Anda di halaman 1dari 8

FETO MATERNAL

“FETOSCOPY DAN AMNIOSENTESIS”

DISUSUN OLEH

RHIDA AD’HAYANI

PO71242210050

POLTEKKES KEMENKES JAMBI

PRODI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN

JURUSAN KEBIDANAN

TAHUN 2021/2022
Ringkasan

1. Fetoscopy

Fetoscopy adalah tindakan memasukkan instrumen melalui abdomen ke rongga uterus


untuk inspeksi janin secara visual. fetoskopi adalah teknik yang relatif lama yang
memungkinkan visualisasi endoskopi langsung dari embrio atau janin dengan
memasukkan endoskopi melalui serviks atau melalui perut ibu dan dinding rahim. Ini
juga merupakan panduan pertama untuk melakukan pengambilan sampel darah janin
melalui saluran teropong operatif. Perkembangan ultrasonografi resolusi tinggi
membuat teknik ini menjadi usang pada akhir 1980-an. Namun, perkembangan teknis
juga memungkinkan pembangunan endoskopi baru dengan diameter kurang dari 3 mm.
Bidang pandang dalam endoskopi ini agak terbatas dan semuanya harus dimasukkan
dan dipindahkan ke dalam rongga ketuban di bawah bimbingan ultrasound. Saat ini
hampir tidak ada indikasi untuk embrioskopi antara 11 dan 14 minggu. Dengan USG
transvaginal resolusi tinggi, seseorang dapat melakukan pemeriksaan anatomi janin
secara menyeluruh.

Satu-satunya indikasi yang ditetapkan untuk fetoskopi operatif sampai saat ini adalah
untuk operasi fetoplasenta pada komplikasi berat yang mempengaruhi kehamilan ganda
monokorionik. Komplikasi tersebut terutama merupakan sindrom transfusi kembar-ke-
kembar yang parah (TTTS), kembaran jantung dan anomali sumbang pada kembar
monokorionik ketika kelainan tersebut tidak mematikan dan/atau memiliki efek
mengancam pada seluruh kehamilan, yaitu polihidramnion di kantung janin. janin
anensefalik. Target dari prosedur yang dibantu secara fetoskopi kemudian adalah
permukaan plasenta seperti pada TTTS atau tali pusat dari kembaran monokorionik
untuk dikoagulasi secara selektif.
2. Amniosentesis
Banyak kasus bayi kembar siam, bayi dengan usus terburai atau tanpa
tempurung kepala merupakan kasus kelainan bayi akibat tidak sempurnanya
pembentukan organ sewaktu janin masih dalam kandungan ibu. Faktornya sangat
kompleks mulai dari kekurangan gizi, kelainan genetik, faktor dari ibu maupun janin itu
sendiri. Namun kelainan-kelainan pada bayi biasanya terlambat untuk diketahui.
Bahkan meski sudah dilakukan pemeriksaan USG secara rutin, kelainan yang dialami
janin masih saja ada yang tidak terdeteksi. Kini sudah ada teknologi untuk mengetahui
kelainan bayi sejak dini bahkan ketika organ bayi belum terbentuk. Nama teknologi
tersebut adalah  pemeriksaan prenatal diagnosis terintegrasi dimana nama
pemeriksaannya di sebut Amniocentesis atau pemeriksaan air ketuban untuk
mengetahui kelainan kromosom pada  janin. Pemeriksaan tersebut bisa dilakukan pada
umur kandungan 12-14 minggu dimana  pada waktu ini organ bayi bahkan belum
terbentuk. Dengan pemeriksaan air ketuban ini,  para ibu bisa mengetahui lebih awal
apakah janinnya mengalami kelainan atau tidak.
1. Pengertian
Amniosentesis merupakan prosedur invasif yang menghilangkan jumlah cairan
ketuban untuk mendapatkan sel janin untuk pemeriksaan kromosom. Ini adalah salah
satu teknik dan metode diagnostik prenatal yang diperkenalkan selama sepuluh tahun
terakhir. Praktik ini penting dilakukan karena tingginya insiden kelainan kromosom
pada bayi, yaitu 90 kejadian per 10.000 kelahiran. Amniosentesis memiliki tujuan lain,
seperti janin penilaian tingkat kematangan paru, dan menentukan apakah terjadi infeksi
janin. Prosedur amniosentesis biasanya dilakukan pada usia kehamilan 15-20 minggu.
Jika prosedur amniosentesis dilakukan lebih awal dari usia kehamilan 15 minggu, risiko
keguguran meningkat. Analisis fosfolipid cairan amnion dapat menentukan derajat
pematangan paru janin. Cairan ketuban juga dapat digunakan untuk analisis biokimia,
studi molekuler, dan analisis kromosom microarray (CMA).

Amniosentesis merupakan suatu prosedur pengambilan cairan amnion yang


berfungsi untuk mendeteksi secara dini kelainan pada janin. Prosedur amniosentesis ini
disarankan dilakukan pada usia kehamilan 15-20 minggu dengan tingkat akurasi yang
cukup tinggi yaitu sekitar 99,4%. Indikasi dilakukannya pemeriksaan ini adalah usia
kehamilan lebih dari 35 tahun, memiliki riwayat kelainan kongenital pada kehamilan
sebelumnya atau di keluarga ada yang memiliki kelainan kongenital, dan didapatkan
hasil yang signifikan pada pemeriksaan noninvasive prenatal test (NIPT). Seiring
berjalannya waktu, pemeriksaan amniosentesis bukan hanya untuk pemeriksaan
kelainan genetik saja tetapi pemeriksaan ini juga dapat melihat tingkat dari pematangan
paru janin.

Amniosintesis adalah pemeriksaan yang biasa digunakan untuk uji abnormalitas


kromosom, penyakit genetik dan infeksi pada fetus. Waktu pelaksanaan amniosintesis
ini adalah usia kehamilan 15-18 minggu. Di US biasa dilakukan amniosintesis dini,
yaitu pada usia kehamilan 10-14 minggu. Namun, karena potensial tinggi untuk menjadi
PROM (Prematur Ruptur Of Membran), infeksi dan pendarahan, sehingga amniosintesis
jarang dilakukan pada usia ini. Amniosintesis yang dilakukan pada trimester II tidak
menunjukkan resiko yang signifikan terhadap terjadinya ELBW (Extremely Low Birth
Weight, Less Than 1000 gr) maupun VLBW ( Very Low Birth Weight, Less Than 1500
gr).
Secara teknis, pelaksanaan amniosintesis ini adalah dengan cara memasukkan
jarum menembus perut ibu, kemudian diambil 20 ml amnion. Selanjutnya dari amnion
tersebut dilakukan pemeriksaan sesuai dengan  tujuannya. (Bayu Irianti, 2014: 231-232)

a.      Amniosintesis Dini ( Trimester Pertama)


Amniosintesis disebut dini jika dilakukan antara 11 dan 14 minggu. Tekniknya
sama dengan teknik            amniosentesis tradisional, meskipun tidak adanya fusi
membran ke dinding uterus menyebabkan fungsi kantong amnion menjadi lebih sulit,
lebih sedikit cairan yang didapat dikeluarkan (biasanya 1ml untuk setiap minggu
gestasi). Karena sebab-sebab yang belum sepenuhnya dipahami, amniosintesis dini
menimbulkan angka kematian janin dalam angka penyulit yang secara bermakna lebih
tinggi dari amniosintesis biasa. Pada sebuah uji coba acak multisentra baru-baru ini,
angka abortus spontan setelah amniosintesis dini adalah 2,5 persen dibandingkan
dengan 0,7 persen pada amniosintesis trimester kedua. Komplikasi lainnya adalah
clubfoot (tapiles) janin, yang terjadi pada 1 hingga 1,4 persen setelah amniosintesis
tradisional. Oleh karena itu, banyak sentra tidak lagi menawarkan amniosintesis
sebelum 15 minggu. (Kenneth J Leven 2013 Hal: 96)

b. Amniosintesis Trimester Kedua


Amnionsintesis adalah metode yang aman dan akurat untuk diagnosis pranatal
dan biasanya dilakukan antara 15 hingga 20 minggu gestasi. Ultrasound digunakan
sebagai penuntun untuk memasukan jarum spinal ukuran 20 atau 22 kedalam kantong
amnion, sembari menghindari plasenta, tal pusat dan janin. Aspirat awal 1 sampai 2 ml
cairan dibuang untuk mengurangi kemungkinan pencemaran oleh sel-sel ibu, kemudian
diambil sekitar 20 ml cairan untuk analisis, dan jarum dikeluarkan. Tempat pungsi
diamati apakah ada perdarahan, dan pasien diperlihakan denyut jantung janinnya.
Angka kematian janin setelah amniosintesis adalah 0,5 persen atau kurang (1 dari 200).
Komplikasi minor jarang terjadi dan mecakup kebocoran air ketuban dan bercak
perdarahan pervaginam yang sifatnya sementara pada 1 hingga 2 prsen dan
korioaminionitis pada kurang dari  per 1000 wanita diperiksa. Cedera akibat jarum pada
janin jarang terjadi. (Kenneth J Leven, 2013 Hal: 96)

2. Tujuan Dilakukannya Amniosentesis


Tujuan dilakukannya amniosentesis yaitu:
1.      Menetukan maturitas janin yaitu dengan memeriksa bilirubin, kreatinin, sel
yang tercat lipid dan analisis surfaktan.
a.       Pada kehamilan lebih dari 37 minggu, bilirubin dalam air ketuban sudah lenyap
kecuali terdapat penyakit hemolitik.
b.      Konsentrasi kreatinin lebih dari atau sama dengan 1,8 mg/dl.
c.       Jumlah sel-sel yang tercat lipid (berwarna orange pada pengecatan nile blue
sulfate) lebih dari atau sama dengan 15%.
2.      Monitoring penyakit hemolitik.
3.      Determinasi seks.
4.      Diagnosis kelainan genetik. (Yeni kusmiyati, 2009:43)

3. Pemeriksaan Amniosintesis
Adapun pemeriksaan tersebut menurut Henderson (2004) adalah sebagai berikut:
a.  Dilakukan kultur sel yang ada di dalam amnion, kemudian diobservasi
pertumbuhannya (biasanya selama 2-3 minggu), selanjutnya dilakukan
penilaian terhadap sel tersebut. Jika sel tidak dapat tumbuh, maka
amniosintesis ini gagal. Tingkat keberhasilan dari kultur sel ini adalah 1:500.
Tingginya resiko kegagalan ini, maka sebelum dilakukan amniosintesis sangat
perlu dilakukan Informed Consent yang telah didahului dengan penjelasan
yang jelas.
b.  Diagnosis neural tube deffect, namun penggunaan amniosintesis untuk
diagnosis ini sudah banyak ditinggalkan, karena ada metode deteksi lain yang
minim intervensi, yaitu melalui USG.
c. Menilai maturasi paru dengan menilai ratio lestin: spingomielin.
d. Tindakan amniosintesis untuk pemeriksaan DNA dapat memberikan hasil
yang cepat.
e. Dalam Fanzylbera (2010), amniosintesis dikombinasikan dengan Chorionic
Villus Sampling (CVS) dapat digunakan sebagai metode diagnosis Down
Syndrome dan kelainan genetik lainnya. CVS adalah pengamblan sampel sel
janin yang berasal dari vili korionik. Keakuratan kombinasi kedua
pemeriksaan ini untuk mendiagnosa Down Syndrome lebih dari 99%.
Mekanisme pemeriksaannya adalah sel yang diperoleh dari kedua metode
tersebut dilakukan pemeriksaan mikroskopis terhadap ukuran kromosom dan
model ikatannya. Terdapatnya extra copy dari kromosom 21 pada kariotip
dapat digunakan sebagai penanda terjadinya Down Syndrome (kelainan
genetik yang paling sering terjadi) (Bayu Irianti, 2014, Hal; 232-233)
4. Hasil Tes Amniosentesis
Setelah proses amniosentesis sudah selesai dilakukan, sampel cairan
ketuban yang diambil selama prosedur amniosentesis akan diuji di laboratorium.
Kebanyakan hasil tes amniosentesis akan negatife dan dapat disimpulkan bahwa
janin atau bayi dalam kandungan tersebut tidak memiliki kelainan dan gangguan
kesehatan. Sebaliknya, apabila ditemukan bahwa tes amniosentesis
menghasilkan  nilai positif, itu berarti janin atau bayi mungkin memiliki
kelainan dan gangguan ksehatan sehingga harus mendapat penanganan lebih
serius. (Summase, 2014)
5. Resiko Amniosentesis
a. Keguguran
Ada kemungkinan kecil risiko keguguran di setiap kehamilan, baik dengan
menjalani amniosentesis/CVS atau tidak. Amniosentesis meningkatkan sedikit risiko
keguguran, terutama jika dilakukan sebelum usia kehamilan 15 minggu. Untuk
menurunkan risiko ini, amniosentesis dilakukan oleh dokter yang berkompetensi dan
berpengalaman.
Tidak bisa dipastikan mengapa bisa terdapat sedikit kemungkinan amniosentesis
mengarahkan kepada keguguran. Bisa jadi disebabkan oleh infeksi, perdarahan, atau
kerusakan membrana amniotik yang disebabkan oleh prosedur.
Jika keguguran memang terjadi, biasanya terjadi dalam 72 jam pasca amniosentesis.
Namun, keguguran masih bisa terjadi hingga dua minggu sesudahnya. Keguguran yang
terkait prosedur jarang terjadi setelah 3 minggu pasca amniosentesis.
b.   Infeksi
Infeksi bisa, jarang, terjadi setelah amniosentesis. Sekitar 1 dari 1.000 ibu hamil
yang menjalani amniosentesis mengalami infeksi serius di dalam cairan amniotik.
Infeksi bisa disebabkan oleh beberapa hal, semisal:
1. Perlukaan pada usus dengan jarum yang digunakan pada prosedur, sehingga
kuman yang biasanya ada di usus masuk ke cairan amniotik.
2. Kuman yang ada di kulit (perut) ikut masuk bersama jarum ke dalam rongga
perut atau rahim.
3. Kuman yang ada di alat USG atau jeli USG, ikut masuk ke dalam rongga
perut.
4. Gejala bisa termasuk demam, nyeri pada perut, konstraksi rahim. Namun,
infeksi biasanya tidak terjadi jika prosedur untuk mencegah infeksi
dilakukan dengan benar.
c.  Cedera pada janin
Terdapat juga risiko cedera pada janin dengan jarum yang digunakan melakukan
amniosentesis. Namun, dengan panduan USG tak terputus selama amniosentesis telah
menurunkan kemungkinan komplikasi ini dan saat ini sangat jarang. Cedera pada
plasenta juga dimungkinkan, namun ini umumnya tidak menyebabkan masalah apapun
dan sembuh dengan sendirinya.
d.  Berkembangnya penyakit rhesus pada bayi
Jika golongan darah ibu adalah rhesus negatif, dan golongan darah bayi rhesus
positif, maka ada risiko kemungkinan ibu akan membentu antibodi terhadap sel-sel
darah bayi setelah prosedur amniosentesis. Ini berarti ada kemungkinan bayi akan
mengalami penyakit rhesus. Sehingga, jika Anda memiliki rhesus negatif, maka Anda
akan disarankan disuntik dengan immunoglobulin anti-D setelah amniosentesis guna
mencegah hal ini. (I Putu Cahya Legawa 2015)

Anda mungkin juga menyukai