Anda di halaman 1dari 34

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. TUBERKULOSIS PARU


3.1.1 Definisi

Tuberkulosis paru (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium


tuberculosis, yakni kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru atau di berbagai organ
tubuh lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi. Kuman ini juga
mempunyai kandungan lemak yang tinggi pada membrana selnya sehingga menyebabkan
bakteri ini menjadi tahan terhadap asam dan pertumbuhan dari kumannya berlangsung
dengan lambat.3

3.1.2. Epidemiologi

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia


ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis
sebagai « Global Emergency ». Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8
juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam)
positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional
WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di
dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di
Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk.3
Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TB (CI 8,8 juta – 12,
juta) yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima negara dengan insiden kasus
tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan. Sebagian besar estimasi
insiden TB pada tahun 2016 terjadi di Kawasan Asia Tenggara (45%) dimana Indonesia
merupakan salah satu di dalamnya dan 25% nya terjadi di kawasan Afrika. Jumlah kasus baru
tb di indonesia sebanyak 420.994 kasus baru pada tahun 2017. Berdasarkan jenis kelamin,
jumlah kasus baru TBC tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan dengan
perempuan. Berdasarkan survei prevalensi tuberkulosis tahun 2013-2014, prevalensi TBC
dengan konfirmasi bakteriologis di indonesia sebesar 759 per 100.000 penduduk berumur 15
tahun keatas dan prevalensi TBC BTA positif sebesar 257 per 100.000 penduduk berumur 15

19
tahun keatas. Berdasarkan survey Riskerdas 2013, semakin bertambah usia, prevalensinya
semakin tinggi.3

3.1.3. Patogenesis4

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup,
dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh
mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan
biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada
sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan
bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang
biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni
kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.
Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus paru
bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus,
sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah
kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar
limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang
(limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan
sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya
berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu.

Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-

104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler Selama
berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB
sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberculin,
mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah,

20
infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap
uji tuberculin. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif. Setelah kompleks
primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian
besar individu dengan system imun yang berfungsi baik, begitu system imun seluler
berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat
tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru
yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru
biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna
focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama
bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan
pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar
ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB
disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis.
Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang
biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak,
tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai
lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum
terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.

3.1.4. Gejala Klinis4

Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus
yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas

21
terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.
Gejala sistemik/umum:
• Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)
• Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam
hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti
influenza dan bersifat hilang timbul.
 Penurunan nafsu makan dan berat badan
• Tidak Perasaan Enak (Malaise), Lemah
Gejala khusus:
• Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian
bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening
yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang
disertai sesak.
• Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan
keluhan sakit dada.
• Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada
suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada
muara ini akan keluar cairan nanah.
• Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut
sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya
penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi
kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang
kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif.
Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru
dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan
serologi/darah.

3.1.5. klasifikasi TB5

1. Berdasarkan hasil Dahak (BTA)


Tb paru dibagi atas :

22
 Tb paru BTA positif : Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukan BTA
positif dan kelainan radiologi menunjukan gambaran tuberkulosis aktif dan hasil
pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukan BTA positif dan biakan positif.
 Tb paru BTA negatif : hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukan BTA negatif,
gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukan tuberkulosis aktif dan hasil
pemeriksaan dahak 3 kali menunjukan BTA negatif dan biakan M.tuberculosis.
2. Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa
tipe pasien yatu :
a. Kasus baru : adalah pasien yang belum pernag mendapat pengobatan dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps) : adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran
radiologi dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus
dipikirkan beberapa kemungkinan yaitu :
- Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan, dll)
- Tb paru kambuh yang di tentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten
menangani kasus tuberkulosis.
c. Kasus defaulted atau drop out : adalah pasien yang telah menjalani pengobatan ≥
1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal : adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke 5 ( satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau
akhir pengobatan.
e. Kasus kronik : adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang dengan pengobatan ketegori 2 dengan pengawasan baik.
f. Kasus bekas TB
 Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran
radiologi paru menunjukan lesi Tb yang tidak aktif, atau foto serial
menunjukan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat
akan lebih mendukung.

23
 Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto thorax ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologi.

Tb Ekstra paru : adalah tuberkulosis yang menyerang tubuh lain selain paru,
misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran kencing dll. Diagnosis
sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi dari tempat les.

3.1.6. Diagnosis TB Paru5

24
Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis, pemeriksaan klinis,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Keluhan dan hasil anamnesis meliputi :
 Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang
lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan HIV positis, batuk sering kali bukan

25
merupakan gejala TB khas, sehingga gejala batuk tidak harus selama 2 minggu atau
lebih.
 Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB,
seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat angka prevalensi TB di Indonesia masih tinggi, maka setiap orang
datang ke fayankes dengan grjala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang
terduga TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
 Selain gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pemeriksaan pada orang dengan
faktor resiko : kontak erat dengan padien TB, tinggal di daerah padat penduduk,
wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang yang bekerja dengan bahan kimia
yang beresiko menimbulkan paparan infeksi.

2. Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Langsung.
berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan
menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 2 spesimen
dahak yang dikumpulkan berupa dahak Sewaktu-Pagi (SP):
• S(sewaktu): dahak ditampung di fasyankes
• P(Pagi): dahak ditampung pada pagi hari segera setelah bangun tidur.

 Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB


Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert MTB/RIF. TCM merupakan
sarana untuk menegakan diagnosis, namun tidak dimanfaatkan untuk evaluasi hasil
pengobatan.

 Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat (Lowenstein-Jensen) dan
media cair (Mycobacteria Growth Indicator Tube) untuk identifikasi Mycobacterium
Tuberkulosis (M.Tb)

3. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Foto Toraks

26
 Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TB ektraparu.

4. Pemeriksaan Uji Kepekaan Obat


Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M.Tb terhadap
OAT.

3.1.7. penatalaksanaan5

a) Tujuan pengobatan TB
 Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup.
 Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnya.
 Mencegah terjadinya kekambuhan
 Menurunkan resiko penularan TB
 Mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat

b) Prinsip Pengobatan TB
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB.
Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah
penyebaran lebih lanjut kuman TB.
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip :
1. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.
2. Diberikan dalam dosis yang tepat.
3. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan
Obat) sampai selesai pengobatan.
4. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup, terbagi dalam dua tahap
yaitu tahap awal dengan pemberian setiap hari, pengobatan tahap ini diberikan
selama 2 bulan. Kemudian Tahap lanjutan, tahap ini bertujuan membunuh sisa
kuman yang masih ada dalam tubuh untuk mencegah terjadinya kekambuhan.

c) Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Tabel 3.1 OAT Lini Pertama

27
Jenis Sifat Efek samping
Neuropati perifer
Isoniazid (gangguan saraf tepi ),
Bakterisidal
(H) psikosis toksik, gangguan
fungsi hati, kejang.
Flu syndrome (gejala
influenza berat), gangguan
gastrointestinal, urin
berwarna merah, gangguan
Rifamfisin (R) Bakterisidal
fungsi hati,
trombositopenia, demam,
skin rash, sesak nafas,
anemia hemolitik.
Gangguan gastrointestinal,
Pirazinamid (Z) Bakterisidal gangguan fungsi hati, gout
arthritis.
Nyeri ditempat suntikan,
gangguan keseimbangan,
Streptomisin (S) Bakterisidal renjatan anafilaktik,
anemia, agranulositosis,
trombositopeni.
Gangguan penglihatan,
Etambutol (E) Bakteriostatik buta warna, neuritis perifer
(gangguan saraf tepi).

d) Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


1) Kategori 1 : 2(RHZE)/4(RH)3 atau 2(RHZE)/4(HR)
2) Kategori 2 : 2(RHZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau 2(RHZE)S/(HRZE)/5(HR)E
3) Kategori anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR
4) Panduan OAT untuk pasien TB Resisten Obat : terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu
Kanamisin, Kapreomisin, Levofloxasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin,
PAS, Bedaquilin, Clofazimin, Linezolid, Delamanid, dan obat TB baru lainya
serta OAT lini ke-1 yaitu Pirazinamid Dan Etambutol.

28
e) Paduan OAT KDT lini pertama dan peruntukannya.
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :
 Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis
 Pasien TB paru terdiagnosis klinis
 Pasien TB ekstra paru

Tabel 3.3 Jenis dan Dosis OAT


Dosis Dosis yg dianjurkan

Harian Intermitten DosisMaks Dosis maks (mg)


(Mg/Kg
Obat (mg/ (mg/Kg/BB/kali) (mg) untuk untuk 3 kali

kgBB / harian perminngu


BB/Hari)
hari) 3 kali perminggu

R 10 (8-12) 10 10 600 600


H 5 (4-6) 5 10 300 900

Z 25 (20-30) 25 35

E 15 (15-20) 15 30

S 15 (12-18) 15 15

Tabel 3.4 Dosis harian paduan OAT KDT Kategori 1 (2(HRZE)/4(HR))

Tahap intensif setiap hari RHZE Tahap lanjutan setiap hari


Berat badan
(150/75/400/275) RH (150/75)

Selama 56 hari Selama 16 minggu

30-37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet

38-54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet

55-70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet

≥ 71kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet

29
Tabel 3.5 Dosis harian fase awal dan dosis intermiten fase lanjutan, dosis paduan OAT
KDT Kategori 1 (2(HRZE)/4(HR)3)

Tahap intensif setiap hari RHZE Tahap lanjutan 3 kali


Berat badan
(150/75/400/275) seminggu RH (150/150)

Selama 56 hari Selama 16 minggu

30-37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet

38-54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet

55-70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet

≥ 71kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet

Tabel 3.6 Dosis paduan OAT kombipak Kategori 1


Dosis perhari Jumlah
Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet hari / kali
pengobatan pengobatan isoniazid rifamfisin pirazinami etambutol menelan
300 mg 450 mg d 500 mg 250 mg obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

f) Paduan OAT lini kedua


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya
(pengobatan ulang) yaitu :
 Pasien kambuh
 Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat

Tabel 3.6 Dosis harian paduan OAT KDT Kategori 2 (2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE))


Tahap lanjutan
Tahap intensif setiap hari RHZE
setiap hari
Berat badan (150/75/400/275)+S
RHE (150/75/275)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tab 4 KDT + 500 mg 2 tablet 4 KDT 2 tablet
streptomisin inj.
38-54 kg 3 tab 4 KDT + 750 mg 3 tablet 4 KDT 3 tablet

30
streptomisin inj.
55-70 kg 4 tab 4 KDT + 1000 4 tablet 4 KDT 4 tablet
mg streptomisin inj.
≥ 71kg 5 tab 4 KDT + 1000 5 tablet 4 KDT (>do 5 tablet
mg streptomisin inj. maks)

Tabel 3.7 Dosis harian fase awal dan dosis intermiten fase lanjutan dan paduan OAT
KDT Kategori 2 (2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3))
Tahap lanjutan
Tahap intensif setiap hari RHZE
3 kali seminggu
Berat badan (150/75/400/275)+S
RH (150/150) + E(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tab 4 KDT + 500 mg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT + 2 tab
streptomisin inj. etambutol
38-54 kg 3 tab 4 KDT + 750 mg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT + 3 tab
streptomisin inj. etambutol
55-70 kg 4 tab 4 KDT + 1000 mg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT + 4 tab
streptomisin inj. etambutol
≥ 71kg 5 tab 4 KDT + 1000 mg 5 tablet 4 KDT (>do 5 tablet 2 KDT + 5 tab
streptomisin inj. maks) etambutol.

Tabel 3.8 Dosis paduan OAT Kombipak Kategori 2 (2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3))

Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet etambutol Streptomisin Jumlah


pengobata pengobatan isoniazi rifampisi pirazinami Tablet Table injeksi hari/kali
n d 300mg n 450 mg d 500 mg 250 t 400 menelan
mg mg obat
Tahap 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75gr 56
awal (dosis
harian ) 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
Tahap 5 bulan 2 1 - 1 2 - 60
lanjutan
(dosis 3x

31
seminggu)

3.1.8 Pengobatan Tuberkulosis Pada Keadaan Khusus6


a. Tb Milier
 Rawat inap
 Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
 Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik, radiologik dan evaluasi
pengobatan , maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang sampai dengan 7 bulan
2RHZE/ 7 RH
 Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan
o Tanda / gejala meningitis
o Sesak napas
o Tanda / gejala toksik
o Demam tinggi
 Kortikosteroid: prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 5-10 mg setiap 5-7 hari,
lama pemberian 4 - 6 minggu.

b. Pleuritis Eksudativa Tb (Efusi Pleura Tb)

Paduan obat: 2RHZE/4RH.


 Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan penderita dan
berikan kortikosteroid
 Dosis steroid : prednison 30-40 mg/hari, diturunkan 5-10 mg setiap 5-7 hari,
pemberian selama 3-4 minggu.
 Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM. Ulangan
evakuasi cairan bila diperlukan.

c. Tb Di Luar Paru

Paduan obat 2 RHZE/ 1 0 RH.

32
Prinsip pengobatan sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya pengobatan untuk TB
tulang, TB sendi dan TB kelenjar, meningitis pada bayi dan anak lama pengobatan 12
bulan. Pada TB diluar paru lebih sering dilakukan tindakan bedah. Tindakan
bedah dilakukan untuk :

 Mendapatkan bahan / spesimen untuk pemeriksaan (diagnosis)


 Pengobatan : * perikarditis konstriktiva
* kompresi medula spinalis pada penyakit Pott's

Pemberian kortikosteroid diperuntukkan pada perikarditis TB untuk mencegah konstriksi


jantung, dan pada meningits TB untuk menurunkan gejala sisa neurologik.

d. Tb Paru Dengan Diabetes Melitus (Dm)

 Paduan obat: 2 RHZ(E-S)/ 4 RH dengan regulasi baik/ gula darah terkontrol


 Bila gula darah tidak terkontrol, fase lanjutan 7 bulan : 2RHZ(E-S)/ 7 RH
 DM harus dikontrol
 Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol ke mata;
sedangkan penderita DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata
 Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin akan mengurangi efektiviti obat oral anti
diabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
 Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol /
mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan.

e. Tb Paru Dengan Hiv / Aids

 Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomendasi ATS yaitu: 2 RHZE/RH


diberikan sampai 6-9 bulan setelah konversi dahak
 Menurut WHO paduan obat dan lama pengobatan sama dengan TB paru tanpa HIV /
AIDS.
 Jangan berikan Thiacetazon karena dapat menimbulkan toksik yang hebat pada kulit.
 Obat suntik kalau dapat dihindari kecuali jika sterilisasinya terjamin

33
 Jangan lakukan desensitisasi OAT pada penderita HIV / AIDS (mis INH, rifampisin)
karena mengakibatkan toksik yang serius pada hati
 INH diberikan terus menerus seumur hidup.
 Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi

f. Tb Paru Pada Kehamilan Dan Menyusui

 Tidak ada indikasi pengguguran pada penderita TB dengan kehamilan


 OAT tetap dapat diberikan kecuali streptomisin karena efek samping streptomisin
pada gangguan pendengaran janin
 Di Amerika OAT tetap diberikan kecuali streptomisin dan pirazinamid untuk wanita
hamil
 Pada penderita TB dengan menyusui, OAT & ASI tetap dapat diberikan, walaupun
beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetapi konsentrasinya kecil dan tidak
menyebabkan toksik pada bayi
 Wanita menyusui yang mendapat pengobatan OAT dan bayinya juga mendapat
pengobatan OAT dianjurkan tidak menyusui bayinya, agar bayi tidak mendapat dosis
berlebihan
 Pada wanita usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan rifampisin
dianjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, karena dapat terjadi
interaksi obat yang menyebabkan efektiviti obat kontrasepsi hormonal berkurang.

g. TB Paru dan Gagal Ginjal

 Jangan menggunakan OAT streptomisin, kanamisin dan capreomyci


 Sebaiknya hindari penggunaan etambutol karena waktu paruhnya memanjang dan
terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat diperlukan, etambutol dapat
diberikan dengan pengawasan kreatinin Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan
faal ginjal (CCT, Ureum, Kreatnin), jika ditemukan GFR > 20 tidap perlu
penyesuaian dosis, jika GFR 10-20 dapat memakai dosis 7,5-15 mg/kgBB/hari, jika
GFR < 10 dengan dosis 5-7,5mg/kgBB/hari.

34
 Rujuk ke ahli Paru.

h. TB Paru dengan Kelainan Hati

 Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelu
pengobatan
 Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh digunakan
 Paduan Obat yang dianjurkan / rekomendasi WHO: 2SHRE/6 RH atau 2 SHE/10 HE
 Pada penderita hepatitis akut dan atau klinik ikterik ,sebaiknya OAT ditunda sampai
hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat diperlukan dapat
diberikan S dan E maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan
dengan 6 RH
 Sebaiknya rujuk ke ahli Paru

i. Hepatitis Imbas Obat

 Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obatobat hepatotoksik (drug induced
hepatitis)
 Penatalaksanaan
o Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala / mual, muntah [+])
→ OAT Stop
o Bila klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan:
Bilirubin > 2 → OAT Stop
SGOT, SGPT > 5 kali : OAT stop
SGOT, SGPT > 3 kali, gejala (+) : OAT stop
SGOT, SGPT > 3 kali, gejala (-) → teruskan pengobatan, dengan pengawasan.

Paduan OAT yang dianjurkan :


o Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
o Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan laboratorium normal
kembali (bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH) desensitisasi sampai
dengan dosis penuh (300 mg). Selama itu perhatikan klinik dan periksa
laboratorium saat INH dosis penuh , bila klinik dan laboratorium normal ,

35
tambahkan rifampisin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat
badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES
o Pirazinamid tidak boleh digunakan lagi.

3.1.9 Komplikasi TB

Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum


pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa
komplikasi yang mungkin timbul adalah :
 Batuk darah
 Pneumotoraks
 Gagal nafas
 Gagal jantung
 Efusi pleura

3.2 DIABETES MELITUS

3.2.1 Definisi7

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya, yang menimbulkan beberapa komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan
pembuluh darah.

3.2.2. Epidemiologi

MenurutAmerican Diabetes Association(ADA) 2003, diabetes melitus merupakan


suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada
diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, dan disfungsi beberapa organ tubuh,
terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.

36
Di Indonesia, prevalensi DM mencapai 15,9-32,73%, dimana diperkirakan sekitar 5
juta lebih penduduk Indonesia menderita DM. Di masa mendatang, diantara penyakit
degeneratif diabetes adalah salah satu diantara penyakit tidak menular yang akan meningkat
jumlahnya di masa mendatang. WHO membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah
pengidap diabetes di atas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25
tahun kemudian, pada tahun 2025 jumlah tersebut akan membengkak menjadi 300 juta orang.
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecendrungan peningkatan angka
insidensi dan prevalensi DM Tipe 2 diberbagai penjuru dunia. WHO memprediksikan
kenaikan jumlah penyandang Diabetes mellitus di Indonesian dari 8,4 juta pada tahun 2000
menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.

3.2.3. Patogenesis Diabetes Melitus7

Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal
sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan diketahui bahwa
kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis),
gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal
(peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan
dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2.

37
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet)
berikut :

1. Kegagalan sel beta pancreas:


Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang.
Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1
agonis dan DPP-4 inhibitor.

2. Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu gluconeogenesis
sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production)
meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses
gluconeogenesis.

3. Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di
intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport

38
glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.

4. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam
plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan
resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan
yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini
adalah tiazolidindion.

5. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2
hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2
didapatkan defisiensi
GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh
keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja
menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga
mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang
memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat
meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja
ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.

6. Sel Alpha Pancreas:


Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah
diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa
kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam
keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang
menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis,
DPP- 4 inhibitor dan amylin.

39
7. Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2.
Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa
terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co- Transporter)
pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui
peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa
dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang
menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus
ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah
SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.

8. Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik
yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme
kompensasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya
resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1
agonis, amylin dan bromokriptin.

3.2.4. Klasifikasi

Tabel 3.9 klasifikasi Diabetes Melitus


Tipe 1 Destruksi sel beta umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut.
 Autoimun
 Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai
resistensi insulin

Tipe lain  Defek genetik fungsi sel beta


 Defek genetik kerja insulin
 Penyakit eksokrin pankreas

40
 Endokrinopati
 Karena obat atau zat kimia
 Infeksi
 Sebab imunologi yang jarang
 Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
DM Gestasional

3.2.5. Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan


glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas
dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu di x pikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
• Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya.
• Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria,
serta pruritus vulva pada wanita.

41
3.2.6. Kriteria Diagnosis DM
 Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak
ada asupan kalori minimal 8 jam. Atau
 Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. Atau
 Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik. Atau
 Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi
oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).

Tabel 3.10 kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan prediabetes
HbA1c (%) Glukosa Darah Puasa Glukosa plasma 2 jam
(mg/dl) setelah TTGO (mg/dl)
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126mg/dl ≥ 200mg/dl
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal <5,7 <100 <140

42
3.2.7. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup


penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :
 Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, dan
mengurangi risiko komplikasi akut.
 Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
 Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

a. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya
hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

1. Obat Antihiperglikemia Oral


Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
 Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efekutama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan berat badan.
Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia
(orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal).

 Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2
macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia.

43
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin

 Metformin
Metformin mempunyai efek utama
mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan
glukosa di jaringan perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian
besar kasus DMT2. Dosis Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (GFR 30- 60 ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan pada
beberapa keadaan sperti: GFR<30 mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat,
serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK,gagal jantung [NYHA FC III-IV]). Efek
samping yang mungkin berupa gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala
dispepsia.

 Tiazolidindion (TZD).
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated Receptor
Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel otot,
lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh
sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV)
karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati,
dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk dalam
golongan ini adalah Pioglitazone.

c. Penghambat absorbsi glukosa disaluran pencernaan


 Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Penghambat
glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan GFR < 30ml/min/1,73 m 2, gangguan
faal hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi
berupa bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus.

44
Guna mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan dosis kecil. Contoh
obat golongan ini adalah Acarbose.

d. Terapi insulin
Indikasi pemberian Insulin pada keadaan :
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetic
- Hiperglikemia hyperosmolar non ketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO dois optimal
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi atau alergi terhadap OHO

Tabel 3.12 jenis insulin beserta durasi

b. terapi nonfarmakologis
Modifikasi gaya hidup meliputi olahraga rutin, diet, menghentikan merokok serta membatasi
konsumsi alkohol.

45
3.2.8. Komplikasi

a. Makroangiopati
 Pembuluh darah jantung
 Pembuluh darah tepi
 Pembuluh darah otak

b. mikroangiopati
 Retinopati Diabetikum
 Nefropati Diabetikum
 Neuropati Diabetikum

3.3 PENYAKIT GINJAL KRONIK / CHRONIC KIDNEY DISEASES8

3.3.1 Definisi

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif pada umumnya berakhir
dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu
sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal
pada penyakit ginjal kronik.

3.3.2 Epidemiologi

Penyakit ginjal kronik (PGK) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan
global, terdapat pada 5-10% populasi dunia dan meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan
Global Burden Of Disease Study pada tahun 2015, PGK menempati urutan ke 12 penyebab
kematian, dari sekitar 1,1 juta kematian penduduk di dunia. Berdasarkan data WHO pada
tahun 2016 angka kematian akibat PGK berkisar 1.168.339 orang atau sekitar 2% angka
kematian seluruh penyakit. Insidensi PGK diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun
di Amerika Serikat tahun 1995-1999, dan angka ini meningkat setiap tahunnya. Dinegara-
negara berkembang, insidensi PGK diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk

46
pertahun. Menurut data yang dilaporkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi PGK
di Indonesia sebesar 0,2% dan untuk Sulawesi Utara sebesar 0,4%.2
Indonesia Renal Registry tahun 2017, melaporkan bahwa dari 20.548 kasus PGK
derajat 5 terdapat 184 orang dengan koinfeksi TB(0,9%). Pada penelitian yang dilakukan oleh
Abdelrahman et al. Di arab saudi dilaporkan terdapat 7% pasien yang di diagnosis
tuberkulosis dari 256 pasien PGK dengan hemodialisa. Pasien dengan PGK mempunyai
peningkatan resiko TB dibanding dengan fungsi ginjal yang normal. Hal ini terkait dengan
penurunan Cell-Mediated Immunity, pengobatan imunosupresif, koinfeksi Humen
Imunodeficiency Virus (HIV), dan diabetes melitus (DM). Uremia juga berhubungan dengan
imunodefisiensi pada PGK yang disebabkan oleh abnormalitas fungsional dan neutrofil,
penurunan fungsi sel T dan B, serta terganggunya fungsi monosit dan sel dendritik turunan
monosit.2

3.3.3 Etiologi

Penyebab penyakit ginjal kronik (PGK) bermacam-macam, menurut Perhimpunan


Nefrogi Indonesia (PERNEFRI) tahun 2012 dua penyebab utama paling sering adalah
penyakit ginjal hipertensi (35%) dan nefropati diabetika (26%). Penyakit ginjal hipertensif
menduduki peringkat paling atas penyebab GGK. Penyebab lain dari GGK yang sering
ditemukan yaitu glomerulopati primer (12%), nefropati obstruksi (8%), pielonefritis kronik
(7%), nefropati asam urat (2%), nefropati lupus (1%), ginjal polikistik (1%), tidak diketahui
(2%) dan lain-lain (6%).

3.3.4 Gejala Klinis

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:


 Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, lupus eitomatosus sistemik
dan lain sebagainya.
 Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan, neuropati feife, pruitus, uremik frost, perikarditis, kejang-
kejang sampai koma.
 Gejala komplikasi antara lain, hipertensi, anemia, osteodistopi renal, payah jantung,
asidosis metabolik, gangguang keseimbangan elektrolit.

47
3.3.5 Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung penyakit yang


mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan masa ginjal mengakibatkan hipertropi struktural dan fungsional nefron yang
masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti
sitokin dan growth faktor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adapotasi ini berlangsung
singkat, selanjutnya diikuti proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa.
Proses ininakhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun
penyakit dasarnya sudah tidak ada lagi. Adanya aktivitas peningkatan aksis renin-
angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya
hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivitasi jangka panjang aksis renin-
angiotensin-aldosteron intrarenal sebagai diperantai oleh growth faktor yaitu transforming
growth faktor. Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas
penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat
variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun
tubulointerstinal.
Pada stadium Paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang
ginjal, pada keadaan basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara
perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai
dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien
masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea
dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30% mulai terjadi keluhan pada pasien
seperti, nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan.
Sampai pada LFG dibawah 30% pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata,
seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terinfeksi seperti infeksi
saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit, antara
lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang
lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal antara lain dialisis atau
transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
48
3.3.6 klasifikasi penyakit ginjal kronik

Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas 2 hal yaitu :

a. Berdasarkan derajat penyakit


Derajat Penjelasan LFG (ML/MM/1.73M2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≤90
atau meningkat
2 Kerusakan ginjal dengan LFG 60-89
peningkatan ringan
3 Kerusakan ginjal dengan LFG 30-59
peningkatan sedang
4 Kerusakan ginjal dengan LFG 15-29
peningkatan berat
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

b. Berdasarkan etiologi penyakit


Penyakit Tipe mayor
Penyakit ginjal diabetes Diabetea tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomelurus (penyakit
autoimun, infeksi sistemik, obat
neoplasma)
Penyakit vaskuler (penyakit pembuluh
darah besar, hipertensi,
mikroangiopati)
Penyakit tubulointestinal (pielonefritis
kronik, batu, obstruktif, keracunan
obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Rejeksi kronik keracunan obat
(siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)

49
transplantasi glomerulopathy.

3.3.7 Kriteria diagnostik

Kriteria diagnostik pada penyakit ginjal kronik dapat di lihat berdasarkan :


 Gambaran klinis
a) Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, LES, dan lain sebagainya. b) sindrom
uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual, nokturia, kelebihan volume
cairan, neuropati perifer, pruritus, uremik frost, perikarditis, kejang-kejang sampai
koma. c) Gejala komplikasi antara lain, hipertensi, anemia, osteodistopi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguang keseimbangan elektrolit.
 Gambaran laboratorium
a) Sesuai penyakit yang mendasarinya. b) penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan
ureum dan kreatinin serum dan penurunan LFG yang dihitung dengan menggunakan
rumus kockcroft-gault. c) kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar HB,
peningkatan asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hipo atau
hiperkloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik. d) kelainan
urinalisis meliputi, proteinuria, hematuri, leukosuria, cast, isostenuria.
 Gambaran radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :
a) Foto polos abdoment bisa tampak batu radio-opak
b) Pielografi jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati filter
glomerulus.
c) Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi
d) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal.
e) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

Tabel 3.11 kriteria penyakit ginjal kronik


1 Kerusakan ginjal (renal domage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
struktural atau fungsional dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus

50
(LFG) dengan menifestasi :
 Kelainan patologis
 Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi
darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan.
2 Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 2 selama 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dan LFG kurang dari
60 ml/menit/1,73m2 tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.

3.3.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :


 Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
 Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
 Memperlambat pemburukan fungsi ginjal.
 Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler
 Pencegahan dan terapi komplikasi
 Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

Tabel 3.13 rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya dan
komplikasi penyakit ginjal kronik
Deraja LFG
Rencana tatalaksana Komplikasi
t (ml/menit/1,732)
Terapi penyakit dasar, kondisi -
komorbid, evaluasi
1 ≥ 90 pemburukan (progression)
fungsi ginjal, memperkecil
resiko kardiovaskular.
Menghambat pemburukan Tekanan darah meningkat
2 60-89 (progression) fungsi ginjal

3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi Hiperfosfatemia

51
Hipokalsemia
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi
Persiapan untuk terapi Malnutrisi
pengganti ginjal Asidosis metabolik
4 15-29
Hiperkalemia
Dislipidemia
Terapi pengganti ginjal Gagal jantung
5 <15
uremia

 Terapi farmakologis
Bertujuan untuk mengurangi terjadinya hipertensi intraglomerulus. Pemakaina obat
antihipertensi bermanfaat untuk memperkecil resiko kardiovaskuler dan juga
memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa obat antihipertensi, terutama
penghambat enzim konverting angiotensin (Angiotensin converting enzyme /ACE
inhibitor)

52

Anda mungkin juga menyukai