DISUSUN OLEH
RHIDA AD’HAYANI
PO71242210050
JURUSAN KEBIDANAN
TAHUN 2021/2022
Ringkasan
1. Fetoscopy
Satu-satunya indikasi yang ditetapkan untuk fetoskopi operatif sampai saat ini adalah
untuk operasi fetoplasenta pada komplikasi berat yang mempengaruhi kehamilan ganda
monokorionik. Komplikasi tersebut terutama merupakan sindrom transfusi kembar-ke-
kembar yang parah (TTTS), kembaran jantung dan anomali sumbang pada kembar
monokorionik ketika kelainan tersebut tidak mematikan dan/atau memiliki efek
mengancam pada seluruh kehamilan, yaitu polihidramnion di kantung janin. janin
anensefalik. Target dari prosedur yang dibantu secara fetoskopi kemudian adalah
permukaan plasenta seperti pada TTTS atau tali pusat dari kembaran monokorionik
untuk dikoagulasi secara selektif.
2. Amniosentesis
Banyak kasus bayi kembar siam, bayi dengan usus terburai atau tanpa
tempurung kepala merupakan kasus kelainan bayi akibat tidak sempurnanya
pembentukan organ sewaktu janin masih dalam kandungan ibu. Faktornya sangat
kompleks mulai dari kekurangan gizi, kelainan genetik, faktor dari ibu maupun janin itu
sendiri. Namun kelainan-kelainan pada bayi biasanya terlambat untuk diketahui.
Bahkan meski sudah dilakukan pemeriksaan USG secara rutin, kelainan yang dialami
janin masih saja ada yang tidak terdeteksi. Kini sudah ada teknologi untuk mengetahui
kelainan bayi sejak dini bahkan ketika organ bayi belum terbentuk. Nama teknologi
tersebut adalah pemeriksaan prenatal diagnosis terintegrasi dimana nama
pemeriksaannya di sebut Amniocentesis atau pemeriksaan air ketuban untuk
mengetahui kelainan kromosom pada janin. Pemeriksaan tersebut bisa dilakukan pada
umur kandungan 12-14 minggu dimana pada waktu ini organ bayi bahkan belum
terbentuk. Dengan pemeriksaan air ketuban ini, para ibu bisa mengetahui lebih awal
apakah janinnya mengalami kelainan atau tidak.
1. Pengertian
Amniosentesis merupakan prosedur invasif yang menghilangkan jumlah cairan
ketuban untuk mendapatkan sel janin untuk pemeriksaan kromosom. Ini adalah salah
satu teknik dan metode diagnostik prenatal yang diperkenalkan selama sepuluh tahun
terakhir. Praktik ini penting dilakukan karena tingginya insiden kelainan kromosom
pada bayi, yaitu 90 kejadian per 10.000 kelahiran. Amniosentesis memiliki tujuan lain,
seperti janin penilaian tingkat kematangan paru, dan menentukan apakah terjadi infeksi
janin. Prosedur amniosentesis biasanya dilakukan pada usia kehamilan 15-20 minggu.
Jika prosedur amniosentesis dilakukan lebih awal dari usia kehamilan 15 minggu, risiko
keguguran meningkat. Analisis fosfolipid cairan amnion dapat menentukan derajat
pematangan paru janin. Cairan ketuban juga dapat digunakan untuk analisis biokimia,
studi molekuler, dan analisis kromosom microarray (CMA).
3. Pemeriksaan Amniosintesis
Adapun pemeriksaan tersebut menurut Henderson (2004) adalah sebagai berikut:
a. Dilakukan kultur sel yang ada di dalam amnion, kemudian diobservasi
pertumbuhannya (biasanya selama 2-3 minggu), selanjutnya dilakukan
penilaian terhadap sel tersebut. Jika sel tidak dapat tumbuh, maka
amniosintesis ini gagal. Tingkat keberhasilan dari kultur sel ini adalah 1:500.
Tingginya resiko kegagalan ini, maka sebelum dilakukan amniosintesis sangat
perlu dilakukan Informed Consent yang telah didahului dengan penjelasan
yang jelas.
b. Diagnosis neural tube deffect, namun penggunaan amniosintesis untuk
diagnosis ini sudah banyak ditinggalkan, karena ada metode deteksi lain yang
minim intervensi, yaitu melalui USG.
c. Menilai maturasi paru dengan menilai ratio lestin: spingomielin.
d. Tindakan amniosintesis untuk pemeriksaan DNA dapat memberikan hasil
yang cepat.
e. Dalam Fanzylbera (2010), amniosintesis dikombinasikan dengan Chorionic
Villus Sampling (CVS) dapat digunakan sebagai metode diagnosis Down
Syndrome dan kelainan genetik lainnya. CVS adalah pengamblan sampel sel
janin yang berasal dari vili korionik. Keakuratan kombinasi kedua
pemeriksaan ini untuk mendiagnosa Down Syndrome lebih dari 99%.
Mekanisme pemeriksaannya adalah sel yang diperoleh dari kedua metode
tersebut dilakukan pemeriksaan mikroskopis terhadap ukuran kromosom dan
model ikatannya. Terdapatnya extra copy dari kromosom 21 pada kariotip
dapat digunakan sebagai penanda terjadinya Down Syndrome (kelainan
genetik yang paling sering terjadi) (Bayu Irianti, 2014, Hal; 232-233)
4. Hasil Tes Amniosentesis
Setelah proses amniosentesis sudah selesai dilakukan, sampel cairan
ketuban yang diambil selama prosedur amniosentesis akan diuji di laboratorium.
Kebanyakan hasil tes amniosentesis akan negatife dan dapat disimpulkan bahwa
janin atau bayi dalam kandungan tersebut tidak memiliki kelainan dan gangguan
kesehatan. Sebaliknya, apabila ditemukan bahwa tes amniosentesis
menghasilkan nilai positif, itu berarti janin atau bayi mungkin memiliki
kelainan dan gangguan ksehatan sehingga harus mendapat penanganan lebih
serius. (Summase, 2014)
5. Resiko Amniosentesis
a. Keguguran
Ada kemungkinan kecil risiko keguguran di setiap kehamilan, baik dengan
menjalani amniosentesis/CVS atau tidak. Amniosentesis meningkatkan sedikit risiko
keguguran, terutama jika dilakukan sebelum usia kehamilan 15 minggu. Untuk
menurunkan risiko ini, amniosentesis dilakukan oleh dokter yang berkompetensi dan
berpengalaman.
Tidak bisa dipastikan mengapa bisa terdapat sedikit kemungkinan amniosentesis
mengarahkan kepada keguguran. Bisa jadi disebabkan oleh infeksi, perdarahan, atau
kerusakan membrana amniotik yang disebabkan oleh prosedur.
Jika keguguran memang terjadi, biasanya terjadi dalam 72 jam pasca amniosentesis.
Namun, keguguran masih bisa terjadi hingga dua minggu sesudahnya. Keguguran yang
terkait prosedur jarang terjadi setelah 3 minggu pasca amniosentesis.
b. Infeksi
Infeksi bisa, jarang, terjadi setelah amniosentesis. Sekitar 1 dari 1.000 ibu hamil
yang menjalani amniosentesis mengalami infeksi serius di dalam cairan amniotik.
Infeksi bisa disebabkan oleh beberapa hal, semisal:
1. Perlukaan pada usus dengan jarum yang digunakan pada prosedur, sehingga
kuman yang biasanya ada di usus masuk ke cairan amniotik.
2. Kuman yang ada di kulit (perut) ikut masuk bersama jarum ke dalam rongga
perut atau rahim.
3. Kuman yang ada di alat USG atau jeli USG, ikut masuk ke dalam rongga
perut.
4. Gejala bisa termasuk demam, nyeri pada perut, konstraksi rahim. Namun,
infeksi biasanya tidak terjadi jika prosedur untuk mencegah infeksi
dilakukan dengan benar.
c. Cedera pada janin
Terdapat juga risiko cedera pada janin dengan jarum yang digunakan melakukan
amniosentesis. Namun, dengan panduan USG tak terputus selama amniosentesis telah
menurunkan kemungkinan komplikasi ini dan saat ini sangat jarang. Cedera pada
plasenta juga dimungkinkan, namun ini umumnya tidak menyebabkan masalah apapun
dan sembuh dengan sendirinya.
d. Berkembangnya penyakit rhesus pada bayi
Jika golongan darah ibu adalah rhesus negatif, dan golongan darah bayi rhesus
positif, maka ada risiko kemungkinan ibu akan membentu antibodi terhadap sel-sel
darah bayi setelah prosedur amniosentesis. Ini berarti ada kemungkinan bayi akan
mengalami penyakit rhesus. Sehingga, jika Anda memiliki rhesus negatif, maka Anda
akan disarankan disuntik dengan immunoglobulin anti-D setelah amniosentesis guna
mencegah hal ini. (I Putu Cahya Legawa 2015)