Anda di halaman 1dari 19

Referat

Antipsikotik

DISUSUN OLEH:

Steven Jonathan 112017102

Vivian Chau 112017203

Kartika Dewi 112017264

PEMBIMBING:

dr. Imelda Indriyani, Sp.KJ

dr. Carlamia H. Lusikooy, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PSIKIATRI

RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT CIBUBUR

PERIODE 29 JULI 2019 – 31 AGUSTUS 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA JAKARTA


BAB I
PENDAHULUAN

Antipsikotik adalah antagonis dopamin dan menyekat reseptor dopamin dalam


berbagai jaras di otak. Obat antipsikotik baik tipikal maupun atipikal tentunya memiliki efek
samping yang perlu diketahui agar pengobatan klinis bisa efisien dan sesuai dengan proporsi
dan tentunya agar mencapai target terapi.Antipsikotik dapat digunakan untuk mengatasi
skizofrenia dengan gejala halusinasi, delusi, dan untuk pencegahan keterulangan. Terapi
skizofrenia dengan menggunakan obat antipsikotik dibagi dalam 3 episode, yaitu terapi awal
selama 7 hari pertama, terapi stabilisasi selama 6-8 minggu dan terapi penjagaan selama 12
bulan setelah membaiknya episode pertama psikotik, sedangkan untuk pasien dengan episode
akut yang multiple sebaiknya terapi penjagaan dilakukan minimal selama 5 tahun.

Antipsikotik merupakan pengobatan yang terbaik untuk penyakit skizofrenia dan


penyakit psikotik lainnya. Antipsikotik digunakan secara klinis pada tahun 1950an, ketika
Chlorpromazine(CPZ), turunan dari phenotiazine (rantai aliphatik), telah disintetis di
Perancis. Walaupun dikembangkan sebagai potensial antihistamin, chlorpromazine memiliki
antipsikotik pada pemakaian klinis. CPZ digunakan sebagai model dalam pengembangan
antipsikotik, tapi semua generasi pertama (kecuali clozapine) mempunyai efek yang
menyebabkan gejala ekstrapiramidal berdasarkan atas property utama, antagonis kuat dari
reseptor dopamine D2. Sebagai tambahan property antipsikotik, obat-obat ini memiliki fungsi
lain, berdasarkan kemampuan memblok reseptor Dopamin D2 (seperti antiemetic dan
mengurangi beberapa kelainan gerak yang ditandai dengan adanya gerakan yang berlebih).
Antipsikotik antagonis D2 disebut dengan antipsikotik tipikal, (untuk memisahkan dengan
clozapine dan obat-obat atipikal) yang memiliki efek ekstrapiramidal yang rendah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Antipsikotik merupakan sekelompok bermacam-macam obat yang menghambat
reseptor dopamine tipe 2 (D2).Farmakoterapi pada penderita skizofrenia dipicu oleh
penemuan antipsikotik klorpromazin pada awal 1950- an dan pengembangan klozapin pada
akhir 1960-an.Selama setengah abad terakhir, antipsikotik digunakan dalam pengobatan
skizofrenia dan telah menjadi pengobatan andalan untuk mengurangi keparahan gejala
psikotik dan kejadian relaps (pada penderita skizofrenia).1,2Ciri terpenting dari antipsikosis
adalah :

1. Berefek antipsikosis, terhadap gejala positif (halusinasi, delusi, bicara kacau dan
agitasi) dan secara terbatas juga memperbaiki gejala negatif (apatis, miskin
ide/motivasi, dan miskin kata – kata), serta gangguan kognitif.
2. Batas keamanannya besar, dosis yang besar tidak menyebabkan koma yang dalam
ataupun anesthesia.
3. Dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversible atau ireversibel.
4. Tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan efek ketergantungan fisik dan psikis

Antipsikotik digunakan secara klinis ketika Chlorpromazine telah disintetis di


Perancis. Satu obat antipsikotik baru yaitu risperidone, telah dikenalkan di Amerika serikat.
Walaupun risperidone adalah antagonis reseptor D2 yang poten, ia memiliki ciri
farmakologis tambahan yang memberikan keuntungan terapeutik dan memperbaiki profil
efek samping, dibandingkan dengan antagonis reseptor dopamine yang tersedia
sebelumnya.Antipsikotik dan antagonis reseptor dopamine tidak sepenuhnya sama. Clozapine
adalah suatu antipsikotik yang efektif tetapi berbeda dengan semua obat karena memiliki
aktivitas pada reseptor D2 yang kecil.1,2

Obat-obat ini dinamakan sebagai neuroleptik dan transkuiliser mayor. Istilah


neuroleptik menekankan efek neurologis dan motorik dari sebagian besar obat.
Perkembangan senyawa baru, seperti risperidone dan remoxipine, yang disertai dengan efek
neurologis yang sedikit menyebabkan pemakaian istilah neuroleptik menjadi tidak akurat
sebagai label keseluruhan senyawa. Istilah transkuiliser mayor secara tidak akurat
menekankan bahwa efek primer dari obat adalah untuk mensedasi pasien dan dikacaukan
oleh obat yang disebut transkuiliser minor, seperti benzodiasepin.3

Terdapat dua jenis antipsikotik yaitu antipsikotik tipikal dan atipikal. Pada dasarnya
semua antipsikotik mempunyai efek klinis yang sama pada dosis ekuivalen. Perbedaan utama
pada efek samping. Pemilihan jenis antipsikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang
dominan dan efek samping obat. Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif
pilihannya adalah obat antipsikosis atipikal (golongan generasi kedua), sebaliknya jika gejala
positif lebih menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal (golongan
generasi pertama). Antispikotik atipikal terbaru, seperti klozapin, risperidon, olanzapin, dan
ziprasidon, mempunyai efek klinis yang lebih besar daripada antipsikotik kelas lain dengan
efek samping ekstrapiramidal akut yang minimal.1,2,4

II.2 Indikasi

Secara umum indikasi penggunaan antipsikotik adalah untuk pasien skizofrenia.


Namun obat ini juga digunakan pada pasien yang memiliki gejala psikotik akibat trauma
kepala, tumor, stroke, withdrawal alkohol, dan overdosis.4

Indikasi penyakit yang diterapi dengan antipsikosis.4


1. Skizofrenia dan skizoafektif. Antipsikotik generasi pertama dan kedua (kecuali
clozapine) diindikasikan untuk mengobati episode akut dari psikosis dan juga sebagai
terapi skizofrenia dan skizoafektif. Antipsikosis generasi pertama lebih baik dalam
menangani gejala positif dari halusinasi, delusi, dll. Juga mengurangi risiko psikosis
berulang. Antipsikotik generasi dua mengobati baik gejala positif dan negative seperti
withdrawal, ambivalensi, dan menurunkan angka relaps.
2. Akut mania. Antipsikotik generasi pertama efektif dalam mengobati akut mania
dengan gejala psikotik. Semua antipsikotik generasi kedua kecuali clozapine dapat
digunakan sebagai pengobatan gejala akut mania. Antipsikotik digunakan bersamaan
dengan mood stabilizers seperti lithium, asam valrpoat, atau karbamazepin. Setelah
gejala sudah stabil dapat diturunkan perlahan.
3. Depresi mayor dengan gejala psikotik. Antipsikotik generasi pertama atau kedua
bersama dengan antidepresan adalah terapi pilihan untuk depresi dengan gejala
psikotik. Olanzapine dan fluoxetine sebagai kombinasi terapi sudah disetujui oleh
FDA.
4. Gangguan delusional. Antipsikotik generasi pertama diindikasikan sebagai
pengobatan gangguan delusi dan juga paranoia yang berhubungan dengan gangguan
kepribadian.
5. Agitasi berat. Pasien agitasi berat, iritabel, dan hiperaktif dapat ditangani sementara
dengan antipsikotik generasi pertama terlepas dari etiologinya. Antipsikotik generasi
kedua juga dapat digunakan untuk menangani agitasi akut.

II.3 Jenis Antipsikotik


Obat antipsikotik sekarang ini dibagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan Tipikal dan
Atipikal. Hal ini didasarkan atas besarnya efek ekstrapiramidal yang di sebabkan. Disebut
golongan atipikal karena golongan ini sedikit menyebabkangangguanekstrapiramidal,
sedangkan disebut golongan tipikal karena efek ekstrapiramidal yang dihasilkan cukup besar.
Obat golongan atipikal pada umumnya memiliki afinitas yang lemah terhadap
reseptor D2, Selain itu juga memiliki afinitas terhadap reseptor D4, serotonin, histamin,
reseptor muskarinik dan reseptor alfa adrenergik. Kebanyakan antipsikosis golongan tipikal
mempunyai afinitas tinggi dalam menghambat reseptor D2, hal inilah yang diperkirakan
menyebabkan efek ekstrapiramidal yang kuat.
Antipsikotik tipikal :Antipsikotik tipikal merupakan antipsikotik generasi lama yang
mempunyai aksi untuk mengblok reseptor dopamin D2. Antipsikotik jenis ini lebih efektif
untuk mengatasi gejala positif yang muncul. Efek samping ekstrapiramidal banyak ditemukan
pada penggunaan antipsikotik tipikal sehingga munculah antipsikotik atipikal yang lebih
aman.Penggunaan antipsikotik tipikal/ APG I memberikan efek eliminasi gejala-gejala positif
dan gangguan organisasi isi pikir pasien pada 60-70% pasien skizofrenia maupun pasien
psikotik dengan gangguan afek. Efek antipsikotik ini terlihat beberapa hari hinga beberapa
minggu pemberian.2,3,5
Mekanisme kerja obat antipsikotik tipikal adalah memblokade dopamin pada reseptor
pasca-sinaptik neuron di otak khusunya di sistem limbik dan sistem ekstrapirimidal (dopamin
D2 receptor antagonists), sehingga efektif untuk gejala positif. Pengaruh dopamin biasanya
bersifat inhibisi atau menentukan ambang memulai / pengambilan keputusan, semakin tinggi
kadar dopamin, semakin kecil juga dorongan yang diperlukan untuk pengambilan keputusan
(menurunkan treshold). Pada skizofrenia diduga terjadi produksi dopamin yang berlebihan
akibat sekresi dari sekelompok neuron proyeksi dopamine. Dengan menggunakan
antipsikotik tipikal dianggap mampu mengurangi efek produksi dopamin yang berlebihan.2,3,5
Kerja dari antipsikotik ini menurunkan hiperaktivitas dopamine dijalur mesolimbik
sehingga menyebabkan gejala positif menurun tetapi ternyata tidak hanya memblok reseptor
D2 di mesolimbik tetapi juga di tempat lain seperti dijalur mesokortikal, nigrostriatal, dan
tuberoinfundibular.2,3,5

Apabila antipsikotik tipikal memblok reseptor D2 dijalur mesokortikal, dapat


memperberat gejala negatif dan gejala kognitif disebabkan penurunan dopamin di jalur
tersebut. Blokade reseptor D2 di nigrostriatal dapat menyebabkan timbulnya gangguan dalam
mobilitas seperti pada parkinson, bila pemakaian secara kronik dapat menyebabkan gangguan
pergerakan hiperkinetik (tardive dyskinesia). Jalur nigrostriatal dopamin, sebagai bagian dari
sistem saraf ekstrapiramidal, mengontrol movements atau pergerakan.2,3,5

Blokade reseptor D2 di tuberoinfundibular oleh antipsikotik tipikal menyebabkan


peningkatan kadar prolaktin sehingga dapat terjadi disfungsi seksual dan peningkat berat
badan. Fungsi normal jalur dopamin tuberoinfundibular menghambat pelepasan prolaktin.
Pada wanita postpartum, aktivitas di jalur ini menurun, sehingga memungkinkan laktasi.2,3,5

Antipsikotik selain menyebabkan terjadinya blokade reseptor D2 pada keempat jalur


dopamine, juga menyebabkan terjadinya blokade reseptor kolinergik muskarinik sehingga
timbul efek samping antikolinergik berupa mulut kering, pandangan kabur, konstipasi dan
kognitif tumpul. Reseptor histamin (H1) juga terblok sehingga timbul efek samping
mengantuk dan meningkatkan berat badan. Selain itu antipsikotik juga memblok reseptor
alfa1 adrenergik sehingga dapat menimbulkan efek samping pada kardiovaskuler berupa
hipotensi ortostatic, mengantuk, pusing, dan tekanan darah menurun.2,3,5

- Phenothiazine
 Rantai aliphatic : chlorpromazine
 Rantai piperazine : perphenazine, trifluoperazine, fluphenazine
 Rantai piperidine : thioridazine
- Butyrophenone : Haloperidol
- Diphenyl-butyl-piperidine : pimozide

Chlorpromazine (CPZ)

Efek farmakologis chlorpromazine dan antipsikotik lainnya meliputi efek pada


susunan sistem saraf pusat, system otonom dan system endokrin. Efek ini terjadi
karena antipsikotik menghambat berbagai reseptor diantaranya dopamine, alfa
andrenergik dan muskarinik.3

CPZ menimbulkan efek sedasi yang disertai sikap acuh tidak acuh terhadap
lingkungan. Pada pemakaian lama dapat timbul efek toleransi terhadap efek sedasi.
Semua derivate phenothiazine mempengaruhi ganglia basal, sehingga menimbulkan
gejala parkinsonisme (efek ekstrapiramidal). Phenothiazine dapat menurunkan
ambang bangkitan, sehingga penggunaannya pada pasien epilepsi harus berhati-hati.3

CPZ dan beberapa antipsikotik lainnya mempunya efek samping terhadap


system reproduksi. Pada wanita dapat terjadi amenorea, galaktorea, dan peningkatan
libido. Pada pria didapatkan adanya penurunan libido dan ginekomastia. Efek ini
terjadi karena efek sekunder dari hambatan reseptor dopamine yang menyebabkan
hiperprolaktinemia, serta kemungkinan adanya peningkatan perubahan androgen
menjadi esterogen di perifer. Pada antipsikosis yang baru misalnya olanzapine,
quetiapine dan aripiprazole efek samping ini minimal karena afinitasnya rendah
terhadap reseptor dopamine.3
CPZ tersedia dalam bentuk tablet 25mg dan 100mg, selain itu tersedia dalam
bentuk injeksi 25mg/ml. larutan CPZ dapat berubah warna menjadi merah jambu oleh
pengaruh cahaya. Dosis permulaan pneggunaan CPZ yaitu 25-100mg/hari,
ditingkatkan sampai 300mg/hari. Bila gejala belum hilang, dosis dapat ditingkatkan
hingga 900mg/hari. Kontra indikasi dalam pemberian CPZ yaitu: keracunan alkohol
barbiturate narkotik hipersensitif.3
Pada umumnya semua fenotiazin di absorpsi baik bila diberikan per oral
maupun parenteral. Penyebaran luas ke semua jaringan dengan kadar tertinggi di
paru-paru, hati, kelenjar suprarenal dan limpa. Sebgaian fenotiazin mengalami
hidroksilasi dan konjugasi, sebagian lagi diubah menjadi sulfoksid yang kemduian
dieksresi bersama feses dan urin. Setelah pemberian CPZ dosis besar, maka masih
ditemukan eksresi CPZ atau metabolitnya selama 6-12 bulan.3
Indikasi obat ini pada pasien skizofrenia dengan gejala agitasi, ansietas,
tegang, bingung, insomnia, waham, halusinasi, psikosis manik-depresif, gangguan
kepribadian, psikosis involusional,psikosis pada anak, dalam dosis rendah dapat
digunakan untuk mual, muntah maupun cegukan atau gangguan non psikosis dengan
gejala agitasi tegang, gelisah, cemas dan insomnia. Obat ini dikontraindikasikan pada
pasien koma, keracunan alkohol, barbiturat dan narkotika, hipersensitif (allergik).3
Dosis awal pemberian dapat diberikan 25 – 100 mg/hari, lalu dapat
ditingkatkan menjadi 300 mg/hari bila gejala belum hilang dosis ditingkatkan perlahan
hingga 600 – 900 mg/hari. Dapat diberikan per-oral dengan dosis terbagi. Untuk efek
cepat dapat diberikan per injeksi (im) dengan penderita dalam posisi berbaring (untuk
mencegah timbulnya orthostatic hipotension yang sering terjadi).3
Efek samping dapat berupa lesu dan mengantuk, hipotensi ortostatik, mulut
kering, hidung tersumbat, konstipasi dan amenore pada wanita.3

Haloperidol
Haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan mania pasien psikosis yang
karena hal tertentu tidak dapat diberikan fenitiazin. Reaksi ekstrapiramidal timbul pada
80% pasien yang diobati haloperidol.3
Struktur haloperidol berbeda dengan fenotiazin. Haloperidol memperlihatkan
antipsikosis yang kuat dan efektif untuk fase mania penyakit manik depresi dan
skizofrenia.3
Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang yang mengalami
ekstasi. Efek sedatif haloperidol kurang kuat disbanding dengan CPZ, sedangkan efek
haloperidol terhadap EEG menyerupai CPZ yakni memperlambat dan menghambat
jumlah gelombang teta. Haloperidol dan CPZ sama kuat menurunkan ambang rangsang
konvulsi. Haloperidol menghambat sistem dopamin dan hipotalamus, juga menghambat
muntah yang ditimbulkan oleh apomorfin.3
Efek haloperidol terhadap sistem saraf otonom lebih kecil daripada efek
antipsikotik lain, walaupun demikian haloperidol dapat menyebabkan pandangan kabur
(blurring of vision). Obat ini menghambat aktivasi respetor α-adrenergik , tetapi
hambatanya tidak sekuat hambatan CPZ.3
Haloperidol menyebabkan hipotensi, tetapi tidak sesering dan sehebat CPZ.
Haloperidol juga menyebabkan takikardia. Seperti CPZ, haloperidol menyebabkan
galaktorea dan respon endokrin lainya.3
Haloperidol cepat diserap dari saluran cerna. Kadar puncaknya dalam plasma
tercapai dalam waktu 2-6 sejak menelan obat, menetap sampai 72 jam dan masih dapat
ditemukan dalam plasma sampai berminggu-minggu.3
Obat ini ditimbun dalam hati dan kita-kira 1% dari dosis yang diberikan
diekskresikan melalui empedu.Ekskresi haloperidol lambat melalui ginjal, kira-kira
40% obat dikeluarkan selama 5 hari sesudah pemberian dosis tunggal.3
Haloperidol menimbulkan reaksi ekstrapiramidal dengan insiden yang tinggi
terutama pada pasien usia muda.
Pengobatan dengan haloperidol harus dimulai dengan hati-hati, dapat terjadi
depresi akibat reversi keadaan mania. Perubahan hematologi ringan dapat terjadi,
seperti leukopenia dan agranulositosis. Frekuensi keadaan ikterus akibat haloperidol
rendah. Haloperidol sebaiknya tidak diberikan kepada wanita hamil, karena belum
dapat terbukti bahwa obat ini tidak menimbulkan efek teratogenik.3

Antipsikotik atipikal :APG II sering disebut juga sebagai Serotonin Dopamin Antagosis
(SDA) atau antipsikotik atipikal. APG II mempunyai mekanisme kerja melalui interaksi
antar serotonin dan dopamin pada ke 4 jalur dopamin di otak. Hal ini yang menyebabkan
efek samping EPS lebih rendah dan sangat efektif untuk mengatasi gejala negatif.
Perbedaan antara APG I dan APG II adalah APG I hanya dapat memblok reseptor D2
sedangkan APG II memblok secara bersamaan reseptor serotonin (5HT2) dan reseptor
dopamin (D2). APG II dalam klinis praktis, memiliki empat keuntungan, yaitu:

1. APG II menyebabkan EPS jauh lebih kecil dibandingkan APG I, umunya pada dosis
terapi sangat jarang terjadi EPS.
2. APG II dapat mengurangi gejala negatif dari skzofrenia dan tidak memperburuk
gejala negatif seperti yang terjadi pada pemberian APG II.
3. APG II menurunkan gejala afektif dari skizofrenia dan sering digunakan untuk
pengobatan depresi dan gangguan bipolar yang resisten.
4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit Alzheimer.

- Benzamide : sulpiride
- Dibenzodiazepin : clozapine, olanzapine, quetiapine, zotepine
- Benzisoxazole : risperidon, aripiprazole

Clozapine. Merupakan antipsikotik golongan atipikal pertama yang dipasarkan. Hampir


tidak menimbulkan efek ekstrapiramidal. Klozapin efektif mengontrol gejala psikosis dan
skizofrenia baik positif maupun negative. Efek terlihat dalam waktu 2 minggu, diikuti
perbaikan secara bertahap pada minggu - minggu berikutnya. Clozapine memiliki risiko
timbulnya agranulositosis yang lebih tinggi dibanding antipsikosis lainnya. Karena itu
penggunaannya dibatasi pada pasien yang refrakter terhadap obat standar. Pasien yang
diberi clozapine perlu dipantau sel darah putihnya. Gejala ini timbul 6 – 18 minggu
setelah pemberian. Efek samping lain adalah ngantuk, lesu, lemah, tidur, sakit kepala,
bingung, gelisah, agitasi, delirium.Klozapin tersedia dalam bentuk tablet 25 mg dan 100
mg. Dosis pemberiannya hari pertama 1 – 2 x 12,5 mg. Berikutnya ditingkatkan 25 – 50
mg / hari, 300 – 450 mg / hari dengan pemberian terbagi. Maksimal 600 mg / hari.
Dikontraindikasikan pada pasien Riwayat hipersensitifitas, gangguan fungsi Sumsum
tulang, epilepsi yang tidak terkontrol, psikosis alkoholik dan psikosis toksik lainnya,
intoksikasi obat, koma, depresi SSP, ganguan jantung / ginjal / liver yang berat.3

Risperidon. Risperidone merupakan obat APG II yang kedua diterima oleh FDA (Food
and Drug Administration) sebagai antipsikotik setelah clozapine. Risperidon merupakan
derivate dari benzioksazol mempunyai afinitas tinggi terhadap reseptor 5-HT2. Absorpsi
risperidone di usus tidak di pengaruhi oleh makanan dan efek terapeutik nya terjadi dalam
dosis rendah, pada dosis tinggi dapat terjadi EPS. Pemakaian risperidone yang teratur
dapat mencegah terjadinya kekambuhan dan menurunkan jumlah dan lama perawatan
sehingga baik digunakan dalam dosis pemeliharaan. Pemakaian riperidone masih diizinkan
dalam dosis sedang, setelah pemberian APG I dengan dosis yang kecil dihentikan,
misalnya pada pasien usia lanjut dengan psikosis, agitasi, gangguan perilaku yang di
hubungkan dengan demensia.Risperidone dapat memperbaiki skizofrenia yang gagal di
terapi dengan APG I tetapi hasil pengobatannya tidak sebaik clozapine. Obat ini juga dapat
memperbaiki fungsi kognitif tidak hanya pada skizofrenia tetapi juga pada penderita
demensia misalnya demensia Alzheimer. Indikasi risperidone pada pasien skizofrenia baik
gejala negative maupun positif. Dosis optimal - 4 mg / hari dengan 2 x pemberian. Dosis
anjuran 25-50 mg (inj) setiap 2 minggu. Umumnya perbaikan mulai terlihat dalam 8
minggu dari pengobatan awal, jika belum terlihat respon perlu penilaian ulang. Kadar
puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Sediaan risperidone
dalam bentuk tablet 1mg, 2 mg dan 3 mg, sirup dan injeksi 25 mg/ml, 50 mg/ml. efek
samping yang dilaporkan adalah insomnia, agitasi, ansietas, somnolen, mual, muntah,
peningkatan berat badan, hiperprolaktinemia dan EPS.3

Olanzapine. Merupakan derivat dari clozapine dan dikelompokkan dalam golongan


Thienobenzodiazepine. Absorpsi tidak dipengaruhi oleh makanan. Plasma puncak
olanzapine dicapai dalam waktu 5-6 jam setalah pemberian oral, sedangkan pada
pemberian intramuskular dapat dicapai setelah 15-45 menit dengn waktu paruh 30 jam
(antara 21-54 jam) sehingga pemberian cukup 1 kali sehari.
Eliminasi waktu paruh dari olanzapine memanjang pada penderita usia lanjut. Cleareance
30% lebih rendah pada wanita dibanding pria, hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan
efektivitas dan efek samping antar wanita dan pria. Sehingga perlu modifikasi dosis yang
lebih rendah pada wanita. Cleareance olanzapine meningkat sekitar 40% pada perokok
dibandingkan yang tidak merokok, sehingga perlu penyesuaian dosis yang lebih tinggi
pada penderita yang merokok. Indikasinya pada Skizofrenia atau psikosis lain dengan
gejala positive dan negative, episode manik moderat dan severe, pencegahan kekambuhan
gangguan bipolar.Dosis untuk skizofrenia mulai dengan dosis 10-20mg mg 1 x sehari,
untuk episode manik mulai dengan dosis 15 mg 1 x sehari, untuk pecegahan kekambuhan
gangguan bipolar 10 mg / hari.Efek samping penigkatan berat badan, somnolen, hipotensi
ortostatik, EPS.3,4

Tujuan Terapi
Tujuan terapi secara umum untuk mengurangi gejala dengan efek samping obat ang
minimal atau dapat ditoleransi. Pada pasien dengan psikosis akut, tujuan pada minggu
pertama pengobatan adalah untuk menurunkan gejala (agresif, agitasi, melawan, ricuh)
dan memperbaiki pola makan dan tidur. Tujuan selanjutnya adalah untuk meningkatkan
kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri dan untuk bersosialisasi. Efek terapi
biasanya muncul perlahan 1 – 2 bulan. Tujuan jangka panjang termasuk meningkatkan
kemampuan pasien untuk berhubungan dengan lingkungan, meningkatkan fungsi
menjaga diri dan aktifitas sehari – hari, serta mencegah episode akut dan perawatan di
rumah sakit. Dengan terapi obat, pasien sering dapat berpartisipasi di psikoterapi, grup
terapi, kembali ke komunitas, dan kembali ke fungsi normal pasien sebelum sakit.6

Pemilihan Obat
Beberapa faktor yang diperhitungkan termasuk usia dan kondisi fisik pasien, tingkat
keparahan dan durasi, frekuensi dan keparahan dari efek samping setiap obat, riwayat
pemakaian obat pasien, kemampuan pengawasan terhadap pasien, dan pengalaman.
Obat atipikal merupakan terapi pilihan terutama pada pasien yang baru didiagnosis
skizofrenia, karena obat ini lebih efektif untuk menurunkan gejala dan efek samping yang
relative lebih ringan.6
Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu dipertimbangkan : 7
 Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2 – 4 minggu
Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2 – 6 jam.
 Waktu paruh : 12 – 14 jam (pemberian obat 1-2 x perhari).
 Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek samping
(dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu
kualitas hidup pasien.
Mulai dengan “dosis awal” sesuai dengan “dosis anjuran”, dinaikkan setiap 2-3 hari
 sampai mencapai “dosis efektif” (mulai timbul peredaran Sindrom Psikosis) 
dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan  “dosis optimal” 
dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi)  diturunkan setiap 2 minggu 
“dosis maintenance”  dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi “drug
holiday” 1-2 hari/minggu)  tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu)  stop.

Lama Pemberian
Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang “multi episode”, terapi
pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun. Pemberian yang
cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 – 5 kali.
Efek obat anti-psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari
setelah dosis terakhir masih mempunyai efek klinis.Sehingga tidak langsung
menimbulkan kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya satu bulan kemudian baru
gejala Sindrom Psikosis kambuh kembali.Hal tersebut disebabkan metabolisme dan
ekskresi obat sangat lambat, metabolit-metabolit masih mempunyai keaktifan anti-
psikosis.Pada umumnya pemberian obat anti-psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3
bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk Psikosis
Reaktif Singkat penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya gejala dalam kurun
waktu 2 minggu – 2 bulan.Obat anti psikosis tidak menimbulkan gejala withdrawal yang
hebat walaupun diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan
obat kecil sekali.
Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala Cholinergic Rebound:
gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lain. Keadaan ini akan
mereda dengan pemberian “anticholinergic agent” (injeksi Sulfas Atropin 0,25 mg (im),
tablet Trihexyphenidyl 3x 2 mg/h).
Oleh karena itu pada penggunaan bersama obat anti-psikosis + antiparkinson, bila
sudah tiba waktu penghentian obat, obat antipsikosis dihentikan lebih dahulu, kemudian
baru menyusul obat antiparkinson.7

II.4 Efek Samping Antipsikotik


Antipsikotik generasi pertama dihubungkan dengan efek samping extrapyramidal.
Efek antikolinergik seperti mulut kering, konstipasi, retensi urine sering terjadi pada obat
seperti CPZ dan thioridazine. Aksi menghambat histamine H1 oleh antagonis reseptor
dopamine menyebabkan sedasi. CPZ adalah obat yang paling sedasi. Antagonis reseptor
dopamine juga menurunkan ambang kejang dan CPZ serta thioridazine selain
menyebabkan hipotensi ortostatik juga paling epileptogenic dibanding yang lain.
Haloperidol dapat menyebabkan gangguan irama jantung, aritmia ventricular, bahkan
kematian jika diinjeksi secara intravena.4
a. Sindrom neuroleptic malignan
Jarang terjadi namun merupakan efek samping fatal yang dapat terjadi kapan
saja saat pengobatan. Onsetnya 24 – 72 jam dengan peningkatan suhu, kaku otot yang
berat, kebingungan, agitasi, peningkatan sel darah putih, peningkatan kreatin
fosfokinase, peningkatan enzim hati, dan gagal ginjal akut. Antipsikotik harus segera
dihentikan dan terapi dantrolene 0.8 – 2.5 mg/kg setiap 6 – 10 jam merupakan terapi
pilihan. Hidrasi adekuat, monitoring tanda vital dan elektrolit serum harus dilakukan.
Sindrom epileptic malignan lebih sering terjadi pada antipsikotik generasi pertama.4

b. Gejala Ekstrapiramidal (Extrapyramidal syndrome)


Efek samping utama yang paling sering muncul dan dijadikan bahan
pertimbangan dalam pemberian terapi adalah efek samping ekstrapiramidal pada
penggunaan antipsikotik generasi lama. Termasuk dalam efek samping
ekstrapiramidal ini yaitu distonia akut, pseudoparkinsonisme, dan akatsia.

Efek samping ini umumnya muncul setelah beberapa hari sampai beberapa
minggu setelah penggunaan antipsikotik dan biasanya sulit untuk diatasi. Gejala
ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh
penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal.
Obat antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan efek samping gejala
ekstrapiramidal yakni Haloperidol, Trifluoperazine, Perphenazine, Fluphenazine, dan
dapat pula oleh Chlorpromazine. Namun lebih sering diakibatkan oleh obat dengan
potensial tinggi yang memiliki afinitas yang kuat pada reseptor muskarinik.1 Gejala
bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigitas, tetapi gejala-gejala
itu diluar kendali traktus kortikospinal (piramidal).8

Gejala ekstrapiramidal sering di bagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi


distonia akut, tardive diskinesia, akatisia, dan Parkinsonism.8
 Reaksi distonia akut
Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang
timbul beberapa menit. Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot
wajah, leher, lidah atau otot ekstraokuler, bermanifestasi sebagai tortikolis,
disastria bicara, krisis okulogirik, sikap badan yang tidak biasa hingga opistotonus
(melibatkan keseluruhan otot tubuh). Hal ini akan mengganggu pasien, dapat
menimbulkan nyeri hingga mengancam kehidupan seperti distonia laring atau
diafragmatik. Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah
pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Terjadi pada kira-kira 10%
pasien, lebih lazim pada pria muda, dan lebih sering dengan neuroleptik dosis
tinggi yang berpotensi tinggi, seperti haloperidol, trifluoperazine dan flufenazine.8
 Akatisia
Manifestasi berupa keadaan gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap
bergerak, atau rasa gatal pada otot. Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau
kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang
memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik
akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang nyata, atau
manifestasi fisik lain dari akatisisa hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat.8
 Parkinsonism
Terdiri dari akinesia, tremor, dan bradikinesia. Akinesiameliputi wajah
topeng, jedaan dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan pada saat berjalan,
penurunan kedipan, dan penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan
pengeluaran air liur. Pada bentuk yang yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti
sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan
kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan
gejala skizofrenia negatif. Tremor dapat diteukan pada saat istirahat dan dapat pula
mengenai rahang. Gaya berjalan dengan langkah yang kecil dan menyeret kaki
diakibatkan karena kekakuan otot.8
 Tardive diskinesia
Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor
dopamine di puntamen kaudatus. Merupakan manifestasi gerakan otot abnormal,
involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik yang mempengaruhi gaya
berjalan, berbicara, bernapas, dan makan pasien dan kadang mengganggu. Faktor
predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan
berdosis tinggi atau jangka panjang. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang
timbul dengan berjalannya waktu.8
Salah satu cara untuk mengatasi efek samping dan meningkatkan
kemanfaaatan dari antipsikotik adalah dengan menggunakan dosis obat serendah
mungkin yang masih dapat memberikan efek farmakologis. Dosis tersebut harus
tetap dikontrol.8
c. Efek hormonal
Obat psikotik tipikal yang digunakan dalam jangka waktu yang panjang dapat
menyebabkan peningkatan produksi hormon prolaktin terutama pada wanita.
Blokade pada traktur tuberoinfundibular yang terproyeksikan ke hipotalamus
dan kelenjar hipofisis mengakibatkan berbagai efek samping neuroendokrine, yakni
peningkatan pelepasan hormone prolaktin.8
Prolaktin serum yang meningkat dapat mempengaruhi fungsi seksual pada
wanita maupun pria yang dapat bermanifestasi sebagai galaktorrhea, amenorrhea dan
poembesaran payudara pada wanita, gangguan fungi ereksi dan pencapaian orgasme,
gangguan libido, impotensi, dan ginekomasti pada pria.8
d. Sindrom metabolik
Beberapa penelitian menunjukkan pengaruh pengobatan antipsikotik
terhadapgangguan metabolisme dalam tubuh. Komponen utama dari sindrom
metabolik ini meliputi resistensi insulin, obesitas abdominal/sentral, hipertensi, dan
dislipidemia (peningkatan kadar trigliserida, penurunan kadar HDL kolesterol).
Adanya peningkatan berat badan, gangguan metabolisme glukosa, dan hiperglikemi
telah diketahui menjadi salah satu dampak dari penggunaan antipsikotik.
Hiperglikemia dan diabetes melitus tipe 2 banyak terjadi pada pasien skizofrenia.
Prevalensi peningkatan berat badan dan diabetes pada pasien skizofrenia adalah 1,5
sampai 2 kali lebih besar dibandingkan populasi umum. Adanya peningkatan berat
badan, ataupun hiperglikemia ini menjadi masalah yang serius karena dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas akibat adanya peningkatan risiko penyakit
kardiovaskular dan diabetes melitus tipe 2.8

Tabel 1: Efek Samping Antipsikosis3


Anti-psikosis Sedasi Otonomik Ekstapiramidal
Chlopromazine +++ +++ ++
Thioridazine +++ +++ +
Perphenazine + + +++
Trifluoperazine + + +++
Fluphenazine ++ + +++
Haloperidol + + ++++
Pimozide + + ++
Clozapine ++++ + -
Zotepine + + +
Sulpiride + + +
Risperidone + + +
Quetiapine + + +
Olanzapine + + +
Aripiprazole + + +

Antipsikotik pada Kehamilan


Semua antipsikotik termasuk lipofilik dan melewati barrier plasenta. Penggunaan
antipsikotik terutama generasi 1 sering dikaitkan dengan komplikasi kehamilan seperti
diabetes gestasional dan sejumlah efek samping terhadap fetus, mulai dari berat badan lahir
rendah hingga gangguan neurodevelopment. Saat ini antipsikotik yang paling sering
digunakan saat kehamilan adalah olanzapine, risperidone dan quetiapine, tidak ada bukti
spesifik pada antipsikotik tersebut yang menyebabkan malformasi fetus.9
Olanzapine merupakan antipsikotik yang paling sering digunakan saat kehamilan.
Terutama digunakan untuk skizofrenia dan gangguan bipolar.
Risperidone juga merupakan salah satu antipsikotik yang sering digunakan.
Dihubungkan dengan komplikasi perinatal seperti sindrom withdrawal hingga kejang.
Clozapine. Sedikit kasus abortus spontan yang dilaporkan akibat penggunaan obat
ini. Dapat menyebabkan anus ektopik dan 1 kasus lumbar myelomeningocele juga
ditemukan.
Sangat sedikit data mengenai antipsikotik atipikal yang lebih baru seperti aripiperazole,
sertindole dan ziprasidone. Percobaan pada hewan menunjukkan kasus defek septum
ventrikel dan malformasi renal dengan dosis yang biasa digunakan untuk antipsikotik ini.
Antipsikotik generasi 1 atau antipsikotik tipikal lebih jarang digunakan daripada antipsikotik
atipikal karena efek ekstrapiramidal pada antipsikotik tipikal.9
Haloperidol. Pajanan pada trimester pertama dapat menyebabkan defek ekstremitas
pada neonatus. Pada trimester ketiga dapat meningkatkan risiko anomali jantung.
Chlorpromazine. Pajanan pada trimester pertama oleh antipsikotik ini meningkatkan
risiko teratogenic non spesifik, efek samping withdrawal dan ekstrapiramidal.
Terdapat peningkatan risiko neonatal jaundice pada pemberian obat ini saat
kehamilan.
BAB III

SIMPULAN

Antipsikotik merupakan sekelompok bermacam-macam obat yang menghambat


reseptor dopamine tipe 2 (D2). Secara umum indikasi penggunaan antipsikotik adalah untuk
pasien skizofrenia. Namun obat ini juga digunakan pada pasien yang memiliki gejala psikotik
akibat trauma kepala, tumor, stroke, withdrawal alkohol, dan overdosis. Obat antipsikotik
sekarang ini dibagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan Tipikal dan Atipikal. Hal ini
didasarkan atas besarnya efek ekstrapiramidal yang di sebabkan. Disebut golongan atipikal
karena golongan ini sedikit menyebabkan gangguan ekstrapiramidal, sedangkan disebut
golongan tipikal karena efek ekstrapiramidal yang dihasilkan cukup besar. Efek samping
antipsikotik secara umum dapat berupa Gejala ekstrapiramidal yang dibagi menjadi reaksi
dystonia akut, akatisia, Parkinsonism dan tardive dyskinesia juga terdapat efek hormonal
terutama peningkatan prolactin efek samping lainnya dapat berupa sindrom metabolik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Amir N. Buku ajar psikiatri. Edisi kedua. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2013.h. 173-95.
2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock's synopsis of psychiatry : Behavioral
sciences/clinical psychiatry.10 th edition. Philadelphia: Lippincott Williams and
WOLTERS Kluwer business.2007.Bab 13.Schizophrenia.;h.467-97.

3. Arozal W, Gan S. Farmakologi dan terapi. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia. 2016.h.164-9.
4. Chokhawala K. Stevens L. Antipsychotic medications. Diunduh dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519503/. Pada 8 Agustus 2019.
5. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz
Ltd.1999.Bab 6. Beyond the serotonine-dopamine antagonism concept : how
individual atypical antipsychotic differ;p.63-96.
6. Antipsychotic drugs. Diunduh dari
http://downloads.lww.com/wolterskluwer_vitalstream_com/sample-
content/9780781762632_Abrams/sampleChapter1.pdf. Pada 8 Agustus 2019.
7. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz
Ltd.1999.Bab 4.Conventional Antipsychotic: the classical neuroleptics;p.35-47.
8. Muench J. Adverese effects of antipsychotic medications. Diunduh dari
https://www.aafp.org/afp/2010/0301/p617.html. Pada 8 Agustus 2019.
9. Odhejo Y., Jafri A., Mekala H.M., et al. Safety and efficacy of antipsychotics in
pregnancy and lactation. J Alcohol Drug Depend. 2017; 5(3): 1-7.

Anda mungkin juga menyukai