Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA

FACTITIOUS DISORDER AND MALINGERING

Disusun oleh:

Sergio Vartanian

Pembimbing:

dr. Ashwin Kandouw, Sp. KJ.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


SANATORIUM DHARMAWANGSA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE
JAKARTA
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR ISI ............................................................................................................ i
BAB I ...................................................................................................................... 1
BAB II ..................................................................................................................... 2
2.1 Definisi ..................................................................................................... 2
2.2 Sejarah ...................................................................................................... 2
2.3 Epidemiologi ............................................................................................ 4
2.4 Etiologi dan Komorbiditas ....................................................................... 5
2.4.1 Faktor Psikososial ............................................................................. 5
2.4.2 Faktor Biologis .................................................................................. 7
2.4.3 Komorbiditas ..................................................................................... 7
2.5 Patofisiologi.............................................................................................. 7
2.6 Diagnosis dan Manifestasi Klinis ............................................................. 8
2.6.1 Gangguan Factitious dengan Predominansi Gejala Psikologis ........ 9
2.6.2 Gangguan Factitious dengan Predominansi Gejala Fisik ............... 11
2.6.3 Gangguan Factitious dengan Gejala Campuran ............................. 12
2.6.4 Gangguan Factitious Proxy ............................................................ 13
2.6 Psikopatologi dan Pemeriksaan Laboratorium ....................................... 13
2.7 Diagnosis Diferensial ............................................................................. 14
2.7.1 Gangguan Konversi ......................................................................... 14
2.7.2 Gangguan Personalitas .................................................................... 15
2.7.3 Skizofrenia ...................................................................................... 15
2.7.4 Malingering ..................................................................................... 16
2.7.5 Penyalahgunaan Zat ........................................................................ 16
2.7.6 Sindrom Ganser ............................................................................... 16
2.8 Tatalaksana ............................................................................................. 17
2.9 Prognosis dan Perkembangan Penyakit .................................................. 19
BAB III ................................................................................................................. 21
3.1 Definisi dan Pendahuluan ....................................................................... 21
3.2 Epidemiologi .......................................................................................... 21
3.3 Etiologi ................................................................................................... 22

i
3.4 Diagnosis dan Manifestasi Klinis ........................................................... 22
3.4.1 Menghindari Sanksi Hukum ........................................................... 22
3.4.2 Alasan Finansial .............................................................................. 22
3.4.3 Menghindari Wajib Militer atau Pekerjaan Resiko Tinggi ............. 22
3.4.4 Menghindari Kewajiban Sosial dan Pekerjaan ............................... 22
3.4.5 Transfer dari Penjara ke Rumah Sakit ............................................ 23
3.4.6 Perawatan di Rumah Sakit .............................................................. 23
3.5 Diagnosis Diferensial ............................................................................. 23
3.6 Tatalaksana ............................................................................................. 24
3.7 Prognosis dan Perkembangan Penyakit .................................................. 24
BAB IV ................................................................................................................. 25
BAB V................................................................................................................... 26
LAMPIRAN I ....................................................................................................... 28
LAMPIRAN II ..................................................................................................... 30

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan factitious disorder and malingering merupakan bagian dari


cabang besar ilmu psikiatri yang membahas gangguan psikosomatik. Gangguan
psikosomatik berasal dari bahasa Yunani yaitu psyche yang berarti jiwa dan soma
yang berarti tubuh. Secara harafiah, cabang ilmu psikosomatik membahas
bagaimana pikiran atau jiwa dapat memengaruhi tubuh. Sepanjang sejarah,
gangguan psikosomatik memiliki dampak yang mendalam terhadap bagaimana
seseorang dapat memiliki persepsi terhadap kesehatannya.

Edward Shorter menjelaskan bahwa cara untuk mendeskripsikan penyakit


berbeda-beda sepanjang sejarah karena pasien dengan alam sadarnya melaporkan
gejala yang dikira mewakili penyakit tubuh sebenarnya. Factitious disorder
adalah salah satu gangguan psikosomatik dimana dapat didefinisikan sebagai
kesengajaan dalam bertindak atau berpura-pura sebagai orang sakit dalam upaya
untuk melepaskan beban emosional. Gangguan ini mirip dengan malingering
sehingga seringkali terjadi salah diagnosis antara keduanya. Keduanya sama
dalam aspek berbohong tentang kondisi medis yang dimilikinya namun berbeda
dalam motifnya. Keduanya penting untuk dibedakan karena pendekatan
tatalaksananya juga berbeda.

Referat ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kedua


gangguan kejiwaan tersebut dan dapat meningkatkan tingkat kewaspadaan
terhadap keduanya. Dengan demikian, tindakan diagnostik atau intervensif yang
tidak murah dan berpotensi meningkatkan risiko pada pasien dapat dihindari.

1
BAB II
FACTITIOUS DISORDER

2.1 Definisi
Gangguan factitious dapat didefinisikan sebagai kesengajaan dalam
bertindak atau berpura-pura sebagai orang sakit, ataupun bahkan
memperburuk penyakit yang dimilikinya dalam upaya untuk melepaskan
beban emosional. Walaupun tindakan berpura-pura sakit dilakukan secara
sengaja, alasan atau motivasi untuk melakukannya biasanya berada pada
alam bawah sadar. Hal ini mengakibatkan pasien-pasien dengan gangguan
factitious, atau dapat disebut juga sebagai sindrom Munchausen,
memberikan tantangan dalam diagnosis medis.1 Tidak hanya itu, pasien-
pasien dengan gangguan factitious juga dapat menimnbulkan cedera yang
membuat cacat ataupun bahkan mengancam nyawa terhadap dirinya
sendiri, anak-anak mereka, ataupun orang lain yang ada di sekitar mereka.
Hal ini semata-mata dilakukan untuk mendapatkan perhatian medis.2

2.2 Sejarah
Claudius Galen, seorang dokter yang hidup di zaman kekaisaran
Romawi pada abad kedua adalah orang pertama yang mengungkapkan
konsep gangguan factitious dalam sebuah risalah yang berjudul On
Feigned Diseases and the Detection of Them. Dalam buku ini, Galen
memberikan sebuah daftar panjang gejala-gejala yang pasien utarakan atau
yang sengaja dibuat oleh pasien untuk berpura-pura sakit.

Dalam sebuah buku yang dicetak pada tahun 1843, Hector Gavin
adalah orang pertama yang menggunakan istilah factitious disease, di
mana dia menjelaskan bagaimana tentara dan pelaut berpura-pura sakit
untuk mendapatkan perhatian. Selain itu, dia juga menjelaskan bagaimana
gangguan factitious mempengaruhi praktik kedokteran, di mana dia
menjelaskan bagaimana beberapa wanita berpura-pura sakit oleh karena
motivasi yang senonoh yang tidak dapat dipuji.1

2
Pada tahun 1951, Asher menamai sindrom ini setelah seorang
Baron yang bernama Karl Freidrich Hieronymus von Munchausen yang
hidup pada tahun 1720-1797. Munchausen adalah seorang bangsawan
yang mengabdi di ketentaraan Rusia dalam perang melawan bangsa Turki.
Melaluinya, Munchausen sering menceritakan kisah perangnya yang telah
diromantisasi dalam masa pensiunnya. Walaupun kisahnya tidak sehebat
dari apa yang diceritakannya, namun esensi dari apa yang diceritakannya
adalah nyata.3

Akibatnya, berbohong dan “perilaku Munchausen” dihubungkan


dan digunakan dalam tradisi di Jerman untuk mendeskripsikan anak kecil
dengan perilaku yang menyerupai dan disebut sebagai “little
Munchausen”.4 Pada karya tulisnya yang dipublikasi tahun 1951, Asher
menjelaskan beberapa pasien dengan riwayat medis yang mengandung
kebohongan, yang berhasil menipu dokter dan rumah sakit dalam jumlah
yang sangat banyak. Sebagian besar jumlah pasien dengan kondisi ini
memiliki karakteristik luka operasi pada bagian perut. Asher mengatakan,
bahwa sama seperti Baron von Munchausen yang terkenal, orang-orang
dengan kondisi seperti ini selalu bepergian untuk menceritakan kisah-kisah
mereka yang dramatis dan tidak sepenuhnya benar. Maka dari itu, sindrom
ini dinamai setelah orang terkenal tersebut.3

Sesuai dengan kegunaannya pada masa kini, sindrom Munchausen


dianggap sebagai bentuk paling ekstrim dari gangguan factitious, di mana
pasien-pasien dengan kondisi ini memiliki kompulsi yang tidak dapat
terpenuhi untuk berpura-pura memiliki penyakit yang mengancam nyawa.
Pasien-pasien ini cenderung menjadi “penghuni rumah sakit” yang tidak
memiliki pekerjaan ataupun ikatan dalam bentuk apapun.5 Selagi pasien-
pasien ini berpindah-pindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya,
mereka ber-akting sebagai karakter yang berbeda, layaknya seorang aktor
dan dapat berpura-pura menjadi pahlawan perang atau biarawan. Perilaku
mereka terhadap dokter dan perawat biasanya dramatis, agresif, tidak

3
kooperatif, dan terkadang mengancam. Apabila diartikan seperti ini,
sindrom Munchausen cukup langka dijumpai dan sebagian besar pasien
adalah laki-laki.6

2.3 Epidemiologi
Tidak terdapat data epidemiologis yang pasti terhadap angka
kejadian gangguan factitious. Dapat diestimasikan bahwa kurang lebih 5%
dari interaksi dokter-pasien melibatkan gangguan factitious. Meskipun
demikian, beberapa ahli yakin bahwa gangguan ini mengalami fenomena
underdiagnosis oleh karena pasien-pasien dengan gangguan ini semakin
mahir dalam menyembunyikan perilaku yang menipu ini.7 Berdasarkan
data yang dipublikasikan oleh The National Institute of Allergy and
Infectious Diseases menunjukkan bahwa kurang lebih 9% dari kasus
demam tanpa penyebab yang jelas atau infeksi rekuren merupakan
gangguan factitious atau disebabkan oleh diri sendiri.8

Studi-studi yang jumlahnya terbatas menemukan bahwa kurang


lebih hanya 0.8-1.0% dari konsultasi pasien psikiatri merupakan gangguan
factitious. Pasien cenderung jarang menunjukkan gejala-gejala psikologis
yang palsu jika dibandingkan dengan gejala-gejala somatik yang palsu.
Pada beberapa negara maju, data mengenai pasien-pasien dengan riwayat
gangguan factitious digunakan untuk memperingatkan rumah sakit
terhadap pasien-pasien seperti ini; pasien-pasien yang memiliki riwayat
bepergian dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya, mendaftarkan diri
atas nama yang berbeda, atau bahkan berpura-pura mengalami penyakit
yang berbeda.

Untuk sindrom Munchausen, kurang lebih 2/3 dari penderitanya


adalah laki-laki dengan kecenderungan ras berkulit putih, berusia paruh
baya, tidak bekerja, tidak menikah, dan tidak memiliki keterikatan yang
signifikan terhadap orang disekitarnya ataupun keluarga.

4
Pasien yang terdiagnosis dengan gangguan factitious dengan tanda
dan gejala fisik memiliki kecenderungan jenis kelamin perempuan dengan
proporsi tiga banding satu dengan laki-laki. Biasanya mereka berusia 20-
40 tahun dengan riwayat pekerjaan atau pendidikan sebagai perawat
ataupun tenaga kerja medis lainnya.

Gangguan factitious by proxy atau dapat disebut juga sebagai


gangguan factitious yang dilakukan dengan perwakilan merupakan sebuah
gangguan yang terutama terjadi pada kalangan ibu-ibu terhadap anaknya
yang masih muda atau bahkan anak baru lahir. Hal ini merupakan
manifestasi langka, di mana angka kejadiannya kurang lebih 0.04% dan
sejalan dengan angka kekerasan terhadap anak di Amerika Serikat.9

2.4 Etiologi dan Komorbiditas


2.4.1 Faktor Psikososial

Penyebab psikososial dari gangguan factitious tidak dapat


dipahami dengan mendalam karena pasien-pasien dengan
gangguan ini memiliki kesulitan dalam menerlibatkan dirinya
terhadap proses psikoterapi yang sifatnya eksploratif. Pasien-
pasien ini yakin bahwa gejala-gejala yang dialami adalah secara
fisik, dan bahwa tatalaksana yang berorientasi psikologis tidak
berguna.

Laporan kasus anekdotal melaporkan bahwa banyak dari


pasien dengan gangguan ini mengalami pelecehan pada masa kecil
atau bahkan ketelantaran yang mengakibatkan seringnya
melakukan perawatan di rumah sakit pada masa-masa awal
perkembangan. Dalam kondisi seperti ini, rawat inap dapat
dijadikan alasan untuk kabur dari situasi rumah yang traumatik dan
menemukan bahwa dokter atau perawat yang memberikan
perhatian dalam rumah sakit merupakan sosok yang baik dan
penyayang.

5
Sebagai kontrasnya, keluarga pasien yang menjadi
penyebab gangguan ini dapat berupa seorang ibu yang menolak
atau seorang ayah yang tidak pernah ada untuk anaknya. Riwayat
yang biasanya ditemukan adalah pasien menggambarkan salah satu
atau kedua orang tuanya sebagai figur yang menolaknya, dan tidak
dapat menjalin hubungan yang intim. Oleh karena itu, gangguan ini
merupakan salah satu bentuk kompulsi yang sifatnya repetisional
atau berulang (repetitional compulsion) dengan tujuan untuk
mencari dan menginginkan penerimaan dan kasih sayang sekalipun
menyadari bahwa tidak akan mendapatkannya. Pasien-pasien
dengan gangguan ini kemudian mengubah persepsi bahwa dokter
dan anggota staf yang merawatnya sebagai orang tua yang
menolaknya.

Pasien-pasien yang ingin mendapatkan prosedur yang


menimbulkan rasa nyeri, seperti prosedur pembedahan, mungkin
memiliki bibit personalitas masokistik. Hal ini menunjukkan
bagaimana rasa nyeri dapat dijadikan sebagai sebuah metode
penghukuman terhadap dosa masa lalu yang merupakan asumsi
ataupun yang benar-benar terjadi. Beberapa pasien bahkan
mencoba untuk menguasai pengalaman trauma dari penyakit medis
yang serius, yang membutuhkan perawatan di rumah sakit, dengan
cara berpura-pura berperilaku dan bertindak seperti demikian dan
menghidupi pengalaman tersebut berulang kali melalui perawatan
di rumah sakit yang berulang. Sedangkan pasien dengan gangguan
psikiatri yang dibuat-buat, dapat ditemukan riwayat adanya
anggota keluarga yang dirawat dengan penyakit yang sedang
dilakoninya. Hal ini dilakukan dengan harapan pasien-pasien
dengan gangguan ini dapat bersatu dengan anggota keluarga yang
dirawat melalui suatu cara yang magis atau psikis.

6
Banyak dari pasien dengan gangguan ini memiliki formasi
identitas (identity formation) yang buruk dan wujud diri (self
image) yang buruk, yang merupakan karakteristik dari seseorang
dengan borderline personality disorder. Beberapa pasien dapat
bertindak sebagai orang disekitar mereka, dengan as-if personality.
Mekanisme difens (defense mechanism) yang signifikan berupa
represi, identifikasi dengan agresor, regresi, dan simbolisasi.9

2.4.2 Faktor Biologis

Beberapa peneliti telah mengemukakan bahwa disfungsi


otak dapat menjadi faktor penyebab dari gangguan factitious. Telah
dicanangkan bahwa gangguan dari proses informasi dapat
mengkontribusi terhadap adanya pseudologia fantastica atau
perilaku aberan dari pasien dengan gangguan Munchausen.
Meskipun demikian, tidak terdapat pola genetik khusus ataupun
abnormalitas spesifik pada pemeriksaan electroencephalograph
(EEG) pada pasien dengan gangguan factitious.9

2.4.3 Komorbiditas

Banyak dari pasien yang terdiagnosis dengan gangguan


factitious memiliki diagnosis komorbid psikiatrik lainnya (seperti
gangguan mood, gangguan personalitas, atau bahkan gangguan
penggunaan zat).9

2.5 Patofisiologi
Mekanisme patofisiologis dari gangguan factitious belum dapat
ditentukan. Tidak terdapat defek otak yang khas ataupun gangguan fungsi
yang teridentifikasi. Dalam sebuah studi, ditemukan dalam pemeriksaan
single-photon emission computed tomography (SPECT), bahwa adanya
hiperperfusi dari hemitalamus kanan dalam pasien dengan gangguan
factitious, secara khususnya sindrom Munchausen.10

7
Diagram 1.1
Skema patofisiologi gangguan factitious11

Selain itu, terdapat juga teori yang membahas adanya motivasi


yang berasal dari alam bawah sadar untuk melakukan aksi-aksi yang
disengaja. Motivasi tersebut dapat berasal dari pengalaman dilantarkan
atau trauma di mana pasien secara tidak sadar mempelajari bahwa
penderitaan dan penyakit memberikan keringanan terhadap beban
emosional dan makna hidup.11

2.6 Diagnosis dan Manifestasi Klinis

Tabel 1.1
Tanda-tanda yang dapat dijadikan kecurigaan terhadap gangguan factitious9

8
Tanda-tanda yang dapat mengarah kepada diagnosis gangguan
factitious dapat dilihat pada tabel 1.1. Pemeriksaan psikiatrik harus
memfokuskan pada mendapatkan informasi melalui teman, anggota
keluarga, atau informan lainnya oleh karena wawancara dengan sumber
yang bukan merupakan pasien dapat menunjukkan natur palsu dari
penyakit yang diderita pasien. Verifikasi dari fakta yang diberikan oleh
pasien mengenai perawatan di rumah sakit dan perawatan medis
sebelumnya merupakan sebuah langkah yang esensial.

Evaluasi psikiatrik biasanya diindikasikan pada 50% kasus, setelah


dicurigai adanya penyakit yang dilakoni oleh pasien. Seorang psikiater
biasanya dibutuhkan untuk mengkonfirmasi diagnosis dari gangguan
factitious. Pada kasus ini, sebaiknya dihindari penggunaan pertanyaan
yang terkesan menuduh yang dapat menimbulkan adanya agresi, evasi,
atau bahkan kepergian pasien dari rumah sakit. Jika dilakukan metode
konfrontasi yang agresif, maka bahaya yang dapat ditimbulkan adalah
psikosis singkat.

Gangguan factitious dapat dibagi menjadi dua berdasarkan tipe dan


gejala yang dipalsukan, yaitu gangguan factitious dengan predominansi
gejala psikologis dan gangguan factitious dengan predominansi gejala
fisik. Berdasarkan klasifikasi DSM-V, gangguan factitious dapat dibagi
menjadi gangguan yang dilakukan terhadap diri sendiri atau terhadap
orang lain (proxy).9

2.6.1 Gangguan Factitious dengan Predominansi Gejala Psikologis

Beberapa pasien dapat memalsukan gejala psikologis.


Gejala yang dapat dipalsukan biasanya berupa depresi, halusinasi,
gejala disosiatif dan konversi, serta perilaku aneh (bizzare). Oleh
karena kondisi pasien tidak membaik setelah diberikan beberapa
metode terapi, maka pasien tersebut dapat menerima obat-obatan
psikoaktif atau bahkan terapi elektrokonvulsif.9

9
Penemuan terkini menunjukkan bahwa gejala psikotik yang
palsu semakin sering ditemukan. Pasien-pasien rawat inap dengan
temuan seperti ini biasanya memiliki gangguan personalitas
(borderline personality disorder) secara bersamaan. Pada kasus
seperti ini, prognosisnya lebih buruk jika dibandingkan dengan
pasien yang menderita bipolar I atau gangguan skizoafektif.9

Pasien juga dapat terlihat depresif dan dapat


mendeskripsikan depresi yang dialami secara palsu, dengan
menceritakan kematian teman atau anggota keluarga yang
dianggap dekat. Beberapa elemen yang dapat menunjukkan
pemalsuan dari riwayat tersebut adalah kematian yang tragis dan
penuh dengan darah, kematian dalam keadaan yang dramatis, dan
kematian dari seseorang yang masih berusia anak-anak atau
dewasa muda. Pasien lainnya juga dapat mendeskripsikan adanya
hilangnya ingatan baik dalam jangka pendek ataupun panjang,
serta adanya halusinasi auditorik ataupun visual.9

Beberapa pasien lainnya dapat menggunakan zat psikoaktif


dengan tujuan untuk menghasilkan gejala-gejala seperti stimulan
untuk menimbulkan gejala insomnia, atau halusinogen untuk
menghasilkan gejala gangguan persepsi realita. Fenomena ini dapat
menghasilkan manifestasi klinis yang tidak lazim.9

Pseudologia fantastica dapat digambarkan sebagai materi


pembicaraan dengan kebenaran yang terbatas digabungkan dengan
fantasi yang ekstensif. Rasa penasaran dari pendengar sangat
memuaskan bagi pasien, dan pemalsuan kebenaran tidak hanya
merupakan riwayat gejala, namun juga pemalsuan dari aspek hidup
pasien yang lainnya (misalnya mengaku kematian anggota
keluarga untuk mendapatkan simpati ataupun empati). Gambaran
yang umum terdapat pada pasien dengan fenomena ini adalah laki-

10
laki yang mengatribusi luka bekas operasi secara dramatis
layaknya seorang korban perang.9

Tabel 1.2
Tanda-tanda gangguan factitious dengan predominansi gejala psikologis9

2.6.2 Gangguan Factitious dengan Predominansi Gejala Fisik

Gangguan ini memiliki gejala yang merupakan khas dari


tipe sindrom Munchausen. Gangguan ini disebut juga sebagai
kecanduan rumah sakit, kecanduan tindakan pembedahan;
sehingga menghasilkan guyonan masyarakat yaitu washboard
abdomen dan professional patient syndrome. Fitur esensial dari
pasien dengan gangguan ini adalah kemampuan mereka untuk
menunjukkan gejala fisik yang sangat hebat, sehingga mereka
mendapatkan akses untuk perawatan inap di dalam rumah sakit.
Untuk mendukung riwayat mereka, pasien-pasien ini juga
terkadang melakoni gejala yang sugestif adanya penyakit yang
menerlibatkan sistem organ spesifik. Tidak hanya itu, mereka juga
tidak asing lagi terhadap diagnosis dari kebanyakan penyakit yang
membutuhkan perawatan di rumah sakit atau bahkan medikasi
tertentu, dan dapat memberikan riwayat penyakit yang hampir
sempurna yang mampu menipu bahkan dokter yang
berpengalaman.

11
Presentasi klinis merupakan kumpulan gejala dan dapat
berupa hematoma, muntah darah, nyeri perut, demam,
hipoglikemia, dan sindrom menyerupai lupus, mual, muntah,
pusing, dan bahkan kejang. Urin biasanya dikontaminasi dengan
darah atau bahkan feses, penggunaan antikoagulan dilakukan untuk
melakoni gangguan pembekuan darah, dan insulin juga dapat
digunakan untuk menimbulkan gejala hipoglikemia. Tidak hanya
itu, beberapa pasien juga memaksa dilakukannya pembedahan oleh
karena mengklaim adanya perlengketan usus dari tindakan
pembedahan sebelumnya.

Keluhan nyeri, terutama yang menyerupai nyeri kolik renal


umum ditemukan pada pasien yang menginginkan preskripsi obat
narkotika. Pada sekitar setengah kasus yang dilaporkan, pasien
cenderung meminta pengobatan spesifik, biasanya obat-obatan
golongan analgetik. Selagi dirawat di rumah sakit, biasanya pasien-
pasien ini cenderung banyak meminta dan menyulitkan. Oleh
karena hasil pemeriksaan cenderung memberikan hasil negatif,
pasien-pasien ini dapat menuduh dokter bersifat inkompetensi,
mengancam penuntutan, dan biasanya bersifat agresif. Beberapa
pasien juga menginginkan untuk pulang secara setelah mereka
dicurigai menderita gangguan factitious. Oleh karena itu, pasien-
pasien ini dapat berpindah rumah sakit pada kota yang sama
ataupun berbeda, dan siklusnya berulang kembali. Gambaran klinis
umum serta kecurigaan terhadap pasien dengan kondisi ini dapat
ditinjau pada lampiran I.9

2.6.3 Gangguan Factitious dengan Gejala Campuran

Dalam gangguan factitious dengan gejala campuran, kedua


gejala dan tanda psikologis serta fisik ditemukan. Temuan klinis
dari pasien ini tidak spesifik dan dapat memimik gangguan
psikologis ataupun fisik yang sebelumnya sudah dijelaskan.9

12
2.6.4 Gangguan Factitious Imposed on Another (proxy)

Dalam kategori ini, seseorang secara sengaja menimbulkan


gejala atau tanda pada orang lain yang berada dalam perawatannya
atau dalam ruang lingkupnya. Sehingga pada DSM-V, diagnosis ini
disebut juga sebagai factitious disorder imposed on another. Salah
satu tujuan yang jelas dari perilaku ini adalah bagi pemberi
perawatan untuk berpura-pura sakit, dan satu lagi adalah untuk
melepaskan tanggung jawab merawat seseorang apabila orang
tersebut dirawat di rumah sakit. Gangguan ini paling umum
terdapat pada ibu-ibu yang berhasil menipu tenaga kerja medis
bahwa anaknya sedang sakit. Penipuan dapat berupa riwayat medis
yang palsu, kontaminasi dari hasil pemeriksaan laboratorium,
pemalsuan rekam medis, atau bahkan kesengajaan dalam
menimbulkan cidera pada anak tersebut.9

2.6 Psikopatologi dan Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan psikologis dapat menemukan patologi yang
mendasari tindakan pasien. Fitur-fitur yang menjadi sorotan dari pasien
dengan gangguan factitious adalah intelligence quotient (IQ) yang
melebihi rata-rata, tidak adanya gangguan pemikiran formal (formal
thought disorder), pemahaman terhadap identitas diri yang buruk
(termasuk di dalamnya kebingungan terhadap identitas seksual,
kemampuan penyesuaian seksual yang buruk, toleransi yang buruk
terhadap frustrasi, keperluan dependensi yang buruk, dan narsisisme).

Tidak ada pemeriksaan laboratorium atau patologi secara khusus


yang dapat mendiagnosis gangguan factitious, walaupun dapat digunakan
untuk mengemukakan adanya unsur kebohongan. Pemeriksaan skrining
narkoba dan obat-obatan dapat digunakan mengenyampingkan adanya
gangguan mental atau medis tertentu.9

13
2.7 Diagnosis Diferensial
Segala macam gangguan psikiatrik dengan manifestasi dan gejala
klinis harus selalu dianggap sebagai diagnosis diferensial, dan adanya
kemungkinan dari penyakit jasmani yang autentik harus selalu ditelaah
lebih dalam. Riwayat pembedahan berulang pada pasien dengan gangguan
factitious dapat memaparkan mereka terhadap beberapa penyakit lainnya
yang membuat pasien tersebut harus menjalani operasi berulang.
Gangguan factitious masi selaras dalam spektrum gangguan somatoform
dan malingering.9

2.7.1 Gangguan Konversi

Gangguan factitious dibedakan dari gangguan konversi


dengan adanya kesengajaan dalam gejala yang dipalsukan, di mana
terdapat perawatan rumah sakit berulang dan kemauan pasien
dengan gangguan factitious untuk menjalani prosedur mutilatif
terhadap dirinya sendiri secara berulang.

Pasien dengan gangguan konversi tidak memiliki


pemahaman yang memadai terhadap istilah medis atau rutinitas
yang dilakukan di rumah sakit, serta gejala yang dihasilkan
memiliki efek hubungan terhadap konflik emosional yang telah
ada.

Perbedaan antara gangguan ini dengan gangguan


hipokondriasis adalah bahwa pasien dengan hipokondriasis tidak
secara sengaja menghasilkan gejala-gejala penyakit, dan memiliki
onset penyakit yang cenderung ada pada usia pasien lebih lanjut.
Pasien-pasien dengan hipokondriasis juga tidak melalukan
tindakan-tindakan yang dapat menyakiti dirinya sendiri, yang
terdapat pada pasien dengan gangguan factitious.9

14
2.7.2 Gangguan Personalitas

Oleh karena terdapat beberapa aspek dari gangguan


factitious seperti berbohong patologis, kurangnya hubungan yang
intim dengan sesama, perilaku agresif dan manipulatif, serta
hubungan dengan riwayat penggunaan obat-obatan terlarang;
pasien dengan gangguan ini seringkali diklasifikasikan sebagai
memiliki gangguan personalitas antisosial. Walaupun demikian,
seseorang dengan gangguan antisosial tidak memiliki kemauan
untuk mendaftarkan dirinya menjalani prosedur yang invasif
(seperti operasi berulang) atau memiliki gaya hidup dengan
perawatan di rumah sakit secara berulang kali.

Mencari perhatian dan terkadang preferensi untuk


menceritakan segala hal secara dramatis dapat membuat pasien
dengan gangguan factitious diklasifikasikan memiliki gangguan
personalitas histrionik. Walaupun demikian, tidak semua pasien
dengan gangguan personalitas histrionik memiliki pesona dramatis.

Mengingat bahwa gaya hidup pasien dengan gangguan


factitious yang kacau, riwayat adanya gangguan hubungan
interpersonal, krisis identitas, penggunaan zat, aksi menyakiti diri
sendiri, dan taktik-taktik manipulatif; manifestasi ini dapat merujuk
kepada diagnosis borderline personality disorder.9

2.7.3 Skizofrenia

Diagnosis skizofrenia dapat diberikan pada gaya hidup


pasien yang bizzare, terutama jika terdapat waham menetap bahwa
pasien tersebut menganggap dirinya sakit dan bertindak secara
sesuai melalui perawatan di rumah sakit yang berulang.9

15
2.7.4 Malingering

Pasien yang menderita malingering memiliki tujuan yang


jelas dalam menghasilkan tanda dan gejala. Pasien-pasien ini ingin
dirawat di rumah sakit untuk memastikan kompensasi finansial,
menghindari polisi, menghindari pekerjaan, atau bahkan hanya
untuk mendapatkan tempat tidur gratis; namun memiliki ujung
akhir dari perilaku ini. Terlebih lagi, pasien-pasien dengan
gangguan ini biasanya berhenti jika tidak lagi merasa diuntungkan
atau jika resiko yang dihasilkan menjadi lebih besar dibandingkan
dengan keuntungan yang dapat diperoleh.9

2.7.5 Penyalahgunaan Zat

Walaupun pasien dengan gangguan factitious dapat


memiliki riwayat penggunaan zat terlarang, diagnosis ini hanya
dapat dijadikan sebagai diagnosis koeksisten dan bukan diagnosis
utama.9

2.7.6 Sindrom Ganser

Sindrom ganser merupakan sebuah kondisi yang


kontroversial, di mana secara umum terjadi pada narapidana. Pada
sindrom ini, narapidana cenderung menjawab pertanyaan mudah
dengan jawaban yang salah atau bahkan tidak ada hubungan sama
sekali terhadap pertanyaan secara sengaja untuk menghindari
hukuman atas perbuatan yang dilakukannya. Dalam satu aspek,
sindrom ini dapat dikategorikan sebagai sebuah variasi dari
malingering.9

16
2.8 Tatalaksana

Tabel 1.3
Panduan tatatalaksana pasien dengan gangguan factitious9

Tidak ada tatalaksana psikiatrik spesifik yang efektif dalam


mengobati gangguan factitious. Penyakit ini merupakan paradoks klinis di
mana pasien dengan gangguan ini melakoni gejala penyakit yang serius
dan ingin mendapatkan perhatian medis bahkan tatalaksana yang tidak
diperlukan, sedangkan mereka sendiri menolak menderita penyakit yang
asli (gangguan factitious) kepada diri mereka dan orang disekitar mereka;
sehingga tatalaksana yang sesuai tidak dapat dijalankan. Akhirnya, yang
sering terjadi adalah pasien-pasien dengan gangguan ini menghindari
tatalaksana terhadap penyakit mereka yang sesungguhnya dan tidak
menjalani follow up yang rutin dan sesuai.

Tatalaksana dari gangguan ini harus memfokuskan pada


pengendalian dan bukan penyembuhan. Tiga tujuan utama dari
pengendalian dan tatalaksana adalah:
1. Mengurangi resiko terjadinya morbiditas dan mortalitas
2. Menyampaikan kebutuhan emosional atau diagnosis psikiatrik yang
mendasari perilaku factitious

17
3. Memahami secara benar mengenai isu etika dan legal
Salah satu faktor yang paling penting dalam mengendalikan gangguan ini
adalah kemampuan seorang dokter untuk menyadari dan mengetahui
gangguan ini secara dini. Dari sinilah dokter dapat menghindari
dilakukannya metode diagnostik atau bahkan tatalaksana yang invasif dan
dapat menyakiti pasien di kemudian hari.
Dokter dan perawat merupakan aspek penyembuhan yang penting
bagi pasien. Salah satu aspek intervensi psikiatrik terpenting dalam
menangani pasien dengan gangguan ini adalah untuk menyadari bahwa
walaupun gejala yang ditimbulkan oleh pasien adalah kebohongan, pasien
dengan gangguan ini adalah seseorang yang memiliki gangguan jiwa.
Selain itu, seorang dokter juga tidak diperkenankan untuk menunjukkan
perilaku negatif apabila pasien menolak diagnosis yang diutarakan, dan
harus menghindari dilakukannya pengungkapan diagnosis sehingga pasien
dijadikan sebagai lawan. Hal ini dapat mengakibatkan pemulangan paksa
pasien dari rumah sakit, dan tidak mendapatkan tatalaksana yang sesuai.9
Kesabaran seorang dokter juga tentunya sering diuji dengan pasien
yang menderita gangguan factitious. Dokter harus menghindari
dilakukannya prosedur yang tidak diperlukan atau memulangkan pasien
secara cepat, oleh karena kedua perilaku tersebut menunjukkan amarah.
Konfrontasi merupakan sebuah metode yang kontroversial, di mana pasien
dapat menolak dan dapat memulangkan diri dari rumah sakit. Namun,
pasien juga harus menyadari realita, bahwa apa yang dilakukannya
bukanlah sesuatu yang benar. Banyak sekali pasien menghindari
tatalaksana oleh karena aksinya untuk mendapatkan perhatian telah
diketahui dan terekspos. Inilah yang harus diperhatikan oleh tenaga medis
yang menangani pasien dengan gangguan factitious.
Pada kasus di mana gangguan factitious terhadap orang yang
bukan dirinya (proxy), maka intervensi hukum perlu diambil pada
beberapa kasus; terutama jika melibatkan anak-anak. Ketidakpekaan
terhadap gangguan ini dan penolakan dari perilaku yang salah oleh orang

18
tua merupakan sebuah tantangan jurisdiksial dan terkadang membuat bukti
tidak dapat diperoleh melalui mekanisme pertahanan diri.9

Tabel 1.4
Panduan tatatalaksana pasien dengan gangguan factitious by proxy9

2.9 Prognosis dan Perkembangan Penyakit

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, gangguan ini muncul di


awal masa dewasa atau dewasa muda. Awal munculnya penyakit ini
berupa episode-episode singkat mencari perhatian medis yang terjadi
setelah penyakit medis, perasaan kehilangan, penolakan, atau bahkan
ketelantaran. Biasanya, pasien atau kerabat yang dekat memiliki riwayat
perawatan di rumah sakit pada masa kanak-kanak atau dewasa muda oleh
karena penyakit yang benar-benar ada. Pada pasien-pasien seperti ini,
onset kejadian gangguan ini biasanya lebih cepat dibandingkan pasien
yang tidak memiliki riwayat perawatan di rumah sakit pada masa kanak-
kanak.9

Gangguan ini sangat membatasi kemampuan pasien menjalani


rutinitasnya sehari-hari oleh karena adanya riwayat berulang dari
perawatan di rumah sakit secara rutin dan dalam jangka waktu panjang

19
yang tentunya tidak sesuai dengan gaya hidup seorang dewasa yang
produktif dalam karier dan relasi interpersonal seseorang. Tidak hanya itu,
beberapa pasien juga rela menyakiti dirinya dalam upaya untuk menipu
tenaga medis. Maka dari itu, prognosis pada kasus gangguan factitious
adalah buruk pada sebagian besar kasus, di mana beberapa pasien
terkadang akhirnya ditahan oleh aparat hukum oleh karena melanggar
hukum seperti perampokan, perusakan properti, dan perilaku senonoh.
Beberapa fitur yang menunjukkan prognosis baik adalah adanya9:
1. Personalitas depresif-masokistik
2. Berada pada ambang borderline dan belum mencapai tahap psikotik
3. Atribut dari gangguan personalitas antisosial dengan gejala minimal

20
BAB III
MALINGERING
3.1 Definisi dan Pendahuluan

Malingering adalah sebuah perilaku yang ditandai dengan


pemalsuan dari gejala fisik ataupun psikologis secara sengaja dalam upaya
untuk menghindari kewajiban seperti wajib militer, pekerjaan,
mendapatkan kompensasi finansial, menghindari prosekusi, atau untuk
mendapatkan preskripsi obat-obatan.12 Gangguan ini harus selalu
dicurigai apabila ada karakteristik sebagai berikut:13
1. Presentasi dengan alasan medikolegal (seperti dibawa oleh pengacara
untuk dilakukan pemeriksaan)
2. Ketidakserasian antara temuan klinis dan keluhan yang dikeluhkan
oleh pasien
3. Perilaku non-kooperatif oleh pasien pada pemeriksaan dan evaluasi
klinis, serta terhadap regimen tatalaksana yang diberikan
4. Adanya gangguan personalitas antisosial (antisocial personality
disorder)

3.2 Epidemiologi

Terdapat kurang lebih 1% angka kejadian gangguan ini pada


pasien dengan gangguan jiwa pada praktek klinis, dan angka ini meningkat
hingga 5% di militer, dan bahkan 50% pada populasi anak dengan
gangguan conduct disorder. Walaupun tidak ditemukan pola genetik,
perbedaan berdasarkan jenis kelamin, ataupun usia pada onset penyakit;
keadaan ini sering terdapat pada beberapa instalasi militer, penjara, dan
populasi tertentu (lelaki berusia muda pada populasi di beberapa negara
belahan barat dunia). Gangguan yang memiliki hubungan dengan kondisi
ini adalah conduct disorder dan anxiety disorders pada anak anak; serta
perilaku antisosial, borderline, dan personalitas narsisistik pada orang
dewasa.14

21
3.3 Etiologi

Walaupun tidak ditemukan faktor biologis khusus yang dapat


menjelaskan penyebab dari gangguan ini, hubungannya yang cukup dekat
dengan gangguan personalitas antisosial memungkinkan adanya
penjelasan bahwa kurangnya gairah dapat menjadi penyebab metabolik
dari gangguan ini. Meskipun demikian, tidak ditemukan adanya faktor
genetik, neuropsikologi, neurochemistry, ataupun penyebab neuroendokrin
lainnya yang dapat menyebabkan gangguan ini.13

3.4 Diagnosis dan Manifestasi Klinis


3.4.1 Menghindari Sanksi Hukum

Pelanggar hukum cenderung berpura-pura tidak sehat untuk


menghadiri penghakiman. Maka dari itu, seringkali ditemukan para
tersangka berpura-pura sakit jiwa pada saat diadakannya
pengadilan untuk mendapatkan sanksi yang lebih ringan, atau
bahkan untuk menghindari sanksi secara utuh.13

3.4.2 Alasan Finansial

Fenomena ini seringkali ditemukan pada orang-orang


dengan tujuan untuk asuransi, tunjangan veteran perang,
kompensasi pekerja, atau bahkan ganti rugi akibat cidera mental.13

3.4.3 Menghindari Wajib Militer atau Pekerjaan Resiko Tinggi

Orang-orang dapat berpura-pura sakit untuk menghindari


wajib militer dan untuk dilepaskan dari wajib militer yang sedang
dijalaninya.13

3.4.4 Menghindari Kewajiban Sosial dan Pekerjaan

Orang-orang dapat berpura-pura sakit untuk menghindari


pekerjaan atau situasi sosial yang dianggapnya tidak nyaman, atau
bahkan tuntutan sosial terhadapnya.13

22
3.4.5 Transfer dari Penjara ke Rumah Sakit

Fenomena ini banyak ditemukan di penjara, di mana


narapidana berpura-pura mengalami penyakit dalam upaya untuk
dipindahkan ke rumah sakit atau rumah sakit jiwa yang dapat
menjadi peluang untuk kabur atau untuk menjalani konsekuensi
hukum secara lebih ringan. Fenomena yang terbalik dapat
ditemukan pada narapidana dengan gangguan jiwa murni, yang
mengetahui dan berupaya untuk menghindar dari rumah sakit jiwa;
di mana mereka dapat mencoba untuk menutupi penyakit jiwa
yang dimiliki.13

3.4.6 Perawatan di Rumah Sakit

Fenomena ini banyak terdapat pada kalangan orang-orang


yang tidak memiliki rumah, dan orang-orang ini berpura-pura sakit
baik fisik ataupun psikis untuk dapat dimasukkan ke dalam rumah
sakit. Beberapa institusi yang melakukan menerima orang-orang
ini dapat dibilang memberikan tempat penginapan yang lebih aman
jika dibandingkan dengan jalanan.13

3.5 Diagnosis Diferensial

Malingering harus dibedakan dari penyakit fisik atau psikiatrik


yang sejati. Tidak hanya itu, kemungkinan adanya partial malingering
yang merupakan dramatisasi dari gejala yang telah ada, harus dibedakan.
Kemungkinan adanya presentasi yang tidak sesuai terhadap suatu penyakit
sejati (misalnya pada pasien yang menderita depresi) juga harus bisa
dibedakan.

Malingering dibedakan dari gangguan factitious melalui motivasi


(peran sakit dan rasa sakit yang nyata) dan gangguan somatoform yang
tidak melibatkan kemauan secara sengaja.

23
3.6 Tatalaksana

Tatalaksana yang sesuai oleh seorang psikiater adalah untuk


bersifat netral secara klinis. Apabila malingering dicurigai, maka
investigasi lainnya perlu dilakukan. Jika konklusi dari evaluasi diagnostik
adalah malingering, maka pasien harus diberitahu akibat perilakunya.
Alasan dari perilaku tersebut harus diketahui, dan cara-cara lain untuk
mencapai tujuan yang diinginkan oleh pasien harus dievaluasi. Gangguan
psikiatri lainnya harus diperiksa secara teliti. Hanya jika pasien tidak
kooperatif dan tidak memiliki keinginan untuk berinteraksi dengan dokter
selain dengan manipulasi, maka interaksi terapeutik dan diagnostik tidak
dilakukan.13

3.7 Prognosis dan Perkembangan Penyakit

Malingering ini akan hilang apabila penderita menyadari bahwa


perilakunya tidak memberikan keuntungan yang diharapkannya atau jika
tujuannya sudah tercapai. Pada beberapa kondisi seperti pada militer atau
penjara, jika tujuan penderita tidak tercapai maka yang seringkali terlihat
adalah ketidakhadiran atau bahkan menghilangnya penderita terutama jika
adanya ekspektasi yang seringkali terdapat pada skenario di militer. Pada
anak, gangguan ini biasanya terdapat pada gangguan anksietas atau
conduct disorder yang telah ada sebelumnya. Perhatian yang sesuai
terhadap gangguan ini dapat meringankan kecenderungan anak tersebut
untuk memiliki gangguan ini.13

24
BAB IV
KESIMPULAN

Gangguan somatisasi masih merupakan tantangan secara klinis. Tantangan


yang diberikan bersifat dua arah, yaitu tantangan terhadap penderita dan tantangan
terhadap dokter yang menanganinya. Secara khusus, gangguan factitious masih
merupakan tantangan medis oleh karena pasien melakukannya atas dasar beban
emosional dan alasan yang cenderung berada pada alam bawah sadarnya. Hal ini
mengakibatkan adanya perasaan pembenaran dan bahwa apa yang dilakukannya
dapat meringankan beban mental yang dialaminya. Bagi dokter yang merawatnya,
tantangannya adalah untuk membedakan penyakit yang sejati dan penyakit yang
merupakan lakonan pasien, serta untuk menangani pasien secara aspek psikiatri.
Tenaga medis tentunya harus menghindari perilaku menghakimi dan marah
terhadap pasien oleh karena pasien dapat langsung menjadi tidak kooperatif dan
meminta untuk dipulangkan secara paksa dari rumah sakit. Prognosis pada pasien
dengan kondisi ini secara umum buruk, dan tatalaksana yang dapat diberikan
adalah terapi nonfarmakologi.

Pada gangguan malingering, tantangan terhadap pasien adalah motivasi


yang mendasari perilakunya; yaitu untuk mencapai keuntungan finansial,
menghindari kewajiban, dan masih banyak lagi. Apabila tujuan pasien telah
tercapai, maka ia akan merasa puas dan hal ini tentunya tidak baik secara moral.
Tantangan untuk seorang dokter yang menangani pasien dengan gangguan ini
adalah untuk mengkonfrontasi pasien dengan gangguan ini mengenai tujuan yang
ingin dicapai oleh pasien ini, dan untuk menghindari dilakukannya pemeriksaan
dan tatalaksana yang tidak sesuai walaupun mendapatkan tekanan dari pasien.
Tatalaksana untuk pasien ini, sama seperti gangguan factitious, adalah terapi
nonfarmakologi.

25
BAB V
REFERENSI
1. Savino AC, Fordtran JS. Factitious disease: clinical lessons from case studies
at Baylor University Medical Center. Baylor University Medical Center
Proceedings 2006; 19(3): 195-208. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (accessed
25 October 2018).
2. Anil SM, Valdiya P. FACTITIOUS DISORDER. Medical Journal of the
Armed Forces of India 1998; 54(3): 274-275. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/
(accessed 25 October 2018).
3. Asher R. Munchausen's syndrome.. Lancet 1951; 1(6650): 339-341.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (accessed 25 October 2018).
4. Lipsitt DR. Introduction. Feldman MD,Eisendrath SJ (ed). The Spectrum of
Factitious Disorders, 1st ed. Washington DC: American Psychiatric Press
Inc; 1996. pp. xix–xxviii .
5. Kass FC. Identification of persons with Munchausen's syndrome: ethical
problems.. General Hospital Psychiatry 1985; 7(3): 195-200.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (accessed 26 October 2018).
6. Spiro HR.. Chronic factitious illness. Munchausen's syndrome.. Archives of
General Psychiatry 1968; 18(5): 569-579. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/
(accessed 26 October 2018).
7. Feldman MD. Factitious Disorder. (ed). Playing Sick? Untangling the Web of
Munchausen Syndrome, Munchausen by Proxy, Malingering, and Factitious
Disorder, 1st ed. New York: Brunner-Routledge; 2004. pp. 18–32.
8. Aduan RP, Fauci AS, Dale DC, Herzberg JH, Wolff SM.. Factitious fever and
self-induced infection: a report of 32 cases and review of the
literature.. Annals of Internal Medicine 1979; 90(2): 230-242.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (accessed 26 October 2018).
9. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Psychosomatic Medicine. Pataki CS,
Sussman N (eds). Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry, 11th ed.
Philadelphia, USA: Wolters Kluwer; 2015. pp. 489-495.
10. Mountz JM, Parker PE, Liu HG, Bentley TW, Lill DW, Deutsch G. Tc-99m
HMPAO brain SPECT scanning in Munchausen syndrome.. Journal of
Psychiatry and Neuroscience 1996; 21(1): 49-52.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (accessed 26 October 2018).
11. Nadelson T.. The Munchausen spectrum: borderline character
features.. General Hospital Psychiatry 1979; 1(1): 11-17.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (accessed 26 October 2018).
12. Gorman WF. Defining malingering.. Journal of Forensic Sciences 1982;
27(2): 401-407. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (accessed 26 October 2018).
13. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Other Conditions that May be a Focus of
Clinical Attention. Pataki CS, Sussman N (eds). Kaplan & Sadock's Synopsis
of Psychiatry, 11th ed. Philadelphia, USA: Wolters Kluwer; 2015. pp. 812-
815.

26
14. Lande RG, Williams LB.. Prevalence and characteristics of military
malingering.. Military Medicine 2013; 178(1): 150-154.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (accessed 26 October 2018).

27
LAMPIRAN I Presentasi Klinis Pasien dengan Gangguan Factitious
dengan Predominansi Gejala Fisik

28
29
LAMPIRAN II Beberapa Kondisi yang dapat menjadi Perhatian Klinis
pada Pasien dengan Gangguan Malingering

30

Anda mungkin juga menyukai