PENDAHULUAN
Obat antipsikotik atau disebut juga Neuropleptik. telah digunakan dalam dunia medis
sudah lebih dari 60 tahun. Adalah Pierre Deniker, Henri Leborit dan Jean Delay, sekelompok
ilmuwan Perancis yang pertama kali menemukan obat antipsikotik pada awal 1950.
Chlorpromazine adalah obat yang pertama kali ditemukan dan saat itu menjadi pilihan utama
dalam pengobatan schizophrenia dan gangguan psikotik. Karena penggunaan obat antipsikotik
pada pengobatan psikotik berlangsung dalam jangka waktu yang cukup panjang. Dibutuhkan
waktu beberapa minggu untuk mengontrol gejala dari schizophrenia dan membutuhkan terapi
dengan dosis maintenance untuk beberapa tahun lamanya. Oleh karena itu efek samping dalam
penggunaan obat antipsikotik ini tidak dapat dihindarkan. Salah satu efek samping yang paling
sering timbul adalah efek samping gangguan ekstrapiramidal, yang tidak jarang gangguan ini
bersifat irreversible.
Hampir semua obat neuroleptik adalah antagonis reseptor dopamin. Diperkirakan bahwa
terjadi peningkatan aktifitas dopaminrgik di bagian mesolimbik dan mesocortical pada penderita
schizophrenia. Hal ini dibuktikan bahwa amfetamin, suatu zat yang menstimulasi pelepasan
dopamin dapat menyebabkan gejala psikotik pada orang-orang normal yang menggunakannya.
Pada beberapa penelitian yang sudah dilakukan menggunakan Single Photon Emission
Computed Tomography ( SPECT ) pada orang dengan schizophrenia ditemukan peningkatan
fungsi secara bermakna pada receptor D2, sehingga menstimulasi pelepasan dopaminrgik.
Obat neuroleptik selain mengantagonis reseptor dopamin di susunan saraf pusat juga
memiliki efek-efek lain, seperti :
1. Memblokade reseptor muskarinik, menyebabkan : mulut kering, pengelihatan kabur,
konstipasi dan retensi urin.
2. Memblokade -adrenoreseptor, menyebabkan : hipotensi postural, hipotermia.
3. Memblokade reseptor histamin dan serotonin
4. Memblokade reseptor D2 pada mesolimbik sistem, menyebabkan : sedasi dan efek
antipsikotik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.
DEFINISI
Obat antipsikotik adalah sekelompok obat yang termasuk psikofarmaka yang
menghilangkan atau mengurangi gejala psikosis. Antipsikotik bekerja secara selektif pada
susunan saraf pusat
perilaku serta digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik. Selain itu, antipsikosis juga
digunakan untuk pengobatan psikosis lainnya dan agitasi.
II.
FARMAKOKINETIK
Sebagian besar obat anti psikotik yang sudah digunakan tidak sepenuhnya
diserap. kebanyakan obat antipsikotik tersebut melalui metabolisme tahap pertama.
Dosis oral klopromazin dan thioridazin yang berhasil memasuki sirkulasi sistemik hanya
sekitar 25-35%, dimana haloperidol dapat memasuki sirkulasi sistemik sebesar 65%.
Kebanyakan obat antipsikotik larut dalam lemak dan terikat oleh protein (9299%) dan memiliki volume distribusi yang besar(sekitar >7L/kg). kemungkinan karena
obat tersebut sangat larut dalam komponen lemak tubuh dan mempunyai afinitas tinggi
terhadap reseptor neurotransmitter di sistem saraf pusat. Hal ini berhubungan dengan
fungsi dari reseptor dopamin D2 di otak. Metabolit klopromazin akan di ekskresi bersama
urin beberapa minggu terhitung dosis terakkhir yang digunakan.
III.
EFEK FARMAKOLOGIS
Derivat phenotiazin generasi pertama dengan klopromazin sebagai prototipe
karena memiliki efek yang luas terhadap sistem saraf pusat, otonom, dan endokrin. Hal
tersebut ditunjukkan dengan blokade reseptor alfa adrenergik, muskarinik, H1 histamin,
serotonin (5HT2), dan dopamin yang merupakan target utama dari kerja obat tersebut.
A. Efek Fisiologis
Sebagian besar obat antipsikotik menyebabkan efek subjektif yang tidak
menyenangkan terhadap orang normal seperti mengantuk, gelisah, dan gejala otonom.
mengakibatkan
psikotik, sebaliknya
INDIKASI
A. Indikasi Psikiatri
Skizofrenia merupakan indikasi utama dari obat antipsikotik, dimana obat
tersebut masih merupakan pilihan utama dan tidak tergantikan. Sayangnya kerja obat
ini kurang optimal, kebanyakan pasien menunjukkan perbaikan yang minimal dan
hampir tidak menunjukkan respon yang penuh terhadap pengobatan dengan
antipsikotik.
Antipsikotik juga diindikasikan untuk gangguan skizoafektif dimana terdapat
dua gejala bersamaan yaitu skizofrenia dan gangguan afektif. Beberapa gejala
psikotik yang membutuhkan pengobatan dengan obat antipsikotik dimana juga
dikombinasikan dengan obat lain seperti antidepresan, lithium, dan asam valproate.
Episode manik dari gangguan afektif bipolar juga membutuhkan pengobatan dengan
obat antipsikotik. Penelitian terbaru menunjukkan keampuhan monoterapi dengan
antipsikosis atipikal di fase manik akut dan olanzapine juga diindikasikan.
digunakan
sebagai
kombinasi
dengan
opioid,
fentanil
pada
neuroleptanesia.
V.
gangguan
hiperkinetik
(tardive
dyskinesia).
Blokade
reseptor
D2
di
1. Mudah
Kerugian
terjadi EPS
Keuntungan
dan
tardive
dyskinesia
2. Memperburuk gejala negatif dan kognitif
3. Peningkatan kadar prolaktin
4. Sering
menyebabkan
terjadinya
kekambuhan
Klorpromazin (CPZ)
Efek farmakologis klorpromazin meliputi susunan saraf pusat, sistem otonom, dan
sistem endokrin. Efek ini terjadi karena antipsikosis menghambat berbagai reseptor,
diantaranya dopamin reseptor, -adrenergik, muskarinik, histamin H1 dan reseptor
serotonin 5HT2 dengan afinitas yang berbeda. Klorpromazin selain memiliki afinitas
pada reseptor dopamin,
adrenergik.
CPZ menimbulkan efek sedatif yang disertai sikap acuh tak acuh terhadap rangsang
dari lingkungan. Pada pemakaian lama dapat timbul toleransi terhadap efek sedasi.
Timbulnya sedasi amat tergantung dari status emosional pasien sebelum minum obat.
CPZ tidak dapat mencegah timbulnya konvulsi akibat rangsang listrik maupun
rangsang oleh obat. CPZ yang merupakan golongan fenotiazin mempengaruhi ganlia
basal, sehingga menimbulkan gejala parkinsonisme (efek ekstrapiramidal). CPZ dapat
mengurangi atau mencegah muntah yang disebabkan oleh rangsangan pada
chemoreceptor trigger zone.
Pada dosis berlebihan semua derivate fenotiazin dapat menyebabkan gejala
ekstrapiramidal serupa dengan yang terlihat pada Parkinson. Dikenal 6 gejala sindrom
neurologik yang karateristik dari obat ini. Empat diantaranya biasa terjadi sewaktu obat
diminum, yaitu distonia akut, akatisia, parkinsonisme, dan sindrom neuroleptic malignan.
Dua sindrom lainya terjadi setelah pengobatan berbulan-bulan sampai bertahun-tahun,
berupa tremor perioral dan dyskinesia tardii. CPZ dapat menimbulkan relaksasi otot
rangka yang berada dalam keadaan spastik. Cara kerja relaksasi ini diduga bersifat sentral
sebab sambungan saraf otot dan medula spinalis tidak dipengaruhi CPZ.
CPZ memiliki efek samping terhadap sistem reproduksi, terhadap wanita dapat terjadi
amenorea, galaktorea, dan peningkatan libido, sedangkan pada pria penurunan libido dan
ginekomastia. Efek ini terjadi karena efek sekunder dari hambatan dopamin yang
menyebabkan hiperprolaktinemiam serta adanya kemungkinan peningkatan perubahan
androgen menjadi estrogen di perifer.
Hipotensi ortostatik dan peningkatan denyut nadi saat istirahat biasanya sering terjadi
dengan derivate fenotiazin. Tekanan arteri rata-rata, resistensi perifer, curah jantung
menurun dan frekuensi jantung meningkat. Efek ini diperkirakan karena efek otonon dari
obat psikosis.
Klorpromazin memiliki bioavaibilitas berkisar antara 25%-35%, besifat larut dalam
lemak dan terikat kuat dengan protein plasma (92%-99%) serta memiliki volume
distribusi besar. Metabolit klorpromazin ditemukan di urin sampai beberapa minggu
Perbedaan antara APG I dan APG II adalah APG I hanya dapat memblok reseptor D 2
sedangkan APG II memblok secara bersamaan reseptor serotonin (5HT 2A) dan
reseptor dopamin (D2). APG yang dikenal saat ini adalah clozapine, risperidone,
olanzapine, quetiapine, zotepine, ziprasidone, aripiprazole. Saat ini antipsikotik
ziprasidone belum tersedia di Indonesia.
Kerja obat antipsikotik generasi kedua pada dopamin pathways:
1. Mesokortikal Pathways
Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyababkan berkurangnya blokade terhadap
antagonis D2 tetapi juga menyababkan terjadinya aktivitas dopamin pathways
sehingga terjadi keseimbangan antara keseimbangan antara serotonin dan dopamin.
APG II lebih berpengaruh banyak dalam memblok reseptor 5HT 2A dengan demikian
meningkatkan pelepasan dopamin dan dopamin yand dilepas menang daripada yang
dihambat di jalur mesokortikal. Hal ini menyebabkan berkurangnya gejala negatif
maka tidak terjadi lagi penurunan dopamin di jalur mesokortikal dan gejala negatif
yang ada dapat diperbaiki.
APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan APG I karena
di jalur mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih banyak dari reseptor D2, dan
APG II lebih banyak berkaitan dan memblok reseptor 5HT2A dan sedikti memblok
reseptor D2 akibatnya dopamin yang di lepas jumlahnya lebih banyak, karena itu
defisit dopamin di jalur mesokrtikal berkurang sehingga menyebabkan perbaikan
gejala negatif skizofrenia.
2. Mesolimbik Pathways
APG II di jalur mesolimbik, antagonis 5HT2A gagal untuk mengalahkan antagonis D2
di jalur tersebut. jadi antagonsis 5HT2A tidak dapat mempengaruhi blokade reseptor
D2 di mesolimbik, sehingga blokade reseptor D2 menang. Hal ini yang menyababkan
APG II dapat memperbaiki gejala positif skizofrenia. Pada keadaan normal serotonin
akan menghambat pelepasan dari dopamin.
3. Tuberoinfundibular Pathways
APG II di jalur tuberoinfundibular, antagonis reseptor 5HT2A dapat mengalahkan
antagonis reseptor D2. Hubungan antara neurotransmiter serotonin dan dopamin
sifatnya antagonis dan resiprokal dalam kontrol sekresi prolaktin dari hipofise.
Dopamin
akan
menghambat
pengelepasan
prolaktin,
sedangkan
serotonin
mengakibatkan
pelepasan
prolaktin
menurun
sehingga
tidak
terjadi
hiperprolaktinemia.
Keuntungan
1. APG II menyebabkan EPS jauh lebih kecil dibandingkan APG I, umunya pada dosis terapi sangat
jarang terjadi EPS.
2. APG II dapat mengurangi gejala negatif dari skzofrenia dan tidak memperburuk gejala negatif
seperti yang terjadi pada pemberian APG II.
3. APG II menurunkan gejalan afektif dari skizofrenia dan sering digunakan untuk pengobatan
depresi dan gangguan bipolar yang resisten.
4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit Alzheimer.
Antipsikotik generasi kedua yang digunakan sebagai:
First line: Risperidone, Olanzapine, Quetiapine, Ziprasidone, Aripiprazole
Second line: Clozapine.
Obat antipsikotik yang sering digunakan ada 21 jenis yaitu 15 jenis berasal dari
APG I dan 6 jenis berasal dari APG II. Keuntungan yang didapatkan dari pemakaian
APG II selain efek samping yang minimal juga dapat memperbaiki gejala negatif,
kognitif dan mood sehingga mengurangi ketidaknyamanan dan ketidakpatuhan pasien
akibat pemakian obat antipsikotik.
Pemakaian APG II dapat meningkatkan angka remisi dan menigkatkan kualitas
hidup penderita skizofrenia karena dapat mengembalikan fungsinya dalam
masyarakat. Kualitas hidup seseorang yang menurun dapat dinilai dari aspek
occupational dysfunction, social dysfunction, instrumental skills deficits, self-care,
dan independent living.
Klozapin
Merupakan antipsikotik atipikal pertama dengan potensi lemah. Disebut atipikal
karena obat ini hampir tidak menimbulkan efek ekstrapiramidal dan peningkatan kadar
prolaktin serum. Klozapin efektif untuk mengontrol gejala-gejala psikosis dan
schizophrenia baik yang positif ( iritabilitas ) maupun yang negative (social disinterest
dan incompetence, personal neatness) . Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2
minggu, diikuti perbaikan secara bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Obat ini
berguna untuk pengobatan pasien yang refrakter terhadap obat standar. Selain itu
Klozapin juga cocok digunakan pada pasien yang menunjukan gejala ekstrapiramidal
berat pada pemberian antipsikosis tipikal. Namun karena klozapin memiliki resiko
timbulnya agranulositosis yang lebih tinggi dibanding dengan antipsikosis lain. Maka
penggunanannya dibatasi hanya pada pasien yang resisten atau tidak dapat mentoleransi
antipsikosis yang lain. Pasien yang diberi klozapin perlu dipantau jumlah sel darah
putihnya setiap minggu.
Agranulositosis merupakan efek samping utama yang ditimbulkan pada
pengobatan menggunakan klozapin. Penggunaan obat ini tidak boleh lebih dari 6 minggu
kecuali bila terlihat adanya perbaikan yang signifikan. Efek samping lain yang dapat
terjadi antara lain hipertermia, takikardia, sedasi, pusing kepala, hipersalivasi. Gejala
overdosis meliputi, letargi, koma, delirium, takikardia, depresi napas, aritmia, kejang dan
hipertermia.
Klozapin diabsorpsi secara cepat dan sempurna pada pemberian per oral. Kadar
puncak plasma tercapai pada kira-kira 1.6 jam setelah pemberian obat. Diekskresi lewat
urin dan tinja, dengan waktu paruh rata-rata 11.8 jam.
Risperidon
Risperidon yang merupakan derivate dari benzisoksazol mempunyai afinitas yang
tinggi terhadap reseptor serotonin (5HT2), dan aktivitas menengah terhadap reseptor
dopamin D2, alfa 1 dan alfa 2 adrenergik dan reseptor histamine. Aktivitas antipsikosis
diperkirakan melalui hambatan terhadap reseptor serotonin dan dopamin.
Bioavailibilitas oral sekitar 70%. Diplasma risperidon terikat dengan albumin dan alfa1
glikoprotein. Risperidon dan metabolitnya dieliminasi lewat urin dan sebagian kecil lewat
feses.
Indikasi risperidon adalah terapi skizofrenia baik untuk gejala positif dan gejala
negative, gangguan bipolar, depresi dengan cirri psikosis.Secara umum risperidon dapat
ditoleransi dengan baik. Efek samping yang dilaporkan adalah insomnia, agitasi, ansietas,
somnolen, mual, muntah, peningkatan berat badan, hiperprolaktinemia dan reaksi
ekstrapiramidal terutama tardive diskinesia. Efek samping ekstrapiramidal umumnya
lebih ringan disbanding antipsikosis tipikal.
Olanzapin
Quetiapin
Quetiapin memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin(D2), serotonin(5HT2) dan
bersifat agonis parsial terhadap reseptor serotonin (5HT1A) yang diperkirakan mendasari
efektivitas obat ini untuk gejala positif maupun negatif skizofrenia.
Absorbsi quetiapin cepat setelah pemberian oral. Kadar plasma maksimal tercapai
setelah pemberian 1-2 pemberian dan terikat protein sekitar 83%. Quetiapin
dimetabolisme melalui hati oleh enzim CYP 3A4 dan diekskresi sebagian besar melalui
urin dan sebagian kecil melalui feses.
Quetiapin digunakan pada penderita skizofrenia dengan gejala positif maupun
negatif.obat ini dilaporkan dapat meningkatkan kemampuan kognitif seperti perhatian,
kemampuan berpikir, berbicara, dan kemampuan mengingat membaik. Selain itu
quetiapin juga diindikasikan untuk gangguan depresi dan mania.
Efek samping yang umum terjadi pada penggunaan quetiapin yaitu sakit kepala,
somnolen, dan dizziness.efek samping yang sering terjadi pada penggunaan anti psikosis
atipikal
lainnya
seperti
berat
badan
meningkat,
gangguan
metabolik
dan
Ziprasidon
Obat ini dikembangkan daengan harapan memiliki spektrum skizofrenia yang
luas, baik gejala positif, negatif maupun gejala afektif dengan efek samping yang
minimal terhadap prolaktin, metabolik, gangguan seksual, dan efek antikolinergik. obat
ini memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor serotonin(5HT2), dan dopamin(D2).
Absorbsi ziprasidon cepat setelah pemberian oral dan di metabolisme di hati lalu
diekskresikan sebagian kecil melalui ginjal dalam bentuk urin. Ziprasidon berikatan erat
dengan protein plasma(sekitar 99%).
Ziprasidon diindikasikan pada keadaan akut skizofreni, gangguan skizoafektif
serta gangguan bipolar.
Efek samping ziprasidon hampir sama dengan efek samping antipsikosis atipikal
lainnya, namun ziprasidon dapat menimbulkan kelainan kardiovaskular yaitu
pemanjangan interval QT.
VI.
Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang
timbul beberapa menit. Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah,
leher, lidah atau otot ekstraokuler, bermanifestasi sebagai tortikolis, disastria bicara,
krisis okulogirik, sikap badan yang tidak biasa hingga opistotonus (melibatkan
keseluruhan otot tubuh). Hal ini akan mengganggu pasien, dapat menimbulkan nyeri
hingga mengancam kehidupan seperti distonia laring atau diafragmatik. Reaksi
distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan dimulai, tetapi
dapat terjadi kapan saja. Terjadi pada kira-kira 10% pasien, lebih lazim pada pria
muda, dan lebih sering dengan neuroleptik dosis tinggi yang berpotensi tinggi, seperti
haloperidol, trifluoperazine dan flufenazine.
Akatisia
Manifestasi berupa keadaan gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap
bergerak, atau rasa gatal pada otot. Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau
kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang memburuk.
Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik akibat perasaan
tidak nyaman yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang nyata, atau manifestasi fisik lain
dari akatisisa hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat.
Sindrom Parkinson
Terdiri dari akinesia, tremor, dan bradikinesia. Akinesia meliputi wajah topeng,
jedaan dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan pada saat berjalan, penurunan
kedipan, dan penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur.
Pada bentuk yang yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status
perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk
memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala skizofrenia
negatif. Tremor dapat diteukan pada saat istirahat dan dapat pula mengenai rahang.
Gaya berjalan dengan langkah yang kecil dan menyeret kaki diakibatkan karena
kekakuan otot.
Tardive diskinesia
Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor
dopamine di puntamen kaudatus. Merupakan manifestasi gerakan otot abnormal,
involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik yang mempengaruhi gaya berjalan,
berbicara, bernapas, dan makan pasien dan kadang mengganggu. Faktor predisposisi
dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan berdosis tinggi atau
jangka panjang. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan berjalannya
waktu.
b. Sindrom Neuropleptik Maligna
Sindrom neuroleptik maligna merupakan gabungan dari hipertermia, rigiditas, dan
disregulasi autonomik yang dapat terjadi sebagai komplikasi serius dari penggunaan obat
antipsikotik. Sindrom ini pertama kali dikenal tahun 1960 setelah observasi pasien yang
diberikan obat antipsikotik potensial tinggi.
Mekanisme antipsikotik sehingga dapat menyebabkan SNM berhubungan dengan
sifat antagonism obat terhadap reseptor D-2 dopamine. Blokade pusat reseptor D-2 pada
hipotalamus, jalur nigrostriatal, dan di medulla spinalis menyebabkan terjadinya
peningkatan rigiditas otot dan tremor berkaitan yang dengan jalur ekstrapiramidal.
Blockade reseptor D2 hipotalamus juga menghasilkan peningkatan titik temperatur dan
gangguan mekanisme pengaturan panas tubuh. Sementara itu efek antipsikotik di perifer
tubuh menyebabkan peningkatan pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasma sehingga
terjadi peningkatan kontraktilitas yang juga dapat berkontribusi dalam terjadinya
hipertermia, rigiditas, dan penghancuran sel otot.
Semua golongan antipsikotik dapat menyebabkan sindrom neuroleptik maligna baik
neuroleptik potensial rendah maupun potensial tinggi. Berdasarkan penelitian SNM lebih
sering ditemukan pada pasien yang mengkonsumsi haloperidol dan chlorpromazine.
Antipsikotik atipikal yang terbaru walaupun tidak diklasifikasikan secara akurat sebagai
golongan neuroleptik juga dapat mengakibatkan sindrom ini. Contoh obat antipsikotik
atipikal yang juga dapat menyebabkan sindrom neuroleptik maligna (SNM) seperti
olanzapine, risperidone, ziprasidone, dan quetiapine.
Faktor resiko yang berhubungan erat dengan kejadian SNM yakni penggunaan
antipsikosis dosis tinggi, waktu yang singkat dalam menaikkan dosis pengobatan,
penggunaan injeksi antipsikotik kerja lama, kondisi pasien yang mengalami dehidrasi,
kelelahan, dan agitasi. Selain itu pada pasien yang telah mengalami SNM juga memiliki
resiko tinggi untuk terjadi SNM rekurens.
Secara epidemiologi belum terdapat adanya penelitian mengenai kejadian SNM yang
berhubungan dengan suku. Namun penelitian di Cina menunjukkan terdapat insidens
0,12% dari pasien yang menggunakan obat neuroleptik sementara di India terdapat
0.14%. SNM dapat terjadi kapan pun dari waktu pengobatan dan resiko kejadian
meningkat pada pasien yang berusia kurang dari 40 tahun. Namun 2/3 kasus terjadi pada
minggu pertama setelah pemberian obat. Angka kematian sekitar 10-20% dan umumnya
resiko kematian meningkat bila pasien telah mengalami nekrosis sel-sel otot yang
menyebabkan rhabdomyolisis.
Gambaran gejala klinis SNM dapat berupa :
Disfagia
Resting tremor
Inkontinensia
Delirium yang berkelanjutan pada letargi, stupor hingga koma (level kesadaran yang
fluktuatif)
Agitasi psikomotrik
Rigiditas
Pemeriksaan laboratorium pada pasien dengan SNM memperlihatkan peningkatan
Kreatinin kinase (CK) akibat penghancuran dan nekrosis sel-sel otot, peningkatan
aminotransferase (aminotransferasi aspartat/GOT dan aminotransferasealanine/GPT),
peningkatan Laktat dehidrogenase (LDH) yang juga menggambarkan terjadinya nekrosis
dan dapat dengan cepat berkembang menjadi rhabdomyolisis yang memberikan hasil
laboratorium hiperkalemia, hiperfosfatemia, hiperurisemia, dan hipokalsemia. Selain itu
bila terdapat peningkatan kadar myoglobin dalam darah atau myoglobinuria merupakan
tanda terjadinya kegagalan ginjal. Sementara untuk pemeriksaan darah rutin dapat
ditemukan leukositosis, trombositosis, dan tanda-tanda dehidrasi.
c. Gangguan fungsi kognitif
Efek lain antipsikotik tipikal seperti efek antikolinergik baik sentral maupun perifer
melalui blokade reseptor muskarinik. Gejala pada efek sentral seperti agitasi yang
berat, disorientasi waktu, tempat dan orang, halusinasi, dan dilatasi pupil. Sedangkan
efek perifer antikolinergik berupa mulut dan hidung yang kering umumnya
dilaporkan pada pasien dengan pengobatan antipsikotik tipikal potensi rendah,
contohnya chlorpromazine dan mesoridazine. Efek antikolinergik autonomik lainnya
seperti konstipasi.
Efek sedasi terjadi akibat mekanisme hambatan reseptor histamine H 1 yang mungkin
akan berpengaruh dalam pekerjaan bila pasien merupakan orang yang masih aktif
bekerja. Akibat inhibisi psikomotorik menjadikan aktivitas psikomotorik menurun,
kewaspadaan berkurang dan kemampuan kognitif menurun.
Efek autonomik yang muncul seperti hipotensi postural dimediasi oleh blokade
adrenergik umumnya pada pengguna obat tipikal potensial rendah seperti
chlorpromazine dan thioridazine. Sehingga penggunaan obat tipikal potensial rendah
intramuscular memerlukan pemantauan tekanan darah (saat berbaring dan berdiri)
untuk mencegah pasien pingsan ataupun jatuh saat berdiri.
Gangguan
irama
jantung
merupakan
efek
antipsikotik
yang
mengganggu
Selain itu efek yang mungkin timbul juga dapat berupa peningkatan berat badan yang
kebanyakan terdapat pada pasien yang mengkonsumsi chlorpromazine dan
thioridazine. Paling sering karena pengobatan antipsikotik atipikal. Nafsu makan
yang meningkat erat kaitannya dengan blokade reseptor alpha1- adrenergic dan
Histaminergic.
Efek hematologi dapat terjadi berupa leukopenia dengan sel darah putih 3.500
sel/mm3 merupakan masalah yang umum. Agranulositosis yang mampu mengancam
kehidupan dapat terjadi pada 1 : 10.000 pasien yang dirawat dengan antipsikotik
tipikal.
OBAT ANTI PSIKOSIS
EFEK
EFEK
EFEK
EFEK
EKSTRAPI
ANTIEM
SEDATIF
HIPOTENSIF
RAMIDAL
ETIK
Klorpromazin
++
++
+++
++
Promazin
++
++
++
+++
A. DERIVAT FENOTIAZIN
1. Senyawa dimetilaminopropil :
Triflupromazin
+++
+++
+++
Mepazin
++
++
+++
++
Tioridazin
++
++
Asetofenazin
++
++
Karfenazin
+++
+++
++
++
Flufenazin
+++
+++
++
Perfenazin
+++
+++
Proklorperazin
+++
+++
++
Trifluoperazin tiopropazat
+++
+++
++
++
++
+++
++
+++
+++
2. Senyawa piperidil :
3. Senyawa piperazin :
B. NON-FENOTIAZIN
Klorprotiksen
C. BUTYROPHENONE
Haloperidol
Manifestasi
Mekanisme
dipengaruhi
Sistem saraf otonom
Sistem endokrin
dystonia
Dyskinesia tardif
Supersensitivitas reseptor
Kejang
dopamin
Hambatan reseptor muskarinik
Amenorea, galaktorea,
infertilitas, impotensi
yang menyebabkan
hiperprolaktinemia
Sistem lain
Kemungkinan hambatan
reseptor H1 dan 5-HT2
GAMBARAN
KLINIS
WAKTU
RESIKO
MEKANISME
MAKSIMAL
Spasme otot
Dapat diberikan
lidah, wajah,
Distonia akut
leher, punggung ;
dapat menyerupai
1-5 hari
Belum
diketahui
bangkitan ;
5-60 hari
ansietas atau
Belum
diketahui
agitasi
Bradikinesia,
macam tremor,
Antagonisme
5-30 hari
wajah topeng,
Sindroma
suffling gait
Katatonik, stupor,
rigiditas, macamParkinsonisme
tenangan,
motorik, bukan
berbagai pengobatan,
kuratif
bukan histeria
KetidakAkatisia
PENGOBATAN
dengan
dopamin
Berminggu-
Ada kontribusi
Hentikan neuroleptik
demam, tekanan
darah tidak stabil,
malignan
mioglobinemia,;
dapat fatal
Tremor perioral
Tremor perioral
(sindroma
(mungkin sejenis
perkinsonisme
yang dating
kelinci)
terlambat)
pengobatan
minggu, dapat
bertahan
antagonisme
bromokriptin dapat
beberapa hari
dengan
setelah obat
dopamin
dihentikan
efektif
Setelah
berbulanbulan atau
bertahun-
Belum
diketahui
Obat antiparkinson
sering menolong
tahun
Setelah
Diskinesia mulutwajah;
Diskinesia tardif
koreoatetosis
atau distonia
meluas
berbulanbulan atau
bertahuntahun
(memburuk
Diduga :
Sulit dicegah,
kelebihan efek
pengobatan tidak
dopamin
memuaskan
dengan
penghentian)
VII.
PENATALAKSANAAN
a. Gejala Ekstrapiramidal (Extrapyramidal syndrome)
Pasien yang mengalami reaksi distonia akut harus segera ditangani. Penghentian
obat-obatan psikotik yang sangat dicurigai sebagai penyebab reaksi harus dilakukan
sesegera mungkin. Pemberian terapi antikolinergik merupakan terapi primer yang
diberikan. Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan penanganan cepat dan
agresif. Umumnya diberikan Benztropin dengan jalur intravena atau difenhidramin
intramuskuler.
Penatalaksanaan akatisia dengan memberikan antikolinergik dan amantadin, dan
pemberian proanolol dan benzodiazepine seperti klonazepam dan lorazepam.
Untuk sindrom Parkinson diberikan agen antikolinergik. Sementara untuk tardive
diskinesia ditangani dengan pemakaian obat neuroleptik secara bijaksana untuk dosis
bila
BAB III
KESIMPULAN
Antipsikotik adalah sekelompok bermacam-macam obat yang menghambat reseptor
dopamine tipe 2 (D2). Obat antipsikotik baik tipikal maupun atipikal selain berfungsi untuk
mengobati penyakit psikotik khsusnya skizofrenia, tentunya juga memiliki efek samping.
Obat-Obatan Antipsikotik dapat diklasifikasikan dalam kelompok tipikal dan atipikal.
Dopamine memiliki peran yang sangat penting dalam etiologi psikosis. Antipsikotik tipikal
merupakan golongan obat yang memblokade dopamine pada reseptor pasca-sinaptik neuron di
otak, khususnya sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (dopamine D-2 receptor antagonist).
Walaupun efek blokade reseptor dopamine D-2 di mesokortikal dan mesolimbik dipercaya
sebagai terapi pada gangguan psikotik namun juga menjadi penyebab utama timbulnya berbagai
penggunaan antipsikotik tipikal dapat berupa gangguan fungsi kognitif, efek sedatif yang
mungkin tidak diharapkan pada pasien yang masih bisa aktif bekerja, dan efek antikolinergik
berupa mulut kering dan hipotensi postural. Efek gangguan hormonal dapat berupa amenorrhea
pada wanita, gangguan fungi ereksi dan pencapaian orgasme pada pria, gangguan libido,
impotensi, dan ginekomasti.
Untuk efek samping yang perlu diperhatikan yakni gangguan ekstrapiramidal
(extrapyramidal syndrome) berupa reaksi distonia akut, tardive diskinesia, akatisia, dan sindrom
Parkinson. Sedangkan efek samping yang perlu diwaspadai dan memerlukan tindakan segera dan
agresif yakni Sindrom Neuroleptik maligna yang bila tidak segera ditangani dapat menyebabkan
kematian
DAFTAR PUSTAKA
1. Maslim,Rusdi. Panduan Praktis Penggunaan Obat Psikotropik. Edisi Keempat. Jakarta.
2014
2. Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi. Farmakologi dan
Terapi. Edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran- Universitas
Indonesia; 1995.
3. Katzung BG. Basic & Clinical Pharmacology. 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2001.
4. Sadock, Benjamin J, Virginia A. Buku Ajar Psikiatri Klinis. 2. Jakarta : EGC, 2010 .
5. Maramis, Willy F. dan Maramis, Albert A. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. 2. Surabaya :
Airlangga University Press, 2009.
6. Gan Sulistia, Arozal Wawaimuli. Antipsikosis. Buku Ajar Farmakologi dan Terapi.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007