisi -
komorbid, evaluasi
1 ≥ 90 pemburukan (progression)
fungsi ginjal, memperkecil
resiko kardiovaskular.
Menghambat pemburukan Tekanan darah meningkat
2 60-89 (progression) fungsi ginjal
51
Hipokalsemia
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi
Persiapan untuk terapi Malnutrisi
pengganti ginjal Asidosis metabolik
4 15-29
Hiperkalemia
Dislipidemia
Terapi pengganti ginjal Gagal jantung
5 <15
uremia
Terapi farmakologis
Bertujuan untuk mengurangi terjadinya hipertensi intraglomerulus. Pemakaina obat
antihipertensi bermanfaat untuk memperkecil resiko kardiovaskuler dan juga
memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa obat antihipertensi, terutama
penghambat enzim konverting angiotensin (Angiotensin converting enzyme /ACE
inhibitor)
52