Anda di halaman 1dari 14

Case Science Session

EFEK SAMPING ANTIPSIKOTIK


(RISPERIDON) DAN THP TERHADAP
KARDIOVASKULAR

Oleh : Putri Fernizi Harfah P.2623 B


Ririn Syafitri Nasution P.2629 B

Pembimbing : dr. Nadjmir, Sp.KJ(K)

BAGIAN PSIKIATRI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP M. DJAMIL – RSJ HB SAANIN
PADANG
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karuniaNya sehingga case science session yang berjudul “Efek samping Antipsikotik
(Risperidon dan THP) terhadap Kardiovaskular” ini dapat kami selesaikan. Case science
session ini merupakan salah satu syarat mengikuti kepaniteraan klinik senior di Bagian
Psikiatri RSUP Dr. M. Djamil, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang.
Terimakasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah banyak membantu
dalam penyusunan case science session ini, khususnya kepada dr. Nadjmir, Sp.KJ(K)
sebagai preseptor. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada rekan – rekan dokter
muda dan semua pihak yang banyak membantu dalam penyusunan case report session ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa case science session ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran sebagai masukan untuk
perbaikan demi kesempurnaan case science session ini. Akhir kata, penulis berharap
semoga case science session ini dapat menambah wawasan, pengetahuan dan pemahaman
semua pihak.

Padang, 19 Desember 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dewasa ini konsep kedokteran mengenai pengobatan gangguan psikotik masih
berputar pada penggunaan antipsikotik. Antipsikotik merupakan salah satu obat
golongan psikotropik. Obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada
susunan saraf pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan
perilaku (mind and behavior altering drugs), digunakan untuk terapi gangguan
psikiatrik (psychotherapeutic medication). Menurut WHO, obat psikotropik adalah
obat yang mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman. Psikotropik hanya
mengubah keadaan jiwa penderita sehingga lebih kooperatif dan dapat menerima
psikoterapi dengan lebih baik. 1,2
Berdasarkan penggunaan klinik, psikoterapi dibagi menjadi 4 golongan yaitu:
(1) antipsikotik; (2) antianxietas; (3) antidepresi; dan (4) psikotogenik. Antipsikotik
atau dikenal juga dengan istilah neuroleptik (major tranquilizer) bermanfaat pada terapi
psikosis akut maupun kronik. Antipsikotik bekerja dengan menduduki reseptor
dopamin , serotonin dan beberapa reseptor neurotransmiter lainnya . Antipsikotik
dibedakan atas antipsikotik tipikal (antipsikotik generasi pertama) antara lain
klorpromazin, flufenazin, tioridazin, haloperidol; serta antipsikotik atipikal
(antipsikotik generasi kedua) seperti klozapin, olanzapin, risperidon dan lain
sebagainya. 3,4
Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan efek samping
(ESO). Seperti halnya efek farmakologi, efek samping obat juga merupakan hasil
interaksi antara molekul obat dengan sistem biologik tubuh. Risiko efek samping
obat tidak dapat dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan dan dikurangi
seminimal mungkin dengan mengetahui kondisi yang mendorong terjadinya efek
samping, sifat obat, serta cara pemakaian obat dan aturan dosis yang tepat.3,4
Pada suatu kasus yang dialami oleh seorang pasien laki-laki berumur 48 tahun
yang menderita skizofrenia pada Desember 2018 di RSUP Dr. M. Djamil Padang
yang mengkonsumsi obat-obatan antipsikotik, ditemukan adanya adverse effect yang
menyebabkan gangguan pada kardiovaskular pasien. Obat-obat antipsikotik yang
digunakan oleh pasien tersebut adalah risperidon dan trihexyphenidyl.
Pengetahuan mengenai efek samping antipsikotik tersebut pada sistem
kardiovaskular sangat perlu untuk dipahami dan di mengerti secara komprehensif
karena pengobatannya sangat mempengaruhi proses perbaikan fungsi pasien,
sehingga dibutuhkan pengetahuan yang lebih luas mengenai efek samping dan
bagaimana mekanisme obat tersebut dapat menyebabkan adverse effect pada
kadiovaskular pasien-pasien psikotik. Oleh karena itu penting bagi klinisi untuk
memahami efek antipsikotik (risperidon dan THP) terhadap sistem kardiovaskular
pasien.
1.2. Batasan Masalah
Batasan masalah pada referat ini adalah macam-macam obat antipsikosis
(Risperidon dan THP) dan hubungannya dengan efek samping pada sistem
kardiovaskular.
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mempelajari dan memahami
mekanisme obat antipsikotik menyebabkan efek samping pada sistem
kardiovaskular.
1.4. Metode Penulisan
Metode penulisan referat ini menggunakan studi kepustakaan yang merujuk
pada berbagai literatur seperti textbook dan jurnal.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Antipsikotik
Obat antipsikotik adalah sekelompok obat yang termasuk psikofarmaka yang
menghilangkan atau mengurangi gejala psikosis. Antipsikotik bekerja secara selektif
pada susunan saraf pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas
mental dan perilaku serta digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik. Selain itu,
antipsikosis juga digunakan untuk pengobatan psikosis lainnya dan agitasi. 1,4
Antipsikotik Tipikal (ATP) yang juga dikenal sebagai antipsikotik generasi
pertama. Antipsikotik tipikal merupakan golongan obat yang memblokade
dopamine pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya sistem limbik dan
sistemekstrapiramidal (dopamine D-2 receptor antagonist). Dopamine memiliki peran
yang sangat penting dalam etiologi psikosis.Berdasarkan penelitian menggunakan
amfetamin dan methamphetamine yangmengeksaserbasi delusi dan halusinasi pada
pasien skizofrenia didapatkan bahwadopamine merupakan peranan penting dalam etiologi
halusinasi dan delusi tersebut. Obat-obat antipsikotik tipikal merupakan antagonis reseptor
dopamine sehinggamenahan terjadinya dopaminergik pada jalur mesolimbik dan
mesokortikal. Blokade reseptor D dopamine dapat memberikan efek samping sindrom
ekstrapiramidal.2,5,6
Antipsikotik Atipikal (AAP), yang juga dikenal sebagai antipsikotik generasi
kedua, adalah kelompok obat penenang antipsikotik digunakan untuk mengobati
kondisi jiwa. Beberapa antipsikotik atipikal disetujui FDA untuk digunakan dalam
pengobatan skizofrenia. Beberapa disetujui FDA untuk indikasi mania akut, depresi
bipolar, agitasi psikotik, pemeliharaan bipolar, dan indikasi lainnya. Kedua generasi
obat cenderung untuk memblokir reseptor dalam jalur dopamin otak, namun obat
antipsikotik atipikal juga dapat mengahambat reseptor serotonin. Antipsikotik atipikal
berbeda dari antipsikotik tipikal yang efeknya lebih minimal kecenderungan untuk
menyebabkan gangguan ekstrapiramidal pada pasien, yang meliputi penyakit gerakan
parkinsonisme, kekakuan tubuh dan tremor tak terkontrol. Gerakan-gerakan tubuh
yang abnormal bisa menjadi permanen obat bahkan setelah antipsikotik dihentikan.6

Kerja obat antipsikotik tipikal dan atipikal pada dopamine pathway.


1. Mesokortikal Pathways
Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyebabkan berkurangnya blokade
terhadap antagonis D2 tetapi juga menyebabkan terjadinya aktivitas dopamin
pathways sehingga terjadi keseimbangan antara serotonin dan dopamin. APG II
lebih berpengaruh banyak dalam memblok reseptor 5HT2A dengan demikian
meningkatkan pelepasan dopamin dan dopamin yang dilepas daripada dihambat di
jalur mesokortikal. Hal ini menyebabkan berkurangnya gejala negatif maka tidak
terjadi lagi penurunan dopamin di jalur mesokortikal dan gejala negatif yang ada
dapat diperbaiki.
APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan
APG I karena di jalur mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih banyak dari
reseptor D2, dan APG II lebih banyak berkaitan dan memblok reseptor 5HT2A dan
sedikti memblok reseptor D2 akibatnya dopamin yang di lepas jumlahnya lebih
banyak, karena itu defisit dopamin di jalur mesokrtikal berkurang sehingga
menyebabkan perbaikan gejala negatif skizofrenia.
2. Mesolimbik Pathways
APG II di jalur mesolimbik, antagonis 5HT2A gagal untuk mengalahkan
antagonis D2 di jalur tersebut. jadi antagonsis 5HT2A tidak dapat mempengaruhi
blokade reseptor D2 di mesolimbik, sehingga blokade reseptor D2 menang. Hal ini
yang menyebabkan APG II dapat memperbaiki gejala positif. Pada keadaan normal
serotonin akan menghambat pelepasan dari dopamin.
3. Tuberoinfundibular Pathways
APG II di jalur tuberoinfundibular, antagonis reseptor 5HT2A dapat
mengalahkan antagonis reseptor D2. Hubungan antara neurotransmiter serotonin
dan dopamin sifatnya antagonis dan resiprokal dalam kontrol sekresi prolaktin dari
hipofise. Dopamin akan menghambat pengelepasan prolaktin, sedangkan serotonin
menigkatkan pelepasan prolaktin. Pemberian APG II dalam dosis terapi akan
menghambat reseptor 5HT2A sehingga menyebabkan pelepasan dopamin menigkat.
Ini mengakibatkan pelepasan prolaktin menurun sehingga tidak terjadi
hiperprolaktinemia.
4. Nigrostriatal Pathways
Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra menuju ganglia basalis. Fungsi
jalur nigrostriatal adalah untuk mengontrol pergerakan. Bila jalur ini diblok, akan
terjadi kelainan pergerakan seperti pada Parkinson yang disebut extrapyramidal
reaction (EPR). Gejala yang terjadi antara lain akhatisia, dystonia (terutama pada
wajah dan leher), rigiditas, dan akinesia atau bradikinesia.3

2.2. Risperidone (RSP)


Risperidone merupakan obat APG II (AAP) yang kedua diterima oleh FDA
(Food and Drug Administration) sebagai antipsikotik setelah clozapine. Rumus
kimianya adalah benzisoxazole derivative. Absorpsi risperidone di usus tidak di
pengaruhi oleh makanan dan efek terapeutik nya terjadi dalam dosis rendah, pada
dosis tinggi dapat terjadi EPS. Pemakaian risperidone yang teratur dapat mencegah
terjadinya kekambuhan dan menurunkan jumlah dan lama perawatan sehingga baik
digunakan dalam dosis pemeliharaan. Pemakaian riperidone masih diizinkan dalam
dosis sedang, setelah pemberian APG I dengan dosis yang kecil dihentikan,
misalnya pada pasien usia lanjut dengan psikosis, agitasi, gangguan perilaku yang
di hubungkan dengan demensia.7
Risperidone dapat memperbaiki skizofrenia yang gagal di terapi dengan
APG I tetapi hasil pengobatannya tidak sebaik clozapine. Obat ini juga dapat
memperbaiki fungsi kognitif tidak hanya pada skizofrenia tetapi juga pada penderita
demensia misalnya demensia Alzheimer.1,7
Efek samping yang dilaporkan adalah insomnia, agitasi, ansietas, somnolen,
mual, muntah, peningkatan berat badan, hiperprolaktinemia dan reaksi
ekstrapiramidal terutama tardive diskinesia. Efek samping ekstrapiramidal
umumnya lebih ringan disbanding antipsikosis tipikal.8

Dosis: 9
- Hari 1 : 1 mg, hari 2 : 2mg, hari 3 : 3 mg.
- Dosis optimal - 4 mg / hari dengan 2 x pemberian.
- Pada orang tua, gangguan liver atau ginjal dimulai dengan 0,5 mg,
ditingkatkan sp 1 – 2 mg dengan 2 x pemberian.
- Umumnya perbaikan mulai terlihat dalam 8 minggu dari pengobatan awal,
jika belum terlihat respon perlu penilaian ulang.
- Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral.

Farmakokinetik. Metabolisme risperidone sebagian besar terjadi di hati oleh


enzim CYP 2D6 menjadi 9-hydroxyrisperidone dan sebagian kecil oleh enzim
CYP 3A4. Hydroxyrisperidone mempunyai potensi afinitas terhadap reseptor
dopamin yang setara dengan risperidone. Eksresi terutama melalui urin.
Metabolisme risperiodne dihambat oleh antidepresan fluoxetine dan paroxetine,
karena antidepresan ini menghambat kerja dari enzim CYP 2D6 dan CYP 3A4
sehingga pada pemberian bersama antidepresan ini, maka dosis risperidone
harus dikurangi untuk meminimalkan timbulnya efek samping dan toksik.
Metabolisme obat ini dipercepat bila diberikan bersamaan carbamazepin, karena
menginduksi CYP 3A4 sehingga perlu peningkatan dosis risperidone pada
pemberiaan bersama carbamazepin disebabkan konsentrasi risperidone di dalam
plasma rendah. 4,8

Efek samping terhadap Kardiovaskuler.9 Risperidon adalah salah satu obat


AAP yang sering diresepkan karena profil obatnya lebih baik dan aman karena
gejala ektrapiramidalnya sangat minim. Pada beberapa penelitian didapatkan
RSP lebih berpengaruh pada denyut jantung dan parameter EKG. Biasanya
peningkatan denyut jantung pasca penggunaan RSP seiring dengan peningkatan
dosis RSP secara bertahap pada pasien skizofrenia. RSP ini bekerja dengan
memblok reseptor-resptor dopamin, serotonin, muskarinik, adrenergik dengan
afinitas yang berbeda-beda pada tiap jenis reseptor.

Peningkatan denyut jantung setelah pemberian RSP mungkin disebabkan oleh


aktivitas simpatomimetik dari RSP. Karena afinitas RSP untuk reseptor
muskarinik cukup tinggi.9

Pada pemakaian RSP juga ditemukan perpanjang QTc. Beberapa penelitian


mengemukakan bahwa RSP berkerja mirip seperti obat antiaritmia kelas III,
yang menyebabkan blokade dependen-konsentrasi terhadap aliran kalium dan
menyebabkan perpanjangan QTc pada pasien-pasien. Umumnya, interval QTc
ini dianggap sebagai marker potensi obat yang aritmogenik, terutama yang
memiliki resiko tinggi terhadinya takikardi ventrikel. Untuk laki-laki QTc
melebihi 0,45s dan 0,74s pada perempuan telah dianggap sebagai perpanjang
interval QTc. 10,11

2.2 antikolinergik

Definisi : Antikolinergik merupakan obat alternatif levodopa dalam pengobatan


parkinsonisme. Prototipe kelompok ini adalah triheksifenidil. Termasuk dalam
kelompok ini adalah : bipiriden, prosiklidin, penztropin, dan antihistamin dengan
efek antikolinergik difenhidramin dan etopropazin.
Mekanisme kerja : Dasar kerja obat ini ialah mengurangi aktivitas kolinergik
yang berlebihan pada ganglia basal.
Efek antikolinergik perifer pada obat ini relatif lemah daripada atropin, dimana
atropin maupun alkaloid beladon lainnya (yang merupakan obat pertama sebagai
antiparkinson) mempunyai efek perifer yang terlalu mengganggu. 11,12
Farmakodinamik : Triheksifenidil berefek sentral. Dibandingkan dengan
potensi atropin, triheksifenidil memperlihatkan potensi antispasmodik (bersifat
menghambat gerakan peristaltik lambung dan usus) setengah daripada atropin,
efek midriatik sepertiganya, dan efek terhadap kelenjar ludah dan vagus
sepersepuluhnya. Seperti atropin, triheksifenidil dalam dosis besar menyebabkan
perangsangan otak. 12
Farmakokinetik Tidak banyak data farmakokinetik yang diketahui tentang
triheksifenidil, itu dikarenakan pada saat obat ini ditemukan, farmakokinetika
belum berkembang. Sekarang obat ini kurang diperhatikan setelah ada
levodopa dan bromokriptin. Kadar puncak triheksifenidil tercapai setelah 1 –
2 jam. Masa penuh eliminasi terminal antara 10 – 12 jam. Jadi pemberian 2
kali sehari sudah mencukupi, tidak 3 kali sehari sebagaimana yang dilakukan
sekarang ini. 12
Efek terapi Pemberian triheksifenidil khususnya bermanfaat terhadap
parkinsonisme akibat obat. Misalnya oleh neuroleptik, temasuk juga
antiemetik turunan fenotiazin, yang menimbulkan gangguan ekstrapiramidal
akibat blokade reseptor dopamin di otak. Penambahan antikolinergik
golongan ini secara rutin pada pemberian neuroleptik tidak dibenarkan,
kemungkinan timbulnya akinesia tardif. Triheksifenidil juga memperbaiki
gejala beser ludah (sialorrhoea) dan suasana perasaan. Selain pada parkinson,
triheksifenidil juga digunakan pada sindrom atetokoriatik, totikolis spastik,
dan spasme fasialis. 12,13
Efek samping
Efek samping sentral.
Dapat berupa gangguan neurologik, yaitu ataksia (kehilangan kontrol
gerak), disartia, hipertermia (kenaikan suhu tubuh), gangguan mental
seperti pikiran kacau, amnesia, delusi, halusinasi, somnolen, dan koma . 13
Efek samping perifer.
Dapat berupa mulut kering, gangguan miksi, meteorisme sering terjadi
tetapi tidak membahayakan. Muka merah setelah pemberian dapat terjadi
setelah pemberian obat ini, reaksi tersebut bukan reaksi alergi melainkan
efek samping sehubungan dengan vasodilatasi pembuluh darah wajah. 14,15
Triheksifenidil juga dapat menyebabkan kebutaan akibat komplikasi
glaukoma sudut tertutup, terutama terjadi bila dosis harian 15-30 mg
sehari. Pada pasien glaukoma sudut terbuka yang mendapat miotik,
antikolinergik cukup aman digunakan. Dilihat dari potensi triheksifenidil
untuk menyebabkan ketergantungan secara psikis, maka triheksifenidil
dapat dimasukkan ke dalam golongan “daftar G”. Disamping itu juga
bahwa triheksifenidil masuk ke dalam golongan antikolinergik,dimana
triheksifenidil adalah obat yang berguna untuk terapi penyakit Parkinson
dan mempunyai potensi yang lemah untuk menyebabkan ketergantungan.
15

Tabel 3. Obat Antikolilnergik sentral 16

Obat Dosis oral Sediaan


Triheksifenidil 2 mg, 2-3 kali sehari, Triheksifenidil tablet
rentang dosis 10-20 mg/hari 2mg, 5 mg.
tergantung respons dan
penerimaan.
BAB III

KESIMPULAN

1. Obat antipsikotik terdiri dari dua jenis yaitu tipikal dan atipikal.

2. Kedua generasi obat cenderung untuk memblokir reseptor dalam jalur dopamin

otak, namun obat antipsikotik atipikal juga dapat mengahambat reseptor

serotonin. Antipsikotik atipikal berbeda dari antipsikotik tipikal yang efeknya

lebih minimal kecenderungan untuk menyebabkan gangguan ekstrapiramidal

pada pasien, yang meliputi penyakit gerakan parkinsonisme, kekakuan tubuh

dan tremor tak terkontrol.

3. Risperidon dan THP merupakan salah satu bentuk obat antipsikotik yang

memiliki efek samping yang signifikan terhadap sistem kardiovaskular.

4. Risperidon meningkatkan resiko takikardi dan gangguan aritmia pada pasien

psikotik yang mengkonsumsinya.

5. Antikolinergik merupakan obat alternatif levodopa dalam pengobatan

parkinsonisme. Prototipe kelompok ini adalah triheksifenidil.

6. Dasar kerja obat ini ialah mengurangi aktivitas kolinergik yang berlebihan pada

ganglia basal.

7. Efek samping obat ini adalah dapat berupa gangguan neurologik, yaitu ataksia

(kehilangan kontrol gerak), disartia, hipertermia (kenaikan suhu tubuh),

gangguan mental seperti pikiran kacau, amnesia, delusi, halusinasi, somnolen,

dan koma
DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock, Benjamin J, Virginia A. Buku Ajar Psikiatri Klinis. 2. Jakarta :


EGC, 2010 .p. 498
2. Western Australian Psychotropic Drugs Committee. Antipsychotics Drug
Guidelines. 3. Avaible from www.watag.org.au
3. Dr. Rusdi Maslim., SpKj.:Penggunaan Klinis Obat Psikotropik, edisi ke-
tiga, Desember 2001.p.14.
4. Maramis, Willy F. dan Maramis, Albert A. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.
2. Surabaya : Airlangga University Press, 2009.
5. Gan Sulistia, Arozal Wawaimuli. Antipsikosis. Buku Ajar Farmakologi
dan Terapi. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2007.p.161-5
6. Loebis B. Skizofrenia : Penanggulangan memakai antipsikotik.
Universitas Sumatera Utara : Medan. 2007.
7. United Kingdom Psychiatric Pharmasi Group. Antipsychotics.[online] May
2013. [Cited] Oktober 2010. Avaible from www.ukppg.org,uk
8. Katzung, Bertram G. Farmakologi dasar dan klinik. 6. Jakarta : EGC,
1997.
9. Balwant Kisanrao, Choure et al. Comparative cardiovascular safety of
risperidone andolanzapine, based on electrocardiographic parameters and
blood pressure: A prospective open label observational study. India: Indian
Journal of Pharmacology Press. 2014; 493-450
10. NN. Antipsychotic Medcations. NSW Health Mental Health Services.
November : 2009
11. Gabbard. Dissosiative Identiry Disorder dalam Treatments of Psychiatric
Disorders Fifth Edition. American Psychiatric Publishing. Washington.
2014; halaman : 439 – 458.
12. Santoso, S.O., dan Wiria, M.S.S., 1995, Psikotropika, dalam Ganiswarna,
S.G., Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, 419-425, PT. Elex Media
Komputindo, Gramedia, Jakarta.
13. Gan, V., 1995, Obat penyakit Parkinson dan Pelemas Otot yang Bekerja
Sentral, dalam Ganiswarna, S.G., Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, 182-
183, PT. Elex Media Komputindo, Gramedia, Jakarta.
14. Brocks DR. Anticholinergic drugs used in Parkinson ’ s disease: an
overlooked class of drugs from a pharmacokinetic perspective . J Pharm
Pharm Sci 1999 ; 2 (2): 39 – 46
15. Zemishlany Z , Aizenberg D , Weiner Z , Weizman A. Trihexyphenidyl
(Artane) abuse in schizophrenic patients. Int Clin Psychopharmacol 1996 ;
11 (3): 199 – 202 .
16. Colosimo C , Gori MC , Inghilleri M. Postencephalitic tremor and
delayed-onset parkinsonism . Parkinsonism Relat Disord 1999 ; 5 (3): 123
–4

Anda mungkin juga menyukai