Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH FARMAKOLOGI

TENTANG
ANTIPSIKOTIK

Disusun Oleh :
Andreas Dal Andi
NIM 202002268

PRODI S1-FARMASI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ADILA
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, penulis panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya,
yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada
penyusun, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Antipsikotik
Makalah ini berisi tentang antipsikotik, yang mana penyusun
telah berusaha semaksimal mungkin dan pastinya bantuan dari
berbagai pihak, sehingga penyusun mampu menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu. Dengan itu penyusun sangat berterima kasih
banyak kepada semua belah pihak yang telah membantu terselesainya
makalah ini.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa banyak kekurangan baik
dari dalam susunan bahasa maupun penulisan. Oleh sebab itu terbuka
bagi penyusun saran dan kritik dari pembaca kepada penyusun, sehingga
penyusun dapat memperbaiki makalah ini.
Penyusun berharap semoga makalah ini memberikan manfaat dan
inpirasi kepada pembaca.

Bandar Lampung, Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
SAMPUL LUAR i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Permasalahan 1
C. Tujuan Penulisan Makalah 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Antipsikotik 2
B. Klasifikasi Antipsikotik 2
C. Mekanisme Kerja Antipsikotik 3
D. Cara Penggunaan 4
E. Efek Samping 5
F. Kontraindikasi 7

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan 8
B. Saran 8

DAFTAR PUSTAKA 9

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Antipsikotik merupakan obat yang digunakan untuk menangani berbagai macam
gangguan psikosis, seperti bipolar, mania, gangguan waham, dan yang paling sering
adalah skizofrenia. Psikosis semacam ini merupakan gangguan psikis yang serius karena
dapat menurunkan kualitas hidup seseorang. Antipsikotik dapat mengatasi berbagai gejala
psikosis dan mencegah kekambuhan, tetapi memerlukan waktu terapi yang lama.
Jumlah terapi antipsikotik di seluruh dunia untuk orang usia kurang dari 20 tahun
semakin meningkat setiap tahunnya sejak tahun 1980an. Prevalensi medikasi antipsikotik
untuk anak usia 6-17 tahun meningkat dari 2,7% pada tahun 2001 menjadi 4,2% pada
tahun 2004. Prevalensi skizofrenia sendiri sebesar 1% dari seluruh populasi di dunia. 5,6
Riset kesehatan dasar tahun 2007 melaporkan angka kejadian skizofrenia di Indonesia
adalah 4,6 per 1000 penduduk, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 1-3 per
1000 penduduk.
Gangguan psikosis, terutama skizofrenia, ternyata dapat sembuh sempurna
asalkan mendapat terapi secara kontinu, baik farmakologis menggunakan obat
antipsikotik maupun non farmakologis. Terapi antipsikotik yang biasa digunakan yaitu
golongan fenotiazin.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan antipsikotik?
2. Bagaimana klasifikasi antipsikotik?
3. Bagaimana mekanisme kerja antipsikotik?
4. Bagaimana cara penggunaan antipsikotik?
5. Bagaimana efek samping dan kontraindikasi antipsikotik?

C. Tujuan Penulisan Makalah


1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan antipsikotik.
2. Menjelaskan klasifikasi antipsikotik.
3. Menjelaskan mekanisme kerja antipsikotik.
4. Menjelaskan cara penggunaan antipsikotik.
5. Menjelaskan efek samping dan kontraindikasi antipsikotik..

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Antipsikotik
Antipsikotika (major transquilizer) adalah obat-obat yang dapat menekan
fungsi-fungsi psikis tertentu tanpa mempengaruhi fungsi umum seperti berpikir
dan berkelakuan normal. Obat ini dapat meredakan emosi dan agresi dan dapat
pula menghilangkan atau mengurangi gangguan jiwa seperti impian dan pikiran
khayal (halusinasi) serta menormalkan perilaku yang tidak normal. Oleh karena
itu antipsikotika terutama digunakan psikosis, penyakit jiwa hebat tanpa keinsafan
sakit oleh pasien, misalnya penyakit schizofrenia dan psikosi mania depresif.

B. Klasifikasi Antipsikotik
Antipsikotika biasnya dibagi dalam dua kelompok besar, yakni obat typis atau
klasik dan obat atypis.
1. Antipsikotika klasik, terutama efektif mengatasi simtom positif. pada
umunya dibagi lagi dalam sejumlah kelompok kimiawi sebagai berikut:
a. Derivat-fenotiazin: klopromazin, levomepromazin dan
triflupromazin, thiorizidin, dan periciazin, perfenazin dan flufenazin,
perazin, trifluoperazin, proklorperazin, dan thietilperazin.
b. Derivat-thioxanthen : klorprotixen, dan zuklopentixol.
c. Derivat-butirofenon : haloperidol, bromperidol, pimpaperon dan
droperidol.
d. Derivat-butilpiperidin : pimozida, fluspirilen, penfluridol.
2. Antipsikotika atypis (sulpirida, klozapin, respiridon, olanzapin, dan
quetiapin) bekerja efektif melawan simtom negatif, yang praktis kebal
terhadap obat klasik. Lagi pula efek sampingnya lebih ringan, khususnya
gangguan extrapiramidal dan dyskinesia tarda. Sertindol setela dipasarkan
hanya satu tahun lebih, akhir 1998 ditarik dari peredaran di eropa, karena
dari beberapa kali dilaporkan terjadinya aritmia dan kematian mendadak.
Obat atypis lainnya yang sudah tersedia dinegara lain yag sudah tersedia
dinegara lain sejak 1988 adalah zotepin dan ziprasidon.

2
C. Mekanisme Kerja Antipsikotik
Semua psikofarmaka bersifat lipofil dan mudah masuk kedalam cairan
cerebrospinal dan obat-obat ini melakukan kegiatnnya secara langsung terhadap
saraf otak. Mekanisme kerjanya pada taraf biokimiawi belum diketahui dengan
pasti tetapi ada petunjuk kuat bahwa mekanisme ini berhubungan erat dengan
kadar neurotransmitter di otak atau anatar keseimbangannya.
Antipsikotika menghambat agak kuat reseptor dopamin disistem limbis
otak dan disamping itu juga menghambat reseptor, serotonin, muskarin dan
histamin. Tetapi pada pasien yang kebal bagi obat-obat klasik telah ditemukan
pula blokade tuntas dari reseptor D2 tersebut. Riset baru mengenai otak telah
menunjukkan bahwa blokade D2 tidak selalu cukup untuk menanggulangi
schizofrenia secara efektif. Untuk ini neurohormon lainnya seperti serotonin,
glutamat, GABA (gamma-butyric acid) perlu dipengaruhi.
Mulai kerjanya blokade D2 cepat, begitupula efeknya pada keadaan
gelisah. Sebaliknya kerjanya terhadap gejala psikosis lain, seperti waham,
halusinasi, dan gangguan pikiran baru nyata setelah beberapa minggu. Mungkin
efek lambat ini disebabkan sistem reseptor dopamin menjadi kurang peka.
*antipsikotika atypis memiliki afinitas lebih besar untuk reseptor D1 dan D2
sehingga lebih efektif dari pada obat-obat klasik untuk melawan simtom negatif.
Lagi pula obat ini lebih jarang menimbulkan GEP dan dyskinesia tarda.
1. sulpirida terutama menghambat resptor D2 dan praktis tanpa afinitas bagi
reseptor lain. Pada dosis rendah (dibawah 600 mg/hari) terutama bekerja
antagonistis terhadap reseptor presinaptis, dan pada dosis lebih lebih tingi
(diatas 800 mg/hari) juga terhadap reseptor D2 postsinaptis, seperti obat-
obat klasik. Efek antipsikotis terutama dicapai pada dosis lebih tingi dan
dosis rendah berguna pada psikosis dengan tertutama simtom negatif.
2. Klozapin ikatannya pada resptor D2 agak ringa (± 20%) dibandingkan
obat-obat klasik (60-75%). Namun efek antipsikotisnya kuat, yang bisa
dianggap paradoksal. Juga afinitasnya pada reseptor lain dengan efek
antihistamin, antiserotonin, antikolinergis dan antiadrenergis adalah
relatif tinggi. Menurut perkiraan efek baiknya dapat dijelaskan oleh
blokade kuat dari resptor D2, D4 dan -5HT. blokade reseptor muskarin

3
dan D4 disuga mengurangi GEP, sedangkan blokade 5HT2 meningkatkan
sintesa dan pelepasan dopamin diotak. Hal ini meniadakan sebagian
blokade D2, tetapi mengurangi risiko GEP.
3. Risperidon juga terutama menghambat reseptor D2 dan -5HT, dengan
perbandingan afinitas 1:10, juga dari reseptor –α1, – α12, –H1. Blokade
α1 dan α12 dapat menimbukan masingmasing hipotensi dan depresi
sedangkan blokade H1, berkaitan degan sedasi.
4. Olanzapin menhambat semua reseptor dopamin (D1 s/d D5) dan reseptor
H1, -5HT2, adrenergis dan kolinergis, dengan afinitas lebih itnggi untuk
reseptor -5HT2 dibandingkan D2.
5. Reboxetin (Edronax) yang secara selektif menghambat reuptake
noradrenalin.

D. Cara Penggunaan
Umumnya dikonsumsi secara oral, yang melewati “first-pass metabolism”
di hepar. Beberapa diantaranya dapat diberikan lewat injeksi shortacting Intra
muscular (IM) atau Intra Venous (IV), Untuk beberapa obat antipsikosis (seperti
haloperidol dan flupenthixol), bisa diberikan larutan ester bersama vegetable oil
dalam bentuk “depot” IM yang diinjeksikan setiap 1-4 minggu. Obat-obatan depot
lebih mudah untuk dimonitor. Pemilihan jenis obat anti-psikosis
mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat.
Penggantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalennya. Apabila obat psikosis
tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis optimal setelah jangka waktu
memadai, dapat diganti dengan obat anti-psikosis lainnya. Jika obat anti-psikosis
tersebut sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek sampingnya dapat ditolerir
dengan baik, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
Dalam pemberian dosis, perlu dipertimbangkan:
1. Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
2. Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam
3. Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari)
4. Dosis pagi dan malam berbeda untuk mengurangi dampak efek
samping, sehingga tidak menganggu kualitas hidup pasien

4
Obat anti-psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat
walaupun diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan
sangat kecil. Jika dihentikan mendadak timbul gejala cholinergic rebound, yaitu:
gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusisng, gemetar dan lain-lain dan akan
mereda jika diberikan anticholinergic agents (injeksi sulfas atropine 0,25 mg IM
dan tablet trihexylfenidil 3x2 mg/hari). Obat anti-psikosis parenteral berguna
untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat atau tidak efektif
dengan medikasi oral. Dosis dimulai dengan 0,5 cc setiap bulan. Pemberiannya
hanya untuk terapi stabilisasi dan pemeliharaan terhadap skizofrenia.
Penggunaan CPZ sering menimbulkan hipotensi orthostatik pada waktu
merubah posisi tubuh. Hal ini dapat diatasi dengan injeksi nor-adrenalin (effortil
IM). Haloperidol juga dapat menimbulkan sindroma Parkinson, dan diatasi
dengan tablet trihexylfenidil 3- 4x2 mg/hari.

E. Efek Samping
Sejumlah efek samping serius dapat membatasi penggunaan antipsikotika
dan yang paling sering terjadi adalah:
1. Gejala ekstrapiramidal (GEP)
GEP dapat berbentuk banyak macam, yaitu sebagai :
a. Parkinsonisme (gejala penyakit Parkinson), yakni hipokinesia (daya
gerak berkurang,berjalan langkah demi langkah ) dan kekakuan
anggota tubuh, kadang-kadang tremor tangan dan keluar liur 10
berlebihan. Gejala lainnya “rabbit-syndrome” (mulut membuat
gerakan mengunyah, mirip kelinci), yang dapat muncul setelah
beberapa munggu atau bulan. Terutama pada dosis tinggi dan lebih
jarang pada obat dengan kerja antikolinergis. Insidensinya 2-10%.
b. Dystonia akut, yakni kontraksi otot-otot muka dan tengkuk, kepala
miring, gangguan menelan, sukak bicara dan kejang rahang. Guna
menghindarkannya dosis harus dinaikkan dengan perlahan, atau
diberikan antikolinergika sebagai profilaksis.
c. Akathisia, yakni selalu ingin bergerak, tidak mampu duduk diam
tanpa menggerakkan kaki, tangan atau tubuh (Yun, kathisis: duduk, a:

5
tidak, tanpa). Ketiga GEP tersebut dapat dikurangi dengan
menurunkan dosis dan dapat diobati dengan antikolinergika. Akathisia
juga dapat diatasi dengan propranolol atau benzosiazepin.
d. Dyskinesia tarda, yakni gerakan abnormal tak-sengaja, khususnya
otot-otot muka dan mulut (menjulurkan lidah), yang dapat menjadi
permanen. Gejala ini sering muncul setelah 0,5-3 tahun dan berkaitan
antara lain dengan dosis kumulatif(total) yang telah diberikan. Risiko
efek samping ini meningkat pada penggunaan lama dan tidak
tergantung dari dosis, juga lebih sering terjadi pada lansia,
insidensinya tinggi (10-15%). Gejala ini lenyap dengan menaikkan
dosis , tetapi kemudian timbul kembali secara lebih hebat.
Antikolinergika juga dapat memperhebat gejala tersebut. Pemberian
vitamin E dapat mengurangi efek samping ini.
e. Sindroma neuroleptika maligne berupa demam, kekakuan otot dan
GEP lain, kesadaran menurun dan kelainan-kelainan SSO
(tachycardia, berkeringat, fluktuasi tekanan darah, inkontinensi).
Gejala ini tak bergantug pada dosis, terutama terjadi pada pria muda
dalam waktu 2 minggu dengan insidensi 1 %. Diagnosanya sukar ,
tetapi bila tidak ditangani bisa berakhir fatal.

2. Galaktorrea (banyak keluar air susu), juga akibat blokade dopamin,


yang identik dengan PIF( Prolacting Inhibiting Factor). Sekresi prolaktin
tidak dirintangi lagi, kadarnya meningkat dan produksi air susu
bertambah banyak.
3. Sedasi yang bertalian dengan khasiat antihistamin, khususnya
klorpromazin, thioridazin., dan klozapin. Efek sampingnya ringan pada
zat-zat difenilbutilamin.
4. Hipotensi ortostatis akibat blokade reseptor ∝, adrenergis, misalnya
klorpromazin , thioridazin, dan klozapin.
5. Efek antikolinergis akibat blokade reseptor muskarin, yang bercirikan
antara lain mulut kering, penglihatan guram, obstipasi, retensi kemih dan
tachycardia, terutama pada lansia. Efeknya khusus kuat pada

6
klorpromazin,thioridazin dan klozapin.
6. Efek antiseerotonin akibat blokade reseptot-5HT, yang berupa stimulasi
nafsu makan dengan akibat naiknya berat badan dan hiperglikemia.
7. Gejala penarikan dapat timbul, meskipun obat-obat ini tidak berdaya
adiktif. Bila penggunaannya dihentikan mendadak dapat terjadi sakit
kepala, sukar tidur, mual, muntah, anorexia dan rasa takut. Efek ini
terutama pada obat-obat dengan kerja antikolinergis. Oleh karena itu
penghentianya selalu perlu berangsur.
8. Efek lainnya. Akhirnya masih ada beberapa efek samping yang
karakteristik bagi obat-obat tertentu, yakni:
a. Fenotiazin: sering kali reaksi imunologis, seperti fotosensibilisasi,
hepatitis, kelainan darah dan dermatitis alergis, jarang pada zat-zat
thioxanten. Efek lainnya berupa kelainan mata dengan endapan
pigmen di lensa dan kornea, serta retinopati pada thioridazin(dosis
diatas 800 mg/hari).
b. Klozapin: dapat menimbulkan agranulositosis (1-2%),juga
bradycardia, hipotensi ortostatis dan berhentinya jantung.
c. Olanzapin dan risperidon pada lansia yang menderita Alzheimer
dapat mengakibatkan kerusakan cerebrovaskuler, yang
meningkatkan mortalitasnya dengan lebih dari dua kali, tidak
tergantung dari lama dan dosisnya penggunaan

F. Kontraindikasi
Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris yang tinggi,
ketergantungan alkohol, penyakit SSP dan gangguan kesadaran.

7
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Antipsikotika (major transquilizer) adalah obat-obat yang dapat menekan
fungsi-fungsi psikis tertentu tanpa mempengaruhi fungsi umum seperti berpikir
dan berkelakuan normal. Antipsikotika biasnya dibagi dalam dua kelompok besar,
yakni obat typis atau klasik dan obat atypis. Obat ini dapat meredakan emosi dan
agresi dan dapat pula menghilangkan atau mengurangi gangguan jiwa seperti
impian dan pikiran khayal (halusinasi) serta menormalkan perilaku yang tidak
normal. Oleh karena itu antipsikotika terutama digunakan psikosis, penyakit jiwa
hebat tanpa keinsafan sakit oleh pasien, misalnya penyakit schizofrenia dan
psikosi mania depresif.

B. Saran
Kesempurnaan makalah ini tergantung pada motivasi dan saran yang membangun
dari para pembaca. Maka dari itu, penulis mengharapkan masukan ataupun saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini.

8
DAFTAR PUSTAKA

1. Dr.Endro nugroho,Agung M.si,Apt FARMAKOLOGI Obat-obat penting


dalam ilmu pembelajaran ilmu farmasi dan dunia kesehatan

2. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21375/4/Chapter%20II.pdf

3. http://eprints.ums.ac.id/26195/2/BAB_1.pdf

4. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40879/4/Chapter%20II.pd

Anda mungkin juga menyukai