Anda di halaman 1dari 21

Meet The Expert

AMNIOSINTESIS, AMNIOREDUKSI, AMNIOINFUSI

Oleh :

Ririn Syafitri Nasution 1840312417

Norma Sartika Yulinar 1840312415

Preseptor :

Prof. Dr. dr. Hj. Yusrawati, SpOG (K)

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG


2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Amniosintesis adalah penetrasi bedah transabdominal atau transervikal dari uterus


untuk aspirasi cairan amnion. Pemeriksaan ini merupakan salah satu tindakan diagnostic
invasive prenatal dan biasa digunakan untuk uji abnormalitas kromosom, penyakit
genetik dan infeksi pada fetus. Waktu pelaksanaan amniosintesis ini adalah usia
kehamilan 15-18 minggu.1,2
Amnioinfus adalah Prosedur melakukan infusi larutan NaCl fisiologis atau Ringer
laktat ke dalam kavum uteri untuk menambah volume cairan amnion. Terdapat beberapa
indikasi dilakukan amnioinfusi secara intrapartum dan antepartum, dengan tujuan
diagnostik, terapeutik atau profilaksis 1,3
Amnioreduksi adalah prosedur sederhana untuk normalisasi kadar cairan
mengurangi ketidaknyamanan ibu, meningkatkan perfusi uteroplasenta (terutama twin-to-
twin transfusion syndrome (TTTS)), mengurangi distensi uterus dan mengurangi risiko
ketuban pecah dini dan kelahiran prematur.

1.2. Batasan Masalah


1. Mengetahui definisi, indikasi, kontraindikasi, teknik pengambilan sampel, dan
komplikasi Amniosintesis.
2. Mengetahui definisi, indikasi, kontraindikasi, teknik pengambilan sampel, dan
komplikasi Amnioinfusi.
3. Mengetahui definisi, indikasi, kontraindikasi, teknik pengambilan sampel, dan
komplikasi Amnio reduksi.

1.3. Tujuan Penulisan

2
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menambah wawasan sebagai dokter muda
mengenai, Amniosintesis, Amnioinfus, Amnio reduksi.

1.4. Metode Penelitian


Metode penulisan referat ini merupakan studi keperpustakaan yang merujuk ke
beberapa literatur.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Amniosintesis 4
2.1.1 Definisi
Amniosintesis adalah pemeriksaan yang biasa digunakan untuk uji abnormalitas
kromosom, penyakit genetik dan infeksi pada fetus. Waktu pelaksanaan amniosintesis ini
adalah usia kehamilan 15-18 minggu. Amniosintesis yang dilakukan pada trimester II
tidak menunjukkan resiko yang signifikan terhadap terjadinya ELBW (Extremely Low
Birth Weight, Less Than 1000 gr) maupun VLBW ( Very Low Birth Weight, Less Than
1500 gr).
Secara teknis, pelaksanaan amniosintesis ini adalah dengan cara memasukkan
jarum menembus perut ibu, kemudian diambil 20 ml amnion. Selanjutnya dari amnion
tersebut dilakukan pemeriksaan sesuai dengan tujuannya.

Gambar 2.1 Amniosintesis

2.1.2 Indikasi
Amniosintesis bisa dilaksanakan untuk keperluan diagnosis maupun terapi.
Diagnosis ini bisa dilakukan sejak usia kehamilan awal trimester kedua sampai dengan
akhir trimester ketiga, yakni untuk memperkirakan kesejahteraan janin didalam rahim

4
serta menilai maturasi paru janin. Amniosintesis sebagai terapi dimulai dengan untuk
tujuan terminasi kehamilan , untuk mengurangi ketegangan rahim pada kehamilan
dengan hidramnion sampai dengan transfusi janin didalam rahim .

Amniosentesis untuk tujuan diagnosis.


Diagnosis antenatal
Amniosentesis sebagai keperluan diagnosis prenatal dapat melihat adanya
kelainan bawaan janin.
1. Pemeriksan biokimiawi secara langsung dari cairan amnion.
Pengukuran kadar Alfa Fetoprotein ( AFP ). AFP tersebut adalah komponen
normal yang ada didalam serum janin, akan tetapi kadarnya didalam cairan
amnion akan meningkat bila ada kelainan bawaan janin pada susunan sistim
syaraf pusat misalnya spinabifida, anenchephalia, meningocele.
Pemeriksaan ini bila dikombinasikan dengan evaluasi dengan alat USG akan
mempunyai arti diagnostik yang lebih tinggi.
2. Kultur sel amnion untuk analisa kromosom.
2.1. Kelainan kromosom.
Misalnya adanya risiko mempunyai anak dengan Down Syndrome
pada ibu-ibu dengan usia lebih dari 35 tahun ( dilakukan pada 50% kasus )
atau yang pernah melahirkan bayi dengan Down Syndrome atau kelainan
kromosom yang lain pada kehamilan sebelumnya ( pada 20-25% kasus ).
2.2. Kelainan “ sex-linked “.
Pada kasus-kasus dengan sex-linked desease seperti Hemofilia atau
Ducheene’ s muscular dystrophy, penentuan jenis kelamin janin dalam
rahim bertujuan untuk mengetahui secara dini kelainan tersebut hingga bisa
dihindari kelahiran anak dengan kelainan kromosom diatas dalam arti bila
diperlukan terminasi bila kemungkinan besar janin mendapatkan kelainan
tersebut.
2.3. Gangguan metabolisme.

5
Kelainan metabolisme yang dibawa sejak lahir ini sekarang sudah bias
ditentukan pranatal ( misalnya , kelainan metabolisme lemak, karbohidrat &
protein ).
Kelainan tersebut biasanya autosom-resesive yang memberikan kelainan
bawaan dalam bentuk kemunduran fisik maupun mental dalam berbagai
tingkat. Akan tetapi oleh karena pemeriksaan ini mengukur aktifitas enzim
tertentu yang memerlukan sejumlah sel yang cukup banyak maka
memerlukan waktu yang lama untuk bisa mendapatkan hasil yang
sempurna.

Diagnostik menggunakan amniosintesis bertujuan untuk melihat kesejahteraan


janin dan maturasi janin. Kesejahteraan janin dalam rahim dapat diketahui dengan
melihat warna air ketuban, glukosa dan insulin, bilirubin serta estriol. Warna air ketuban
yang bercampur mekonium menandakan janin stress. Bilirubin yag meningkat
menandakan terdapatnya kelainan rhesus.
Maturasi janin diketahui dari sitologi, kreatinin, fosfolipid dan bilirubin. Pada
sitologi akan ditandai dengan ditemukannya sel epithel pipih yang jumlahnya berbeda –
beda berdasarkan usia kehamilan. Pada kehamilan < 34 minggu kadar sel ini < 1 %,
kehamilan 30-40 minggu 10-50% dan kehamilan > 40 minggu >50 %. Sejak usia
kehamilan 37 minggu , 94% kasus ditemukan kadar kreatinin 2 mg/dl. Kreatinin
meningkat sesuai dengan peningkatan masa dari otot janin dan maturasi ginjal janin.
Dalam kehamilan normal bila terjadi kenaikan bilirubin ( diatas nol ), akan
mencerminkan maturasi hepar janin.
Sumber dari surfaktan yakni fosfatidil gliserol, fosfatidil inositol dan fosfatidil-
etanolamin. Pemeriksaan semikuantitatif untuk menentukan maturasi paru janin dari
cairan amnion adalah dengan “ Shake Test “. Dengan tehnik ini bisa dinilai kemampuan
dari cairan amnion untuk mempertahankan tegangan permukaan dalam bentuk buih yang
terbentuk pada permukaan cairan amnion dalam tabung bila ditambahkan etanol
kedalamnya.

Amniosentesis untuk tujuan pengobatan ( Terapi).

6
1. Mengurangi jumlah cairan amnion yang dilakukan secara bertahap pada kasus
kehamilan dengan hidramnion dengan tujuan untuk mengurangi keluhan napas sesak
napas karena desakan diafragma oleh rahim yang membesar.
2. Transfusi intra – uterine dengan melakukan transfusi intraperitoneal janin.
3. Terminasi kehamilan untuk tujuan terapi. Pada keadaan dimana diperlukan terminasi
pada trimester II , maka dimasukkan kedalam rongga amnion bahan-bahan
hipertonik seperti glukosa, saline,dan yang paling baru adalah dimasukkannya bahan
prostaglandin. Mengingat risiko dari amniosentesis dan telah ditemukannya preparat
prostaglandin yang dimasukkan parenteral maupun vaginal maka tehnik ini makin
ditinggalkan.

2.1.3 Teknik Amniosintesis


Meskipun amniosentesis adalah suatu prosedur yang rutin, akan tetapi oleh karena
risiko-risiko yang bisa terjadi maka harus selalu dilakukan dengan pertimbangan dan
indikasi yang benar dan hati-hati.
1. Persiapan
Pemeriksaan USG sebelum amniosentesis untuk menentukan letak plasenta dan
identifikasi lokasi amniosentesis yang tepat untuk mengurangi komplikasi.
Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain , abortion, kebocoran cairan amnion,
perdarahan dalam rongga amnion. Bila perlu dipakai transduser khusus untuk
menuntun jarum yang bisa dimonitor dengan USG. Bila letak plasenta pada dinding
depan korpus uteri sampai denagn fundus maka perlu dipertimbangkan lagi apakah
indikasinya memang mutlak diperlukan amniosentesis mengingat risiko yang bisa
terjadi apabila menembus plasenta
2. Penentuan lokasi amniosentesis.
Penentuan lokasi tergantung pada usia hamil dan pemeriksaan USG sebelumnya
yang meliputi posisi anak, letak plasenta dan letak kantung ketuban yang terbanyak.
Hal tersebut diatas terutama bila dilakukan amniosentesis pada trimester I untuk
analisa genetik. Meskipun demikian pada trimester III pun USG sebelumnya masih
tetap harus dilakukan. Ada dua tempat yang paling sering dilakukan amniosentesis
adalah daerah leher janin ( hati-hati trauma pada leher janin ) dan pada daerah bagian
kecil janin ( hati-hati trauma pada tali-pusat dan plasenta ).

7
3. Prosedur pelaksanaan amniosentesis.
Pertama lakukan antiseptik ( Betadine Solution ), kemudian disuntikkan obat lokal
anestesi ditempat yang akan dilakukan pungsi. Jarum spinal dengan ukuran 20 - 22
dengan panjang 17 inci ( dengan stilet ) dipakai untuk amniosentesis pada kehamilan
trimester I, sedangakan untuk kehamilan yang lebih tua ( Trimester II- III )
digunakan ukuran yang sedikit lebih besar sehubungan cairan amnion saat itu sudah
mengandung lanugo/ vernix .
Masuknya jarum menembus lapisan dinding perut ibu dan dinding uterus bisa
dirasakan adanya tahanan dan saat masuk kedalam rongga amnion dirasakan tahanan
tersebut menghilang , saat ini stilet segera dibuka dan ditunggu secara pasif cairan
amnion akan mengalir keluar dengan sendirinya. Kadang- kadang aliran tersebut
tersendat , hal ini bisa terjadi bila kantung ketuban sempit atau ujung jarum
menempel pada membran atau bagian dari janin. Hal tersebut bisa diatasi dengan
sedikit memutar ujung jarum agar ujung jarum terbebas, atau memasukkan stilet
untuk memastikan bahwa jarum tidak tersumbat.
Beberapa keadaan apabila setelah stilet dilepas ternyata yang keluar adalah darah
maka ada dua kemungkinan yakni ujung jarum masih didalam otot rahim sehingga
perlu dimasukkan lebih dalam atau ujung jarum menembus plasenta didaman dalam
hal terakhir ini maka bisa diatasi dengan dua jalan yakni :
a. memasukkan jarum lebih dalam sesuai dengan tebal lapisan yang telah diukur
sebelumnya dengan risiko terjadi kontaminasi darah kedalam cairan amnion yang
berasal dari perdarahan pada plasenta tersebut.
b. jarum dikeluarkan lagi kemudian dilakukan relokasi tempat amniosentesis.
Apabila sudah dilakukan prosedur tersebut masih juga berdarah maka sebaiknya
dipertimbangkan lagi agar tidak mengalami risiko yang lebih serius.
Pada kehamilan trimester I ( untuk keperluan analisa genetik ), apabila gagal
mendapatkan contoh air ketuban pada percobaan pertama , maka masih boleh dilakukan
sekali lagi pada saat itu . Akan tetapi bila tetap gagal untuk yang keduakalinya maka
hanya boleh diulang setelah 10 hari.

8
Pada kehamilan trimester II-III , setelah amniosentesis perlu dilakukan monitoring
beberapa saat untuk menentukan tidak ada trauma yang serius yang menyebabkan
gangguan pada kesejahteraan janin dalam rahim.
Pada kasus kehamilan post date kegagalan mendapatkan sejumlah cairan amnion
yang cukup bisa disebabkan oleh karena suatu oligohidramnion ( jumlah air ketuban yang
secara menyeluruh sangat berkurang ), dalam hal ini lebih baik tidak berusaha mencoba
lebih dari sekali oleh karena bahaya trauma pada janin.
Volume air ketuban yang dibutuhkan rata-rata antara 25-40 cc tergantung usia kehamilan
dan tujuan pemeriksaan. Untuk tujuan pemeriksaan genetik , 5 cc air ketuban yang
pertama didapat sebaiknya dibuang untuk mencegah kontaminasi sel ibu.
Contoh air ketuban yang didapat harus dijaga sterilitasnya ,dan yang paling baik
disimpan dalam tabung plastik untuk mencegah pecah. Untuk keperluan pemeriksaan
bilirubin , dipakai tabung yang terlindung dari sinar untuk mencegah fotokonversi dari
bilirubin ( yang paling baik dalam tabung yang berwarna coklat.
Contoh air ketuban yang bercampur darah harus segera dilakukan pemisahan dengan
jalan dilakukan sentrifuge sebelum mengalami hemolisis.
Untuk test maturitas harus dikerjakan segera, atau kalau tidak bisa diperiksa langsung
harus disimpan dalam keadaan beku ( dalam suhu - 80 derajat C ).
Observasi setelah amniosentesis paling tidak 20-30 menit dengan monitoring denjut
jantung janin paling sedikit 2 kali.
Yang penting diobservasi adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan penurunan
kesadaran, kontraksi uterus, nyeri, perdarahan / hematoma pada bekas tusukan jarum.

9
Adapun prosedur dalam melakukan amnisentesis diantaranya :

2.1.4 Komplikasi
Komplikasi tergantung pada usia hamil saat dilakukan amniosentesis dan bisa mengenai
ibu maupun janin didalam rahim.

Penyulit pada ibu.


1. Infeksi.
2. Perdarahan.
Perdarahan intraperitoneal oleh karena trauma pada vasa uterina selama dikerjakan
amniosentesis. Sebenarnya hal tersebut sangat jarang terjadi . Bisa terjadi bila
amniosentesis dilakukanj ditempat yang terlalu lateral. Sedangkan hematoma pada
dinding perut sering terjadi akan tetapi tidak menyebabkan akibat yang serius.
3. Kontraksi uterus dan persalinan preterm yang membakat.
Seringkali dirasakan kontraksi ringan yang terjadi segera setelah dilakukan
amniosentesis, akan tetapi segera menghilang setelah beberapa menit. Sebenarnya hal
ini sangat jarang terjadi , hanya apabila terjadi trauma yang serius terutama pada
plasenta atau saat memasukkan kontrast yang hipertonik kedalam rongga amnion.
Yang paling sering terjadinya persalinan yang membakat yakni bila dilakukan
amniosentesis untuk mengurangi volume cairan amnion pada hidramnion.
4. Kebocoran cairan amnion.

10
Hal ini bisa terjadi pada 4 dari 600 kasus amniosentesis dengan tujuan analisa
genetik.
5. Syncope.
Hal ini terjadi oleh karena penderita tidak siap dengan rasa nyeri akibat
amniosentesis.
6. Perdarahan feto-maternal dan kemungkinan terjadinya isoimunisasi.
Queenan dan Adam mengemukakan 50% amniosentesis terjadi pencampuran darah
maternal dalam air ketuban. Kejadian ini memungkinkan terjadinya isoimunisasi
pada kasus Rh-sentisized .
Komplikasi pada janin.
1. Infeksi.
Hal ini bisa dihindarkan bila prosedur amniosentesis dilakukan secara steril dan
menghindari trauma serius pada janin serta pemberian antibiotika pasca
amniosentesis.
2. Abortion.
Hal ini dikaitkan dengan amniosentesis dini untuk diagnosa antenatal ( 3-14% ).
Keadaan ini disebabkan oleh karena infeksi, trauma pada plasenta, perdarahan pada
janin atau trauma langsung pada janin.
3. Perdarahan pada janin.
Ini bisa terjadi bila terjadi trauma mengenai pembuluh darah fetal pada plasenta.
4. Trauma pada janin.
Tusukan langsung pada janin bisa disengaja misalnya pada kasus yang akan dilakukan
transfusi intra uterine atau prosedur intervesi intra uterine atau jumlah air ketuban
yang berkurang pada kasus oligohidramnion.

2.2 Amnioinfusi
2.2.1 Pengertian
Amnioinfusi merupakan suatu prosedur melakukan infusi larutan NaCl fisiologis
atau Ringer laktat ke dalam kavum uteri untuk menambah volume cairan amnion.
Tindakan ini dilakukan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat berkurangnya

11
volume cairan amnion, seperti deselerasi variabel berat dan sindroma aspirasi mekonium
dalam persalinan. Tindakan amnioinfusi cukup efektif, aman, mudah dikerjakan, dan
biayanya murah.

2.2.2 Indikasi
Amnioinfusi terutama ditujukan untuk mengurangi kejadian deselerasi variabel
akibat kompresi tali pusat, dan mencegah terjadinya aspirasi mekonium yang kental
selama persalinan. Amnioinfusi dilakukan pada deselerasi variabel yang berat dan
berulang, yang tidak menghilang dengan tindakan konvensional (perubahan posisi ibu
dan pemberian oksigen). Indikasi lain adalah untuk mencegah terjadinya
oligohidramnion.
1. Deselerasi variabel
Deselerasi variabel merupakan perubahan periodik denyut jantung janin
yang paling sering dijumpai selama persalinan. Perubahan denyut jantung janin
tersebut terjadi sebagai respons terhadap berkurangnya aliran darah di dalam tali
pusat.
Deselerasi variabel merupakan refleks vagal yang disebabkam oleh
kompresi tali pusat yang terjadi akibat lilitan tali pusat di leher janin, terjepitnya
tali pusat oleh bagian ekstremitas janin, atau tali pusat yang terjepit di antara
badan janin dan dinding uterus.
Gambaran spesifik dari deselerasi variabel berupa penurunan denyut
jantung janin, akibat kontraksi, yang gambarannya bervariasi dalam hal bentuk
maupun hubungan saat terjadinya deselerasi dengan kontraksi uterus.
Berdasarkan besar dan lamanya penurunan denyut jantung janin, yang terjadi,
maka deselerasi variabel dibedakan atas 3 jenis, yaitu 12:
 Deselerasi variabel derajat ringan, bila penurunan denyut jantung janin,
mencapai 80 dpm., dan lamanya kurang dari 30 detik.
 Deselerasi variabel derajat sedang, bila penurunan denyut jantung janin,
mencapai 70-80 dpm., dan lamanya antara 30-60 detik.
 Deselerasi variabel derajat berat, bila penurunan denyut jantung janin,
sampai di bawah 70 dpm., dan lamanya lebih dari 60 detik.

12
Di samping itu dikenal juga pembagian deselerasi variabel berdasarkan gambaran
yang sifatnya tidak membahayakan (benign) dan yang membahayakan janin
(ominous) 13.
Tanda-tanda deselerasi variabel yang tidak membahayakan janin:
1. Deselerasi timbul dan menghilang dengan cepat.
2. Variabilitas denyut jantung janin, normal.
3.Terdapat “bahu” deselerasi (akselerasi pradeselerasi dan akselerasi
pascadeselerasi).
Tanda-tanda deselerasi variabel yang membahayakan janin:
1. Timbulnya deselerasi lebih lambat dari saat terjadinya kontraksi.
2. Menghilangnya deselerasi berlangsung lambat.
3.Variabilitas denyut jantung janin, abnormal (berkurang atau melebihi
variabilitas denyut jantung janin normal).
4. Takikardia.
5. Tidak terdapat “bahu” deselerasi.
6. Deselerasi semakin bertambah berat.
Deselerasi variabel yang ringan dan tidak berulang biasanya tidak
membahayakan janin. Tetapi selama masa persalinan, mungkin saja deselerasi
variabel yang semula ringan akan menjadi berat. Bila aliran darah di dalam tali
pusat berkurang cukup banyak, akan terjadi deselerasi variabel derajat sedang
atau berat, atau deselerasi variabel dengan tanda-tanda berbahaya. Gambaran
frekuensi denyut jantung janin, basal dan ada-tidaknya akselerasi harus
diperhatikan dalam penanganan deselerasi variabel. Bila frekuensi dan variabilitas
denyut jantung janin, tetap baik dan stabil, atau hanya berubah sedikit, maka
penanganan dilakukan secara konservartif, misalnya dengan merubah posisi ibu
dan pemberian oksigen untuk menghilangkan kompresi pada tali pusat dan
memperbaiki oksigenasi janin. Bila tindakan tersebut tidak menghilangkan
deselerasi variabel, maka perlu dilakukan amnioinfusi untuk mengurangi tindakan
operatif. Pada keadaan deselerasi variabel yang berat dan menetap, keadaan janin
akan semakin memburuk. Bila keadaan ini tidak dapat dikoreksi, maka tindakan
pengakhiran persalinan harus segera dilakukan.

13
Amnioinfusi cukup efektif dalam mencegah atau memperbaiki deselerasi
variabel. Manfaatnya yang paling menonjol adalah dalam menurunkan angka
tindakan seksio sesarea yang dilakukan atas indikasi gambaran denyut jantung
janin, yang membahayakan janin13. Amnioinfusi juga dapat menurunkan angka
persalinan pervaginam dengan tindakan (ekstraksi cunam atau vakum),
mengurangi kejadian nilai Apgar rendah, dan mengurangi kejadian endometritis14.
2. Mekonium yang kental dalam cairan amnion
Dikeluarkannya mekonium ke dalam cairan amnion akan menimbulkan
risiko sindroma aspirasi mekonium. Sindroma aspirasi mekonium terjadi pada
sekitar 1.8-18 % bayi yang dilahirkan dengan amnion bercampur mekonium.
Angka mordibitas dan mortalitas perinatal akan meningkat15. Sekitar 2 % dari
total kematian perinatal disebabkan oleh sindroma aspirasi mekonium16.
Aspirasi mekonium umumnya terjadi intrauterin, meskipuin mungkin juga
terjadi pada waktu bayi dilahirkan dan bernafas pertama kali. Pada keadaan
oligohidramnion dan kompresi tali pusat, aspirasi mekonium terjadi akibat
hipoksia dan hiperkapnia pada janin. Keadaan ini akan merangsang janin
melakukan gerakan nafas (gasping)15.
Resiko aspirasi mekonium cukup tinggi pada janin dengan mekonium
yang kental, terutama bila janin mengalami hipoksia. Mekonium yang encer tidak
menyebabkan terjadinya sindroma aspirasi mekonium dan tidak menambah
mortalitas perinatal. Upaya untuk mengencerkan mekonium yang kental akan
mengurangi kejadian sindroma aspirasi mekonium17,18.
Mekonium yang kental biasanya terjadi pada keadaan oligohidramnion,
oleh karena mekonium tidak diencerkan oleh cairan amnion. Secara teoritis,
amnioinfusi akan menambah volume cairan amnion yang sedikit, melindungi tali
pusat dari kompresi, dan mengencerkan serta mengeluarkan mekonium yang
terhisap oleh janin mengalami hipoksia atau asfiksia19.
Banyak penelitian membuktikan bahwa amnioinfusi dapat mengurangi
kekentalan mekonium melarutkan mekonium yang melekat di bagian bawah pita
suara, mengurangi kejadian sindroma aspirasi mekonium, dan mengurangi
penggunaan alat ventilasi pada neonatus20.

14
2.2.3 Teknik Amnioinfusi 15
Amnioinfusi dapat dilakukan dengan cara transbdominal atau transservikal
(transvaginal). Pada cara transabdominal, amnioinfusi dilakukan dengan bimbingan
ultrasonografi (USG). Cairan NaCl fisiologis atau Ringer laktat dimasukkan melalui
jarum spinal yang ditusukkan ke dalam kantung amnion yang terlihat dengan
ultrasonografi. Pada cara transservikal, cairan dimasukkan melalui kateter yang dipasang
ke dalam kavum uteri melalui serviks uteri.
Selama tindakan amnioinfusi, denyut jantung janin dimonitor terus dengan alat
kardiotokografi (KTG) untuk melihat perubahan pada denyut jantung janin. Mula-mula
dimasukkan 250 ml bolus cairan NaCI atau Ringer laktat selama 20-30 menit. Kemudian
dilanjutkan dengan infus 10-20 ml/jam sebanyak 600 ml. Jumlah tetesan infusi
disesuaikan dengan perubahan pada gambaran KTG. Apabila deselerasi variabel
menghilang, infusi dilanjutkan sampai 250 ml, kemudian tindakan dihentikan, kecuali
bila deselerasi variabel timbul kembali. Jumlah maksimal cairan yang dimasukkan adalah
800-1000 ml. Apabila setelah 800-1000 ml cairan yang dimasukkan tidak menghilangkan
deselerasi variabel, maka tindakan dianggap gagal.
Selama amnioinfusi dilakukan monitoring denyut jantung janin, dan tonus uterus.
Bila tonus meningkat, infusi dihentikan sementara sampai tonus kembali normal dalam
waktu 5 menit. Bila tonus uterus terus meningkat sampai 15-30 mm/Hg di atas tonus
basal, maka tindakan harus dihentikan. Selama tindakan amnioinfusi seringkali terjadi
kebocoran cairan dari kavum uteri.

15
2.2.4 Kontraindikasi 14
Yang termasuk kontraindikasi relatif untuk Amnioinfusiadalah :9,11
a. Anomali uterus
b. Korioamnionitis
c. Penyakit jantung ibu yang termasuk klasifikasi klas II, III dan IV
d. Petumbuhan janin terhambat
e. Malformasi janin
f. Gawat janin
g. Malpresentasi
h. Riwayat seksio sesar klasik, atau jenis seksio sesar sebelumnya tidak
diketahui
i. Solusio plasenta
j. Kehamilan ganda

2.2.5 Komplikasi 14,21


Meskipun amnioinfusi cukup mudah dan aman dilakukan, beberapa komplikasi mungkin
terjadi selama tindakan, antara lain:
1. Prolapsus tali pusat
2. Ruptura pada jaringan parut bekas seksio sesarea

16
3. Polihidramnion iatrogenik
4. Emboli cairan amnion
5. Febris intrapartum

2.3. Amnioreduksi
2.3.1 Pengertian12
Amnioreduksia adalah prosedur sederhana untuk normalisasi kadar cairan
mengurangi ketidaknyamanan ibu, meningkatkan perfusi uteroplasenta (terutama twin-to-
twin transfusion syndrome (TTTS)). Amnioreduksi dapat dilakukan secara manual atau
dengan perangkat bantuan vakum (tabung vakum dan botol vakum). Jarum pengukur
yang berbeda dapat digunakan (biasanya nomor 18 G atau 20 G), dan berbagai jumlah
cairan dapat dihilangkan dengan laju yang bervariasi, tergantung pada situasi klinis.
2.3.2 Indikasi12
Tujuan pada ibu dalam kehamilan tunggal adalah memperbaiki dispnea ibu. Secara
keseluruhan, indikasi yang paling umum untuk amnioreduksi adalah dalam pengaturan
twin-to-twin transfusion syndrome (TTTS), di mana ia dilakukan untuk mengurangi
volume cairan pada kembar penerima dan dengan demikian meningkatkan aliran darah ke
donor kembar dengan mengurangi tekanan di dalam rongga ketuban.
Amnioreduksi mengurangi distensi uterus dan mengurangi risiko ketuban pecah dini
dan kelahiran prematur. Amnioreduksi juga dapat dilakukan untuk mengurangi kadar dan
tekanan cairan dalam kasus-kasus di mana amniotic sac prolaps sebelum penempatan
serviks cerclage, dengan tujuan memungkinkan kantung amniotik untuk menarik kembali
ke dalam rongga rahim.
2.3.3. Kontraindikasi12
Kontraindikasi untuk amnioreduksi meliputi:
a. Gangguan pendarahan ibu atau janin
b. Persalinan prematur
c. Chorioamnionitis yang dicurigai
d. Prosedur ini harus dihentikan jika jarum menusuk janin atau tali pusat.
1.3.4 Persiapan sebelum tindakan12
a. Edukasi dan Persetujuan Pasien

17
Persetujuan tertulis harus diperoleh dari pasien. Menginformasikan tentang
risiko, manfaat, dan alternatif yang, dan pasien harus mengerti. Secara khusus, risiko
seperti persalinan prematur (dan kelahiran), infeksi (misalnya, korioamnionitis),
solusio plasenta (perdarahan), dan kematian janin harus dijelaskan kepada pasien.
Risiko keseluruhan 1,5-3,1% dicatat dalam literatur.
b. Perencanaan Praprosedural
Kemungkinan persalinan sesar jika perlu harus segera tersedia. Persiapan ini
harus mencakup menempatkan pasien pada nil per os (NPO) dan, berpotensi,
memberikan kortikosteroid antenatal seperti yang ditunjukkan dan sesuai sesuai den
gan pedoman standar. Siaga anestesi mungkin tepat (untuk penunjang mulai dari
sedasi [IV] intravena hingga anestesi umum).
c. Persiapan Pasien
Sedasi ibu dengan benzodiazepin dapat mengurangi pergerakan dan
meningkatkan kenyamanan. Anestesi lokal (misalnya, lidokain) disuntikkan ke kulit
dan jaringan subkutan untuk mengurangi rasa sakit. Pasien harus telentang dalam
posisi miring lateral kiri untuk mengurangi kompresi vena cava, dan bantal penopang
harus digunakan untuk meningkatkan kenyamanan ibu.
1.3.5 Prosedur tindakan12
Penempatan jarum dengan panduan USG merupakan standar untuk amnioreduksi.
Prosedur transplasental harus dihindari jika memungkinkan.
Biasanya, tempat yang dipilih untuk amnioreduksi adalah ventral ke janin yaitu, di antara
lutut dan siku. Sebelum penyisipan jarum, kaliper sonografi dapat digunakan untuk
menghitung perkiraan kedalaman jarum yang harus dimajukan.

18
Gambar 2.3, Amnioreduksi yang dipandu ultrasound. Sonogram menunjukkan
penempatan jarum untuk amnioreduksi dalam kasus polihidramnion.

Amnioreduksi dapat digunakan pada kehamilan tunggal dengan polihidramnion.


Jika sejumlah besar cairan harus dihilangkan, pengurangan ukuran uterus mungkin cukup
untuk mengubah orientasi anatomi. Sebagai tindakan pencegahan dalam situasi ini,
memasukkan jarum ke arah kepala dapat lebih baik. Ketika drainase berlanjut, jarum
kemudian akan diarahkan secara kaudal dan dengan demikian akan lebih kecil
kemungkinan terlepas dari rongga amniotik.
Dalam kasus-kasus serupa sindrom yang terkait dengan TTTS, amnioreduksi dapat
mengakibatkan komplikasi seperti eksaserbasi anemia dan hemodilusi yang dapat
menyebabkan komplikasi pada ibu.

19
DAFTAR PUSTAKA
1 Cunningham F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins Gea. Prenatal
diagnosis and therapy. In: Williams Obstetrics. 21 st ed. New York: McGraw Hill;
2001. p. 973-1003.
2 Rossiter J, Blakemore K. Fetal genetic disorders. In: Winn H, Hobbins J, editors.
Clinical maternal-fetal medicine. 1 st ed. New York: Parthenon Publishing Group;
2000. p. 783-98
3 Purwaka BT, Aditiawarman. Diagnosis pranatal dan teknik inovatif pemantauan
janin. Dalam buku ilmu kebidanan sarwono prawirohardjo. Jakarta. 2010: 736-50.
4 Hariadi R. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Edisi ke-1. Surabaya: Himpunan
Kedokteran Fetomaternal POGI. 2004.
5 Aditiawarman BTP. Diagnosis pranatal dan teknik inovatif pemantauan janin.
Dalam: Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta: PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. 2014.
6 Royal Collage of Obstetricians and Gynaecologist. Amniocentesis and chorionic
Villus Sampling in RCOG Green-top Guideline No.8. RCOG. 2005.
7 Soon-Sup Shim. Chorionic Villus Sampling. J Genet Med 2014;11(2):43-48.
8 Milunsky Abraham and Milunsky Jeff. Genetic Disorders and The Fetus: Diagnosis,
Prevention, and Treatment. Edisi ke-6. United Kingdom: Wiley-Blackwell. 2010.
9 Oloyede OAO, Akinde JA, Emuveyan EE, Ihidapo MO, Adewale TA. Review of
Chorionic Villus Sampling in Prenatal Diagnosis. Niger J Clin Prac 2002;5(1):45-51.
10 Wapner RJ dan Toy EC. Chorionic Villus Sampling. Dalam: Management of High-
Risk Pregnancy: An Evidence-Based Approach. Edisi ke-6. United Kingdom: Wiley-
Blackwell. 2012.
11 American Academy of Family Physicians. ALSO Course Syllabus, Kansas City,
1977.
12 Hofmeyr GJ, et al. Amnioinfusi, Eur J Obstet Gynaecol Reprod etiol 1996; 64; 159-
65.
13 Weismiller DG. Transcervical amnioinfusion. American Family Physicians.

20
February 1,1998.
14 Katz VL, Bowes JA Jr. meconium aspiration syndrome; Reflection on a murky
subject. Am J Obstet Gynecol 1992; 166: 171-83.
15 Davis RO, et al. Fetal meconium aspiration syndrome accuming despite airway
management considered appropriate. Am J Obstet Gynecol 1985;151: 731-6.
16 Usta IM, et al. The impact of a policy of amnioninfusion for meconium-stained
amniotic fluid. Obstet Gynecol 1995;85: 237-41.
17 Macri CJ, et al. Prophylactic amnioinfusion improves outcome of pregnancy
complicated by thick meconium and oligohydramnios. Am J Obstet Gynecol 1992;
167: 117-21.
18 Rossi EM, et al. Meconium aspiration syndrome: Intrapartum and neonatal attributes,
Am J Obstet Gynecol 1989; 161: 1106-10.
19 Dye T, et. Amnioinfusion and the intrauterine prevention of meconium aspiration.
Am J Obstet Gynecol 1994; 171:1601-5.
20 Family Practice.com. Amnioinfusion.

21

Anda mungkin juga menyukai