Anda di halaman 1dari 24

Meet The Expert

AMNIOSINTESIS, AMNIOINFUSI, DAN AMNIOREDUKSI

Oleh:

Annisa Dania Juliana 1840312448

Putri Wahyuni 1840312413

Preseptor:

Prof. Dr. dr. Hj. Yusrawati, Sp.OG (K)

BAGIAN OBSTETRI & GINEKOLOGI

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Amniosintesis adalah penetrasi bedah transabdominal atau transervikal dari


uterus untuk aspirasi cairan amnion. Pemeriksaan ini merupakan salah satu
tindakan diagnostik invasif prenatal dan biasa digunakan untuk uji abnormalitas
kromosom, penyakit genetik dan infeksi pada fetus. Waktu pelaksanaan
amniosintesis ini adalah usia kehamilan 15-18 minggu.1,2

Pelaksanaan amniosintesis dibagi atas amniosintesis dini, pada trimester


pertama, dan amniosintesis pada trimester kedua kehamilan. Tujuan dilakukannya
adalah untuk memantau keadaan janin, baik itu maturitasnya maupun kondisi
janin, apakah ada kelainan genetik, serta mendeteksi jenis kelamin janin. 3

Amnioinfusi adalah prosedur melakukan infusi larutan NaCl fisiologis atau


ringer laktat ke dalam kavum uteri untuk menambah volume cairan amnion.
Terdapat beberapa indikasi dilakukan amnioinfusi secara intrapartum dan
antepartum, dengan tujuan diagnostik, terapeutik atau profilaksis. 1,3

Untuk melakukan amnioinfusi, harus ada syarat yang dipenuhi, yaitu usia
kehamilan yang kurang dari 26 minggu atau di antara usia kehamilan 24 hingga
32 minggu, serta adanya kondisi oligohidramnion, yakni kekurangan cairan
amnion kurang dari 5 persentil. Pelaksanaannya dapat dilakukan antepartum
maupun intrapartum. 1,3

Berbeda dengan amnioinfusi, amnioreduksi adalah prosedur sederhana untuk


normalisasi kadar cairan mengurangi ketidaknyamanan ibu, meningkatkan perfusi
uteroplasenta (terutama twin-to-twin transfusion syndrome (TTTS), mengurangi
distensi uterus dan mengurangi risiko ketuban pecah dini dan kelahiran prematur.

1
Hal ini dilakukan untuk mengurangi cairan pada kehamilan kembar tersebut.

Makalah ini dibuat untuk mengetahui tentang hal yang berhubungan dengan
cairan ketuban pada kehamilan, yaitu amniosintesis, amnioinfusi, dan
amnioreduksi, dan kondisi yang mengharuskan dilakukannya prosedur tersebut.

1.2. Batasan Masalah

1. Mengetahui definisi, indikasi, kontraindikasi, teknik pengambilan sampel,


dan komplikasi Amniosintesis.

2. Mengetahui definisi, indikasi, kontraindikasi, teknik pengambilan sampel,


dan komplikasi Amnioinfusi.

3. Mengetahui definisi, indikasi, kontraindikasi, teknik pengambilan sampel,


dan komplikasi Amnioreduksi

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menambah wawasan sebagai dokter
muda mengenai, Amniosintesis, Amnioinfusi, Amnioreduksi.

1.4. Metode Penelitian

Metode penulisan referat ini merupakan studi kepustakaan yang merujuk ke


beberapa literatur.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Amniosintesis

2.1.1 Pengertian Amniosintesis


Amniosintesis adalah penetrasi bedah transabdominal atau transervikal
dari uterus untuk aspirasi cairan amnion. Pemeriksaan ini biasa digunakan untuk
uji abnormalitas kromosom, penyakit genetik dan infeksi pada fetus. Waktu
pelaksanaan amniosintesis ini adalah usia kehamilan 15-18 minggu. Di US biasa
dilakukan amniosintesis dini, yaitu pada usia kehamilan 10-14 minggu. Namun,
karena potensial tinggi untuk menjadi PROM (Premature Rupture of Membrane),
infeksi dan pendarahan, sehingga amniosintesis jarang dilakukan pada usia ini.3
Secara teknis, pelaksanaan amniosintesis ini adalah dengan cara
memasukkan jarum menembus perut ibu, kemudian diambil 20 ml amnion.
Selanjutnya dari amnion tersebut dilakukan pemeriksaan sesuai dengan
tujuannya.3,4

Gambar 2.1. Amniosentesis2


3
Gambar 2.2. Amniosintesis

A. Amniosintesis Dini (Trimester Pertama)


Amniosintesis disebut dini jika dilakukan antara 11 dan 14 minggu.
Amniosintesis dini dilakukan untuk menilai kariotipe fetus lebih awal
dibandingkan trimester kedua amniosintesis. Beberapa penelitian menunjukan
hasil sitogenetik yang sama akurat dengan amniosintesis trimester kedua.
Kelebihan dari amniosintesis dini tekniknya sama dengan teknik
amniosentesis tradisional, meskipun tidak adanya fusi membran ke dinding
uterus menyebabkan fungsi kantong amnion menjadi lebih sulit, lebih sedikit
cairan yang didapat dikeluarkan (biasanya 1ml untuk setiap minggu gestasi),
mengurangi kontaminasi dari sel ibu dan plasenta mosaic, dan kemampuan
menilai cairan amnion.13
Terdapat beberapa kekurangan dari amniosintesis dini yaitu sulit
dilakukan113, menimbulkan angka kematian janin dalam angka penyulit yang
secara bermakna lebih tinggi dari amniosintesis biasa. Pada sebuah uji coba
acak multisentra baru-baru ini, angka abortus spontan setelah amniosintesis
dini adalah 2,5 persen dibandingkan dengan 0,7 persen pada amniosintesis
4
trimester kedua. Komplikasi lainnya adalah clubfoot (talipes) janin, yang
terjadi pada 1 hingga 1,4 persen setelah amniosintesis tradisional. Oleh
karena itu, banyak sentra tidak lagi menawarkan amniosintesis sebelum 15
minggu.2,3,5

B. Amniosintesis Trimester Kedua


Amnionsintesis adalah metode yang aman dan akurat untuk diagnosis
pranatal dan biasanya dilakukan antara 15 hingga 20 minggu gestasi.
Ultrasound digunakan sebagai penuntun untuk memasukan jarum spinal
ukuran 20 atau 22 kedalam kantong amnion, sembari menghindari plasenta,
tal pusat dan janin. Aspirat awal 1 sampai 2 ml cairan dibuang untuk
mengurangi kemungkinan pencemaran oleh sel-sel ibu, kemudian diambil
sekitar 20 ml cairan untuk analisis, dan jarum dikeluarkan. Tempat pungsi
diamati apakah ada perdarahan, dan pasien diperlihakan denyut jantung
janinnya. Angka kematian janin setelah amniosintesis adalah 0,5 persen atau
kurang (1 dari 200). Komplikasi minor jarang terjadi dan mecakup kebocoran
air ketuban dan bercak perdarahan pervaginam yang sifatnya sementara pada
1 hingga 2 persen dan korioaminionitis pada kurang dari per 1000 wanita
diperiksa. Cedera akibat jarum pada janin jarang terjadi.2,5

2.1.2 Tujuan dan indikasi dilakukannya amniosentesis


Tujuan dilakukannya amniosentesis yaitu:3
1. Menentukan maturitas janin yaitu dengan memeriksa bilirubin, kreatinin,
sel yang tercat lipid dan analisis surfaktan.
a. Pada kehamilan lebih dari 37 minggu, bilirubin dalam air ketuban
sudah lenyap kecuali terdapat penyakit hemolitik.
b. Konsentrasi kreatinin lebih dari atau sama dengan 1,8 mg/dl.

5
c. Jumlah sel-sel yang tercat lipid (berwarna orange pada pengecatan
nile blue sulfate) lebih dari atau sama dengan 15%.
2. Monitoring penyakit hemolitik.
3. Determinasi seks.
4. Diagnosis kelainan genetik.
Indikasi pemeriksaan amniosintesis :
 Ibu berusia di atas 35 tahun
 Pasangan yang telah memiliki anak dengan ketidaknormalan
kromosom
 Ibu yang membawa (karier) kelainan genetik X
 Menilai kematangan paru
 Menilai apakah terdapat spina bifida, anensefali maupun menilai
kadar bilirubin

2.1.3 Pemeriksaan Amniosintesis


Adapun pemeriksaan tersebut menurut adalah sebagai berikut:3,4

a. Dilakukan kultur sel yang ada di dalam amnion, kemudian diobservasi


pertumbuhannya (biasanya selama 2-3 minggu), selanjutnya dilakukan
penilaian terhadap sel tersebut. Jika sel tidak dapat tumbuh, maka
amniosintesis ini gagal. Tingkat keberhasilan dari kultur sel ini adalah 1:500.
Tingginya resiko kegagalan ini, maka sebelum dilakukan amniosintesis
sangat perlu dilakukan Informed Consent yang telah didahului dengan
penjelasan yang jelas.
b. Diagnosis neural tube defect, namun penggunaan amniosintesis untuk
diagnosis ini sudah banyak ditinggalkan, karena ada metode deteksi lain yang
minim intervensi, yaitu melalui USG.
c. Menilai maturasi paru dengan menilai ratio lestin: spingomielin.

6
d. Tindakan amniosintesis untuk pemeriksaan DNA dapat memberikan hasil
yang cepat.
e. Dalam Fanzylbera (2010), amniosintesis dikombinasikan dengan Chorionic
Villus Sampling (CVS) dapat digunakan sebagai metode diagnosis Down
Syndrome dan kelainan genetik lainnya. CVS adalah pengamblan sampel sel
janin yang berasal dari vili korionik. Keakuratan kombinasi kedua
pemeriksaan ini untuk mendiagnosis Down Syndrome lebih dari 99%.
Mekanisme pemeriksaannya adalah sel yang diperoleh dari kedua metode
tersebut dilakukan pemeriksaan mikroskopis terhadap ukuran kromosom dan
model ikatannya. Terdapatnya extra copy dari kromosom 21 pada kariotip
dapat digunakan sebagai penanda terjadinya Down Syndrome (kelainan
genetik yang paling sering terjadi).

2.1.4 Teknik Pemeriksaan Amniosentesis2


a. Penderita diminta untuk mengosongkan vesika urinarianya terlebih
dahulu karena sering yang terambil urin.
b. Pasien diminta berbaring telentang pada meja periksa
c. Raba fundus uteri diatas simpisis pubis, bersihkan tempat pengambilan
dengan antiseptic alcohol.
d. Jarum amniosintesis ditusukan pada dinding abdomen ditempat yang
sudah ditempatkan sebelumnya, jarum diarahkan tegak lurus menuju
pusat rongga uterus, setelah masuk kavum uteri cairan amnion diaspirasi
20 ml.
e. Beberapa tetes cairan amnion yang diaspirasi diteteskan pada tes strip
untuk menentukan urin, pH, protein dan glukosa. Biasanya ditemukan pH
amnion netral, protein dalam jumlah sedikit, kadar glukosa amnion
biasanya lebih kecil dari kadar dalam serum ibu, tetapi lebih besar dari
kadar dalam urin.

7
f. Diambil kira-kira 1 ml cairan amnion harus dimasukan dalam tabung test
terppisah untuk pemeriksaan alpha-fetoprotein.
Umumnya tidak dianjurkan melakukan pengulangan amniosintesis lebih dari
2 kali punksi dalam tenggang waktu 7-14 hari interval.

2.1.5 Teknik pemeriksaan kultur pada amniosintesis

Karakteristik cairan amnion yang diperiksa dibawah mikroskop segera setelah

amniosintesis dilaksanakaan, adalah gambaran pleomorfisme seluler. Berjenis sel

yang berganda ini tampak melekat pada tabung kultur dalam waktu 12-24 jam

pembuatan media. Ada 4 jenis sel cairan amnion yang dapat diamati, yaitu: sel

parabasal, sel blue intermediate, sel skuamosa tak berinti tercat biru, dan sel tak

berinti tercat jingga pada amnion yang diaspirasi pada trisemester ketiga.

2.1.6 Hasil Tes Amniosentesis

Setelah proses amniosentesis sudah selesai dilakukan, sampel cairan


ketuban yang diambil selama prosedur amniosentesis akan diuji di
laboratorium. Kebanyakan hasil tes amniosentesis akan negatif dan dapat
disimpulkan bahwa janin atau bayi dalam kandungan tersebut tidak memiliki
kelainan dan gangguan kesehatan. Sebaliknya, apabila ditemukan bahwa tes
amniosentesis menghasilkan nilai positif, itu berarti janin atau bayi mungkin
memiliki kelainan dan gangguan kesehatan sehingga harus mendapat
penanganan lebih serius.Cairan amnion normal bewarna jernih hingga ke
kuningan. Pada kehamilan lanjut cairan amnion mengandung bintik2 vernik
dan lanugo Bila cairan mengandung mekonium telah terjadi stres pada janin.
Cairan amnion berwarna coklat tembakau biasanya berkaitan dengan kematian
janin.5,6

8
2.1.7 Resiko Amniosentesis1,2,3,5,7,8
1. Keguguran
Ada kemungkinan kecil risiko keguguran di setiap kehamilan, baik
dengan menjalani amniosentesis/CVS atau tidak. Amniosentesis
meningkatkan sedikit risiko keguguran, terutama jika dilakukan sebelum usia
kehamilan 15 minggu. Untuk menurunkan risiko ini, amniosentesis dilakukan
oleh dokter yang berkompetensi dan berpengalaman.
Tidak bisa dipastikan mengapa bisa terdapat sedikit kemungkinan
amniosentesis mengarahkan kepada keguguran. Bisa jadi disebabkan oleh
infeksi, perdarahan, atau kerusakan membrana amniotik yang disebabkan
oleh prosedur.
Jika keguguran memang terjadi, biasanya terjadi dalam 72 jam pasca
amniosentesis. Namun, keguguran masih bisa terjadi hingga dua minggu
sesudahnya. Keguguran yang terkait prosedur jarang terjadi setelah 3 minggu
pasca amniosentesis.
2. Infeksi
Infeksi bisa, jarang, terjadi setelah amniosentesis. Sekitar 1 dari 1.000 ibu
hamil yang menjalani amniosentesis mengalami infeksi serius di dalam cairan
amniotik. Infeksi bisa disebabkan oleh beberapa hal, semisal:
a. Perlukaan pada usus dengan jarum yang digunakan pada prosedur,
sehingga kuman yang biasanya ada di usus masuk ke cairan amniotik.
b. Kuman yang ada di kulit (perut) ikut masuk bersama jarum ke dalam
rongga perut atau rahim.
c. Kuman yang ada di alat USG atau jeli USG, ikut masuk ke dalam rongga
perut.
Gejala bisa termasuk demam, nyeri pada perut, konstraksi rahim. Namun,

9
infeksi biasanya tidak terjadi jika prosedur untuk mencegah infeksi dilakukan
dengan benar.

3. Cedera pada janin


Terdapat juga risiko cedera pada janin dengan jarum yang digunakan
melakukan amniosentesis. Namun, dengan panduan USG tak terputus selama
amniosentesis telah menurunkan kemungkinan komplikasi ini dan saat ini
sangat jarang. Cedera pada plasenta juga dimungkinkan, namun ini umumnya
tidak menyebabkan masalah apapun dan sembuh dengan sendirinya.
4. Berkembangnya penyakit rhesus pada bayi
Jika golongan darah ibu adalah rhesus negatif, dan golongan darah bayi
rhesus positif, maka ada risiko kemungkinan ibu akan membentu antibodi
terhadap sel-sel darah bayi setelah prosedur amniosentesis. Ini berarti ada
kemungkinan bayi akan mengalami penyakit rhesus. Sehingga, jika Anda
memiliki rhesus negatif, maka Anda akan disarankan disuntik dengan
immunoglobulin anti-D setelah amniosentesis guna mencegah hal ini.

2.2 Amnioinfusi
2.2.1 Pengertian
Amnioinfusi adalah Prosedur melakukan infusi larutan NaCl fisiologis
atau ringer laktat ke dalam kavum uteri untuk menambah volume cairan
amnion.1,3

10
Gambar 2.3a. Amnioinfusi

Gambar 2.3b. Amnioinfusi

2.2.2Syarat

 Usia kehamilan <26 mg atau 24 – 32 mg


 Jumlah cairan Amnion: Oligohidramnion (AFI <5 cm atau <5 persentil
atau AFI < 2 cm)
2.2.3 Indikasi

Dibagi atas indikasi intrapartum dan antepartum, dengan tujuan diagnostik,


terapeutik atau profilaksis dan dapat dilakukan transervikal maupun
transabdominal. Transvagina infus amnion dilakukan pada tiga masalah klinik
yaitu :4
11
1) Pengobatan dari variabel atau deselarasi denyut jantung janin yang
memanjang.

2) Profilaksis pada kasus–kasus yang diketahui oligohidroamnion dengan pecah


ketuban lama.

3) Untuk mendilusi atau membersihkan mekonium yang tebal.

Cara ini dilakukan dengan memberikan 500 sampai dengan 800 ml bolus
cairan normal salin yang hangat diikuti dengan pemberian infus secara kontinu
sebanyak 3 ml per jam.

Gambar 2.4. Amnioinfusi Transervikal

Gambar 2.4. Amnioinfusi Transabdominal

12
1. Amnioinfusi antepartum
Dalam masa antepartum tindakan amnioinfusi bertujuan untuk menilai
struktur anatomi janin, dan juga untuk mengurangi komplikasi pada janin akibat
oligohidramnion, namun lebih jarang dilakukan.9,10,11

Dalam periode antepartum amnioinfusi dapat dilakukan transabdominal


yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pencitraan sonografi, untuk
mendapatkan cairan bagi kultur dan pemeriksaan karyotyping dan mencapai
jumlah cairan amnion yang adekuat sehingga mencegah terjadinya hipoplasia
paru dan arthrogryposis. Pada kasus-kasus tertentu amnioinfusi dapat menjadi
sarana untuk memasukkan antibiotik profilaksis pada ketuban yang pecah
sebelum waktunya.1,11

Gembruch dan Hansmann pada tahun 1988 melakukan Amnioinfusi


transabdominal untuk dapat memperbaiki pencitraan ultrasonografi, saat ini dapat
dilakukan konfirmasi terhadap pecahnya ketuban dengan menyuntikkan zat indigo
carmin transabdominal dan dilihat apakah ada pengeluaran cairan berwarna biru
dari vagina.

2. Amnioinfusi intrapartum
Dalam periode intrapartum, Amnioinfusi bertujuan untuk diagnostik
(aspirasi cairan untuk pemeriksaan mikrobiologi), terapeutik (mengurangi
kompresi tali pusat) atau profilaksis (mencegah aspirasi mekonium).11

Indikasi Amnioinfusi pada saat intrapartum adalah:10

 Deselerasi variabel dengan atau tanpa oligohidramnion


 Mekonium dengan atau tanpa oligohidramnion
 Oligohidramnion pada preterm atau aterm akibat pecahnya ketuban
 Oligohidramnion dengan ketuban masih utuh
Pada korioamnionitis dapat dilakukan aspirasi cairan untuk pemeriksaan

13
pewarnaan gram, kultur dan tes sensitivitas sesuai indikasi, dengan memasukkan
cairan melalui kateter intrauteri kemudian dilakukan pembilasan dapat
menemukan pewarnaan mekonium yang tersembunyi (tidak nampak).11

Deselerasi variabel yang berulang dalam masa persalinan dapat


menyebabkan asidosis pada janin, hal ini dapat diatasi dengan pemberian
Amnioinfusiuntuk mengembalikan volume cairan ketuban yang dapat mengurangi
kompresi tali pusat sehingga dapat mengurangi deselerasi.9

Still dkk melaporkan tindakan amnioinfusi profilaksis pada ketuban yang


pecah saat aterm dan oligrohidramnion (AFI <5 cm) menurunkan kejadian
aspirasi mekonium, deselerasi variabel, bradikardia, seksio sesar karena gawat
janin dan pH darah arteri umbilkalis yang rendah. Para peneliti lain melaporkan
manfaat tindakan amnioinfusi pada persalinan yang berkomplikasi dengan
mekonium atau mekonium dan oligohidramnion. Amnioinfusi dapat menurunkan
insiden:10,11

 Apgar skor yang rendah (<7)

 Mekonium di bawah pita suara dan orofaring


 Mekonium yang kental
 pH a.umbilikalis <7,20
 Gawat janin intrapartum
 Partus tindakan atas indikasi gawat janin
 Seksio sesaria
 Pemberian ventilasi tekanan positif untuk bayi baru lahir

2.2.4 Tujuan8,9
 Menurunkan resiko terjadinya PPROM (Preterm Premature
rupture of membranes)
 Menurunkan resiko terjadinya persalinan prematur.

14
 Menurunkan resiko terjadinya prolaps selaput.

2.2.5 Kontraindikasi
Pada umumnya kontraindikasi untuk persalinan pervaginam seperti plasenta
previa, riwayat ruptura uteri juga merupakan kontraindikasi absolut untuk
amnioinfusi transervikal intrapartum.

Kondisi lain yang juga merupakan kontraindikasi adalah bila tidak


mempunyai manfaat untuk janin misalnya kelainan bawaan yang letal dan
kematian janin dalam rahim. Pada keadaan yang sudah jelas ada kegawatan janin
maka lebih bijaksana untuk segera melahirkan bayi tersebut daripada mencoba
dengan amnioinfusi.

Kontraindikasi ibu pada tindakan amnioinfusi termasuk kelainan jantung


dengan klasifikasi fungional (NYHA) II atau lebih karena dapat menyebabkan
kelebihan cairan akibat ammnioinfusi yang cepat. Korioamnionitis masih menjadi
perdebatan apakah termasuk kontraindikasi, karena ada pendapat lain yang justru
memasukkannya sebagai indikasi.11

Yang termasuk kontraindikasi relatif untuk Amnioinfusi adalah :9,11

a. Anomali uterus
b. Korioamnionitis
c. Penyakit jantung ibu yang termasuk klasifikasi klas II, III dan IV
d. Pertumbuhan janin terhambat
e. Malformasi janin
f. Gawat janin
g. Malpresentasi
h. Riwayat seksio sesar klasik, atau jenis seksio sesar sebelumnya tidak
diketahui
i. Solusio plasenta

15
j. Kehamilan ganda

2.2.6 Prosedur9,11
1. Berikan penjelasan kepada pasien mengenai keuntungan dan kerugian
tindakan ini dan lebih baik kalau ada persetujuan tertulis.
2. Pemeriksaan dalam dilakukan untuk menilai prensentasi, ada tidaknya
prolaps tali pusat, dilatasi dan pendataran serviks dan penurunan kepala.
3. Lakukan konfirmasi apakah selaput ketuban sudah pecah untuk tindakan
amnioinfusi transervikal. Pasang elektroda untuk internal kardiotokografi
dan kateter tekanan intrauteri. Pemasangan elektroda di kulit kepala janin
untuk pemantauan jantung janin yang kontinu bukan suatu keharusan,
namun dianjurkan untuk memantau kesejahteraan janin dengan lebih
akurat.
4. Kateter intrauteri yang dipasang harus dapat memantau tekanan intrauteri
dan memasukkan cairan, ada pula yang memakai tokodinamometer
eksternal untuk memantau tekanan uterus.
5. Cairan yang digunakan adalah normal salin atau ringer laktat, sebaiknya
suhu cairan 37C untuk janin yang prematur atau untuk infus yang cepat
6. Infus diberikan dengan kecepatan 10–14 cc/menit, bisa lebih cepat sampai
15–25 cc/menit. Infus awal umumnya 500-600 ml. Ada yang
menganjurkan untuk menghentikan infusi setelah pemberian bolus namun
ada pula yang menganjurkan melanjutkan infusi dengan kecepatan 2-3
ml/menit. Biasanya diperlukan waktu 15–20 menit untuk memasukkan 500
ml cairan. Dengan pemberian awal sebanyak 500 cc sebagian besar (90%
kasus) menunjukkan hilangnya deselerasi variabel dan dapat
meningkatkan AFI >10,0 cm, namun ada 15% yang memerlukan
pemberian kedua dan 5% yang memerlukan pemberian ketiga.

16
7. Batas akhir infusi tergantung dari pengalaman dan tujuan yang ingin
dicapai dan bersifat individual, biasanya dihentikan bila :
 Sudah ditetapkan memberikan infusion 600 – 1000 ml
 Ada perbaikan deselerasi variabel
 Indeks cairan amnion > 8 – 10 cm
8. Bila dilakukan pemantauan dengan ultrasonografi, dianjurkan memakai
panduan sebagai berikut :
 Bila indeks cairan amnion >10 cm, tidak perlu menambah cairan bolus
 Bila indeks cairan amnion 5-10 cm, berikan cairan bolus kedua sebanyak
250 ml dan lakukan USG ulang.
 Bila indeks cairan amnion <5 cm, berikan cairan bolus kedua sebanyak 500
ml dan lakukan USG ulang.
9. Dapat juga dilakukan bolus ulangan 500–600 ml tiap 6 jam atau infus yang
tetap dengan kecepatan 2-3 ml/menit, tergantung pada tekanan uterus,
indeks cairan amnion yang diperiksa secara periodik dan perkiraan jumlah
cairan ketuban yang keluar.
10. Lakukan penilaian periodik terhadap: pola denyut jantung janin, aktivitas
dan tonus uterus, jumlah cairan yang diberikan, rembesan dari vagina, dan
kemajuan persalinan.
11. Penilaian terhadap komplikasi.

2.2.7 Komplikasi
Dari survei yang dilakukan ada 26% senter yang melaporkan paling sedikit
satu komplikasi, yang paling sering adalah hipertonus uteri (14%) kemudian
denyut jantung yang abnormal (9%), namun komplikasi yang berat jarang terjadi.
Untuk mencegah terjadinya overdistensi uterus maka pemberian cairan harus
diawasi dengan baik, telah dilaporkan kejadian overdistensi pada pemberian 4
liter cairan salin secara kontinu.1,9

17
Posner dkk melaporkan 2 kasus polihidramnion yang terjadi sesudah
amnioinfusion, satu disangka solusio plasenta dan yang satunya terjadi bradikardi
janin dan peningkatan tonus uteri, namun keduanya membaik setelah dilakukan
pengeluaran cairan amnion. Miyazaki dan Taylor melaporkan satu kasus
bradikardi janin pada saat memberikan amnioinfusi yang cepat (400 ml dalam 8
menit.

Strong dkk melaporkan perpanjangan lama persalinan dari 10,1 + 6,5 jam
menjadi 16,8+12,1 jam sedang Schimmer dkk melaporkan pemendekan lama
persalinan pada pasien yang diberikan amnioinfusi. Dibble dan Elliott melaporkan
2 kasus emboli air ketuban pasca amnioinfusi, namun merupakan emboli ringan
karena adanya efek dilusi dari cairan yang diberikan terhadap partikel. Penulis
lain melaporkan adanya distres pernafasan ibu yang berhubungan dengan
amnioinfusi.10

2.3. Amnioreduksi

2.3.1 Pengertian12

Amnioreduksi adalah prosedur sederhana untuk normalisasi kadar cairan


mengurangi ketidaknyamanan ibu, meningkatkan perfusi uteroplasenta (terutama
twin-to-twin transfusion syndrome (TTTS). Amnioreduksi dapat dilakukan secara
manual atau dengan perangkat bantuan vakum (tabung vakum dan botol vakum).
Jarum pengukur yang berbeda dapat digunakan (biasanya nomor 18G atau 20G),
dan berbagai jumlah cairan dapat dihilangkan dengan laju yang bervariasi,
tergantung pada situasi klinis.

2.3.2 Indikasi12

Tujuan pada ibu dalam kehamilan tunggal adalah memperbaiki dispnea ibu.
Secara keseluruhan, indikasi yang paling umum untuk amnioreduksi adalah dalam
pengaturan twin-to-twin transfusion syndrome (TTTS), di mana ia dilakukan
untuk mengurangi volume cairan pada kembar penerima dan dengan demikian
18
meningkatkan aliran darah ke donor kembar dengan mengurangi tekanan di dalam
rongga ketuban.

Gambar 2.5. Amnioreduksi

Amnioreduksi mengurangi distensi uterus dan mengurangi risiko ketuban


pecah dini dan kelahiran prematur. Amnioreduksi juga dapat dilakukan untuk
mengurangi kadar dan tekanan cairan dalam kasus-kasus di mana amniotic sac
prolaps sebelum penempatan serviks cerclage, dengan tujuan memungkinkan
kantung amniotik untuk menarik kembali ke dalam rongga rahim.

2.3.3Kontraindikasi12

Kontraindikasi untuk amnioreduksi meliputi:

a. Gangguan pendarahan ibu atau janin


b. Persalinan prematur
c. Chorioamnionitis yang dicurigai
d. Prosedur ini harus dihentikan jika jarum menusuk janin atau tali pusat.

19
2.3.4 Persiapan sebelum tindakan12
A. Edukasi dan Persetujuan Pasien
Persetujuan tertulis harus diperoleh dari pasien. Menginformasikan
tentang risiko, manfaat, dan alternatif yang, dan pasien harus mengerti.
Secara khusus, risiko seperti persalinan prematur (dan kelahiran), infeksi
(misalnya korioamnionitis), solusio plasenta (perdarahan), dan kematian janin
harus dijelaskan kepada pasien. Risiko keseluruhan 1,5-3,1% dicatat dalam
literatur.

B.Perencanaan Praprosedural

Kemungkinan persalinan sesar jika perlu harus segera tersedia. Persiapan


ini harus mencakup menempatkan pasien pada nil per os (NPO) dan
berpotensi memberikan kortikosteroid antenatal seperti yang ditunjukkan dan
sesuai sesuai dengan pedoman standar. Siaga anestesi mungkin tepat (untuk
penunjang mulai dari sedasi [IV] intravena hingga anestesi umum).

C. Persiapan Pasien
Sedasi ibu dengan benzodiazepin dapat mengurangi pergerakan dan
meningkatkan kenyamanan. Anestesi lokal (misalnya lidokain) disuntikkan ke
kulit dan jaringan subkutan untuk mengurangi rasa sakit. Pasien harus
telentang dalam posisi miring lateral kiri untuk mengurangi kompresi vena
cava, dan bantal penopang harus digunakan untuk meningkatkan kenyamanan
ibu.

2.3.5 Prosedur tindakan12


Penempatan jarum dengan panduan USG merupakan standar untuk
amnioreduksi. Prosedur transplasental harus dihindari jika memungkinkan.
Biasanya, tempat yang dipilih untuk amnioreduksi adalah ventral ke janin yaitu, di
antara lutut dan siku. Sebelum penyisipan jarum, kaliper sonografi dapat
digunakan untuk menghitung perkiraan kedalaman jarum yang harus dimajukan.
20
Gambar 2.6. Amnioreduksi yang dipandu ultrasoundsonogram menunjukkan penempatan
jarum untuk amnioreduksi dalam kasus polihidramnion.

Amnioreduksi dapat digunakan pada kehamilan tunggal dengan


polihidramnion. Jika sejumlah besar cairan harus dihilangkan, pengurangan
ukuran uterus mungkin cukup untuk mengubah orientasi anatomi. Sebagai
tindakan pencegahan dalam situasi ini, memasukkan jarum ke arah kepala dapat
lebih baik. Ketika drainase berlanjut, jarum kemudian akan diarahkan secara
kaudal dan dengan demikian akan lebih kecil kemungkinan terlepas dari rongga
amniotik.

Dalam kasus-kasus serupa sindrom yang terkait dengan TTTS, amnioreduksi


dapat mengakibatkan komplikasi seperti eksaserbasi anemia dan hemodilusi yang
dapat menyebabkan komplikasi pada ibu.

21
KESIMPULAN

1. Amniosintesis adalah pemeriksaan yang biasa digunakan untuk uji


abnormalitas kromosom, penyakit genetik dan infeksi pada fetus.

2. Amnioinfusi adalah suatu tindakan memasukkan cairan kristaloid ke dalam


rongga amnion untuk menggantikan cairan amnion yang berkurang atau
sudah tidak ada.

3. Amnioreduksi adalah prosedur sederhana untuk normalisasi kadar cairan


mengurangi ketidaknyamanan ibu, meningkatkan perfusi uteroplasenta
(terutama twin-to-twin transfusion syndrome (TTTS)). Amnioreduksi dapat
dilakukan secara manual atau dengan perangkat bantuan vakum (tabung
vakum dan botol vakum).

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Jenkins T, Wapner R. Prenatal diagnosis of congenital disorders. In: Creasy R,


Resnik R, Iams J, editors. Maternal fetal medicine. 8th ed. Philadelphia: WB.
Saunders; 2018. p. 325-73

2. Leven, Kenneth J, dkk. 2017. Obstetri William. Edisi 24. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

3. Hahnemann N. Early prenatal diagnosis: a study of biopsy techniques and cell


culturing from extraembryonic membranes. Clin Genet 1974;6:294-306.

4. Irianti, Bayu, Dkk. 2014. Asuhan Kehamilan Berbasis Bukti. Jakarta: CV


Sagung Seto

5. Soothill P. Fetal blood sampling before labor. In: James D, Steer P, Weiner C,
Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New York:
W.B Saunders; 2000. p. 225-33

6. amniosentesis diagnosa kelainan dan gangguan kesehatan janin dalam


kandungan (diakses pada tgl 14 Februari 2019 pukul 19:11 WIB)

7. http://legawa.com/?p=290 (dr. I Putu Cahya Legawa) (diakses pada tgl 14


Februari 2019 pukul 19:11 WIB)

8. Kusmiyanti, Yuni, dkk. 2009. Perawatan Ibu Hamil. Yogyakarta: Fitra Maya.
9. WikajosastroH, Saifuddin AB Rachimhadi T.editor.Ilmu Kebidanan Edisi
kelima .Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirhardjo, 2007.
10. Ouzounian J, Paul R. Role of Amnioinfusiin contemporary obstetric practice.
Contemporary OB/GYN® Archive 1996.
11. Weismiller D. Transcervical amnioinfusion. Available at: URL:
www.aafp.afp/index.html.
12. Jenny E Halfhill. Amnioreduction. MesScape. 2019 (Diakses pada
https://emedicine.medscape.com/article/ pada tanggal 14 Februari 2019)

13. Cunningham FG, et al. Prenatal diagnosis. In: Williams Obstetrics. 24th ed.
New York, N.Y.: The McGraw-Hill Companies; 2014.

23

Anda mungkin juga menyukai