Disusun oleh:
Sergio Vartanian
Pembimbing:
i
3.4 Diagnosis dan Manifestasi Klinis ........................................................... 22
3.4.1 Menghindari Sanksi Hukum ........................................................... 22
3.4.2 Alasan Finansial .............................................................................. 22
3.4.3 Menghindari Wajib Militer atau Pekerjaan Resiko Tinggi ............. 22
3.4.4 Menghindari Kewajiban Sosial dan Pekerjaan ............................... 22
3.4.5 Transfer dari Penjara ke Rumah Sakit ............................................ 23
3.4.6 Perawatan di Rumah Sakit .............................................................. 23
3.5 Diagnosis Diferensial ............................................................................. 23
3.6 Tatalaksana ............................................................................................. 24
3.7 Prognosis dan Perkembangan Penyakit .................................................. 24
BAB IV ................................................................................................................. 25
BAB V................................................................................................................... 26
LAMPIRAN I ....................................................................................................... 28
LAMPIRAN II ..................................................................................................... 30
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
FACTITIOUS DISORDER
2.1 Definisi
Gangguan factitious dapat didefinisikan sebagai kesengajaan dalam
bertindak atau berpura-pura sebagai orang sakit, ataupun bahkan
memperburuk penyakit yang dimilikinya dalam upaya untuk melepaskan
beban emosional. Walaupun tindakan berpura-pura sakit dilakukan secara
sengaja, alasan atau motivasi untuk melakukannya biasanya berada pada
alam bawah sadar. Hal ini mengakibatkan pasien-pasien dengan gangguan
factitious, atau dapat disebut juga sebagai sindrom Munchausen,
memberikan tantangan dalam diagnosis medis.1 Tidak hanya itu, pasien-
pasien dengan gangguan factitious juga dapat menimnbulkan cedera yang
membuat cacat ataupun bahkan mengancam nyawa terhadap dirinya
sendiri, anak-anak mereka, ataupun orang lain yang ada di sekitar mereka.
Hal ini semata-mata dilakukan untuk mendapatkan perhatian medis.2
2.2 Sejarah
Claudius Galen, seorang dokter yang hidup di zaman kekaisaran
Romawi pada abad kedua adalah orang pertama yang mengungkapkan
konsep gangguan factitious dalam sebuah risalah yang berjudul On
Feigned Diseases and the Detection of Them. Dalam buku ini, Galen
memberikan sebuah daftar panjang gejala-gejala yang pasien utarakan atau
yang sengaja dibuat oleh pasien untuk berpura-pura sakit.
Dalam sebuah buku yang dicetak pada tahun 1843, Hector Gavin
adalah orang pertama yang menggunakan istilah factitious disease, di
mana dia menjelaskan bagaimana tentara dan pelaut berpura-pura sakit
untuk mendapatkan perhatian. Selain itu, dia juga menjelaskan bagaimana
gangguan factitious mempengaruhi praktik kedokteran, di mana dia
menjelaskan bagaimana beberapa wanita berpura-pura sakit oleh karena
motivasi yang senonoh yang tidak dapat dipuji.1
2
Pada tahun 1951, Asher menamai sindrom ini setelah seorang
Baron yang bernama Karl Freidrich Hieronymus von Munchausen yang
hidup pada tahun 1720-1797. Munchausen adalah seorang bangsawan
yang mengabdi di ketentaraan Rusia dalam perang melawan bangsa Turki.
Melaluinya, Munchausen sering menceritakan kisah perangnya yang telah
diromantisasi dalam masa pensiunnya. Walaupun kisahnya tidak sehebat
dari apa yang diceritakannya, namun esensi dari apa yang diceritakannya
adalah nyata.3
3
kooperatif, dan terkadang mengancam. Apabila diartikan seperti ini,
sindrom Munchausen cukup langka dijumpai dan sebagian besar pasien
adalah laki-laki.6
2.3 Epidemiologi
Tidak terdapat data epidemiologis yang pasti terhadap angka
kejadian gangguan factitious. Dapat diestimasikan bahwa kurang lebih 5%
dari interaksi dokter-pasien melibatkan gangguan factitious. Meskipun
demikian, beberapa ahli yakin bahwa gangguan ini mengalami fenomena
underdiagnosis oleh karena pasien-pasien dengan gangguan ini semakin
mahir dalam menyembunyikan perilaku yang menipu ini.7 Berdasarkan
data yang dipublikasikan oleh The National Institute of Allergy and
Infectious Diseases menunjukkan bahwa kurang lebih 9% dari kasus
demam tanpa penyebab yang jelas atau infeksi rekuren merupakan
gangguan factitious atau disebabkan oleh diri sendiri.8
4
Pasien yang terdiagnosis dengan gangguan factitious dengan tanda
dan gejala fisik memiliki kecenderungan jenis kelamin perempuan dengan
proporsi tiga banding satu dengan laki-laki. Biasanya mereka berusia 20-
40 tahun dengan riwayat pekerjaan atau pendidikan sebagai perawat
ataupun tenaga kerja medis lainnya.
5
Sebagai kontrasnya, keluarga pasien yang menjadi
penyebab gangguan ini dapat berupa seorang ibu yang menolak
atau seorang ayah yang tidak pernah ada untuk anaknya. Riwayat
yang biasanya ditemukan adalah pasien menggambarkan salah satu
atau kedua orang tuanya sebagai figur yang menolaknya, dan tidak
dapat menjalin hubungan yang intim. Oleh karena itu, gangguan ini
merupakan salah satu bentuk kompulsi yang sifatnya repetisional
atau berulang (repetitional compulsion) dengan tujuan untuk
mencari dan menginginkan penerimaan dan kasih sayang sekalipun
menyadari bahwa tidak akan mendapatkannya. Pasien-pasien
dengan gangguan ini kemudian mengubah persepsi bahwa dokter
dan anggota staf yang merawatnya sebagai orang tua yang
menolaknya.
6
Banyak dari pasien dengan gangguan ini memiliki formasi
identitas (identity formation) yang buruk dan wujud diri (self
image) yang buruk, yang merupakan karakteristik dari seseorang
dengan borderline personality disorder. Beberapa pasien dapat
bertindak sebagai orang disekitar mereka, dengan as-if personality.
Mekanisme difens (defense mechanism) yang signifikan berupa
represi, identifikasi dengan agresor, regresi, dan simbolisasi.9
2.4.3 Komorbiditas
2.5 Patofisiologi
Mekanisme patofisiologis dari gangguan factitious belum dapat
ditentukan. Tidak terdapat defek otak yang khas ataupun gangguan fungsi
yang teridentifikasi. Dalam sebuah studi, ditemukan dalam pemeriksaan
single-photon emission computed tomography (SPECT), bahwa adanya
hiperperfusi dari hemitalamus kanan dalam pasien dengan gangguan
factitious, secara khususnya sindrom Munchausen.10
7
Diagram 1.1
Skema patofisiologi gangguan factitious11
Tabel 1.1
Tanda-tanda yang dapat dijadikan kecurigaan terhadap gangguan factitious9
8
Tanda-tanda yang dapat mengarah kepada diagnosis gangguan
factitious dapat dilihat pada tabel 1.1. Pemeriksaan psikiatrik harus
memfokuskan pada mendapatkan informasi melalui teman, anggota
keluarga, atau informan lainnya oleh karena wawancara dengan sumber
yang bukan merupakan pasien dapat menunjukkan natur palsu dari
penyakit yang diderita pasien. Verifikasi dari fakta yang diberikan oleh
pasien mengenai perawatan di rumah sakit dan perawatan medis
sebelumnya merupakan sebuah langkah yang esensial.
9
Penemuan terkini menunjukkan bahwa gejala psikotik yang
palsu semakin sering ditemukan. Pasien-pasien rawat inap dengan
temuan seperti ini biasanya memiliki gangguan personalitas
(borderline personality disorder) secara bersamaan. Pada kasus
seperti ini, prognosisnya lebih buruk jika dibandingkan dengan
pasien yang menderita bipolar I atau gangguan skizoafektif.9
10
laki yang mengatribusi luka bekas operasi secara dramatis
layaknya seorang korban perang.9
Tabel 1.2
Tanda-tanda gangguan factitious dengan predominansi gejala psikologis9
11
Presentasi klinis merupakan kumpulan gejala dan dapat
berupa hematoma, muntah darah, nyeri perut, demam,
hipoglikemia, dan sindrom menyerupai lupus, mual, muntah,
pusing, dan bahkan kejang. Urin biasanya dikontaminasi dengan
darah atau bahkan feses, penggunaan antikoagulan dilakukan untuk
melakoni gangguan pembekuan darah, dan insulin juga dapat
digunakan untuk menimbulkan gejala hipoglikemia. Tidak hanya
itu, beberapa pasien juga memaksa dilakukannya pembedahan oleh
karena mengklaim adanya perlengketan usus dari tindakan
pembedahan sebelumnya.
12
2.6.4 Gangguan Factitious Imposed on Another (proxy)
13
2.7 Diagnosis Diferensial
Segala macam gangguan psikiatrik dengan manifestasi dan gejala
klinis harus selalu dianggap sebagai diagnosis diferensial, dan adanya
kemungkinan dari penyakit jasmani yang autentik harus selalu ditelaah
lebih dalam. Riwayat pembedahan berulang pada pasien dengan gangguan
factitious dapat memaparkan mereka terhadap beberapa penyakit lainnya
yang membuat pasien tersebut harus menjalani operasi berulang.
Gangguan factitious masi selaras dalam spektrum gangguan somatoform
dan malingering.9
14
2.7.2 Gangguan Personalitas
2.7.3 Skizofrenia
15
2.7.4 Malingering
16
2.8 Tatalaksana
Tabel 1.3
Panduan tatatalaksana pasien dengan gangguan factitious9
17
3. Memahami secara benar mengenai isu etika dan legal
Salah satu faktor yang paling penting dalam mengendalikan gangguan ini
adalah kemampuan seorang dokter untuk menyadari dan mengetahui
gangguan ini secara dini. Dari sinilah dokter dapat menghindari
dilakukannya metode diagnostik atau bahkan tatalaksana yang invasif dan
dapat menyakiti pasien di kemudian hari.
Dokter dan perawat merupakan aspek penyembuhan yang penting
bagi pasien. Salah satu aspek intervensi psikiatrik terpenting dalam
menangani pasien dengan gangguan ini adalah untuk menyadari bahwa
walaupun gejala yang ditimbulkan oleh pasien adalah kebohongan, pasien
dengan gangguan ini adalah seseorang yang memiliki gangguan jiwa.
Selain itu, seorang dokter juga tidak diperkenankan untuk menunjukkan
perilaku negatif apabila pasien menolak diagnosis yang diutarakan, dan
harus menghindari dilakukannya pengungkapan diagnosis sehingga pasien
dijadikan sebagai lawan. Hal ini dapat mengakibatkan pemulangan paksa
pasien dari rumah sakit, dan tidak mendapatkan tatalaksana yang sesuai.9
Kesabaran seorang dokter juga tentunya sering diuji dengan pasien
yang menderita gangguan factitious. Dokter harus menghindari
dilakukannya prosedur yang tidak diperlukan atau memulangkan pasien
secara cepat, oleh karena kedua perilaku tersebut menunjukkan amarah.
Konfrontasi merupakan sebuah metode yang kontroversial, di mana pasien
dapat menolak dan dapat memulangkan diri dari rumah sakit. Namun,
pasien juga harus menyadari realita, bahwa apa yang dilakukannya
bukanlah sesuatu yang benar. Banyak sekali pasien menghindari
tatalaksana oleh karena aksinya untuk mendapatkan perhatian telah
diketahui dan terekspos. Inilah yang harus diperhatikan oleh tenaga medis
yang menangani pasien dengan gangguan factitious.
Pada kasus di mana gangguan factitious terhadap orang yang
bukan dirinya (proxy), maka intervensi hukum perlu diambil pada
beberapa kasus; terutama jika melibatkan anak-anak. Ketidakpekaan
terhadap gangguan ini dan penolakan dari perilaku yang salah oleh orang
18
tua merupakan sebuah tantangan jurisdiksial dan terkadang membuat bukti
tidak dapat diperoleh melalui mekanisme pertahanan diri.9
Tabel 1.4
Panduan tatatalaksana pasien dengan gangguan factitious by proxy9
19
yang tentunya tidak sesuai dengan gaya hidup seorang dewasa yang
produktif dalam karier dan relasi interpersonal seseorang. Tidak hanya itu,
beberapa pasien juga rela menyakiti dirinya dalam upaya untuk menipu
tenaga medis. Maka dari itu, prognosis pada kasus gangguan factitious
adalah buruk pada sebagian besar kasus, di mana beberapa pasien
terkadang akhirnya ditahan oleh aparat hukum oleh karena melanggar
hukum seperti perampokan, perusakan properti, dan perilaku senonoh.
Beberapa fitur yang menunjukkan prognosis baik adalah adanya9:
1. Personalitas depresif-masokistik
2. Berada pada ambang borderline dan belum mencapai tahap psikotik
3. Atribut dari gangguan personalitas antisosial dengan gejala minimal
20
BAB III
MALINGERING
3.1 Definisi dan Pendahuluan
3.2 Epidemiologi
21
3.3 Etiologi
22
3.4.5 Transfer dari Penjara ke Rumah Sakit
23
3.6 Tatalaksana
24
BAB IV
KESIMPULAN
25
BAB V
REFERENSI
1. Savino AC, Fordtran JS. Factitious disease: clinical lessons from case studies
at Baylor University Medical Center. Baylor University Medical Center
Proceedings 2006; 19(3): 195-208. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (accessed
25 October 2018).
2. Anil SM, Valdiya P. FACTITIOUS DISORDER. Medical Journal of the
Armed Forces of India 1998; 54(3): 274-275. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/
(accessed 25 October 2018).
3. Asher R. Munchausen's syndrome.. Lancet 1951; 1(6650): 339-341.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (accessed 25 October 2018).
4. Lipsitt DR. Introduction. Feldman MD,Eisendrath SJ (ed). The Spectrum of
Factitious Disorders, 1st ed. Washington DC: American Psychiatric Press
Inc; 1996. pp. xix–xxviii .
5. Kass FC. Identification of persons with Munchausen's syndrome: ethical
problems.. General Hospital Psychiatry 1985; 7(3): 195-200.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (accessed 26 October 2018).
6. Spiro HR.. Chronic factitious illness. Munchausen's syndrome.. Archives of
General Psychiatry 1968; 18(5): 569-579. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/
(accessed 26 October 2018).
7. Feldman MD. Factitious Disorder. (ed). Playing Sick? Untangling the Web of
Munchausen Syndrome, Munchausen by Proxy, Malingering, and Factitious
Disorder, 1st ed. New York: Brunner-Routledge; 2004. pp. 18–32.
8. Aduan RP, Fauci AS, Dale DC, Herzberg JH, Wolff SM.. Factitious fever and
self-induced infection: a report of 32 cases and review of the
literature.. Annals of Internal Medicine 1979; 90(2): 230-242.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (accessed 26 October 2018).
9. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Psychosomatic Medicine. Pataki CS,
Sussman N (eds). Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry, 11th ed.
Philadelphia, USA: Wolters Kluwer; 2015. pp. 489-495.
10. Mountz JM, Parker PE, Liu HG, Bentley TW, Lill DW, Deutsch G. Tc-99m
HMPAO brain SPECT scanning in Munchausen syndrome.. Journal of
Psychiatry and Neuroscience 1996; 21(1): 49-52.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (accessed 26 October 2018).
11. Nadelson T.. The Munchausen spectrum: borderline character
features.. General Hospital Psychiatry 1979; 1(1): 11-17.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (accessed 26 October 2018).
12. Gorman WF. Defining malingering.. Journal of Forensic Sciences 1982;
27(2): 401-407. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (accessed 26 October 2018).
13. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Other Conditions that May be a Focus of
Clinical Attention. Pataki CS, Sussman N (eds). Kaplan & Sadock's Synopsis
of Psychiatry, 11th ed. Philadelphia, USA: Wolters Kluwer; 2015. pp. 812-
815.
26
14. Lande RG, Williams LB.. Prevalence and characteristics of military
malingering.. Military Medicine 2013; 178(1): 150-154.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (accessed 26 October 2018).
27
LAMPIRAN I Presentasi Klinis Pasien dengan Gangguan Factitious
dengan Predominansi Gejala Fisik
28
29
LAMPIRAN II Beberapa Kondisi yang dapat menjadi Perhatian Klinis
pada Pasien dengan Gangguan Malingering
30