Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Obat antipsikotik atau disebut juga Neuropleptik. telah digunakan dalam dunia medis
sudah lebih dari 60 tahun. Adalah Pierre Deniker, Henri Leborit dan Jean Delay, sekelompok
ilmuwan Perancis yang pertama kali menemukan obat antipsikotik pada awal 1950.
Chlorpromazine adalah obat yang pertama kali ditemukan dan saat itu menjadi pilihan utama
dalam pengobatan schizophrenia dan gangguan psikotik. Karena penggunaan obat antipsikotik
pada pengobatan psikotik berlangsung dalam jangka waktu yang cukup panjang. Dibutuhkan
waktu beberapa minggu untuk mengontrol gejala dari schizophrenia dan membutuhkan terapi
dengan dosis maintenance untuk beberapa tahun lamanya. Oleh karena itu efek samping dalam
penggunaan obat antipsikotik ini tidak dapat dihindarkan. Salah satu efek samping yang paling
sering timbul adalah efek samping gangguan ekstrapiramidal, yang tidak jarang gangguan ini
bersifat irreversible.
Hampir semua obat neuroleptik adalah antagonis reseptor dopamin. Diperkirakan bahwa
terjadi peningkatan aktifitas dopaminrgik di bagian mesolimbik dan mesocortical pada penderita
schizophrenia. Hal ini dibuktikan bahwa amfetamin, suatu zat yang menstimulasi pelepasan
dopamin dapat menyebabkan gejala psikotik pada orang-orang normal yang menggunakannya.
Pada beberapa penelitian yang sudah dilakukan menggunakan Single Photon Emission
Computed Tomography ( SPECT ) pada orang dengan schizophrenia ditemukan peningkatan
fungsi secara bermakna pada receptor D2, sehingga menstimulasi pelepasan dopaminrgik.
Obat neuroleptik selain mengantagonis reseptor dopamin di susunan saraf pusat juga
memiliki efek-efek lain, seperti :
1. Memblokade reseptor muskarinik, menyebabkan : mulut kering, pengelihatan kabur,
konstipasi dan retensi urin.
2. Memblokade -adrenoreseptor, menyebabkan : hipotensi postural, hipotermia.
3. Memblokade reseptor histamin dan serotonin
4. Memblokade reseptor D2 pada mesolimbik sistem, menyebabkan : sedasi dan efek
antipsikotik.

5. Memblokade reseptor D2 pada tuberoinfudibular, menyebabkan : peningkatan


prolaktin, peningkatan berat badan, ketidakteraturan menstruasi, galaktorea,
ginekomastia dan impotensi.
6. Memblokade reseptor D2 pada nigostriatal, menyebabkan : parkinsonisme, akathisia,
dystonia, tardive dyskinesia, dyskinesia.
Oleh karena banyaknya efek yang ditimbulkan oleh obat neuroleptik maka
dikembangkangkanlah generasi-generasi obat neuroleptik baru dengan tujuan meminimalisasi
efek-efek negative yang ditimbulkan, terutama efek samping ekstrapiramidal tetapi juga efektif
mengurangi gejala positif dari schizophrenia. Obat ini lebih dikenal dengan atipikal antipsikotik
dan salah satu contoh obat pilihan utamanya adalah Risperidone.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I.

DEFINISI
Obat antipsikotik adalah sekelompok obat yang termasuk psikofarmaka yang
menghilangkan atau mengurangi gejala psikosis. Antipsikotik bekerja secara selektif pada
susunan saraf pusat

(SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan

perilaku serta digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik. Selain itu, antipsikosis juga
digunakan untuk pengobatan psikosis lainnya dan agitasi.

II.

FARMAKOKINETIK
Sebagian besar obat anti psikotik yang sudah digunakan tidak sepenuhnya
diserap. kebanyakan obat antipsikotik tersebut melalui metabolisme tahap pertama.
Dosis oral klopromazin dan thioridazin yang berhasil memasuki sirkulasi sistemik hanya
sekitar 25-35%, dimana haloperidol dapat memasuki sirkulasi sistemik sebesar 65%.
Kebanyakan obat antipsikotik larut dalam lemak dan terikat oleh protein (9299%) dan memiliki volume distribusi yang besar(sekitar >7L/kg). kemungkinan karena
obat tersebut sangat larut dalam komponen lemak tubuh dan mempunyai afinitas tinggi
terhadap reseptor neurotransmitter di sistem saraf pusat. Hal ini berhubungan dengan
fungsi dari reseptor dopamin D2 di otak. Metabolit klopromazin akan di ekskresi bersama
urin beberapa minggu terhitung dosis terakkhir yang digunakan.

III.

EFEK FARMAKOLOGIS
Derivat phenotiazin generasi pertama dengan klopromazin sebagai prototipe
karena memiliki efek yang luas terhadap sistem saraf pusat, otonom, dan endokrin. Hal
tersebut ditunjukkan dengan blokade reseptor alfa adrenergik, muskarinik, H1 histamin,
serotonin (5HT2), dan dopamin yang merupakan target utama dari kerja obat tersebut.

A. Efek Fisiologis
Sebagian besar obat antipsikotik menyebabkan efek subjektif yang tidak
menyenangkan terhadap orang normal seperti mengantuk, gelisah, dan gejala otonom.

Orang normal yang mengkonsumsi obat antipsikotik juga


terhambatnya aktivitas psikomotor.

Namun bagi orang

mengakibatkan

psikotik, sebaliknya

menunjukkan perkembangan dengan berkurangnya gejala psikotik.


B. Efek Endokrin
Obat antipsikotik generasi pertama menghasilkan efek samping yang
mencolok pada sistem reproduksi. Amenorea, galaktorea, dan positif palsu dalam
tes kehamilan, serta libido yang meningkat terjadi pada wanita. Lalu efek yang
bertentangan seperti menurunnya libido dan ginekomastia terjadi pada pria. Efek-efek
tersebut disebabkan oleh blokade reseptor dopamin terhadap hambatan sekresi
prolaktin. Selain itu karena meningkatnya konversi androgen ke estrogen di perifer.
C. Efek Kardiovaskular
Hipotensi ortostatik dan peningkatan denyut jantung saat istirahat biasanya
sering terjadi pada fenotiazin. Tekanan arteri rata-rata (MAP), resistensi perifer dan
curah jantung menurun namun frekuensi jantung meningkat. Hal ini diperkirakan
karena efek otonom dari obat antipsikosis tersebut. Penggunaan thiriodazin juga
pernah dilaporkan menyebabkan EKG yang abnormal, diantaranya pemanjangan
interval QT dan abnormalitas dari ST segmen dan gelombang T. Perubahanperubahan tersebut akan berkurang dengan penghentian pengguanaan obat tersebut.
IV.

INDIKASI
A. Indikasi Psikiatri
Skizofrenia merupakan indikasi utama dari obat antipsikotik, dimana obat
tersebut masih merupakan pilihan utama dan tidak tergantikan. Sayangnya kerja obat
ini kurang optimal, kebanyakan pasien menunjukkan perbaikan yang minimal dan
hampir tidak menunjukkan respon yang penuh terhadap pengobatan dengan
antipsikotik.
Antipsikotik juga diindikasikan untuk gangguan skizoafektif dimana terdapat
dua gejala bersamaan yaitu skizofrenia dan gangguan afektif. Beberapa gejala
psikotik yang membutuhkan pengobatan dengan obat antipsikotik dimana juga
dikombinasikan dengan obat lain seperti antidepresan, lithium, dan asam valproate.
Episode manik dari gangguan afektif bipolar juga membutuhkan pengobatan dengan
obat antipsikotik. Penelitian terbaru menunjukkan keampuhan monoterapi dengan
antipsikosis atipikal di fase manik akut dan olanzapine juga diindikasikan.

Dewasa ini pengobatan manik dengan obat antipsikotik sudah tidak


dianjurkan meskipun pada pengobatan dengan dosis pemeliharaan, antipsikosis
atipikal masih diperbolehkan. Indikasi lain dari penggunaan obat antipsikosis yaitu
sindrom tourette, gangguan perilaku pada penyakit alzheimer dan dengan
antidepresan, depresi psikotik. Antipsikotik tidak diindikasikan terhadap pengobatan
bermacam-macam withdrawal syndromes, seperti kecanduan opioid.
B. Indikasi Non Psikiatri
Sebagian besar antipsikotik generasi terdahulu kecuali thioridazin mempunyai
efek anti muntah yang kuat. Hal ini disebabkan karena blokade reseptor dopamin,
baik sentral(CTZ) dan perifer (Reseptor di lambung). Beberapa obat seperti
prokloperazin dan benzokuinamid lebih diindikasikan sebagai obat anti muntah.
Prometazin juga digunakan sebagai sedasi pada preoperasi. Derivat butirofenon yaitu
droperidol

digunakan

sebagai

kombinasi

dengan

opioid,

fentanil

pada

neuroleptanesia.
V.

KLASIFIKASI OBAT ANTIPSIKOTIK


Obat antipsikotik sekarang ini dibagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan Tipikal dan
Atipikal.

Hal ini didasarkan atas besarnya efek ekstrapiramidal yang di sebabkan.

Disebut golongan atipikal karena golongan

ini sedikit menyebabkan

gangguan

ekstrapiramidal, sedangkan disebut golongan tipikal karena efek ekstrapiramidal yang


dihasilkan cukup besar.
Obat golongan atipikal pada umumnya memiliki afinitas yang lemah terhadap reseptor
D2, Selain itu juga memiliki afinitas terhadap reseptor D 4, serotonin, histamin, reseptor
muskarinik dan reseptor alfa adrenergik. Kebanyakan antipsikosis golongan tipikal
mempunyai afinitas tinggi dalam menghambat reseptor D 2, hal inilah yang diperkirakan
menyebabkan efek ekstrapiramidal yang kuat.
A. Antipsikotik Generasi Pertama (APG I) / Tipikal
Penggunaan antipsikotik tipikal/ APG I memberikan efek eleminasi gejalagejala positif dan gangguan organisasi isi pikir pasien pada 60-70% pasien skizofrenia
maupun pasien psikotik dengan gangguan afek. Efek antipsikotik ini terlihat beberapa
hari hinga beberapa minggu pemberian.

Metabolisme APG I umumnya berlangsung di sitokrom P450, yang


berlangsung di hepar melalui proses hidroksilasi dan demetilasi agar lebih larut dan
mudah diekskresikan melalui ginjal. Dikarenakan oleh banyaknya metabolit aktif
pada APG I maka sulit untuk menemukan korelasi yang bermakna terhadap kadar
metabolit dalam plasma dengan respon klinis. Puncak komsentrasi didalam plasma
umumnya 1-4 jam setelah dikonsumsi (obat oral) atau sekitar 30-60 menit (secara
parenteral).
Antipsikotik yang memiliki potensial rendah lebih memberikan efek sedatif,
antikolinergik, dan lebih menyebabkan hipotensi postural. Sedangkan antipsikotik
potensial tinggi memiliki kecenderungan untuk memberikan gejala ekstrapiramidal.
Kerja dari APG I menurunkan hiperaktivitas dopamin di jalur mesolimbik
sehingga menyebabkan gejala positif menurun tetapi ternyata APG I tidak hanya
memblok reseptor D2 di mesolimbik tetapi juga memblok reseptor D 2 di tempat lain
seperti di jalur mesokortikal, nigrostriatal, dan tuberoinfundibular. Apabila APG I
memblok reseptor D2 di jalur mesokortikal dapat memperberat gejala negatif dan
kognitif disebabkan penurunan dopamin di jalur tersebut. blokade reseptor D 2 di
nigrostriatal secara kronik dengan menggunakan APG I menyebabkan gangguan
pergerakan

hiperkinetik

(tardive

dyskinesia).

Blokade

reseptor

D2

di

tuberoinfundibular menyebabkan peningkatan kadar prolaktin sehingga dapat


menyebabkan disfungsi seksual dan peningkatan berat badan.
APG I mempunyai peranan yang cepat dalam menurunkan gejala positif
seperti halusinasi dan waham, tetapi juga menyebabkan kekambuhan setelah
penghentian pemberian APG I.

1. Mudah

Kerugian
terjadi EPS

Keuntungan
dan

tardive

dyskinesia
2. Memperburuk gejala negatif dan kognitif
3. Peningkatan kadar prolaktin
4. Sering
menyebabkan
terjadinya
kekambuhan

Jarang menyebabkan terjadinya Sindrom


Neuroleptik Malignant (SNM) dan cepat
menurunkan gejala negatif.

APG I terbagi menjadi 3 kelas yakni golongan phenotiazine, golongan


butyrophenone, dan golongan diphenyl buthyl piperidine.

Golongan phenotiazine terbagi menjadi tiga rantai yakni


o Rantai aliphatic contohnya Chlorpromazine dan levomepromazine
o Rantai piperazine contohnya Perphenazine, Trifluoperazine, dan Fluphenazine
o Rantai piperidin contohnya Thioridazine.

Golongan butyrophenone yakni Haloperidol

Golongan diphenyl buthyl piperidine yakni Pimozide.

Klorpromazin (CPZ)
Efek farmakologis klorpromazin meliputi susunan saraf pusat, sistem otonom, dan
sistem endokrin. Efek ini terjadi karena antipsikosis menghambat berbagai reseptor,
diantaranya dopamin reseptor, -adrenergik, muskarinik, histamin H1 dan reseptor
serotonin 5HT2 dengan afinitas yang berbeda. Klorpromazin selain memiliki afinitas
pada reseptor dopamin,

juga memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor -

adrenergik.
CPZ menimbulkan efek sedatif yang disertai sikap acuh tak acuh terhadap rangsang
dari lingkungan. Pada pemakaian lama dapat timbul toleransi terhadap efek sedasi.
Timbulnya sedasi amat tergantung dari status emosional pasien sebelum minum obat.
CPZ tidak dapat mencegah timbulnya konvulsi akibat rangsang listrik maupun
rangsang oleh obat. CPZ yang merupakan golongan fenotiazin mempengaruhi ganlia
basal, sehingga menimbulkan gejala parkinsonisme (efek ekstrapiramidal). CPZ dapat
mengurangi atau mencegah muntah yang disebabkan oleh rangsangan pada
chemoreceptor trigger zone.
Pada dosis berlebihan semua derivate fenotiazin dapat menyebabkan gejala
ekstrapiramidal serupa dengan yang terlihat pada Parkinson. Dikenal 6 gejala sindrom
neurologik yang karateristik dari obat ini. Empat diantaranya biasa terjadi sewaktu obat
diminum, yaitu distonia akut, akatisia, parkinsonisme, dan sindrom neuroleptic malignan.
Dua sindrom lainya terjadi setelah pengobatan berbulan-bulan sampai bertahun-tahun,
berupa tremor perioral dan dyskinesia tardii. CPZ dapat menimbulkan relaksasi otot

rangka yang berada dalam keadaan spastik. Cara kerja relaksasi ini diduga bersifat sentral
sebab sambungan saraf otot dan medula spinalis tidak dipengaruhi CPZ.
CPZ memiliki efek samping terhadap sistem reproduksi, terhadap wanita dapat terjadi
amenorea, galaktorea, dan peningkatan libido, sedangkan pada pria penurunan libido dan
ginekomastia. Efek ini terjadi karena efek sekunder dari hambatan dopamin yang
menyebabkan hiperprolaktinemiam serta adanya kemungkinan peningkatan perubahan
androgen menjadi estrogen di perifer.
Hipotensi ortostatik dan peningkatan denyut nadi saat istirahat biasanya sering terjadi
dengan derivate fenotiazin. Tekanan arteri rata-rata, resistensi perifer, curah jantung
menurun dan frekuensi jantung meningkat. Efek ini diperkirakan karena efek otonon dari
obat psikosis.
Klorpromazin memiliki bioavaibilitas berkisar antara 25%-35%, besifat larut dalam
lemak dan terikat kuat dengan protein plasma (92%-99%) serta memiliki volume
distribusi besar. Metabolit klorpromazin ditemukan di urin sampai beberapa minggu

setelah pemberian obat terakhir.


Haloperidol
Haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan mania pasien psikosis yang karena
halt tertentu tidak dapat diberikan fenitiazin. Reaksi ekstrapiramidal timbul pada 80%
pasien yang diobati haloperidol.
Struktur haloperidol berbeda dengan fenotiazin. Haloperidol memperlihatkan
antipsikosis yang kuat dan efektif untuk fase mania pneyakit manik depresi dan
skizofenia.
Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang yang mengalami
ekstasi. Efek sedatif haloperidol kurang kuat disbanding dengan CPZ, sedangkan efek
haloperidol terhadap EEG menyerupai CPZ yakni memperlambat dan menghambat
jumlah gelombang teta. Haloperidol dan CPZ sama kuat menurunkan ambang rangsang
konvulsi. Haloperidol menghambat sistem dopamin dan hipotalamus, juga menghambat
muntah yang ditimbulkan oleh apomorfin.
Efek haloperidol terhadap sistem saraf otonom lebih kecil daripada efek antipsikotik
lain, walaupun demikian haloperidol dapat menyebabkan pandangan kabur (blurring of
vision). Obat ini menghambat aktivasi respetor -adrenergik , tetapi hambatanya tidak
sekuat hambatan CPZ.

Haloperidol menyebabkan hipotensi, tetapi tidak sesering dan sehebat CPZ.


Haloperidol juga menyebabkan takikardia. Seperti CPZ, haloperidol menyebabkan
galaktorea dan respon endokrin lainya.
Haloperidol cepat diserap dari saluran cerna. Kadar puncaknya dalam plasma tercapai
dalam waktu 2-6 sejak menelan obat, menetap sampai 72 jam dan masih dapat ditemukan
dalam plasma sampai berminggu-minggu.
Obat ini ditimbun dalam hati dan kita-kira 1% dari dosis yang diberikan
diekskresikan melalui empedu.Ekskresi haloperidol lambat melalui ginjal, kira-kira 40%
obat dikeluarkan selama 5 hari sesudah pemberian dosis tunggal.
Haloperidol menimbulkan reaksi ekstrapiramidal dengan insiden yang tinggi terutama
pada pasien usia muda.
Pengobatan dengan haloperidol harus dimulai dengan hati-hati, dapat terjadi depresi
akibat reversi keadaan mania. Perubahan hematologi ringan dapat terjadi, seperti
leukopenia dan agranulositosis. Frekuensi keadaan ikterus akibat haloperidol rendah.
Haloperidol sebaiknya tidak diberikan kepada wanita hamil, karena belum dapat terbukti

bahwa obat ini tidak menimbulkan efek teratogenik.


Dibenzoksazepin
Obat ini mewakili golongan antipsikosis yang baru, namun sebagian besar memiliki
efek farmakologiknya sama.
Loksapin memiliki efek antiemetik, sedatif, antikolinergik dan antiadrenergik. Obat
ini berguna untuk mengobati skizofrenia dan psikosis lainnya. Obat ini memiliki efek
ekstrapiramidal dan diskinesia tardif, serta dapat menurunkan ambang bangkita pasien,
sehingga harus digunakan hati-hati pada pasien dengan riwayat kejang.
Loksapin diarbsorbsi baik peroral, kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 1 jam
(IM) dan 2 jam (oral). Waktu paruh loksapin ialah 3,4. Metabolit utamanya memiliki
waktu paruh lebih lama (9jam).

B. Antipsikotik Generasi Kedua (APG II) / Atipikal


APG II sering disebut juga sebagai Serotonin Dopamin Antagosis (SDA) atau
antipsikotik atipikal. APG II mempunyai mekanisme kerja melalui interaksi anatar
serotonin dan dopamin pada ke 4 jalur dopamin di otak. Hal ini yang menyebabkan
efek samping EPS lebih rendah dan sanagat efektif untuk mengatasi gejala negatif.

Perbedaan antara APG I dan APG II adalah APG I hanya dapat memblok reseptor D 2
sedangkan APG II memblok secara bersamaan reseptor serotonin (5HT 2A) dan
reseptor dopamin (D2). APG yang dikenal saat ini adalah clozapine, risperidone,
olanzapine, quetiapine, zotepine, ziprasidone, aripiprazole. Saat ini antipsikotik
ziprasidone belum tersedia di Indonesia.
Kerja obat antipsikotik generasi kedua pada dopamin pathways:
1. Mesokortikal Pathways
Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyababkan berkurangnya blokade terhadap
antagonis D2 tetapi juga menyababkan terjadinya aktivitas dopamin pathways
sehingga terjadi keseimbangan antara keseimbangan antara serotonin dan dopamin.
APG II lebih berpengaruh banyak dalam memblok reseptor 5HT 2A dengan demikian
meningkatkan pelepasan dopamin dan dopamin yand dilepas menang daripada yang
dihambat di jalur mesokortikal. Hal ini menyebabkan berkurangnya gejala negatif
maka tidak terjadi lagi penurunan dopamin di jalur mesokortikal dan gejala negatif
yang ada dapat diperbaiki.
APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan APG I karena
di jalur mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih banyak dari reseptor D2, dan
APG II lebih banyak berkaitan dan memblok reseptor 5HT2A dan sedikti memblok
reseptor D2 akibatnya dopamin yang di lepas jumlahnya lebih banyak, karena itu
defisit dopamin di jalur mesokrtikal berkurang sehingga menyebabkan perbaikan
gejala negatif skizofrenia.
2. Mesolimbik Pathways
APG II di jalur mesolimbik, antagonis 5HT2A gagal untuk mengalahkan antagonis D2
di jalur tersebut. jadi antagonsis 5HT2A tidak dapat mempengaruhi blokade reseptor
D2 di mesolimbik, sehingga blokade reseptor D2 menang. Hal ini yang menyababkan
APG II dapat memperbaiki gejala positif skizofrenia. Pada keadaan normal serotonin
akan menghambat pelepasan dari dopamin.
3. Tuberoinfundibular Pathways
APG II di jalur tuberoinfundibular, antagonis reseptor 5HT2A dapat mengalahkan
antagonis reseptor D2. Hubungan antara neurotransmiter serotonin dan dopamin
sifatnya antagonis dan resiprokal dalam kontrol sekresi prolaktin dari hipofise.
Dopamin

akan

menghambat

pengelepasan

prolaktin,

sedangkan

serotonin

menigkatkan pelepasan prolaktin. Pemberian APG II dalam dosis terapi akan

menghambat reseptor 5HT2A sehingga menyebabkan pelepasan dopamin menigkat.


Ini

mengakibatkan

pelepasan

prolaktin

menurun

sehingga

tidak

terjadi

hiperprolaktinemia.
Keuntungan
1. APG II menyebabkan EPS jauh lebih kecil dibandingkan APG I, umunya pada dosis terapi sangat
jarang terjadi EPS.
2. APG II dapat mengurangi gejala negatif dari skzofrenia dan tidak memperburuk gejala negatif
seperti yang terjadi pada pemberian APG II.
3. APG II menurunkan gejalan afektif dari skizofrenia dan sering digunakan untuk pengobatan
depresi dan gangguan bipolar yang resisten.

4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit Alzheimer.
Antipsikotik generasi kedua yang digunakan sebagai:
First line: Risperidone, Olanzapine, Quetiapine, Ziprasidone, Aripiprazole
Second line: Clozapine.
Obat antipsikotik yang sering digunakan ada 21 jenis yaitu 15 jenis berasal dari
APG I dan 6 jenis berasal dari APG II. Keuntungan yang didapatkan dari pemakaian
APG II selain efek samping yang minimal juga dapat memperbaiki gejala negatif,
kognitif dan mood sehingga mengurangi ketidaknyamanan dan ketidakpatuhan pasien
akibat pemakian obat antipsikotik.
Pemakaian APG II dapat meningkatkan angka remisi dan menigkatkan kualitas
hidup penderita skizofrenia karena dapat mengembalikan fungsinya dalam
masyarakat. Kualitas hidup seseorang yang menurun dapat dinilai dari aspek
occupational dysfunction, social dysfunction, instrumental skills deficits, self-care,
dan independent living.

Klozapin
Merupakan antipsikotik atipikal pertama dengan potensi lemah. Disebut atipikal
karena obat ini hampir tidak menimbulkan efek ekstrapiramidal dan peningkatan kadar
prolaktin serum. Klozapin efektif untuk mengontrol gejala-gejala psikosis dan
schizophrenia baik yang positif ( iritabilitas ) maupun yang negative (social disinterest
dan incompetence, personal neatness) . Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2
minggu, diikuti perbaikan secara bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Obat ini
berguna untuk pengobatan pasien yang refrakter terhadap obat standar. Selain itu

Klozapin juga cocok digunakan pada pasien yang menunjukan gejala ekstrapiramidal
berat pada pemberian antipsikosis tipikal. Namun karena klozapin memiliki resiko
timbulnya agranulositosis yang lebih tinggi dibanding dengan antipsikosis lain. Maka
penggunanannya dibatasi hanya pada pasien yang resisten atau tidak dapat mentoleransi
antipsikosis yang lain. Pasien yang diberi klozapin perlu dipantau jumlah sel darah
putihnya setiap minggu.
Agranulositosis merupakan efek samping utama yang ditimbulkan pada
pengobatan menggunakan klozapin. Penggunaan obat ini tidak boleh lebih dari 6 minggu
kecuali bila terlihat adanya perbaikan yang signifikan. Efek samping lain yang dapat
terjadi antara lain hipertermia, takikardia, sedasi, pusing kepala, hipersalivasi. Gejala
overdosis meliputi, letargi, koma, delirium, takikardia, depresi napas, aritmia, kejang dan
hipertermia.
Klozapin diabsorpsi secara cepat dan sempurna pada pemberian per oral. Kadar
puncak plasma tercapai pada kira-kira 1.6 jam setelah pemberian obat. Diekskresi lewat
urin dan tinja, dengan waktu paruh rata-rata 11.8 jam.

Risperidon
Risperidon yang merupakan derivate dari benzisoksazol mempunyai afinitas yang
tinggi terhadap reseptor serotonin (5HT2), dan aktivitas menengah terhadap reseptor
dopamin D2, alfa 1 dan alfa 2 adrenergik dan reseptor histamine. Aktivitas antipsikosis
diperkirakan melalui hambatan terhadap reseptor serotonin dan dopamin.
Bioavailibilitas oral sekitar 70%. Diplasma risperidon terikat dengan albumin dan alfa1
glikoprotein. Risperidon dan metabolitnya dieliminasi lewat urin dan sebagian kecil lewat
feses.
Indikasi risperidon adalah terapi skizofrenia baik untuk gejala positif dan gejala
negative, gangguan bipolar, depresi dengan cirri psikosis.Secara umum risperidon dapat
ditoleransi dengan baik. Efek samping yang dilaporkan adalah insomnia, agitasi, ansietas,
somnolen, mual, muntah, peningkatan berat badan, hiperprolaktinemia dan reaksi
ekstrapiramidal terutama tardive diskinesia. Efek samping ekstrapiramidal umumnya
lebih ringan disbanding antipsikosis tipikal.

Olanzapin

Merupakan derivat tienobezondiazepin dan memiliki struktur kimia mirip


klozapin. Olanzapin memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin (D2, D3, D4, D5),
serotonin(5HT2), muskarinik, histamin(H1) dan reseptor alfa 1. Obat ini diabsorbsi
dengan baik setelah pemberian oral, dengan kadar plasma tercapai setelah 4-6 jam
pemberian. Olanzapin mengalami metabolisme enzim CYP 2D6 dan diekskresi lewat
urin.
Indikasi utama dari olanzapin adalah mengatasi gejala negatif dan positif dari
skizofrenia dan dapat juga digunakan sebagai antimania. Selain itu, depresi dengan gejala
psikotik juga dapat dapat mendapat terapi olanzapin.
Tidak seperti klozapin, olanzapin tidak dapat menimbulkan agranulositosis.
Olanzapin dapat ditoleransi dengan baik dengan efek samping ekstrapiramidal terutama
tardiv diskinesia yang minimal. Selain itu, peningkatan berat badan dan gangguan
metabolik seperti intoleransi glukosa, hiperglikemia, dan hiperlipidemia sering
dilaporkan pada penggunaan olanzapin.

Quetiapin
Quetiapin memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin(D2), serotonin(5HT2) dan
bersifat agonis parsial terhadap reseptor serotonin (5HT1A) yang diperkirakan mendasari
efektivitas obat ini untuk gejala positif maupun negatif skizofrenia.
Absorbsi quetiapin cepat setelah pemberian oral. Kadar plasma maksimal tercapai
setelah pemberian 1-2 pemberian dan terikat protein sekitar 83%. Quetiapin
dimetabolisme melalui hati oleh enzim CYP 3A4 dan diekskresi sebagian besar melalui
urin dan sebagian kecil melalui feses.
Quetiapin digunakan pada penderita skizofrenia dengan gejala positif maupun
negatif.obat ini dilaporkan dapat meningkatkan kemampuan kognitif seperti perhatian,
kemampuan berpikir, berbicara, dan kemampuan mengingat membaik. Selain itu
quetiapin juga diindikasikan untuk gangguan depresi dan mania.
Efek samping yang umum terjadi pada penggunaan quetiapin yaitu sakit kepala,
somnolen, dan dizziness.efek samping yang sering terjadi pada penggunaan anti psikosis

atipikal

lainnya

seperti

berat

badan

meningkat,

gangguan

metabolik

dan

hiperprolaktinemia juga terjadi pada quetiapin. Namun gejala ekstrapiramidal minimal.

Ziprasidon
Obat ini dikembangkan daengan harapan memiliki spektrum skizofrenia yang
luas, baik gejala positif, negatif maupun gejala afektif dengan efek samping yang
minimal terhadap prolaktin, metabolik, gangguan seksual, dan efek antikolinergik. obat
ini memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor serotonin(5HT2), dan dopamin(D2).
Absorbsi ziprasidon cepat setelah pemberian oral dan di metabolisme di hati lalu
diekskresikan sebagian kecil melalui ginjal dalam bentuk urin. Ziprasidon berikatan erat
dengan protein plasma(sekitar 99%).
Ziprasidon diindikasikan pada keadaan akut skizofreni, gangguan skizoafektif
serta gangguan bipolar.
Efek samping ziprasidon hampir sama dengan efek samping antipsikosis atipikal
lainnya, namun ziprasidon dapat menimbulkan kelainan kardiovaskular yaitu
pemanjangan interval QT.

VI.

EFEK SAMPING ANTIPSIKOTIK

a. Gejala Ekstrapiramidal (Extrapyramidal syndrome)


Gejala ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan
oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal.
Obat antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan efek samping gejala
ekstrapiramidal yakni Haloperidol, Trifluoperazine, Perphenazine, Fluphenazine, dan
dapat pula oleh Chlorpromazine. Namun lebih sering diakibatkan oleh obat dengan
potensial tinggi yang memiliki afinitas yang kuat pada reseptor muskarinik. 1 Gejala
bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigitas, tetapi gejala-gejala itu
diluar kendali traktus kortikospinal (piramidal).
Gejala ekstrapiramidal sering di bagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia
akut, tardive diskinesia, akatisia, dan sindrom Parkinson.

Reaksi distonia akut

Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang
timbul beberapa menit. Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah,
leher, lidah atau otot ekstraokuler, bermanifestasi sebagai tortikolis, disastria bicara,
krisis okulogirik, sikap badan yang tidak biasa hingga opistotonus (melibatkan
keseluruhan otot tubuh). Hal ini akan mengganggu pasien, dapat menimbulkan nyeri
hingga mengancam kehidupan seperti distonia laring atau diafragmatik. Reaksi
distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan dimulai, tetapi
dapat terjadi kapan saja. Terjadi pada kira-kira 10% pasien, lebih lazim pada pria
muda, dan lebih sering dengan neuroleptik dosis tinggi yang berpotensi tinggi, seperti
haloperidol, trifluoperazine dan flufenazine.

Akatisia
Manifestasi berupa keadaan gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap
bergerak, atau rasa gatal pada otot. Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau
kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang memburuk.
Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik akibat perasaan
tidak nyaman yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang nyata, atau manifestasi fisik lain
dari akatisisa hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat.

Sindrom Parkinson
Terdiri dari akinesia, tremor, dan bradikinesia. Akinesia meliputi wajah topeng,
jedaan dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan pada saat berjalan, penurunan
kedipan, dan penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur.
Pada bentuk yang yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status
perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk
memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala skizofrenia
negatif. Tremor dapat diteukan pada saat istirahat dan dapat pula mengenai rahang.
Gaya berjalan dengan langkah yang kecil dan menyeret kaki diakibatkan karena
kekakuan otot.

Tardive diskinesia
Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor
dopamine di puntamen kaudatus. Merupakan manifestasi gerakan otot abnormal,
involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik yang mempengaruhi gaya berjalan,

berbicara, bernapas, dan makan pasien dan kadang mengganggu. Faktor predisposisi
dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan berdosis tinggi atau
jangka panjang. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan berjalannya
waktu.
b. Sindrom Neuropleptik Maligna
Sindrom neuroleptik maligna merupakan gabungan dari hipertermia, rigiditas, dan
disregulasi autonomik yang dapat terjadi sebagai komplikasi serius dari penggunaan obat
antipsikotik. Sindrom ini pertama kali dikenal tahun 1960 setelah observasi pasien yang
diberikan obat antipsikotik potensial tinggi.
Mekanisme antipsikotik sehingga dapat menyebabkan SNM berhubungan dengan
sifat antagonism obat terhadap reseptor D-2 dopamine. Blokade pusat reseptor D-2 pada
hipotalamus, jalur nigrostriatal, dan di medulla spinalis menyebabkan terjadinya
peningkatan rigiditas otot dan tremor berkaitan yang dengan jalur ekstrapiramidal.
Blockade reseptor D2 hipotalamus juga menghasilkan peningkatan titik temperatur dan
gangguan mekanisme pengaturan panas tubuh. Sementara itu efek antipsikotik di perifer
tubuh menyebabkan peningkatan pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasma sehingga
terjadi peningkatan kontraktilitas yang juga dapat berkontribusi dalam terjadinya
hipertermia, rigiditas, dan penghancuran sel otot.
Semua golongan antipsikotik dapat menyebabkan sindrom neuroleptik maligna baik
neuroleptik potensial rendah maupun potensial tinggi. Berdasarkan penelitian SNM lebih
sering ditemukan pada pasien yang mengkonsumsi haloperidol dan chlorpromazine.
Antipsikotik atipikal yang terbaru walaupun tidak diklasifikasikan secara akurat sebagai
golongan neuroleptik juga dapat mengakibatkan sindrom ini. Contoh obat antipsikotik
atipikal yang juga dapat menyebabkan sindrom neuroleptik maligna (SNM) seperti
olanzapine, risperidone, ziprasidone, dan quetiapine.
Faktor resiko yang berhubungan erat dengan kejadian SNM yakni penggunaan
antipsikosis dosis tinggi, waktu yang singkat dalam menaikkan dosis pengobatan,
penggunaan injeksi antipsikotik kerja lama, kondisi pasien yang mengalami dehidrasi,
kelelahan, dan agitasi. Selain itu pada pasien yang telah mengalami SNM juga memiliki
resiko tinggi untuk terjadi SNM rekurens.

Secara epidemiologi belum terdapat adanya penelitian mengenai kejadian SNM yang
berhubungan dengan suku. Namun penelitian di Cina menunjukkan terdapat insidens
0,12% dari pasien yang menggunakan obat neuroleptik sementara di India terdapat
0.14%. SNM dapat terjadi kapan pun dari waktu pengobatan dan resiko kejadian
meningkat pada pasien yang berusia kurang dari 40 tahun. Namun 2/3 kasus terjadi pada
minggu pertama setelah pemberian obat. Angka kematian sekitar 10-20% dan umumnya
resiko kematian meningkat bila pasien telah mengalami nekrosis sel-sel otot yang
menyebabkan rhabdomyolisis.
Gambaran gejala klinis SNM dapat berupa :

Disfagia

Resting tremor

Inkontinensia

Delirium yang berkelanjutan pada letargi, stupor hingga koma (level kesadaran yang
fluktuatif)

Tekanan darah yang labil/berubah-ubah

Sesak nafas, takipnea

Agitasi psikomotrik

Takikardia dan hipertermia (demam tinggi)

Rigiditas
Pemeriksaan laboratorium pada pasien dengan SNM memperlihatkan peningkatan

Kreatinin kinase (CK) akibat penghancuran dan nekrosis sel-sel otot, peningkatan
aminotransferase (aminotransferasi aspartat/GOT dan aminotransferasealanine/GPT),
peningkatan Laktat dehidrogenase (LDH) yang juga menggambarkan terjadinya nekrosis
dan dapat dengan cepat berkembang menjadi rhabdomyolisis yang memberikan hasil
laboratorium hiperkalemia, hiperfosfatemia, hiperurisemia, dan hipokalsemia. Selain itu
bila terdapat peningkatan kadar myoglobin dalam darah atau myoglobinuria merupakan
tanda terjadinya kegagalan ginjal. Sementara untuk pemeriksaan darah rutin dapat
ditemukan leukositosis, trombositosis, dan tanda-tanda dehidrasi.
c. Gangguan fungsi kognitif

Terdapat konsensus bahwa antipsikotik yang bersifat antimuskarinik kuat dapat


mengganggu fungsi memori. Gangguan untuk memusatkan perhatian, menyimpan
memori, dan memori semantik yang mungkin memang terdapat pada pasien skizofrenia
di episode awal penyakit dapat menjadi lebih berat. Selain itu kemampuan memecahkan
masalah sosial, keterampilan sosial juga memperlihatkan penurunan.
d. Efek hormonal
Obat psikotik tipikal yang digunakan dalam jangka waktu yang panjang dapat
menyebabkan peningkatan produksi hormon prolaktin terutama pada wanita.
Blokade pada traktur tuberoinfundibular yang terproyeksikan ke hipotalamus dan
kelenjar hipofisis mengakibatkan berbagai efek samping neuroendokrine, yakni
peningkatan pelepasan hormone prolaktin .
Prolaktin serum yang meningkat dapat mempengaruhi fungsi seksual pada wanita
maupun pria yang dapat bermanifestasi sebagai galaktorrhea, amenorrhea dan
poembesaran payudara pada wanita, gangguan fungi ereksi dan pencapaian orgasme,
gangguan libido, impotensi, dan ginekomasti pada pria.

e. Efek samping pada sistem lainnya

Efek lain antipsikotik tipikal seperti efek antikolinergik baik sentral maupun perifer
melalui blokade reseptor muskarinik. Gejala pada efek sentral seperti agitasi yang
berat, disorientasi waktu, tempat dan orang, halusinasi, dan dilatasi pupil. Sedangkan
efek perifer antikolinergik berupa mulut dan hidung yang kering umumnya
dilaporkan pada pasien dengan pengobatan antipsikotik tipikal potensi rendah,
contohnya chlorpromazine dan mesoridazine. Efek antikolinergik autonomik lainnya
seperti konstipasi.

Fotosensitivitas dapat terjadi pada pasien yang mengkonsumsi golongan potensi


rendah seperti chlorpromazine sehingga pasien perlu diinstruksikan untuk berhati-hati
ketika terpapar sinar matahari. Selain itu dermatitis alergi dapat terjadi di awal
pengobatan.

Efek sedasi terjadi akibat mekanisme hambatan reseptor histamine H 1 yang mungkin
akan berpengaruh dalam pekerjaan bila pasien merupakan orang yang masih aktif
bekerja. Akibat inhibisi psikomotorik menjadikan aktivitas psikomotorik menurun,
kewaspadaan berkurang dan kemampuan kognitif menurun.

Efek autonomik yang muncul seperti hipotensi postural dimediasi oleh blokade
adrenergik umumnya pada pengguna obat tipikal potensial rendah seperti
chlorpromazine dan thioridazine. Sehingga penggunaan obat tipikal potensial rendah
intramuscular memerlukan pemantauan tekanan darah (saat berbaring dan berdiri)
untuk mencegah pasien pingsan ataupun jatuh saat berdiri.

Gangguan

irama

jantung

merupakan

efek

antipsikotik

yang

mengganggu

kontraktilitas jantung, menghancurkan enzim kontraktilitas sel-sel miokardium.

Antipsikotik tipikal mampu menurunkan ambang batas seseorang untuk mengalami


kejang. Chlorpromazine dan thioridazine diperkirakan bersifat lebih epiloeptogenik
sehingga resiko untuk kejang selama masa pengobatan perlu dipertimbangkan dalam
gangguan kejang atau lesi pada otak.

Selain itu efek yang mungkin timbul juga dapat berupa peningkatan berat badan yang
kebanyakan terdapat pada pasien yang mengkonsumsi chlorpromazine dan
thioridazine. Paling sering karena pengobatan antipsikotik atipikal. Nafsu makan
yang meningkat erat kaitannya dengan blokade reseptor alpha1- adrenergic dan
Histaminergic.

Efek hematologi dapat terjadi berupa leukopenia dengan sel darah putih 3.500
sel/mm3 merupakan masalah yang umum. Agranulositosis yang mampu mengancam
kehidupan dapat terjadi pada 1 : 10.000 pasien yang dirawat dengan antipsikotik
tipikal.
OBAT ANTI PSIKOSIS

EFEK

EFEK

EFEK

EFEK

EKSTRAPI

ANTIEM

SEDATIF

HIPOTENSIF

RAMIDAL

ETIK

Klorpromazin

++

++

+++

++

Promazin

++

++

++

+++

A. DERIVAT FENOTIAZIN
1. Senyawa dimetilaminopropil :

Triflupromazin

+++

+++

+++

Mepazin

++

++

+++

++

Tioridazin

++

++

Asetofenazin

++

++

Karfenazin

+++

+++

++

++

Flufenazin

+++

+++

++

Perfenazin

+++

+++

Proklorperazin

+++

+++

++

Trifluoperazin tiopropazat

+++

+++

++

++

++

+++

++

+++

+++

2. Senyawa piperidil :

3. Senyawa piperazin :

B. NON-FENOTIAZIN
Klorprotiksen
C. BUTYROPHENONE
Haloperidol

Tabel . Efek samping Antipsikosis


Sistem oragan yang

Manifestasi

Mekanisme

Gangguan penglihatan, mulut

Hambatan reseptor muskarinik

dipengaruhi
Sistem saraf otonom

kering, sulit miksi, konstipasi


Hipotensi ortostatik,
impotensi
Gangguan ejakulasi

Hambatan reseptor adrenergic

Susunan saraf pusat

Sistem endokrin

Sindrom Parkinson, akatisia

Hambatan reseptor dopamine

dystonia
Dyskinesia tardif

Supersensitivitas reseptor

Kejang

dopamin
Hambatan reseptor muskarinik

Amenorea, galaktorea,

Hambatan reseptor dopamin

infertilitas, impotensi

yang menyebabkan
hiperprolaktinemia

Sistem lain

Peningkatan berat badan

Kemungkinan hambatan
reseptor H1 dan 5-HT2

Tabel . EFEK SAMPING NEUROLOGIK OBAT NEUROLEPTIK


EFEK

GAMBARAN
KLINIS

WAKTU
RESIKO

MEKANISME

MAKSIMAL

Spasme otot

Dapat diberikan

lidah, wajah,
Distonia akut

leher, punggung ;
dapat menyerupai

1-5 hari

Belum
diketahui

bangkitan ;

5-60 hari

ansietas atau

Belum
diketahui

agitasi
Bradikinesia,
macam tremor,

Antagonisme
5-30 hari

wajah topeng,
Sindroma

suffling gait
Katatonik, stupor,

bersifat diagnostik dan

obat; obat anti


Parkinson,
benzodiazepin, atau
propanolol

rigiditas, macamParkinsonisme

obat anti Parkinson

Kurangi dosis atau ganti

tenangan,
motorik, bukan

berbagai pengobatan,

kuratif

bukan histeria
KetidakAkatisia

PENGOBATAN

dengan
dopamin

Berminggu-

Ada kontribusi

Obat anti Parkinson


menolong

Hentikan neuroleptik

demam, tekanan
darah tidak stabil,

malignan

mioglobinemia,;
dapat fatal
Tremor perioral

Tremor perioral
(sindroma

(mungkin sejenis
perkinsonisme
yang dating

kelinci)

terlambat)
pengobatan

minggu, dapat

segera; dantrolene atau

bertahan

antagonisme

bromokriptin dapat

beberapa hari

dengan

menolong; obat anti

setelah obat

dopamin

Parkinson lainnya tidak

dihentikan

efektif

Setelah
berbulanbulan atau
bertahun-

Belum
diketahui

Obat antiparkinson
sering menolong

tahun
Setelah

Diskinesia mulutwajah;
Diskinesia tardif

koreoatetosis
atau distonia
meluas

berbulanbulan atau
bertahuntahun
(memburuk

Diduga :

Sulit dicegah,

kelebihan efek

pengobatan tidak

dopamin

memuaskan

dengan
penghentian)

VII.

PENATALAKSANAAN
a. Gejala Ekstrapiramidal (Extrapyramidal syndrome)
Pasien yang mengalami reaksi distonia akut harus segera ditangani. Penghentian
obat-obatan psikotik yang sangat dicurigai sebagai penyebab reaksi harus dilakukan
sesegera mungkin. Pemberian terapi antikolinergik merupakan terapi primer yang
diberikan. Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan penanganan cepat dan
agresif. Umumnya diberikan Benztropin dengan jalur intravena atau difenhidramin
intramuskuler.
Penatalaksanaan akatisia dengan memberikan antikolinergik dan amantadin, dan
pemberian proanolol dan benzodiazepine seperti klonazepam dan lorazepam.
Untuk sindrom Parkinson diberikan agen antikolinergik. Sementara untuk tardive
diskinesia ditangani dengan pemakaian obat neuroleptik secara bijaksana untuk dosis

medikasinya. Penggunaan golongan Benzodiazepin dapat mengurangi efek gerakan


involunter pada banyak pasien.
b. Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM)
Penanganan yang paling utama bila pasien mengalami SNM adalah penghentian
terlebih dahulu konsumsi obat-obatan antipsikotik. Gejala akan berkurang dalam 1-2
minggu. Untuk mempertahankan fungsi organ-organ vital tubuh dan mencegah dari
komplikasi yang lebih buruk perlu diperhatikan untuk menjaga kestabilan sirkulasi
dan ventilasi pasien, temperatur yang meningkat diatasi dengan pemberian antipiretik
dan resusitasi cairan secara agresif dan mengontrol keseimbangan cairan

bila

terdapat tanda yang mengarahkan kemungkinan terjadi gagal ginjal. Terapi


farmakologi yang diberikan yakni bromocriptine yang merupakan agonis dan
prekursor reseptor dopamine.

BAB III
KESIMPULAN
Antipsikotik adalah sekelompok bermacam-macam obat yang menghambat reseptor
dopamine tipe 2 (D2). Obat antipsikotik baik tipikal maupun atipikal selain berfungsi untuk
mengobati penyakit psikotik khsusnya skizofrenia, tentunya juga memiliki efek samping.
Obat-Obatan Antipsikotik dapat diklasifikasikan dalam kelompok tipikal dan atipikal.
Dopamine memiliki peran yang sangat penting dalam etiologi psikosis. Antipsikotik tipikal
merupakan golongan obat yang memblokade dopamine pada reseptor pasca-sinaptik neuron di
otak, khususnya sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (dopamine D-2 receptor antagonist).
Walaupun efek blokade reseptor dopamine D-2 di mesokortikal dan mesolimbik dipercaya
sebagai terapi pada gangguan psikotik namun juga menjadi penyebab utama timbulnya berbagai

efek samping gangguan kognitif dan perilaku.

Efek samping yang mungkin terjadi akibat

penggunaan antipsikotik tipikal dapat berupa gangguan fungsi kognitif, efek sedatif yang
mungkin tidak diharapkan pada pasien yang masih bisa aktif bekerja, dan efek antikolinergik
berupa mulut kering dan hipotensi postural. Efek gangguan hormonal dapat berupa amenorrhea
pada wanita, gangguan fungi ereksi dan pencapaian orgasme pada pria, gangguan libido,
impotensi, dan ginekomasti.
Untuk efek samping yang perlu diperhatikan yakni gangguan ekstrapiramidal
(extrapyramidal syndrome) berupa reaksi distonia akut, tardive diskinesia, akatisia, dan sindrom
Parkinson. Sedangkan efek samping yang perlu diwaspadai dan memerlukan tindakan segera dan
agresif yakni Sindrom Neuroleptik maligna yang bila tidak segera ditangani dapat menyebabkan
kematian

DAFTAR PUSTAKA
1. Maslim,Rusdi. Panduan Praktis Penggunaan Obat Psikotropik. Edisi Keempat. Jakarta.
2014
2. Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi. Farmakologi dan
Terapi. Edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran- Universitas
Indonesia; 1995.
3. Katzung BG. Basic & Clinical Pharmacology. 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2001.
4. Sadock, Benjamin J, Virginia A. Buku Ajar Psikiatri Klinis. 2. Jakarta : EGC, 2010 .
5. Maramis, Willy F. dan Maramis, Albert A. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. 2. Surabaya :
Airlangga University Press, 2009.
6. Gan Sulistia, Arozal Wawaimuli. Antipsikosis. Buku Ajar Farmakologi dan Terapi.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007

7. Loebis B. Skizofrenia : Penanggulangan memakai antipsikotik. Universitas Sumatera


Utara : Medan. 2007.
8. Katzung, Bertram G. Farmakologi dasar dan klinik. 6. Jakarta : EGC, 1997.

Anda mungkin juga menyukai