Antipsikotik
DISUSUN OLEH:
PEMBIMBING:
FAKULTAS KEDOKTERAN
II.1 Definisi
Antipsikotik merupakan sekelompok bermacam-macam obat yang menghambat
reseptor dopamine tipe 2 (D2).Farmakoterapi pada penderita skizofrenia dipicu oleh
penemuan antipsikotik klorpromazin pada awal 1950- an dan pengembangan klozapin pada
akhir 1960-an.Selama setengah abad terakhir, antipsikotik digunakan dalam pengobatan
skizofrenia dan telah menjadi pengobatan andalan untuk mengurangi keparahan gejala
psikotik dan kejadian relaps (pada penderita skizofrenia).1,2Ciri terpenting dari antipsikosis
adalah :
1. Berefek antipsikosis, terhadap gejala positif (halusinasi, delusi, bicara kacau dan
agitasi) dan secara terbatas juga memperbaiki gejala negatif (apatis, miskin
ide/motivasi, dan miskin kata – kata), serta gangguan kognitif.
2. Batas keamanannya besar, dosis yang besar tidak menyebabkan koma yang dalam
ataupun anesthesia.
3. Dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversible atau ireversibel.
4. Tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan efek ketergantungan fisik dan psikis
Terdapat dua jenis antipsikotik yaitu antipsikotik tipikal dan atipikal. Pada dasarnya
semua antipsikotik mempunyai efek klinis yang sama pada dosis ekuivalen. Perbedaan utama
pada efek samping. Pemilihan jenis antipsikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang
dominan dan efek samping obat. Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif
pilihannya adalah obat antipsikosis atipikal (golongan generasi kedua), sebaliknya jika gejala
positif lebih menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal (golongan
generasi pertama). Antispikotik atipikal terbaru, seperti klozapin, risperidon, olanzapin, dan
ziprasidon, mempunyai efek klinis yang lebih besar daripada antipsikotik kelas lain dengan
efek samping ekstrapiramidal akut yang minimal.1,2,4
II.2 Indikasi
- Phenothiazine
Rantai aliphatic : chlorpromazine
Rantai piperazine : perphenazine, trifluoperazine, fluphenazine
Rantai piperidine : thioridazine
- Butyrophenone : Haloperidol
- Diphenyl-butyl-piperidine : pimozide
Chlorpromazine (CPZ)
CPZ menimbulkan efek sedasi yang disertai sikap acuh tidak acuh terhadap
lingkungan. Pada pemakaian lama dapat timbul efek toleransi terhadap efek sedasi.
Semua derivate phenothiazine mempengaruhi ganglia basal, sehingga menimbulkan
gejala parkinsonisme (efek ekstrapiramidal). Phenothiazine dapat menurunkan
ambang bangkitan, sehingga penggunaannya pada pasien epilepsi harus berhati-hati.3
Haloperidol
Haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan mania pasien psikosis yang
karena hal tertentu tidak dapat diberikan fenitiazin. Reaksi ekstrapiramidal timbul pada
80% pasien yang diobati haloperidol.3
Struktur haloperidol berbeda dengan fenotiazin. Haloperidol memperlihatkan
antipsikosis yang kuat dan efektif untuk fase mania penyakit manik depresi dan
skizofrenia.3
Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang yang mengalami
ekstasi. Efek sedatif haloperidol kurang kuat disbanding dengan CPZ, sedangkan efek
haloperidol terhadap EEG menyerupai CPZ yakni memperlambat dan menghambat
jumlah gelombang teta. Haloperidol dan CPZ sama kuat menurunkan ambang rangsang
konvulsi. Haloperidol menghambat sistem dopamin dan hipotalamus, juga menghambat
muntah yang ditimbulkan oleh apomorfin.3
Efek haloperidol terhadap sistem saraf otonom lebih kecil daripada efek
antipsikotik lain, walaupun demikian haloperidol dapat menyebabkan pandangan kabur
(blurring of vision). Obat ini menghambat aktivasi respetor α-adrenergik , tetapi
hambatanya tidak sekuat hambatan CPZ.3
Haloperidol menyebabkan hipotensi, tetapi tidak sesering dan sehebat CPZ.
Haloperidol juga menyebabkan takikardia. Seperti CPZ, haloperidol menyebabkan
galaktorea dan respon endokrin lainya.3
Haloperidol cepat diserap dari saluran cerna. Kadar puncaknya dalam plasma
tercapai dalam waktu 2-6 sejak menelan obat, menetap sampai 72 jam dan masih dapat
ditemukan dalam plasma sampai berminggu-minggu.3
Obat ini ditimbun dalam hati dan kita-kira 1% dari dosis yang diberikan
diekskresikan melalui empedu.Ekskresi haloperidol lambat melalui ginjal, kira-kira
40% obat dikeluarkan selama 5 hari sesudah pemberian dosis tunggal.3
Haloperidol menimbulkan reaksi ekstrapiramidal dengan insiden yang tinggi
terutama pada pasien usia muda.
Pengobatan dengan haloperidol harus dimulai dengan hati-hati, dapat terjadi
depresi akibat reversi keadaan mania. Perubahan hematologi ringan dapat terjadi,
seperti leukopenia dan agranulositosis. Frekuensi keadaan ikterus akibat haloperidol
rendah. Haloperidol sebaiknya tidak diberikan kepada wanita hamil, karena belum
dapat terbukti bahwa obat ini tidak menimbulkan efek teratogenik.3
Antipsikotik atipikal :APG II sering disebut juga sebagai Serotonin Dopamin Antagosis
(SDA) atau antipsikotik atipikal. APG II mempunyai mekanisme kerja melalui interaksi
antar serotonin dan dopamin pada ke 4 jalur dopamin di otak. Hal ini yang menyebabkan
efek samping EPS lebih rendah dan sangat efektif untuk mengatasi gejala negatif.
Perbedaan antara APG I dan APG II adalah APG I hanya dapat memblok reseptor D2
sedangkan APG II memblok secara bersamaan reseptor serotonin (5HT2) dan reseptor
dopamin (D2). APG II dalam klinis praktis, memiliki empat keuntungan, yaitu:
1. APG II menyebabkan EPS jauh lebih kecil dibandingkan APG I, umunya pada dosis
terapi sangat jarang terjadi EPS.
2. APG II dapat mengurangi gejala negatif dari skzofrenia dan tidak memperburuk
gejala negatif seperti yang terjadi pada pemberian APG II.
3. APG II menurunkan gejala afektif dari skizofrenia dan sering digunakan untuk
pengobatan depresi dan gangguan bipolar yang resisten.
4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit Alzheimer.
- Benzamide : sulpiride
- Dibenzodiazepin : clozapine, olanzapine, quetiapine, zotepine
- Benzisoxazole : risperidon, aripiprazole
Risperidon. Risperidone merupakan obat APG II yang kedua diterima oleh FDA (Food
and Drug Administration) sebagai antipsikotik setelah clozapine. Risperidon merupakan
derivate dari benzioksazol mempunyai afinitas tinggi terhadap reseptor 5-HT2. Absorpsi
risperidone di usus tidak di pengaruhi oleh makanan dan efek terapeutik nya terjadi dalam
dosis rendah, pada dosis tinggi dapat terjadi EPS. Pemakaian risperidone yang teratur
dapat mencegah terjadinya kekambuhan dan menurunkan jumlah dan lama perawatan
sehingga baik digunakan dalam dosis pemeliharaan. Pemakaian riperidone masih diizinkan
dalam dosis sedang, setelah pemberian APG I dengan dosis yang kecil dihentikan,
misalnya pada pasien usia lanjut dengan psikosis, agitasi, gangguan perilaku yang di
hubungkan dengan demensia.Risperidone dapat memperbaiki skizofrenia yang gagal di
terapi dengan APG I tetapi hasil pengobatannya tidak sebaik clozapine. Obat ini juga dapat
memperbaiki fungsi kognitif tidak hanya pada skizofrenia tetapi juga pada penderita
demensia misalnya demensia Alzheimer. Indikasi risperidone pada pasien skizofrenia baik
gejala negative maupun positif. Dosis optimal - 4 mg / hari dengan 2 x pemberian. Dosis
anjuran 25-50 mg (inj) setiap 2 minggu. Umumnya perbaikan mulai terlihat dalam 8
minggu dari pengobatan awal, jika belum terlihat respon perlu penilaian ulang. Kadar
puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Sediaan risperidone
dalam bentuk tablet 1mg, 2 mg dan 3 mg, sirup dan injeksi 25 mg/ml, 50 mg/ml. efek
samping yang dilaporkan adalah insomnia, agitasi, ansietas, somnolen, mual, muntah,
peningkatan berat badan, hiperprolaktinemia dan EPS.3
Tujuan Terapi
Tujuan terapi secara umum untuk mengurangi gejala dengan efek samping obat ang
minimal atau dapat ditoleransi. Pada pasien dengan psikosis akut, tujuan pada minggu
pertama pengobatan adalah untuk menurunkan gejala (agresif, agitasi, melawan, ricuh)
dan memperbaiki pola makan dan tidur. Tujuan selanjutnya adalah untuk meningkatkan
kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri dan untuk bersosialisasi. Efek terapi
biasanya muncul perlahan 1 – 2 bulan. Tujuan jangka panjang termasuk meningkatkan
kemampuan pasien untuk berhubungan dengan lingkungan, meningkatkan fungsi
menjaga diri dan aktifitas sehari – hari, serta mencegah episode akut dan perawatan di
rumah sakit. Dengan terapi obat, pasien sering dapat berpartisipasi di psikoterapi, grup
terapi, kembali ke komunitas, dan kembali ke fungsi normal pasien sebelum sakit.6
Pemilihan Obat
Beberapa faktor yang diperhitungkan termasuk usia dan kondisi fisik pasien, tingkat
keparahan dan durasi, frekuensi dan keparahan dari efek samping setiap obat, riwayat
pemakaian obat pasien, kemampuan pengawasan terhadap pasien, dan pengalaman.
Obat atipikal merupakan terapi pilihan terutama pada pasien yang baru didiagnosis
skizofrenia, karena obat ini lebih efektif untuk menurunkan gejala dan efek samping yang
relative lebih ringan.6
Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu dipertimbangkan : 7
Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2 – 4 minggu
Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2 – 6 jam.
Waktu paruh : 12 – 14 jam (pemberian obat 1-2 x perhari).
Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek samping
(dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu
kualitas hidup pasien.
Mulai dengan “dosis awal” sesuai dengan “dosis anjuran”, dinaikkan setiap 2-3 hari
sampai mencapai “dosis efektif” (mulai timbul peredaran Sindrom Psikosis)
dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan “dosis optimal”
dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) diturunkan setiap 2 minggu
“dosis maintenance” dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi “drug
holiday” 1-2 hari/minggu) tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu) stop.
Lama Pemberian
Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang “multi episode”, terapi
pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun. Pemberian yang
cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 – 5 kali.
Efek obat anti-psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari
setelah dosis terakhir masih mempunyai efek klinis.Sehingga tidak langsung
menimbulkan kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya satu bulan kemudian baru
gejala Sindrom Psikosis kambuh kembali.Hal tersebut disebabkan metabolisme dan
ekskresi obat sangat lambat, metabolit-metabolit masih mempunyai keaktifan anti-
psikosis.Pada umumnya pemberian obat anti-psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3
bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk Psikosis
Reaktif Singkat penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya gejala dalam kurun
waktu 2 minggu – 2 bulan.Obat anti psikosis tidak menimbulkan gejala withdrawal yang
hebat walaupun diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan
obat kecil sekali.
Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala Cholinergic Rebound:
gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lain. Keadaan ini akan
mereda dengan pemberian “anticholinergic agent” (injeksi Sulfas Atropin 0,25 mg (im),
tablet Trihexyphenidyl 3x 2 mg/h).
Oleh karena itu pada penggunaan bersama obat anti-psikosis + antiparkinson, bila
sudah tiba waktu penghentian obat, obat antipsikosis dihentikan lebih dahulu, kemudian
baru menyusul obat antiparkinson.7
Efek samping ini umumnya muncul setelah beberapa hari sampai beberapa
minggu setelah penggunaan antipsikotik dan biasanya sulit untuk diatasi. Gejala
ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh
penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal.
Obat antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan efek samping gejala
ekstrapiramidal yakni Haloperidol, Trifluoperazine, Perphenazine, Fluphenazine, dan
dapat pula oleh Chlorpromazine. Namun lebih sering diakibatkan oleh obat dengan
potensial tinggi yang memiliki afinitas yang kuat pada reseptor muskarinik.1 Gejala
bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigitas, tetapi gejala-gejala
itu diluar kendali traktus kortikospinal (piramidal).8
SIMPULAN
1. Amir N. Buku ajar psikiatri. Edisi kedua. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2013.h. 173-95.
2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock's synopsis of psychiatry : Behavioral
sciences/clinical psychiatry.10 th edition. Philadelphia: Lippincott Williams and
WOLTERS Kluwer business.2007.Bab 13.Schizophrenia.;h.467-97.