Anda di halaman 1dari 28

PANDUAN ETIKA, HUKUM &

PERLINDUNGAN ANGGOTA
PERDAWERI

Pengurus Pusat
PERDAWERI 2023
Panduan Etika, Hukum & Perlindungan Anggota PERDAWERI
Disusun oleh (menurut Abjad):
Abdul Razak Thaha
Ardiyanto Panggeso
Djauhery
Hadiwijaya
Kishanty Hardaningtyas
Soenarto (Alm)
Syarief Hudaya
KATA SAMBUTAN

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Bismillah walhamdulillah washalatu wassalamu ‘ala rasulillah wa ala alihi washahbihi wa
mawwala. Salam sejahtera bagi kita semua.
Sebelumnya, saya mengucapkan selamat pada akhirnya organisasi seminat PERDAWERI
akhirnya berhasil menyelesaikan buku PANDUAN ETIKA, HUKUM & PERLINDUNGAN
ANGGOTA PERDAWERI, setelah melewati perjuangan yang tidak mudah.
Saya menyampaikan apresiasi yang mendalam kepada inisiator dari buku panduan ini, dr.
Seonarto, M.H.Kes (almarhum), karena kalau tidak ada beliau, maka buku ini tidak akan berada
di tangan anggota PERDAWERI saat ini. Saya juga menghaturkan terima kasih kepada semua
pihak yang memungkinkan buku ini pada akhirnya bisa dihadirkan.
Saya harapkan buku panduan ini bisa memberikan kontribusi bagi setiap anggota
PERDAWERI sehingga diharapkan di dalam setiap menjalankan praktik klinisnya selalu
berpedoman pada buku panduan yang dimaksud.

Salam,

Prof. Dr. Purnawan Junadi, MPH, PhD.


Ketua Umum PERDAWERI 2022-2025

PERDAWERI i
KATA PENGANTAR

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Salam sehat, salam sejahtera bagi kita


semuanya. Om Swastiastu, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan."
Ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kita semua telah diberi nikmat, sehat,atas
selesainya buku PANDUAN ETIKA, HUKUM & PERLINDUNGAN ANGGOTA
PERDAWERI.
Buku ini awalnya disusun oleh dr. Soenarto, MH.Kes (Almarhum), dr. KishantyHardaningtyas,
M.Biomed(AAM) dan dr. Djauhery, MH, CMC melalui berbagai menjadi pembahasan kami
dari pengurus PP PERDAWERI. Akhirnya dengan bantuan dr. Ardianto Panggeso SH MH CMC
CCD, dr. Syarief Hudaya MH.Kes, Prof. DR. Dr. Abdul Razak Thaha MSc SpGK (K) dan dr.
Hadiwijaya MPH MH.Kes serrta beberapa anggota pengurus yang tidak bisa disebutkan satu
persatu, buku ini selesai disusun.
Saya selaku Ketua BHP2A PP PERDAWERI sangat bangga dengan para inisiator
perlindungan hukum anggota sebelumnya yang dijabat Alm dr. Sunarto, MHKes yang telah
menginisiasi buku panduan ini dan setelah beberapa kali mendapat masukan baru kali ini bisa
diperuntukkan buat anggota PERDAWERI seluruh Indonesia.
Buku ini berisi panduan aspek Etika, Disiplin dan hukum untuk Dokter yang menjadi anggota
PERDAWERI sebagai satu satunya Organisasi Keseminatan di bawah IDI, yang menaungi Anti
Penuaan (Anti Aging), Wellness, Estetik dan Regeneratif . Selain bersifat preventif, buku juga
berisi langkah-langkah perlindungan hukum bagi anggota dokter yang mengalami sengketa
medik maupun masalah hukum lainnya yang berkaitan dengan pelayanan kedokteran.
Semoga Buku Panduan ini bisa menjadi pegangan bila anggota agar bisa bekerja memegang teguh
etika pelayanan kedokteran.
Selamat membaca dan melayani pasien yang membutuhkan kita sebagai dokter.

Salam

Dr. Hadiwijaya, MPH, MH.Kes


(Ketua BHP2A PP PERDAWERI)

PERDAWERI ii
PANDUAN ETIKA, HUKUM &
PERLINDUNGAN ANGGOTA
PERDAWERI

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 7


I.1. Latar Belakang .............................................................................................................................. 7
I.2. Definisi Operasional...................................................................................................................... 7
I.3. Landasan Hukum .......................................................................................................................... 9
I.4. Siapa yang harus melaksanakan .................................................................................................... 9
BAB II PANDUAN PELAKSANAAN ETIK DAN HUKUM ........................................................... 10
II.1. Aspek Etik dan Hukum Pelayanan ............................................................................................ 10
II.1.1. Disiplin sebagai Pilar Profesionalisme ............................................................................... 10
II.1.2. Malapraktik Yuridis ............................................................................................................ 14
II.1.3. Malapraktik Etik ................................................................................................................. 17
II.2. Alasan Penghapusan Pidana ...................................................................................................... 18
II.2.1. Alasan Pembenar ................................................................................................................ 18
II.2.2. Alasan Pemaaf atau Alasan Penghapus Kesalahan ............................................................. 18
BAB III PERLINDUNGAN TERHADAP ANGGOTA PERDAWERI ............................................. 19
III.1. Model penyelesaian sengketa medik melalui Mejelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) .......... 20
III.2. Model Penyelesaian Sengketa Medik Melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI) .......................................................................................................................... 20
III.3. Model Penyelesaian Sengketa Medik Melalui Peradilan Pidana.............................................. 21
III.4. Model Penyelesaian Sengketa Medik Melalui Peradilan Perdata............................................. 22
III.5. Penyelesaian Sengketa Medik Melalui Mediasi ....................................................................... 22
BAB IV ASPEK ETIKA PELAYANAN KEDOKTERAN PERDAWERI ........................................ 24
IV.1. Pokok-Pokok Etika Yang Berhubungan Dengan Data Pasien/Rekam Medis .......................... 24
IV.2. Pokok-Pokok Etika dalam Memperoleh Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed
Consent)............................................................................................................................................. 25
IV.3. Pokok-Pokok Etika Perawatan Pasien dan Rujukan ................................................................ 26
L A M P I R A N ....................................................................................................................................... 27
Lampiran 1. TAHAPAN PENYELESAIAN PELANGGARAN KEDOKTERAN ......................... 27

PERDAWERI iii
Lampiran 2. TAHAPAN MENGHADAPI PEMERIKSAAN SIDAK Courtesy dari dr. Syarief
Hudaya, M.H.Kes .............................................................................................................................. 27

PERDAWERI iv
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

PERDAWERI (Perhimpunan Kedokteran Anti Penuaan, Wellness, Estetik dan Regeneratif


Indonesia) adalah wadah keseminatan dalam ilmu anti penuaan dan estetika yang sah dibawah
IDI (Ikatan Dokter Indonesia) yang dibentuk dan diresmikan dalam Munas IDI XXVIII di
Makassar pada 29 November 2012.
PERDAWERI sendiri anggotanya multidisiplin yang anggotanya bisa dokter umum maupun
dokter spesialis. Dengan berdirinya PERDAWERI ini, diharapkan PERDAWERI menjadi
satu-satunya perhimpunan seminat yang diakui keberadaannya untuk menampung dan
mengembangkan ilmu anti penuaan dan estetika di Indonesia (sesuai SK PB IDI Nomor
864/PB/A.4/12/2013 tertanggal 18 Desember 2013).

Adapun tujuan PERDAWERI sesuai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga adalah
sebagai berikut:

• Memadukan segenap potensi dokter Indonesia


• Meningkatkan harkat, martabat, dan kehormatan diri dan profesi kedokteranIndonesia
• Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, dalam rangka
meningkatkan derajat kesehatan rakyat Indonesia menuju masyarakat sehat dan
sejahtera

khususnya dalam masalah anti penuaan, wellness, estetika dan regeneratif.

Belakangan ini banyak laporan kasus dugaan tindakan kelalaian medis oleh dokter estetik
maupun anti penuaan yang dilaporkan baik secara pidana, perdata maupun administratif
sehingga sebagai sebuah organisasi keseminatan, PERDAWERI merasa perlu untuk membuat
sebuah buku pedoman beretika dalam menjalankan praktik sebagai dokter anti penuaan,
wellness, estetik dan regeneratif yang baik dan aman.

I.2. Definisi Operasional

1. Etika Profesi
Kata etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang berhubungan dengan
pertimbangan pembuat keputusan, benar atau tidaknya suatu perbuatan karena tidak ada
undang-undang atau peraturan yang mengesahkan hal yang harus dilakukan. Secara
sistematis, etika dibedakan menjadi etika umum dan etika khusus. Etika kahusus
selanjutnya dibedakan lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Etika

PERDAWERI 5
sosial ini banyak pembidangannya seperti etika keluarga, politik, lingkungan dan
profesi. 1
Suatu pekerjaan bisa dikategorikan sebagai profesi dengan mengenal ciri-cirinya.
Sonny Keraf dalam bukunya Etika Bisnis menyatakan sebagai berikut:
a. Adanya pengetahuan khusus.
b. Terdapat kaidah dan standar moral yang tinggi
c. Pengabdian kepada kepentingan masyarakat
d. Biasanya ada izin khusus untuk bisa menjalankan suatu profesi
e. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu organisasi profesi.2
2. Hukum Kesehatan adalah serangkaian ketentuan hukum, baik tertulis maupun tidak
tertulis, yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan kesehatan,
hubungan antara pasien/atau masyarakat dengan tenaga kesehatan dalam upaya
pelaksanaan kesehatan.3
3. KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) adalah suatu pedoman kode etik yang
dikeluarkan oleh organisasi profesi IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan dipergunakan
sebagai pedoman bagi dokter di dalam menjalankan praktik kedokteran.
4. Transaksi terapeutik adalah kegiatan dalam penyelenggaraan praktik antara dokter
dan pasien di mana dokter bertindak hanya demi kepentingan terbaik pasien dan
didasari oleh sikap percaya.4
5. Kelalaian medis menurut Gayus Lumbuun, adalah kelalaian atau kealpaan profesional
(professional negligence) baik dengan cara berbuat atau tidak berbuat sesuatu, yang
dilakukan oleh seorang tenaga medis.5
6. Standar Profesi adalah batasan kemampuan (knowledge, skill dan professional attitude)
minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan
profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi.6
7. SPO (Standar Prosedur Operasional) adalah suatu perangkat instruksi/langkah- langkah
yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. SPO
memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk
melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana
pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.7

1
Muhammad Sadi Is, Etika Hukum Kesehatan, Jakarta: Kencana, 2015, hlm. 131.
2
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis: Membangun Citra Bisnis sebagai Profesi Luhur, Bandung:
Kanisius, 1991, hlm. 47-48.
3
H. Zaeni Asyhadie, Aspek-aspek Hukum Kesehatan di Indonesia, Depok: PT. Raja Grafindo
Perkasa, 2017, hlm. 5.
4
Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Etika Profesi Medis, Jakarta: Universitas Trisakti,
2020, hlm. xv.
5
T. Gayus Lumbuun, Penyelesaian Sengketa Medik dalam Bahan Kuliah: Penegakan Hukum
dan Penyelesaian Sengketa Medik, STHM, November 2021.
6
Ibid.
7
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, LN
Tahun 2004 No.116, TLN No.4431, Penjelasan Pasal 50.

PERDAWERI 6
8. Rekam Medis adalah dokumen yang berisikan data identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.8
9. Rekam Medis Elektronik adalah Rekam Medis yang dibuat dengan menggunakan
sistem elektronik yang diperuntukkan bagi penyelenggaraan Rekam Medis.9

I.3. Landasan Hukum


1. SK PB IDI Nomor 864/PB/A.4/12/2013 tertanggal 18 Desember 2013 tentang
Perhimpunan PERDAWERI
2. Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran di mana
disebutkan bahwa setiap dokter atau dokter gigi di dalam melaksanakan praktik
kedokteran mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan hukum sepanjang
melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.10
3. Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis di
mana disebutkan bahwa setiap fasilitas pelayanan kesehatan (tempat praktik mandiri,
puskesmas, klinik, rumah sakit, apotek, laboratorium, balai) wajib menyelenggarakan
Rekam Medis Elektronik paling lambat pada tanggal 31 Desember 2023.11

I.4. Siapa yang harus melaksanakan

Semua dokter yang menjadi anggota PERDAWERI

8
Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 24 Tahun 2022 tentang Rekam
Medis, BN Tahun 2022 No. 829, Pasal 1.
9
Ibid.
10
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, LN
Tahun 2004 No.116, TLN No.4431, Pasal 50.
11
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 24 Tahun 2022 tentang Rekam
Medis, BN Tahun 2022 No. 829, Pasal 3.

PERDAWERI 7
BAB II
PANDUAN PELAKSANAAN ETIK DAN HUKUM

II.1. Aspek Etik dan Hukum Pelayanan

II.1.1. Disiplin sebagai Pilar Profesionalisme


Berbicara tentang profesionalisme tidak akan terlepas dengan profesi, kompetensi, etika
dan disiplin. Dokter atau dalam menjalankan praktik sehari-hari harus mempunyaikompetensi
di bidangnya. Pernyataan bahwa dokter kompeten adalah melalui sertifikat kompetensi yang
dikeluarkan oleh Kolegium terkait setelah melakukan serangkaian uji kompetensi. Uji
kompetensi bagi lulusan dokter/dokter spesialis dilakukan oleh Kolegium bersama sama
dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran setelah menyelesaikan pendidikannya.

Kompetensi merupakan suatu persyaratan untuk melakukan praktik kedokteran karena


hanya dokter yang kompeten saja yang berwenang. Ada beberapa unsur kompetensi yaitu
patients care, medical knowledge, interpersonal skill and communication skill, professional,
practice-based learning and improvement, dan system based practice. Sebagai dokter yang
disumpah akan melayani pasiennya dengan penuh perhatian dan empati serta tidak membeda-
bedakan pelayanan berdasarkan ras, suku, atau golongan. Di dalam kenyataan ada beberapa
jenjang kelas pelayanan hal itu hanya terbatas pada pelayanan non medis seperti ruangan
yang lebih privat, nyaman, dan fasilitas yang lebih baik, tetapi dari segi pelayanan dokter
tidak boleh membedakannya.

Dalam tata laksana pasien seorang dokter harus mempunyai pengetahuan tentang ilmu
kedokterannya dengan baik yang dibuktikan dengan telah selesai melaksanakan pendidikan
dan uji kompetensi. Hal ini penting karena pengetahuan yang kurang akan berdampak kepada
pelayanan yang substandard yang akan merugikan masyarakat.

Selain ilmu pengetahuan tentang kedokteran yang baik, dibutuhkan juga komunikasi
yang efektif. Komunikasi efektif ini diperlukan untuk menyampaikan pesan kepada pasien hal-
hal yang harus diketahui oleh pasien dan atau keluarganya Tanpa komunikasi efektifdapat
terjadi kesalahpahaman yang berujung pada tuntutan. Pada masa lalu hubungan dokter- pasien
merupakan hubungan satu arah yaitu pasien hanya mendengarkan 'ungkapan' dokter sedangkan
pasien hanya mengeluh tanpa dapat berdiskusi. Saat ini hubungan itu menjadi dua arah dan
timbal balik antara dokter dan pesan Pasien dapat mengeluh dan mendiskusikan dengan dokter
kemungkinan pengobatan yang sesuai. Dokter dalam memberi pengobatan akan
mempertimbangkan aspek ekonomi, kontraindikasi, dan tingkat pendidikan pasien dalam
menentukan pilihan obat. Pasien diajak untuk berdiskusi dan dilibatkan dalam menentukan
pengobatan untuk dirinya sesuai porsinya.

PERDAWERI 8
Seorang dokter dalam menjalankan praktik sehari-hari seharusnya mendapat
pengalaman yang berharga untuk dijasikan modal dalam penanganan kasus-kasus selanjutnya.
Berdasarkan pengalaman yang dimilikinya serta penambahan ilmu dari literatur, seorang
dokter harus meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya untuk kepentingan pasien.
Sesuai sumpahnya dokter akan belajar sepanjang hayat dengan cara belajar dari orang lain
melalui seminar dan literatur, juga belajar dari pengalaman sendiri yang bertujuan untuk
peningkatan kompetensi.

Dalam praktik sehari-hari, dokter harus mengikuti sistem yang berlaku di wilayah
Indonesia. Sistem kesehatan nasional dan sistem penanganan berbasis bukti dan sistem asuransi
harus diketahui oleh seluruh praktisi kedokteran.

Seorang dokter harus profesional dalam menjalankan praktik kedokteran. Ada beberapa
unsur yang termasuk dalam profesional seperti kompetensi, akuntabilitas, altruisme,etika, dan
kolegialitas. Melihat unsur-unsur yang ada pada kompetensi dan profesionalisme terdapat
hubungan atau jembatan yang sangat erat antara keduanya yaitu profesionalisme merupakan
unsur kompetensi, sementara itu kompetensi juga merupakan unsurprofesionalisme.

Profesionalisme ditandai dengan rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap apa yang
dikerjakannya. Segala tindakan dalam praktik kedokteran berdasarkan kepada analisis dan
pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kaidah berbasis bukti.
Berbasis bukti menjadi dasar utama dalam melakukan praktik kedokteran baik dalam hal
diagnosis maupun tatalaksana.

Dokter dalam sumpahnya dan segala tindak tanduk dalam praktik kedokteran harus
mementingkan kepentingan pasien di atas segalanya. Dokter yang profesional akan bersikap
umum tidak mengenal ras, golongan, kelompok, atau tingkatan tertentu bahkan kepentingan
pasien di atas kepentingan keluarga, kelompok maupun golongan. Sikap altruisme harus
ditunjukkan sebagai salah satu pilar profesionalisme.

Dalam tugasnya, dokter mempunyai kolegialitas yang berarti juga kesopanan,


kesejawatan, dan kebersamaan. Profesionalisme mencakup hal di atas untuk menunjukkan
bahwa selain kemandirian dan independensi dalam menentukan tatalaksana, dokter
mempunyai ikatan kesejawatan yang kuat berbeda dengan profesi yang lain.

Dokter yang profesional selalu menaati etika, norma dan bekerja sesuai SPO yang
menunjukkan disiplin terhadap profesinya. Seperti dijelaskan di atas, etika dan disiplin
terkadang rancu sehingga sulit dibedakan namun dengan adanya Perkonsil Nomor 4 Tahun
2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi, jenis pelanggaran disiplin profesi
kedokteran menjadi jelas.

Pelanggaran terhadap disiplin profesi kedokteran ditentukan oleh sebuah majelis yang
disebut MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia). Dalam menyidangkan
dokter atas pengaduan dari pengadu, MKDKl akan bersikap independen, mandiri, dan bebas
dari tekanan dalam bentuk apapun. Dan beberapa kasus yang masuk dalam pengaduan ke

PERDAWERI 9
MKDKl, terbanyak adalah masalah komunikasi yang tidak efektif antara dokter-pasien dan
dokter-dokter.

Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin


Profesional Dokter dan Dokter Gigi sebagai acuan untuk menangani pengaduan dugaan
pelanggaran disiplin profesional dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik
kedokteran mencantumkan 28 (dua puluh delapan) pelanggaran disiplin profesional dokter dan
dokter gigi yakni:

1) Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.


2) Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki kompetensi
yang sesuai.
3) Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki
kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.
4) Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak memiliki
kompetensi dan kewenangan yang sesuai atau tidak melakukan pemberitahuan
perihal penggantian tersebut.
5) Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik ataupun
mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien.
6) Tidak melakukan tindakan/asuhan medis yang memadai pada situasi tertentu yang
dapat membahayakan pasien.
7) Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan pasien.
8) Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate information)
kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran.
9) Melakukan tindakan/asuhan medis tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau
keluarga dekat, wali atau pengampunya.
10) Tidak membuat atau tidak menyimpan rekam medis dengan sengaja.
11) Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
12) Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan
sendiri atau keluarganya.
13) Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan, keterampilan,
atau teknologi yang belum diterima atau di luar tata cara praktik kedokteran yang
layak.
14) Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan menggunakan manusia
sebagai subjek penelitian tanpa memperoleh persetujuan etik (ethical clearance) dari
lembaga yang diakui pemerintah.
15) Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak
membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan
mampu melakukannya.

PERDAWERI 10
16) Menolak atau menghentikan tindakan/asuhan medis atau tindakan pengobatan
terhadap pasien tanpa alasan yang layak dan sah sesuai dengan ketentuan etika
profesi atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
17) Membuka rahasia kedokteran.
18) Membuat keterangan medis yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang
diketahuinya secara benar dan patut.
19) Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan (torture) atau
eksekusi hukuman mati.
20) Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya yang tidak sesuai dengan ketentuan etika profesi atau peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
21) Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi, atau tindakan kekerasan terhadap
pasien ddalam penyelenggaraan praktik kedokteran
22) Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya.
23) Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk, meminta pemeriksaan, atau
memberikan resep obat/alat kesehatan.
24) Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/pelayanan yang
dimiliki baik lisan maupun tulisan yang tidak benar atau menyesatkan.
25) Adiksi pada narkotika, psikotropika, alkohol dan zat adiktif lainnya.
26) Berpraktik dengan menggunakan surat tanda registrasi, surat izin praktik, dan/atau
sertifikat kompetensi yang tidak sah atau berpraktik tanpa memiliki surat izinpraktik
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
27) Tidak jujur dalam menentukan jasa medis.
28) Tidak memberikan informasi, dokumen, dan alat bukti lainnya yang diperlukan
MKDKI/MKDKI-P untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggarandisiplin
profesional dokter dan dokter gigi.

Malapraktik12 adalah suatu istilah yang mempunyai konotasi buruk, stigmatis, menyalahkan.
Praktik buruk dari seseorang yang memegang suatu profesi dalam arti umum, tidak hanya
profesi medis saja, sehingga juga ditujukan kepada profesi lainnya. Jika ditujukan kepada
profesi medis, seharusnya juga disebut sebagai malapraktik medis. Namun, entah mengapa,
dimana-mana, terutama dimulai dari luar negeri, istilah malapraktik selalu pertama-tama
diasosiasikan kepada profesi medis.13

Kelalaian medis adalah satu bentuk dari malapraktik medis, sekaligus merupakan bentuk
malapraktik medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang
dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak

12
Istilah malpraktik tidak ditemukan di dalam https://kbbi.web.id, yang ada adalah malapraktik.
13
J. Guwandi. Hukum Medik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004, hlm.
20.

PERDAWERI 11
dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain
yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama.14

Pembagian malapraktik :

1. Malapraktik Yuridis
a. Malapraktik Administratif
b. Malapraktik Kriminal (Pidana)
c. Malapraktik Sipil (Perdata)
2. Malapraktik Etik
a. Pelanggaran Etik Murni (menarik imbalan jasa tidak wajar, mengambil alih
pasien tanpa persetujuan sejawat, memuji diri sendiri, pelayanan diskriminatif,
kolusi dengan perusahaan farmasi, tidak mengikuti pendidikan
berkesinambungan, mengabaikan kesehatan sendiri)
b. Pelanggaran Etik yang menjadi kasus hukum

II.1.2. Malapraktik Yuridis

II.1.2.1. Malapraktik Administratif


Definisi: Dikatakan malapraktik administratif apabila dokter melanggar hukum tata usaha
negara. Dengan kewenangannya pemerintah berhak mengeluarkan berbagai macam peraturan
di bidang kesehatan, apabila peraturan tersebut dilanggar, maka tenaga kesehatan yang
bersangkutan dapat dipersalahkan.

Dasar Hukum :

• Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004


• Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis
• Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/208 tentang Persetujuan
Tindakan Medik

Contoh :

• Menjalankan praktek kedokteran tanpa lisensi atau izin


• Melakukan tindakan medik yang tidak sesuai dengan lisensi atau izin yang dimiliki
• Melakukan praktik kedokteran dengan menggunakan lisensi atau izin yang sudah
kadaluarsa (Pasal 76 Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004)
• Tidak membuat rekam medik (Pasal 46 Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29
Tahun 2004 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 24 Tahun 2022 tentang
Rekam Medis)

14
Budi Sampurna, Malpraktik Kedokteran, Pemahaman dari Segi Kedokteran dan Hukum,
Jurnal Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2004, hlm. 7

PERDAWERI 12
II.1.2.2. Malapraktik Pidana
Definisi : Dalam hukum pidana suatu perbuatan dikatakan perbuatan pidana apabila memenuhi
semua unsur yang telah ditentukan secara limitatif dalam suatu aturan perundang- undangan.

Dasar Hukum:

• Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)


• Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004
• Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009
• Undang-Undang Rumah Sakit Nomor 44 Tahun 2009
• Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/208 tentang Persetujuan
Tindakan Medik

Dalam pasal 1 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dikenal dengan Azas Legalitas
bahwa : Tidak suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana
dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.

Menurut J.D. Peter ada beberapa faktor yang dapat membuktikan ada tidaknya perbuatan
kelalaian medis dari suatu tindakan dokter, yakni sebagai berikut:

a. Duty (kewajiban);
Duty adalah kewajiban dari profesi medis, termasuk dokter, untuk mempergunakan
segala ilmu dan kepandaiannya untuk penyembuhan atau setidaknya meringankan
beban penderitaan pasiennya (to cure to care) dengan mengacu pada standar profesi.
Apabila ditinjau kepada sistem hukum perdata, hubungan dokter dan pasien termasuk
golongan perikatan usaha (inspanningsverbintenis). Bila standar profesi telah
dijalankan namun hasil tidak sebagaimana yang diinginkan, maka dokter bisa
dibebaskan dari segala tuntutan.
b. Breach of Duty (penyimpangan dari kewajiban);
Dokter bisa dipersalahkan apabila tindakan dokter tidak sesuai dengan standar profesi
dari apa yang harusnya dikerjakan atau tidak. Namun kesalahan ini tidaklah bisa kita
berhitung secara matematika, karena sifat dunia kedokteran itu berbeda di manaseorang
dokter yang memiliki pendapat yang berbeda sewaktu penanganan sebuah kasus,
tidaklah langsung diartikan bahwa dokter tersebut telah melakukan penyimpangan.
Fakta penting dikumpulkan melalui bantuan pendapat ahli atau saksi ahli dalam
penentuan penyimpangan yang telah terjadi. Dikarenakan minimnya pengetahuan
pasien atau keluarga dan terkadang selalu menganggap akibat yangditimbulkan sebagai
kesalahan atau kelalaian, maka pasien atau keluarganya sering kali mempersalahkan
dokter. Jadi, di sini perlu pembuktian apakah ada hubungan sebab akibat antara
kematian atau luka yang timbul dengan tindakan yang dilakukan oleh dokter.
c. Direct Causation (akibat langsung); dan
Dalam kaitannya dengan hal ini, kita harus membedakan antara cause in fact dengan
proximate cause (teori kira-kira). Cause in fact berkaitan dengan apakah kematian

PERDAWERI 13
atau luka tersebut sebagai fakta kuat akibat tindakan dokter atau tidak. Proximate cause
berkaitan dengan batasan seorang dokter harus mempertanggungjawabkan akibat dari
tindakannya. Umumnya pembuktian cause in fact dilakukan sedemikian rupa:
1) Kelalaian yang diderita oleh pasien harus terbukti bilamana dokternya tidak lalai
dalam menjalankan tindakannya.
2) Faktor penting yang mengakibatkannya haruslah berkaitan dengan perilaku dokter.
d. Damage (kerugian).
Sesuai dengan asas hukum de minimis non curat lex, yaitu bahwa hukum tidak
mencampuri hal-hal yang dianggap sepele, sehingga kerugian yang ringan tidaklah bisa
dimasukkan ke dalam kasus malapraktik. Kejadian fatal seperti kematian atau luka
beratlah yang harus dipertanggungjawabkan oleh dokter secara hukum karena tidak
melakukan sesuai standar profesi.15

Syarat suatu tindakan disebut malapraktik pidana bila:

1. Perbuatan tersebut (baik positive act maupun negative act) harus merupakan perbuatan
tercela.
2. Dilakukan dengan sikap batin yang salah, yaitu berupa kesengajaan (intentional),
kecerobohan (recklessness) atau kealpaan (negligence)16

Contoh Malapraktik Pidana yang bersifat intentional:

§ Melakukan aborsi tanpa indikasi medik (Pasal 299, 348, 349, 350 KUHP)
§ Melakukan euthanasia (Pasal 344 KUHP)
§ Membocorkan rahasia kedokteran dan rekam medis pasien (Pasal 322 KUHP)
§ Tidak melakukan pertolongan terhadap seseorang yang sedang dalam keadaan
emergensi meskipun tahu bahwa tidak ada dokter lain yang akan menolongnya
(negative act). (Pasal 340 KUHP)
§ Membuat surat keterangan yang tidak benar/palsu (Pasal 263, 267 KUHP)
§ Memberikan atau menjual obat palsu (Pasal 386 KUHP)

Contoh Malapraktik Pidana yang bersifat recklessness (Pasal 79 Undang-Undang Praktik


Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004):

• Melakukan tindakan medik yang tidak lege artis


• Melakukan tindakan medik tanpa informed consent

Contoh Malapraktik Pidana yang bersifat negligence:

• Alpa atau kurang hati-hati sehingga pasien menderita luka-luka (termasuk cacat) atau
meninggal dunia. (Pasal 359, 360, 361 KUHP)
15
Muntaha, Hukum Pidana Malapraktik Pertanggungjawaban dan Penghapus Pidana.
Jakarta: Sinar Grafika, 2017, hlm. 17.
16
Anny Isfandyarie, Malpraktik dan Resiko Medik (Dalam Kajian Hukum Pidana), Jakarta:
Prestasi Pustaka, 2005, hlm. 33.

PERDAWERI 14
II.1.2.3. Malapraktik Perdata
Definisi : Disebut malapraktik perdata apabila jika dokter tidak melaksanakan
kewajibannya (ingkar janji), yaitu tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah
disepakati. Adapun bentuk perjanjian yang tidak dipenuhi dapat berupa:

• Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan, wajib dilakukan;


• Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi terlambat
melaksanakannya;
• Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi tidak sempurna
dalam pelaksanaan dan hasilnya;
• Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.17

Dasar Hukum:

• Pasal 1239, 1365, 1366, 1367 KUHPerdata


• Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004
• Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009
• Undang-Undang Rumah Sakit Nomor 44 Tahun 2009

II.1.3. Malapraktik Etik


Definisi : Dikatakan sebagai malapraktik etik jika dokter hanya melakukan tindakan
yang bertentangan dengan etik kedokteran. Etika profesi kedokteran adalah kode etik dokter
dan kode etik dokter gigi yang disusun oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan
Dokter Gigi Indonesia (PDGI).18

Dasar Hukum : KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) Tahun 2012

MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) adalah salah satu badan otonom Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) yang bertugas melalui divisi kemahkamahan sesuai yurisdiksinya sebagai
lembaga etika yang memeriksa, menyidangkan, membuat keputusan setiap konflik etikolegal
yang berpotensi sengketa medik di antara perangkat dan jajaran IDI dan setiap sengketa medik
antara dokter pengadunya yang belum atau tidak ditangani oleh Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI). Status MKEK dalam putusannyadalam bidang etika tidak
dipengaruhi oleh Pengurus IDI atau perangkat dan jajaran atau lembaga internal IDI apapun.
Putusan bersifat final (melanggar etik atau tidak) dan wajib segera dilaksanakan bila tidak ada
banding.

Sanksi MKEK:

• Murni Pembinaan

17
Anny Isfandyarie, loc.cit.
18
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, LN
Tahun 2004 No.116, TLN No.4431, Penjelasan Pasal 8f.

PERDAWERI 15
• Penginsafan tanpa pemberhentian anggota
• Penginsafan dengan pemberhentian keanggotaan sementara
• Pemberhentian keanggotaan tetap

II.2. Alasan Penghapusan Pidana


Dalam KUHP dikenal juga alasan-alasan pengecualian pidana (strafuitsluitingsgronden) yang
umum dan yang khusus. Alasan-alasan pengecualian pidana yang umum ini dapat dibagi atas
alasan pembenar dan alasan pemaaf.

II.2.1. Alasan Pembenar


Alasan-alasan pembenar (rechtvaardigingsgrondend) ialah alasan yang menghapuskan sifat
melawan hukumnya perbuatan, sehingga meskipun perbuatan itu sesuai dengan lukisan
tertentu yang dilarang oleh undang-undang pidana, bukanlah berarti peristiwa pidana.19
Termasuk alasan pembenar yaitu:

1) Daya paksa relatif/relative overmacht (Pasal 48 KUHP).


2) Pembelaan darurat/noodweer (Pasal 49 ayat (1) KUHP).
3) Menjalankan peraturan perundang-undangan (Pasal 50 KUHP).
4) Menjalankan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat (1) KUHP).20

II.2.2. Alasan Pemaaf atau Alasan Penghapus Kesalahan


Alasan-alasan pemaaf (schuldduitslutingsgrondend) ialah alasan yang menghapuskan
kesalahan pembuat. Perbuatan yang dilakukan itu tetap bersifat melawan hukum, tetapi tidak
dipidana karena tidak ada kesalahan.21 Adapun yang termasuk dalam alasan pemaaf, yaitu:

1) Tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44 ayat (1) KUHP).


2) Daya paksa mutlak/absolute overmacht (Pasal 48 KUHP).
3) Pembelaan terpaksa melampaui batas/noodweer exes (Pasal 49 ayat (2) KUHP).
4) Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah (Pasal 51 ayat (2) KUHP).22

19
Rusli Effendy dan Poppy Andi Lolo, Asas-asas Hukum Pidana, dalam Andi Muhammad
Sofyan dan M. Aris Munandar, Jakarta: Kencana, 2021, hlm. 6
20
Suyanto, Pengantar Hukum Pidana, dalam Andi Muhammad Sofyan dan M. Aris Munandar,
loc.cit.
21
Ibid.
22
Ibid.

PERDAWERI 16
BAB III
PERLINDUNGAN TERHADAP ANGGOTA PERDAWERI

Dasar Hukum:

Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :

a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan


standar profesi dan standar prosedur operasional
b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional
c. Memperolah informasi yang lengkap dan jujur dari pasien dan keluarganya
d. Menerima imbalan jasa

Pasal 57 Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan

Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak:

a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan


Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional;
b. Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari Penerima Pelayanan Kesehatan
atau keluarganya;
c. Menerima imbalan jasa;
d. Memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan yang
sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai agama;
e. Mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesinya;
f. Menolak keinginan Penerima Pelayanan Kesehatan atau pihak lain yang bertentangan
dengan Standar Profesi, kode etik, standar pelayanan, Standar Prosedur Operasional,
atau ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
g. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Setiap perbuatan yang dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku akan mendapat
perlindungan hukum. Anggota PERDAWERI akan mendapatkan pembelaan
hukum apabila anggota telah memenuhi segala ketentuan hukum yang berlaku.

PERDAWERI 17
III.1. Model penyelesaian sengketa medik melalui Mejelis Kode Etik Kedokteran
(MKEK)

1. Pemerikasaan/pemanggilan MKEK didasari adanya laporan atau tidak yang


menyatakan dokter melanggar kode etik
2. Pihak PERDAWERI bisa mengajukan saksi ahli dalam rangka pembuktian atau
membuatlebih jelas perkara dalam persidangan MKEK
3. Sidang MKEK dapat mengeluarkan putusan : melanggar etik atau tidak
4. Sanksi:
a. Murni Pembinaan
b. Penginsafan tanpa pemberhentian anggota
c. Penginsafan dengan pemberhentian keanggotaan sementara
d. Pemberhentian keanggotaan tetap

III.2. Model Penyelesaian Sengketa Medik Melalui Majelis Kehormatan Disiplin


Kedokteran Indonesia (MKDKI)

1. Pasien melapor ke MKDKI bahwa merasa dirugikan


2. MKDKI melakukan klarifikasi apakah teardu telah melakukan pelanggaran disiplin
melalui MPD (Majelis Pemeriksaan Disiplin )
3. Hasil dari klarifikasi dapat berupa: kasus etik atau kasus disiplin. Kasus etik akan
dikembalikan ke MKEK IDI. Kasus disiplin akan dilakukan pemeriksaan disiplin.
4. Sidang pemeriksaan untuk membuktikan apakah teradu melanggar 28 pasal disiplin
dilakukan dalam ruang sidang MKDKI, Dinkes setempat dan fasilitas pelayanan
kesehatan yang ditunjuk oleh ketua MPD.
5. Pihak PERDAWERI bisa mengajukan saksi ahli dalam rangka pembuktian atau
membuat lebih jelas perkara dalam persidangan MKDKI.
6. Keputusan MPD dapat berupa keputusan pelanggaran sementara, dan dokter dapat
mengajukan keberatan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari. PERDAWERI dapat
melakukan bantuan.
7. Setelah itu Keputusan MKDKI yang final dan mengikat.
a. Tidak ditemukan pelanggaran
b. Teguran tertulis
c. Pencabutan STR (Sementara/Tetap)
d. Kewajiban mengikuti pendidikan/pelatihan
8. Tidak puas : PTUN

PERDAWERI 18
III.3. Model Penyelesaian Sengketa Medik Melalui Peradilan Pidana

Alur Pemeriksaan

Bila pada praktik dokter mandiri/klinik pratama/klinik utama kekhususan AWERI menerima
aduan dan sudah ada laporan dari pasien ke polisi (Laporan keterangan saksi).

1. Dokter diperiksa sebagai tersangka/terlapor/terperiksa


2. Akan dibuat berita acara mengenai
a. Kronologis perkara/kejadian
b. Dokter dimintai jawaban apakah tindakan sudah sesuai atau tidak dengan SPO
dengan membawa bukti pedoman SPO PERDAWERI/SPO Klinik/Praktek
Mandiri/RS
c. Dokter akan diminta kelengkapan legalitas praktek, seperti SIP & STR
d. Pada proses pemeriksaan bila diperlukan akan dilakukan audit medik oleh
Komite Etik PERDAWERI. Hasil audit akan membuktikan apakah tindakan
yang dilakukan sudah/belum sesuai dengan SPO yang ada
3. Minimal 2 alat bukti (Pasal 184 KUHAP) dapat dipergunakan menjadi petunjuk dan
hal ini dapat menjadikan dokter sebagai tersangka/terdakwa

Alasan Penghentian Penyidikan (SP3):

1. Tidak diperoleh alat bukti yang cukup


2. Bukan pelanggaran hukum/pidana (Pasal 1 KUHP – Suatu perbuatan tidak dapat
dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang
telah ada)
3. Dihentikan demi hukum, terperiksa/terlapor meninggal dunia (Pasal 77 KUHP –
Kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia)

Bila Penyidikan dilanjutkan, maka berkas akan diserahkan ke kejaksaan untuk sidang
pengadilan (P21).

Status perkara dapat :

1. Banding ke pengadilan tinggi (PT)


2. Kasasi ke MA
3. Peninjauan kembali (PK)
4. Putusan final yang mengikat
5. Grasi

Pelanggaran di tingkat BPOM

Definisi : Menyediakan sediaan farmasi atau menyimpan sediaan farmasi yang tidak
teregistrasi

PERDAWERI 19
Dasar hukum:

• Pasal 106, 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Sanksi:

• Teguran
• Pembinaan
• Penyitaan barang bukti

III.4. Model Penyelesaian Sengketa Medik Melalui Peradilan Perdata

Alur Pemeriksaan

• Pasien dan atau pengacara menggugat dokter/RS/Klinik untuk meminta ganti rugi ke
Pengadilan Negeri
• Pasien harus membuktikan dokter melakukan kesalahan/kelalaian, tindakan yang
seharusnya tidak lakukan tapi dilakukan (komisi), tindakan yang seharusnyadilakukan
namun tidak dilakukan (omisi).
• Mediasi dan pendampingan dilakukan dalam setiap tahap pemeriksaan oleh
PERDAWERI

III.5. Penyelesaian Sengketa Medik Melalui Mediasi


Ada dua bentuk atau cara penyelesaian sengketa medik:

1. In/By Court Dispute Resolution


Dilakukan oleh/melalui badan peradilan negara (Litigasi)
2. Out of Court Dispute Resolution
Dilakukan di luar badan peradilan negara meliputi negosiasi, mediasi, konsiliasi,
mediasi-arbitrase (hibrid), arbitrasi (ad hoc atau institusional) maupun arbitrase
nasional atau internasional (Non Litigasi)

Dasar Hukum:

• Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS (Alternatif


Penyelesaian Sengketa)
• Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan
• Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian
Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif
• Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019
tentang Penyidikan Tindak Pidana
• Surat Edaran Kapolri Nomor 8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif
dalam Penyelesaian Perkara Pidana
Mediasi adalah penyelesaian sengketa secara damai yang tepat, efektif dan dapat membuka
akses yang lebih luas kepada para pihak untuk memperoleh penyelesaian yang memuaskan
serta berkeadilan. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan
untuk memperoleh kesepakatan para pihak yang dibantu oleh mediator.

Mediator adalah hakim atau pihak lain yang memiliki sertifikat mediator yang diterbitkan
oleh Mahkamah Agung atau lembaga yang telah memperoleh akreditasi oleh Mahkamah
Agung sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna
mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus
atau memaksakan sebuah penyelesaian.

Saat ini semua sengketa yang masuk ke Pengadilan Negeri diarahkan ke mediasi untuk
diselesaikan terlebih dahulu.

PERDAWERI akan memfasilitasi mediator bilamana diperlukan dalam suatu kasus sengketa
yang tentunya bersifat NETRAL sesuai tugas dan fungsi seorang mediator di dalam suatu
penyelesaian sengketa.

PERDAWERI 21
BAB IV
ASPEK ETIKA PELAYANAN KEDOKTERAN PERDAWERI

IV.1. Pokok-Pokok Etika Yang Berhubungan Dengan Data Pasien/Rekam Medis

Pasal 46 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran23 menentukan:


(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib
membuat rekam medis;
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi setelah pasien
selesai menerima pelayanan kesehatan;
(3) Setiap catatan medis harus dibubuhi nama, waktu dan tanda tangan petugas yang
memberikan pelayanan atau tindakan.

Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis mewajibkan
setiap fasilitas pelayanan kesehatan menyelenggarakan Rekam Medis Elektronik. Fasilitas
Pelayanan Kesehatan yang dimaksud terdiri atas:

a. Tempat praktik mandiri dokter, dokter gigi, dan/atau tenaga kesehatan lainnya;
b. Puskesmas;
c. Klinik;
d. Rumah Sakit;
e. Apotek;
f. Laboratorium kesehatan;
g. Balai; dan
h. Fasilitas Pelayanan Kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri.

Seluruh Fasilitas Pelayanan Kesehatan sudah harus menyelenggarakan Rekam Medis


Elektronik paling lambat pada tanggal 31 Desember 2023.

Pencatatan dan pendokumentasian rekam medis haruslah lengkap, jelas dan dilakukan setelah
pasien menerima pelayanan kesehatan dengan mencantumkan nama, waktu dan tanda tangan
tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan. Bilamana terjadi perbaikan data, hanya dapat
dilakukan dengan batas waktu paling lama 2x24 jam semenjai data diinput.

Isi Rekam Medis adalah milik pasien dan paling sedikit terdiri atas:

a. Identitas pasien;
b. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang;
c. Diagnosis, pengobatan dan rencana tindak lanjut pelayanan kesehatan; dan
d. Nama dan tanda tangan tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan.

23
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, LN
Tahun 2004 No.116, TLN No.4431, Penjelasan Pasal 46.

PERDAWERI 22
IV.2. Pokok-Pokok Etika dalam Memperoleh Persetujuan Tindakan Kedokteran
(Informed Consent)

Definisi:

Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran(preventif,
diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif) atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap
pasien.

Dasar Hukum:

1. Pasal 45 Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004


2. Pasal 68 Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2014
3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran
4. Pasal 17 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang
Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi
5. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor HK. 00.06.3.5.1886
tanggal 21 April 1999 tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed
Consent)

Uraian:

Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor HK. 00.06.3.5.1886 tanggal 21
April 1999 tentang pedoman persetujuan tindakan medik (informed consent) mengatakan
bahwa informed consent terdiri dari kata informed yang berarti telah mendapat informasi dan
consent berarti persetujuan (izin). Yang dimaksud dengan informed consent dalam profesi
kedokteran adalah pernyataan setuju (consent) atau izin dari seseorang pasien yang diberikan
dengan bebas, rasional, tanpa paksaan (voluntary) tentang tindakan kedokteran yang akan
dilakukan terhadapnya sesudah mendapatkan informasi cukup tentang tindakan kedokteran
yang dimaksud.

Penerapan informed consent antara pihak rumah sakit dan pasien harus sesuai dengan standar
operasional prosedur. Pasal 50 Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 menyebutkan tentang
standar prosedur operasional (SPO) yang pengertiannya adalah suatu perangkat/instruksi
langkah-langkah yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Standar
prosedur operasional memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus
bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana
pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.

PERDAWERI 23
IV.3. Pokok-Pokok Etika Perawatan Pasien dan Rujukan

A. Kewajiban terhadap pasien


• Seorang dokter hendaknya dengan segala upaya memberikan pelayanan yang optimal
pada pasien.
• Seorang dokter hendaknya menempatkan kepentingan pasien di atas kepentingan
pribadinya.
• Segala bentuk pemeriksaan dilakukan dengan sopan santun dan “lege artis”
• Dalam melakukan pelayanan kesehatan reproduksi manusia, seorang dokter harus
didampingi sekurang-kurangnya oleh seorang perawat.
• Seorang dokter harus secara jelas menyampaikan informasi mengenai penyakit
pasien berikut rencana tindakan atau pengobatannya.
• Rencana tindakan pada seorang pasien haruslah tercantum dalam sebuah informed
consent.
• Hal-hal lain hendaklah sesuai dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia.

B. Kewajiban terhadap Sesama Dokter


• Perasaan kolegialitas harus terbina diantara sesama dokter.
• Rujukan diantara sesamanya harus ditulis dengan jelas dan mencakup informasi yang
cukup mengenai pasien.
• Sesama dokter harus saling menasihati dan saling mengontrol agar yang
bersangkutan tidak terjerumus ke dalam tindakan yang melanggar etika.
• Hal-hal yang lain harus pula sesuai dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia.

C. Kewajiban terhadap Sejawat di Bidang Lain


• Perasaan kolegialitas harus mendasari hubungan antar sejawat.
• Rujukan harus diikuti dengan keterangan/maksud yang jelas.
• Hal-hal yang lain harus pula sesuai dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia.

D. Kewajiban terhadap Tenaga Keperawatan


• Kerjasama dalam satu tim dengan para perawat dalam penanganan pasien hendaknya
senantiasa dibina berdasarkan azas profesionalisme.
• Rasa tanggung jawab dalam diri perawat sehubungan dengan kerjasama tim tersebut
hendaknya ditumbuhkan dan terus dipupuk
• Penambahan ilmu yang ada hubungannya dengan lingkup pekerjaan sehari-hari perlu
diberikan secara berkala kepada para perawat.
• Setiap dokter hendaklah menjadi panutan dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari

PERDAWERI 24
LAMPIRAN

Lampiran 1. TAHAPAN PENYELESAIAN PELANGGARAN KEDOKTERAN

1. Pihak teradu melaporkan permasalahan sengketa yang diadukan ke PERDAWERI


Cabanguntuk diteruskan ke PP PERDAWERI
2. PP PERDAWERI akan menugaskan BHP2A untuk menelusuri permasalahan sengketa
yang dimaksud dengan melakukan langkah pertemuan dengan pihak teradu
3. Selanjutnya, BHP2A akan membantu memediasi dengan pihak penggugat bilamana
permasalahan masih belum masuk ke ranah hukum. Bila sudah masuk ke ranahhukum
gugatan, maka PP PERDAWERI akan membantu dengan mengirimkan saksi ahli
ataupun hasil audit tim komite etik PERDAWERI terhadap SPO yang telah dilakukan
olehpihak teradu.

Lampiran 2. TAHAPAN MENGHADAPI PEMERIKSAAN SIDAK


Courtesy dari dr. Syarief Hudaya, M.H.Kes
1. Tetap tenang dan terima dengan baik
2. Tanyakan identitas dan tanda pengenal
3. Tanyakan maksud dan tujuan
4. Bila formal, tanyakan dan periksa surat perintah dari institusi (atasan)
5. Periksa tanggal yang tertera dalam surat. Jadwal yang wajar sesuai dengan aturan
hukum adalah kurang lebih dari 3 hari menjelang jadwal pemeriksaan.
6. Periksa identitas panggilan, apakah benar sesuai dengan identitas kita. Jika salah, kita
berhak untuk menolak
7. Bila tujuan sidak tidak terkait dengan masalah pelanggaran hukum, kita berhak
menolak.
8. Sidah dalam rangka pengawasan hanya dilakukan oleh yang berwenang, administratif
oleh Dinas Kesehatan, bahan obat oleh BPOM.
9. Kita bisa menghubungi BHP2A PERDAWERI Cabang sebelum menyatakan kesediaan
10. Bila tujuannya penggeledahan, maka harus didampingi dan disaksikan oleh 2 (dua)
orang warga lingkungan yang bersangkutan bila tersangka/keluargatersangka/penghuni
menyetujui
11. Tidak menunjukkan dan menyerahkan dokumen yang tidak sesuai dengan kewenangan,
misalnya polisi tidak boleh memeriksa SIP, STR
12. Dokumentasikan dan dampingi pada saat proses penggeledahan.

PERDAWERI 25

Anda mungkin juga menyukai