Anda di halaman 1dari 13

Kesulitan download?

Kunjungi: https://warungbidan.blogspot.com/2020/11/makalah-tbc-dalam-kehamilan-persalinan.html

TBC DALAM KEHAMILAN, PERSALINAN DAN NIFAS

A. Definisi
Penyakit Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis), sebagian besar kuman TB menyerang Paru,
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
Kuman tuberkulosis berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut sebagai Basil Tahan Asam
(BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup
beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat
Dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.

B. Penularan TBC
Sumber penularana penyakit tuberculosis adalah penderita TB BTA positif. Pada
waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman keudara dalam bentuk Droplet
(percikan Dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan diudara pada suhu
kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi bila droplet tersebut terhirup kedalam
saluran pernapasan. Selama kuman TB masuk kedalam tubuh manusia melalui
pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya,
melalui sistem peredaran darah, sistem saluran linfe,saluran napas, atau penyebaran
langsung kebagian-nagian tubuh lainnya.
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin
menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman),
maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB
ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di
Indonesia dianggap cukup tinggi dan berfariasi antara 1 - 2 %. Pada daerah dengan ARTI
sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh) orang akan
terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB,
hanya 10 % dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB. Dari keterangan
tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI 1 %, maka diantara
100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita tuberkulosis setiap tahun,
dimana 50 % penderita adalah BTA positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan
seseorang menjadi penderita TB adalah daya tahan tubuh yang rendah; diantaranya
karena gizi buruk atau HIV/AIDS.
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB.
Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan
mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap disana.
Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di
paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran linfe akan membawa
kuman TB ke kelenjar linfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer.
Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer selama 4 - 6
minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin
dari negatif menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya
respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh
tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada
beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-
kadang daya tahan tubuh tidak mampu mengehentikan perkembangan kuman, akibatnya
dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa
inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan
sekitar 6 bulan.
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun
sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV
atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan
paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.
Komplikasi Pada Penderita Tuberkulosis antara lain hemoptisis berat (perdarahan
dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik
atau tersumbatnya jalan napas, kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial, bronkiectasis
dan fibrosis pada paru, pneumotoraks spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan
paru, penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan
sebagainya, insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).
Penderita yang mengalami komplikasi berat perlu dirawat inap di rumah sakit.
Penderita TB paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh (BTA negatif)

1
masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini seringkali dikelirukan dengan kasus
kambuh. Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan OAT tidak diperlukan, tapi cukup
diberikan pengobatan simptomatis. Bila perdarahan berat, penderita harus dirujuk ke unit
spesialistik.
Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50 % dari penderita TB akan meninggal, 25
% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi, dan 25 % sebagai menjadi kronik
yang tetap menular (WHO 1996).
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler
(Cellular Immunity), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka
yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan kematian. Bila
jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TB akan meningkat,
dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.
Gejala umum tuberculosis antara lain batuk terus menerus dan berdahak selama 3
(tiga) minggu atau lebih.Gejala lain yang sering dijumpai antara lain dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak napas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun,
berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa
kegiatan, dan demam meriang lebih dari sebulan.

1. Sumber penularana penyakit tuberculosis adalah penderita TB BTA positif


2. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman keudara dalam bentuk
Droplet (percikan Dahak)
3. Orang dapat terinfeksi bila droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan
4. kuman TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut
dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran linfe,saluran napas, atau penyebaran langsung kebagian-nagian tubuh
lainnya.
5. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer selama 4 - 6
minggu.
6. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon
daya tahan tubuh (imunitas seluler)

C. Diagnosis

2
Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya
BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif
apabila sedikitnya dua dari tiga SPS BTA hasilnya positif.
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu
foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. Kalau hasil rontgen
mendukung TB, maka penderita diidagnosis sebagai penderita TB BTA positif. Bila hasil
rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan lain, misalnya biakan. Bila tiga
spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya kotrimoksasol atau
Amoksisilin) selama 1 - 2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap
mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS : Kalau hasil SPS positif, didiagnosis
sebagai penderita TB BTA positif. Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan
foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB.
Bila hasil rontgen mendukung TB, diagnosis sebagai penderita TB BTA negatif
rontgen positif. Bila hasil ropntgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.
Karena yang menjadi sumber penyebaran TBC adalah penderita TBC itu sendiri,
pengontrolan efektif TBC mengurangi pasien TBC tersebut. Ada dua cara yang tengah
dilakukan untuk mengurangi penderita TBC saat ini, yaitu terapi dan imunisasi. Untuk
terapi, WHO merekomendasikan strategi penyembuhan TBC jangka pendek dengan
pengawasan langsung atau dikenal dengan istilah DOTS (Directly Observed Treatment
Shortcourse Chemotherapy). Dalam strategi ini ada tiga tahapan penting, yaitu
mendeteksi pasien, melakukan pengobatan, dan melakukan pengawasan langsung.
Deteksi atau diagnosa pasien sangat penting karena pasien yang lepas dari deteksi
akan menjadi sumber penyebaran TBC berikutnya. Seseorang yang batuk lebih dari 3
minggu bisa diduga mengidap TBC. Orang ini kemudian harus didiagnosa dan
dikonfirmasikan terinfeksi kuman TBC atau tidak. Sampai saat ini, diagnosa yang akurat
adalah dengan menggunakan mikroskop. Diagnosa dengan sinar-X kurang spesifik,
sedangkan diagnosa secara molekular seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) belum
bisa diterapkan
1. sebagai tersangka (suspek) TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung.
2. Pemeriksaan dahak dengan pewarnaan BTA dilakukan dengan metode SPS
(sewaktu-pagi-sewaktu) sebanyak tiga kali pengambilan, yaitu saat
3. pertama kali berkunjung, kemudian setelah bangun tidur pagi di hari kedua
(pot dahak dibawa pulang), dan saat menyerahkan pot dahak di hari kedua.

3
4. Foto radiologi dianggap positif bila ditemukan gambaran infiltrat atau kavitas.
5. Diagnosis TB pada pasien dengan HIV negatif ditegakkan berdasarkan alur
berikut:

D. Tuberkulosis Paru Dalam Kehamilan


1. Pengaruh kehamilan pada tuberkulosis paru
Tidak selalu mudah untuk mengenali ibu hamil dengan tuberkulosis paru,
apalagi penderita tidak menunjukkan gejala-gejala yang khas seperti badan kurus,
batuk menahun atau hemaptoe. Tuberkulosis aktif tidak membaik atau memburuk
dengan adanya kehamilan. Tetapi kehamilan bisa meningkatkan risiko tuberkulosis
inaktif terutama pada post partum. Reaktifasi tuberkulosis paru yang inaktif juga tidak
mengalami peningkatan selama kehamilan. Angka reaktifasi tuberkulosis paru-paru
kira-kira 5-10% tidak ada perbedaan antara mereka yang hamil maupun tidak hamil.

2. Efek tuberculosis terhadap kehamilan


Kehamilan dan tuberculosis merupakan dua stressor yang berbeda pada ibu
hamil. Stressor tersebut secara simultan mempengaruhi keadaan fisik mental ibu
hamil. Lebih dari 50 persen kasus TB paru adalah perempuan dan data RSCM pada
tahun 1989 sampai 1990 diketahui 4.300 wanita hamil,150 diantaranya adalah
pengidap TB paru (M Iqbal, 2007 dalam http://www.mail-archive.com/)
Efek TB pada kehamilan tergantung pada beberapa factor antara lain tipe, letak
dan keparahan penyakit, usia kehamilan saat menerima pengobatan antituberkulosis,
status nutrisi ibu hamil, ada tidaknya penyakit penyerta, status imunitas, dan
kemudahan mendapatkan fasilitas diagnosa dan pengobatan TB.
Status nutrisi yang jelek, hipoproteinemia, anemia dan keadaan medis maternal
merupakan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas maternal.
Usia kehamilan saat wanita hamil mendapatkan pengobatan antituberkulosa
merupakan factor yang penting dalam menentukan kesehatan maternal dalam
kehamilan dengan TB.
Kehamilan dapat berefek terhadap tuberculosis dimana peningkatan diafragma
akibat kehamilan akan menyebabkan kavitas paru bagian bawah mengalami kolaps
yang disebut pneumo-peritoneum. Pada awal abad 20, induksi aborsi
direkomondasikan pada wanita hamil dengan TB.

4
Selain paru-paru, kuman TB juga dapat menyerang organ tubuh lain seperti
usus, selaput otak, tulang, dan sendi, serta kulit. Jika kuman menyebar hingga organ
reproduksi, kemungkinan akan memengaruhi tingkat kesuburan (fertilitas) seseorang.
Bahkan, TB pada samping kiri dan kanan rahim bisa menimbulkan kemandulan. Hal
ini tentu menjadi kekhawatiran pada pengidap TB atau yang pernah mengidap TB,
khususnya wanita usia reproduksi. Jika kuman sudah menyerang organ reproduksi
wanita biasanya wanita tersebut mengalami kesulitan untuk hamil karena uterus tidak
siap menerima hasil konsepsi.
Harold Oster MD,2007 dalam http://www.okezone.com/index.php mengatakan
bahwa TB paru (baik laten maupun aktif) tidak akan memengaruhi fertilitas seorang
wanita di kemudian hari. Namun, jika kuman menginfeksi endometrium dapat
menyebabkan gangguan kesuburan. Tapi tidak berarti kesempatan untuk memiliki
anak menjadi tertutup sama sekali, kemungkinan untuk hamil masih tetap ada.
Idealnya, sebelum memutuskan untuk hamil, wanita pengidap TB mengobati TB-nya
terlebih dulu sampai tuntas. Namun, jika sudah telanjur hamil maka tetap lanjutkan
kehamilan dan tidak perlu melakukan aborsi.

3. Efek tuberculosis terhadap janin


Jika kuman TB hanya menyerang paru, maka akan ada sedikit risiko terhadap
janin.Untuk meminimalisasi risiko,biasanya diberikan obat-obatan TB yang aman
bagi kehamilan seperti Rifampisin, INH dan Etambutol. Kasusnya akan berbeda jika
TB juga menginvasi organ lain di luar paru dan jaringan limfa, dimana wanita tersebut
memerlukan perawatan di rumah sakit sebelum melahirkan. Sebab kemungkinan
bayinya akan mengalami masalah setelah lahir. Penelitian yang dilakukan oleh
Narayan Jana, KalaVasistha, Subhas C Saha, Kushagradhi Ghosh, 1999 dalam
http://proquest.umi.com/pqdweb tentang efek TB ekstrapulmoner tuberkuosis,
didapatkan hasil bahwa tuberkulosis pada limpha tidak berefek terhadap kahamilan,
persalinan dan hasil konsepsi. Namun juka dibandingkan dengan kelompok wanita
sehat yang tidak mengalami tuberculosis selama hamil mempunyai resiko
hospitalisasi lebih tinggi (21% : 2%), bayi dengan APGAR skore rendah segera
setelah lahir (19% : 3%), berat badan lahir rendah <2500.
Selain itu, risiko juga meningkat pada janin, seperti abortus, terhambatnya
pertumbuhan janin, kelahiran prematur dan terjadinya penularan TB dari ibu ke janin
melalui aspirasi cairan amnion (disebut TB congenital). Gejala TB congenital

5
biasanya sudah bisa diamati pada minggu ke 2-3 kehidupan bayi,seperti prematur,
gangguan napas, demam, berat badan rendah, hati dan limpa membesar. Penularan
kongenital sampai saat ini masih belum jelas,apakah bayi tertular saat masih di perut
atau setelah lahir. Prognosis bagi wanita hamil dengan penyakit tuberculosis yang
aktif telah mengalami perbaikan yang luar biasa selama waktu 30 tahun terakhir ini.
Beberapa preparat tuberculosis urutan pertama tidak terlihat memberikan efek yang
merugikan bagi janin. Penyakit tuberculosis yang aktif selalu dapat diobati paling
tidak dengan dua .macam preparat tuberculosis. Dalam suatu tinjauan (Snider,dkk
1980) tidak menemukan frekuensi cacat lahir pada anak-anak yang ibunya
mendapatkan pengobatan isoniazid, ethambutol maupun rifampisin selama
kehamilannya. Kelainan auditorius dan vestibuler yang ringan pernah ditemukan pada
terapi dengan streptomisin. Kalau isoniazid digunakan selama kehamilan, piridoksin
harus pula diberikan sebagai suplemen untuk mengurangi kemungkinan
neurotoksisitas yang potensial pada janin.
Bayi dari wanita yang menderita tuberculosis, mempunyai berat badan lahir
rendah, 2 x lipat meningkatkan persalinan premature, kecil masa kehamilan, dan
meningkatkan kematian perinatal 6 kali lipat. Pengaruh utama tuberculosis terhadap
kehamilan adalah mencegah terjadinya konsepsi sehingga banyak penderita
tuberculosis yang mengalami infertilitas.
Jika seorang wanita positif tuberculosis, riwayat penyakit harus dianamnesis
dengan cermat dan pemeriksaan fisik yang lengkap harus dilakukan dengan
melakukan foto thorks dan bagian abdomen dilindungi ketika pemeriksaan kardiologi
itu dilakukan. Jika hasilnya negative, pengobatan tidak diberikan sampai sesudah
persalinan bayi, yaitu dengan pemberian isoniazid selama satu tahun sebagai tindakan
profilaksis. Bayi yang lahir dari ibu dengan tuberculosis cukup rentan terhadap
penyakit tersebut. Karena itu bayi harus diisolasi segera dari ibunya yang dicurigai
tuberculosis aktif. Karena adanya risiko untuk terjadinya penyakit tuberculosis yang
aktif pada bayi, maka terapi profilaksis dengan isoniazid ataukah tindakan vaksinasi
BCG, keduanya mempeunyai manfaat yang cukup besar.
Bakteriemia selama kehamilan dapat menyebabkan infeksi plasenta, sehingga
janinpun dapat terinfeksi, kalaupun ada, kejadian ini jarang tetapi fatal. Pada setengah
kasus infeksi didapatkan penyebaran hematogen pada hati atau paru melalui vena
umbilikalis, setengah kasus lagi infeksi pada bayi disebabkan aspirasi secret vagina
yang terinfeksi selama proses persalinan. Infeksi neonatal tidak mungkin terjadi jika

6
ibunya yang menderita tuberculosis aktif telah berobat minimal 2 minggu sebelum
bersalin atau kultur BTA mereka negative.

4. Tes Diagnosis TB pada Kehamilan


Bakteri TB berbentuk batang dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap
asam. Karena itu disebut basil tahan asam (BTA). Kuman TB cepat mati terpapar
sinar matahari langsung,tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan
lembap. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat melakukan dormant (tertidur lama
selama beberapa tahun). Penyakit TB biasanya menular pada anggota keluarga
penderita maupun orang di lingkungan sekitarnya melalui batuk atau dahak yang
dikeluarkan si penderita. Hal yang penting adalah bagaimana menjaga kondisi tubuh
agar tetap sehat. Seseorang yang terpapar kuman TB belum tentu akan menjadi sakit
jika memiliki daya tahan tubuh kuat karena sistem imunitas tubuh akan mampu
melawan kuman yang masuk. Diagnosis TB bisa dilakukan dengan beberapa cara,
seperti pemeriksaan BTA dan rontgen (foto torak). Diagnosis dengan BTA mudah
dilakukan,murah dan cukup reliable.
Kelemahan pemeriksaan BTA adalah hasil pemeriksaan baru positif bila
terdapat kuman 5000/cc dahak. Jadi, pasien TB yang punya kuman 4000/cc dahak
misalnya, tidak akan terdeteksi dengan pemeriksaan BTA (hasil negatif). Adapun
rontgen memang dapat mendeteksi pasien dengan BTA negatif, tapi kelemahannya
sangat tergantung dari keahlian dan pengalaman petugas yang membaca foto rontgen.
Di beberapa negara digunakan tes untuk mengetahui ada tidaknya infeksi TB, melalui
interferon gamma yang konon lebih baik dari tuberkulin tes.
Diagnosis dengan interferon gamma bisa mengukur secara lebih jelas
bagaimana beratnya infeksi dan berapa besar kemungkinan jatuh sakit. Diagnosis TB
pada wanita hamil dilakukan melalui pemeriksaan fisik (sesuai luas lesi), pemeriksaan
laboratorium (apakah ditemukan BTA?), serta uji tuberkulin. Uji tuberkulin hanya
berguna untuk menentukan adanya infeksi TB, sedangkan penentuan sakit TB perlu
ditinjau dari klinisnya dan ditunjang foto torak. Pasien dengan hasil uji tuberkulin
positif belum tentu menderita TB. Adapun jika hasil uji tuberkulin negatif, maka ada
tiga kemungkinan, yaitu tidak ada infeksi TB, pasien sedang mengalami masa
inkubasi infeksi TB, atau terjadi anergi.

7
Kehamilan tidak akan menurunkan respons uji tuberkulin. Untuk mengetahui
gambaran TB pada trimester pertama, foto toraks dengan pelindung di perut bisa
dilakukan, terutama jika hasil BTA-nya negatif.

E. TBC Pada ibu Bersalin


Pasien yang sudah cukup mendapat pengobatan selam kehamilan biasanya masuk
ke dalam persalinan dengan proses tuberculosis yang sudah tenang. Persalinan pada
wanita yang tidak mendapat pengobatan dan tidak aktif lagi, dapat berlangsung seperti
biasa. Akan tetapi pada pasien yang masih aktif, penderita ditempatkan di kamar bersalin
tertentu. Persalinan ditolong dengan kala II dipercepat dengan ekstraksi vacuum atau
forcep, dan sedapat mungkin penderita tidak mengedan. Pasien diberi masker untuk
menutupi mulut dan hidungnya agar tidak terjadi penyebaran kuman ke sekitarnya.
Sedapat mungkin persalinan berlangsung pervaginam. Sedangkan section secarea hanya
dilakukan atas indikasi obstetric dan tidak atas indikasi tuberculosis paru.

F. TBC Pada ibu Nifas


kehamilan terhadap tuberculosis paru justru menonjol pada masa nifas. Hal ini
mungkin karena factor hormonal, trauma waktu melahirkan, kesibukan ibu dengan
bayinya, dll. Tetapi masa nifas saat ini tidak selalu berpengaruh asal persalinan
berlangsung dengan lancar, tanpa perdarahan banyak dan infeksi. Setelah penderita
melahirkan, penderita dirawat diruang observasi selama 6-8 jam, kemudian pasien dapat
dipulangkan langsung. Diberi obat uterotonika, dan obat TB paru diteruskan, serta
nasehat perawatan masa nifas.
Ibu dengan tuberculosis aktif baru dapat kontak dengan bayinya minimal 3 minggu
pertama pengobatan, dan bayinya juga mendapat isoniazid. Pada ibu penderita TBC paru
tetap dianjurkan untuk menyusui, karena kuman TBC tidak ditularkan melalui ASI. Ibu
tetap diberikan pengobatan TBC paru secara adekuat dan diajarkan cara pencegahan pada
bayi dengan menggunakan masker. Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui
tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu
menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat panduan OAT
secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah
penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi
tersebut dapat terus disusui

8
G. Penatalaksanaan TBC
1. Penatalaksanaan TBC Pada ibu hamil
Pengobatan TB pada ibu hamil pada prinsipnya tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Hanya saja, streptomisin TIDAK BOLEH diberikan
karena dapat menyebabkan cacat bawaan pada janin.
Pastikan selama masa pengobatan, pasien didampingi oleh seorang pengawas
minum obat (PMO) yang dapat memantau dan mendorong kepatuhan pasien berobat.
Untuk Kategori 1 (pasien TB baru BTA positif, ATAU pasien TB baru BTA
negatif foto toraks positif), ibu diberikan rifampisin, INH, pirazinamid, dan etambutol
setiap hari selama 2 bulan, dilanjutkan rifampisin dan INH 3 kali seminggu
(intermiten) selama 4 bulan. Dosis yang diberikan adalah sebagai berikut.
a. INH dosis 5 mg/kgBB/hari (untuk pemberian setiap hari) atau 10 mg/kgBB/hari
(untuk pemberian 3 kali seminggu); maksimum 300 mg/hari
b. Rifampisin 10 mg/kgBB/hari; maksimum 600 mg/hari
c. Pirazinamid 25 mg/kgBB/hari; maksimum 2000 mg/hari
d. Etambutol 15 mg/kgBB
Terapi tersebut dapat diberikan dalam bentuk kombinasi dosis tetap (KDT)
sesuai berat badan ibu seperti di bawah ini:
a. Lakukan pemeriksaan dahak kembali di akhir tahap intensif (bulan kedua). Bila
hasil negatif, lanjutkan pengobatan tahap berikutnya. Bila hasil positif, berikan
tambahan pengobatan seperti tahap intensif selama 28 hari (OAT sisipan). Setelah
selesai, lakukan pemeriksaan dahak ulangan. Bila negatif, lanjutkan pengobatan
ke tahap berikutnya. Bila tetap positif, rujuk pasien ke layanan TB-MDR untuk
pemeriksaan resistensi sambil melanjutkan pengobatan ke tahap lanjutan.
b. Lakukan pemeriksaan dahak satu bulan sebelum tahap lanjutan selesai (bulan
kelima). Bila hasilnya negatif, lanjutkan pengobatan. Bila hasilnya positif, rujuk
pasien ke layanan TB-MDR dan mulai pengobatan kategori 2.
c. Lakukan pemeriksaan dahak di akhir pengobatan (bulan keenam). Bila hasilnya
negatif, pasien dinyatakan sembuh. Bila hasilnya positif, rujuk pasien ke layanan
TB-MDR dan mulai pengobatan kategori 2.
d. Setelah lahir, bayi diberikan profilaksis INH (5-10 mg/kgBB/hari) sampai 6 bulan.
Vaksinasi BCG segera diberikan setelah pengobatan profilaksis selesai.

9
e. Ibu hamil dengan tuberkulosis Kategori 2 (pasien kambuh, pasien gagal, dan
pasien putus berobat) dan ibu hamil dengan TB ekstra paru sebaiknya dirujuk ke
layanan TB-MDR untuk mendapatkan pengobatan yang sesuai.
f. Regimen yang sama direkomondasikan pada wanita hamil dengan TB maupun
wanita non hamil dengan TB kecuali streptomycin. penggunaanPyrazinamide
dalam kehamilan.
Pengobatan tuberculosis aktif pada kehamilan hanya berbeda sedikit dengan
penderita yang tidak hamil. Ada 11 obat tuberkulosis yang terdapat di Amerika
Serikat, 4 diantaranya dipertimbangkan sebagai obat primer karena kefektifannya dan
toleransinya pada penderita, obat tersebut adalah isoniazid, rifampisin, ethambutol
dan streptomycin. Obat sekunder adalah obat yang digunakan dalam kasus resisten
obat atau intoleransi terhadap obat, yang termasuk adalah paminasalisilic acid,
pyrazinamide, cycloserine, ethionamide, kanamycin, voimycin dan capreomycin.
Pengobatan selama setahun dengan isoniazid diberikan kepada mereka yang tes
tuberkulin positif, gambaran radiologi atau gejala tidak menunjukkan gejala aktif.
Pengobatan ini mungkin dapat ditunda dan diberikan pada postpartum. Walaupun
beberapa penelitian tidak menunjukkan efek teratogenik dari isoniazid pada wanita
postpartum. Beberapa rekomendasi menunda pengobatan ini sampai 3-6 bulan post
partum. Sayangnya, penyembuhannya akan membawa waktu yang sangat lama.
Isoniazid termasuk kategori obat C dan ini perlu dipertimbangkan keamanannya
selama kehamilan. Alternatif lain dengan menunda pengobatan sampai 12 minggu
pada penderita asimtomatik. Karena banyak terjadi resistensi pada pemakaian obat
tunggal, maka sekarang direkomendasikan cara pengobatan dengan menggunakan
kombinasi 4 obat pada penderita yang tidak hamil dengan gejala tuberkulosis. Ini
termasuk isoniazid, rifampisin, pirazinamide atau streptomycin diberikan sampai tes
resistensi dilakukan. Beberapa obat tuberkulosis utama tidak tampak pengaruh
buruknya terhadap beberapa janin. Kecuali streptomycin yang dapat menyebebkan
ketulian kongenital, maka sama sekali tidak boleh dipakai selama kehamilan.
The center for disease control(1993) merekomendasikan resep pengobatan oral
untuk wanita hamil sebagai berikut :
a. Isoniazid 5 mg/kg, dan tidak boleh lebih 300 mg per hari bersama pyridoxine 50
mg per hari.
b. Rifampisin 10 mg/kg/hr, tidak lebih 600 mg sehari.

10
c. Ethambutol 5-25 mg/kg/hari, dan tidak lebih dari 2,5 gram sehari(biasanya 25
mg/kg/hari selama 6 minggu kemudian diturunkan 15 mg/kg/hr.
Pengobatan ini diberikan minimal 9 bulan, jika resisten terhadap obat ini dapat
dipertimbangkan pengobatan dengan pyrazinamide. Selain itu pyrazinamide 50
mg/hari harus diberikan untuk mencegah neuritis perifer yang disebabkan oleh
isoniazid. Pada tuberkulosis aktif dapat diberikan pengobatan dengan kombinasi 2
obat biasanya digunakan isoniazid 5 mg/kg/hari (tidak lebih 300 mg/hari) dan
ethambutol 15 mg/kg/hari. Pengobatan dilanjutkan sekurang-kurangnya 17 bulan
untuk mencegah relaps. Pengobatan ini tidak dianjurkan jika diketahui penderita telah
resisten terhadap isoniazid. Jika dibutuhkan pengobatan dengan 3 obat atau lebih,
dapat ditambah dengan rifampisin tetapi stretomycin sebaiknya tidak digunakan.
Terapi dengan isoniazid mempunyai banyak keuntungan (manjur, murah, dapat
diterima penderita) dan merupakan pengobatan yang aman selama kehamilan.
Efek Samping dari tiap-tiap obat tersebut ialah:
a. Isoniazid : Hepatotoksik maka tes fungsi hati seharusnya dilakukan dan diulang
secara periodik.
b. Reaksi hipersensitif: Neurotoksik yang sering adalah neuropati perifer yang dapat
dicegah dengan pemberian vitamin B6, selain itu kadang dapat terjadi kejang,
neuritis optik dan ataksia, stupor, enselopati toksik yang paling jarang terjadi.
Gangguan saluran pencernaan
c. Rifampisin : Sindrom flu, hepatotoksik
d. Pyrazinamide : Hepatotoksik, hiperuresemia
e. Streptomicin : Nefrotoksik, gangguan N.VIII kranial
f. Ethambutol : Neuritis optika, nefrotoksik, skin rash/dermatitis
g. Etionamid : Hepatotoksik, gangguan saluran cerna, teratogenik
h. P.A.S : Hepatotoksis dan gangguan saluran cerna.
Evaluasi pengobatan :
a. Klinis : Biasanya penderita dikontrol setiap minggu selama 2 minggu, selanjutnya
setiap 2 minggu selama sebulan sampai akhir pnegobatan. Secara klinis
hendaknya terdapat perbaikan dari keluhan-keluhan penderita seperti : batuk-
batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah.
b. Bakteriologis : Biasanya estela 2-3 minggu pengobatan, sputum BTA mulai jadi
negatif. Pemeriksaan control sputum BTA dilakukan sekali sebulan. Bila sudah
negatif, sputum BTA tetap diperiksa sedikitnya sampai 3x berturut-turut bebas

11
kuman. Sewaktu-waktu mungkin terjadi silent bacterial shedding, dimana sputum
BTA positif dan tanpa keluhan yang relevan pada kasus-kasus yang memperoleh
kesembuhan. Bila ini terjadi, yakni BTA positif pada 3 kali pemeriksaan biakan (3
bulan), berarti penderita mulai kambuh lagi tuberkulosisnya. Bila bakteriologis
ada perbaikan, tetapi klinis dan radiologis, harus dicurigai adanya penyakit lain
disamping tuberkulosis paru. Bila klinis, bakteriologis dan radiologis tetap tidak
ada perbaikan padahal penderita sudah diobati dengan dosis adekuat serta teratur,
perlu dipikirkan adanya gangguan imunologis pada penderita tersebut.

2. Penatalaksanaan TBC dalam persalinan.


a. Bila proses tenang, persalinan akan berjalan seperti biasa, dan tidak perlu tindakan
apa-apa.
b. Bila proses aktif, kala I dan II diusahakan mungkin. Pada kala I, ibu hamil diberi
obat-obat penenang dan analgetik dosis rendah. Kala II diperpendek dengan
ekstraksi vakum/forceps.
c. Bila ada indikasi obstetrik untuk sectio caesarea, hal ini dilakukan dengan bekerja
sama dengan ahli anestesi untuk memperoleh anestesi mana yang terbaik.

3. Penanganan tuberkulosis dalam masa nifas


a. Usahakan jangan terjadi perdarahan banyak : diberi uterotonika dan koagulasia.
b. Usahakan mencegah adanya infeksi tambahan dengan memberikan antibiotika
yang cukup.
c. Bila ada anemia sebaiknya diberikan tranfusi darah, agar daya tahan ibu kuat
terhadap infeksi sekunder.
d. Ibu dianjurkan segera memakai kontrasepsi atau bila jumlah anak sudah cukup,
segera dilakukan tubektomi.

12

Anda mungkin juga menyukai